Critical Review TERBENTUKNYA SEBUAH ELIT BIROKRASI
HEATHER SUTHERLAND BAB I POLA-POLA POLITIK DAN DAN PEMERINTAHAN PEMERINTAHAN
Oleh : Suhanto
Dalam bab I ini Sutherland coba untuk menggambarkan terbentuknya elit di jaman Hindia Hindia Beland Belanda. a. Dalam Dalam hal ini pemeri pemerinta ntah h Beland Belandaa telah telah menggu menggunak nakan an sistem sistem indirect-rule dimana dimana pejaba pejabatt pribum pribumii diguna digunakan kan untuk untuk menjem menjembat batani ani antara antara pemerintah kolonial dengan penduduk/rakyat setempat. Adapun jajaran pejabatnya terdiri dari pemerintah Belanda yaitu gubernur, residen, asisten residen, kontrolir, serta pejabat pribumi yaitu bupati, patih, wedana, camat, dan pejabat-pejabat di bawahnya. Selanjutnya para pejabat ini disebut pangreh praja. Pangreh praja ini kemudian membentuk elit birokrasi dengan cara kerja menggabungkan etos dengan sistem kekerabatan dan hubungan sosial.
Untu Untuk k menj menjel elas aska kan n kedu kedudu duka kan n pang pangre reh h praj prajaa ini ini Suth Suther erla land nd bera berang ngka katt dari dari pengertian bahwa pemerintah Belanda di Jawa senantiasa merupakan kekuatan politik intervensionis yang aktif sebagai penunjang rezim kolonial . Pangreh praja disamping sebagai pewaris penguasa setempat , mereka juga merupakan wakil pemerintah Belanda. Oleh karena itu kerja sama politik antara pemerintah kolonial dengan pangreh praja tidak setara. Pangreh praja adalah tiang penyangga bagi negara kolonial dan sekaligus menjadi senjata terhadap kelompok-kelompok politik baru.
1
Mataram
Untuk menjelaskan akar pangreh praja Sutherland mengajak menengok ke belakang , ke sejarah Jawa. Disini dijelaskan bahwa para pendahulu pangreh praja adalah mulai dari kepala desa yang sangat merendahkan diri sampai pada sultan yang sangat kuat, juga para pejabat kerajaan besar seperti Banten dan Cirebon di Jawa Barat, serta Mataram di Jawa Tengah. Para nenek moyang pangreh praja berasal dari kalangan pemimpin , baik pemimpin pemberontak maupun penguasa di ibukota kerajaan.
Sikap dan perilaku politik dari para pemimpin tersebut merupakan cerminan dari etos negara Jawa. Etos negara Jawa yang banyak dipengaruhi tradisi India sangat mengutamakan keselarasan di dalam kerajaan, penguasa yang bersih dan bijaksana sehingga tercapai keseimbangan antara tertib masyarakat dan tertib supramanusia. Peranan raja, dewan istana, dan pemerintah adalah mempertahankan dan memperkuat
hubungan
antara
manusia
dan
membawa
kekuatan
abstrak
(supramanusia) ke dalam tugas-tugas pelayanan negara. Dua hal ini membuat jalinan abadi dalam budaya priayi dan konsepsi-konsepsi perilaku politik.
Dalam memahami nilai-nilai pangreh praja harus memahami kepercayaan – kepercayaan yang diterapkan dalam kehidupan dan pemerintahan. Kepercayaan pada kemungkinan kerja sama dengan kekuatan transendental merupakan hal yang biasa bagi orang Jawa. Bahkan untuk mengembangkan kekuasaan
mereka
melakukan laku mistik. Sementara dari segi moral ditekankan sifat keagamaan sehingga seorang pejabat yang baik adalah pejabat yang berada dalam keselarasan lingkungan spiritual, fisik, dan sosialnya. 2
VOC
Nilai –nilai diatas sangat tidak disetujui oleh para pedagang Eropa dan agen-agen politik. Mereka lebih menutamakan keefisienan dalam tata pemerintahan. Jadi orang pribumi diperlukan sejauh memberi kontribusi positif . Dengan demikian dapat difahami ketika VOC memerlukan bupati karena secara militer VOC lemah, hemat, dan tidak ingin bermusuhan dengan penduduk setempat. Kekuatan VOC diluar lingkungan keraton Mataram., tepatnya di pesisir utara dan Priangan. Di wilayah ini kekuatan VOC sangat besar. Selanjutnya Sutherland menjelaskan perilaku VOC dimana VOC cukup kuat : …maka agen-agennya menggunakan para bupati untuk memeras tenaga kerja dan memproduksi dengan kegiatan yang tak terbandingkan sebelumnya dan dijaga agar bertahan lama. Mereka gerakkan roda sistem itu ke arah kepentingankepentingannya sendiri, dan sebagai orang-orang asing mereka merusak kesepakatan budaya serta keseimbangan kekuasaan yang semula dipelihara dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Meskipun demikian, mereka bekerja dalam pola politik pribumi, memanipulasi dan dimanipulasi . Pegawai VOC secara bijaksana menggunakan diplomasi, intrik, dan –bila tak terhindarkan- operasi militer secara kecil-kecilan. Mereka ikut serta dalam kegiatan-kegiatan politik urusan dalam kalangan aristokrasi, menjaga keamanan sekutu-sekutu serta ikut melawan musuh-musuhnya. (hal. 33) Pada akhirnya penguasa pribumi Banten dan Cirebon dan Jawa timur menjadi pengikut VOC. Tugas pejabat pribumi adalah bekerja dengan rakyat memproduksi barang-barang yang dibutuhkan VOC. Meskipun bupati sering mendapat hadiah dan penghasilan tambahan (dari eksploitasi ) akan tetapi di lain fihak, VOC sangat membatasi kebebasan bupati . Di antaranya adalah mendesak bupati agar menjauhkan diri dari hubungan politik dan dagang dengan kekuatan asing dan mendesak agar bupati mau mengakui kedaulatannya.
DAENDELS DAN RAFFLES
3
Pada saat Daendels berkuasa (1808-1811), ia mendapati keuangan VOC sangat buruk sehingga ia mencanangkan efisiensi. Ia menghapus jabatan gubernur dan membagi wilayah pantai timur laut Jawa menjadi lima prefektur yang masingmasing dikepalai seorang prefek. Ia menurunkan
pendapatan bupati ( tanah
jabatan, tenaga kerja, pajak atas hasil produksi). Bupati diangkat sebagai pejabat penerima gaji dan peranannya ‘turun’ menjadi ‘abdi raja’. Daendels juga melarang pejabat Eropa membungkuk dan mengesot di depan raja (Mataram) melainkan tetap berjalan tegak.
Berbeda dengan Daendels, Raffles (1811-1816) menginginkan kontak langsung yang lebih besar antara pemerintah dan rakyat. Oleh karena itu ia menciptakan jabatan asisten residen. Reformasi keuangan mengubah kewajiban rakyat sebagai penyumbang tenaga menjadi wajib membayar pajak. Raffles membagi kerangka kerja teritorial Jawa menjadi tujuh belas daerah yang kebanyakan dipimpin oleh seorang residen yang berkebangsaan Eropa. Setiap karesidenan dibagi menjadi beberapa kabupaten. Raffles menyebut prefek sebagai residen dan setiap residen dibantu oleh asisten residen. Pada tahun 1819 asisten residen mendapat wilayah kekuasaan seluas kabupaten sehingga dalam satu karesidenan terdapat beberapa aisten residen. Pejabat Eropa tingkat ketiga adalah controleurs (pengawas) yaitu jabatan baru untuk mengawasi hasil panen.
Akan halnya dengan pejabat pribumi, Daendels dan Raffles telah memposisikan jabatan bupati di bawah pengawasan langsung pemerintah pusat. Jabatan tertinggi untuk pribumi adalah bupati, di bawahnya adalah patih (semacam perdana mentri), wedana, dan kepala-kepala desa yang tidak termasuk bagian kepegawaian sipil atau dunia priayi. Fungsi patih mirip dengan fungsi asisten residen yakni melaksanakan 4
tugas harian dan dapat mengambil keputusan atas nama residen/ bupati. Jadi sebenarnya patihlah yang memimpin kabupaten (dalam istana Jawa tugas ini disebut rijkbestuurder / administrator kerajaan). Reformasi Raffles yang perlu dicatat lagi adalah bahwa residen diwajibkan melakukan perjalanan inspeksi berkala dan membuat memoranda sebagai hasilnya. Kemudian secara bertahap menumbuhkan pola perjalanan dinas ( tournee) dan mengadakan pertemuan/rapat dengan pejabat bawahan. Dibandingkan dengan jaman VOC, pola ini menunjukkan lebih dekat kepada birokrasi modern (gaya Eropa). Akan tetapi kenyataannya sistem ini tidak berjalan maksimal sehingga pemerintahan Batavia memutuskan kembali ke cara VOC yakni menggunakan pemimpin pribumi.
Gubernur Jendral G.A Baron van der Capellen (1818-1826) yang semula menggagas penghapusan semua jejak pemerintahan tradisional, penghapusan daerah-derah istimewa dan bupati dan kemudian ditentang oleh Pangeran Diponegoro (pemberontakan 1825-1830), pada akhirnya ia dan kekuasaan Belanda harus meninjau kembali kegunaan jabatan bupati. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah mengenai Tugas Kewajiban, Gelar dan Pangkat para Bupati di Pulau Jawa yang disahkan tahun 1820 dan berlaku hingga 1926. Sutherland menyarikan isi peraturan tersebut sebagai berikut : ‘..bahwa bupati adalah “orang pertama” dalam kabupatennya, bahwa mereka berada langsung di bawah perintah residen dan bukannya asisten residen, namun dalam hal-hal yang bertalian dengan penduduk pribumi para bupati adalah “penasihat-penasihat yang terpercaya” dan “adik-adik” dari para asisten residen.’ Para bupati diinstruksikan untuk mengawasi urusan pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan, irigasi, pemeliharaan jalan serta pengumpulan pajak di wilayahnya. Disamping itu mereka juga harus mengamati perkembangan agama 5
Islam. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa peraturan itu tidak menyebutkan penggantian jabatan bupati berdasarkan waris keturunan.
Banyak pejabat-pejabat Eropa (BB: Binnenlandsch Bestuur ) menentang peraturan ini. Menurut mereka jabatan bupati tidak banyak memberi manfaat. Lebih baik mengembangkan team kerja yang terdiri dari residen, asisten residen, kontrolir yang bekerja langsung dengan wedana selaku kepala distrik. Akan tetapi pemerintah Belanda memutuskan bahwa jabatan bupati perlu dan bupati harus dihormati. Putusan itu terus-menerus disosialisasikan lewat surat edaran yang berisi nasihat kepada para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada bupati.
Kerja sama antara pejabat BB dan bupati mulai efektif ketika Batavia menerapkan ‘sistem
tanam paksa’. Kerja sama dengan pemimpin pribumi sangat penting
manakala hendak memobilisir penduduk pedesaan. Untuk menggambarkan kondisi pemimpin pribumi (priayi pemerintah) sebagai hasil dari ekstensifikasi dan intensifikasi tanam paksa, Sutherland mengutip tesis Day C Fasseur sebagai berikut: ‘Priayi pemerintah ini telah menjadi agen dari sebuah pusat pemerasan sehingga sehubungan dengan itu jarak antara mereka dengan para petani semakin melebar. Penyalah gunaan kekuasaan menjadi soal biasa, pemaksaanpun digunakan bila dianggap perlu. Misalnya, karena perundingan-perundingan untuk memperoleh tanah ternyata lebih gampang penyelesaiannya dengan pemilikan secara komunal, maka sejumlah pejabat telah memaksa penduduk desa untuk melepaskan pemilikan tanah secara individual. Suatu peristiwa telah terjadi pada tahun 1833 tatkala bupati Gresik Utara memerintahkan agar semua surat tanda pemilikan tanah dikumpulkan dan dibakar, sehingga dengan begitu berlakulah pemilikan tanah secara komunal yang jauh tidak menyusahkan. Ketidakadilan seperti ini bukannya jarang terjadi’. (h. 41) Posisi bupati semakin dimanjakan dengan dipulihkannya kembali hak-hak istimewa seperti tanah jabatan dan hak pewarisan jabatan berdasarkan keturunan. 6
Sejak pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan hubungan antara Batavia dan negeri Belanda yang disebabkan adanya pembaharuan. Salah satunya adalah memposisikan pemerintah kolonial menjadi mata rantai penghubung Indonesia ke pasaran dunia dan ke perkembangan politik di Belanda. Di Belanda , sistem tanam paksa banyak dikecam kaum liberal. Mereka menghendaki pengolahan perkebunan tidak dimonopoli oleh negara. Oleh karena itu muncullah Undang-undang Agraria tahun 1870 yang menghapuskan monopoli negara atas penanaman gula dan mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta melakukan sewa jangka panjang atas apa yang disebut ‘tanah terlantar’(tanah yang digarap tapi bukan untuk tanaman pangan) dan sewa jangka pendek atas tanah yang sedang ditanami. (hal. 48). Dengan disahkannya Undang-undang tersebut maka bermunculan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan-perusahan baru. Dengan banyaknya orang-orang Eropa yang tinggal di Jawa sedikit banyak mempengaruhi gaya hidup pejabat pribumi. Korps Eropa dan korps pribumi berkembang dan membutuhkan pelatihan dan pendidikan. Maka diadakanlah reorganisasi dengan menyelenggarakan pelatihan pendidikan calon pegawai dengan sistem magang dan sistem diperbantukan. Pada tahun 1832 di Surakarta didirikan lembaga pendidikan, menyusul kemudian didirikan hoofdenscholen (sekolah para pemimpin) di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Pada tahun 1900 sekolah-sekolah tersebut diganti nama menjadi OSVIA (Opleidingsscholen voor Inlandsche Ambtenaren- Sekolah Pendidikan bagi para Pejabat Pribumi).
Pada tahun 1892
gubernur jendral mengadakan penelitian secara menyeluruh
mengenai tata pemerintahan di Jawa. Walaupun hasilnya tidak maksimal, Menteri Urusan Jajahan, J. Th. Cremer (1897-1901) memutuskan bahwa sedikit pejabat 7
dengan gaji yang tinggi akan menjamin adanya efisiensi yang lebih besar, sehingga pembaharuan akan terlaksana seperti yang diharapkan.
Tanggapan : Heather Sutherland menggambarkan sistem indirect-rule di Jawa yang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sistem ini telah menciptakan adanya elit pribumi yang disebut pangreh praja. Pangreh praja berfungsi melancarkan kepentingan penjajah, tetapi di satu sisi mereka juga dapat memenuhi kepentingannya sendiri, baik kepentingan sosial maupun kepentingan ekonomi. Meskipun terdapat tarik ulur diantara pemerintah Belanda, pemerintah kolonial (gubernur jendral) dan pejabat Eropa (BB) mengenai jabatan pribumi (terutama jabatan bupati yang dinilai tidak efisien), namun tetap diputuskan bahwa jabatan tersebut tetap dipertahankan. Hal ini sangat logis mengingat jabatan bupati cukup strategis yakni disamping dapat memasok kebutuhan ekonomi pemerintah kolonial, bupati juga mampu mengamankan wilayah dari pemberontakan dan memobilisir penduduk manakala diperlukan (seperti kasus tanam paksa).
Dari segi pemerintahan, pangreh praja disebut sebagai birokrat/ pejabat administrasi negara . Dan dalam perkembangannya, mereka memang dididik sebagai tenaga handal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Pada gilirannya nanti sistem ini akan diwariskan untuk menata sistem pemerintahan pasca kolonial.
8