ISLAMIC STUDIES Pendekatan dan Metode Zakiyuddin Baidhawy
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
Islamic Studies Pendekatan dan Metode
Penulis Zakiyuddin Baidhawy Editor Arifin Rancang Sampul M. Taufik N.H. Tata Letak Darwoko Cetakan Pertama, April 2011
Jl. Kenanga, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282 Telp. 0274-4332394, 4332397, Fax. 0274-4332395 Email :
[email protected] Website : www.insanmadani.com Didistribusikan oleh PT Bintang Pustaka Abadi (BiPA) Jl. Kapas No. 14 Yogyakarta Telp. 0274-4332398, Fax. 0274-4332395 © Hak cipta dilindungi undang-undang, 2011 pada Zakiyuddin Baidhawy dan hak penerbitan pada PT Pustaka Insan Madani (anggota IKAPI)
ii
Zakiyuddin Baidhawy
Prakata
M
inat terhadap Studi Islam (Islamic Studies) mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir, meskipun tidak selalu memiliki alasan-alasan yang tepat. Pada abad 19 hingga awal abad 20 kita dapat menyaksikan bahwa disiplin Studi Islam bangkit dimotivasi oleh keinginan para penguasa kolonial untuk memahami sumber-sumber rujukan dan praktik-praktik keagamaan dari negeri-negeri jajahan mereka. Karenanya kajian dan penelitian dalam disiplin lebih ditujukan untuk kebutuhan khusus, yaitu menentukan nilai-nilai dan praktik-praktik dari negeri-negeri terjajah itu. Mereka memiliki hasrat untuk menguasai secara penuh wilayah jajahan dengan berbagai macam cara sehingga mereka dapat menjalankan misi “memperadabkan” negeri-negeri terjajah dan mendorong mereka memperoleh kemajuan dalam hal pengetahuan tentang negeri-negeri terjajah serta memanfaatkan kaum terpelajarnya untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka. Kini, Studi Islam sudah mengalami perkembangan cukup mengesankan, meskipun masih ada minat yang dikendalikan Model Kajian Tasawuf
iii
oleh kepentingan diri. Studi Islam berkaitan dengan data-data yang jauh lebih konkret dan berinteraksi dengan metode-metode yang kompleks dan lebih mencakup. Hal ini bukan hanya terjadi di negeri-negeri Muslim sendiri, bahkan juga di negara-negara Barat. Masyarakat Barat mengalami tiga fenomena berbeda yang memperlihatkan perhatian mereka pada perluasan riset tentang Islam: semakin meningkatnya visibilitas generasi-generasi baru Muslim di Barat; arus migrasi yang terus mengalir yang tampak terus mengalami percepatan; dan terorisme yang dipandang sebagai ancaman baik bagi Barat maupun dunia Muslim sendiri. Persoalan-persoalan domestik dunia Muslim juga merupakan realitas yang mesti dipertimbangkan dalam politik internasional, seperti problem konflik Israel-Palestina, perang di Afghanistan dan Irak, kasus Iran, persoalan Turki dalam keanggotaan Uni Eropa. Dalam semua kasus ini, Studi Islam secara langsung maupun tidak langsung terlibat sebagai bagian dari cara untuk memahami dan mencegah, melindungi diri kita sendiri, mendominasi, dan bahkan berperang melawan kekerasan yang dilakukan kaum fundamentalis Islam. Akibatnya, banyak pakar sosiolog, ilmuwan politik, pakar terorisme dan lain-lain terlibat dalam sejumlah penelitian mengenai Islam, Muslim, identitas, imigrasi, fundamentalisme, radikalisasi, kekerasan, terorisme, dan sebagainya. Tentu saja perkembangan kontemporer ini mengandung sisi negatif dan positifnya. Intinya, kita perlu mensyukuri bahwa disiplin Studi Islam semakin memperoleh tempat luas di kalangan pengkaji Muslim maupun non-Muslim, dengan spektrum wilayah dan spesialisasi kajian yang makin beragam dan kaya. Karena itu, penting kiranya perkembangan-perkembangan ini ditulis dan dibaca di kalangan para mahasiswa dan dosen
iv
Zakiyuddin Baidhawy
Studi Islam di negeri ini – sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia – agar mereka bukan hanya menjadi penonton dan penikmat hasil kajian keislaman, namun mereka juga berperan sebagai pelaku dari perkembangan itu. Buku ini merupakan satu upaya untuk menyajikan perkembangan Studi Islam yang dimaksud. Mudah-mudahan karya ini bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi Islam, dan para peminat kajian keislaman di perguruan tinggi umum serta masyarakat luas pada umumnya. Omah Nderes, Soditan Sukoharjo 10 Februari 2011 Zakiyuddin Baidhawy
Prakata
vi
Zakiyuddin Baidhawy
Daftar Isi
Prakata..................................................................................iii Daftar Isi.............................................................................. vii
BAB 1 PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI ISLAM.......................................................... 1 A. Pengertian Studi Islam.................................... 1 B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan Keagamaan............................................... 6
BAB 2 RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM........................................................ 23 A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya...23 B. Dimensi-dimensi Agama..............................28 C. Cara Beragama...............................................35
BAB 3 SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM........................................................ 39 A. Studi Islam dan Orientalisme......................46 B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri .........53 C. Studi Islam dan Oksidentalisme..................55
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
vii
BAB 4 MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM: STUDI AL-QUR’AN....................... 67 A. Pendekatan I`jaz Klasik.................................68 B. Pendekatan Sastra Modern...........................72 C. Pendekatan Tajdid.........................................75 D. Pendekatan Tahlili.........................................77 E. Pendekatan Semantik...................................80 F. Pendekatan Tematik . ...................................90
BAB 5 MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS........................................... 99 A. Kajian Orientalis tentang Hadis................. 101 B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Muslim............. 103 C. Kajian Sarjana Muslim Modern...................110 D. Pendekatan Revolusioner: al-Albani.......... 115
BAB 6 MODEL KAJIAN ILMU KALAM................ 119 A. Kemunculan Ilmu Kalam............................122 B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam.............124 C. Metodologi Ilmu Kalam.............................125 D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam.....................128 E. Metodologi Kalam Syi’ah............................ 131 A. Mistisisme: Fenomena Universal...............139
BAB 7 MODEL KAJIAN TASAWUF..................... 139 B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam........... 141 C. Perspektif Memahami Tasawuf . ................145 D. Tasawuf dan Modernitas: Pendekatan Fathullah Gulen..........................................148
viii
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 8 MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN FIKIH....................................................... 155 A. Definisi dan Ruang Lingkup.......................155 B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan Deduktif.......................................................159
BAB 9 MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack 167 A. Sekilas tentang Farid Esack.........................169 B. Metode Hermeneutika Pembebasan.......... 171 C. Al-Qur’an Bicara: Kunci Hermeneutika Pembe-basan...............................................179 D. Simpulan.....................................................183
BAB 10 MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika......................................... 185 A. Gagap Paradigma Fondasionalisme . ........187 B. Pendekatan Hermeneutika: Pintu Keragaman danRelativisme ...........................................189 C. Menuju Hibrida Paradigmatik...................193 D. Tafsir Multikultural, Sebuah Alternatif......196 E. Simpulan ....................................................203
BAB 11 MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama...................................205 A. Pendidikan Agama sebagai Aparatus Ideologis......................................................208 B. Basis Teologi Pendidikan Multikultural..... 212
Daftar Isi
ix
C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian dan Harmoni............................................... 215 D. Simpulan ....................................................224
BAB 12 MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal.............................. 229 A. Beberapa Pendekatan Mengkaji Islam Liberal................................................230 B. Latar Sosial Islam Liberal............................236 C. Tantangan Islam Liberal.............................. 241 D. Simpulan ....................................................245
BAB 14 MODEL KAJIAN POLITIK....................... 247 A. Pendekatan Keamanan (Security)..............250 B. Pendekatan Demokrasi...............................253 C. Pendekatan Globalisasi...............................257
BAB 15 METODOLOGI ILMIAH MODERN DAN STUDI ISLAM...........................................261 A. B. C. D. E.
Pendekatan Ilmu Sejarah............................ 261 Pendekatan Sosiologis................................264 Pendekatan Antropologi dan Etnografi..... 271 Pendekatan Fenomenologi.........................278 Pendekatan Arkeologi.................................288
Daftar Pustaka...................................................................295 Biografi Penulis................................................................. 307
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 1
PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI ISLAM
A. Pengertian Studi Islam
I
stilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah dipergunakan dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan Pengertian dan Metodologi Studi Islam
judul-judul “Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat “Islami”, yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan sebutan “Islamic Studies” di dunia akademik. Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas (Suleiman & Shihadeh, 2007: 6-7). Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik; memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut. Mesti ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplindisiplin lainnya seperti Christian Studies. Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektualkeagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu mesti dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa Arab. Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit. Upaya-upaya untuk memperluas bidang kajiannya dapat me-
Zakiyuddin Baidhawy
ngakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian, bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk memperluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang pengobatan dan keuangan Islam. Namun, imperatif utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya. Penelitian dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar definisi Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kolaboratif dengan kalangan spesialis luar yang berkualitas. Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi Muslim mengenai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai Islamic Studies. Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehidupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperangkat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks maupun sebagai realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikatnya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keislaman klasik. Meskipun demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini, bidang Islamic Studies perlu juga memasukkan pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern. Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani kesenjangan antara pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena mahasiswa seringkali berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang keliru tentang Islam dan masyarakat Islam. Teks-teks dari tradisi klasik besar telah dihasilkan dan dipergunakan oleh kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh kesatuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini. Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam. Banyak pertanyaan dapat diajukan tentang dua pendekatan di atas, barangkali yang paling relevan adalah, apakah kebutuhan untuk mengkaji Islamic Studies hanya berangkat dari kebutuhan diplomatik dan bisnis, atau apakah ia lebih jauh untuk memasukkan ruang lingkup yang luas seperti studi dan penelitian guna memperoleh kearifan dan pengetahuan utama.
Zakiyuddin Baidhawy
Islam kini sedang menjadi fenomena universal di dunia ini. Ini memunculkan satu pertanyaan lain, yakni apakah fungsi universitas diharapkan dapat menyediakan kebutuhankebutuhan bagi komunitas-komunitas minoritas untuk memahami keimanan mereka di dalam identitas lokal yang melekat dan konteks multikulturalnya. Jika kebutuhan semacam ini tidak dicapai secara mapan, akankah ia membuka pintu luas bagi ekstremisme untuk menawarkan jasanya yang mematikan? Salah satu isu yang muncul dalam perbincangan mengenai Islam di kampus adalah bahwa Islamic Studies merupakan suatu wilayah kontestasi sebagian karena Islam itu sendiri adalah sesuatu yang dikontestasikan. Persoalan ini membawa pada pertanyaan: adakah suatu wilayah, apa pun namanya, yang dipikirkan oleh akal manusia yang tidak dikontestasi? Nilai keimanan atau kebudayaan apa pun berangkat dari komitmen para pemeluknya. Untuk mencapai masyarakat multikultural yang homogen, ada suatu kebutuhan untuk menerapkan metodologi serupa pada semua keimanan. Dengan kata lain, definisi tentang iman merupakan fenomena sosial yang berhubungan dengan bagaimana keimanan itu sendiri melihat dirinya. Dengan mempergunakan pendekatan intensional, maka dapat dikatakan lebih layak jika kita memerhatikan dua hal, yaitu antara “studi tentang Islam” atau “Islamic Studies” yang memiliki makna lebih khusus. Kita dapat pula mengatakan bahwa kesulitan dalam mendefinisikan Islamic Studies mencerminkan kebutuhan akan perdebatan lebih lanjut tentang masalah ini. Pada masa lampau, Islamic Studies diajarkan di dalam departemen-departemen yang berhubungan secara luas dengan lokasi geografis, seperti Studi Kawasan Timur, Studi Kawasan Timur Tengah dan Studi Kawasan Timur Dekat.
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
Ini memunculkan masalah terminologi dan judul, bahkan persoalan konteks yang tetap valid khususnya pada periode kolonial, yang mempersepsi Islam sebagai salah satu dorongan utama bagi kohesi sosial dan dialog antariman. Barangkali satu proposal yang bisa diajukan ialah pengembangan suatu bentuk studi tentang Islam yang memasukkan pendekatan tradisional dan pendekatan luas, serta kombinasi dari keduanya dalam rangka memperluas disiplin daripada membingungkan antara keduanya.
B. Metodologi Studi Islam: Dimensi Keilmuan dan Keagamaan Masalah utama yang menopang definisi Islamic Studies tampaknya muncul dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemudian bagaimana diajarkan. Di negara-negara Barat umumnya, kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat, ini bertentangan dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang tidak mengkontestasi agama tersebut. Kajian Islam di Barat, Inggris misalnya, memberikan mahasiswa strata satu berbagai materi yang relevan dengan Islam dengan mempergunakan metodologi pengajaran yang dilandaskan pada objektivitas dan integritas. Pendekatan atas Islamic Studies di sini sering didasarkan atas pandangan akademik Barat tentang Islam yang terpusat pada berbagai metodologi ilmiah seperti orientalisme, ilmu sosial atau antropologi kontemporer. Sering dijumpai mahasiswa Muslim di sini akan menghadapi tantangan nyata di mana pengetahuan dasar mereka tentang agama dan sejarahnya sendiri diuji secara kritis. Pada tingkat pasca sarjana, masalahnya lebih kompleks dan seringkali ketidaksepakatan mengenai pendekatan pada apa yang dapat dan
Zakiyuddin Baidhawy
tidak dapat mencapai kebenaran membawa pada perubahan dalam subjek yang dikaji mahasiswa. Salah satu topik favorit adalah studi kritis dan penyuntingan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab. Cukup mengagumkan melihat bagaimana ada kemauan para pengkaji tersebut untuk menerima studi kritis itu dan mereka menyatakan bahwa pendekatan semacam ini tidak perlu kompromi dengan masalah keimanan mereka. Hal serupa juga sering muncul ketika menguji ide-ide para pemikir Muslim modern tentang Islam dan pendekatan Barat terhadap pengetahuan. Ketakutan bukan datang dari Barat, melainkan dari sains yang dapat menjadi pendekatan yang salah arah jika dipercaya sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Pandangan ini juga digaungkan oleh para sarjana Barat sendiri. Salah satu kritik paling umum terhadap pendekatan “sains” diungkapkan oleh Stephen R. Sterling ketika ia menguji pendekatan sains terhadap subjek dari studi tentang alam. Mengutip Werner Heisenberg, ia mengatakan: “Melalui intervensinya, sains mengubah dan membentuk kembali objek”. Berikut ini adalah beberapa perdebatan seputar metodologi dalam Islamic Studies. M. Izzi Dien (2003: 243-255) secara gamblang menggambarkan perdebatan metodologi tersebut mencakup kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat, pendekatan apologetik Muslim terhadap metodologi penelitian, pendekatan radikal Muslim terhadap metodologi Barat, dan kritik metodologi Muslim dari dalam.
1. Kritik atas Metodologi Barat Kritik akademisi Muslim atas metodologi Barat muncul baik dalam bentuk kritik seimbang maupun kritik radikal. Pendekatan intelektual Barat terhadap pengetahuan dan pembelajaran Pengertian dan Metodologi Studi Islam
ditegakkan di atas hukum pertentangan antara dua hal yang bersebrangan yang bertabrakan dengan filsafat Islam tentang kehidupan yang berdasarkan pada apa yang disebut teori fusi dua hal yang bersebrangan. Suatu teori yang juga disebut sebagai teori wasathiyyah (teori jalan tengah). Teori ini didasarkan atas Al-Qur’an surat al-Baqarah/2: 143 yang berbicara tentang “ummah wasath”, yang mampu merekonsiliasi dua hal yang bertentangan dengan tujuan untuk meraih harmoni sosial. Mutakallim abad pertengahan Islam, Abu Hamid al-Ghazali mengatakan bahwa wasathiyyah adalah berdiri di tengah-tengah antara dua ujung yang saling berlawanan. Karena itu, dalam masalah keuangan misalnya, ia berarti berdiri di antara berlebihlebihan dan serba kekurangan, atau antara sembrono dan terlalu hati-hati. Filsafat Barat menemukan akar-akarnya dalam kebudayaan Yunani-Romawi yang memotong keimanan orang-orang Timur yang asli terhadap Yesus dan mengkombinasikannya dengan jiwa dan tubuh. Pandangan dunia Islam berbeda dari pendekatan Barat terhadap pengetahuan ilmiah. Faruqi (1995) memaparkan bahwa ilmu-ilmu sosial memperoleh posisi mandiri di universitas-universitas satu abad yang lalu, padahal akal yang telah membawa pada penemuan dan keberhasilan kembali pada dua abad lebih; pembentukan metodologi skeptis kembali pada revolusi Prancis yang berusaha melawan kendali gereja. Kemenangan metodologi skeptis telah memberikan otoritas yang memperkenankannya menolak metodologi alternatif, bahkan metodologi ilmu-ilmu alam yang tergantung hanya pada apa yang dapat dilihat dan dirasakan. Salah satu hasil dari metodologi skeptis di atas adalah kesimpulan bahwa seluruh dunia ini tunduk pada penafsiran, dan
Zakiyuddin Baidhawy
karenanya, penemuan apa pun oleh akal yang membawa pada kejadian fenomena tertentu dipandang sebagai sebentuk penafsiran. Penafsiran semacam ini, secara inheren akan membawa pada pengendalian dan pengarahan terhadap apa yang didefinisikan. Ilmu-ilmu alam akan membawa pada kontrol atas seluruh alam, akibatnya apa pun dapat diberlakukan pada alam dan ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada pemahaman manusia dan perilakunya dengan tujuan untuk menggunakannya demi mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Apa yang luput dari analogi semacam ini adalah kenyataan bahwa manusia dan perilakunya secara keseluruhan tidaklah tunduk pada aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sama yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan fenomena alam. Perbedaan antara fenomena alam dan fenomena kemanusiaan adalah bahwa manusia mengandung komponen-komponen lain serta mengikuti sistem dan pola eksistensi yang berbeda secara keseluruhan. Dengan kata lain, bila materi seperti metal, kayu, dan komponen-komponen alam lainnya dapat diukur secara fisik, hanya sebagian saja dari manusia yang dapat diukur secara empirik. Masih ada bagian-bagian lain dari manusia dan alam ini yang melampaui sains dan di sini bukan hanya jiwa dan sentimen manusia, bahkan juga pola-pola perilaku yang dipandang sebagai kebudayaan, agama, dan tradisi individual. Keseluruhan nilai ini tidak akan mungkin tanpa kehendak pengamat untuk melihatnya. Semua ini tidak akan tercapai tanpa simpati pengamat sembari mempertimbangkan nilai dari apa yang ia saksikan dan memasukkan amatan tersebut ke dalam hasil-hasil penemuan. Inilah salah satu alasan mengapa pendekatan dalam mengkaji manusia yang disediakan oleh Barat pada umumnya gagal menyediakan paradigma yang valid untuk
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
mengkaji Muslim dan masyarakat Islam. Ini sejalan dengan pernyataan Smart (1989: 11) bahwa sejarah agama-agama mesti lebih dari mengurutkan peristiwa-peristiwa: ia harus berupaya untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa itu sendiri. Jadi, kunci untuk masuk ke dalam makna peristiwa-peristiwa Islam ada dalam pemahaman tentang kepasrahan individu kepada Tuhan atau Islam yang dijalani oleh para pengikutnya selama perjalanan hidup mereka. Kini, dalam Islamic Studies di Barat, para sarjana Barat perlu mengapresiasi metodologi kajian Islami dalam rangka memahami bagaimana cara Muslim berpikir. Dengan definisi metodologi semacam ini maka “dimensi spiritual” sekaligus “dimensi ilmiah” dapat dijangkau secara bersamaan.
2. Pendekatan Apologetik Insider Pendekatan lain yang muncul dalam persoalan metodologi kajian keislaman ialah pendekatan apologetik. Bila sains modern berdasarkan atas dunia fisik dan pedoman objektif, Islam tidak berusaha membatasi pemikiran manusia atau mencegah kajian ilmiah mandiri. Islam sebagai keimanan memiliki sedikit reservasi dalam memandang fakta-fakta ilmiah yang abstrak dan itulah yang memotivasi perluasan metodologi eksperimen yang dikembangkan dalam lingkungan Islam sebelum ditransfer ke Barat. Pendekatan apologetik menyatakan bahwa Islam mengadopsi pencarian pengetahuan dan tidak membatasi diri sumber pengetahuan hanya pada pemahaman dunia materi manusia. Penting juga untuk dicatat, bukan dalam rangka menyifati Islam dengan keterbelakangan sosial, bahwa Islam merupakan hasil dari suatu akumulasi persoalan dan situasi, seperti kolonialisme Barat, perbudakan, dan praktik-praktik sosial yang ti-
10
Zakiyuddin Baidhawy
dak ada hubungannya sama sekali dengan jiwa Islam (al-Umari, 1987: 110). Argumen semacam ini sering dinyatakan oleh kalangan Muslim dan membawa pada persoalan apakah mungkin atau tidak memisahkan Islam sebagai teori dari praktik aktualnya sebagaimana teramati dalam realitas dunia Islam. Realitas yang salah arah ini rupanya melahirkan dekadensi dan kemunduran pada semua tingkatan dan kita dapat mempertanyakan apakah Islam merupakan pandangan hidup yang gagal dalam masyarakat kontemporer. Jika benar, maka akan ada kebutuhan untuk mengadopsi metodologi berpikir yang lebih sejalan dengan masyarakat modern sebagai sarana untuk mencapai apa yang disebut kebudayaan yang lebih maju. Ini penting setidaknya bagi mereka yang hidup di Barat dan membutuhkan Islam pribumi yang berdasarkan atas nilai-nilai asli dan Islam tentang sains dan pengetahuan kehidupan. Metodologi semacam ini membutuhkan bahan-bahan sebagai berikut: Pertama, faktor manusia. Setidaknya diperlukan jumlah yang cukup sumber daya manusia yang dapat membawa pesan pemahaman keagamaan yang layak. Dapat dinyatakan bahwa hal ini mungkin dicapai meskipun pada kenyataannya tidak semua tingkatan masyarakat memiliki disiplin keislaman yang sama sehingga tersedia sejumlah orang yang mampu memimpin lainnya untuk meraih tujuan yang benar. Untuk mencapai tujuan ini, Islam menyandarkan diri pada sedikit kaum terpelajar, yang mendorong upaya-upaya keilmuan dan peningkatan kaum Muslim yang berpengetahuan. “Dan hendaklah kamu menjadi orang-orang yang berorientasi ketuhanan (rabbaniyun) dalam apa yang kamu ajarkan dan apa yang kamu pelajari” (QS. Ali Imran (3): 79).
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
11
Kedua, upaya mempopulerkan tujuan Islam dalam menciptakan banyak masyarakat dan kebudayaan sehingga Islam berhasil sebagai fenomena kebudayaan sekaligus fenomena keagamaan. Dua hal ini setidaknya dapat diidentifikasi, jika tidak dikatakan sebagai pemisahan. Pemahaman tentang Islam sebagai agama akan lebih baik dipahami jika dilihat dari dalam, sebagaimana disebut oleh Smart sebagai dimensi-dimensi agama (akan dijelaskan pada bab II). Lebih lanjut, ada kebutuhan untuk mengidentifikasi hubungan integral antara hakikat Islam sebagai agama yang diwahyukan Tuhan dan sebagai fleksibilitas kultural yang membuatnya dapat diterima. Jika Islam dipahami murni sebagai agama, ini akan membuatnya seperti sel yang kosong dan akan kehilangan kekuatan dan kemampuan dinamisnya untuk melahirkan hasrat dan visi kemanusiaan. Pada titik ini penting untuk mencatat perbedaan antara agama Islam sebagai “sel” dalam pengertian metaforis dan dimensi mistiknya. Menurut Dien (2003), Islam dapat menjadi agama yang terfosilkan jika ia dikaji dengan menghilangkan unsur-unsur kultural yang integral atau unsur-unsur ketaatannya. Metodologi kajian Islam berangkat dari sini, jadi bukan semata sebagai agama, melainkan juga sebagai hakikat kehidupan yang memandang semua aspek hidup ini dalam keseluruhannya sebagai unit yang lengkap. Prinsip dari kesatuan realitas (haqiqah) penting di sini. Metodologi penelitian menyangkut semua pencarian atas realitas yang diderivasi eksistensinya dari Tuhan, dan derivasi maknanya dari Kehendak-Nya. Dengan memahami hal ini, pemahaman Islam tentang realitas dapat menjadi lebih dekat kepada pendekatan model kontemporer vis a vis pengetahuan, yang seringkali gagal menerima pandangan Islam bahwa potongan-potongan realitas akan bersama-sama
12
Zakiyuddin Baidhawy
seperti jigsaw yang membentuk gambar utuh. Pada akhirnya, konsep tentang realitas yang dipahami sebagai wujud yang diderivasi dari kesadaran Tuhan yang Maha Esa, patut dipahami dengan cara seperti di bawah ini. Berbagai posisi tentang realitas Islam, seperti dipahami kaum Sufi adalah fenomena yang divergen yang dapat dipahami menurut berbagai perspektif dan aspek, meskipun sumber dan tujuannya serupa. Ada kontradiksi yang muncul, namun salah antara mistisisme/sufisme dan arus utama Islam. Padahal sufisme adalah sisi paling dalam dari struktur realitas Islam sepanjang ia dipahami dari sumber dan tujuan Tuhan. Tuhan dalam Islam adalah Pencipta dan Pemelihara dan hubungan antara Dia dan manusia itulah yang dimaksud Sufi. Jika dikotomi ini dipahami, maka hasilnya tidak kontradiksi; sebaliknya kesalahpahaman mengenai hal ini mengarah pada penyimpangan dan penghargaan Islam atas jiwa manusia akan disalahmengerti. Hubungan spiritual antara Tuhan dan manusia memiliki aspek sosial, yang dalam dunia Sufi disebut sebagai jalan kolektif dan jalan individual menuju Tuhan, tariqah. Tariqah berarti menerima banyak jalan dalam keimanan Islam. Sayangnya, ada ketidakseimbangan di mana ortodoksi Islam telah menuduh heterodoksi sebagai bidah. Salah satu alasan mengapa Islam menolak individu-individu seperti al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922) adalah karena ia memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari wujud Tuhan, daripada sebagai wujud bersama Tuhan. Di sinilah letak pentingnya epistemologi dalam Islam, dan istilah-istilah yang digunakan dapat memiliki kekuatan dalam menyampaikan gambaran yang memadai. Ini merupakan salah satu sumber utama kesepakatan antara metode penelitian Islam
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
13
dan metode penelitian objektif. Contoh yang relevan mengenai hal ini dapat dilihat pada berbagai isu yang dihadapi para sarjana Barat dan Islam ketika mengutip Al-Qur’an. Sarjana non-Muslim berasumsi bahwa Al-Qur’an bukan firman Tuhan; dalam banyak tulisan kaum orientalis awal digambarkan bahwa Al-Qur’an merupakan perkataan Muhammad. Di sisi lain, sarjana Muslim percaya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan sehingga mereka memulai kutipan dengan “Tuhan berfirman”, sementara sarjana non-Muslim memulainya dengan “Muhammad berkata”. Kita menghadapi masalah nyata di sini. Bila kita menerima pandangan sarjana non-Muslim itu berarti akan menyakiti keimanan Muslim atau para mahasiswa Muslim yang datang ke Barat untuk memperluas pengetahuan mereka. Barangkali kompromi terbaik adalah menganjurkan kepada mereka agar memulai dengan ungkapan “Al-Qur’an mengatakan”, atau “dinyatakan dalam Al-Qur’an”. Mesikpun ini juga dikritik sebagai penegasian aspek ketuhanan, namun sudah merupakan solusi terbaik untuk mendamaikan masalah di atas.
3. Kritik Radikal atas Metodologi Barat Dalam bahasan ini menarik untuk mencatat komentarkomentar yang sering muncul dari kalangan fundamentalis Islam mengenai metodologi Barat. Komentar-komentar mereka sering mempertanyakan secara radikal: Apakah para mahasiswa atau pengkaji di universitas-universitas Barat mampu memenuhi tantangan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam dan setia dengan prinsip-prinsip yang diterima secara mapan dalam ilmu-ilmu keislaman? Temukan apa yang Islam katakan tentang peristiwa baru merupakan satu hal, dan merusak Islam adalah hal lain. Metodologi apa yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks sumber Islam dan kepada siapa Anda mempelajarinya? 14
Zakiyuddin Baidhawy
Jika Anda menggunakan teknik-teknik Barat, maka Anda akan menafsirkan Islam sesuai dengan kritik Heidegger dan kritik sastra yang banyak digunakan Nietzsche dan Foucault. Jika Anda melakukan studi bahasa, maka Anda akan bersandar pada antropologi dan kritik sastra, hal ini juga berarti Anda kembali kepada Levi Straus dan lain-lain dan problem relativitas. Kini, satu pertanyaan muncul ketika Anda menerapkan apa pun teknik-teknik ini adalah bagaimana Anda akan melihat AlQur’an dan Sunnah? Akankan Anda memandangnya hanya sebagai teks-teks sejarah? Jika Anda mengatakan demikian, maka Anda telah membuat kesalahan besar dalam bidang Akidah. Inilah masalah-masalah yang muncul dalam Islamic Studies di Barat, menentang namun tidak memiliki basis yang nyata dalam sumber-sumber Islam. Jadi, kita bukan Barat secara keseluruhan dan bukan pula Muslim secara keseluruhan dalam hal pemikiran. Komentar mereka juga menyatakan, mungkin ada manfaat melakukan penelitian di Barat dalam Islamic Studies, namun karena kami adalah Muslim, kami harus setia kepada agama kami (Ahl-Hadith, 2006).
4. Kritik Metodologi dari Dalam (from within) Identitas Islam kontemporer, baik pada tingkat individu maupun kolektif, mengalami kekurangan intelektual dan psikologis yang paralel dengan kemampuannya untuk bertindak dan melakukan. Dua kekurangan ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan metodologis dalam mengkombinasikan teori dan praktik (Malkawi, 2002: 31-36). Kekeliruan metodologis dalam komunitas Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, kesalahpahaman tentang realitas dan bagaimana berhubungan dengannya disebabkan mengabaikan sepenuhnya apa yang nyata dan apa yang merupakan ideal-ideal abstrak tanpa berupaya Pengertian dan Metodologi Studi Islam
15
menerapkan yang nyata kepada yang ideal dalam kehidupan keseharian. Ini seringkali tampak ketika ideal-ideal historis menjadi sebentuk pelarian dari tanggung jawab sosial untuk membenarkan kegagalan hidup mereka. Kedua, kesalahan dalam memahami hubungan antara sebab dan akibat, khususnya dalam kesalahpahaman tentang doktrin tentang ketergantungan kepada Tuhan dimaknai sebagai penghapusan peran sebab dalam penciptaan dan akibatnya. Ketiga, kekeliruan memahami pandangan komprehensif Islam tentang alam. Ini dapat dilihat pada hubungan antara komponen-komponen yang nyata dan yang gaib dalam kosmos ini atau dengan melihat pada bagian parsial dari masalah ini atau faktor waktu. Lebih jauh kita dapat menambahkan bahwa pendekatan Islam terhadap pengetahuan menerima dua macam kebenaran, yaitu yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh rasio manusia (seperti nasib, kehendak, kehidupan/kematian) dan kebenaran yang berkaitan dengan fakta-fakta empirik dalam kehidupan. Jadi, tanpa rasio manusia, ilham Tuhan tidak dapat diterima dan diverifikasi, dan keimanan Islam tidak dapat ditegakkan sebagai sistem kepercayaan berdasarkan atas konsep benar dan salah. Teori tentang Islam hanya dapat dianggap benar jika ia dilihat sebagai fusi dari unsur-unsur Islam yang tidak dapat dipisahkan –teologi, hukum, dan etika–. Menurut Sardar (1985), kompartementalisasi antara hukum dan etika dalam tradisi intelektual dan keagamaan Barat tidak memiliki tempat dalam Islam. Pada praktiknya, Muslim kontemporer berhadapan dengan realitas yang berbeda. Realitas itu adalah bahwa Muslim kontemporer diarahkan oleh kebudayaan Barat yang sering mengalami pemisahan antara tubuh dan jiwa. Pemisahan ini lambat laun merusaknya.
16
Zakiyuddin Baidhawy
Peradaban Barat telah membuktikan kekuatan dan supremasinya terhadap peradaban-peradaban lain melalui peran mereka dalam sains, teknologi dan industri. Inilah peradaban yang mempergunakan metodologi empirik dan organisasi untuk mendekati fenomena alam untuk melayani kebutuhan manusia. Dengan mengkombinasikan peradaban instrumental ini dengan paham Islam tentang nilai, kemajuan yang berarti bisa diraih di dunia Muslim khususnya dan menyebar ke seluruh dunia pada umumnya.
5. Problem Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik Problem metodologis juga muncul berkenaan dengan siapakah yang dipandang lebih otoritatif dalam melakukan kajian Islam, apakah mereka yang menjadi orang dalam atau mereka yang disebut sebagai orang luar. Problem serupa sesungguhnya pernah dialami juga dalam disiplin Sejarah Agama-agama (The History of Religions). Pada akhir abad ke-20, Belanda telah memberikan kontribusi terhadap studi akademik agama-agama yang berupaya mengembangkan suatu metode empirik bagi Religious Studies baik dalam hal klasifikasi wacana maupun istilah-istilah yang dipinjam dari kosakata teknis dari ilmu-ilmu bahasa yang mereka transformasikan ke dalam Antropologi Budaya. Dalam karya-karya mereka tampak usaha untuk membedakan antara dua tipe berbeda tentang perbincangan mengenai agama, yakni pendekatan emik yang menyajikan pola-pola pemikiran dan asosiasi simbolik yang diungkap dari perspektif kaum beriman, dan pendekatan ilmiah etik yang melibatkan analisis historis mengenai hubungan antara ide dan masyarakat sembari membatasi dari pelibatan klaim kebenaran emik tentang realitas meta-empirik (Feener, 2007: 264-282).
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
17
Memang ada kesulitan berkaitan dengan dua model kajian semacam itu, khususnya pada masa modern ketika diterapkan pada Studi Islam. Ada pertentangan antara pendekatan akademik yang mendorong peneliti dan pengkaji memosisikan diri seolah-olah sebagai “orang luar” (outsider) dan pendekatan konfensional yang hanya menerima perspektif “orang dalam” (insider); antara pengkaji Muslim dan pengkaji Barat. Suatu perdebatan yang sering kali menjadi hambatan dalam wacana publik tentang identitas dan politik kekuasaan. Mempertimbangkan realitas historis tersebut, pemikiran kembali tentang bidang sejarah intelektual Muslim harus dimulai dari pengakuan mengenai fakta bahwa lebih dari satu abad hingga kini, kita masih dihadapkan dengan wacana pendekatan emik dan pendekatan etik tentang Islam, dan persoalan ini mengandung dinamika yang kompleks dan kreatif dalam pemikiran Islam. Barangkali contoh yang paling menonjol dalam interaksi polemik intelektual antara sarjana Barat modern dan sarjana Muslim dapat dijumpai pada perdebatan di akhir abad ke-19 antara Jamal al-Din al-Afghani dan Ernst Renan tentang hubungan Islam dan sains dan kemajuan yang dipandang mencakup modernitas pada masa itu. Perdebatan ini memunculkan kontroversi yang berlanjut sepanjang abad ke-20 sebagaimana dikemukakan oleh karyakarya para pemikir seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan Sayyid Ahmad Khan, dan belakangan Sayyid Qutb, Abul A’la alMaududi, Ismail Raji al-Faruqi dan lain-lain. Seluruh dunia Muslim pada periode modern menyaksikan pengaruh yang kompleks dari kemajuan ilmiah Barat atas perkembangan perdebatan di kalangan internal sarjana Muslim. Kita bisa melihat bagaimana pengaruh penemuan-penemuan orientalis modern terhadap karya Ibnu Khaldun atas ilmuwan
18
Zakiyuddin Baidhawy
sosial Muslim di Afrika Utara, dan pengaruh karya Geertz atas perdebatan yang terjadi di kalangan Muslim Indonesia. Karyakarya semacam ini mendapatkan tempat di kalangan Muslim di mana pendekatan eklektik lebih tampak dalam karya-karya itu daripada pendekatan yang mengkombinasikan antara para penulis Barat yang sering dikutip dalam literatur Islam modern dengan karya-karya klasik era kolonial, seperti penggambaran Carlyle tentang Muhammad dalam On Heroes, Hero-Worship, dan The Heroic in History serta karya Lothrop Stoddard New World of Islam secara bertahap memberikan arah bagi karya-karya seperti Maurice Bucaille La Bible, Le Coran, et la Science, dan karya Samuel Huntington Clash of Civilizations. Dalam menilai perkembangan tersebut, tugas yang paling penting bukanlah menemukan bibliografi dengan judul-judul yang popular, namun lebih dari itu ialah melakukan evaluasi kritis terhadap karya-karya semacam itu yang sesuai dengan kebudayaan intelektual dan kebudayaan popular masyarakat Muslim modern. Selama abad ke-20, karya-karya sarjana Barat tentang Islam mulai memperoleh tempat dan sebagai sumber rujukan dalam retorika para sarjana Muslim modern dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia, yang telah melahirkan banyak pemikir Muslim modern, dari M. Iqbal hingga Agus Salim. Contoh-contoh serupa sangat berlimpah dalam berbagai literatur Arab modern dan bahasa-bahasa Muslim mayoritas, di mana kecenderungan mulai mengarah pada meningkatnya keterbukaan terhadap pengaruh para pemikir Barat atas mereka yang melakukan kajian Islam dan masyarakat Muslim yang sedang berkembang. Pengaruh pertama yang paling umum datang dari ilmu-ilmu sosial, seperti terlihat bagaimana pengaruh ilmu sosial modern atas
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
19
karya Ziya Golkap di Turki, Ali Shariati di Iran, Nurcolish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif di Indonesia. Yang lebih baru adalah perkembangan hermeneutics dan bidang-bidang kelimuan Humaniora yang juga mencerminkan perkembangan lebih jauh dalam karya-karya para pemikir seperti Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd. Sedikit contoh dari Indonesia pada pertengahan abad ke-20 juga dapat disebutkan di sini. Dalam karyanya tentang sejarah sufi, Hamka memuji Louis Massignon sebagai pilar utama kaum orientalis dan mengutip secara positif karyanya tentang al-Hallaj, sekaligus teorinya tentang peran kaum sufi Irak abad ke-10 bagi perkembangan Islam di kepulauan Indonesia (Hamka, 1952: 116). Karya HAR. Gibb yang memberikan gambaran holistik tentang hakikat Islam menjadi dominan dalam ceramahceramah umum dan karya-karya M. Natsir yang dipublikasikan sepanjang pertengahan abad ke-20. Bahkan, pengaruh konsepsi tentang Islam yang asalnya berkembang di Barat pun terjadi pada pemahaman kaum fundamentalis modern tentang Islam sebagai sistem dan pandangan hidup menyeluruh, dan ini diakui lebih luas dalam berbagai analisis tentang masa depan intelektualisme Muslim modern. Penting untuk dicatat, situasi ini bukan merupakan akibat dari perkembangan pada tingkat intelektual murni, melainkan lebih dari itu adalah situasi yang muncul dalam lingkungan historis tertentu di dalam konteks kolonialisme dan sistem kekuasaan dan pengetahuan yang tidak simetris antara Islam dan Barat–konteks yang sangat disadari dan menjadi sasaran kritik para pemikir Muslim modern-. Dengan kata lain, bagi para sejarawan, perkembangan modern semacam ini, baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, mesti dipertimbangkan
20
Zakiyuddin Baidhawy
ketika menjelaskan penggunaan simbolisme keagamaan dan kultural sebagai alat analisis untuk memikirkan kembali dan merekonseptualisasi pemikiran dan praktik-praktik dalam masyarakat Muslim modern.[]
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
21
22
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 2
RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM
A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya
S
etiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji membuat batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada intinya adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan. Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai Realitas Ultim (the Ultimate Reality). Realitas Ultim di sini artinya sesuatu yang “mengesankan dan menantang kita”. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi tentang adanya kesadaran, yakni pemahaman dan konsepsi; respon dipandang sebagai Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
23
bagian dari perjumpaan; pengalaman tentang Realitas Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan yang dialami; dan kita perlu memahami karakter situasional dari pengalaman keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu. Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karenanya, pengalaman keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual, afeksi, dan kesukarelaan. Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Para tokoh pembawa agama sepanjang masa dan di manapun telah memberikan kesaksian tentang intensitas ini baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Dalam Islam misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah membangkitkan spiritualitas Nabi Muhammad, dan para tokoh lainnya seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hanbal, al-Afghani, dan sebagainya. Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-praktik dan tindakan-tindakan kita dalam keseharian merupakan bukti nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati. Empat kriteria tersebut menggarisbawahi bahwa pengalaman agama sejati merupakan pengalaman batin dari perjumpaan manusia dan pikiran manusia dengan Tuhan. Karena pengalaman batiniah itu sifatnya personal dan unik, maka pengalaman keagamaan itu sendiri sulit untuk dijadikan sebagai objek lang-
24
Zakiyuddin Baidhawy
sung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam. Meskipun demikian, para pengkaji agama-agama tidak perlu khawatir, karena pengalaman keagamaan bisa dipelajari melalui bentuk-bentuk ekspresinya yang meliputi tiga hal sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini. Ekspresi dalam Pikiran Ekspresi pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah ungkapan intelektual orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhannya. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan ini yang utama berbentuk mitos. Mitos adalah cara yang unik dan primitif untuk memahami realitas. Di dalam realitas mitos yang agung, konsepsi manusia tentang ketuhanan benar-benar dapat diartikulasikan. Simbol adalah cara atau wahana untuk mengartikulasikan konsepsi manusia tentang relitas Tuhan. Ekspresi kedua dari pengalaman keagamaan dalam pikiran ialah doktrin dan atau dogma. Doktrin atau ajaran berfungsi untuk: mengeksplikasi dan mengartikulasikan keimanan; merupakan aturan normatif bagi kehidupan dalam ibadah dan penghambaan; untuk mempertahankan keimanan dan mendefinisikan hubungannya dengan pengetahuan lain. Dalam pengertian ini, doktrin bersifat mengikat dan bermakna hanya bagi komunitas orang-orang yang mengimaninya, dan bukan orang lain. Ekspresi teoretis dari pengalaman keagamaan dapat juga dalam bentuk lain yang disampaikan secara oral maupun tertulis. Firman-firman suci, hadis-hadis, karya-karya tafsir agama, dan bentuk-bentuk lirik, epik, dan karya-karya lainnya, kredo keagamaan, dan kesaksian imani, juga merupakan ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk pikiran. Pemikiran keagamaan yang utama meliputi teologi, kosmologi dan antropologi.
Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
25
Ekspresi dalam Tindakan Ekspresi pengalaman keagamaan dalam tindakan ialah tindakan-tindakan keagamaan yang menjadi sarana bagi perjumpaan manusia dengan Tuhannya. Dua bentuk ekspresi tindakan yang utama ialah ketaatan dan penghambaan. Keduanya berhubungan erat. Realitas Maha Agung disembah dalam suatu tindakan pemujaan dan diabdikan untuk untuk merespons panggilan dan kewajiban untuk menyatu dengan Tuhan. Maka, dalam setiap tingkatan, ibadah itu selalu bermakna (menghamba kepada) Tuhan. Disibukkan dengan kemahasucian dan keagungan Tuhan, ibadah yang dilakukan oleh manusia adalah upaya untuk menetralisasi kekurangan hakikat keprofanannya. Ibadah adalah tindakan tertinggi dari manusia dalam kehidupan ini. Ia merupakan respons atas Realitas Ultim. Ia juga merupakan pemujaan dan rasa syukur kemahaagungan dan kemahasucian Tuhan. Jadi, Studi Islam mempunyai suatu wilayah kajian yang menyangkut seluruh tindakan ibadah dan penghambaan dalam Islam, yang terungkap dalam rukun Islam yang lima –syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji–, dan tindakan-tindakan lain yang menyertainya dalam kerangka pengabdian dan penghambaan kepada Allah. Ekspresi dalam Jamaah Ekspresi pengalaman keagamaan dalam jamaah ialah pengelompokan-pengelompokan pemeluk agama dalam komunitas dan masyarakat keagamaan. Dalam dan melalui tindakan-tindakan keagamaan atau ibadah, kelompok keagamaan dibentuk. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang tidak melibatkan jamaah keagamaan. Jamaah atau kelompok keagamaan merupakan kelanjutan dari upaya eksperimentasi dari kebenaran dan 26
Zakiyuddin Baidhawy
cara menjalankan kebenaran itu. Yang dimaksud kelompok atau komunitas keagamaan itu lebih dari sekadar asosiasi atau perkumpulan, namun juga menghadirkan dirinya sendiri sebagai mikrokosmos dengan seluruh hukum-hukumnya, pandangannya tentang kehidupan, sikap dan atmosfer kehidupan. Integrasi kelompok keagamaan telah menjadi subjek banyak studi dalam Sosiologi Agama. Salah satu subjek penting dalam kajian ini ialah struktur kelompok keagamaan. Struktur ini ditentukan oleh dua perangkat faktor, yaitu faktor keagamaan dan faktor di luar keagamaan. Anugerah-anugerah spiritual seperti penyehatan dan pengajaran adalah contoh-contoh faktor keagamaan; sementara umur, posisi sosial, etika dan latar belakang merupakan faktor non-keagamaan. Ada empat faktor yang menentukan diferensiasi dalam kelompok atau komunitas keagamaan: Pertama, diferensiasi dalam fungsi. Meskipun di dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari beberapa anggota saja yang diikat dengan ikatan pengalaman keagamaan bersama, kita mesti dapat menemukan pembagian fungsi. Misalnya, anggota-anggota kelompok yang senior dan lebih berpengalaman biasanya akan menjadi pemimpin dalam ibadah atau pemujaan, sementara yang lebih muda bertugas mempersiapkan alat-alat atau benda-benda yang dibutuhkan dalam ibadah qurban misalnya. Kedua, diferensiasi atas dasar karisma. Dalam kelompok keagamaan yang paling egalitarian sekalipun, ada pengakuan tentang keragaman anugerah yang menjelaskan perbedaan dalam otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber memperluasnya menjadi karisma personal dan karisma resmi. Ketiga, diferensiasi atas dasar pembagian secara alami menurut umur, jenis kelamin, dan keturunan. Orang tua dan orang
Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
27
muda biasanya memainkan peran berbeda dalam kehidupan komunitas keagamaan baik secara individual maupun kolektif. Perempuan dan lelaki seringkali dipisahkan dalam kultus atau fungsi-fungsi tertentu, sementara di lain aktivitas mereka dapat bercampur baur. Keempat, diferensiasi atas dasar status.
B. Dimensi-dimensi Agama Islam adalah salah satu dari agama-agama yang hidup di dunia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai bagian dari agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang agama. Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keseluruhan agama-agama. Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan, sangat mungkin untuk menemukan beberapa dimensi-dimensi agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam yang dapat dijadikan objek studi ilmiah. Menurut Smart (1989), semua agama-agama yang hidup di dunia ini memiliki tujuh dimensi sebagaimana akan dijelaskan sebagai berikut. Dimensi Praktik dan Ritual Setiap tradisi agama-agama memiliki beberapa praktik keagamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya, seperti ibadah yang teratur, berdoa, persembahan, dan seterusnya. Praktikpraktik ini biasa juga disebut sebagai ritual-ritual keagamaan. Dimensi praktik dan ritual ini khususnya dipandang penting dalam agama-agama yang memiliki praktik sakramen, seperti Kristen Ortodoks Timur yang telah mempunyai tradisi panjang yang dikenal sebagai liturgi. Tradisi biara Yahudi kuno terbiasa dengan praktik pengorbanan. Demikian pula ritual-ritual pengorbanan dianggap penting dalam tradisi Hindu Brahmin. Di sisi lain, ada pula pola-pola perilaku yang tidak dapat dipandang sebagai ritual dalam pengertian baku, namun ber28
Zakiyuddin Baidhawy
fungsi untuk meningkatkan kesadaran spiritual atau ketajaman etis: praktik-praktik seperti Yoga dalam tradisi Hindu dan Budha, meditasi yang dapat menolong orang meningkatkan rasa cinta dan kesabaran, dan sebagainya. Praktik-praktik ini dapat dikombinasikan dengan ritual-ritual persembahan. Dalam konteks Islam, dimensi-dimensi praktik dan ritual keagamaan berupa rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lima rukun menjadi kategori utama ri-tual Islam dan peristiwa-peristiwa yang lebih kurang tersusun di bawahnya dalam bentuk yang teratur. Misalnya, Idul Adha/Qurban berakar dalam haji; Idul Fitri berperan sebagai penutup puasa Ramadan. Salat khusus pada saat terjadi gerhana mata-hari atau bulan. Semuanya dilakukan secara teratur. Empat dari lima rukun mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama syahadat yang secara implisit mengandung gambaran iman Muslim yang sempurna. Dua dari rukun ini juga mempunyai rujukan tempat yang kuat karena salat dan haji dipusatkan pada Ka’bah di Mekkah. Salat, puasa dan haji juga mempunyai waktu tertentu sehingga Islam memiliki serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci (Denny dalam Martin, 1985). Karena itu, Studi Islam dapat mempelajari dan mengkaji semua bentuk praktik dan ritual atau ibadah dalam Islam, baik ritual kenosis (pengosongan diri) seperti puasa Ramadan, maupun ritual plerosis (pengisian diri) seperti zakat, dan qurban. Dimensi Pengalaman dan Emosional Kita tidak dapat mengabaikan barang sejenak pun dalam mengkaji agama, termasuk Islam, untuk melihat dan memerhatikan vitalitas puncak dan pengalaman penting dalam pembentukan tradisi-tradisi keagamaan. Sebagai contoh ialah visiRuang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
29
visi yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad atau pencerahan yang dialami Budha Gautama. Ini jelas menggambarkan tentang emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman para pemeluk agama-agama. Dimensi ini merupakan makanan bagi dimensidimensi agama lainnya. Ritual tanpa emosi terasa dingin; ajaran tanpa cinta itu kering. Jadi, sedemikian penting dalam memahami suatu tradisi kita berusaha untuk masuk ke dalam perasaan-perasaan untuk merasakan kesakralan, kedamaian, dan dinamika batiniah, sensasi harapan, persepsi kekosongan, dan rasa syukur yang mendalam. Rudolf Otto (1860-1937) melukiskan dengan tepat tentang dimensi ini dengan kata “numinous”, yang artinya spirit. Dari kata ini, ia menjelaskan suatu pengalaman, perasaan yang dibangkitkan oleh suatu misteri yang menggetarkan, menakutkan, mendebarkan (mysterium tremendum), dan sekaligus misteri yang mempesona, menarik penghambaan (mysterium fascinans). Inilah yang dalam konteks Islam dapat dimengerti bahwa yang pertama merupakan manifestasi Allah sebagai al-Jalal, dan yang kedua sebagai al-Jamal. Ini semacam pengalaman mistik yang mudah dijumpai dalam semua agama tak terkecuali Islam. Dimensi pengalaman dan emosi dari para pemeluk Islam mengenai Tuhan Allah, apakah kehadiran-Nya dirasakan oleh hamba-Nya sebagai Yang Maha Agung, atau sebagai Yang Maha Indah dan Mempesona, dapat menjadi bagian dari objek kajian ilmiah dari Studi Islam. Dimensi Naratif dan Mitos Seringkali pengalaman disalurkan dan diungkapkan bukan hanya melalui ritual bahkan juga narasi-narasi dan mitos suci. Dimensi ini disebut sebagai dimensi naratif dan mitos, semacam sisi kisah, cerita dalam agama-agama. Kisah, cerita adalah tipikal 30
Zakiyuddin Baidhawy
dari semua keimanan untuk menyampaikan suatu kisah-kisah penting. Sebagian kisah itu bersifat historis, terjadi dalam dimensi ruang dan waktu nyata; dan sebagian lainnya berkenaan dengan waktu primordial yang misterius ketika dunia belum muncul dalam waktu yang belum dapat dinamakan; sebagian tentang segala hal yang datang dan berakhir pada suatu waktu; sebagian tentang kisah para pahlawan dan orang-orang suci; sebagian tentang para pendiri dan pembawa agama-agama, seperti Musa, Isa, Muhammad, dan lain sebagainya. Dalam Islam kita dapat menjumpai kisah-kisah tentang penciptaan alam semesta sebelum masa sejarah, penciptaan Adam dan Hawa dalam surga dan akhirnya terhempas ke muka bumi. Ini merupakan contoh kisah-kisah yang terjadi dalam waktu primordial yang misterius, tidak historis. Di sisi lain, terdapat kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa historis tentang kehidupan Nabi Muhammad, para sahabatnya, para pejuang Muslim, dan sebagainya. Yang tidak historis itulah yang disebut sebagai mitos; dan yang historis disebut sebagai narasi. Studi Islam memiliki bahan yang sangat kaya dengan menjadikan kisah-kisah yang naratif maupun mitos ini sebagai objek kajiannya. Kajian tentang kisah-kisah bisa bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi, kitab-kitab sirah yang tertulis, maupun kisah-kisah yang hanya ditransmisi secara oral dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dimensi Doktrin dan Filosofis Tiang penyangga dimensi naratif adalah dimensi doktrin atau ajaran. Dalam banyak peristiwa, ajaran-ajaran memainkan peran penting dalam keseluruhan agama-agama, sebagian karena cepat atau lambat keimanan harus beradaptasi dengan realitas sosial dan dengan fakta bahwa kebanyakan kepemimpinan Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
31
agama dipegang oleh mereka yang terpelajar dan berusaha mencari dasar-dasar intelektual/filosofis sebagai basis dari iman. Wajar terjadi dalam sejarah agama-agama kecenderungan mementingkan kitab suci dan doktrin. Ini tidak mengherankan karena banyak pengetahuan yang kita miliki tentang agamaagama terdahulu berasal dari dokumen-dokumen keagamaan yang dipelajari oleh kaum elite mereka. Dalam konteks Islam, dimensi ajaran tentu saja sangat mudah ditemukan dalam dua sumber utama tertulisnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Di balik ajaran-ajaran itu para pemeluk Islam dan bahkan para pengkaji Islam pun dapat menemukan muatan-muatan filosofis dari agama/Islam. Dalam haji, kita jumpai ajaran tentang rukun, kewajiban dan larangan di dalamnya. Ajaran tentang ihram (berpakaian putih-putih) selama melaksanakan haji atau umrah, secara filosofis mengandung pesan egalitarianisme, kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tawaf penuh dengan muatan filosofis bahwa beribadah bukan semata menciptakan harmoni dengan Tuhan Allah di mana Ka’bah menjadi pusat, bahkan juga melukiskan harmoni dalam makrokosmos di mana selalu ada benda-benda yang menjadi satelit dan mengelilingi pusatnya. Studi Islam dapat membuat salah satu fokus perhatiannya pada dimensi ajaran dan filosofis dari Islam itu sendiri. Kajiankajian bisa menitikberatkan pada ajaran-ajaran di satu sisi, dan ada pula yang menekankan pada dimensi filosofis dalam Islam yang tak kurang-kurangnya terus digali oleh para mahasiswa, dosen, dan pembelajar lainnya. Dimensi Etika dan Hukum Dimensi ajaran dan narasi berpengaruh pada nilai-nilai dari suatu tradisi dengan cara membentuk pandangan dunia dan 32
Zakiyuddin Baidhawy
menjawab persoalan tentang pembebasan dan penyelamatan utama. Hukum terkait dengan sumber yang melahirkannya yang disebut sebagai dimensi etika dari suatu agama. Dalam Budha misalnya, terdapat lima kebenaran utama yang mengikat secara universal, yang bersamaan dengan seperangkat aturan lainnya mengendalikan kehidupan para rahib dan pendeta dan komunitas biara. Dalam Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan, bahkan lebih dari 600 aturan yang diturunkan oleh Tuhan kepada komunitas mereka. Dalam konteks Islam, kita mengenal kehidupan yang dipandu oleh sistem hukum yang disebut syariah. Dimensi ini membentuk masyarakat baik sebagai masyarakat keagamaan maupun masyarakat politik, sekaligus kehidupan moral individual –yang menjelaskan kewajiban beribadah salat lima waktu sehari semalam, memberi makan fakir miskin dan zakat, dan seterusnya–. Tradisi yang lebih kurang terkait dengan masalah hukum ini adalah etika. Misalnya sikap etis dalam agama Kristen adalah cinta. Sumber cinta bukan hanya perintah Yesus kepada para pengikutnya untuk mencintai Tuhan dan para tetangganya, ia juga bersumber dari kisah tentang Yesus itu sendiri yang memberikan cintanya kepada umat manusia. Studi Islam dapat mengkaji baik dimensi hukum maupun etika ini. Kajian-kajian mengenai hukum Islam tentu saja sangat kaya, karena kekayaan pemikiran hukum Islam merentang dalam bentuk berbagai mazhab, seperti empat mazhab terkenal, yakni Syafii, Maliki, Hanbali dan Hanafi. Meskipun harus diakui bahwa kajian tentang etika Islam terbilang kurang berkembang pada masa modern dan kontemporer. Beberapa kajian etika Islam dapat disebut di sini adalah oleh Majid Khadduri (1984) dan
Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
33
Majid Fakhry (1991). Yang pertama mengkaji teologi keadilan, dan yang terakhir menstudi teori-teori etika dalam Islam. Dimensi Sosial dan Institusional Dimensi-dimensi yang sudah dipaparkan di muka –ritual, pengalaman, narasi, doktrin dan etika–, merupakan dimensi-dimensi yang abstrak tanpa memiliki perwujudannya dalam bentuk eksternal. Dimensi sosial dan institusional bicara tentang manifestasi eksternal dari agama. Setiap gerakan keagamaan terbentuk dalam kelompok pemeluk yang seringkali diorganisir secara formal seperti gereja, sangha atau ummah. Untuk memahami agama kita perlu melihat bagaimana agama itu bekerja di kalangan pemeluknya. Inilah alasan mengapa diperlukan suatu alat untuk menyelidiki agama, yakni suatu disiplin yang dikenal sebagai sosiologi agama. Kadang-kadang, aspek sosial dari suatu pandangan dunia identik dengan masyarakat itu sendiri, yang dalam bentuk terkecil adalah suku misalnya. Di sana terdapat berbagai relasi antara agama-agama formal dan masyarakat luas: suatu keimanan mungkin menjadi agama resmi, atau ia hanya menjadi satu denominasi saja, atau mungkin bisa mengasingkan diri dari kehidupan sosial seperti sekte. Dalam Studi Islam, dimensi-dimensi sosial, seperti pengelompokkan keagamaan Syiah dan Sunni, organisasi sosialkeagamaan ala Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, Persis, dan sebagainya, bisa menjadi bahan kajian yang menarik. Dalam kajian atas dimensi ini juga bisa diungkap bagaimana peran orangorang karismatik, orang-orang suci seperti guru, wali, mursyid, dan mistikus sufi dalam memengaruhi dan mengendalikan antusiasme kehidupan jamaahnya.
34
Zakiyuddin Baidhawy
Dimensi Material Dimensi material ialah segala manifestasi agama yang bersifat kebendaan, seperti bangunan-bangunan peribadatan (masjid, pura, wihara, klenteng, sinagog), tempat-tempat suci, pekerjaan tangan atau seni keagamaan, dan kreasi-kreasi material lainnya. Simbol-simbol keagamaan seperti salib, bulan bintang, dan sebagainya, juga termasuk dimensi material. Studi Islam dapat mengkaji aspek material dalam agama Islam. Ketika salat, kita menjumpai benda-benda yang dipergunakan dalam peribadatan ini, mulai dari sajadah, peci, mukenah, tasbih, masjid, mimbar. Ketika salat, Muslim menghadap Ka’bah sebagai kiblat. Ketika haji, Muslim mengelilingi Ka’bah, mengusap hajar aswad, di dalamnya juga ada hijr Ismail, masjid haramain, makam nabi Muhammad dan Ibrahim, dan sebagainya. Semua itu adalah dimensi kebendaan yang digunakan dalam peribadatan dan ritual-ritual lainnya. Benda-benda keagamaan yang dipandang suci bukan semata menjadi objek kajian ilmiah, bahkan seringkali menjadi objek ziarah atau wisata agama bagi para pemeluknya. Bahkan kita juga menjumpai satu benda keagamaan yang dianggap suci oleh beberapa pemeluk agama sekaligus, seperti Masjid al-Aqsa yang dianggap suci dan menjadi kiblat bagi kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim.
C. Cara Beragama Agama pada hakikatnya adalah jalan menuju Tuhan. Caracara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembaraannya menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain, sesuai dengan pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya masing-masing. Setiap orang membutuhkan cara beragama (be-
Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
35
ing religious) atau bentuk penghayatan yang selaras dengan keperibadiannya dan situasi dalam kehidupan. Dale Cannon (2002) menjelaskan tentang enam cara beragama yang dapat dijumpai hampir di semua agama-agama yang hidup di dunia, tak terkecuali Islam. Enam cara beragama itu adalah sebagai berikut: Pertama, jalan menuju Tuhan melalui pelaksanaan kewajiban tanpa pamrih, termasuk sejumlah ritual dan perbuatan baik. Cara beragama semacam ini disebut juga cara perbuatan benar (way of right action). Tujuannya ialah memenuhi peran dalam hidup ini sebagai sebuah kemestian Ilahi, menunaikan semuanya dengan kesadaran bahwa peran seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali. Cara beragama ini dalam konteks Islam memusatkan perhatian pada perbuatan dan tingkah laku yang benar. Itulah etika atau akhlak, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Ia mencakup prinsip-prinsip moral yang mendasar, aturan-aturan kelembagaan dan kewajiban-kewajiban khusus. Kedua, jalan menuju Tuhan melalui pemujaan dan ketaatan. Ini biasa disebut cara ketaatan (way of devotion). Tujuan ketaatan adalah menjadikan perasaan seseorang terbakar oleh cinta kepada Tuhan (mahabbah) semata, meniadakan semua perasaan yang lain dalam merespons karunia-Nya yang penuh kasih dan sayang. Ketiga, jalan menuju Tuhan melalui disiplin ruhani dan asketik yang dirancang untuk menarik keluar seseorang dari kesadaran duniawi (isolasi diri dari dunia) yang berpusat pada ego, menuju ke subjek dalam jiwa yang tak terbatas dan Ilahi. Inilah yang disebut sebagai cara pencarian mistik (way of mystical quest). Tujuan dari cara beragama ini ialah kesatuan mistik antara Tuhan dan hamba-Nya.
36
Zakiyuddin Baidhawy
Dalam Islam, cara pencarian mistik dikenal dengan tradisi tasawuf dan tarekat. Para mistikus atau sufi berupaya melalui disiplin mujahadah melampaui maqam-maqam zuhud dan zikir untuk meraih dan merasakan hakikat Yang Maha Mutlak, Allah swt. Untuk mencapai ini para pencari (salik) biasanya membutuhkan bimbingan spirtual dari guru, wali, mursyid atau qutub. Keempat, jalan menuju Tuhan melalui kegiatan rasional, argumentatif, dan pemahaman intelektual. Cara beragama ini bertujuan untuk meraih perubahan pandangan hidup menuju dasar mutlak segala sesuatu; supaya akal manusia mencapai perspektif dan pengetahuan “akal absolut”. Cara beragama ini disebut cara penelitian akal (way of reasoned inquiry). Dalam sejarah Islam, kita menjumpai ada sebagian individu dan kelompok Muslim yang mementingkan upaya pencarian petunjuk-petunjuk untuk memahami masalah-masalah kognitif kehidupan, bayang-bayang argumentasi rasional dan pandangan dunia yang komprehensif serta sistematik sebagai sarana menuju Tuhan. Individu ataupun kelompok semacam ini dalam lintasan sejarah Islam dikenal dengan kelompok Mu’tazilah dan Qadariah misalnya. Juga para filosof yang mengedepankan penelitian intelektual untuk memahami fenomena kehidupan. Kelima, jalan menuju Tuhan melalui partisipasi dalam pelaksanaan ritual-ritual yang telah ditetapkan (ibadah mahdah, meminjam istilah dalam Islam), yang menjanjikan tata tertib dan vitalitas dengan mengantarkan seseorang masuk ke dalam polapola Ilahiah yang orisinal dari kehidupan yang penuh makna melalui sakramen. Ini disebut sebagai cara ritus suci (way of sacred rite).
Ruang Lingkup Objek Kajian Studi Islam
37
Ritus suci dalam Islam adalah semua bentuk ibadah mahdah yang telah ditetapkan cara-caranya, waktu-waktunya, maupun tempat-tempatnya. Dalam ritus suci ini juga termasuk ritus peralihan (rites de passage) seperti upacara kelahiran, aqiqah, pernikahan, dan kematian; upacara-upacara peneguhan dan pembatalan, seperti pernikahan, perceraian, adopsi, kontrak, persetujuan; dan ritual-ritual suci yang mengakui hal-hal yang suci dan menjaganya agar terpisah dari yang profan. Keenam, jalan menuju Tuhan dengan membuka hubungan ke sumber-sumber supranatural dari imajinasi dan kekuatan, seperti peminjaman kekuatan ilahiah (kesurupan), lupa daratan, meracau, dan pengembaraan spiritual. Ini disebut sebagai cara mediasi samanik (way of shamanic mediation). Dalam konteks Islam, kita bisa menyaksikan bagaimana sebagian orang memanfaatkan perantara orang-orang suci (shaman: wali, mursyid, dukun, guru) untuk menyampaikan hajatnya kepada Tuhan. Ini yang dikenal dengan tawasul. Termasuk dalam tradisi ini pula ialah orang-orang yang mempergunakan kekuatan supranatural (melalui mantra, ajiaji, jimat, doa-doa tertentu) untuk meraih tujuan-tujuan yang sifatnya natural. Enam cara beragama di atas, dalam komunitas Islam dapat menjadi objek kajian Studi Islam. Ada kemungkinan melalui penelitian dan kajian lebih lanjut dan serius, akan dijumpai cara beragama lain yang belum disebutkan dalam kajian Dale Cannon di atas. Ini tentu saja memberikan manfaat besar bagi pemahaman kita tentang perbedaan dan keanekaragaman cara berislam di kalangan Muslim, dan menjadi bahan perbandingan pula dengan cara beragama non-Muslim dalam kerangka dialog antar agama.[]
38
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 3
SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM
S
tudi Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama Islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga terbentuknya tradisi literer di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan hanya berjalan di dalam peradaban Islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi di negara-negara Barat. Bahkan, sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7, orangorang Arab sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang Islam sepanjang masa pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis. Mitologi, teologi, dan missionarisme menyediakan formulasi utama tentang apa yang diketahui gereja mengenai Muslim sekaligus alasan-asalan bagi perkembangan wacana resmi tentang Islam. Secara mitologis, Muslim dipandang
Sejarah Perkembangan Studi Islam
39
sebagai orang Arab, Sarasen, yang merupakan keturunan Ibrahim melalui Siti Hajar dan putranya Ismail. Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi Islam, antara lain sebagai berikut: Fase Pertama (800-1100), masa di mana banyak bermunculan polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi-Kristen menyebutkan kemunculan kaum monoteistik Arab non-Yahudi dan Kristen pada abad ke-7. Polemik teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam audiensi Khalifah atau pejabat remi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai kelompok atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam ritual-ritual sosial diskursus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim. Ini semua membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, dengan tujuan hanya untuk menolak ajaran tersebut. Orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa berupaya untuk mengkonstruk pemahaman mereka sendiri tentang Islam. Karena kurangnya pengalaman kerjasama dan perjumpaan di kalangan mereka ketika hidup di bawah kekuasaan Islam di Timur, Gereja Romawi memandang Islam sebagai “yang lain”, asing, musuh Kristen yang harus dikonversi melalui kampanye militer dan missionaris. Selama empat abad kemudian hingga awal Perang Salib, orang-orang Eropa hidup dalam kebodohan tentang agama dan penduduk yang hidup bersebelah dengan mereka di Spanyol. Suku-suku Jerman, orang Slavia, Magyar, dan gerakan-gerakan bidah seperti Manicheanisme, melihat Islam sebagai salah satu musuh yang mengancam kerajaan Kristen. Sejak awal Perang Salib hingga abad ke-11, nama Muhammad dikenal negatif di kalangan Eropa. Tafsir-tafsir keagamaan Kristen mengidentikkan
40
Zakiyuddin Baidhawy
bangsa Sarasen dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dari Hajar. Fase Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny (1100-1500). Studi Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai pada abad ke-12 pada masa Peter Agung (1094-1156), seorang Biarawan Cluny di Prancis. Ini adalah masa awal Perang Salib sekaligus reformasi besar kehidupan biara, yang kemudian menjadi lembaga utama pendidikan Kristen. Para pasukan Perang Salib dan rahib-rahib –yang menerjemahkan Al-Qur’an dan teks-teks Islam– berperan sebagai pihak-pihak yang menyerang peradaban Islam, yang membentuk batas-batas di sebelah selatan dan timur dari Kerajaan Kristen Barat. Pada masa ini, Peter Agung membentuk komisi penerjemahan dan penafsiran teks-teks Islam berbahasa Arab. Banyak karya mereka yang memahami Muhammad sebagai dewa bagi kaum Muslim, penyuka perempuan, penipu, orang Kristen yang murtad, ahli ilmu sihir, dan seterusnya. Korpus Cluny dikenal sebagai permulaan kanon kesarjanaan Barat tentang Islam. Peter juga memerintahkan para penerjemah untuk menerjemahkan Al-Qur’an, hadis, dan sirah Muhammad, serta teks-teks Arab lainnya. Dalam surat-suratnya kepada para pemimpin Perang Salib I, Peter menjelaskan bahwa misi gereja adalah kepeduliannya yang utama dan bahwa Kristen dapat dan harus menang atas Islam. Namun demikian, ia juga kritis atas kesalahan fatal pandangan para penulis Kristen tentang Muhammad dan AlQur’an, dan kritis atas kampanye dan cemooh militer yang mengatasnamakan Kristen. Peter berusaha menyediakan bagi orang Eropa pandangan-pandangan otentik tentang teks-teks dari ajaran Islam.
Sejarah Perkembangan Studi Islam
41
Terjemahan paling berpengaruh adalah “Apologi al-Kindi”. Karya ini beredar dan populer di kalangan sarjana Kristen pada masa pertengahan karena karya ini menyediakan argumentasi menentang Islam. Serangan-serangan mereka ditujukan pada kenabian Muhammad, Al-Qur’an, dan jihad. Tiga tema besar ini membentuk topik-topik utama kesarjanaan Kristen pada masa pertengahan. Akhir abad 12 koleksi karya Ibnu Sina muncul dan beredar di Eropa. Sejalan dengan banyak terjemahan karyakarya filsafat dan keilmuan dari Arab ke dalam bahasa Latin, para sarjana Eropa mulai melihat dunia Muslim saat itu sebagai peradaban kaum terpelajar dan filosof, sangat berlawanan dengan pandangan negatif tentang Muhammad dan praktik-praktik keagamaan Islam. Keberhasilan militer dan diplomasi Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193) terkenal dalam legenda Eropa. Fase Reformasi (1500-1650). Sejalan dengan Eropa memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada abad ke-16, pengetahuan dan Studi Islam juga terpengaruh. Pada abad ke-14 dan 15, Eropa Timur mengganti Spanyol dan Palestina sebagai front utama antara Kerajaan Kristen Romawi Barat dan Islam. Pada pertempuran Kosovo pada 1389, Ottoman mengontrol Balkan Barat. Pada 1454, Ottoman mengambil alih Constantinopel. Banyak Kristen Ortodoks di wilayah taklukan ini masuk ke dalam militer dan pemerintahan Ottoman, yang menciptakan pluralisme keagamaan yang didominasi Islam. Gereja-gereja Ortodoks dilindungi oleh hukum Islam dan Ottoman mengakui hirarki dan tidak ikut campur dalam urusanrusuan lokal gereja, inilah yang membuat Ottoman memperoleh dukungan dari gereja. Pada fase ini kaum reformis memandang Sarasen Turki, bersama-sama Gereja Roma sebagai anti-Kristus. Bibliande
42
Zakiyuddin Baidhawy
menganggap Muhammad sebagai kepala dan Islam sebagai tubuh anti-Kristus. Kaum Protestan membandingkan Roma dan Islam, melihat Islam sebagai bidah, bukan sebagai agama lain yang mempunyai haknya sendiri. Jadi, patut dicatat bahwa kaum reformis telah menghasilkan kesarjanaan tentang Islam yang tidak berbeda dari masa sebelumnya. Pada abad ke-16, edisiedisi Al-Qur’an dan teks-teks Islam lainnya yang diterbitkan di Eropa cenderung mengikuti korpus Cluny pada empat abad sebelumnya. Fase Penemuan dan Pencerahan (1650-1900). Kesarjanaan Eropa yang baru dan orisinal tentang Islam berkembang pada akhir abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Pertama, realitas politik baru agresi Ottoman. Ancaman Ottoman terhadap Eropa tidak berkurang hingga abad ke-18, ketika kerajaan Ottoman mengalami kemunduran dan keseimbangan kekuasaan bergerak ke Eropa. Faktor lain yang mendorong bangkitnya kesadaran Eropa tentang dunia Islam adalah tumbuhnya pelayaran dan ekspansi perdagangan melampaui Mediterania. Ekspansi pasar dan militer merupakan awal dari kolonialisme dan imperialisme. Eropa membuat pakta-pakta dengan negara-negara Muslim, misalnya Prancis dan Ottoman untuk melawan bangsa Hapsburg. Di sisi lain, alasan Eropa mempelajari Islam tidak lain adalah untuk membatasi perdebatan teologis seputar Al-Qur’an, nabi, dan penaklukan Muslim awal. Secara umum, agama mulai dipandang dengan cara berbeda pada masa Pencerahan di Eropa. Pengakuan atas pemeluk agama lain yang tidak lagi dianggap sebagai bidah oleh Kristen merupakan suatu aspek penting dari konsep baru tentang agama. Teori baru tentang agama-agama manusia mengundang metode baru untuk mengkaji Islam dan agama-agama lain yang melampaui
Sejarah Perkembangan Studi Islam
43
perdebatan teologis meskipun tidak menghilangkannya. Pada akhir abad ke-16, kajian bahasa Arab diperkenalkan di Collège de France dan pada 1635 diajarkan di Leiden dan Cambridge serta Oxford di Inggris. Karya-karya sarjana ahli bahasa Arab di universitas-universitas ini merupakan kesarjanaan Eropa pertama yang luas dan serius sejak korpus Cluny pada abad ke-12. Akibat dari perkembangan ini ialah perubahan cara pandang tentang kehidupan dan misi Nabi Muhammad. Pada akhir abad ke-18, beberapa sarjana melihat Muhammad sebagai seorang dai agama yang lebih alami dan rasional daripada Kristen. Sebagian lainnya masih memandang Muhammad sebagai ekstremis seksual dan politik. Minat mengkaji kehidupan Muhammad dan aspek-aspek lain dari sejarah Islam telah melahirkan para spesialis. Edmund Gibbon (1737-1794) menulis bab khusus tentang kehidupan Muhammad dan tahap-tahap sejarah Islam awal. Ia menyajikan Muhammad sebagai manusia spiritual jenius yang dalam pengasingannya (khalwat) di Mekkah, menerima wahyu suci monotheisme. Setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah, Islam mulai memperoleh kemenangan dan kekuasaan militer. Namun, secara keseluruhan Gibbon menyajikan Muhammad secara positif. Karenanya, abad ke-18 ini diakhiri dengan suatu proyek kajian Islam yang lebih menyeluruh daripada korpus Cluny. Pada 1798, Napoleon menginvasi Mesir dengan kekuatan militer, yang dibarengi oleh tim besar sarjana yang ditugasi untuk mengkaji dan mendokumentasikan bahasa, kebudayaan, dan agama penduduk Mesir. Hubungan yang tampak antara sarana-sarana ilmiah dan tujuan-tujuan politik adalah untuk menggantikan tujuan-tujuan Injili dari Studi Islam di Eropa. Abad ke-19 ditandai dengan semakin pudarnya isolasi Timur Tengah dan bagian dunia Islam lainnya. Dunia Islam mudah
44
Zakiyuddin Baidhawy
dikunjungi dan dihubungi melalui berbagai sarana komunikasi dan transportasi. Banyak kesempatan bagi para sarjana, misionaris, pengusaha dan wisatawan Eropa berjumpa dengan masyarakat Islam saat itu. Kesempatan untuk mendiskusikan Islam dengan Muslim masih sering terjadi dalam bentuk perdebatan antara agamawan dan pemimpin Kristen dan Muslim, namun istilah polemik telah berubah, yakni merefleksikan ideide baru tentang agama dan evolusi penemuan ilmiah dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Satu perkembangan menarik bagi Studi Islam ialah munculnya historisisme, suatu gagasan bahwa peristiwa seperti kemunculan agama baru dapat dijelaskan sebagai suatu peristiwa yang tergantung dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Implikasinya adalah penolakan atas orisinalitas mutlak terhadap femonema sejarah yang dijelaskan. Implikasi lainnya ialah bahwa hanya kaum orientalis, ahli bahasa Arab yang mengkhususkan kajian teks-teks Islam, yang dianggap sebagai memiliki keterampilan ilmiah untuk mengkaji Islam. Sejarah Islam, agama, sains, seni, dan topik-topik lainnya menjadi domain yang hampir eksklusif milik orientalis daripada sejarawan atau spesialis dalam bidang agama, sains, dan seni. Bagi kebanyakan sarjana Barat sejak abad ke-19 ini, otentisitas agama harus diuji dan dinilai dalam hubungannya dengan lingkungan intelektual dan kulturalnya sendiri. Dalam sebuah kuliah tentang Nabi Muhammad, Thomas Carlyle misalnya, berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang otentik menurut sudut pandangnya sendiri, meskipun Carlyle sendiri kurang jujur terhadap analisisnya mengenai Al-Qur’an dan respons Muslim terhadap resitasi Al-Qur’an. Kuliahnya kemudian diterbitkan dengan judul The Hero as Prophet (1841).
Sejarah Perkembangan Studi Islam
45
Pembahasan tentang manusia sebagai makhluk beragama secara naluriah telah memberikan pengaruh atas studi-studi agama dan atas Studi Islam. Hampir seluruh masa pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya untuk membangun sains tentang studi agama (Religionswissenschaft). Karakteristik Studi Agama ini tergantung pada filologi sebagai metode utama dalam memahami peradaban lain, peradaban kuno utamanya. Friedrich Max Müller (1823–1900) yakin bahwa “siapa pun belum benar-benar memahami agama, jika ia hanya mengetahui agamanya sendiri”, yang dikenal dengan ungkapan Inggrisnya “he who knows one, knows none”. Islam dapat dan harus dikaji sebagai agama menurut karakternya sendiri menjadi mungkin dilakukan oleh sains filologi. Müller mensupervisi the Sacred Books of the East Series pada 1870-an, yang 50 volumenya merupakan teks-teks dan terjemahan kitabkitab suci Asia ke dalam bahasa Inggris. Volume 6 dan 9 memuat terjemahan Al-Qur’an oleh E.H. Palmer. Dengan menempatkan edisi Al-Qur’an dalam seri teks tentang agama-agama Asia, kaum orientalis berhubungan dengan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh berbagai universitas di Eropa untuk menemukan metode ilmiah mengkaji agama-agama.
A. Studi Islam dan Orientalisme Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebagaimana banyak disiplin keilmuan di universitas modern, juga muncul pada abad 19. Disiplin ini disebut Orientalisme. Humanisme klasik dengan minatnya terhadap penemuan khazanah capaian-capaian manusia pada masa lampau melalui catatan teks, sejalan dengan bergulirnya semangat Pencerahan, secara mendalam memengaruhi orientalisme. Filologi abad ke-19 lebih diwarnai dengan 46
Zakiyuddin Baidhawy
pandangan dunia Romantisisme dan pencarian terhadap apa yang berharga pada masa lalu dan “dunia liyan” yang eksotik. Karya manuskrip berbahasa Arab banyak dikaji oleh utamanya para sarjana yang dikenal luas dalam bidang studi Injili dan filologi klasik. Islam masa pertengahan telah meninggalkan sejumlah khazanah karya-karya tertulis yang sangat kaya dalam bentuk manuskrip di antara peradabanperadaban besar dunia lainnya. Ribuan manuskrip dalam koleksi di seluruh Timur Tengah, Eropa dan Amerika Utara disunting dan dikaji secara kritis dan serius. Tugas menemukan tradisi literer Islam kuno yang menghasilkan penerbitanpenerbitan teks-teks kuno yang masih dalam bentuk manuskrip merupakan capaian penting pada abad ke-19, abad orientalis. Pendidikan kesarjanaan di dunia Muslim sekaligus di Eropa dan Amerika Utara telah menghasilkan karya penting yang secara keseluruhan masih berkembang hingga pertengahan terakhir abad ke-20. Sebagaimana dalam kritik Injili dan karya sejarah tentang asal-usul dan periode awal Agama Yahudi dan Kristen, kaum orientalis telah mencoba merekonstruksi pandangan kritis mengenai asal-usul dan kebangkitan Islam. Para sejarawan abad ke-19 cenderung melihat tujuan mereka ialah menemukan dan merekonstruksi suatu gambaran tentang masa lalu secara akurat. Sebagian sejarawan Studi Islam mencatat bahwa kaum orientalis Barat dan para sarjana Muslim ortodoks cenderung memperlihatkan konservatisme dalam pendekatan mereka terhadap historiografi. Orientalisme menerima secara luas pandangan tradisional tentang kehidupan Muhammad, artikulasi Al-Qur’an pada periode Mekkah dan Madinah, dan pembentukan awal komunitas Muslim. Sementara perdebatan-perdebatan tentang
Sejarah Perkembangan Studi Islam
47
masa, asal-usul yang akurat, otentisitas banyak hadis yang disandarkan kepada Muhammad telah diperdebatkan di antara kaum orientalis dan para sarjana Muslim modern, kritik radikal atas sumber-sumber Al-Qur’an dan teks-teks Islam awal lainnya telah diupayakan bukan oleh para sarjana Muslim dan sangat sedikit oleh sarjana Barat. Meskipun ada semacam konservatisme dalam historiografi di kalangan orientalis dan para sarjana Muslim tradisional, ada kritik besar yang ditujukan kepada orientalisme pada abad ke-20 dalam karya Edward Said Orientalism (1979). Salah satu kritik paling penting terhadap orientalisme adalah bahwa disiplin ini telah melayani desain kepentingan imperial atas kebanyakan dunia Islam: dari masa invasi Napoleon ke Mesir hingga munculnya negara-negara Muslim merdeka, orientalisme dibebani dengan ambisi-ambisi ekonomi dan politik bangsa-bangsa Eropa. Faktor lain yang mempunyai kecenderungan lebih luas dalam kesarjanaan posmodern adalah mendekonstruksi sains dan disiplin yang dilahirkan oleh Pencerahan. Akibatnya, hingga akhir abad ke-20, banyak sarjana Barat memilih mengganti label departemen akademik dari Oriental Studies menjadi label Islamic Studies misalnya, yang dirasa kurang bersifat eurosentris. Perkembangan keilmuan yang merupakan tanda bagi abad ke-20 di Amerika Serikat sejak Perang Dunia II adalah studi-studi kawasan (area studies). Melalui bantuan pemerintahan Amerika Serikat atas lembaga-lembaga pendidikan tinggi terpilih, tujuan dari studi-studi kawasan ini ialah melatih orang-orang Amerika dalam bahasa dan kebudayaan masyarakat-masyarakat nonAmerika. Studi Islam banyak mengkaji utamanya tentang Timur Tengah pada pusat-pusat studi kawasan, bahkan juga pada pusatpusat studi Asia Selatan dan Asia Tenggara.
48
Zakiyuddin Baidhawy
Sebagian sarjana memandang bahwa orientalisme merupakan suatu kerangka berpikir, sebentuk wacana keilmuan tentang realitas timur Islam yang dikonstruksi di bawah kesadaran Barat sejak masa-masa kolonialisme Eropa. Orientalisme mengemban tugas berat membaca dan menafsirkan teks-teks Islam. Ia bersifat politis sekaligus romantis. Teks-teks yang paling banyak diminati oleh kaum orientalisme adalah teks-teks keagamaan dan kebudayaan Islam. Karenanya dapat dikatakan bahwa kejatuhan orientalisme identik dengan mundurnya kemampuan studi-studi linguistik tentang teks-teks keagamaan dan kebudayaan lainnya yang dilakukan oleh para sarjana Barat. Sebaliknya, Studi Kawasan lebih fokus kepada studi tentang masyarakat-masyarakat Islam pada masa modern, khususnya isu-isu kebijakan publik, sains politik, sains sosial, ekonomi dan pembangunan, serta antropologi sosial. Studi tentang bahasabahasa dan literatur Islam dilihat lebih sebagai sarana untuk tujuan-tujuan yang lain, bukan tujuan-tujuan humanistik atau tujuan keilmuan itu sendiri. Pandangan lain tentang Studi Islam disuarakan oleh sebagian sarjana yang mengkritik kegagalan orientalisme dan studi-studi kawasan. Para penganjur pandangan ini menyatakan bahwa riset tentang Islam produksi pengetahuan tentangnya merupakan suatu wilayah disiplin ilmiah, bukan pusat-pusat yang diorganisir dan dibiayai oleh kepentingan-kepentingan khusus di kalangan pemerintahan maupun agama-agama resmi. Menurut pandangan ini, kualitas apa yang kita ketahui tentang sejarah Islam harus dinilai oleh sejarawan akademis dan bukan oleh para pengkaji Arab; geografi kebudayaan penduduk Muslim harus dilakukan oleh para sarjana geografer, sejarah sains Islam diuji oleh sejarawan sains, dan seterusnya. Pada abad
Sejarah Perkembangan Studi Islam
49
ke-20, pandangan ini nampaknya mengundang domestikasi Studi Islam di dalam kerangka universitas modern, daripada mengisolasi diri sebagai subjek khusus yang tidak begitu sesuai bagi departemen-departemen dan disiplin-disiplin konvensional. Universitas-universitas modern terus terlibat dalam upaya merekonstruksi pengetahuan ilmiah di bawah suatu disiplin. Perkembangan mutakhir dalam mengkaji Islam menunjukkan minat terhadap studi perbandingan dalam sejarah dunia, yang diwakili oleh karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (3 jilid, 1974) dan menjadi tengara bagi arah Studi Islam pada abad berikutnya. Semakin meningkatnya partisipasi para sarjana Muslim dan kerjasama antara sarjana Muslim dan non-Muslim juga penting dari aspek kecenderungan mutakhir dalam Studi Islam. Karya-karya orientalis tradisional tentang Islam mendefinisikan Islam sebagai korpus kepercayaan dan norma-norma abstrak yang menentukan berbagai ruang yang menengarai suatu kebudayaan. Karya Ira M. Lapidus A History of Islamic Societies (1988) dan beberapa karta Bernard Lewis –utamanya The Political Language of Islam (1988)– merupakan contoh karyakarya yang telah diterjemahkan secara luas ke dalam seluruh bahasa Eropa, dan mengemukakan visi tertentu dan penggunaan istilah “Islam”. Kita tidak hanya perlu memikirkan judul-judul yang dipilih oleh para Islamisis utama lainnya, seperti Gustave von Grunebaum —dengan karya-karyanya antara lain Modern Islam: The Search for Cultural Identity (1962), Medieval Islam: A Study in Cultural Orientation (1946), and Classical Islam: A History, 600–1258 (1970)— untuk mulai terlibat dalam wacana akademik tentang peradaban dan kebudayaan Islam. Karya-karya ini menggambarkan penciptaan disiplin keilmuan yang secara luas diterima oleh sarjana-sarjana orientalis tentang Islam: suatu
50
Zakiyuddin Baidhawy
studi tentang Islam dalam sejarah yang menyandarkan pada kajian-kajian mengenai hukum Islam, sistem politik, dan seni serta arsitektur Islam. Dalam memperlakukan Islam, karya-karya ilmiah orientalis sedikit atau bahkan tidak memberi perhatian intelektual sama sekali dalam generalisasi berlebihan terhadap data-data tentang Islam. Generalisasi semacam itu rupanya problematik karena kebanyakan monograf fokus pada satu kebudayaan atau satu aspek, teks, masa, atau pengarang. Istilah “filsafat Islam” yang digunakan beberapa sejarawan termasuk figur-figur seperti Henry Corbin, Majid Fakhry, dan Oliver Leaman, tidak menunjukkan semacam perdebatan teoretik yang dihadapkan oleh “filsafat Kristen”, suatu paham yang ditolak oleh Émile Bréhier pada 1930-an ketika Étienne Gilson mencoba memperkenalkannya. Judul-judul terkait dengan Islam yang telah disebutkan di atas sama sekali tidak serius sebagaimana yang tampak dalam kajian tentang agama Kristen. Wacana akademik tentang Studi Islam sebagai dilakukan oleh para praktisi mutakhirnya, yaitu para Islamisis, masih belum mampu menawarkan penjelasan mengenai seberapa banyak bidang, teori, ruang budaya, disiplin, dan konsep-konsep yang dapat dihubungkan dengan kata tunggal “Islam” dan mengapa diskusi-diskusi yang berkembang tetap bersifat satu dimensi tentang Islam. Penjelasan standar yang muncul dalam perdebatan mutakhir tentang pendekatan monolitik yang berdasarkan pada studi-studi filologi melukiskan repetisi tentang dogma atau penekanan pada teks-teks suci Islam. Sejauh Islam dianggap sebagai tradisi keagamaan, metode filologi memiliki kekurangan terus diminimalisir atau ditolak oleh para penganjurnya di kalangan Islamisis. Pada hakikatnya, filologi menolak seluruh
Sejarah Perkembangan Studi Islam
51
legenda, mitologi, dan materi-materi mitos. Bahkan setelah para antropolog memandang mitos sebagai sumber yang kaya dengan informasi historis-psikologis, kaum orientalis tetap melihat dan menulis sejarah secara linear, faktual dengan kronologis yang ketat, yang membagi periode-periode sejarah menurut dinasti-dinasti politik yang berkesinambungan. Karya-karya orientalis cenderung mengabaikan realitas komunitas Muslim dengan membatasi diri mereka pada teksteks tertulis dan pada perbandingan peradaban dan budaya politik Islam dengan Kristen. Mereka menganggap Islam sebagai objek studi, topik wacana ilmiah, yang sama sekali tidak berpartisipasi dalam tradisi Islam yang hidup, mempertahankan alibi peneliti yang netral untuk menjaga jarak. Maka dalam studi tentang hukum Islam misalnya, orientalis memperlakukan perkembangan sejarah hukum sebagai penjelasan atas faktafakta tentang Islam. Padahal hukum itu lebih jauh dapat dipahami sebagai praktik daripada sekadar fakta yang tertuang dalam teks-teks teoretik. Hukum adalah upaya di mana manusia terlibat di dalamnya. Memahami suatu praktik menghendaki partisipasi. Untuk memahami hukum Islam kita harus dibekali pemahaman mengenai apa maknanya berpikir seperti seorang Muslim yang terlibat di dalam pelaksanaan hukum Islam. Tradisi orientalis menunjukkan keterbatasan kehendak untuk melakukan hal semacam ini; ia hanya mencari aman. Mencari aman semacam ini sering membawa pada kesalahan substantif, karena penolakan mereka untuk mengakui kehadiran unsurunsur kebudayaan yang diremehkan oleh skema politik mereka sendiri. Artinya, menggunakan cara pandang eksternal untuk melihat hukum telah menciptakan penyimpangan pemahaman. Hal ini mulai berubah pada akhir abad ke-20, dengan penekanan
52
Zakiyuddin Baidhawy
pada pengambilan keputusan yuridis sebagaimana ditekankan dalam fatwa-fatwa, bahkan fondasi-fondasi disiplin yang integral di dalamnya. Satu dari sedikit sarjana yang berusaha mengartikulasikan visi menyeluruh tentang Studi Islam dan agenda-agendanya ialah Mohammed Arkoun. Ia mendiskusikan sistem yang implisit dan eksplisit yang menggarisbawahi pemahaman tentang disiplin Studi Islam dalam arti dimensi kognitif tentang pengalaman manusia lengkap dengan seluruh konteks sosialnya. Tujuan Arkoun untuk menggaungkan pendekatan metodologis tertentu yang ia pandang tidak dapat dipisahkan dari teori-teori epistemologis sehingga membuatnya mungkin untuk menyatukan Islam dan kebudayaan-kebudayaan Muslim ke dalam teori kritis global pengetahuan dan nilai.
B. Studi Islam sebagai Disiplin Mandiri Pada awal abad ke-20, Studi Islam telah menjadi suatu disiplin keilmuan mandiri selama dua dekade pertama dan seterusnya, tak satupun wakil-wakil terkemuka dari disiplin baru berasal dari kaum teolog Protestan. Disiplin baru ini mencari orientasi dalam sejarah sains, dalam sosiologi Weberian yang fokus pada peran sosial agama dalam sejarah sosial. Para wakilnya mencari pertukaran dengan para spesialis di bidang ini. Kembali kepada pernyataan Said: mereka tidak berminat membuat Islam Timur Tengah sebagai kebudayaan asing yang harus dipelajari seseorang dengan maksud untuk menguasainya. Ernst Troeltsh (1865-1923) misalnya, memperbaiki pemahaman tentang lingkaran kultural dan mencoba mendasarkan karya tentang sejarah dunia pada hubungan antara berbagai lingkaran kultural yang bermacam-macam. Ia mencatat banyak lingkaran kultural Sejarah Perkembangan Studi Islam
53
yang sangat penting mencakup kebudayaan India, Cina, Mesir masa Fir’aun, Asia Barat Islam, dan lingkaran MediteraniaEropa-Amerika. Masing-masing lingkaran ini memiliki sejarah maknanya sendiri dan rasa bahasa dan tindakan yang secara kultural diperantarai oleh yang lainnya: mereka yang tidak memiliki lingkaran kultural tidak dapat memahami rasa bahasa dan tindakan yang lahir dalam kebudayaan tersebut. Di antara lingkaran-lingkaran kultural, lingkaran Mediterania-Eropa-Amerika adalah satu-satunya lingkaran kultural yang dilengkapi dengan kapasitas untuk terlibat dalam refleksi sejarah tentang kebudayaan. Namun, para pendukungnya tidak memiliki akses sama sekali kepada makna lingkaran-lingkaran kultural lainnya. Oleh karena itu, mereka hanya mampu menulis sejarah diri mereka sendiri, karena objek penelitian sejarah hanya ada sejauh keberadaan mereka secara bersama-sama yang dipersatukan oleh kebudayaan dan makna, dan perkembangannya hanya ada sejauh ada makna dan pikiran kultural bersama yang menjadi basisnya. Maka Studi Islam pada dekade 2000-an mengalami pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh nalar saintifik Barat (sebagaimana terlihat dalam filologi) ketika diterapkan untuk kebudayaan-kebudayaan atau konsep-konsep asing di luar realitas Eropa Kristen dan peradaban Barat sekuler. Disiplin Studi Islam tetap hegemonik: ia selalu menekankan klasifikasi, kategori, definisi, distingsi, konsep-konsep, dan teori-teori tentang kebudayaan lain tanpa ketakutan akan kritik atau penolakan, kecuali barangkali tentang landasan-landasan polemik atau ideologis. Ini menjadi mungkin karena pada awal abad ke-21, dunia Muslim yang menjadi objek dari penelitian Studi Islam memproduksi pandangan konseptualnya sendiri tentang sejarah, kebudayaan, dan agama sehingga akan menentang perspektif hegemonik
54
Zakiyuddin Baidhawy
yang inheren dalam Studi Islam dan memaksanya untuk mengakui penafsiran alternatif. Tulisan ilmiah tentang Goethe, Kant, Cervantes, atau Dante menjadi rujukan bagi karya-karya ilmiah dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Itali. Namun, ketika karyakarya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, atau Turki, seringkali terlalu diabaikan. Dalam ungkapan yang lebih buruk, katakanlah para sarjana Studi Islam telah membentuk suatu kelompok tertutup; mereka membaca dan saling mengkritik karya satu dengan lainnya tanpa merasakan risiko dinilai oleh para peneliti dalam disiplin-disiplin keilmuan lainnya yang teknik-teknik mereka harus digunakan untuk menganalisis Islam. Dengan kata lain, faktor kunci dalam pendekatan multidisiplin yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandanganpandangan para koleganya yang dikenal karena perspektif-perspektif mereka yang inovatif.
C. Studi Islam dan Oksidentalisme Ketika Barat diserang, seperti pada peristiwa 11 September, seringkali disumsikan bukan hanya Amerika, dalam arti Barat sebagai Amerika Serikat. Ini terjadi diyakini karena kebijakan luar negeri AS (imperialisme) dan kekuatan-kekuatan korporasi (globalisasi) telah melahirkan banyak bom-bom bunuh diri dan pejuang-pejuang suci atas Amerika yang telah memarjinalisasi dan melakukan kekerasan terhadap jutaan penduduk yang gagal memperoleh keuntungan dari tatanan dunia kapitalis. Bahkan, serangan itu juga dipercaya kaum konservatif, yang berpikir bahwa radikalisme Islam, seperti komunisme pada dekade yang lalu, sebagai serangan atas “nilai-nilai Barat”, pandangan hidup orang Amerika. Sejarah Perkembangan Studi Islam
55
Ada beberapa bukti menguatkan klaim tersebut. Jangkauan mendunia dari Wall Street, Hollywood dan pasukan-pasukan tentara Amerika mengundang kebencian. Dalam hal tertentu, institusi-institusi tersebut menyajikan pandangan hidup Amerika, sehingga mereka menjadi target dari jihad kaum Islamis. Juga benar bahwa kebijakan luar negeri Amerika seringkali salah arah bahkan brutal. Kapitalisme global dapat melakukan tindakantindakan perusakan skala besar sekaligus perbaikan. Akhirnya, Amerika Serikat, satu-satunya negara superpower Barat, seperti mewakili Barat secara keseluruhan. Bagaimanapun, kekerasan semacam ini kini diarahkan langsung pada target yang berhubungan dengan Barat, dari WTC hingga diskotik di Bali, dan itu bukan semata Barat dalam arti Amerika Serikat. Kekerasan semacam ini juga tidak dapat direduksi menjadi semata-mata persoalan ekonomi global. Bahkan mereka yang memiliki alasan bagus untuk memahami kemiskinan, mereka pun melakukan bentuk-bentuk kekerasan terhadap AS, yang mendukung kapitalisme sehingga berjalan tidak normal dan membawa korban-korbannya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di ruangruang publik. Sesuatu yang lain di sini sedang terjadi. Inilah yang disebut oleh Margalith dan Buruma (2004) sebagai “Oksidentalisme”, yakni suatu perang melawan gagasan tertentu dari Barat, yang bukan merupakan hal baru atau unik bagi kaum ekstremis Islamis. Kaum Jihadi kini melihat melihat Barat sebagai sesuatu yang tidak manusiawi, harus dihancurkan, seperti halnya penyakit kanker. Gagasan oksidentalisme ini memiliki akar sejarah panjang mendahului berbagai bentuk apa pun dari imperalisme Amerika. Kebencian serupa, meskipun tidak selalu
56
Zakiyuddin Baidhawy
mematikan, telah diarahkan kepada Inggris dan Prancis pada masa lalu, serupa dengan kebencian terhadap Amerika. Lalu apa yang dimaksud dengan gagasan oksidentalis tentang Barat? Inilah problem yang mendorong sejumlah intelektual terkemuka Jepang yang berkumpul dalam sebuah konferensi di Kyoto pada 1942. Serangan atas Pearl Harbor bukanlah alasan bagi konferensi itu sendiri, namun gagasan utamanya ialah untuk menemukan pembenaran ideologis bagi misi Jepang guna memukul dan mengenyahkan kerajaan Barat di Asia. Topik diskusinya adalah “bagaimana mengatasi dunia modern”. Modernitas dikaitkan dengan Barat dan khususnya imperialisme Barat. Westernisasi, menurut seorang intelektual, adalah seperti penyakit yang menginfeksi semangat orang-orang Jepang. “Sesuatu yang modern”, kata yang lain, adalah “sesuatu yang berbau Eropa”. Sebagian lainnya percaya bahwa “Amerikanisme” adalah musuh, dan Jepang harus membuat alasan bersama dengan orang-orang Eropa untuk mempertahankan peradaban kuno dari Dunia Baru. Ada banyak perbincangan yang tidak sehat, yang telah memfragmentasi keseluruhan kebudayaan spiritual dunia Timur. Sains telah disalahkan. Demikian juga kapitalisme, resapannya ke dalam masyarakat Jepang berupa teknologi modern, dan paham-paham tentang kebebasan individual serta demokrasi. Semua ini harus diatasi. Semua sepakat bahwa kebudayaan –maksudnya kebudayaan Jepang tradisional– bersifat mendalam dan spiritual, sedangkan peradaban Barat modern bersifat permukaan, tanpa dasar, dan merupakan kekuatan pencipta destruksi. Barat, utamanya AS, adalah peradaban mekanik yang dingin, peradaban mesin tanpa ruh atau jiwa, suatu tempat di mana orang-orang bercampur untuk memproduksi ras-ras bangsat.
Sejarah Perkembangan Studi Islam
57
Istilah yang sama tepatnya digunakan oleh sebagian lain, di lain tempat, dan pada masa yang lain. Darah, tanah, dan semangat kaum Romatik Jerman pada abad 18 dan awal 19 untuk menentang klaim universalis Pencerahan Prancis, Revolusi Prancis, dan invasi pasukan Napoleon. Paham tentang jiwa nasional ini diambil alih oleh bangsa Slavia pada abad 19, yang menggunakannya untuk menyerang “kaum yang melakukan pembaratan” (westernizers), yaitu orang-orang Rusia yang membela reformasi liberal. Istilah ini juga sering digunakan pada dekade 1930-an, ketika kaum fasis Eropa dan sosialis nasional berusaha untuk memukul Amerikanisme, liberalisme ala Anglo Saxon, dan kosmopolitanisme tanpa akar (yaitu kaum Yahudi). Aurel Kolnai menulis buku pada 1930-an tentang ideologi fasis di Austria dan Jerman. Ia menyebutnya “Perang Melawan Barat”. Komunisme khususnya di bawah Stalin, yang juga merupakan anak haram dari Pencerahan dan Revolusi Prancis, menyatakan diri sebagai musuh liberalisme Barat dan kosmopolitan tanpa akar. Banyak kaum radikal Islam meminjam konsep-konsep anti-Barat dari Rusia dan Jerman. Para pendiri partai Ba’ath di Syria merupakan para pembaca teori-teori ras Jerman sebelum masa perang. Jalal al-Ahmad, seorang intelektual Iran 1960an, menggunakan istilah “westoxification” untuk menjelaskan pengaruh yang membius dari peradaban Barat terhadap kebudayaan-kebudayaan lain. Ia juga merupakan pengikut ideide Jerman tentang darah dan tanah. Jelas bahwa gagasan tentang Barat sebagai kekuatan yang berbahaya bukan hanya berasal dari Timur atau Timur Tengah, bahkan juga berakar Eropa sendiri. Mendefinisikannya dalam istilah historis bukan persoalan sederhana. Oksidentalisme merupakan bagian dari tandingan atas Pencerahan, bahkan juga
58
Zakiyuddin Baidhawy
reaksi terhadap industrialisasi. Sebagian Marxis tertarik pada oksidentalisme. Oksidentalisme adalah pemberontakan atas rasionalisme, peradaban Barat yang dingin, mekanis, dan mesin, dan sekularisme, bahkan individualisme. Kolonialisme Eropa mendorong oksidentalisme dan demikian pula kapitalisme global saat ini. Kita dapat bicara tentang oksidentalisme hanya ketika pemberontakan atas Barat menjadi sebentuk destruksi murni, ketika Barat dituduh sebagai kurang dari manusia, ketika pemberontakan bermakna pembubuhan. Apa pun yang terjadi, oksidentalisme didukung oleh rasa terhina, kalah. Isaiah Berlin menjelaskan pemberontakan Jerman atas Napoleon sebagai contoh asli dari reaksi atas banyaknya masyarakat yang terbelakang, terekspolitasi, yang membuat mereka inferior, dan dibangkitkan oleh imajinasi kerajaan dan kejayaan pada masa lampau, atau sifat-sifat baik dari bangsa atau watak kulturalnya sendiri. Hal serupa terjadi pada Jepang pada 1930-an, setelah hampir satu abad merasa terhina dan hanya menjadi patron bagi Barat. Keterhinaan dapat dengan mudah menjadi kultus atas kemurnian dan keaslian. Di banyak kalangan kebencian atas Barat muncul karena klaim universalisme Barat. Napoleon adalah seorang universalis yang percaya pada kode sipil bersama untuk seluruh manusia yang ditaklukkannya. Keyakinan bahwa Amerika Serikat menyajikan nilai-nilai universal dan mempunyai kewajiban yang diembankan oleh Tuhan padanya untuk menyebarkan demokrasi adalah sama dengan klaim universalis. Sebagian dari nilai-nilai ini boleh jadi memang universal. Kita dapat berpikir bahwa semua manusia dapat mengambil untung dari demokrasi atau penggunaan rasio. Kode Napoleon telah membawa banyak keuntungan. Namun, ketika solusi universal
Sejarah Perkembangan Studi Islam
59
dipaksakan melalui kekuatan dan kekuasaan, atau ketika rakyat merasa terancam atau terhina atau tidak mampu berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang mempromosikan solusi tersebut, itulah saatnya kita melihat bahaya kembali kepada mimpimimpi tentang kemurnian. Tidak semua mimpi tentang keaslian lokal dan keunikan kultural adalah racun, atau salah. Sebagaimana Isaiah Berlin tunjukkan, kayu kemanusiaan yang terbakar tidak dapat secara paksa diarahkan dengan standar-standar universal sejajar dengan kekebalan. Eksperimen tentang jiwa manusia oleh komunisme menunjukkan bagaimana mimpi-mimpi kaum universalis yang berdarah dapat terjadi. Romantisisme puisi pada kaum idealis Jerman abad 19 sering membuka diri bagi rasionalisme dogmatis yang datang bersama Pencerahan. Pada saat kemurnian atau keaslian iman atau ras membawa pada pengusiran apa yang diduga tidak asli/murni, di sinilah pembunuhan massal mulai terjadi. Fakta menunjukkan bahwa anti-Amerikanisme, anti-Zionisme, anti-Semitisme, permusuhan pada umumnya terhadap Barat seringkali tumpang tindih. Bahkan, di Jepang, di mana kaum Yahudi tidak memainkan peran apa pun dalam kehidupan nasional, salah satu partisipan pada konferensi Kyoto 1942 menyatakan bahwa perang melawan Barat merupakan perang menentang “peradaban materialis yang membahayakan” yang dibangun di atas kekuatan kapitalis finansial Yahudi. Pada saat yang sama, anti-Semit di Eropa, bukan hanya dalam gerakan Nazi Jerman, menyalahkan orangorang Yahudi demi Bolshevisme. Baik Bolshevisme maupun kapitalisme merupakan sistem universalis dalam arti bahwa mereka tidak mengakui batasanbatasan nasional, rasial, atau kultural. Sejak Yahudi secara
60
Zakiyuddin Baidhawy
tradisional dianggap oleh para penganjur kemurnian sebagai orang luar, kosmopolitan tanpa akar, tidak aneh bahwa mereka juga tampak sebagai pengusung utama virus universalis. Dapat dipastikan orang-orang Yahudi memiliki alasan yang masuk akal tertarik pada paham-paham seperti persamaan di hadapan hukum, politik sekular, dan internasionalisme, apakah dengan cap sosialis maupun kapitalis. Eksklusivisme, apakah dalam bentuk rasial, keagamaan, atau kebangsaan, tidak pernah memberikan kebaikan bagi kaum minoritas. Hanya di Timur Tengah orang-orang Yahudi menyandang eksklusivisme dan nasionalismenya sendiri. Zionisme berasal dari Barat. Dan Israel, di mata para musuhnya, merupakan kekuatan kolonial yang menyebarkan “westoxification”. Keberhasilan material Israel hanya menambah kebencian Arab terhadap mereka. Anggapan tentang orang-orang Yahudi sebagai manusia tanpa jiwa jauh lebih tua umurnya daripada pendirian negara Israel itu sendiri. Inilah salah satu kebencian anti-Semit yang paling umum. Karl Marx yang merupakan cucu dari seorang rabbi misalnya, menyebut orang-orang Yahudi sebagai parasit yang rakus, yang jiwanya tercipta dari uang. Hal serupa sering dikatakan oleh orang-orang Eropa abad 19 tentang orang Inggris. Novelis Prusia Theodore Fontane yakin bahwa masyarakat Inggris akan dihancurkan oleh warna kuning emas, warna kuning emas telah membinasakan jiwa-jiwa mereka yang menghamba pada kejahatan. Banyak hal serupa juga dikatakan tentang orangorang Amerika. Kalkulasi –menghitung-hitung uang, riba, bukti-bukti ilmiah, dan seterusnya– dipandang sebagai tanpa jiwa. Keaslian/kemurnian terletak pada puisi, intuisi, dan keimanan buta. Pandangan kaum oksidentalis tentang Barat adalah sebagai ma-
Sejarah Perkembangan Studi Islam
61
syarakat borjuis, yang mabuk kesenangan, nafsu kebinatangan, kepentingan diri, dan kenyamanan. Para pejuang Taliban selama masa perang di Afghanistan mengatakan bahwa Amerika tidak akan pernah menang karena mereka menyukai Pepsi-Cola, sementara para pejuang mencintai kematian. Ungkapan serupa juga dikatakan oleh kaum fasis Spanyol selama perang sipil, para ideolog Nazi, dan pilot bunuh diri Jepang. Pahlawan adalah orang yang beraksi tanpa memperhitungkan kepentingannya sendiri. Ia melakukan aksi tanpa menghiraukan keamanannya sendiri, ia selalu siap mengorbankan diri untuk suatu tujuan. Pahlawan oksidentalis, apakah ia Nazi atau Islamis, hanya siap untuk menghancurkan mereka yang telah menodai kemurnian/keaslian ras atau kredonya. Bahkan, itu merupakan kewajiban baginya. Ketika Barat dipandang sebagai ancaman bagi keaslian, adalah kewajiban para pejuang suci untuk membinasakan apa pun yang berkaitan dengan “kaum Zionis”, apakah pasukan Amerika, kedutaan Inggris, kuburan orang Yahudi, atau diskotik di Bali. Nilai simbolik dari serangan-serangan ini setidaknya sama pentingnya dengan kerusakan yang diakibatkannya. Jadi, apa yang baru dengan perang suci kaum Islamis terhadap Barat? Barangkali ini merupakan totalitas visi mereka. Islamisme, sebagai solusi bagi westoxification adalah sebuah campuran aneh antara universalitas dan kemurnian: universalitas karena semua orang dapat, dan di mata orang-orang beriman harus, menjadi Muslim ortodoks; keaslian karena mereka yang menolak panggilan bukan sekadar kehilangan jiwa bahkan orang biadab yang harus dimusnahkan dari bumi ini. Hitler mencoba untuk membinasakan Yahudi, namun tidak memandang semua Barat dengan permusuhan. Faktanya, ia
62
Zakiyuddin Baidhawy
ingin membangun aliansi dengan Inggris dan bangsa-bangsa Arya lainnya, dan merasa terkhianati ketika mereka tidak mempedulikan caranya. Kaum Stalinis dan Maois membunuh musuh-musuh kelas dan menentang kapitalisme. Namun, mereka tidak pernah melihat dunia Barat sebagai kurang manusiawi dan yang secara fisik harus dimusnahkan. Kaum militaris Jepang pergi berperang melawan kerajaan Barat, namun tidak memandang segala tentang peradaban Barat sebagai barbar. Kontribusi Islamis pada sejarah panjang oksidentalisme adalah visi keagamaan tentang kemurnian di mana Barat yang diidolakan harus dihancurkan. Beribadah kepada tuhan-tuhan palsu merupakan dosa paling besar dalam Islam dan kepercayaan Yahudi kuno. Barat, di mata kaum Islamis, menyembah tuhan-tuhan palsu seperti uang, seks, dan hasrat-hasrat kebinatangan. Dalam dunia barbar, pikiran-pikiran, hukum-hukum, dan nafsu manusia telah menggantikan kerajaan Tuhan. Kata yang tepat untuk masalah ini adalah jahiliyah, yang berarti kebodohan: orang menyembah tuhan-tuhan lain karena ia tidak memiliki pengetahuan. Jahiliyah modern berarti barbarisme dan ada di mana saja dari Las Vegas dan Wall Street hingga istana-istana di Riyadh. Bagi Islamis, apa pun yang tidak murni, yang bukan milik kerajaan Tuhan, adalah jahiliyah, barbar, dan harus dienyahkan. Itulah sebabnya perang suci atas Barat dideklarasikan. Karena target perang suci itu sedemikian luas, maka cara mengalahkannya juga bukan persoalan mudah. Perang Irak bukanlah cara paling efektif untuk memerangi jihad Islamis. Rezim Ba’ath Saddam Hussein merupakan kediktatoran pembunuh yang harus diakhiri, namun itu tidak sejalan dengan revolusi suci. Tidak ada bukti bahwa Saddam ingin
Sejarah Perkembangan Studi Islam
63
menghancurkan Barat. Osama bin Laden jelas melakukannya secara luas. Sementara Muslim moderat di mana pun dipaksa membisu terhadap aksi-aksi agresif Amerika. Meskipun Presiden Bush menyatakan bahwa perang melawan terorisme bukanlah perang melawan Islam atau agama, namun upaya-upaya kekerasan untuk memaksakan sekularisme terhadap masyarakat-masyarakat Muslim pada masa lalu telah mengundang masalah ekstremisme agama, dan harus dilihat bukan sebagai solusi untuk saat ini. Fanatisme adalah bagian dari reaksi atas sekularisme agresif rezim-rezim seperi Reza Shah di Iran selama dekade 1930-an. Jika kebebasan politik dijamin di dunia Muslim melalui kedaulatan rakyat, agama akan diperhitungkan. Kesempatan terbaik bagi demokrasi untuk berhasil di negara-negara seperti Indonesia, Turki, dan Irak adalah jika Muslim moderat dapat dimobilisasi dengan baik. Namun, itupun harus datang dari negara-negara itu sendiri. Sekalipun pemerintahan Barat harus mendukung kekuatan-kekuatan yang membela demokrasi, perjuangan politik yang sulit tidak dapat dimenangkan di Washington, atau melalui kekuatan militer Amerika. Di Barat sendiri kita harus mempertahankan kebebasan dari pasukan perang suci yang berusaha menghancurkan mereka. Bahkan, kita juga harus hati-hati dalam melakukannya. Dalam keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sipil, yang terakhir tidak pernah boleh dikorbankan demi yang pertama. Kita juga mesti mencegah upaya-upaya memerangi api dengan api, melawan Islamisme dengan bentuk-bentuk intoleransi. Kebebasan kita akan tetap terjaga tergantung kehendak untuk mempertahankannya dari musuh-musuh luar, bahkan juga nafsu para pemimpin kita untuk mempergunakan ketakutan kita dengan tujuan untuk memusnahkan kebebasan kita sendiri.
64
Zakiyuddin Baidhawy
Jadi, menurut Buruma (2004), oksidentalisme bukan bicara tentang kebencian terhadap kebijakan-kebijakan Barat, namun tentang kebencian atas ide-ide Barat itu sendiri. Perasaan negatif berkaitan dengan kolonialisme, kapitalisme, globalisasi, dan westoxification digali melalui banyak tokoh klasik dan empat konsep utama: kota, perdagangan, teknologi, dan agama. Oksidentalisme, serupa dengan kapitalisme, Marxisme, dan banyak isme modern lainnya, lahir di Eropa, namun cabangcabangnya tersebar di Asia dan Timur Tengah. Kota oksidental mulai dengan serangan 11 September atas WTC di New York. Ia bicara tentang kota metropolis sebagai sundal di mana segala sesuatu dan semua manusia diperjualbelikan. Ia juga berbicara tentang ketiadaan jiwa dan ketakterhubungan, citra negatif tentang kota yang sering dilukiskan. Kota-kota di Barat juga merupakan simbol ketamakan yang jahat, tanpa tuhan, dan kosmopolitanisme tanpa akar. Perdagangan di mata kaum oksidentalis adalah gambaran negatif tentang prinsip kaum merkantilis di Barat. Ia bicara bukan hanya tentang pasar bebas di Barat, namun juga ide tentang demokrasi itu sendiri sebagai pasar bebas ide. Teknologi adalah gambaran pikiran Barat yang mampu mencapai keberhasilan ekonomi dan mampu mengembangkan dan mempromosikan teknologi maju, namun gagal meraih hal-hal tertinggi dalam hidup ini. Agama adalah ilustrasi kaum oksidentalis tentang perang suci terhadap Barat sebagai kejahatan absolut. Ketika kebebasan politik, keagamaan, dan intelektual telah mapan, ia harus dipertahankan dengan kekuatan, jika perlu, bahkan juga dengan keyakinan.[]
Sejarah Perkembangan Studi Islam
65
66
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 4
MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM: STUDI AL-QUR’AN
S
tudi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin intelektual dan keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian atas teks-teks keislaman membentuk ruang lingkup inti dari Studi Islam. Kajian-kajian berbasis pada teks-teks, sebagaimana dikenal dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara untuk memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan perhatian pada teks-teks suci keislaman utamanya Al-Qur’an dan hadis, juga karya-karya intelektual klasik yang berhubungan erat dengan dua sumber ajaran tersebut. Dalam sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran Islam, dikenal sejumlah cabang keilmuan tradisional Islam yang meliputi antara lain ulum al-Qur’an dengan seluruh ramifikasinya, tafsir al-Qur’an, ulum al-hadis lengkap dengan semua percaModel Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
67
bangannya, ilmu kalam, tasawuf, fikih, dan usul fikih, dan lainlain. Cabang-cabang keilmuan ini merupakan jasa para pengkaji Muslim atas tradisi tekstual keagamaan mereka dan telah melahirkan khazanah intelektual yang sangat kaya. Karena objek kajian studi Islam tradisional ini adalah teks-teks keagamaan dan karya-karya yang berkaitan dengannya, maka metode dan pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah di kalangan mereka pun meliputi metode dan pendekatan tekstual (bayani). Berikut ini adalah paparan beberapa model metode dan pendekatan yang biasa digunakan untuk melahirkan karyakarya dalam Studi Islam tradisional.
A. Pendekatan I`jaz Klasik Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam sudah sejak awal kelahirannya memperoleh perhatian luas di kalangan para sarjana Muslim. Kalangan sahabat besar dan kecil, dilanjutkan oleh generasi berikutnya menyediakan waktu yang sangat memadai untuk menuliskan, mengkodifikasi, menerbitkan, mempelajari, dan mengkajinya secara ilmiah sehingga melahirkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an. Salah satu fokus perhatian mereka adalah pada aspek keindahan dan kemukjizatan Al-Qur’an yang tiada tertandingi oleh kitab suci mana pun. Di sinilah kemudian beberapa studi berusaha memanfaatkan pendekatan sastra untuk mengkaji AlQur’an, baik yang dikenal pada masa klasik dan orisinal dari kalangan Muslim maupun pendekatan sastra modern. Memang ada banyak keberatan atas pendekatan sastra modern dalam mengkaji Al-Qur’an di kalangan para pemikir modernis dan tradisionalis, di satu sisi, dan antara sarjana Muslim dan sarjana non-Muslim Barat di sisi lain. Para sarjana Muslim tradisionalis 68
Zakiyuddin Baidhawy
selalu menolak peran yang terbuka bagi semua sarjana untuk mengkaji Al-Qur’an. Satu di antara pendekatan klasik yang sering dipergunakan dalam studi Al-Qur’an ialah pendekatan i`jaz. Pendekatan ini sesungguhnya sudah muncul sejak abad ke-3 hijrah atau abad ke-9 masehi dalam sejarah kebudayaan Islam. Ia muncul dari diskusi mengenai persoalan ketidaktertirukannya Al-Qur’an, i`jaz, yang menjadi ajaran hakiki dalam teologi. Memang benar bahwa AlQur’an sejak permulaan pewahyuannya menangkap imajinasi bangsa Arab yang melukiskan keunikan bahasanya. Para pendengar berusaha memberikan penjelasan terbaik tentang pengaruhnya pada mereka dalam arti teks-teks Al-Qur’an menyerupai syair dan puisi yang sangat indah. Semua penjelasan ini telah disebut dan sekaligus ditolak oleh Al-Qur’an sendiri (QS. Yasin (36): 9). Banyak kisah yang diceritakan dalam literatur Islam yang menggambarkan betapa orang-orang beriman sekalipun merasa terpesona oleh pengaruh puitis dari bahasa Al-Qur’an. Paham tentang keunggulan Al-Qur’an yang membuatnya tidak dapat ditiru, dikembangkan belakangan dan dijelaskan dalam gambaran retorik. Banyak teori diperkenalkan dalam teologi Islam untuk menjelaskan gambaran-gambaran yang menggarisbawahi ketidaktertirukannya teks-teks Al-Qur’an. Setidaknya ada dua persoalan besar di sini. Pertama, apa yang dimaksud dengan tantangan Al-Qur’an untuk melahirkan sesuatu yang menyerupai Al-Qur’an? Kedua, mengapa bangsa Arab gagal melahirkan sesuatu yang menyerupai teks Al-Qur’an dengan cara meniru gayanya? Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (d. 232/846), seorang teolog Mu’tazilah, memperkenalkan teori sarfah. Teori ini mengatakan bahwa Tuhan secara sengaja melakukan intervensi dan mence-
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
69
gah bangsa Arab dari menghasilkan teks serupa Al-Qur’an. Tanpa intervensi semacam ini, bangsa Arab dapat dengan mudah menjawab tantangan tersebut. Intervensi Tuhan ini adalah mukjizat, yang membuat mereka yang dipandang sangat mampu dalam membuat puisi atau syair sekalipun menjadi tidak mampu. Sebagai sebuah teks, tidak ada hal yang aneh tentangnya. Keunggulan Al-Qur’an karena informasi yang terkandung di dalamnya, apakah berkenaan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang tidak diketahui atau peristiwa masa depan. Al-Qur’an dapat ditiru sebagai sebuah teks Arab, namun wahyu Tuhan yang mengandung pengetahuan ketuhanan tidak dapat ditiru. Keunggulannya terletak pada isi, bukan gayanya. Teori sarfah yang menghubungkan kegagalan bangsa Arab (untuk menghasilkan teks menyerupai Al-Qur’an) dengan intervensi Tuhan ini, sebenarnya memandang Al-Qur’an sebagai mukjizat yang melampaui kemampuan manusia. Ia berkaitan dengan kategori mukjizat yang sama yang pernah diterima oleh para nabi terdahulu, seperti Musa yang mengubah tali menjadi ular, dan Isa yang mengobati orang sakit dan membuat orang mati hidup kembali. AlQur’an adalah mukjizat yang menjadi sandaran bagi kebenaran Muhammad dan otentisitas Al-Qur’an. Namun, paham bahwa isi Al-Qur’an, yang berbicara tentang sesuatu yang tak diketahui dan tentang masa depan, adalah satu-satunya tantangan yang memunculkan kesulitan teologis dari perspektif Mu`tazilah misalnya. Karena pengetahuan Tuhan itu mutlak, sementara pengetahuan manusia terbatas, tidaklah mungkin bahwa Tuhan yang keadilannya mutlak, menantang manusia dengan sesuatu yang melampaui kapasitas kemanusiaannya. Keadilan Tuhan merupakan prinsip kedua setelah Tauhid dalam teologi rasional Mu`tazilah; ia hanya memperbolehkan tantangan yang berada
70
Zakiyuddin Baidhawy
dalam jangkauan kemampuan manusia. Bukti-bukti yang mereka kemukakan untuk memperkuat argumen tentang mukjizat ini dengan menyebutkan Musa dan Isa. Mukjizat Musa berkaitan dengan magis, suatu bidang aktivitas yang menjadi keunggulan bangsa Mesir, demikian pula dengan mukjizat Isa. Karena bangsa Arab adalah bangsa yang penguasaan puisi dan syairnya unggul, maka mukijizat Islam adalah Al-Qur’an yang melukiskan keunggulan satrawi. Patut dicatat bahwa dikotomi antara isi dan bentuk, lafaz dan makna, yang ada dalam kritik sastra Arab, memiliki akarnya dalam diskusi awal tentang apakah bahasa didasarkan pada tradisi sosial kemanusiaan (muwada`ah) atau wahyu Tuhan. Diskusi ini fokus pada ayat Al-Qur’an: “Dan Ia mengajarkan Adam seluruh nama benda dan kemudian bertanya kepada para malaikat dengan mengatakan, “Berilah Aku informasi tentang nama-nama semua itu jika kamu memiliki pengetahuan” (QS. Al-Baqarah (2): 31). Tokoh Mu`tazilah al-Qadi `Abd al-Jabbar (w. 415/1025), dalam pembahasannya tentang i`jaz, menekankan bahwa kefasihan ungkapan, fashahah, tidak hanya berhubungan dengan isi semata atau gaya semata. Dengan mengelaborasi teori al-Jubba`i tentang sintesis isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah dengan struktur atau syntaks yang memasukkan posisi dan fungsi gramatika dari suatu leksikon. Keunggulan intrinsik Al-Qur’an khususnya terletak pada kualitas fashahahnya yang menakjubkan. Dengan menjelaskan gagasan al-Jubba`i tentang keniscayaan isi dan gaya, ia menghubungkan fashahah dengan nazm, komposisi, struktur atau syntaks. Fashahah mengandung tiga unsur sekaligus, yaitu makna leksikal suatu kata, al-muwada`ah, dan posisinya dalam struktur dan fungsi grammatikanya. Karena itu, kesempurnaan syntaks Al-Qur’an mencegah bangsa Arab dari
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
71
upaya menjawab tantangan untuk membuat teks yang serupa Al-Qur’an. Jadi, menurut al-Qadi (1960: 247, 264), tidak ada campur tangan Tuhan, seperti yang digambarkan dalam teori sarfah, yang mencegah bangsa Arab pagan dari upaya melakukan tindakan tersebut.
B. Pendekatan Sastra Modern Apa yang dikemukakan di atas adalah sekadar contoh bagaimana perdebatan tentang kemukijzatan Al-Qur’an telah dimulai sejak awal. Pendekatan i`jaz adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh para sarjana Muslim awal untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an. Pada masa modern, pendekatan kesusastraan terhadap alQur’an juga berkembang bahkan lebih kompleks dari yang sudah ada. Misalnya, Muhammad Abduh menggunakan me-tode sastra ini untuk menafsirkan al-Qur’an yang sangat erat hubungannya dengan pemahaman rasionalnya tentang Islam. Namun pertanyaan-pertanyaan Abduh bukan semata terbatas pada persoalan i`jaz. Ia mengajukan beberapa pertanyaan: tentang modernitas, apakah Islam sesuai dengan modernitas atau tidak? Bagaimana seorang Muslim yang taat dapat hidup di lingkungan sosial-politik modern tanpa kehilangan identitasnya sebagai Muslim? Apakah Islam mengakomodasi sains dan filsafat? Tentang ketidakselarasan antara syariah yang menjadi dasar masyarakat tradisional dan hukum positif yang merupakan landasan bagi masyarakat modern: apakah lembaga-lembaga politik modern seperti demokrasi, pemilu, dan parlemen diterima oleh Islam, dan dapatkah lembaga-lembaga itu menggantikan lembaga-lembaga tradisional syura dan ulama (ahl al-hall wa al`aqd)? 72
Zakiyuddin Baidhawy
Minat utama Abduh ialah membuka kembali pintu ijtihad dalam semua aspek kehidupan sosial dan intelektual. Karena agama merupakan bagian utama dari eksistensi manusia, maka satusatunya reformasi yang nyata adalah reformasi pemikiran Islam. Apa yang dibawa Jamal al-Din al-Afghani ke Mesir ialah gagasan tentang panfsiran modern tentang Islam yang kemudian menjadi perhatian penuh Abduh. Kombinasi antara rasionalisme klasik dan kesadaran sosial-politik modern diadopsi oleh Abduh. Kombinasi ini membuatnya mungkin untuk memperkenalkan penafsiran semi rasional atas Al-Qur’an. Kontribusi Abduh yang paling penting adalah pernyataannya bahwa Al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk menjadi kitab sejarah. NarasiAal-Qur’an karena itu, tidak mesti dipandang sebagai dokumen sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam narasi Al-Qur’an disajikan dalam gaya sastra untuk menyampaikan pelajaran tentang peringatan dan nasihat. Berkenaan dengan kisah-kisah dalam Al-Qur’an, Abduh, dengan sangat jelas membedakan antara historiografi kisah-kisah Al-Qur’an. Historiografi adalah bidang ilmiah yang didasarkan atas pencarian dan penyelidikan kritis terhadap data yang tersedia, seperti laporan-laporan, kesaksian, ingatan, dan buktik-bukti geografis atas material (Abduh, tth. Vol. 5: 30). Dengan kata lain, kisah-kisah AlQur’an adalah sarana untuk menyampaikan tujuan-tujuan etis, spiritual dan keagamaan. Kisah-kisah bisa berdasarkan pada peristiwa sejarah, namun tujuannya bukan untuk menyediakan pengetahuan tentang sejarah. Abduh jelas menentang metode tafsir klasik yang menjelaskan tentang hal-hal yang mubhamat. Pentingnya sebuah kisah tidak tergantung pada pengetahuan tentang kisah itu sendiri, namun pada pelajaran yang dapat diambil darinya. Semua ayat-
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
73
ayat dalam Tafsir al-Manar kemudian dikutip oleh Khalafallah dengan maksud untuk memperkuat argumentasinya dalam persoalan berikut ini. Khalafallah, dengan bersandar pada perbedaan dalam teori sastra antara sejarah dan kesusastraan, mengembangkan pembedaan yang jelas antara sejarah dan Al-Qur’an. Yaitu fakta bahwa Al-Qur’an berhadapan dengan bangsa Arab pagan pada abad ke-7. Apa pun yang tampak irasional dan bertentangan dengan logika dan sains dalam Al-Qur’an dipahami sebagai refleksi visi bangsa Arab tentang dunia. Figur-figur dalam sastra yang berbicara dengan menggunakan metafora dan alegori sebagaimana digunakan dalam Tafsir al-Manar, adalah untuk menyajikan penjelasan rasional bagi seluruh peristiwa dan tindakan mukjizat yang disebut dalam Al-Qur’an. Semua ayat AlQur’an yang merujuk kepada takhayul seperti sihir, mata syetan, atau sentuhan syetan, adalah untuk menjelaskan ekspresi bangsa Arab tentang apa yang mereka percayai. Ayat-ayat Al-Qur’an yang bicara tentang mengirim malaikat turun dari surga untuk melawan kekafiran dijelaskan oleh Abduh sebagai ungkapan dukungan bagi orang-orang beriman agar mereka berjuang memperoleh kemenangan (Tafsir al-Manar, vol. 1, 19-21, 210-11, 215). Apa yang sudah dikemukakan oleh Abduh ini, kemudian dikembangkan oleh Taha Husayn dan Amin al-Khuli. Taha Husayn sangat menekankan dimensi estetika gaya alQur’an yang sangat unik dan asing; i`jaznya menampilkan genre sastra itu sendiri. Sebagai seorang sejarawan sastra dan kritikus sastra, ia mengklaim bahwa al-Qur’an bukanlah puisi maupu prosa; ia adalah al-Qur’an. Lebih lanjut, Husayn memahami kisah al-Qur’an berkaitan dengan kedatangan Ibrahim, istrinya Hajar, dan anaknya Ismail ke Mekkah, sebagai suatu narasi
74
Zakiyuddin Baidhawy
oral yang telah ada sebelum wahyu al-Qur’an turun. Husayn (1996: 33-35) menyatakan bahwa kisah ini telah ditemukan jauh-jauh hari sebelum wahyu al-Qur’an. Kisah ini bertujuan untuk menghapuskan ketegangan antara bangsa Arab pagan, penduduk pribumi Yathrib, dan suku-suku Yahudi yang datang untuk bermukim di kota ini. Al-Qur’an mempergunakan kisah bukan hanya mensituasikan Islam dalam konteks tradisi YahudiKristen, bahkan juga untuk memapankan prioritasnya sebagai agama monoteistik. Pandangan Husayn di sini menekankan bahwa kisah tersebut tidak harus dipahami sebagai sarana menyampaikan realitas historis sesuai dengan asumsi-asumsi tentang situasi kebahasaan di semenanjung Arabia telah diterima tanpa persoalan. Karya-karya Ahmad Amin tentang sejarah perdaban Islam merupakan contoh lain kecenderungan baru kesarjanaan dalam institusi akademik. Mempertimbangkan kembali sejarah Islam secara keseluruhan, biografi Nabi khususnya, dari perspektif kritis secara terbatas dipengaruhi oleh minat sejarah abad ke-19, khususnya sejarah Islam dan kehidupan Nabi. Biografi Nabi yang ditulis oleh Muhammad Husayn Haykal (1888- 1956) dan Taha Husayn dipandang sebagian sarjana Muslim salah satu alasan di balik perubahan besar dalam level diskusi tentang kehidupan Nabi. Diskusi ini berpindah secara signifikan dari konfrontasi menuju dialog.
C. Pendekatan Tajdid Model pendekatan sastra lain diperkenalkan oleh Amin al-Khuli (1995). Ketika ia memulai karirnya, angin perubahan mulai tampak dalam kehidupan Mesir. Ia menerapkan metode tajdid untuk studi bahasa (nahw) dan retorika (balaghah), tafsir alModel Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
75
Qur’an, dan sastra (adab). Bukan hal mudah untuk menentukan mana dari empat bidang keilmuan yang menyajikan model ideal dari metodologi tajdid al-Khuli. Namun ia memandang bahwa angin perubahan selalu bergerak sebagaimana dibuktikan sejarah oleh penemuan dalam bidang seni dan sastra. Penemuan dalam bidang sastra dan seni ini vital untuk mengembangkan kesadaran intelektual dan estetik penduduk Mesir dengan tujuan agar mampu mencapai pencerahan Mesir secara menyeluruh. Sastra baru membutuhkan metode sastra baru pula yang dapat menggali strukturnya dan menjelaskan bagaimana ia berfungsi. Metode semacam ini mengandung kajian tentang bahasa dan retorika yang menyegarkan, karenanya diperlukan tajdid dalam dua disiplin ini. Sepanjang pencerahan atau tajdid terus bergerak dan hidup, ia mesti mulai dengan studi intensif dan menyeluruh tentang tradisi lama dalam setiap bidang pengetahuan. Motto al-Khuli adalah ”langkah pertama bagi penemuan nyata adalah menganalisis tradisi secara total”. Jika studi tentang sastra di masa lalu, sekaligus studi tentang bahasa dan retorika, dijalankan untuk memenuhi tujuan-tujuan keagamaan, maka tajdid tidak akan mungkin dilakukan. Studi sastra tentang alQur’an, bagi al-Khuli, bukan persoalan pilihan, karena penerimaan bangsa Arab terhadap al-Qur’an berdasarkan pada kekuatan dan keunggulan sastra al-Qur’an. Karena itu, metode sastra mesti menggantikan pendekatan teologis, filosofis, etis, mistik atau yudisial. Dengan cara ini teori al-Khuli mengembangkan hubungan antara studi tentang bahasa, retorika, dan sastra di satu sisi, dan tafsir al-Qur’an di sisi lain. Jika teori i`jaz klasik didasarkan pada paham klasik tentang balaghah, maka paham ini harus diganti dengan teori balaghah modern yang memapankan hubungan dengan kritik sastra. Hubungan ini menuntut
76
Zakiyuddin Baidhawy
hubungan dengan psikologi, suatu hubungan yang paralel dengan relasi antara kritik sastra dan estetik. Maka studi balaghah mesti fokus pada studi tentang gaya sastra dan pengaruh emosionalnya terhadap pemirsa/pembacanya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kesadaran estetik baik pada penulis maupun pembaca, inilah yang disebut sebagai seni wacana. Hanya pendekatan sastra terhadap al-Quran, melalui teori sastra modern, yang dapat menyingkap i`jaz al-Qur’an yang pada dasarnya bersifat ekspresif dan provokatif secara emosional. Di samping isterinya Bint al-Shati, dua pengikut al-Khuli yang menjadi mahasiswanya langsung, yang menerapkan metode sastra dalam studi al-Qur’an menjadi sangat terkenal. Mereka adalah Khalafallah dan Shukri ‘Ayyad. Perlu juga disebutkan bahwa Sayyid Qutb, seorang ideolog terkenal fundamentalisme Islam, memulai karya-karyanya tentang al-Qur’an dengan menerapkan metode serupa meskipun lebih impresionistik. Ini bias dilihat dalam karyanya Fi Zhilal al-Qur’an.
D. Pendekatan Tahlili Maksud tafsir tahlili atau ijmali atau juz’i adalah metode kajian al-Qur’an dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam urutan mushaf ‘Uthmani. Ternyata menurut sejumlah ilmuwan, metode yang sebagian ilmuan menyebutnya dengan metode kajian atomistik atau metode kajian yang bersifat parsial ini memiliki beberapa kelemahan. Quraish Shihab berpendapat, satu akibat dari pemahaman al-Qur’an berdasar ayat demi ayat secara terpisah adalah al-Qur’an terlihat seolah sebagai petunjuk yang terpisah-pisah (Shihab, 1996: 112). Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
77
Tafsir ini juga sering disebut sebagai pendekatan analitik. Yaitu suatu pendekatan tafsir ayat demi ayat, sesuai dengan urutan surat al-Qur’an. Pendekatan ini mengikuti teks al-Qur’an dan memaparkannya dalam pengalan-pengalan ayat, serta menjelaskannya atas dasar makna literal/harfiah, tradisi, atau ayatayat lain yang memiliki makna atau kata serupa dengan ayat yang sedang dibahas. Metode analitik ini telah menciptakan kemajuan historis secara bertahap sebelum mencapai bentuknya yang sekarang. Metode ini dimulai sejak masa sahabat dan tabiin, dan memperoleh bentuk final dan luasnya pada karya Ibnu Majjah, al-Tabari dan lainnya. Tujuan metode analitik adalah memahami makna firman Tuhan yang bermanfaat bagi banyak orang pada permulaan masa Islam. Sejalan dengan waktu dan semakin jauh dari periode turunnya wahyu, dengan seluruh perkembangan dan perubahan lingkungan, makna kata-kata dari firman menjadi sulit untuk dipahami. Perkembangan metode analitik mengikuti pertumbuhan ketidakpastian dalam memahami teks al-Qur’an dan keraguan dalam menentukan maksud Tuhan, sehingga pada akhirnya metode ini memperoleh bentuknya yang paling akhir dalam bentuk tafsir ensiklopedik yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhir dengan surat al-Nas, yang memaparkan ayat demi ayat. Ini karena makna-makna harfiah dari banyak ayat perlu penjelasan, analisis, da penekanan sesuai dengan perjalanan waktu. Metode analitik pada hakikatnya tidak bermaksud menafsirkan suatu ayat dengan mengabaikan ayat-ayat lainnya, dan tidak bermaksud menolak bantuan ayat lain dalam memahami ayat yang sedang dibahas. Metode ini mempergunakan ayat lain untuk menafsirkan suatu ayat tertentu, dan untuk itu juga diper-
78
Zakiyuddin Baidhawy
lukan hadis-hadis. Penggunaan ayat lain hanya untuk memahami makna harfiah dari kata-kata dalam ayat. Akibatnya, penafsiran berhenti setelah pemahaman atas makna dari bagian ayat tertentu dalam al-Qur’an, tanpa dapat melampaui batasan dari ayat yang dibahas. Hasil-hasil dari metode analitik dalam tafsir ini adalah kumpulan makna-makna al-Qur’an yang sangat luas namun terpisah-terpisah satu sama lain. Inilah yang membuat kita sadar bahwa banyak gagasan dan ajaran al-Qur’an yang tidak saling berhubungan dan berdiri sendiri sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk mengidentifikasi hubungan antara ayat-ayat atau menemukan pola pemahaman. Dengan metode ini pula, kita tidak mungkin memahami pandangan al-Qur’an tentang berbagai lapisan aktivitas manusia. Jadi, apa yang kita hadapi ialah sekumpulan fakta yang sangat luas sehingga kita sulit membuat hubungan dan jalinan antara fakta-fakta itu, yang dapat membawa kita pada formasi gagasan-gagasan yang tersusun guna menangkap pandangan al-Qur’an mengenai beragam bidang dan lapisan kegiatan manusia. Tafsir analitik/ tahlili tidak dapat mencapai tujuan ini, dan jika dapat tercapai, namun itu bukan tujuan utamanya (al-Shadr, 1989). Pemahaman sepotong-potong yang dihasilkan oleh kecenderungan tafsir analitik ini tentu saja dapat membawa pada berkembangnya beberapa konflik keagamaan dalam Islam, karena tafsir ini mendorong individu atau kelompok Muslim tertentu menemukan dan menggunakan ayat tertentu untuk membenarkan posisi mereka, mengklaimnya benar dan mengkristalkan pengelompokkan di antara mereka sendiri. Ini terjadi dalam banyak persoalan kalam (teologi) seperti masalah kebebasan dan nasib manusia. Kekurangan-kekurangan ini melahir-
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
79
kan ketidakpuasan di kalangan sebagian penafsir, dan inilah yang mendorong lahirnya tafsir tematik atau mawdhu’i, yang akan dibahas kemudian.
E. Pendekatan Semantik Pendekatan semantik dalam ilmu bahasa dimanfaatkan oleh para pengkaji Islam untuk mempelajari teks-teks keislaman, terutama al-Qur’an. Bagian ini mencoba untuk mengelaborasi bagaimana pendekatan semantik digunakan untuk mempelajari struktur dan ketepatan sejumlah istilah kunci dan konsep dalam al-Qur’an yang pernah dilakukan oleh dua sarjana kontemporer, yaitu Toshihiko Izutsu (1914-1993) dan Syed Muhammad Naquib al-Attas (1931--), dan membandingkannya dengan al-Raghib al-Isfahani (w. ca 443/1060), penulis karya Kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Istilah-istilah kunci dan konsep-konsep yang dimaksud di sini adalah kata-kata yang digunakan al-Qur’an yang memainkan peran menentukan dalam menghiasi struktur konseptual dasar dari pandangan dunia al-Qur’an. Bagian ini berusaha menunjukkan bagaimana al-Qur’an telah mengubah secara mendalam dan karenanya juga mengubah makna istilahistilah dalam bahasa Arab yang mapan, khususnya istilah-istilah kunci yang berhubungan dengan agama dan etika, dan menyoroti suatu kenyataan bahwa analisis semantik kontemporer terhadap kosa kata al-Qur’an telah memiliki akar sejak abad ke-11. Toshihiko Izutsu adalah sarjana pertama yang akan diulas dalam bagian ini. Menurut Izutsu, al-Qur’an melalui keseluruhan kosa katanya memberikan ungkapan mengenai ontologi konkret dan dinamis, lebih dari sekadar pandangan abstrak dan metafisik tentang alam semesta. Ia menunjukkan hal ini melalui hasil kajiannya yang menggunakan pendekatan semantik dan 80
Zakiyuddin Baidhawy
telah diterbitkan pada 1960-an. Ia telah meletakkan skema konseptual terhadap apa yang ia sebut sebagai pandangan dunia alQur’an, dan inilah yang membedakannya dari pandangan dunia jahiliyah. Menurut Izutsu (1964; 1965; 1966; 1959), al-Qur’an adalah suatu bidang semantik yang sangat luas, yang telah mengintegrasikan seluruh sistem kata-kata, darimana pun asalnya, ke dalam suatu interpretasi sistematik baru yang menyeluruh. Ia menjelaskan metodenya sebagai ”studi analitik terhadap kata-kata kunci dari suatu bahasa dengan memerhatikan kandungan konseptualnya yang mencerminkan pandangan dunia suatu masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai alat bukan semata untuk bicara dan berpikir, namun lebih penting dari itu adalah untuk mengkonseptualisasi dan menafsirkan dunia di sekitar mereka. Istilah ”pandangan dunia” memberikan kunci bagi pemahaman Izutsu tentang semantik sebagai studi tentang hakikat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa pada suatu periode sejarahnya yang signifikan, yang dilakukan dengan menggunakan sarana analisis metodologis atas konsep-konsep kultural yang dihasilkan oleh bangsa itu sendiri dan terkristalisasi dalam kata-kata kunci bahasanya (Izutsu, 1964: 11; 1966: 7-9). Dengan menganalisis lebih dari dua lusin kata kunci seperti Allah, islam, iman, kufr, nabi, wahy, karim, taqwa, dan seterusnya (Izutsu, 1964: 25), Izutsu bukan hanya mampu mengkontraskan teologi dan etika Jahiliyah dan al-Qur’an, bahkan juga memaparkan jaringan konseptual yang menggarisbawahi pandangan dunia semantik al-Qur’an. Ia menunjukkan misalnya, bagaimana istilah ”Allah” telah mengalami perubahan semantik radikal dan transformasi konseptual. Pada masa pra Islam, kata ”Allah” dipahami oleh orang Arab sebagai merujuk kepada
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
81
tuhan tertentu dari sejumlah tuhan, kadang-kadang juga identik dengan tuhan yang bertanggung jawab atas penciptaan dan pemeliharaan langit dan bumi. ”Allah” hanyalah salah satu tuhan yang disembah oleh bangsa Arab pagan. Dengan kedatangan Islam, suatu perubahan mendalam terjadi dalam konsep tentang ”Allah” dengan segala akibatnya. Al-Qur’an memperkenalkan ”Allah” sebagai Yang Maha Tinggi (a’la) dan unik (ahad), yaitu satu-satunya Tuhan yang ada, yang mengeliminir semua tuhan-tuhan lain sebagai palsu dan tuhan-tuhan palsu itu sama sekali tidak memiliki relitas dan kekuasaan (asma’ sammaytumuha antum wa aba’ukum ma anzala Allah biha min sultan), dan tidak lain adalah produk dari imajinasi manusia (zann wa ma tahwa al-anfus) (Izutsu, 1964: 13-15 dan 40-42). Lebih penting dari itu, sebagaimana terbukti dalam beberapa ayat pertama kepada Muhammad, al-Qur’an menyatakan bahwa Allah adalah sumber utama pengetahuan dan guru bagi manusia (‘allama alinsan ma lam ya’lam). Perubahan yang sama terjadi pada banyak istilah-istilah etika dalam bahasa Arab. Kata ”karim” pada masa pra Islam berarti kehormatan warisan dan kebaikan yang terwujud melalui kemurahan yang berlebihan. Dalam al-Qur’an kata ini bermakna lain, utamanya ketika dihubungkan denga kata ”taqwa”, suatu kata yang pada awalnya tidak memiliki konotasi keagamaan pada masa pra Islam. Taqwa, sebelum masa al-Qur’an bermakna semacam sikap pertahanan diri yang dikendalikan oleh rasa takut yang dijumpai pada binatang. Al-Qur’an menggunakan kata ”taqwa” dengan makna ketakutan dan kebaktian kepada Tuhan. Maka kata ”karim” diterapkan pada siapa pun yang membelanjakan kekayaannya di jalan Allah dan dalam rangka kebak-
82
Zakiyuddin Baidhawy
tian, bukan untuk menghambur-hamburkannya atau untuk riya (Izutsu, 1966: 43-45; 234-239). Singkatnya, Izutsu menyimpulkan bahwa meskipun banyak kata yang digunakan al-Qur’an sama dengan yang digunakan dalam bahasa Arab, namun kata-kata itu tidak memiliki peran yang sama atau merujuk pada konsep yang sama. Kedermawanan/ kemurahan ditunjukkan dengan tindakan berinfak di jalan Allah; keberanian diubah dari egoisme buta ke kesadaran berkorban di jalan Allah; solidaritas kesukuan telah digantikan dengan kekeluargaan berdasarkan iman, dst. Hasil kajian yang paling diminati oleh para sejarawan agama-agama adalah pandangan Izutsu mengenai agama Arab pra Islam. Izutsu secara tegas menolak istilah ”agama” pada masa pra Islam. Ia tidak memandang agama Arab pra Islam sebagai agama, karena istilah ini tidak pernah muncul melampaui tingkat polydaemonisme yang telah menghasilkan banyak bid’ah, kebiasaan dan hal-hal duniawi, dan bangsa Arab khususnya Badui, pada umumnya kurang memiliki perhatian keagamaan yang serius. Menurutnya, solidaritas kesukuan (ashabiyyah) jauh lebih kokoh dibandingkan dengan agama (Izutsu, 1966: bab V). Ia juga menolak teori Arthur Jeffery and Wilfred Cantwell Smith tentang kata “din” dalam bahasa Arab berasal dari bahasa Persia. Ia menyatakan bahwa kata “din” dalam bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an memiliki dua makna, sebagaimana pada masa Jahiliyyah. Din berarti agama baik sebagai keimanan personal maupun sistem kredo dan ritual formal yang dilakukan bersama oleh sebuah komunitas (Izutsu, 1964: 219-229). Akibatnya, jika Islam diklaim al-Qur’an sebagai satu-satunya agama yang diterima Allah, ini harus dipahami dalam arti Islam sebagai agama yang telah direifikasi dan tidak direifikasi.
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
83
Kepeloporan studi semantik Izutsu telah memberikan pengaruh luas atas Studi Islam kontemporer, khususnya di bidang studi al-Qur’an dan Bahasa Arab. Beberapa sarjana lain yang juga berpengaruh ialah Noldeke, Jeffery, dan Wansbrough. Izutsu telah membuat analisis semantik menjadi metodologi dominan dalam bidang kajian ini. Karya-karya berikutnya seperti Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nass, dan Daniel A. Madigan dalam The Qur’an’s Self-Image, memiliki kesamaan dengan karya-karya Izutsu. Sarjana Muslim lain yang menggunakan analisis semantik adalah Naquib al-Attas. Al-Attas mengikuti kuliah-kuliah Izutsu di McGill University pada musim semi 1962 dan 1963, dan ia banyak mengambil manfaat dari kuliah-kuliah tersebut. Al-Attas juga menggunakan analisis semantik dalam beberapa karyanya. Ia sepakat dengan pandangan Izutsu bahwa penggunaan al-Qur’an atas sejumlah kata dala bahasa Arab memiliki skema konseptual yang baru dan ini menunjukkan suatu revolusi dalam sejarah pemikiran keagamaan dan moral bangsa Arab, yang menekankan bahwa transformasi semantik secara radikal atas kata-kata kunci dalam pandangan dunia mereka merupakan salah satu alasan mengapa Nabi Muhammad dituduh oleh bangsa Arab pagan sebagai seorang tukang sihir, penyair, orang gila. Revolusi dan penggantian pandangan dunia Jahiliyyah dengan pandangan dunia Islam disebut al-Attas sebagai proses “islamisasi”. Dalam karya tentang Hamzah Fansuri, al-Attas (1970: 163-169) menjelaskan perubahan semantik yang diprakarsai Hamzah dalam menggunakan kata Melayu ”ada” dan ”titah”, yang menunjukkan adalah perubahan drastis dan radikal dalam
84
Zakiyuddin Baidhawy
konsepsi Melayu mengenai hakikat wujud atau eksistensi, yang secara keseluruhan menggambarkan visi tentang alam semesta. Kata “ada”, menurut al-Attas, yang pada masa pra Islam berarti “menjadi” dan mengandung konsep “ada” secara material dan fisik, banyak keserupaan dengan makna kata “mawjud” dalam bahasa Arab, mengandung makna baru yang mencerminkan pandangan dunia baru. Kata “ada” yang digunakan Hamzah untuk menunjuk konsep metafisika seperti “jadi”, “menjadi”, dan “yang dijadikan” (yang umumnya untuk terjemahan “kana” dan derivasinya dalam bahasa Arab), sekaligus mengandung konsep “mawjud” baik dalam arti zahir maupun batin. Kata ini juga bermakna dzat, mahiyyah, diri, dan akhirnya digunakan untuk menggambarkan konsep abstrak tentang “wujud” (being qua being). Kata “titah” dalam bahasa Melayu berarti perintah yang biasanya digunakan oleh raja. Oleh Hamzah kata ini menghendaki makna relasional yang bukan semata mengandung arti posisi wewenang karismatik namun juga posisi wewenang ketuhanan sekaligus. Perubahan semantik atas kata “titah” terjadi sebagai akibat penggunaan Hamzah atas kata ini untuk menerjemahkan kata “amr” dalam bahasa Arab, yang dalam al-Qur’an dikaitkan dengan perintah Tuhan (al-Attas, 1970: 145-146). Contoh lain dari kajian al-Attas atas kata-kata kunci Islam dengan analisis semantik dijumpai dalam kuliahnya tentang “Islam: the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,” yang disampaikan di sebuah konferensi Islam internasional di London 1976. Ia mengatakan bahwa istilah “din” dalam bahasa Arab digunakan al-Qur’an dengan merujuk kepada al-Islam (QS. Ali Imran/3:19, 85; al-Maidah/5:3). Kata ini mengungkapkan konsep agama yang secara hakiki berbeda
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
85
dari apa yang umum dipahami dan diterjemahkan dalam keseluruhan sejarah keagamaan di Barat. Al-Attas menunjukkan hal ini dengan menganalisis konotasi dasar dari kata “din”. Dari kata ”d-y-n ” lahir kata ”din” yang artinya mencakup: 1) ”dana” (menaati, melayani, bertindak; juga menjadi ketundukan, ketaatan, penghambaan kepada sesuatu, dan membayar hutang; juga berarti aturan, pengelolaan, memiliki, dan menunjukkan wewenang atas seseorang atau sesuatu; menjadi terbiasa dengan sesuatu); 2) iddana, 3) istadana, 4) tadayyana (yang semuanya berarti mencari hutangan atau menjadi berhutang; 5) adana (memberikan pinjaman untuk jangka waktu tertentu, memberi kredit, atau menjual sesuatu untuk membayar pada waktu yang dijanjikan; dan 6) dayyana (mempercayai kesaksian seseorang di pengadilan; menyetujui seseorang sebagai penguasa, pemerintah atau pengatur bagi urusan-urusan publik). Kata benda dari akar kata yang sama adalah dayn, diyanah, din, dan daynunah. Semua bentuk derifasi dari akar kata d-y-n ini menunjukkan kepada kita semua kemungkinan makna yang relevan yang ada dalam istilah din. Menurut al-Attas, semua makna ini dapat direduksi menjadi empat unsur: hutang, tunduk, kekuasaan pengadilan, dan kecenderungan alamiah (al-Attas, 2001: 42). Dapat dikatakan bahwa konsep agama sebagaimana terungkap dalam kata ”din” dan sebagai diterapkan dalam kata ”al-Islam” jauh lebih komprehensif dan mendalam daripada yang dipahami di kalangan bangsa Arab pagan (yang meliputi kebiasaan, ketaatan, keimanan personal, dan praktik ritual) dan tidak sama dengan yang dipahami dalam istilah ”agama” di Barat. Istilah din mengandung konsep kefakiran manusia di hadapan Tuhan, ketundukan total manusia kepada Tuhan, kekuasaan pengadilan, dan merefleksikan
86
Zakiyuddin Baidhawy
kecenderungan alamiah manusia (fitrah) kepada kebaikan dan keadilan. Yang paling menarik dari analisis semantiknya adalah kesimpulan bahwa Islam sebagai ”al-din” merupakan agama subjektif, agama personal dari individu dan sekaligus agama objektif yang meresap ke dalam kehidupan komunitas – sehingga kata ”al-din” sebagai agama individual merupakan entitas yang sama dengan agama masyarakat yang terdiri dari sekumpulan entitas-entitas tersebut. Dengan demikian, pandangannya memperkuat teori Izutsu dan menentang teori Jeffrey dan Smith. Al-Husyan ibn Muhammad ibn al-Mufaddal, yang lebih dikenal dengan al-Raghib al-Isfahani adalah salah satu ahli bahasa paling dikenal selama masa Abasiyah. Ia memberikan kontribusi dalam bidang tafsir, etika, teologi, mistisisme, dan sastra. Karyanya Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur’an mencerminkan analisis semantik dan menjadi tengara kemajuan bagi studi sistemtik tentang al-Qur’an. Karya ini memberikan pengaruh besar pada sarjana-sarjana kemudian termasuk al-Fairuzabadi (w. 817/1415), penulis al-Qamus al-Muhit, dan Murtada alZabidi (w. 1205/1791) penulis leksikon Taj al-’Arus. Sayangnya karya al-Isfahani dilupakan oleh para sarjana kontemporer yang berminat dengan semantik al-Qur’an. Dalam Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur’an, al-Isfahani menggunakan prosedur sebagai berikut: Pertama, ia menjelaskan makna leksikal kosa kata, menganalisis morfologi dan menelusuri etimologinya. Kedua, ia memberikan contoh-contoh pengunaannya dalam berbagai konteks dengan mengutip al-Qur’an, tradisi, dan puisi. Ketiga, ia menjelaskan makna istilah yang ada dalam al-Qur’an dalam kaitannya dengan ayatayat lain dengan menggunakan pendekatan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Di samping itu ia juga mengutip pendapat-pendapat
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
87
sahabat Nabi, filosof, dan orang-orang bijak. Ia selalu memberi prioritas pada sumber-sumber agama daripada sumber-sumber filsafat. Berikut ini adalah beberapa contoh kajian al-Isfahani. Kata “Allah” adalah suatu kata yang diberi imbuhan ma’rifah ”al-” di depan kata benda ”ilah” yang artinya tuhan. Empat teori bicara tentang morofologi ”Allah” antara lain: teori yang menyatakan bahwa kata ini berasal dari alaha-ya’luhu, artinya beribadah; teori yang mengatakan bahwa kata ini berasal dari aliha-ya’lihu, artinya sesuatu yang mengagumkan, mempesona; teori yang menjelaskan bahwa kata ini berasal dari wilah, huruf waw kemudian diubah menjadi hamzah, artinya sesuatu yang dipuji dan dicintai; dan teori bahwa kata ini berasal dari lahayaluhu-liyahan, artinya sesuatu yang tertutup atau tetap tersembunyi. Dalam tradisi Arab pagan, kata ”Allah” digunakan sebagai nama bagi setiap berhala atau objek sesembahan (ism li kulli ma`bud), baik yang maskulin maupun feminin. Jadi, matahari disebut ilahah, dewa-dewa, dan sejumlah dewa merujuk kepada bentuk pluralnya alihah. Kemudian al-Isfahani menyatakan bahwa penggunaan kata semacam ini tidak benar dan karena itu dikoreksi oleh al-Qur’an (al-Isfahani, tth.: 82-83). Kata kerja ”dana-yadinu” berarti berhutang atau memiliki sesuatu yang diambil dari orang lain, dan ”adana-yudanu” berarti memberikan pinjaman kepada seseorang. Kata ”din” digunakan dengan arti ketaatan dan balasan, yaitu sesuatu yang diberikan atau diterima sebagai kompensasi/balasan bagi perilaku yang bernilai atau sebagai ganjaran bagi tindakan kejahatan. kata ini kemudian digunakan secara metaforis untuk hukum-hukum Tuhan. Kata ”din” serupa dengan ”millah”, yang mengandung gagasan tentang ketaatan dan kepasrahan kepada hukum-hukum Tuhan, seperti dalam ayat: ”Sungguh, agama yang diterima
88
Zakiyuddin Baidhawy
di sisi Allah adalah Islam” (QS. Ali Imran/3:19). Ketika kata ”din” disebut dalam al-Qur’an bersamaan dengan Allah atau Kebenaran (al-haqq), maka agama Islam yang dimaksud oleh ungkapan tersebut. Seperti contoh dalam ayat: ”Dan barangsiapa mencari agama selain dari Islam, maka Allah tidak akan pernah menerimanya” (QS. Ali Imran3/85) (al-Isfahani, tth.: 323). Penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik membawa kita pada pemahaman tentang sejarah bahasa Arab yang lebih bernuansa. Tidak ada persoalan bahwa semua bahasa tentu saja berubah dari waktu ke waktu dan bahkan terus mengalir sejalan dengan perubahan konotasi yang terjadi pada teks. Perubahan-perubahan ini dapat berupa perubahan grammatika (yang melibatkan morfologi dan syntaks, perubahan semantik makin luas atau menyempit maknanya, berubah maknanya atau ganda maknanya), dan seringkali terjadi sebagai akibat kontak kultural. Bahasa Arab tanpa kecuali. Penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik akan menyingkap tirai-tirai yang selama ini dipertahankan selama berabad-abad, karena alasan bahwa bahasa Arab adalah bahasa wahyu Islam. Karena perubahanperubahan semacam ini, maka para filolog dan orientalis Barat mengklasifikasikan bahasa Arab ke dalam masa klasik, pertengahan, dan modern. Namun demikian, bahasa Arab modern yang tertulis sangat sulit dibedakan dari tulisan-tulisan bahasa Arab pertengahan. Hal ini bisa dilihat melalui studi perbandingan semantik. Berdasarkan kajian tiga sarjana di muka, mereka menyatakan bahwa ada banyak kata kunci dan istilah kunci yang pada hakikatnya masih tidak berubah meskipun terjadi perubahan lingkungan historis dan tanpa memandang konteks kebudayaan yang bervariasi.
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
89
F. Pendekatan Tematik Pendekatan tematik (mawdhu’i) tidak menafsirkan al-Quran ayat demi ayat. Pendekatan ini berusaha mengkaji al-Qur’an dengan cara mengambil tema tertentu dari berbagai tema ajaran, sosial dan kosmologi yang ada dalam al-Qur’an. Pendekatan tematik mengkaji dan membahas, misalnya ajaran tauhid dalam alQur’an, konsep kenabian dalam al-Qur’an, pendekatan alQur’an dalam masalah perekonomian, kosmologi al-Qur’an, dsb. Dalam kajian semacam ini, pendekatan tematik berusaha menentukan pandangan al-Qur’an dan memahami keseluruhan pesan al-Qur’an dalam satu masalah tertentu di antara berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan dan alam semesta. Pendekatan tematik secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tematik berdasar surah al-Qur’an; dan (2) tematik berdasar subjek. Tematik berdasarkan surah al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud. Sementara tematik subjek adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan. Menurut catatan, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir mawdhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir 90
Zakiyuddin Baidhawy
ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan (Shihab, 1999: 114). Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad al-Insan fi al-Qur’an, dan al-Mar’ah fi al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Riba fi al Qur’an. Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu‘i: Dirasah Manhajiyah Mawdhu‘iyah. Namun kalau merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek. Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhan, misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyuti (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqan. Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke-20, baik tematik berdasarkan surah alQur’an maupun tematik berdasar subyek/topik. Langkah-langkah untuk menerapkan metode tafsir tematik, menurut Abdul Hay Al-Farmawiy (1996), ada tujuh langkah sebagai berikut: 1. Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik ); 2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; 3. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya.disertai pengetahuan tentang asbabun nuzulnya;
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
91
4. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing; 5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna; 6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan; 7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), muthlaq dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan. Sementara menurut M.Quraish Shihab (1999:115) ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode tematik ini antara lain: 1. Penetapan masalah yang dibahas. Walaupun metode ini dapat menampung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula. 2. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa. 3. Kesempurnaan metode tematik dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-
92
Zakiyuddin Baidhawy
ma’tsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik. Dari uraian di atas, baik yang dikemukakan Abdul Hay Alfarmawiy maupun M.Quraish Shihab sama-sama sependapat bahwa langkah awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik adalah menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat, agar al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban terhadap problem masyarakat itu. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalanpersoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain: 1. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan al-Qur’an, 2. Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk hidup. 3. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
93
Qur’an, sekaligus membuktikan bahwa al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat (Shihab, 1999: 117). Karena tafsir tematik merupakan jawaban atas kekurangankekurangan yang terdapat dalam tafsir atau pendekatan tahlili/ analitik, maka perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara keduanya (al-Shadr: 1989). Pertama, peran penafsir dalam metode analitik pada umumnya bersifat pasif. Penafsir selalu memulai dengan memerhatikan teks al-Qur’an, ayat atau pesannya, tanpa memformulasi premis atau rencana apa pun sebelumnya. Ia membatasi diri pada paparan teks al-Qur’an, sehingga peran teks di sini sama dengan peran si pembicara, dan penafsir secara pasif bertugas untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Sebaliknya dalam tafsir tematik, penafsir tidak memulai aktivitasnya dari teks al-Qur’an, namun dari realitas kehidupan. Ia fokus pada persoalan tertentu dan beragam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek ideologis, sosial dan kosmologis dalam kehidupan, mempergunakan hasil-hasil pikiran dan pengalaman manusia tentang masalah tertentu, persoalan-persoalan yang muncul dan solusi atas persoalan tersebut. Kemudian penafsir kembali kepada teks al-Qur’an, bukan sebagai pendengar dan perekam pasif. Ia menempatkan di hadapan al-Qur’an topik dan problem tertentu yang ada dalam gagasan dan pandangan manusia. Lalu ia mulai berdialog dengan al-Qur’an; penafsir bertanya, al-Qur’an menjawab. Kedua, metode tematik satu langkah lebih maju daripada metode analitik/tahlili. Metode analitik membatasi diri upaya mengungkapkan makna detail dari ayat-ayat, sementara metode tematik bertujuan melebihi dari ini dan mempunyai ruang lingkup pencarian yang lebih luas. Metode tematik berupaya me-
94
Zakiyuddin Baidhawy
ngetahui hubungan antara berbagai ayat sehingga memperoleh pandangan al-Qur’an yang utuh yang di dalamnya setiap ayat memperoleh tempat yang layak. Metode tematik berusaha mencari pandangan al-Qur’an tentang kenabian misalnya, pandangan tentang teori ekonomi, hukum, kosmologi dll. Jadi, dengan cara ini tafsir tematik satu langkah melampaui tafsir tahlili/analitik, dan bermaksud untuk menyusun suatu pandangan yang menyajikan wawasan alQur’an mengenai isu tertentu dari berbagai macam isu ideologi, sosial dan kosmologi. Inilah dua perbedaan prinsip antara metode analitik dan metode tematik dalam tafsir. Kita juga dapat menyebutkan bahwa metode tematik diterapkan di bidang fikih, jadi bukan hanya di bidang tafsir semata, sementara metode analitik hanya di bidang tafsir. Kini studi fikih perlu memanfaatkan potensi metode tematik untuk memperluas ruang lingkupnya secara horizontal sekaligus vertikal, karena metode tematik memulai dari realitas dan kembali kepada syariah. Ini mendorong para ulama dan ahli fikih memerhatikan berbagai aspek dan situasi kehidupan nyata, seperti persoalan-persoalan kontrak ju’alah, mudarabah, muzara’ah, musaqat, dan perkawinan, untuk menghubungkannya dengan sumber-sumber syariah dalam rangka mendeduksi aturan-aturan syariah bagi semua aktivitas tersebut. Adalah suatu keniscayaan bahwa studi hukum memperluas ruang lingkupnya lebih jauh secara horizontal karena para sarjana yang berkontribusi bagi perkembangan metode tematik selama beberapa abad adalah mereka yang selalu peka untuk menangkap realitas kontemporer dan mengkaitkannya dengan syariah, dengan maksud untuk mendeduksi hukum-hukum yang
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
95
dapat diterapkan pada realitas tersebut. Namun karena aktivitas manusia terus menerus dalam proses perubahan dan perluasan, dengan wilayah-wilayah aktivitas baru, maka diperlukan agar penerapan metode ini dilakukan secara berkesinambungan dengan mengharmonikan semua aspek baru dari aktivitas manusia dengan syariah. Sebagai contoh, pada masa-masa awal Islam, transaksi seperti tijarah, mudarabah, muzara’ah, dan musaqat merupakan gambaran tentang perdagangan pada masa itu. Namun kini serangkaian transaksi ekonomi telah semakin luas dan menjadi lebih rumit. Karena itu, sangat penting bagi para ahli fikih masa kini untuk selalu menghubungkan kehidupan nyata dengan syariah. Maka metode tematik dapat membantu untuk memperluas fikih secara horizontal. Pun perlu dicatat bahwa metode ini digunakan dalam fikih secara vertikal. Maksud dari perluasan vertikal di sini ialah upaya untuk menjangkau sudut pandang fundamental yang mewujudkan diri dalam pandangan Islam yang menjadi sandaran bagi legislasi dan suprastruktur hukum yang lebih terperinci. Ini disebabkan kita tahu bahwa setiap perangkat hukum berkaitan dengan bidang tertentu dari aktivitas manusia, yang di satu sisi berhubungan dengan konsep-konsep dasar, dan dengan perkembangan utama yang berhubungan dengannya di sisi lain. Misalnya, hukum ekonomi dalam syariah didasarkan pada pandangan Islam tentang ekonomi; hukum-hukum tentang perkawinan, perceraian, dan yang berkaitan dengan hubungan antara lelaki dan perempuan disandarkan pada pandangan dasar syariah tentang lelaki dan perempuan serta peran mereka. Kata tematik di sini digunakan dalam arti bermula dari suatu tema yang diangkat dari realitas kehidupan dan kembali
96
Zakiyuddin Baidhawy
kepada al-Qur’an. Kita juga dapat menyebutnya dengan metode ”sintetik” karena ia berusaha menyatukan pengalaman manusia dengan al-Qur’an. Namun ini bukan berarti bahwa metode ini bermaksud menundukkan al-Qur’an di hadapan pengalaman manusia. Metode ini menyatukan keduanya dalam konteks pencarian yang bertujuan untuk menderifasi dari kesatuan konteks ini pemahaman al-Qur’an yang mampu menentukan pandangan Islam berkenaan dengan pengalaman manusia tertentu atau berkaitan dengan ide tertentu yang dibawa penafsir ke dalam konteks pencariannya. Metode ini menyeleksi sekelompok ayat terkait tema tertentu, kemudian menyintesis ayat-ayat dan maknanya ke dalam suatu pandangan yang utuh. Meski metode tematik tampak lebih baik daripada metode tafsir tahlili/analitik, namun bukan berarti kita tidak membutuhkan tafsir tahlili. Metode tematik juga tidak dimaksudkan untuk mengganti kedudukan tafsir tahlili. Namun keduanya bisa saling mengisi. Keduanya penting dalam tradisi tafsir al-Qur’an dan tidak saling meniadakan satu dengan yang lain.[]
Model Pendekatan Kajian Teks-teks Islam: Studi Al-Qur’an
97
98
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 5
MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS
H
adis merupakan sumber utama Islam kedua setelah AlQur’an. Karena itu, perdebatan tentang hadis bukanlah suatu yang mengejutkan hingga saat ini terus terjadi. Pada akhir abad ke-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti dan semakin banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia Islam dan Barat. Ini disebabkan penemuan-penemuan banyak sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi. Banyak manuskrip hadis pada masa-masa awal diterbitkan dan memperoleh bahasan dari para sarjana. Beberapa sumber hadis yang baru mencakup kitab Musannaf (11 volumes, Beirut 1391/1972) karya `Abdur-Razzaq ibn Hammam As-San`ani (w. 211/827), Al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-Athar (15 volumes, Hyderabad 1386/1983) karya Ibn Abi Shaybah (w. 235/849), dan Tarikh al-Madinah al-Munawwarah (4 volumes., Jeddah, tth.) karya `Umar ibn Shabba. Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
99
Tiga sumber ini dan banyak lainnya dipandang sebagai temuan penting dalam bidang wacana hadis. Di antara metodologi baru yang berkembang dalam studi hadis adalah dua pendekatan yang dapat dibedakan: Pertama, analisis isnad terhadap hadis-hadis ahad, demikian Harald Motzki (1992) menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang sangat kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana Belanda GHA. Juynboll (1989). Kedua, pendekatan yang fokus pada analisis teks (matn) hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan analisis isnad. Beberapa di antara yang menggunakan pendekatan ini ialah Gregor Schoeler dan Motzki (1992). Wael B. Hallad dari McGill University menyatakan bahwa sejak Joseph Schacht menerbitkan karya monumentalnya pada 1950, wacana ilmiah tentang masalah ini (persoalan otentisitas hadis) telah tersebar luas. Tiga kelompok sarjana dapat diidentifikasi di sini antara lain: mereka yang berusaha untuk menguatkan analisis Schacht dan melampaui analisisnya; mereka yang berupaya menolak analisis Schacht; dan mereka yang berupaya mencari jalan tengah, membuat sintesis antara dua pendapat di atas. Dalam kelompok pertama antara lain John Wansbrough dan Michael Cook; kelompok kedua antara lain Nabia Abbott, F. Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fück; dan kelompok ketiga yang mengambil jalan tengah antara lain Motzki, D. Santillana, G.H. Juynboll, Fazlur Rahman dan James Robson (Hallaq, 1999). Dari sini kita mengetahui problem otentisitas hadis telah menjadi perbincangan di kalangan sarjana modern. Masalah ini juga telah menjadi bahan perdebatan di kalangan sarjana Muslim
100
Zakiyuddin Baidhawy
klasik. Para sarjana Barat pun memberikan perhatian intensif mengenai masalah ini. Gustav Weil sejak 1848 telah menyatakan bahwa jumlah yang sangat besar dari hadis perlu dilihat secara mencurigakan. Aloys Sprenger pada 1861 juga menyatakan hal serupa. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa kebanyakan hadis muncul pada periode-periode belakangan. Dengan pandangan serupa, Joseh Schacht berpendapat bahwa sejauh hadis-hadis yang sah diperhatikan, hadis-hadis itu diasumsikan merupakan hadis palsu kecuali jika kita dapat membuktikan kebalikannya. Tidak bermaksud untuk terpaku pada masalah ini, kita harus sepakat dengan Hallaq ketika ia berargumen bahwa hasil-hasil kajian ilmiah berkenaan dengan otentisitas hadis telah muncul sejak Weil mempelopori persoalan ini satu setengah abad lampau (Hallaq, 1999). Karena itu, studi hadis tidak akan pernah lepas dari studi tentang kritik hadis.
A. Kajian Orientalis tentang Hadis Kajian orientalis tentang hadis dapat dilihat pada studi yang dilakukan oleh Ignaz Goldziher. Pandangan-pandangannya banyak diikuti oleh kebanyakan kaum orentalis seperti Leone Caetani, T. W. Juynboll, Gaston Wiet, Joseph Schacht, N. J. Coulson, Alfred Guillaume, dan H. A. R. Gibb. Dalam karyanya Muslim Studies dan dalam sebuah bab berjudul “Reaksi terhadap Pemalsuan Hadis”, Goldziher membahas bagaimana metode kritik dari sarjana Muslim terhadap fenomena pemalsuan hadis. Ia menyimpukan tanda-tanda dan ungkapan-ungkapan dalam reaksi ini ke dalam tiga cara berbeda dan menyimpulkan bahwa ada bahaya yang sangat nyata dari tindakan penyelundupan hadis. Bahaya itu mengancam seluruh bidang Sunnah dalam agama dan kehidupan publik. Lingkaran-lingkaran yang henModel Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
101
dak melindungi hadis dari pemalsuan harus memberikan perhatian khusus pada karakter otoritas dan informan tentang klaim otentisitas bagi setiap hadis. Hanya hadis-hadis yang dapat diterima karena mengungkapkan semangat keagamaan sesungguhnya dari keseluruhan komunitas yang disampaikan oleh mereka jujur dan tulus, sekaligus mereka yang berpegang pada kepercayaan ortodoks yang tidak diragukan. Perhatian kurang diberikan pada muatan hadis itu sendiri daripada otoritas dalam isnad (Goldziher, 1971: 134). Lebih lanjut Goldziher (1971: 140-141) menyatakan bahwa kritik sarjana Muslim berangkat dari satu titik tolak yang formal. Titik tolak ini menentukan untuk menilai kredibilitas dan otentisitas, atau kesahihan hadis. Hadis-hadis hanya diselidiki dengan melihat bentuk luarnya dan penilaian terhadap muatannya tergantung pada penilaian tentang kesahihan isnad. Jika isnad tidak mungkin mengandung kontradiksi lahir dan batin setelah diteliti melalui kritik formal hadis, jika kesinambungan sanadnya yang terpercaya tertulis lengkap, jika terjadi komunikasi antarsanad satu dengan yang lain, maka hadis yang bersangkutan dipandang sebagai sahih. Tak seorang pun dapat menyatakan: “karena matan memuat kandungan yang rancu baik secara historis maupun logis, maka saya meragukan kesahihan isnadnya”. Selama ini para kritikus hadis dari kalangan Muslim tidak menyentuh kritik atas matan hadis. Berangkat dari paradigma umum studi Barat tentang hadis, kita mencatat beberapa sikap netral berkenaan dengan kritik teks hadis. R. Marston Speight mengakui kontribusi para muhadisin awal untuk meneliti otentisitas hadis. Dalam tulisannya tentang hadis dalam entri The Oxford Encyclopaedia of Modern Islamic World, Speight memandang bahwa teks hadis membutuhkan
102
Zakiyuddin Baidhawy
kriteria lain untuk menguji otentisitas materinya di samping kritik sanad. John L. Esposito mempunyai sikap serupa. Ia setuju dengan kebanyakan pandangan Muslim bahwa penilaian tentang hadis fokus isnad periwayat dan matannya. Sejalan dengan Julius Wellhausen (1844–1918), Harald Motzki dari University of Nijmegen mencoba menentang pandangan merendahkan dari Goldziher dan Schacht berkaitan dengan masalah isnad dengan berupaya menjawab masalah ini melalui pendekatan sejarah hadis yang disebut Überlieferungsgeschichtlich”. Motzki menyunting sebuah buku tentang biografi nabi. Ia mengumpulkan beberapa artikel dari sebuah colloquium yang diselenggarakan pada ulang tahu ke-50 Department of Languages and Cultures of the Middle East di University of Nijmegen, Netherlands, pada 1997. Ia menyajikan sebuah artikel di mana ia menerapkan metodologi analisis isnad-cum-matn. Motzki, di samping sarjana-sarjana lainnya, mengedepankan pendekatan kritik hadis ini untuk mengemukakan suatu tesis bahwa analisis isnad semata atau analisis matan saja tidaklah cukup untuk memisahkan hadishadis yang otentik dari hadis-hadis yang meragukan.
B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Muslim Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis Muslim dan sarjana hadis Barat bersandar pada perbedaan fundamental pendekatan terhadap tradisi Islam secara keseluruhan. Sikap Muslim tradisional terhadap hadis dapat dilihat sebagai berikut: “...Sunnah, atau hadis Nabi...merupakan sumber utama kedua dalam hukum Islam, benar selamanya, dan Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
103
kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti oleh Muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alasan ini, para sahabat, bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang sunnah dan hal ini dianjurkan oleh nabi sendiri.” (Azami, 1977: 46). Dengan kata lain, hadis memiliki peran utama dalam Islam. Inilah yang sejak awal mendorong Muhammad saw. dan para sahabatnya untuk mulai memelihara hadis secara akurat demi keterjagaannya. Pandangan tradisional mengenai cara-cara untuk memelihara hadis oleh komunitas awal dijelaskan oleh Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, bahwa mereka duduk bersama nabi, mungkin 60 orang dan Nabi mengajarkan hadis. Ketika nabi pergi untuk suatu keperluan, mereka biasanya menghafalkan hadis hingga benar-benar tertanam dalam jiwa. Bagi para sarjana Muslim yang yakin bahwa Islam telah ditegakkan oleh Allah yang Maha Mengetahui melalui seorang nabi yang ma`sum, secara keseluruhan dapat diterima akal bahwa Muhammad saw. sangat memerhatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa abad kemudian. Ia juga dapat melihat pentingnya hadis bagi agama Islam, dan karena itu mengambil langkah dari awal untuk membentuk suatu badan otoritatif hadis. Pandangan semacam ini memperoleh dukungan dari hadis itu sendiri: “Sampaikanlah apa-apa yang berasal dariku meskipun hanya satu ayat” (HR. Bukhari), dan “Allah menyinari orang yang mendengarkan hadis dariku, jagalah ia dengan hatihati, dan sampaikanlah kepada yang lain” (HR. Ibn Hanbal). Bagi para sarjana Barat, tidaklah masuk akal bahwa hadis, cerita-cerita dan perkataan-perkataan Muhammad saw. diakui
104
Zakiyuddin Baidhawy
dan dikumpulkan sebagai hadis dalam arti teknis sudah ada pada masa Nabi hidup. Mereka lebih percaya bahwa Muhammad saw. bicara dan berbuat secara sadar, dan mungkin ia menjadi teladan bagi komunitasnya, namun tak seorang pun yang dapat mencatat tindakan-tindakan dan perkataan-perkataannya dengan sangat detail selama berabad-abad. Setelah kematian Muhammad saw., anggota komunitas masa awal mencari petunjuk dalam menghadapi situasi baru, seperti perluasan wilayah Islam. Di samping itu, orang-orang yang konversi ke Islam dari agama-agama lain mencari petunjuk bagi keimanan mereka yang baru, kadang-kadang dengan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari tradisi kebudayaannya sendiri yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, contoh-contoh dari kehidupan Muhammad saw. dilihat kembali dan tidak selalu akurat. Upaya mengumpulkan jawaban dari kehidupan nabi ini kemudian diformalkan menjadi sunnah atau hadis yang terdiri dari ribuan hadis, yang sebagian benar-benar menjelaskan kata-kata dan perbuatan Nabi dan sebagian lainnya tidak. Bagi para sarjana Barat, ungkapan hadis “Allah menyinari orang yang mendengarkan hadis dariku, menjaganya dengan hati-hati, dan menyampaikannya kepada yang lain”, adalah bukti bahwa hadis ini merupakan salah satu hadis yang tidak pernah diucapkan oleh Muhammad saw. Bagi mereka, hadis ini dibuat setelah kehidupan Nabi dengan tujuan untuk mendukung upaya-upaya pengumpulan hadis. Bukan hanya sarjana Barat yang mempersoalkan tentang otentisitas sebagian hadis. Ada banyak hadis palsu adalah suatu fakta yang juga diakui baik oleh sarjana Muslim maupun sarjana Barat.
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
105
Pendekatan mereka atas persoalan hadis yang mana yang dapat diakui sebagai otentik berbeda. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai perbedaan pendekatan antara sarjana Muslim dan sarjana Barat. Di kalangan sarjana Muslim, Ibn Qutaybah (w.889) menyampaikan pernyataan banyak sarjana hadis tentang masalah penyebaran hadis-hadis palsu. Ia menunjukkan satu contoh hadis yang banyak disampaikan oleh para pendakwah yang menyatakan bahwa kadal adalah orang-orang Yahudi yang telah dikutuk oleh Tuhan, bahwa serigala masuk di surga untuk memakan para pengumpul pajak. Tentu saja para pengumpul hadis bertujuan lebih dari sekadar menghargai hadis. Dalam persoalan hadis asli dan hadis palsu, mereka memutuskan untuk memisahkan antara yang otentik dari yang tidak otentik. Karena ada ratusan ribu hadis yang tersebar pada masa itu, tentu saja tugas ini menjadi berat. Upaya ini melibatkan kajian tentang detail biografi para periwayat hadis yang jumlahnya ribuan yang terdapat dalam isnad dan menghafal puluhan jika bukan ratusan ribu hadis lengkap dengan isnadnya. Kaum Muslim saat ini mengenal orang-orang yang telah melakukan tugas tersebut –seperti Malik bin Anas, Ibn Hanbal, Bukhari, Muslim, dll– dengan penghargaan yang sangat tinggi, dan tidak mengherankan jika sarjana Muslim kini melakukan serangan atas sebagian sarjana Barat bahwa metodologi mereka itu payah, bahkan sebagian lebih ekstrem lagi bahwa tidaklah mungkin metodologi Barat mengetahui mana hadis yang otentik dari yang tidak. Ilmu hadis itu benar-benar canggih. Menurut Ibn al-Mullaqin (w. 1400), seorang sarjana agama dari Mesir, ilmu hadis terbagi dalam 200 sub bidang. Kriteria utama untuk menentukan keaslian hadis adalah penilaian terhadap isnad. Is-
106
Zakiyuddin Baidhawy
nad dinilai melalui dua kriteria utama. Pertama, apakah seluruh rantainya saling berhubungan. Tidak boleh ada periwayat yang tidak punya nama, dan semua periwayat harus hidup bersinggungan dengan waktu hidup periwayat lainnya, atau dalam satu tempat bersama dengan periwayat lainnya ketika mereka mendengarkan hadis dan menyampaikannya. Kedua, karakter moral dari rantai periwayat, apakah mereka semuanya jujur, secara moral tidak pernah berdusta dan membuat hadis palsu. Metodologi untuk menilai biografi para periwayat hadis dikenal sebagai `ilm al-rijal. Ilmu ini berusaha mengetahui para periwayat dalam isnad, siapa guru dan murid-muridnya, sehingga diketahui tahun kelahiran dan kematiannya. Tentu saja krieteria ini bisa diterapkan secara lebih kurang ketat. Bukhari menuntut perlunya bukti bahwa dua orang periwayat benar-benar pernah bertemu, sementara Muslim hanya mempertanyakan adanya bukti bahwa mereka pernah bertemu. Persoalan kejujuran seorang periwayat merupakan masalah subjektif. Seorang muhadis pada masa awal Ibn Mubarak (w. 797) menetapkan 4 (empat) kriteria bagi seorang periwayat yang berperilaku benar (`adl): ia harus beribadah secara berjamaah, tidak minum anggur, tidak berkata bohong, dan tidak menderita penyakit mental. Sangat mungkin muhadis lain berbeda pandangan mengenai periwayat yang sama. Ibn Qutaybah misalnya, telah dinilai oleh beberapa muhadis. AsSuyuti memandangnya sebagai orang yang jujur dan pembelajar. Al-Baiyhaqi menilainya sebagai penganut sekte bidah alKaramiyyah. Al-Hakim mengklaimnya sebagai pembohong, dan az-Zahabi menilainya sebagai seorang antropomorfis (orang yang memandang manusia sebagai gambaran dari Tuhan yang transenden).
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
107
Sebagian sarjana Muslim memberikan perhatian kepada muatan suatu hadis sekaligus. Sebagaimana disebut di muka, Ibn Qutaybah menolak hadis masyhur yang beredar saat itu atas dasar kerancuan muatannya. Ibn Qayyim (w. 1350) menulis proses penolakan hadis berdasarkan muatannya. Menurutnya, sebuah hadis yang menyatakan “Tidak ada Tuhan selain Allah, bagian pertama dari syahadat, Tuhan menciptakan dari kalimat ini seekor burung dengan 70.000 bahasa”, adalah hadis yang rancu, dan kontradiksi dengan Sunnah, bertentangan dengan Al-Qur’an. Hadis ini lebih mnenyerupai perkataan para mistikus (Garden, 2005:16-17). Pada akhirnya standar yang ditetapkan untuk menilai periwayat hadis ada sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab. Berdasarkan kriteria ini, hadis dibagi ke dalam dua kelompok: hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Berdasarkan pada sistem kritik hadis yang mapan ini, para kritikus hadis Muslim mampu mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab Bukhari dan Muslim, dan banyak hadis lainnya yang tidak dipandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat diterima sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hukum dan ibadah. Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode untuk menentukan otentisitas hadis berdasarkan isnad. Mereka ingin kembali kepada matan atau muatan dari hadis. Mereka memiliki alasan untuk meragukan adanya hadis-hadis yang tidak berasal dari masa nabi karena hadis-hadis itu bicara tentang persoalan-persoalan yang muncul setelah kematian nabi. Asumsi ini didukung oleh fakta bahwa sebagian kaum Muslim belakangan berusaha untuk menemu-
108
Zakiyuddin Baidhawy
kan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka engan menyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad saw. Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan. Ada sebagian kelompok yang merasa bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang tepat untuk menggantikan Nabi sebagai khalifah pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelompok ini muncul Syi’ah. Jadi, para sarjana Barat menjumpai suatu hadis yang mengatakan: “Ketika Nabi masih hidup di antara kami, kami tidak membandingkan seorang pun dengan Abu Bakar, sesudahnya dengan Umar dan kemudian Usman. Kami tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang ada” (HR. Abu Dawud). Mereka berpendapat bahwa hadis ini beredar setelah nabi wafat dengan tujuan untuk melegitimasi klaim Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki pesan bertentangan, bahwa Muhammad saw. bermaksud agar Ali yang menjadi penggantinya. Muhammad saw. dikatakan telah bersabda: “Barangsiapa yang ingin menjadi patronku, maka Ali juga patronnya” (HR. Ahmad Ibn Hanbal). Dari contoh ini, jelas bahwa metode kritik isnad belumlah cukup. Banyak sarjana Barat melihat matan dan sekaligus isnad untuk menentukan keaslian suatu hadis, begitu pula mereka menemukan bukti ketidakaslian suatu hadis berdasarkan isnad dan matannya. Sebagian mereka memandang bahwa isnad kadang-kadang “tumbuh belakangan”. Artinya, pada sumbersumber awal, suatu hadis dijumpai dengan isnad yang luas hingga awal abad ke-8. Pada sumber-sumber berikutnya hadis yang sama dapat dijumpai namun dengan isnad yang sampai ke sahabat nabi. Masih pada sumber-sumber kemudian, hadis yang sama dijumpai dengan isnad yang sampai kepada Nabi sendiri. Asumsi para sarjana Barat adalah bahwa karena
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
109
pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu kritik hadis menjadi lebih canggih, yang menuntut suatu hadis memiliki asal-usul dari Nabi sendiri, hadis dihiasi dengan isnad yang pada akhirnya tersambung kepada Muhammad saw. Perbedaan-perbedaan dalam mendekati hadis ini berangkat dari berbagai pendekatan fundamental kepada tradisi keagamaan secara keseluruhan.
C. Kajian Sarjana Muslim Modern Beberapa contoh model kajian yang dilakukan oleh sarjana Muslim modern, utamanya di Mesir, dapat disajikan berikut ini (Haredy, 2001). Kajian-kajian mereka berkaitan dengan persoalan kritik teks yang pada akhirnya dapat meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham. Rashid Ridha (1865-1935) membahas kritik matan. Ia mempersoalkan beberapa hadis yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim. Menurutnya, pada ahli hadis (muhadisun) jarang meneliti dan mencermati matan hadis dengan melihat maknanya. Mereka lebih memfokuskan diri pada isnad dan konteks dari matan. Ia mengatakan bahwa banyak hadis yang tampak kokoh isnadnya mesti dikritik dari segi muatannya. Berdasarkan pandangan ini, ia menolak hadis-hadis jika hadishadis itu baginya tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis, atau jika hadis-hadis itu bertentangan dengan prinsipprinsip syariah yang lebih luas (Ridha, 1928: 40). Mahmoud Abu Rayyah (1889–1970) mengemukakan banyak argumen dari berbagai sumber untuk menantang posisi literatur hadis yang ada selama ini. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa hadis-hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan 110
Zakiyuddin Baidhawy
hadis-hadis pada umumnya perlu dikaji secara luas agar dapat dpertanggungjawabkan reliabilitas teksnya. Dalam bukunya Adwa’ `ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah, Abu Rayyah menyatakan bahwa metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah. Para muhadisun awal memformulasikan metode-metode yang membuat mereka membatasi diri untuk mengetahui sebanyak mungkin karakter periwayat dan biografinya. Mereka tidak peduli apakah yang mereka riwayatkan itu benar atau tidak, rasional atau tidak. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kaum muhadisun tidak melampaui isnad, teks bukanlah sesuatu yang sangat penting. Para muhadisun belakangan juga tidak melampaui batasan-batasan yang dibuat oleh para muhadisun awal. Akibat dari komitmen pada kriteria awal untuk menguji otentisitas hadis adalah bahwa ilmu riwayat menjadi kaku sejak awal-awal Islam dan tidak mau berubah. Ahmad Amin (1886–1954) dalam bukunya Fajr al-Islam, menulis satu bab berkaitan dengan studi hadis. Amin menyatakan bahwa para sarjana meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengkritik dan menilai hadis yang terlampau rinci. Namun, intinya metode mereka lebih memerhatikan untuk menilai periwayat daripada riwayatnya itu sendiri. Sangat jarang di kalangan mereka yang berpandangan bahwa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak dapat dinilai asli jika tidak rasional karena mempertimbangkan lingkungan pada masa itu, atau apa yang dikatakan Nabi tentang ini dan itu bertentangan dengan fakta-fakta yang populer dan tak terbantahkan, atau merupakan sesuatu yang asing berhubungan dengan latar belakang dan karakter Nabi. Sangat sedikit argumen semacam ini digunakan.
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
111
Sementara itu, Isma`il Ahmad Adham (1911–1940) yang menerbitkan karyanya Min Masadir at-Tarikh al-Islami (1935) di Mesir, mengatakan bahwa para sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarahkan pada kritik teks yang dilakukan secara ilmiah. Pernyataan ini berangkat dari kenyataan bahwa kritik semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip utama mereka dan dengan realitas-realitas yang sudah mapan tentang hadis. Ini juga, menurut Adham, menggambarkan keraguan tentang karakter para periwayat hadis termasuk sahabat. Kajian-kajian dari empat sarjana Muslim di atas memperoleh respon dan reaksi dari beberapa sarjana Muslim lainnya. Muhammad Abdur Rauf (1983) misalnya, menyatakan bahwa penjelasan-penjelasan tentang karya-karya klasik hadis dan para periwayat yang terhormat telah dilakukan oleh penulis modern Abu Rayyah. Ratusan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari para penolaknya, khususnya berkaitan dengan persoalan kritik matan. Kebanyakan karya-karya yang dirujuk untuk mempertahankan sunnah antara lain karya as-Siba`i As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tashri` al-Islami dan karya Abu Syuhbah Difa` `an As-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqin wa al-Kuttab al-Mu`asirin. Karya as-Siba`i dipandang sebagai karya terbaik tentang sunnah dan hadis. Mereka menyatakan bahwa para muhadisun tidak mengabaikan kritik atas muatan hadis di samping rantai isnad. As-Siba`i menyebutkan misalnya, 15 kriteria yang dikemukakan oleh para kritikus hadis awal untuk memisahkan hadishadis otentik dari yang palsu dengan memerhatikan muatannya. Misalnya, hadis tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental akal, prinsip-prinsip umum kearifan dan moralitas, fakta-fakta yang diketahui melalui pengamatan langsung,
112
Zakiyuddin Baidhawy
atau prinsip-prinsip fundamental pengobatan. Hadis-hadis tidak boleh berisi pernyataan-pernyataan yang rancu atau bertentangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoritatif seperti Al-Qur’an. Hadis-hadis mesti bersebelahan dengan kondisi historis selama masa Nabi, dan riwayat-riwayat tentang berbagai peristiwa yang dikenal luas harus ditolak jika hanya ada satu saksi yang melaporkannya. Akhirnya, hadis-hadis tidak boleh mengandung kontradiksi secara rasional atau premis-premis yang bertentangan dengan fakta-fakta sesungguhnya. Abu Syuhbah mengkritik Abu Rayyah dan Ridha yang telah memberikan alasan tentang pengabaian kritik muatan hadis karena fakta bahwa tugas kritik semacam itu bukan merupakan tanggung jawab teolog dan ahli fuqaha. Muhadisun awal mengetahui dengan cermat baik riwayah maupun dirayah. Kenyataan adanya sebagian fuqaha menyerang beberapa hadis dan menolaknya bukan karena mereka lebih diakui daripada muhadisun, namun karena mereka kurang mengetahui tentang ilmu riwayah dan kriteria-kriterianya serta sedikitnya mereka mempraktikkan kriteria tersebut. Menurut Abu Syuhbah, jika ada sebagian periwayat yang lebih peduli dengan upaya mengumpulkan dan menghafal hadis-hadis daripada memahami muatannya, jumlah mereka sangat sedikit dan para muhadisun pun memaki mereka karena melakukan hal tersebut. Abdur Rauf (1986: 558) juga mengkritik klaim kaum orientalis dan menyatakan bahwa tujuan utama meneliti isnad adalah memelihara kredibilitas matan. Karena itu, para muhadisun awal mengumpulkan hadis-hadis otentik dengan sangat hati-hati dan menolak untuk menerima hadis-hadis yang bertentangan dengan akal.
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
113
Subhi as-Salih menulis sebuah bab yang menarik tentang kajian hadis, terkait dengan bentuk dan muatan hadis. Ia menekankan bahwa para kritikus hadis masa awal percaya bahwa kajian mereka tentang muatan hadis dan upaya mereka memelihara koleksi hadis menjadi tidak bermakna jika mereka tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah ialah ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan dan perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud untuk menyelidiki syaratsyarat periwayat (rawi) dan apa yang diriwayatkan (marwi). Ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa para peneliti hadis masa awal lebih cenderung mengkaji isnad daripada matan. Ia mengklasifikasikan hadis ke dalam beberapa kategori berdasarkan isnad dan matannya. Ia merujuk pada peran matan untuk mengeliminir hadis-hadis palsu, karena hadis-hadis palsu biasanya memiliki bahasa yang lemah, bertentangan dengan akal dan hati, dan merupakan perkataan-perkataan yang terjadi pada periode-periode pasca Nabi wafat. Sementara itu, Syekh Muhammad Al-Ghazali (1917–1996), seorang juru bicara utama revivalisme Islam moderat Mesir, menerbitkan buku tentang sunnah berjudul As-Sunnah anNabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis (1989). Untuk menunjukkan komitmennya pada kritik hadis klasik, al-Ghazali mencatat dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: Pertama, matan harus bebas dari syuzuz, yakni bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya. Kedua, matan harus bebas dari cacat serius (`illah qabihah). Dua syarat ini, menurutnya, menjamin secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya. Dengan demikian, dari bahasan di muka tentang banyaknya kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim
114
Zakiyuddin Baidhawy
modern bahwa muhaddisun masa awal telah memberikan tekanan pada isnad pada saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telah mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliru. Karena pada faktanya para muhaddisun telah mengupayakan kritik hadis baik dari sisi isnad maupun matannya.
D. Pendekatan Revolusioner: al-Albani Syekh Muhammad Nasir ad-Din al-Albani dikenal sebagai muhadis kontemporer. Ia memperkenalkan pendekatan revolusioner dalam studi hadis, dan jalannya ini diikuti oleh para pengikutnya. Masyarakat umum mengetahuinya sebagai salah seorang pendukung Wahhabi, padahal ia tidak setuju dengan pandangan-pandangan Wahhabi, utamanya dengan wakil-wakil mereka yang berasal dari kaum ulama Saudi, berkaitan dengan persoalan hukum. Al-Albani menunjukkan kontradiksi fundamental dengan tradisi Wahhabi yang menjadi pembela eksklusif Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ as-salaf as-salih –utamanya mereka bersandar kepada mazhab fikih Hanbali bagi fatwa-fatwa mereka. Menurut al-Albani, hal serupa berlaku bagi Muhammad bin Abdul Wahhab yang disebut sebagai “salafi dalam kredo, namun bukan salafi dalam fikih”. Bagi al-Albani, menjadi “salafi yang layak di bidang fikih” mengimplikasikan penempatan hadis sebagai pilar utama dalam proses yuridis, karena hadis menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an tanpa bersandar kepada mazhab fikih yang ada. Karena itu, ibu kandung seluruh ilmu keagamaan adalah ilmu hadis, yang bertujuan untuk mengevaluasi kembali oetntisitas hadis-hadis yang diketahui. Menurutnya, penalaran secara independen Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
115
harus dikeluarkan dari proses ini: kritik matan harus benarbenar menjadi ilmu formal, maksudnya ilmu gramatika atau linguistik; hanya sanad yang layak dipertanyakan. Akibatnya, fokus utama ilmu hadis adalah pada `ilm al-rijal yang juga dikenal dengan sebutan `ilm al-jarh wa al-ta`dil, yang menilai moralitas sanad. Pada saat yang sama –dan ini bertentangan dengan yang pertama–, al-Albani menyatakan bahwa ruang lingkup penilaian kembali hadis harus mencakup semua hadis yang ada meskipun hadis itu sudah termaktub dalam buku-buku hadis Bukhari dan Muslim, yang menurut al-Albani sebagian dari hadis-hadis dalam dua kitab ini dinyatakan lemah (Lacroix, 2008: 6). Sebagai akibat dari metodenya, al-Albani menghasilkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ijma Islam umumnya, dan khususnya dengan mazhab fikih Hanbali/Wahhabi. Misalnya, ia menulis sebuah buku di mana ia meredefinisi formula tentang ibadah yang sesuai dengan praktik Nabi –dan bertentangan dengan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh seluruh mazhab fikih. Ia menyatakan bahwa mihrab yang ada di masjid yang menunjukkan arah Mekkah adalah bidah, dan ia menyatakan kebolehan salat di masjid dengan menggunakan sepatu. Pandangan lainnya yang kontroversial adalah anjurannya bagi bangsa Palestina untuk meninggalkan wilayah yang dijajah/diduduki karena, menurutnya, mereka tidak dapat menjalankan keimanan mereka sebagaimana yang seharusnya –sesuatu yang jauh lebih penting daripada sejengkal tanah. Akhirnya al-Albani mengambil posisi menentang terlibat dalam masalah politik dan berulang-ulang ia nyatakan bahwa “kebijakan yang baik adalah menjauhi politik”. Ia lebih memilih Persaudaraan Islam, suatu pandangan yang terus menerus ia gaungkan.
116
Zakiyuddin Baidhawy
Kehadiran al-Albani di Saudi Arabia, ketika ia diundang pada 1961 oleh sahabatnya Syekh `Abd al-Aziz bin Baz untuk mengajar di Universitas Islam Madinah –memperoleh reaksi dari kaum Wahhabi yang tidak setuju dengannya bahkan menyerangnya. Kontroversi muncul dari bukunya berjudul “Jilbab Perempuan Muslim”, di mana ia berargumen bahwa perempuan Muslim tidak harus menutupi wajah mereka –suatu pandangan yang jelas berlawanan dengan pandangan Wahhabi– dan pada akhirnya memberikan justifikasi bagi Wahhabi untuk mengeluarkannya dari Kerajaan Saudi Arabia pada 1963. Ia kemudian kembali ke kampung halamannya Syiria sebelum tinggal di Yordan pada 1979. Bagaimanapun, penentangan al-Albani terhadap pandangan keagamaan Wahhabi bukan sekadar persoalan intelektual. Dengan mempersoalkan landasan metodologis yang menjadi dasar legitimasi Wahhabi, ia juga menentang posisi Wahhabi dalam bidang keagamaan. Dari awal Wahhabi memapankan dirinya sebagai tradisi keagamaan –baik dalam masalah kredo maupun hukum. Tradisi ini telah dimonopoli oleh sekelompok kecil aristokrat dari Najd, yang hidup di sekitar Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya. Setelah kerajaan Saudi terbentuk, para anggota aritokrat ini menjadi satu-satunya pewaris sah tradisi Wahhabi. Dalam konteks ini, banyak ulama independen yang dikeluarkan karena mereka tidak menerima ilmu yang layak dari ulama yang “berkualitas”. Ilmu, menurut tradisi Wahhabi, adalah hasil dari proses warisan dan tergantung pada sejumlah ijazah yang diberikan seorang ulama kepada muridnya. Menurutnya, warisan semacam ini tidak penting sama sekali, karena setiap hadis terbuka untuk dikritik dan suatu hadis yang diriwayatkan oleh ulama terhormat sekalipun tidak menjamin keasliannya. Sebaliknya, proses yang
Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Hadis
117
penting adalah akumulasi. Artinya, seorang ulama hadis adalah orang yang menghafal sejumlah besar hadis dan lebih penting lagi adalah biografi sejumlah besar periwayat. Jadi, ilmu hadis dapat diukur menurut kriteria objektif yang tidak berhubungan dengan keluarga, suku, atau keturunan, yang mengesampingkan meritokrasi.[]
118
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 6
MODEL KAJIAN ILMU KALAM
I
stilah kalam biasanya diterjemahkan sebagai “kata” atau “firman”, namun kata ini menjadi lebih layak maknanya jika diterjemahkan “diskusi” atau “argumen” atau “perdebatan”. Mereka yang terlibat dalam diskusi atau perdebatan disebut sebagai mutakallimun (orang-orang yang mempraktikan kalam atau perdebatan). Istilah ini memiliki kedudukan khusus ketika para muhadisun melarang perdebatan semacam ini, karena kaum Muslim masa awal tidak pernah mengenal dan tak pernah terlibat dalam perdebatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi dalam perdebatan semacam itu dikatakan berbicara tentang atau mendiskusikan topik-topik yang terlarang. Para penganjur kalam juga suka menyebutnya sebagai `ilm al-usul atau `ilm at-tawhid, dan dengan sebutan tersebut banyak topik terus diajarkan dan didiskusikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam hingga saat ini. Model Kajian Ilmu Kalam
119
Kemunculan ilmu kalam adalah akibat dari banyak kontroversi yang telah memecah belah komunitas Muslim pada masa-masa awal. Meskipun kemunculan Islam ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu terdahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan fundamental tidak disukai oleh kaum Muslim awal, khususnya selama masa hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam masalah politik, pecah segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan tragedi yang membawa pada pembunuhan khalifah Usman pada tahun 656, masa di mana perpecahan dalam sistem politik terjadi setelah kematian Nabi. Dalam suatu komunitas yang mendefinisikan dirinya berdasarkan identitas keagamaan, perselisihan politik pada akhirnya tak terelakkan membawa kepada perselisihan teologis. Perselisihan politik di kalangan mereka yang berkehendak untuk menjadi pemimpin komunitas terbagi ke dalam tiga kelompok: Khawarij yang menentang khalifah Ali; Murji’ah yang berusaha tetap netral; dan Syi’ah yang mendukung Ali. Kelompok-kelompok ini berusaha memengaruhi komunitas Muslim secara luas yang selama ini didominasi oleh mazhab-mazhab arus utama, utamanya kaum konservatif dan tradisionalis, yang dikenal dengan sebutan ahl as-sunnah wa al-jamaah. Istilah Khawarij berarti “pemberontak”, kali pertama merujuk kepada sekelompok orang yang menentang kepemimpinan Ali yang diikuti dengan perang Siffin pada tahun 658 antara Ali dan para pengikutnya berhadapan dengan Muawiyah. Khawarij tidak memiliki kepemimpinan maupun doktrin sendiri, ia hanyalah merupakan kecenderungan politik militan dengan sikap yang tidak mudah kompromi. Inti pandangan mereka berkisar pada masalah kepemimpinan yang absah dan syarat-syarat ke-
120
Zakiyuddin Baidhawy
selamatan. Meskipun pandangan-pandangan Khawarij membuat mereka sendiri terpinggirkan, pengaruh mereka pada keseluruhan komunitas Muslim cukup signifikan. Kebanyakan mazhab pemikiran yang muncul merespons satu atau lebih pandangan-pandangan Khawarij, khususnya berkaitan dengan isu kepemimpinan dan status orang berdosa. Tidak seperti Khawarij, para pengikut Ali yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah mempercayai akan otoritas ketuhanan yang tidak perlu diperdebatkan yang diwariskan kepada para imam. Posisi Ali sebagai imam dan penerus Nabi dikokohkan oleh wahyu dan bukan sekadar opini. Setiap imam akan menentukan penerusnya melalui otoritas ketuhanan yang ada dalam dirinya. Secara teori, Syi’ah mesti tidak melahirkan banyak spekulasi teologis, karena ia berupaya untuk mencapai dan mereproduksi otoritas Nabi dan menanamkannya dalam diri imam yang hidup, yang memiliki akses langsung pada kebenaran Tuhan. Secara praktik, Syi’ah terlibat dalam spekulasi teologis, khususnya dengan kemunculan doktrin imam yang tersembunyi, yang merujuk pada perlunya mencari kebenaran yang dibebankan kepada komunitas. Dalam dua ekstrem ini, sejumlah besar pandangan tengahtengah muncul, khususnya dari kelompok Murji’ah. Kelompok ini menolak untuk mengutuk para pelaku dosa besar (efemisme untuk perebut kekuasaan) sebagai orang tak beriman, namun ia juga tidak hendak mengampuni kesalahan mereka, berpandangan agar masalah ini dikembalikan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya kelak di hari akhir. Murji’ah juga berasosiasi dengan netralitas politik dan pendukung status quo. Di samping tiga kelompok di muka yang berangkat dari persoalan politik pada awalnya, kemudian mereka mengambil
Model Kajian Ilmu Kalam
121
argumen-argumen teologis untuk mendukung posisi politik mereka, juga terdapat kelompok-kelompok yang memang fokus pada persoalan teologi. Kelompok pertama adalah Qadariyyah. Mazhab ini mendukung kebebasan mutlak kehendak manusia. Tuhan tidak mungkin memberikan beban kewajiban kepada manusia untuk bertindak yang benar jika manusia tidak memiliki kekuasaan untuk memilih arah bagi tindakan mereka sendiri. Pandangan mereka berbeda dengan Jabariyyah. Jahm ibn Safwan (w. 746) sebagai juru bicara kelompok ini memandang bahwa tak ada sifat-sifat yang dapat disandarkan kepada Tuhan melainkan Ia maha pencipta, berkuasa dan bertindak, karena sifat apa pun yang disandarkan kepada makhluk tidak cocok untuk disandarkan kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah Pencipta dan Pelaku inti, tindakan-tindakan manusia juga telah diskenariokan oleh Pencipta sendiri. Karena itu, kita sebagai pribadi tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan kita dan tidak ada kehendak bebas. Jahm juga mengatakan bahwa karena Tuhan tidak dapat dipandang sebagai pembicara, Al-Qur’an tidak dapat dikatakan sebagai firman-Nya, kecuali dalam arti telah diciptakan oleh-Nya.
A. Kemunculan Ilmu Kalam Mazhab-mazhab terdahulu merupakan kelompok-kelompok yang tidak memiliki bentuk, sangat cair baik dalam keanggotaan maupun ajaran. Dengan perkecualian Syi’ah, yang kemudian mengembangkan sejumlah sekte di dalamnya, kecenderungan-kecenderungan ini muncul dalam kecenderungan-kecenderungan lainnya. Munculnya wacana teologi sistematis baru terjadi setelah kemunculan Mu`tazilah. Hubungan kalam dengan Mu`tazilah yang digambarkan sebagai rasionalis militan, 122
Zakiyuddin Baidhawy
menentukan wacana dan nasibnya. Mu`tazilah berusaha untuk mensistemastisasi ajaran agama dalam skema rasional yang berpusat pada penegasan keesaan Tuhan dan keadilan-Nya yang mutlak. Elitisme Mu`tazilah dan pencarian mereka akan nalar bagi segala sesuatu, menurut asy-Syahrastani, telah mengalienasi kecenderungan-kecenderungan arus utama yang lebih konservatif. Kaum konservatif sering mempersoalkan wacana teologis yang dibela oleh Mu`tazilah tanpa mendalami terlebih dahulu muatannya, dan mereka sering menuduh mazhab ini sebagai bidah. Sikap ini diungkapkan secara jelas oleh Malik ibn Anas (w. 795) ketika ia diminta untuk menjelaskan bagaimana Tuhan dapat dikatakan “berdiri dengan dirinya sendiri” sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Berdiri dengan dirinya sendiri adalah sesuatu yang diketahui, asal muasalnya tidak diketahui, kewajiban kita adalah mempercayainya dan bertanya mengenainya adalah bidah. Berkaitan dengan keadilan Tuhan, para muhadisun menolak upaya Mu`tazilah mengedepankan konsep manusia dan konsep rasional tentang keadilan. Tidaklah bermakna berbicara tentang keadilan dalam konteks ini, karena Tuhan adalah penguasa mutlak atas segala ciptaan-Nya, yang artinya apa pun yang Ia lakukan adalah keadilan. Pertentangan antara dua aliran ini juga menyentuh masalah penciptaan Al-Qur’an yang muncul pada pertengahan pertama abad ke-9. Inkuisisi yang dilakukan oleh Mu`tazilah dengan bantuan dari penguasa pada masa itu Khalifah al-Ma’mun (813833) untuk memaksakan ajaran-ajarannya telah membahayakan bukan semata bagi Mu`tazilah sendiri bahkan juga disiplin ilmu kalam. Meskipun ilmu kalam kemudian dibangkitkan oleh ortodoksi yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari
Model Kajian Ilmu Kalam
123
dan tokoh lainnya, ilmu dan seni berargumentasi mengenai masalah keimanan ini dengan tanpa bantuan akal manusia akan mengalami kejatuhan dan kemunduran yang dimulai pada abad ke-6.
B. Definisi dan Bahasan Ilmu Kalam Ilmu kalam adalah suatu ilmu yang mengkaji ajaran-ajaran dasar keimanan Islam (usuluddin). Ilmu ini mengidentifikasi ajaran-ajaran dasar dan berupaya membuktikan validitasnya dan menjawab setiap keraguan terhadapnya. Dalam teks-teks tentang logika dan filsafat disebutkan bahwa setiap ilmu memiliki subjek khusus, dan bahwa berbagai ilmu dibedakan satu dari yang lain karena perbedaan subjeknya. Tidak ada yang salah jika kita membentuk suatu disiplin yang menyatukan subjek bahasan dan problem-problem yang dicakupnya baik secara arbitrer maupun konvensional, dalam arti ia mencakup subjek-subjek yang berbeda dan saling berhubungan, dan menjadi kesatuan karena memiliki tujuan dan capaian yang sama. Dalam ilmu-ilmu yang subjeknya memiliki kesatuan esensial, tidak ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih. Namun, dalam ilmu-ilmu yang di dalamnya terdapat kesatuan konvensional berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dibahas, tidaklah salah jika ada tumpang tindih persoalan. Kesamaan problem antara filsafat dan kalam, psikologi dan kalam, atau sosiologi dan kalam, disebabkan oleh masalah ini. Sebagian sarjana Muslim telah berusaha mendefinisikan dan mengambarkan garis besar subjek bahasan ilmu kalam, dan mereka mengungkapkan banyak pendapat. Titik lain mengapa disiplin ini disebut ilmu kalam dan kapan nama ini dimunculkan. Sebagian mereka mengatakan bahwa ilmu ini 124
Zakiyuddin Baidhawy
disebut ilmu kalam karena ia memberikan kekuatan ekstra pada perdebatan dan argumen pada orang yang terlibat di dalamnya. Sebagian lain mengatakan bahwa penamaan ilmu kalam berasal dari kebiasaan-kebiasaan para pakarnya yang selalu memulai pernyataan mereka dengan ungkapan ”al-kalamu fi kaza”. Sebagian lain menjelaskan bahwa ia disebut kalam karena mendiskusikan isu-isu yang selama ini tidak dibahas oleh ahli hadis. Menurut sebagian lainnya, penamaan ini muncul ketika ada isu berkaitan dengan apakah Al-Qur’an (kalamullah) itu merupakan makhluk atau bukan, menjadi bahan perdebatan panas di kalangan Muslim, suatu kontroversi yang membawa pada perselisihan antara dua kelompok yang berlawanan dan banyak pertumpahan darah. Ini juga merupakan alasan mengapa masa itu diingat sebagai masa mihnah (Mutahhari, 1985). Demikianlah karena kebanyakan perdebatan tentang ajaran-ajaran keimanan berada di seputar hadis atau qidamnya firman atau kalam Allah, disiplin yang membahas ajaran-ajaran pokok keimanan ini disebut sebagai ilmu kalam.
C. Metodologi Ilmu Kalam Kalam pada umumnya berkaitan dengan upaya untuk menjustifikasi kepercayaan keagamaan melalui akal, atau dengan mempergunakan akal guna menghasilkan kesimpulan dan akibat-akibat baru dari kepercayaan-kepercayaan tersebut. Doktrindoktrin kalam meliputi tiga komponen besar: artikulasi tentang apa yang dipandang oleh suatu mazhab pemikiran sebagai kepercayaan-kepercayaan fundamental; konstruksi kerangka spekulatif di mana kepercayaan-kepercayaan tersebut harus dipahami; dan upaya merasionalisasi pandangan-pandangan ini di dalam kerangka spekulatif yang diterima. Model Kajian Ilmu Kalam
125
Berbagai mazhab kalam sepakat dengan para muhadisun dalam menerima otoritas teks sebagai basis untuk komponen pertama. Namun, mereka tidak sepakat tentang sejauh mana teks-teks ini mesti tunduk di bawah analisis rasional. Para muhadisun selalu menyangka bahwa rasio merujuk pada intelek yang dituduh melakukan bidah; mengapa pula seorang beriman hendak menggali persoalan-persoalan iman di hadapan pengadilan rasio manusia yang bisa salah dan terbatas itu? Kecurigaan para muhadisun terhadap pengaruh dari luar Islam di balik setiap ”bidah” yang dilakukan oleh kaum kalam telah direproduksi oleh para peneliti modern, yang berusaha mencari unsur asing bagi setiap gagasan yang dikemukakan dalam kalam (Haleem, 1996). Pengaruh non-Islam atas evolusi mazhabmazhab kalam, meskipun tak dapat ditolak, mudah menjadi berlebih-lebihan. Banyak tema kalam masa awal, seperti status orang berdosa atau persoalan legitimasi politik, muncul dari konteks Islam sendiri. Berkaitan dengan komponen kedua –kerangka spekulatif–, kelompok-kelompok kalam awal tidak menghasilkan sistem yang mapan. Kemunculan Mu`tazilah merupakan upaya awal untuk mengkonstruk sistem tersebut berdasarkan pada lima prinsip (keesaan Tuhan, keadilan Tuhan, peringatan Tuhan, manzilah bayn manzilatayn, dan amar ma`ruf nahy munkar). Mu`tazilah juga membawa pengaruh keyakinan penuh pada rasio manusia dan akibatnya kurang merujuk pada otoritas teks yang sering mereka tentang. Komponen ketiga –rasionalisasi atau keselarasan pandangan dengan kerangka spekulatif–, juga memperoleh tampat dengan munculnya Mu`tazilah yang mencoba mensistematisasi kerangka kepercayaan keagamaan dan mengharmonikan kom-
126
Zakiyuddin Baidhawy
ponen-komponennya, yang memprovokasi kontroversi mendalam karena mereka berusaha menafsirkan kembali unsurunsur kunci ortodoksi dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Upaya sistematisasi tak terelakkan membawa pada munculnya persoalan-persoalan filosofis. Pemikir Mu`tazilah belakangan, seperti al-`Allaf dan Ibrahim al-Nazzam (w. 846), merefleksikan dalam tesis-tesis mereka pengaruh teks-teks dan pandangan dunia filsafati Yunani yang dipengaruhi oleh spekulasi Hellenistik. Mazhab Asyariyah khususnya al-Juwayni dan al-Ghazali, secara formal memperkenalkan alat-alat logika Aristotelian dalam metodologi kalam (Pavlin, 1996). Pengenalan tema-tema dan metode-metode filsafati serta penggunaan logika formal dalam tradisi Aristotelian menyajikan perkembangan signifikan dalam kalam. Sebelum itu, argumenargumen kalam mempergunakan analisis teks dan linguistik sebagai alat utama. Meskipun ada pengaruh spekulasi filsafati dan penggunaan logika Aristotelian, kalam tetap kokoh bersandar dalam kerangka Islam khususnya. Teks-teks otoritatif secara rutin dikutip untuk memperkuat argumen, sementara tuduhan bidah dipandang sebagai cara menolak argumen apa pun (Watt, 1962). Meski tanpa bantuan filsafat, Asy’ariyah memperkenalkan dalam kalam skeptisisme yang tajam sehingga berdampak pada bidang argumen rasional. Skeptisisme ini diperkenalkan secara panjang lebar oleh al-Ghazali (1985) yang menggunakannya untuk menggusur Neoplatonisme dari para filosof yang telah dipengaruhi Hellenisme. Pendekatan ini berpotensi memberikan kontribusi jauh lebih banyak pada kemajuan pengetahuan daripada replikasi dogmatis dari tesis-tesis filsafati, sayangnya potensi ini tidak terwujud karena para praktisi kalam lebih ber-
Model Kajian Ilmu Kalam
127
minat pada upaya menghancurkan arugumen-argumen lawan mereka daripada membangun alternatif-alternatif yang mungkin.
D. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam Kaum Muslim berbeda-beda dalam masalah hukum atau fikih, mengikuti berbagai mazhab dan terbagi ke dalam berbagai kelompok, seperti Ja’fari, Zaydi, Hanafi, Shafi’i, Maliki and Hanbali, yang masing-masing memiliki fikih sendiri-sendiri. Hal yang sama terjadi dalam masalah ajaran. Mereka terbagibagi ke dalam berbagai mazhab, dan masing-masing memiliki seperangkat ajarannya sendiri. Mazhab-mazhab terpenting di antaranya adalah Syi’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah. Sangat mungkin muncul pertanyaan tentang alasan-alasan di balik terpecahnya kaum Muslim ke dalam berbagai mazhab ini berkaitan dengan masalah kalam dan fikih, dan mengapa mereka tidak dapat mempertahankan kesatuan mereka. Perbedaan dalam masalah kalam menyebabkan keterpecahan dalam masalah ajaran Islam dan ketidaksepakatan dalam fikih membuat mereka terpecah dalam aksi mereka. Dua pertanyaan ini dapat dibenarkan. Karena itu kita perlu memberika perhatian kepada dua hal berikut ini. Pertama, ketidaksepakatan dalam persoalan-persoalan fikih di kalangan Muslim tidak begitu merusak fondasi kesatuan pandangan doktrinal dan praktik keagamaan. Ada kesamaan dalam persoalan doktrin dan praktik sehingga perbedaan dapat dihadapi dan tidak membawa persoalan serius. Kedua, perbedaan teoretis dan divergensi pandangan tidak terelakkan dalam kehidupan masyarakat Muslim meskipun mereka dapat bersatu dan sepakat dalam hal-hal prinsip, dan 128
Zakiyuddin Baidhawy
sejauh akar perbedaan ini terletak pada metode penyimpulan, dan bukan pada kelompok kepentingan, mereka tetap memperoleh keuntungan dari perbedaan itu; karena perbedaan dan keragaman mendorong mobilitas, dinamika, diskusi, pengetahuan, dan kemajuan. Hanya ketika perbedaan dikaitkan dengan prasangka dan perlakuan emosional dan tidak logis, dan membawa individu untuk saling memfitnah, memojokkan, dan mengancam, maka ini sangat merugikan. Menurut keyakinan Syi’ah, orang diwajibkan untuk meniru mujtahid yang hidup, dan mujtahidun diwajibkan untuk secara independen memikirkan tentang persoalan-persoalan dan membentuk pandangan bebas mereka dan tidak bertentangan dengan apa yang telah ditangani oleh para pendahulu mereka. Ijtihad dan pemikiran bebas secara inheren membawa perbedaan pandangan; namun perbedaan pandangan ini membuat hidup dan dinamis fikih Syi’ah. Karena itu, perbedaan di dalam dirinya sendiri tidak perlu dicaci. Apa yang harus dikutuk adalah perbedaan yang berasal dari niat jahat dan kepentingan sendiri, seperti soal imamah dan kepemimpinan, bukan perbedaan dalam masalah-masalah sekunder. Sebelum kita membicarakan tentang mazhab-mazhab kalam, penting ditunjukkan bahwa ada sekelompok sarjana di dunia Islam yang secara mendasar menentang setiap gagasan dalam ilmu kalam dan perdebatan rasional tentang ajaran-ajaran Islam, memandangnya sebagai tabu dan bidah bagi keimanan. Mereka dikenal sebagai ahl al-hadis. Ahmad ibn Hanbal, salah seorang imam fikih dalam ahl-as-sunnah, adalah salah satunya dari mereka. Hanbali secara total menolak kalam, Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, apalagi bicara tentang kalam Syi’ah. Pada faktanya
Model Kajian Ilmu Kalam
129
mereka benar-benar menentang logika dan filsafat. Ibn Taymiyyah, yang merupakan salah seorang sarjana Muslim terkemuka dalam Sunni, melontarkan tuduhan yang nyaring bahwa kalam dan logika itu haram. Jalal al-Din al-Suyuti, figur lain dari kelompok ahl al-hadis, menulis buku Sawn al-mantiq wa al-kalam ‘an al-mantiq wa al-kalam. Malik ibn Anas merupakan imam Sunni yang memandang perdebatan apa pun tentang masalah-masalah doktrin itu haram hukumnya (Hallaq, 1993). Mazhab-mazhab kalam yang penting seperti disebut di muka adalah Syi’ah, Mu`tazilah, Asy’ariyah, dan Murji’ah. Beberapa sekte Khawarij dan Batiniyyah, seperti Ismailiyyah, juga dipandang sebagai mazhab kalam Islam. Namun, dua mazhab terakhir tidak dapat dianggap sebagai mazhab kalam. Khawarij, meskipun mazhab ini memiliki kepercayaan-kepercayaan spesifik dalam masalah doktrin, dan barangkali merupakan yang pertama memunculkan problem doktrin dengan mengemukakan kepercayaan-kepercayaan tertentu tentang imamah, kufr, fasiq, dan memandang orang tidak beriman sebagai murtad, namun mereka tidak menciptakan mazhab rasionalis di dunia Islam, dan pemikiran mereka banyak menyimpang dari padangan Syi’ah maupun Sunni. Batiniyyah terlalu liberal dalam bicara tentang ide-ide Islam berdasarkan esoterisme sehingga sangat mungkin mereka dituduh telah membuat Islam keluar dari bentuknya dan inilah mengapa dunia Islam tidak siap menerimanya sebagai bagian dari mazhab Islam. Sekitar 40 tahun yang lalu ketika Dar at-Taqrib Bayna alMazahib al-’Islamiyyah didirikan di Kairo, mazhab Syi’ah Imamiyyah, Zaydiyyah, Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali, masing-masing mereka memiliki wakil di dalamnya. Ismailiyyah berusaha keras untuk mengirim wakil mereka; namun
130
Zakiyuddin Baidhawy
tidak diterima oleh kelompok Muslim yang lain. Sebaliknya, Khawarij yang tidak memiliki sstem pemikiran, dan kaum Batiniyyah yang sangat menyimpang dari atus utama itu, justru mempunyai mazhab kalam dan filsafat yang signifikan. Mereka muncul berkat kalangan para pemikir penting mereka yang telah menulis sejumlah karya. Salah seorang tokoh Ismailiyyah terkenal adalah Nasir Khusrow al-’Alawi (w. /1437-38), seorang penyair dan penulis Persian dengan karya terkenal seperti Jami’ al-hikmatayn, Kitab Wajh ad-Din, dan Khuwan al-’Ikwan; Abu Hatam al-Razi (w. 943-44) dengan karya A’lam an-Nubuwwah; Abu Ya’qub al-Sijistani penulis Kashf al-Mahjub; Hamid al-Din al-Kirmani, murid Abu Ya’qub as-Sijistani menulis sejumlah buku tentang kepercayaan Ismailiyyah; Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit penulis Da’a’im al-’Islam (Al-Affendi, 1998).
E. Metodologi Kalam Syi’ah Jarang kajian Studi Islam menyentuh masalah perkembangan aliran kalam dalam Syi’ah. Kalam dalam pengertian argument rasional dan logis tentang doktrin-doktrin pokok Islam, memiliki tempat khusus dan unik dalam tradisi Syi’ah. Kalam Syi’ah di satu sisi muncul dari inti hadis-hadis Syi’ah, dan di sisi lain bercampur dengan filsafat Syi’ah. Sekarang kita menyaksikan pada abad-abad awal bagaimana kalam dipandang bertentangan dengan sunnah dan hadis oleh Ahl as-Sunnah. Namun, kalam Syi’ah bukan semata konflik dengan sunnah dan hadis, ia juga berakar kuat dalam sunnah dan hadis. Alasan adalah hadis-hadis Syi’ah, yang bertentangan dengan korpus hadis menurut Ahl alSunnah, terdiri dari sejumlah tradisi di mana problem-problem metafisika dan sosial dibahas secara logika dan dianalisis secara rasional. Namun, dalam korpus Sunni, perlakuan analisis Model Kajian Ilmu Kalam
131
semacam ini tidak dikehendaki. Misalnya, jika kita menyebut masalah apa pun seperti qada dan qadar Tuhan, Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, Nama-nama Tuhan, Sifat-sifat-Nya, atau topik semisal masalah ruh, hidup sesudah mati, hisab hari akhir, sirath al-mustaqim, timbangan/pengadilan hari akhir, atau persoalan tentang imamah, khilafah, dan semisalnya, maka tidak ada tempat untuk penjelasan atau argumen rasio mengenai tema-tema tersebut. Namun dalam korpus hadis Syi’ah, semua isu seperti di atas berhubungan dengan penjelasan rasional dan wacana. Karena itu, kalam dalam pengertian perlakuan rasional dan analitik terhadap berbagai problem, telah dijumpai dalam hadis-hadis Syi’ah. Inilah mengapa Syi’ah tidak terbagi menjadi dua kelompok sebagaimana terjadi dalam Sunni –antara Ahl alHadis dan Ahl al-Kalam. Atas dasar sumber-sumber teks Sunni sebagaimana dikemukakan di atas, nyata bahwa isu doktrin pertama yang muncul adalah kontroversi mengenai kafir atau fasiq, yang telah dibawa oleh kelompok Khawarij selama pertengahan pertama abad pertama. Kemudian muncul problem kebebasan dan takdir, yang dimunculkan dan dibahas oleh Ma’bad al-Juhani and Ghaylan ad-Dimashqi. Kepercayaan mereka bertentangan dengan keyakinan para penguasa Umayyah. Selanjutnya, selama pertengahan pertama abad kedua, paham tentang kesatuan Sifat-sifat dan Hakikat Tuhan dikemukakan oleh Jahm ibn Safwan. Wasil ibn ‘Ata’ dan ‘Amr ibn ‘Ubayd, pendiri Mu’tazilah, mengadopsi keyakinan mengenai kehendak bebas dari Ma’bad dan Ghaylan dan ajaran kesatuan Hakikat dan Sifat Tuhan dari Jahm ibn Safwan, dan mereka berdua mengemukakan ajaran baru tentang manzilah bayna al-manzilatayn dalam masalah keimanan atau ke-
132
Zakiyuddin Baidhawy
fasikan yang telah mendorong perdebatan dalam isu-isu lainnya sehingga lahirlah aliran kalam pertama dalam Islam. Demikianlah cara kaum orientalis dan sarjana Studi Islam di Barat dan Timur menjelaskan dan menafsirkan asal-usul spekulasi dan perdebatan rasional di dunia Islam. Kelompok ini secara sengaja atau tidak telah mengabaikan argumen rasional dan demonstratif yang pernah dikemukakan kali pertama oleh Amir al-Muminin ‘Ali. Kebenaran yang merupakan pendekatan rasional dalam ajaran-ajaran Islam kali pertama diprakarsai oleh Ali bin Abi Thalib dalam ceramah-ceramah dan diskusinya. Dialah yang pertama mempelopori pembahasan secara mendalam tentang Hakikat dan Sifat Tuhan, kebaruan (hudus) dan keabadian (qidam), kesederhanaan (basatah) dan susunan (tarkib), kesatuan (wahdah) and keragaman (kathrah), dst. Semua ini tercatat dalam Nahj al-Balaghah dan teks-teks otentik hadishadis Syi’ah. Pembahasan ini memiliki warna dan semangat yang berbeda sama sekali dari pendekatan Mu`tazilah dan Asy’ariyah terhadap kalam, atau dari para sarjana Syi’ah yang dipengaruhi oleh kalam pada zamannya. Para sejarawan Sunni menyaksikan bahwa sejak masa-masa awal pemikiran Syi’ah telah mempergunakan pendekatan filsafat. Pendekatan intelektual dan teoretis Syi’ah tidak hanya bertentangan dengan pemikiran Hanbali yang secara fundamental menolah gagasan tentang penggunaan nalar diskursif dalam kepercayaan agama, dan pendekatan Asy’ariyah yang menolak kebebasan rasio dan mensubordinasi akal di bawal pendekatan harfiah, bahkan juga bertentangan dengan pemikiran Mu`tazilah dengan seluruh preferensinya atas rasio. Karena, meskipun pemikiran Mu`tazilah itu rasional, namun pemikiran mereka lebih
Model Kajian Ilmu Kalam
133
merupakan dialektik atau polemik (jadali), bukan diskursif atau demonstratif (burhani) (Mutahhari, 1985). Dalam Filsafat Islam, kita dapat membedakan antara filsafat peripatetik (hikmat al-masysya’) dan filsafat illuminasionis (hikmat al-’ishraq), perbedaan antara pendekatan kalam dialektik (Mu’tazilah dan Asy’ariyah) dan pendekatan mistik atau intuitif terhadap isu-isu filsafat. Inilah mengapa mayoritas filosof Islam adalah Syi’ah. Syi’ah telah memelihara dan menjaga filsafat Islam agar tetap hidup, karena mereka lekat dengan semangat dari para imam mereka Ali. Para filosof Syi’ah, tanpa hendak memasukkan filsafat dalam kalam dan tanpa mentransformasi filsafat rasional dalam filosofisasi dialektik, telah mengkonsolidasi basis ajaran Islam di bawah ilham dari wahyu Al-Qur’an dan prinsip-prinsip utama dari para pemimpin mereka. Jika kita hendak mendaftar para mutakallimun Syi’ah yang telah menerapkan pemikiran rasional pada doktrin tentang keimanan, maka kita dapat mengelompokkannya ke dalam kelompok muhadisun sekaligus kelompok filosof Syi’ah di kalangan mereka. Karena baik hadis Syi’ah maupun filsafat Syi’ah keduanya menjalankan fungsi dari ilmu kalam yang lebih luas daripada kalam itu sendiri. Jika kita meninggalkan ucapan-ucapan Imam Ali mengenai berbagai ajaran yang disampaikan dalam bentuk ceramah, cerita, atau doa, maka penulis Syi’ah pertama yang mengumpulkan doktrin-doktrin imam adalah Ali bin Ismail bin Mitham atTammar. Mitham at-Tammar sendiri adalah seorang orator, ahli debat, dan salah satu sahabat terdekat Ali bin Abi Thalib. ‘Ali ibn Isma’il adalah cucunya. Ia hidup sezaman dengan ‘Amr ibn ‘Ubayd dan Abu al-Hudhayl al-’Allaf, tokoh-tokoh terkemuka
134
Zakiyuddin Baidhawy
kalam selama pertengahan pertama abad kedua, yang berasal dari generasi pertama para pendiri kalam Mu`tazilah. Di kalangan sahabat Ali bin Abi Thalib, ada sekelompok individu yang disebut sebagai mutakallim oleh Ali sendiri, seperti Hisyam ibn al-Hakam, Hisyam ibn Salim, Humran ibn A’yan, Abu Ja’far al-’Ahwal, Qays ibn Masar, dll. Al-Kafi menghubungkan suatu kisah tentang perdebatan antara kelompok ini dengan penentangnya tentang kehadiran Imam Ali. Kelompok ini hidup selama pertengahan pertama abad kedua dan dididik dalam mazhab Imam Ali. Ini menunjukkan bahwa para imam ahl al-bayt bukan hanya terlibat langsung dalam diskusi dan analisis tentang masalah-masalah kalam, mereka juga mendidik murid-murid untuk menjadi ahli debat dan berargumen. Di kalangan mereka, Hisyam ibn al-Hakam mengkhususkan diri dalam bidang ‘ilm al-kalam, bukan tafsir, fikih atau hadis. Ali sendiri memperlakukannya dengan rasa hormat lebih dari yang lain meskipun ia masih muda saat itu dan sering mempersilahkan dia untuk duduk. Dengan sikap Ali yang lebih memilih Hisyam sebagai mutakallim daripada murid-muridnya yang lain yang ahli hadis dan fikih, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya hendak menunjukkan status kalam sebagai bertentangan dengan hadis dan fikih. Jelas, sikap Ali ini memainkan peran menentukan dalam mempromosikan ilmu kalam dan akibatnya mewarnai pemikiran Syi’ah dengan karakter dialektik dan filosofik. Sayangnya, kaum orientalis lebih banyak membisu tentang semua peristiwa tersebut yang menggambarkan tentang upaya Ali dan mengabaikan perannya dalam kebangkitan pencarian rasio dalam persoalan-persoalan ajaran agama.
Model Kajian Ilmu Kalam
135
Keluarga Nawbakht telah menghasilkan banyak pribadi terkemuka yang kebanyakan adalah mutakllimun. Fadl ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht sangat dekat dengan perpustakaan Bayt al-Hikmah dan terkenal sebagai penerjemah dari bahasa Persia ke Arab. Ishaq ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht, putranya Isma’il ibn Ishaq ibn Sahl ibn an-Nawbakht, putranya yang lain ‘Ali ibn Ishaq, cucunya Abu Sahl Isma’il ibn ‘Ali ibn Ishaq ibn Abi Sahl ibn an-Nawbakht, yang dikenal sebagai “shaykh al-mutakallimin” Syi’ah, Hasan ibn Musa al-Nawbakht keponakan Isma’il ibn ‘Ali, dan beberapa anggota keluarga lainnya, semuanya adalah para mutaklallimun. Ibn Qubbah al-Razi pada abad ke-9 dan Abu ‘Ali ibn Miskawayh, doktor bidang kesehatan yang sangat terkenal dan penulis Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, juga merupakan seorang mutakallim Syi’ah. Mutakkalimun Syi’ah cukup banyak. Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi, seorang filosof terkenal, ahli matematika dan penulis Tajrid al-’I’tiqad, dan al-’Allamah alHilli, seorang fakih dan pensyarah terkenal karya Tajrid al-’I’tiqad, adalah seorang mutakallim pada abad ke-13. Khwajah Nasir ad-Din at-Tusi sendiri merupakan filosof ternama yang telah menciptakan karya kalam yang sangat kokoh berjudul Tajrid al-’I’tiqad. Sejak karya kompilasi ini, Tajrid menarik perhatian semua mutakallimun baik Syi’ah maupun Sunni. Al-Tusi dalam banyak hal telah membawa kalam keluar dari labirin dialektik dan membuatnya lebih dekat dengan filsafat rasional. Selama masa-masa berikutnya, kalam hampir benar-benar kehilangan bentuk dialektiknya. Semua pemikir menjadi pengikut filsafat rasional/diskursif, dan meninggalkan filsafat dialektik.
136
Zakiyuddin Baidhawy
Para filosofi Syi’ah setelah al-Tusi membawa problemproblem esensial kalam ke dalam filsafat, dan menerapkan metode pencarian untuk studi dan analisis atas problemproblem tersebut dengan keberhasilan yang lebih besar daripada yang pernah dicapai oleh mutakkalimun yang menggunakan metode lain. Misalnya, Mulla Sadra dan Mulla Hadi Sabzawari, meskipun mereka biasanya tidak dikenal sebagai mutakallimun, namun mereka jauh lebih berpengaruh dalam pemikiran Islam daripada mutakallimun mana pun. Jelas bahwa jika kita membandingkan pendekatan mereka terhadap teks-teks Islam, seperti Al-Qur’an, Nahj al-Balaghah, dan doa-doa serta tradisi yang ditransformasi dari Ahl al-Bayt, kita akan menemukan pendekatan dan gaya bernalar yang lebih dekat dengan para guru iman yang asli.[]
Model Kajian Ilmu Kalam
137
138
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 7
MODEL KAJIAN TASAWUF
A. Mistisisme: Fenomena Universal
T
asawuf atau dikenal sebagai mistisisme Islam adalah fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran. Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan atau Realitas Ultim yang diraih melalui pengalaman keagamaan personal. Yakni kesadaran akan realitas transenden atau Tuhan melalui meditasi atau kontemplasi batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang memiliki makna tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami pencarian atas sesuatu yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah orang yang berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui kontemplasi spiritual. Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of Islam, A. J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa kaum orientalis dan Model Kajian Tasawuf
139
sejarawan agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf dipandang sebagai fenomena dunia yang permanen dan tunggal. Arberry menegaskan bahwa pengamatan atas fenomena tasawuf atau mistisisme sebagai tunggal dan serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi/mistikus, adalah suatu pemahaman yang banal. Para sarjana kontemporer berjuang untuk memahami keragaman dan dinamika yang ada dalam fenomena mistik sebagaimana termanifestasi dalam berbagai tradisi. Mereka berupaya menelusuri berbagai makna dan ragam kesimpulan tentang tasawuf yang diambil dari berbagai konteks. Clifford Geertz (1971: 23-24) menyatakan bahwa penggunaan konsepkonsep tentang tasawuf/mistisisme harus berdasarkan pada studi mengenai keragaman “sebagaimana yang kita jumpai”, bukan memformulasi generalisasi yang seragam dan definisi yang berlaku untuk semua. Dengan cara demikian, konsepkonsep seperti mistisisme dan mistikus, tasawuf dan sufi menjadi sangat kaya dan berakar. Kita perlu menganalisis hakikat keragaman sebagaimana adanya, kemudian menelusuri berbagai makna dan konseo-konsep itu. Karena itu kajian semacam ini setidaknya akan mempelajari fakta-fakta yang ada dalam keragaman itu. Sementara sarjana lain seperti Rhys Davids yang ahli dalam kajian Budha, kebingungan dengan kompleksitas dan keragaman dalam konsep-konsep mistikus atau mistisisme sehingga ia berkesimpulan bahwa menggunakan istilah-istilah tersebut lebih banyak membingungkan daripada membantu (Awn, 1983). Perdebatan semacam ini muncul dari dua mazhab pemikiran yang berbeda, antara mereka yang cenderung melakukan generalisasi dan esensialisasi. Jika kita menggeneralisir maka
140
Zakiyuddin Baidhawy
kita akan terperangkap dalam marjinalisasi, jika bukan pengabaian atas idiosinkresi dan partikularitas konsep yang ada dalam berbagai konteks dan tradisi. Jika kita tidak melakukan generalisasi, lalu terjebak pada esensialisasi, maka kita tidak akan menemukan kesamaan landasan di mana agama-agama dan tradisi-tradisi besar berjumpa. Jadi perlu dinyatakan secara lantang bahwa esensialisasi dan generalisasi, keduanya merupakan alat analisis perbandingan yang tidak terelakkan. Kemanusiaan tidak dapat berkomunikasi tanpa generalisasi, dan tidak dapat berada tanpa esensialisasi. Keduanya bukan hanya alat analisis yang diperkenankan bahkan juga penting dan tak mungkin dihindarkan.
B. Spirit: Domain Ketiga Ajaran Islam Untuk dapat memahami tasawuf sebagai sebuah kajian keislaman, kita perlu menelusuri ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti kita ketahui bersama, Islam mengemukakan tiga domain utama kepedulian manusia. Tiga domain tersebut yaitu tubuh, pikiran, dan jiwa; atau perbuatan, pengetahuan, dan wujud. Tubuh merupakan realitas aktivitas, ketaatan ritual, dan hubungan sosial; pikiran adalah realitas persepsi, kepercayaan, pengetahuan dan pemahaman; dan jiwa adalah wilayah kesadaran terdalam tentang diri dan komunikasi langsung dengan Realitas Ultim yang disebut Tuhan, Wujud yang sesungguhnya dan nyata. Barangkali Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang unik dalam arti ia menekankan pentingnya pengetahuan dan pemahaman. Banyak perkataan Muhammad saw. menguatkan pentingnya mengetahui sesuatu dengan benar. Karena penekanan atas pengetahuan ini, peradaban Islam ditandai dengan tingkat Model Kajian Tasawuf
141
belajar dan keilmuan yang tinggi. Sejak awal Islam merupakan kebudayaan buku yang sangat kaya. Ini merupakan salah satu poin utama dari studi klasik yang dilakukan oleh orientalis Franz Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Sejak peradaban Islam berkembang, banyak Muslim mengabdikan diri untuk mencari ilmu. Mereka bukanlah kaum pendeta ataupun para menteri, karena Islam tidak mengenal kelas pendeta. Mereka adalah orang-orang biasa yang secara serius mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk memperoleh pengetahuan. Karena pengabdian kepada ilmu dan pemahaman, kaum Muslim mengkaji dan mengasimilasi kebijaksanaan suci yang diletakkan oleh Al-Qur’an dan Nabi dengan perhatian lebih pada analisis, penjelasan, dan sistematisasi. Banyak orang berminat untuk mempelajari segala hal dengan tujuan untuk mengetahui tentang cara-cara yang pantas untuk memperlakukan tubuh – yakni aktivitas-aktivitas personal, sosial, dan ritual–. Apa yang sesungguhnya diperintahkan Al-Qur’an agar dilakukan oleh manusia? Bagaimana Muhammad saw. melakukan perintahperintah Al-Qur’an dalam praktik? Bagaimana kita melaksanakan lima rukun Islam –syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji–? Bagaimana cara yang baik untuk pergi ke toilet, mensucikan diri, dan makan makanan? Apa aturan-aturan yang benar untuk aktivitas antarpersonal, perkawinan, warisan, perdagangan? Jadi, mereka berusaha untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas tubuh. Sebagian Muslim lain lebih banyak memerhatikan bagaimana memahami apa yang mesti diimani, yang mencakup iman kepada Allah swt., kitab-kitab suci, malaikat, nabi-nabi,
142
Zakiyuddin Baidhawy
hari akhir, dan ketentuan Tuhan. Kaum Muslim yang fokus pada upaya memahami masalah keimanan ini yakin bahwa keimanan seseorang tergantung pada pengetahuannya. Pernyataan keimanan kepada Allah swt. dari orang yang bodoh dipandang sebagai kebodohan. Tidak seorang pun percaya kepada Allah swt. tanpa mengetahui siapa Tuhan sesungguhnya dan apa realitasNya? Sama halnya, tidak seorang pun dapat mengklaim percaya kepada objek-objek keimanan yang lain tanpa pengetahuan. Semua orang yang ingin mencapai pemahaman memadai mengenai objek-objek keimanan harus mengabdikan diri mereka untuk mempelajari wahyu Allah swt. dalam Al-Qur’an dan perkataan-perkataan Nabi. Belajar dan ilmu sangat esensial dalam Islam. Sedangkan sebagian kelompok Muslim lainnya lebih memerhatikan bukan pada aktivitas atau pemahaman, namun pada pengembangan cinta, ketulusan, kehormatan, keadilan, dan kejujuran yang diperintahkan oleh Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Muhammad saw., baik berkaitan dengan hubungan hamba-Tuhan maupun antarsesama manusia. Bagi mereka pertanyaan yang mendasar adalah: Bagaimana seseorang dapat menjadi pribadi yang baik? Bagaimana ia dapat mengembangkan seluruh karakter dan kebaikannya sebagaimana dijumpai pada diri Muhammad saw. dan nabi-nabi lain dan para kekasihNya? Orang lain boleh jadi bertanya mengapa kebanyakan sarjana Muslim menjadi spesialis dalam satu dari tiga domain ini daripada berupaya mencakup ketiganya. Pertama, pada umumnya mereka mencoba merengkuh ketiga domain itu, namun melakukan pekerjaan ini merupakan tugas berat yang melampaui kebanyakan orang, meskipun ada perkecualian
Model Kajian Tasawuf
143
pada sebagian kecil orang. Para sarjana biasanya akan memilih mengetahui secara mendalam tentang satu dari ketiganya. Spesialisasi merupakan gambaran umum semua orang yang ingin mengetahui sesuatu secara penuh dan menyeluruh. Masing-masing dari tiga domain pengetahuan Islam ini –aktivitas manusia yang benar, pemahaman yang benar tentang Tuhan dan dunia, dan aktualisasi kebajikan dan kebaikan– dapat dianalisis dan dikaji secara terus menerus. Kedua, spesialisasi dipilih karena setiap manusia memiliki kecenderungan, keterbatasan, dan kelebihan sendiri-sendiri. Fakta bahwa seseorang memperoleh anugerah lihai bersepak bola bukan berarti bahwa ia mesti akan mahir juga dalam bidang matematika, melukis atau main musik. Orang yang memiliki pemahaman tinggi mengenai hukum agama karena kemampuannya menurunkan aturan-aturan yang benar dari perintah dan prinsip-prinsip wahyu, belum tentu ia mempunyai kelebihan dalam bidang teologi, atau menjadi orang yang lebih berbakti. Sejak permulaan Islam, menjadi seorang Muslim berarti mengakui bahwa Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. memberikan petunjuk dan bimbingan bagi tubuh, pikiran dan jiwa agar selaras dengan tujuan Tuhan dalam menciptakan dunia. Namun demikian, setiap orang memiliki pandangan berbedabeda berkaitan dengan apa yang paling penting dan bagaimana mereka mempraktikkannya. Sebagian Muslim secara alamiah cenderung menempatkan prioritas utama pada tubuhnya, sebagian lain lebih mementingkan perhatiannya pada pikiran dan memperluas pemahamannya tentang Tuhan dan ciptaanNya, dan sebagian lainnya lagi percaya bahwa keseluruhan eksistensi manusia adalah mengkaitkan tubuh dan pikiran
144
Zakiyuddin Baidhawy
dengan maksud untuk memperkuat jiwa dan untuk mencapai kesatuan dengan Realitas Ultim. Spesialisasi dalam mengkaji Islam belum jelas hingga abad ke-9. Sebelum masa itu, kebanyakan sarjana lebih banyak berminat untuk mentransmisi semua yang diterima dari Allah swt. dan Muhammad saw. Sedikit demi sedikit mereka yang mendedikasikan banyak upaya untuk memberikan petunjuk bagi aktivitas yang layak lebih dikenal sebagai para fukaha. Mereka menyibukan diri dengan pemahaman tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam aktivitas Islam berdasarkan pada Al-Qur’an, perkataan dan tindakan Muhammad saw., pendapat para sahabat Nabi, dan pandangan-pandangan Muslim generasi awal. Para sarjana yang fokus untuk memahami objek-objek keimanan telah terbagi ke dalam beberapa mazhab pemikiran. Teolog dogmatik mengatakan bahwa cara terbaik memahami Tuhan adalah dengan penafsiran rasional atas Al-Qur’an. Para filosof menyatakan bahwa rasio manusia merupakan petunjuk yang cukup menuju kebenaran sesuatu dan bahwa wahyu Tuhan dapat dilepaskan dari pemahaman tentang kebenaran itu. Sementara kaum sufi memandang cara terbaik dan jalan paling bertanggung jawab menunju pemahaman ialah kesatuan langsung dengan Tuhan. Kaum sarjana yang bergabung dengan tasawuf mengembangkan metodologi tersendiri.
C. Perspektif Memahami Tasawuf Kosakata tasawuf dan sufi telah luas dipergunakan di kalangan akademisi maupun kalangan awam khususnya di Baghdad dan Khurasan pada pertengahan kedua abad ke-9, meskipun ada sebagian kritikus tidak bersepakat tentang asal-usul kata tersebut. Model Kajian Tasawuf
145
Sebagian sejarawan mengatakan bahwa sebutan sufi ditujukan kepada mereka yang menggunakan pakaian dari wol. Sebagian lain menyatakan kata sufi berasal dari tahapan spiritual pertama (saff awwal), dan yang lain mengatakan demikian karena sufi mengklaim diri sebagai ashab al-suffah, yakni orangorang yang suka berkumpul dan duduk-duduk di sekitar masjid Nabawi, dan sebagian lain menyebutnya berasal dari kata shafa, yang artinya bersih, murni. Penting untuk dicatat bahwa sufisme sebagai suatu gerakan pada masa-masa awal perkembangannya tidak lain merupakan upaya “interiorisasi Islam”, sebagaimana dikemukakan oleh Annemarie Schimmel, yang menekankan Al-Qur’an, Sunnah dan pelaksanaan syariah. Orientalis Perancis Louis Massignon (1954) menyatakan bahwa sufisme berasal dari Al-Qur’an yang secara terus-menerus dibaca, direnungkan, dan dialami, dan itulah yang kemudian menjadi asal-usul dan berkembangnya sufisme. Memegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah merupakan pemahaman sejati tentang sufisme atau tasawuf. Sufisme atau mistisisme Islam dipandang dan dibahas oleh kaum orientalis sekaligus kebanyakan sarjana Barat melalui kacamata Kristen. Ia dipandang sebagai gerakan spiritual Islam, yang memisahkan gerakan dari esensi praktiknya, yang menggambarkan pendekatan bipolar. Meskipun mistisisme diakui sebagai fenomena dunia dan menjadi bagian dari tradisi semua agama seperti Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dll, menariknya pendekatan terhadap mistisisme bersandar pada paham dan konsepsi Kristen. Sufisme lalu disajikan sebagai mistisisme versi Islam. Tidak mengherankan jika para pembaca segera menilai pengaruh Kristen atas sufisme Islam. Sufisme menjadi bahan pembicaraan yang ramai, namun menurut
146
Zakiyuddin Baidhawy
pemahaman Kristen dan melalui jiwa Kristen. Pengalaman pantheistik dari tokoh-tokoh sufi seperti Abu Mansur al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bistami menjadi kuat disoroti dalam kajiankajian tentang tasawuf, karena mereka menyentuh paham Kristen tentang kesatuan dengan Tuhan. Tarekat-tarekat sufi dipandang sebagai komunitas biara seperti Gereja pada abad pertengahan. Lebih penting dari semua itu, sufisme dipahami sebagai sekadar gerakan spiritual sehingga selalu didiskusikan secara terpisah dari syariah. M. Hodgson dalam the Venture of Islam membedakan antara apa yang disebut individu yang berorientasi sufi dan individu yang berorientasi syariah, karena baginya mentalitas Kristen memiliki dua kecenderungan yang tidak selaras. Pendekatan Islam adalah bipolar. Kesatuan bipolar, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Izet Begovic (1994: 203-205), merupakan kenyataan bahwa Islam adalah agama yang menyatukan jalan spiritual dan jalan material, individu dan sosial, jiwa dan tubuh. Tidak seperti agama-agama lainnya semisal Kristen atau Hindu yang hanya menekankan pada aspek spiritual dan non-material. Menurut logika tarekat-tarekat biara dalam dua agama tersebut, pengabaian terhadap tubuh akan memperkuat spiritualitas. Dua agama tersebut mengasumsikan semakin kepentingan fisik kurang diperhatikan maka kepentingan spiritual makin ditekankan. Dalam Islam, tubuh dan jiwa, fisik dan spiritual, individu dan sosial, bersatu dalam pandangan hidup Muslim. Mengerjakan salat misalnya, memerlukan kebersihan fisik sekaligus kebersihan spiritual. Salat menjadi tidak berguna tanpa bersuci. Karena itu salat bukan semata ibadah bahkan juga disiplin dan kesehatan sekaligus. Ia bukan semata mistisisme namun juga
Model Kajian Tasawuf
147
praktik. Dualitas ini terus diulang-ulang. Pernyataan bahwa kebersihan fisik adalah salah satu aspek dari iman hanya dijumpai dalam Islam. Dalam semua agama-agama lain, tubuh bukanlah anugerah. Kenyataan bahwa salat berkaitan dengan waktu tertentu dan arah tertentu berarti bahwa salat itu terikat dengan hakikat dan gerakan-gerakannya. Tindakan individu dalam salat juga bersandingan dengan kehidupan sosial. Kecenderungan sosial dari salat ditunjukkan dalam praktik salat berjamaah. Salat berjamaah termasuk suatu bentu perkumpulan jamaah dan sosialisasi di antara mereka. Jadi, bertentangan dengan paham bahwa ibadah merupakan ritual individu semata, di sini kita menyaksikan di mana kehidupan seringkali memisah-misahkan manusia, justru salat menyatukannya kembali. Dalam kerangka inilah sufisme berada.
D. Tasawuf dan Modernitas: Pendekatan Fathullah Gulen Banyak sudah sarjana yang hendak mengkaji apa hakikat dari sufisme atau tasawuf itu, lebih-lebih bila dikaitkan dengan relevansi tasawuf dengan modernitas dan zaman modern. Di satu sisi kaum sufi sendiri pada umumnya menerima istilah tradisi mistik Islam untuk tasawuf, belum dikatakan sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebih merupakan jejaring gagasan dan praktik keagamaan yang saling berkaitan, yang bertujuan untuk memahami secara mendalam dan menggapai keimanan dari pesan-pesan Al-Qur’an. Sementara itu, kaum sarjana non-Muslim, sekaligus kaum sufi sendiri, ada yang mencoba memberikan definisi yang lebih singkat dan padat tentang tasawuf sehingga tak terelakkan membuat mereka mesti mengeluarkan unsur-unsur tertentu dan menekankan apa yang 148
Zakiyuddin Baidhawy
dipandang utama di kalangan kaum sufi selama berabad-abad (Schimmel, 1972: 3-22). Bagi banyak kalangan sufi awal, tasawuf merupakan sejenis asketisme dan kesederhanaan hidup yang menjadi kunci menuju Islam sejati. Sebagian lain menekankan cinta sebagai gagasan utama dan memahami bahwa jalan sufi adalah menuju kesatuan cinta dengan Tuhan. Bagi sebagian lain, tasawuf merupakan jalan kaum sukarelawan yang diambil orang beriman dengan menekankan pada kebajikan dan perilaku moral, sehingga menuju kesatuan kehendak dengan Tuhan, suatu keadaan di mana seorang sufi memiliki kehendak sendiri, namun ia hanya berusaha melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Banyak pula kaum mistik melihat jalan sebagai pengetahuan, menjadi sadar tentang Kebenaran Abadi, kebijaksanaan abadi dari hati yang hanya menjadi benar di hadapan pandangan yang benar. Sementara, yang lain menguatkan pentingnya kesatuan seluruh eksistensi sehingga jalan mistik menjadi gerakan psikologis menuju kesadaran bahwa kita adalah wujud temporal dari Wujud Abadi yang hadir dalam kosmos. Sebagian sufi lain menekankan pengalaman mistik luar biasa yang terungkap dalam keadaan syatahat, yang mengilhami ucapan-ucapan, visi, dan mimpi-mimpi, sementara yang lain memandang jalan sebagai perjalanan kontemplatif menuju Tuhan dalam kesunyian hati. Kaum skeptis sering bertanya, bagaimana tasawuf dan sufi semacam ini benar-benar dapat efektif dan bekerja dalam dunia modern? Apakah tasawuf mampu membentuk karakter dan moral individu yang baik sehingga mereka aktif bekerja untuk mengubah masyarakat dan membuat dunia menjadi lebih baik? Namun, sejarah telah membuktikan bahwa upaya
Model Kajian Tasawuf
149
mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dan keagamaan dengan wacana modernitas dan sains Barat telah tercatat. Setidaknya fenomena ini dapat dilihat pada gerakan intelektual sufi selama lebih dari satu abad di Turki, yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara tatanan sekular dan tatanan keagamaan di negeri ini. Gerakan ini dikenal sebagai Fathullah Gulen Movement. Gerakan Gulen berusaha berintegrasi dengan dunia modern dengan mendamaikan nilai-nilai tradisional dan modern. Gerakan ini mencoba menciptakan sintesis gagasan yang melukiskan upaya-upaya para pemikir nasionalis di Kerajaan Ottoman terakhir. Misalnya, Ziya Gokalp menekankan keharusan menciptakan sintesis berdasarkan kombinasi unsurunsur yang berasal dari kebudayaan Turki dan dari peradaban dan teknologi Barat. Gulen dan para pengikutnya melangkah lebih jauh menerima peradaban Barat sebagai fondasi yang cocok untuk kehidupan material sementara peradaban Islam cocok untuk kehidupan spiritual. Patut dicatat bahwa karena gerakan ini berkarakter konservatif, ia berhasil mengundang mereka yang melihat sistem politik Turki sebagai sistem yang terlalu menekankan sekularisme dan modernisasi (Bülent Aras and Omer Caha, 2000). Karakter unik dari gerakan Gulen terletak pada upayanya untuk merevitalisasi nilai-nilai tradisional sebagai bagian dari usaha modernisasi seperti program modernisasi pemerintah Turki. Sejauh ini, gerakan tersebut memperoleh keberhasilan dalam upaya mengharmonikan dan mengintegrasikan secara historis berbagai wilayah Turki dan mendamaikan ratusan tradisi lama dengan tuntutan modernitas. Singkatnya, Gulen berusaha membangun Islam gaya Turki, mengingat Otoman
150
Zakiyuddin Baidhawy
masa lalu, mengislamisasi nasionalisme Turki, menciptakan kembali hubungan absah antara negara dan agama, menekankan demokrasi dan toleransi, dan mendorong hubungan dengan Republik Turki. Tasawuf harus menjadi gerakan toleransi dalam arti luas sehingga membuat kita dapat menutup mata kita atas kesalahan orang lain, menunjukkan penghargaan atas perbedaan gagasan, dan memaafkan segala hal yang dapat dimaafkan. Bahkan, ketika hak-hak asasi kita yang tidak dapat dipisahkan telah dilanggar, kita harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan mencoba untuk menegakkan keadilan. Juga ketika kita berhadapan dengan gagasan-gagasan yang paling kasar dan tidak senonoh pun, dengan memerhatikan teladan Nabi dan tanpa mengabaikan keharusan kita meresponsnya dengan kata-kata yang lembut, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dengan “qawlan layyinan” (Horkuc, 2002: catatan kaki no. 62). Kita juga dapat menemukan gambaran ideal yang dikemukakan oleh Gulen dalam The Mission Statement of the Journalists’ and Writers’ Foundation, sebuah organisasi yang didirikan oleh asosiasi Fathullah Gulen untuk mempromosikan dialog dan kerjasama antaragama. Menurutnya, dunia modern akan dibentuk oleh sistem dan pendekatan yang menghargai nilainilai universal yang mempertimbangkan cinta, toleransi, pemahaman dan kesatuan sebagai dasar-dasar yang memilih untuk mengatasi semua permusuhan, kebencian dan perselisihan melalui persahabatan, toleransi dan rekonsiliasi; yang mengasumsikan misi menyampaikan kebudayaan dan pengetahuan bagi kemanfaatan semua manusia; yang dapat menciptakan keseimbangan antara individu dan masyarakat tanpa mengorbankan satu sama lain; yang memiliki visi besar tanpa terjebak di dalam
Model Kajian Tasawuf
151
perangkap utopia dan tidak mengabaikan realitas; yang percaya pada perlunya menjaga faktor-faktor determinan seperti agama, bahasa, ras yang bebas dari berbagai macam tekanan (Michel, 2005). Tempat-tempat yang tepat untuk menelusuri jejak-jejak pemikiran Gulen adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh gerakan yang menggunakan namanya ini. Penting kiranya menampilkan sedikit filosofi dan capaian-capaian dari sekolahsekolah ini di mana pun berdiri. Sebagaimana dikatakan oleh Elizabeth Ozdalga (1999) bahwa sekolah-sekolah Gulen tidak peduli dengan upaya-upaya proselitisasi atau cuci otak, namun lebih menekankan pentingnya mengajarkan nilai-nilai dengan teladan. Ia juga menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan Gulen dalam sekolah-sekolah ini adalah memberikan siswa pendidikan yang baik, tanpa menekankan orientasi ideologi apa pun. Satu gagasan mendasar dari para pengikut Gulen adalah bahwa nila-nilai etika tidak ditransmisikan secara terbuka melalui persuasi dan pelajaran-pelajaran melainkan melalui pemberian teladan yang baik dalam perilaku keseharian. Sekolah-sekolah Gulen menggambarkan suatu paduan harmonis antara spiritualitas dan modernitas. Di dalamnya, dengan mudah kita jumpai pegawai administrasi, staf pengajar, siswa-siswi Muslim dan non-Muslim, para pendidik dan orang tua siswa. Mereka mencerminkan warga modern, terdidik dalam ilmu-ilmu sekular, namun memiliki kepedulian sejati atas nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang mereka usahakan untuk dikomunikasikan kepada para siswa dengan cara mereka sendiri. Mereka menawarkan pendidikan pada tingkat pertama yang membawa kemajuan bersama dalam bidang teknologi dengan pembentukan karakter dan ideal-ideal
152
Zakiyuddin Baidhawy
yang luhur. Mereka menyajikan suatu integrasi dan keselarasan antara modernitas dan nilai-nilai spiritual. Mereka merupakan salah satu upaya pendidikan yang paling menyenangkan dan menjanjikan di dunia saat ini.[]
Model Kajian Tasawuf
153
154
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 8
MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN FIKIH
A. Definisi dan Ruang Lingkup
U
sul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat erat. Yang pertama merupakan akar dari hukum Islam yang membahas indikasi-indikasi dan metode-metode di mana aturan-aturan fikih dideduksi dari sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini dijumpai utamanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber utama syariah. Aturan-aturan fikih berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah yang sejalan dengan sejumlah prinsip dan metode yang secara kolektif dikenal dengan sebutan usul fikih. Sebagian sarjana menjelaskan usul fikih sebagai metodologi hukum, suatu penjelasan yang akurat namun tidak lengkap. Meskipun metode-metode penafsiran dan deduksi merupakan perhatian utama bagi usul fikih namun ia bukan semata diperuntukkan pada metodologi. Katakanlah PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
155
bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan metodologi hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber sekaligus materi bahasan di mana metodologi usul fikih diterapkan. Al-Qur’an dan Sunnah sendiri mengandung sangat sedikit metodologi, namun lebih menyediakan inidikasi-indikasi di mana aturan-aturan syariah dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya merujuk kepada metode-metode penalaran seperi analogi/qiyas, istihsan, istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua ini didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemahaman yang benar tentang sumber-sumber dan ijtihad. Mendeduksi aturan-aturan fikih dari indikasi-indikasi yang tersedia dalam sumber-sumber merupakan tujuan dari usul fikih. Fikih pada dasarnya merupakan hasil atau produk dari usul fikih, dan keduanya merupakan disiplin yang terpisah meskipun saling berkaitan. Perbedaan utama antara fikih dan usul fikih ialah bahwa fikih berkaitan dengan pengetahuan tentang aturan-aturan rinci dalam hukum Islam dalam berbagai percabangannya, dan usul fikih berkaitan dengan metode-metode yang diterapkan dalam mendeduksi aturan-aturan itu dari sumbernya. Fikih, dengan kata lain, merupakan hukum itu sendiri sementara usul fikih ialah metodologi hukum. Hubungan antara kedua disiplin ini seperti ikatan antara tata bahasa dengan bahasa, atau antara logika dengan filsafat. Usul fikih dalam pengertian ini menyediakan kriteria standar untuk mendeduksi secara benar aturan-aturan fikih dari sumber-sumber syariah. Pengetahuan memadai tentang fikih menghendaki hubungan erat dengan sumber-sumbernya. Inilah yang membawa kita pada suatu pengertian bahwa fikih merupakan ilmu tentang aturanaturan praktis syariah yang diperoleh dari bukti-bukti rinci dari
156
Zakiyuddin Baidhawy
sumber-sumbernya (Amidi, Ihkam, I, 6; Syawkani, Irsyad, P. 3). Pengetahuan tentang aturan-aturan fikih, dengan kata lain, harus diperoleh secara langsung dari sumber-sumbernya, suatu persyaratan yang mengimplikasikan agar seorang fakih mesti melakukan kontak dengan sumber-sumber fikih. Akibatnya, seseorang yang mempelajari fikih yang terpisah dari sumbersumbernya bukanlah seorang fakih (Cf. Abu Zahrah, Usul, p. 6). Fakih harus mengetahui bukan hanya aturan bahwa melanggar hak milik orang lain itu dilarang namun juga bukti rinci mengenainya dari sumber-sumbernya, yaitu ayat Al-Qur’an (2): 188: “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lainnya dengan jalan yang batil”. Tujuan utama usul fikih adalah mengatur ijtihad dan membimbing fukaha dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya. Kebutuhan akan metodologi usul fikih merupakan keharusan ketika orang biasa berusaha untuk melakukan ijtihad, dan risiko kesalahan dan kebingungan dalam perkembangan syariah menjadi sumber kekhawatiran ulama. Tujuan usul fikih ialah membantu fukaha untuk memperoleh pengetahuan memadai tentang sumber-sumber syariah dan tentang metode-metode deduksi dan inferensi fikih. Usul fikih juga mengatur penerapan qiyas, istihsan, istishab, istislah, dst, yang pengetahuannya membantu fukaha untuk membedakan metode deduksi mana yang paling sesuai untuk memperoleh hukum syar`i dalam masalah tertentu. Lebih jauh, usul fikih membantu fukaha untuk menentukan dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dalam ijtihad dan memberikan preferensi dalam memilih ijtihad yang selaras dengan nash. Pada dasarnya fikih memang lebih dulu daripada usul fikih karena usul fikih baru berkembang pada abad kedua hijrah.
PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
157
Selama abad pertama hijrah belum ada kebutuhan akan usul fikih. Ketika nabi masih hidup, petunjuk dan solusi untuk setiap masalah yang dihadapi dapat diperoleh dari Nabi langsung melalui wahyu atau melalui perintahnya. Selama periode itu pula para sahabat berhubungan erat dengan ajaran-ajaran Nabi dan keputusan-keputusan sahabat yang diilhami oleh peristiwa yang sudah ada. Kedekatan pada sumber dan pengetahuan yang lekat tentang peristiwa-peristiwa membuat para sahabat memiliki otoritas untuk menjawab masalah praktis tanpa membutuhkan metodologi (Khallaf, ‘Ilm, p. 16; Abu Zahrah, Usul, pp. 16-17). Namun, bersamaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, para sahabat mulai tersebar dan akses langsung pada mereka semakin sulit. Dengan demikian, kemungkinan terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam memahami sumber-sumber teks menjadi lebih tampak. Perselisihan dan keragaman pemikiran fikih di berbagai wilayah berbeda menekankan perlunya metodologi usul fikih. Asy-Syafi’i datang pada saat kontroversi fikih telah terjadi antara fukaha Madinah dan Irak, yang dikenal sebagai ahl al-hadis dan ahl ar-ra’y. Pada masa ini pula para ulama hadis berhasil mengumpulkan dan mendokumentasi hadis. Pada akhirnya para fukaha menjamin keberadaan Sunnah, dan mereka mulai mengelaborasi hukum, dan karenanya membutuhkan metodologi untuk mengatur ijtihad menjadi semakin penting. Konsolidasi usul fikih sebagai disiplin syariah merupakan kesimpulan logis dari kompilasi sejumlah besar literatur hadis. Beberapa Contoh Perbedaan antara Fikih dan Usul Fikih Fikih mengajarkan Beribadah hanya wajib jika seseorang telah cukup kesadarannya (aqil) dan telah mencapai umur (baligh)
158
Zakiyuddin Baidhawy
Usul Fikih mengajarkan Bicara tentang apa arti haram, apa itu mustahab, dst.
Jika seseorang bicara dalam salat, maka ia telah membatalkan salatnya
Bagaimana menurunkan aturan dari sumber yang secara Islam dapat diterima (bagaimana kita memahami berbagai perintah sebagai sunnah yang bertentangan dengan fardu)
Haram hukumnya makan babi
Siapa yang memiliki otoritas untuk mempersoalkan masalah hukum dan mendeduksi aturan-aturan hukum Islam dari sumber-sumber hukum Islam. Dengan kata lain, apa syarat-syarat seorang mujtahid dan apa yang harus ia lakukan ketika sumber-sumber legislasi tampak kontradiksi
Mengeluarkan zakat adalah kewajiban
Apa yang dapat digunakan sebagai bukti untuk fatwa (mufti dapat menggunakan Al-Qur’an atau mufti tidak dapat menggunakan horoskop masa kini)
Jika seseorang kentut maka ia Bagaimana mendamaikan antara batal wudhu dua bukti yang tampak saling bertentangan Salat hanya diwajibkan ketika Bagaimana menafsirkan kode-kode waktunya tiba bahasan yang bermacam-macam Wajib hukumnya salat lima waktu sehari
Bagaimana mendeduksi aturan baru berdasarkan aturan yang sudah ada dalam sumber-sumber hukum Islam
B. Dua Pendekatan: Teoretis-Rasional dan Deduktif Seiring dengan lahirnya mazhab-mazhab fikih, berbagai ulama dari mazhab-mazhab itu mengadopsi dua pendekatan berbeda dalam mengkaji usul fikih, yakni pendekatan teoretis dan
PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
159
pendekatan deduktif. Pendekatan teoretis atau rasional hanya digunakan oleh penduduk Hijaz. Setelah menderivasi prinsipprinsip dari Al-Qur’an dan Sunnah, para sarjana mencoba menyesuaikan pandangan-pandangan mazhab mereka dengan prinsip-prinsip itu. Jika tidak sesuai, pandangan-pandangan itu akan dimodifikasi. Ketika menderivasi hukum Islam mereka bersandar pada taklid, dalam arti membatasi diri mereka hanya pada teks apa pun yang mereka punyai, dan karena itu dikenal juga sebagai kaum literalis. Para penduduk Hijaz mengikuti pendekatan ini karena mereka memiliki akses lebih banyak kepada hadis-hadis. Ciri-ciri dari pendekatan ini ialah: bebas dari pendapat-pendapat imam terdahulu; tidak melihat pendapatpendapat fikih; terlibat dalam konflik teori dan filsafat tanpa alasan, yaitu kemaksuman Nabi sebelum kenabian. Tidak wajib untuk mengikuti tindakan-tindakannya sebelum ia menjadi Nabi; para pengikut mazhab ini mengembangkan prinsipprinsip. Pendekatan deduktif atau tradisional digunakan oleh penduduk Irak yang melukiskan kebudayaan Persia, yang menekankan penalaran rasional. Pendekatan ini disebut tradisional karena prinsip-prinsip usul diderivasi berdasarkan atas pandanganpandangan imam Abu Hanifah tentang persoalan-persoalan fikih. Jika salah satu pandangannya kontradiksi dengan prinsip usul, prinsip itu sendiri yang harus dimodifikasi. Inilah mengapa sulit bagi mazhab Hanafi untuk mengatakan imam salah. Imam Karkhi mengatakan: jika prinsip-prinsip bertentangan dengan pernyataan syekh, maka mungkin sumber dapat dipahami dengan dua cara dan pandangan ini lebih baik. Ketika berupaya untuk menderivasi hukum Islam, Abu Hanifah menggunakan ijtihad bila ia tidak mempunyai sumber yang tersedia (meskipun
160
Zakiyuddin Baidhawy
mungkin ada sumber namun ia tidak mengetahuinya). Karena itu, mazhab rasionalnya berupaya agar hukum Islam menjadi praktis dan mudah dipahami. Ciri-cirinya antara lain: sejumlah prinsip terbatas karena Hanafi hanya mengikuti contoh imam. Umumnya mazhab ini diikuti oleh penduduk di India, Pakistan, Turki, Irak, dan kebanyakan negara Islam di dunia. Sementara itu, mazhab Hanbali diikuti penduduk Saudi Arabia; Maliki diikuti di Afrika Utara dan Spanyol; Syafi’i diikuti penduduk Yaman, Afrika Timur, Indonesia dan Malaysia. Perbedaan utama antara dua pendekatan ini lebih pada orientasi dan bukan pada substansi. Pendekatan teoretis sangat peduli dengan penjelasan ajaran-ajaran teoretis; pendekatan kedua bersifat pragmatis dalam arti bahwa teori diformulasi dengan memerhatikan terapannya dalam persoalan-persoalan yang relevan. Perbedaan antara dua pendekatan ini lebih menggambarkan kerja para pembuat draf hukum dibandingkan dengan kerja seorang hakim. Yang pertama sangat peduli dengan penjelasan prinsip-prinsip, sementara yang kedua cenderung mengembangkan sintesis antara prinsip dan persyaratan-persyaratan dari kasus tertentu. Pendekatan teoretis dalam kajian usul fikih diadopsi oleh Mazhab Syafi’i dan mutakallimun, yakni ulama kalam dan Mu`tazilah. Pendekatan deduktif sangat dekat dengan Hanafi. Yang pertama dikenal sebagai usul asySyafi’iyyah atau tariqah al-mutakallimun, sementara yang kedua dikenal sebagai usul al-Hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha’. Syafi’i sendiri sangat peduli dengan artikulasi prinsip-prinsip teoretik usul fikih tanpa berupaya menghubungkannya dengan fikih itu sendiri. Sebagai seorang metodolog, ia menetapkan seperangkat kriteria standar yang diharapkan diikuti dalam upaya pembentukan aturan-aturan fikih secara terperinci.
PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
161
Penjelasan teoretiknya tentang usul fikih dengan kata lain tidak mempertimbangkan penerapan praktisnya di wilayah cabang (furu`). Di samping itu, Syafi’iyyah dan mutakallimun cenderung terlibat dalam isu-isu kompleks yang filosofis yang boleh jadi memberikan atau tidak memberikan kontribusi bagi perkembangan aturan-aturan praktis fikih. Dengan cara ini, bahasan mengenai kemaksuman Nabi sebelum misi kenabiannya misalnya, dan masalah perolehan status individu atau wewenangnya sebelum turunnya wahyu syariah, dan juga persoalan logika dan bahasa yang jauh relevansinya dengan aturan-aturan praktis fikih cenderung lebih banyak muncul dalam karya-karya Syafi’iyyah dan mutakalllimun daripada Hanafiyyah. Hanafiyyah telah berupaya menjelaskan prinsipprinsip usul fikih dalam kaitannya dengan fikih itu sendiri dan cenderung lebih pragmatis dalam pendekatan mereka terhadap masalah ini. Pendek kata, pendekatan teoretik condong memandang usul fikih sebagai disiplin mandiri di mana fikih harus menguatkannya, sementara pendekatan deduktif berusaha menghubungkan usul fikih lebih dekat dengan isu-isu terperinci dalam wilayah furu` dalam fikih. Misalnya, ketika Hanafiyyah menemukan prinsip usul bertentangan dengan prinsip fikih yang mapan, mereka cenderung menyesuaikan teori sehingga dalam banyak hal konflik yang sedang dihadapi dihilangkan, atau mereka mencoba membuat pengecualian untuk mencapai kompromi. Tiga karya penting yang mempergunakan pendekatan teoretik atas usul fikih adalah Al-Mu’tamad fi Usul al-Fiqh karya tokoh Mu’tazilah Abu al-Husayn al-Basri (w. 436), Kitab alBurhan karya Syafi’iyyah Imam al-Haramayn al-Juwayni (w. 487) dan Al-Mustasfa karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505). Tiga karya ini kemudian diringkas oleh Fakhr ad-Din ar-
162
Zakiyuddin Baidhawy
Razi (w. 606) dalam bukunya Al-Mahsul. Sayf Ad-Din al-Amidi’s menulis karya besar Al-Ihkam fi usul al-Ahkam yang merupakan ringkasan dengan catatan atas tiga karya di atas. Karya Hanafi paling awal tentang usul fikih adalah Kitab fi al-Usul karya Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340) yang diikuti oleh Usul al-Jassas karya Abu Bakr ar-Razi al-Jassas (w. 370). Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 483) menulis karya terkenal Usul alBazdawi, yang ditulis sejalan dengan pendekatan Hanafiyyah. Karya ini diikuti oleh karya besar lainnya oleh Syams ad-Din asSarakhsi (w. 490) dengan judul Usul al-Sarakhsi. Fase berikutnya dalam perkembangan literatur usul fikih ditandai oleh upaya untuk mengkombinasikan pendekatan teoretik dan deduktif menjadi integral dan tercermin dalam karya-karya ulama Syafi’i dan Hanafi pada periode berikutnya. Kombinasi antara karya al-Bazdawi dan al-Amidi diusahakan oleh Muzaffar ad-Din as-Sa’ati (w. 694) berjudul Badi’ an-Nizam al-Jami ‘Bayn Usul al-Bazdawi wa al-Ihkam. Karya lain yang sama pentingnya adalah Sadr asy-Syari’ah ‘Abd Allah bin Mas’ud alBukhari (w. 747) berjudul At-Tawdih yang merupakan ringkasan dari Usul al-Bazdawi, Al-Mahsul, dan Mukhtasar al-Muntaha karya fakih Maliki, Abu Umar Usman bin al-Hajib (w. 646). Tiga karya lain yang terkenal mengkombinasikan dua pendekatan ini ialah Jam’ al-Jawami karya fakih Syafi’i, Taj ad-Din as-Subki (w. 771), At-Tahrir karya Kamil ad-Din bin al-Humam al-Hanafi (w. 860), dan Musallam as-Subut karya fakih Hanafi, Muhibb ad-Din bin ‘Abd asy-Syakur (w. 1119). Akhirnya, daftar karya ini kurang mantap tanpa menyebutkan karya Abu Ishaq Ibrahim asy-Syatibi Al-Muwafaqat, yang komprehensif dan barangkali unik dalam memperhatikan filsafat (hikmah) tasyri’ dan tujuan-tujuan yang telah dicapai melalui aturan-aturan syariah yang terperinci.
PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
163
Dua Pendekatan Klasik Usul Fikih Pendekatan teoretik Pendekatan deduktif membentuk fikih secara dibentuk dalam sorotan independen fikih Nama mazhab
Tariqah AlMutakallimin, Usul al-Syafi’iyyah
Tariqah Al-Fuqaha, Usul Al-Hanafiyyah
Mazhab pemikiran
Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Mu’tazilah (Usul Asy-Syafi’yyah)
Hanafi – terbatas pada bahasa dan sangat praktis. Mereka mengikuti para imam.
Pendekatan utama
1. Menjelaskan doktrin 1. Teori dibentuk teoretik lebih dulu dalam sorotan dari penerapannya penerapannya pada pada masalah fikih. persoalan fikih yang 2. Mengartikulasikan relevan. prinsip-prinsip 2. Dalam pendekatan teoretik usul fikih pragmatis, prinsipsecara independen prinsip usul fikih tanpa harus dijelaskan dalam menghubungkannya kaitannya dengan dengan fikih itu fikih itu sendiri (jika sendiri (seperti ia tidak memberi membahas sifat fisik pengaruh pada malaikat). fikih, maka ia tidak dibahas dengan tujuan untuk menderivasi prinsipprinsip usul fikih).
164
Zakiyuddin Baidhawy
Karya-karya besar
3. Terlibat dalam isu-isu kompleks yang berkarakter filosofis yang dapat atau tidak dapat berkontribusi pada perkembangan aturan-aturan praktik fikih. Seperti isu kemaksuman Nabi sebelum misi kenabiannya. Mereka hanya mendiskusikan semua ini dengan tujuan untuk menyempurnakan teori.
3. Suatu prinsip usul yang tampak bertentangan dengan prinsip fikih yang mapan menghendaki penyesuaian teori dengan berbagai cara. Pembahasan teoretik tidak dijumpai dalam mazhab ini. Karena ia tidak peduli dengan praktikalitas dari sebuah teori. Seperti kita tidak akan peduli dengan kamaksuman Nabi sebelum kenabiannya.
1. Al-Mutamad oleh Abdul Hussayn AlBassri 436H (1044). 2. Al-Burhan oleh Imam Al-Haramayn Al-Juwayni 487H (1094). 3. Al-Mustasfa oleh Al-Ghazali 505H (1111). 4. Al-Mahsoul oleh Fakhruddin Ar-Razi 606H (1209). 5. Al-Ihkaam Fi Usul Al-Ahkam oleh Al-Aamidi 713H (1314).
1. Hassan Al-Karhi 340H (951). 2. Usul Abu Bakr Ar-Razi Al-Jassas 370H (980). 3. Ta’sis An-Nadhar oleh Ad-Dabbussi 430H (1038). 4. Usul Al-Bazdawi 482H (1089). 5. Usul As-Sarakhsi 490H (1096).
PengantarPengertian Penulis dan Metodologi Studi Islam
165
166
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 9
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
S
ebagai firman Allah swt., Al-Qur’an sesungguhnya merupakan bentuk nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Namun, ia tidak bermakna tanpa campur tangan pikiran dan kesadaran manusia itu sendiri. Oleh karena itu, cara manusia mendekati Al-Qur’an sangat berperan dalam menafsirkannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak kita jumpai warisan tradisional tafsir Al-Qur’an yang berlimpah dalam Islam, sebagaimana telah disebut pada bab terdahulu. Sebagai akibat perkembangan baru kajian Islam di dunia dan pengaruh perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang semakin canggih pada umumnya, kajian Al-Qur’an semakin membuka diri terhadap pertumbuhan metodologi dan pendekatan kontemporer.
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
167
Hermeneutika kontemporer, terutama productive hermeneutics ala Gadamer atau al-Qira’ah al-muntijah menurut Nasr Hamid Abu Zayd (1994:144), membuka pengakuan terhadap cara baru pembacaan Al-Qur’an yang menerima fakta adanya prasangkaprasangka yang sah (Gadamer, 1992: 261). Metode ini ternyata mengilhami sejumlah sarjana Muslim untuk melakukan interpretasi terhadap fenomena Al-Qur’an, dapat disebutkan misalnya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi dan Farid Esack. Bahasan ini berupaya menyajikan gagasan-gagasan dan metode Farid Esack dalam menafsirkan Al-Qur’an melalui metode hermeneutika. Melalui metode ini, Esack telah memberikan kontribusi kontemporer berjudul Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression (1997). Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk hidup dalam kepercayaan penuh terhadap Al-Qur’an dan konteks kehidupan sekarang yang bersama-sama kepercayaan-kepercayaan lain, bekerjasama untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi; mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qur’an sebagai kontribusi bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam; menguji cara Al-Qur’an mendefinisikan diri (Muslim) dan orang lain (nonMuslim) dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagi kebenaran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme untuk pembebasan; dan menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan satu bentuk konservatisme politik (yang mendukung apartheid) di satu sisi, dan inklusivisme keagamaan dan satu bentuk politik progresif (yang mendukung perjuangan-perjuangan pembebasan) di sisi lain, serta memberinya dukungan rasional yang bersifat qur’ani (Esack, 1997: 14).
168
Zakiyuddin Baidhawy
A. Sekilas tentang Farid Esack Afrika Selatan, tempat Farid Esack dilahirkan dan dibesarkan, adalah wilayah dengan pluralitas agama. Di Wynberg dan Bouteheuwel banyak ia jumpai tetangga Kristen di rumah dan di sekolah. Ia juga bertemu dengan seorang Yahudi bernama Frank dan Tahirah, perempuan Baha’i ketika di sekolah dasar. Di wilayah ini pula kelompok-kelompok suku asli Khoikhoin, Nguni, San dan lain-lain, dikenal mempunyai kepercayaan berbeda-beda, di samping penduduk Muslim asli dan pendatang dari Indonesia pada pertengahan abad 17. Ada juga Hindu dan Yahudi yang sudah masuk pada pertengahan kedua abad 19. Sejak kecil Farid Esack sudah bersentuhan dengan tetangganya yang plural secara agama. Ketika masih kecil, ia telah menjadi sekretaris masyarakat yang bertugas mengatur masjid dan sebagai guru madrasah. Ia adalah orang yang sangat beragama dengan perhatian besar pada penderitaan yang ia alami dan saksikan di sekitarnya. Sampai-sampai ia yakin bahwa karena Tuhan menjadi Tuhan, Tuhan harus berbuat adil dan berada di sisi orang yang marginal. Ia percaya bahwa firman Allah swt.: “Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan mengokohkan langkah-langkahmu” (QS. (47): 7), berarti bahwa ia harus berpartisipasi dalam perjuangan untuk kebebaan dan keadilan, jika saya ingin agar Tuhan menolong, maka saya harus menolong-Nya. “Menolong-Nya” ia maksudkan sebagai “menolong agama-Nya” dan inilah yang mendorongnya bergabung dengan Tablighi Jamaah, sebuah gerakan revivalis Muslim internasional, pada umur 9 tahun. Ia masih sekolah ketika ditahan oleh Special Branch, polisi keamanan, karena aktivitasnya dalam National Youth Movement dan the South African Black Scholars Association. Dua organisasi MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
169
ini setia pada perubahan sosial-politik dan bermarkas di gedung Institut Kristen sebelum akhirnya dilarang pada 1973. Ia merasakan solidaritas yang hangat dari direktur institut ini Reverend Theo Kotze dan para stafnya. Theo menawarkan Muslim dalam organisasi ini fasilitas ibadah dan memastikan perlindungan istimewa. Setelah lulus sekolah, ia menghabiskan waktu selama 8 tahun untuk mengikuti scholarship di Pakistan, di mana ia mengikuti pendidikan teologi. Ia mulai mencintai Pakistan, karena kedatangannya dari keluarga Muslim dalam situasi minoritas membuatnya waspada terhadap penganiayaan agama dan sosial dari Kristen dan komunitas minoritas Hindu. Di sini ia pernah dikunjungi Derrick Dean, seorang aktivis muda Kristen yang meminta agar dibimbing membaca kalimat syahadat. Ia berkesimpulan, inilah logika sederhana “jika engkau menolong Allah, Ia akan menolongmu”. Kesenjangan antara teologi konservatifnya dengan praksis progresif menjadi tampak dan mendorongnya membuat pilihan. Ia sering berdiskusi dengan Student Christian Movement yang mencoba bagaimana memaknai hidup mereka sebagai Kristen dalam masyarakat tidak adil dan eksploitatif. Inilah yang kemudian mendorong Esack mengulangi semua pelajaran yang ia terima untuk mengawinkan iman dan praksis di Afrika Selatan. Di Pakistan juga ia menjadi semakin sadar terhadap kemiripan antara penindasan wanita dalam masyarakat Muslim dan wanita kulit hitam pada masa regim apartheid Afrika Selatan. Konvergensi antara wacana seksis dan rasis membuatnya komitmen dan peduli dengan masalah ini. Setelah kembali ke Afrika pada 1982, Esack diberitahu oleh saudaranya Omar bahwa masyarakat Afrika Selatan telah men-
170
Zakiyuddin Baidhawy
stigma wanita hamil di luar nikah. Pada 1984, ia mempelopori pendirian Call of Islam yang berafiliasi dengan United Democratic Front (UDF) yang didirikan pada 1983, sebuah gerakan pembebasan Muslim paling aktif memobilisasi penduduk melawan apartheid, ketidakadilan gender, ancaman-ancaman terhadap lingkungan dan kerjasama antariman.
B. Metode Hermeneutika Pembebasan Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika Selatan, telah menyusun apa yang disebut hermeneutical circle dalam teologi pembebasan. Juan Luis Segundo mendefinisikan hermeneutical circle sebagai perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat (Segundo, 1991: 9). Ia mengemukakan dua syarat untuk menciptakan hermeneutical circle: persoalan-persoalan yang mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata; dan interpretasi baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya. Perbedaan fundamental antara lingkaran Segundo dan metodologi Fazlur Rahman adalah keputusan secara sadar untuk memasuki lingkaran hermeneutika dari sudut praksis pembebasan yang ditentukan secara politik. Segundo menyatakan, lingkaran hermeneutika didasarkan atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan pembebasan adalah unsur intrinsik dari iman (Segundo, 1991: 97). Sementara Rahman menyatakan bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kognitif dari wahyu (Rahman, 1982a: 4). Kunci hermeneutika untuk upaya-upaya kognitif ini adalah iman dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokusMODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
171
kan pada lingkungan historis wahyu sebagai alat paling berharga dalam memahami (Rahman, 1982a: 1-11). Ia mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement); dari masa kini ke periode Al-Qur’an dan kembali ke masa kini (lihat skema I, Rahman, 1982a: 20; Esack, 1997:66). Skema I Hermeneutika double movement Fazlur Rahman
Situasi historis
respons Al-Qur’an
Generalisasi jawaban-jawaban spesifik
Menentukan tujuan-tujuan moral-sosial Al-Qur’an
Situasi kontemporer
nilai-nilai Al-Qur’an
Masyarakat Islam Di samping Rahman, Mohammed Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutika kontemporer. Ia memandang krisis legitimasi bagi agama saat ini memaksa para sarjana untuk bicara tentang cara pemikiran yang heuristik (Arkoun, 1987b: 10). Ia sangat menekankan pendekatan historis-sosiologis-antropologis, tetapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan, ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi historis dan sosial konkret di mana Islam dipraktikkan. Arkoun 172
Zakiyuddin Baidhawy
menyajikan “garis-garis pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan memperhadapkannya dengan pengetahuan kontemporer. Garis-garis pemikiran itu mencakup: Pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui “kegunaan” yang berubah-ubah (aktivitas, pengalaman, sensasi, observasi, dst.). Setiap “kegunaan” (use) dikonversi dalam bentuk tanda dan realitas yang diungkapkan melalui bahasa sebagai sistem tanda (Arkoun, 1987b: 8). Ini terjadi sebelum interpretasi wahyu. Kitab Suci dikomunikasikan melalui bahasa alam yang menggunakan sistem tanda dan setiap tanda adalah lokus operasi konvergen (persepsi, ekspresi, interpretasi, terjemahan) yang menandai adanya hubungan antara bahasa dan pikiran. Konsekuensinya bagi pemikiran tradisional tentang wahyu dan bahasa: paham tentang kesucian bahasa Arab tak dapat dipertahankan; dan inti pemikiran Islam terwakili sebagai persiapan bahasa dan semantik. Kedua, semua tanda dan simbol adalah produk manusia (produksi semiotik) dalam proses sosial dan budaya yang tak terpisah dari historisitas. Historisitas adalah satu dimensi dari kebenaran (Arkound, 1987b: 8), kebenaran yang dibentuk oleh alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat yang selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia Tuhan, tetapi ia dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana. Keempat, sistem legitimasi tradisional yang diwakili pemikiran teologi Islam klasik dan yurisprudensi Islam dan perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi epistemologis. Disiplin-disiplin itu terlalu kompromi dengan bias-bias ideologi yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para intelektual tukangnya (Arkoun, 1988: 64-65). MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
173
Aplikasi gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif dan suci. Ia membedakan tiga level firman Allah swt.: 1) firman Allah swt. sebagai transenden, tak terbatas dan tak dikenal oleh manusia sebagai suatu keseluruhan yang diwahyukan melalui nabi. Hal ini diungkapkan dalam bahasa Al-Qur’an sebagai al-lawh al-mahfuz (QS. (85): 22) atau umm al-kitab (QS. (43): 4; 2) manifestasi historis firman Allah swt. melalui nabinabi Israel (dalam bahasa Ibrani), Yesus (bahasa Aram), dan Muhammad (bahasa Arab). Ia dihafal dan ditransmisikan secara oral selama periode sebelum ditulis (Arkoun, 1987b: 16; dan 3) objektifikasi teks dari firman Allah swt. telah terjadi (Al-Qur’an menjadi mushaf) dan kitab ini tersedia bagi orang beriman hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanon resmi tertutup. Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki komunitas yang menafsirkan menuju keselamatan sesuai dengan perspektif vertikal tentang semua kreasi sebagaimana ditekankan oleh wacana qur’an. Komunitas yang menafsirkan adalah subject-actan dari keseluruhan sejarah dunia yang diwakili, diinterpretasi dan digunakan sebagai tahapan sulit untuk mempersiapkan penyelamatan sesuai dengan sejarah Penyelamatan yang dikisahkan Tuhan sebagai bagian dari wahyu yang mendidik (Arkoun, 1987a: 16). Hubungan individu dengan kitab sebagai firman Allah swt. sama dengan hubungan sosial-politik dengan komunitas yang menafsirkan (lihat skema II).
174
Zakiyuddin Baidhawy
Skema II Metode hermeneutika Mohammed Arkoun
Firman Allah swt.
Sejarah Penyelamatan
Peristiwa pembuka
komunitas Muslim
Korpus resmi tertutup
Korpus tertafsir
Transmisi
Tradisi – hafalan kolektif, seleksi, pengumpulan, eliminasi, kristalisasi, mitologisasi, sakralisasi
Masyarakat Angan-angan sosial Muncul kritik rasionalitas Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan di atas –Rahman dan Arkoun. Pendekatan Rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan Islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialektika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
175
praksis. Ketika Rahman mengklaim elan moral dasar Al-Qur’an –kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial– ia lupa akan sebabsebab struktural dari ketidakadilan itu (Esack, 1997: 67-68). Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan kepada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, di samping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral. “Setiap hermeneutika membutuhkan partisipasi secara sadar ataupun tidak” (Esack, 1997: 72-73). Tampaknya Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermenetiks pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas Muslim memahami Al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil; untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan (misalnya hubungan Tuhan dengan orang lapar dan eksploitasi). Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan (Esack, 1997: 11). Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi sosio-ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemungkinan bagi kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks tertentu secara selektif dan arbitrer dan mengeluarkan teks-teks lainnya. Anda tidak dapat benar-benar taat kepada Allah swt. jika anda dalam keadaan lapar. Ketaatan semacam ini adalah bentuk
176
Zakiyuddin Baidhawy
pemaksaan. Hadis Nabi, “Saya yang berada di bawah lindungan Allah swt. sangat memerhatikan kefakiran dan kekufuran (Ibn Hanbal, 1978, 2: 101) adalah indikator hubungan antara kurangnya iman dan kemiskinan. Al-Qur’an juga menyebutkan klaim Fir’aun sebagai Tuhan dan melahirkan konsekuensi politik atas perbudakan bangsa Israel (QS. (10): 83-85, 90). Kedua, respons bahwa mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan agar kita memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik (Esack, 1997: 12). Esack melihat ada 3 unsur instrinsik dalam proses memahami teks. Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus Al-Qur’an, Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk ke dalam pikiran Tuhan. Dalam tradisi mistik Islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu, Tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan Muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Bagi Rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan digali oleh pikiran murni. Inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosiopolitik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu. Kedua, penafsir adalah makhluk dengan banyak beban. Partisipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra pemahaman tentang persoalan MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
177
yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, “tak ada interpretasi tak berdosa, tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa” (Tracy, 1987: 79). Pra pemahaman adalah syarat hidup dalam sejarah. Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi di mana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta impaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan antara Islam normatif dan apa yang “dipikirkan” orang beriman (Esack, 1997: 75). Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Masa lalu adalah masa kini. Siapa pun yang menggunakan bahasa “memikul pra pemahaman” yang sebagian sadar dan lebih sering tidak sadar akan sejarah dan tradisi bahasa tersebut (Tracy, 1987: 16). Kita tidak bisa lari dari semua ini. Makna kata selalu dalam proses. Menurut Cantwell Smith, “menggunakan suatu kata berarti berpartisipasi dalam proses sejarah maknanya yang terus menerus (1980: 501). Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tetapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan menafsirkan apa pun adalah partisipasi dalam proses linguistikhistoris. Pembentukan tradisi dan partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Perlakuan kita terhadap Al-Qur’an juga terjadi dalam batasan-batasan ini; kita tidak dapat keluar dari dan menempatkan diri di atas bahasa, budaya dan tradisi (Esack, 1997: 76).
178
Zakiyuddin Baidhawy
C. Al-Qur’an Bicara: Kunci Hermeneutika Pembebasan Bicara dalam konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, Esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan Al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih koheren. Teologi pembebasan Al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk ras, gender, kelas, dan agama. Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya melalui partisipasi dan pembebasan. Ia juga mengambil inspirasi dari Al-Qur’an dan perjuangan nabi-nabi. Untuk itu, kunci hermeneutika pembebasan dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan dari AlQur’an. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci takwa, tawhid, an-nas, mustadh`afin, `adl, dan qist, serta jihad (1997: 83). 1. Takwa: adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia (QS. (92): 4-10 dan (49): 13). Dengan takwa, individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam transformasi dan pembebasan (QS. (3): 102-105; (8): 29). Menerima takwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penfsir dan tindakan menafsir: a) penafsir harus bebas dari prasangka (zhann) dan nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an, dengan
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
179
takwa sebagai kunci, memastika interpretasi bebas dari obskurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulasi subjektif; b) takwa memfasilitasi keseimbangan estetika dan spiritual dalam kehidupan penafsir; c) takwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan Al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut (Esack, 1997: 88-89). 2. Tawhid: kesatuan Tuhan untuk kesatuan kemanusiaan. Tawhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosiopolitik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi Iran pada 1979. Ali Syariati adalah cendekiawan yang menyatakan tawhid adalah pandangan dunia yang bertujuan merealisasikan kesatuan Tuhan dalam relasi manusia dan sistem sosio-ekonomi. Tawhid oleh para penafsir di Afrika Selatan digunakan untuk melawan pemisahan antara agama dan politik, dan apartheid sebagai ideologi. Tawhid adalah sumber ideologi dan kerangka rujukan suci. Ia punya dua implikasi dalam konteks Afrika Selatan: a) pada level eksistensial, ia berarti penolakan atas dualisme konsepsi tentang eksistensi manusia di mana perbedaan dibuat antara sekular dan spiritual, suci dan profan; b) pada level sosio-politik, ia menentang masyarakat yang menjadikan ras sebagai objek alternatif bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar etnisitas. Pembedaan semacam ini adalah syirik, antitesis tawhid. Apartheid adalah syirik (Esack, 1997: 92). 3. An-nas: manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi bagi masyarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi hermeneu-
180
Zakiyuddin Baidhawy
tika: a) ia menjadi esensi bahwa Al-Qur’an ditafsir dengan cara yang memberikan dukungan bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan yang mayoritas daripada minoritas; b) interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan sebagai pembeda dari dan sering bertentangan dengan minoritas istimewa. Paham kemanusiaan sebagai kunci hermeneutika juga mempunyai dua implikasi: a) rakyat sebagai ukuran kebenaran; humanum adalah suara kebenaran yang identik dengan kebenaran Tuhan, vox populi vox dei; b) setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memasuki teks suci. Ide hermeneutika Al-Qur’an menentang konsep tradisional tentang kesucian teks yang hanya dapat disentuh individu tertentu (Esack, 1997: 96-97). 4. Al-mustadh`afin, fuqara, masakin dan aradhil: adalah kelas marjinal, tertindas. Lawan mereka adalah mutrafun dan mustakbirun. Nabi Muhammad berasal dari keluarga petani dan kelas pekerja; demikian juga nabi-nabi Abrahamik berasal dari keluarga petani dan penggembala domba. Mereka mempunyai tujuan menciptakan tatanan sosial egaliter; mereka menghapuskan ketidakadilan sosio-ekonomi seperti rente, bunga dan semua praktik ekonomi spekulatif dan eksploitatif. Al-Qur’an melarang akumulasi kekayaan dan memerintahkan pembebasan wanita dan budak. Banyak ayat yang menghubungkan iman dan agama dengan humanisme dan keadilan sosio-ekonomi. Penafsir perlu menempatkan dirinya di tengah-tengah kaum marjinal dan dalam perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks dari bagian bawah sejarah, didasarkan atas paham pilihan Tuhan dan kenabian atas orang-orang tertindas (Esack, 1997: 98-103). MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
181
5. `Adl dan qist: keadilan dibangun atas dasar tawhid, dan jalan menuju takwa. Keadilan adalah alasan utama bagi tegaknya agama. Masyarakat Islam diharapkan berpegang kepada keadilan sebagai basis kehidupan sosio-ekonomi. Lawannya adalah zulm dan `udwan. Keadilan ialah ukuran untuk melakukan perjuangan pembebasan. Visi keadilan Al-Qur’an harus mensuplai gagasan visioner terhadap perjuangan ini. Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks; teks juga memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada konteks (ketidakadilan dan penindasan di Afrika Selatan). Dalam situasi ketidakadilan, Al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi: a) kita harus mencari jalan mendekati Al-Qur’an untuk digunakan melawan ketidakadilan; netralitas dan objektivitas dalam konteks ini adalah dosa; b) pendekatan terhadap Al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas (Esack, 1997: 103106). 6. Jihad: adalah perjuangan dan praksis. Praksis artinya tindakan sadar oleh komunitas manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik yang didasarkan atas realisasi bahwa manusia menciptakan sejarah (Chopp, 1989: 137). Dalam konteks Afrika Selatan, jihad adalah paradigma perjuangan pembebasan dalam Islam; jihad di jalan Allah swt. adalah bagian dari iman; jihad untuk kebebasan dan keadilan di Afrika Selatan adalah suci (Esack, 1997: 106-108).
182
Zakiyuddin Baidhawy
D. Simpulan Dari paparan di atas, tampak ada kaitan antara jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (an-nas); hubungan antara jalan Tuhan dan jalan kemanusiaan; pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marjinal dan pentingnya menegakkan keadilan (`adl dan qist) atas dasar tawhid dan takwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan AlQur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marjinal dalam perjuangan untuk pembebasan. Jadi, hermeneutika pembebasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek: 1) perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir; penafsir menentang pendekatan yang lebih religius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekular. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marjinal; 2) Teologi pembebasan hidup dala dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik; dan 3) Kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.[]
MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack
183
184
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 10
MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
P
ergumulan otoritarianisme, otoritatif dan otoritas di dunia Islam, sebagaimana telah dipaparkan oleh Khaled Abou alFadl dalam karyanya Speaking in the God’s Name, merupakan fakta sejarah yang tak terelakkan dan mungkin akan terus berjalan. Munculnya fatwa mutakhir dari MUI mengenai Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan dan pengharaman atas paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme, adalah contoh betapa sebuah lembaga keagamaan “otoritatif” telah menjerumuskan diri dalam kubangan “otoritarianisme religius”. Disebut otoritarianisme karena MUI secara terbuka telah memasuki wilayah hak prerogatif Tuhan dan mencurinya atas nama kepentingan agama. Belum dibuka kesempatan dialog secara terbuka dengan berbagai elemen atau kelompok masyarakat Muslim yang menjadi sasaran fatwa tersebut. MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
185
Fatwa MUI dan tertutupnya pintu dialog di kalangan internal Muslim, memperlihatkan ada upaya-upaya sistematis hegemoni tafsir tertentu tentang apa, siapa, dan bagaimana Islam. Perlu disadari bahwa tafsir1 bukanlah agama, ia produk akal pikiran sesuai dengan ruang dan waktu dan tingkat pemahaman intelektual manusia. Meskipun sumbernya adalah kitab suci dan sunnah, tafsir dapat salah, ia dapat berubah sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Oleh karena itu, tafsir menjadi asing jika horizon perbendaharaan kata dan rumusannya tak berdialektika dan bercermin pada perubahan pengalaman kognitif, kultural dan spiritual. Sebab temuan-temuan ilmiah yang bersifat empirik, sosial, maupun humaniora berpengaruh besar membentuk pengalaman keberagamaan manusia, karena keberagamaan bukan wilayah yang terpisah dari struktur dasar kehidupan. Jika semua itu diabaikan, pemikiran keagamaan hanya bersifat reaktif, bukan diskursif dan makin jauh dari kenyataan empirik (Dewey, 1960: 161-186). Dengan demikian, kritik keagamaan sangat diperlukan jika diakui bahwa tidak ada lembaga keagamaan, tafsir, teologi atau kepercayaan yang tidak dapat salah. Tuntutan akan kebenaran final yang melekat pada institusi agama dan sistem tafsir yang sudah mapan, perlu dipersoalkan kembali agar manusia terhindar dari pemutlakan terhadap yang relatif. Karena itu gabungan serasi antara kesetiaan atas fundamental tafsir dan pemikiran kritis 1 Istilah tafsir dalam paper ini bukanlah tafsir Al-Qur’an dalam kategori cabang keilmuan Islam tradisional. Tafsir di sini lebih merujuk pada segala upaya pemahaman intelektual manusia terhadap sumber-sumber keilmuan, baik yang berasal dari realitas kawniyyah dan realitas qawliyyah atau gabungan antara keduanya, karena itu tafsir di sini dapat mencakup berbagai aspek keilmuan seperti teologi/kalam, fiqh-usul fiqh, tasawuf, filsafat, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora.
186
Zakiyuddin Baidhawy
akan menghantarkan pada kematangan beragama (Barbour, 1980: 39). Keduanya dapat berfungsi secara bergantian dalam satu kesatuan utuh. Kenyataan sosiologis menunjukkan bahwa tafsir yang bersifat partikularis dan eksklusif akan menghadapi dua kesulitan dalam berhadapan dengan realitas kontemporer. Pertama, ketidakmampuan tafsir untuk secara sistematis menyesuaikan bahasan dengan perkembangan ilmu-ilmu modern empiris dan menjadikan tafsir kurang relevan dengan perkembangan zaman. Tafsir tidak mampu melakukan otokritik dan tidak vokal dalam menghadapi isu-isu global. Kedua, ketika berhadapan dengan globalisasi budaya, tafsir terpaksa membuat konsesi-konsesi psikologis, namun ini sulit dilakukan oleh tafsir otoritarian yang partikularis dan foundational. Di sini tafsir perlu melampaui batasan-batasan tradisionalnya tanpa kehilangan jati diri pengemban misi spiritual keagamaan (Abdullah, 1996: 53-57). Dalam konteks dan kesempatan ini, penulis menimbang perlunya memaparkan sketsa mengenai jebakan foundasional dari logika modernisme yang mengurung penafsir pada satu titik kebenaran, benturan antara fondasionalisme dengan hermeneutika yang membuka peluang ragam tafsir atas realitas dan alternatif untuk mengatasi benturan di muka.
A. Gagap Paradigma Fondasionalisme Kerancuan fondasionalisme dalam sistem epistemologi pengetahuan menghantarkan kita pada kebutuhan akan horizon baru yang lebih kaya dan beragam. Fondasionalisme tradisional adalah suatu pandangan bahwa pengetahuan dapat dimulai atau memulai kembali dari ketiadaan (nothing) dengan menemukan kepingan-kepingan pengetahuan yang pasti (certainity) MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
187
dan tidak dapat salah (infallible). Yakni suatu fondasi terhadap mana semua pengetahuan lain dapat dikonstruksi. Fondasionalisme klasik telah dimulai dari Rene Descartes (1596-1650), yang meyakini jika ia dapat memahami apapun secara jelas dan terang, maka ia dapat memandangnya sebagai sesuatu yang benar dan membangun pengetahuan atas dasar pemahaman tersebut. Keyakinan semacam ini membuatnya dikenal sebagai rasionalis yang mendasarkan sistemnya atas apa yang mereka sebut sebagai prinsip pertama pembuktian diri melalui metode demonstrasi, yang pada awalnya telah ditawarkan oleh Aristoteles. Sesuatu dipandang sebagai self-evident jika kita mengetahuinya benar dengan cara memahaminya. Proyek rasionalisme bagaimanapun terjebak pada klaim subjektif tentang kepastian. Fondasionalisme serupa terjadi pada penentang rasionalisme, yakni empirisme. Kaum empirisis memiliki klaim tentang sesuatu yang dianggap benar dengan sendirinya. Kebanyakan mereka memandang pengalaman sebagai menyediakan kepingan-kepingan pengetahuan yang fondasional. Pernyataanpernyataan tentang pengalaman tidak sendirinya dianggap benar dalam arti dipahami, namun pernyataan-pernyataan itu dapat dipandang benar secara intuitif sebagai bagian dari pengamatan empirik. Fondasionalisme semacam ini serupa dengan kebenaran rasionalistik, karena pada akhirnya ketidaksepakatan dan kesalahan yang muncul terjadi dalam pengamatan empirik secara langsung. Kepingan-kepingan pengetahuan yang foundasional ini tidak pasti dan dapat salah. Kesulitan serupa juga menimpa pada intuisionisme, yang berkeyakinan bahwa kebenaran apapun tidak dapat dengan sendirinya terbukti melainkan jika pengetahuan itu didasarkan pada intuisi.
188
Zakiyuddin Baidhawy
Tidak satupun pengetahuan sepenuhnya dapat dipandang tidak salah, semua pengetahuan dapat salah dan dapat diperbaiki, dan ini membuktikan kesalahan fatal fondasionalisme. Jika fondasionalisme adalah suatu tesis bahwa kita dapat mengkonstruk pengetahuan dengan kepastian mutlak berangkat dari ketiadaan, maka penolakan atas tesis ini dapat memberikan kita berbagai kemungkinan tesis alternatif, yaitu: 1) pengetahuan selalu dapat didekonstruksi, 2) tidak ada kepastian mutlak, dan 3) pengetahuan tidak dapat berawal dari ketiadaan.
B. Pendekatan Hermeneutika: Pintu Keragaman dan Relativisme Tesis pertama menyangkut gagasan tentang dekonstruksi untuk menjelaskan dan menyimbolkan kegagalan proyek-proyek fondasionalisme. Tesis kedua –kita tidak dapat memiliki kepastian mutlak– kini diterima oleh seluruh orang kecuali sedikit kaum Aristotelian. Tesis ketiga merupakan kunci utama untuk teori alternatif: jika pengetahuan tidak dapat berangkat dari ketiadaan, lalu berangkat dari apa? Dengan pengetahuan terdahulu (previous knowledge) tentu saja. Tapi apa yang dimaksud dengan pengetahuan terdahulu? Mengapa? Jika tidak ada kepastian tentang pengetahuan, tidak ada sistem yang tetap dan permanen yang dapat dikonstruk, maka pengetahuan baru akan menjadi apa yang kita pikir kita tahu hingga sesuatu yang lain terjadi untuk mengubah pikiran kita lagi. Proses ini pada akhirnya dapat dijelaskan oleh siklus hermeneutika (hermeneutic cycle). Hermeneutika berarti “menafsir atau menerjemah”.Ia merupakan teori dan praktek menafsir, awalnya menafsir teks khususnya teks-teks keagamaan. Siklus hermeneutika adalah MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
189
proses melalui mana kita kembali pada teks, atau pada dunia, dan melakukan interpretasi baru –barangkali interpretasi baru untuk setiap masa– atau interpretasi baru untuk setiap penafsir. Jadi, jelas bahwa menafsir terjadi sepanjang masa. Kita dapat memahami sebuah buku, film dan sebagainya dengan sedikit perbedaan pada setiap saat kita membaca atau menontonnya sepanjang masa. Ini merupakan persoalan serius pada masa pertengahan, di mana setiap kali ada perbedaan interpretasi atas kitab suci dipandang sebagai bentuk heresi, skisma, perang, dan sebagainya. Sebagian soal penting yang muncul adalah berkenaan dengan pertanyaan siapa yang memiliki otoritas untuk menafsir kitab suci dan apakah menafsir adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua orang atau apakah menafsir menghendaki kemampuankemampuan atau inspirasi tertentu. Salah satu perbedaan antara Sunni dan Syiah adalah bahwa yang pertama memandang pada asalnya setiap Muslim dapat menafsir Al-Qur’an dan Sunnah, sementara yang kedua meyakini bahwa tafsir yang layak hanya diberikan oleh seseorang yang memiliki percikan ketuhanan yang berasal dari Ali. Gereja Katholik terkenal dengan otoritas doktrin seorang Paus, namun Kristen masa awal menyandarkan otoritas doktrin pada Dewan Gereja. Pada masa ini, minat terhadap hermeneutika tumbuh perlahan dalam tradisi filsafat Kontinental tanpa banyak memperoleh perhatian di dunia Anglo-Amerika, hingga Thomas Kuhn mempublikasikan karyanya The Structure of Scientific Revolutions (1970) pada tahun 1962. Sejalan dengan semakin terhuyungnya fondasionalisme (empirisis) dari logika positivistik, Kuhn menyediakan visi alternatif yang sangat kokoh: pengetahuan ilmiah dapat berubah bukan melalui konfrontasi dengan fakta-
190
Zakiyuddin Baidhawy
fakta keras, namun dengan perjuangan sosial antara penafsiranpenafsiran yang secara intrinsik bersifat ambigu. Seiring dengan tumbangnya positivisme, kekuatan alternatif muncul melalui Feyeraband, Habermas, Derrida, Foucault dan sebagainya. Sementara, The Structure of Scientific Revolutions menyebut secara lugas kebenaran sebagai kepedulian sains, banyak kaum hermeneutik baru secara positif menolak kemungkinan kebenaran objektif. Semuanya adalah hasil interpretasi. “Realitas” hanya dapat diakses oleh kita dalam arti bagaimana kita memahami dan menafsirkannya. Jadi, jika tidak ada “realitas” yang secara independen dapat dibandingkan dengan pengetahuan yang kita miliki, semua yang kita dapat lakukan adalah memperhadapkan satu penafsiran dengan penafsiran lain, dan masing-masing penafsiran akan berjalan sejauh didukung oleh fakta-fakta. Tidak ada kepingan-kepingan pengetahuan yang bersifat foundasional. Teori semacam ini disebut “dekonstruksi”. Karena tidak ada fondasi untuk mengkonstruk sebuah sistem pengetahuan, cara terbaik yang dapat kita lakukan adalah tugas teurapetik untuk mengambil sistem pengetahuan yang bertujuan dan “mendekonstruksi”nya dengan menunjukkan asumsi-asumsi atau interpretasi-interpretasi arbitrer terhadap mana pengetahuan itu dibangun. Sejauh tidak ada batasan-batasan dalam realitas atas interpretasi, siklus hermeneutik, merupakan spiral yang keluar dari kontrol. Proyek yang berada di balik semua ini secara moral sering dibingungkan dan disamakan dengan relativisme. Padahal, pada faktanya kebanyakan eksponen hermeneutika dan dekonstruksi, seperti Heidegger dan Foucault, memiliki sedikit simpati terhadap demokrasi borjuis, toleransi dan komersialisme. Secara logis dan politis, doktrin ini disebut sebagai relativisme moralistik. MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
191
Sebagai bagian dari kritik sains, pandangan-pandangan dekonstruksionis, mulai dari Kuhn, pada akhirnya didukung oleh seorang sejarahwan populer dan komentator sains dan teknologi bernama James Burke dalam berbagai seri televisinya seperti The Day the Universe Changed. Karena tidak ada “realitas” yang bebas dari penafsiran, “alam semesta kapanpun seperti apa yang anda katakan tentangnya sebagaimana adanya”. Seri ini berakhir dengan ide bahwa Budhisme adalah sebaik interpretasi sains modern tentang dunia, karena di sana ada banyak orang yang mengatakan alam semesta dengan cara tersebut. Maka, mengapa Budhisme tidak membangun, atau bahkan memahami, tungku microwave, adalah pertanyaan yang baik tentang tatanan serupa sebagaimana pertanyaan mengapa mekanika kuantum tidak mengantarkan seseorang dari siklus kelahiran dan kematian. Kaum Budhis semacam itu biasanya sangat senang untuk mengkaji sains Barat dan membangun alatalat elektroniknya sendiri, yang tidak didasarkan atas doktrin Budha, yang menyediakan kunci bahwa mekanika kuantum dan Budhisme mungkin tidak bicara tentang hal yang sama, apakah kita memahaminya sebagai bagian dari alam semesta yang sama atau tidak –meskipun banyak literatur mutakhir (misalnya The Tao of Physics) yang menyatakan bahwa penemuan-penemuan terbaru dalam sains sekedar mengulang kembali kebenarankebenaran kuno dalam Filsafat Timur. Kebenaran-kebenaran kuno dalam Filsafat Timur memang tidak menemukan telegraf, sementara kebenaran-kebenaran terbaru sains tidak memiliki apapun yang menyerupai tujuan-tujuan soteriologis Budha, Hindu, dan Jainism, atau tujuan-tujuan moral dan estetika Konfusianisme dan Taoisme.
192
Zakiyuddin Baidhawy
C. Menuju Hibrida Paradigmatik Relativisme atau gagasan bahwa alam semesta seperti apapun yang anda pikirkan, meskipun menarik orang seperti James Burke, nampaknya tidak menyerupai sesuatu yang direkomendasikan oleh pengetahuan ilmiah secara keseluruhan. Bahkan banyak eksponen dekonstruksi atau penerusnya posmodernisme tidak memusuhi sains. Semua capaian sains tunduk pada interpretasi dekonstruktif. Inilah rupanya yang menekan perempuan tertindas dari Dunia Ketiga untuk memiliki “ways of knowing”, kebenarannya sendiri yang tidak rasis, seksis, klasis dan lebih bersahabat dengan bumi. Banyak ilmuwan ternama yang tidak sabar dengan hal semacam ini. Roger Penrose (1989: 299), matematikawan dan penafsir sains, pernah berkata dalam karya besarnya The Emperor’s New Mind: “I have taken for granted that any ‘serious’ philosophical viewpoint should contain at least a good measure of realism. It always surprises me when I learn of apparently serious-minded thinkers, often physicists concerned with the implications of quantum mechanics, who take the strongly subjective view that there is, in actuality, no real world ‘out there’ at all! The fact that I take a realistic line wherever possible is not meant to imply that I am unaware that such subjective views are often seriously maintained -- only that I am unable to make sense of them.” Jadi, keseluruhan ide sains dan pengetahuan menjadi tidak bermakna, kecuali ada beberapa cara bagi realitas eksternal untuk memengaruhi dan membatasi interpretasi kita, sebagaimana diapresiasi dalam konteks hermeneutika oleh Richard J. BernMODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
193
stein (1983) dalam Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis. Kebenaran hermeneutika (diungkapkan oleh Bernstein sebagai “relativisme”) adalah bahwa berbagai tafsir sangat dimungkinkan karena setiap teks, data empirik, atau apapun harus diinterpretasi. Kebenaran fondasionalisme (diungkapkan oleh Bernstein sebagai “objektivisme”) di sisi lain adalah bahwa teks atau data mengharuskan adanya batasan bagi interpretasi. Jika rangkaian interpretasi hermeneutika dibatasi oleh teks, atau oleh bukti empirik, atau oleh sesuatu yang lain, adalah mungkin bagi siklus hermeneutika untuk mempersempit gerak spiral yang diluar kontrol. “Batas” spiral adalah prinsip objektivitas dan realitas. Sebagaimana dalam mekanika kuantum, ada serangkaian ketidakpastian besar atau kecil, namun itu semua sekedar rangkaian bukan ketakterbatasan kemungkinan yang tidak dapat dibatasi. Interaksi hermeneutika dan fondasionalisme serupa dengan interaksi penafsiran dan realitas. Hubungan kita dengan realitas menentukan penafsiran, meninggalkan serangkaian kemungkinan, bahkan menentukan suatu batasan atas interpretasi yang menentukan rangkaian kepastian. Apa yang disajikan oleh hermeneutika dan fondasionalisme sesungguhnya adalah sesuatu yang lebih mendekati secara logika. Hermeneutika berkenaan dengan interpretasi, berkenaan dengan makna (meaning), berkaitan dengan apa yang dipahami. Fondasionalisme berkaitan dengan realitas, tentang apa yang diketahui. Kaum foundasionalis dan dekonstruksionis tradisional cenderung menukarkan makna dengan kebenaran, dan pemahaman dengan pengetahuan. Jadi, dalam bentuknya yang sangat klasik, kaum positivis logis menolak bahwa pernyataan-pernyataan dapat menjadi ber-
194
Zakiyuddin Baidhawy
makna (meaningful) jika tidak dapat diverifikasi secara empirik. Positivisme logis itu sendiri tidak dapat diverifikasi sehingga tidak bermakna. Agaknya mereka sendiri meninggalkan paham ini selama beberapa dekade meskipun Wittgenstein telah melihat problem ini melalui karyanya Tractatus Logico Philosophus. Di sisi lain, dekonstruksi menyatakan bahwa interpretasi apapun tentang makna adalah benar, sehingga “kebenaran” dapat bermakna apapun. Jadi, makna dan kebenaran adalah sesuatu yang dapat diproduksi. Dua ekstrem ini sangat ganjil karena bisa berujung pada reduksionisme dan kerancuan. Jika makna dan kebenaran itu berbeda dan terpisah, maka kita membutuhkan suatu dualisme epistemik dan bahkan dualisme ontologis, antara pemahaman dan pengetahuan, atau antara pemikiran dan intuisi. Dualisme ini selalu cenderung untuk berpisah (sebagaimana rasionalis mengasimilasi persepsi pada pikiran dan empirisis mengasimilasi pikiran pada persepsi). Dan hal semacam ini pada akhirnya tidak dapat dihindari dalam common sense dan secara teoretik dipegangi oleh Kant. Bahkan, ada kebenaran-kebenaran makna (truths of meaning), kebenaran-kebenaran analitik (analytic truths), dan makna kebenaran-kebenaran (meaning of truths), karena tidak ada satu proposisi pun yang dapat diekspresikan tanpa makna menurut istilah itu sendiri; namun interaksi dan interdependensi makna dan kebenaran ini, cenderung membingungkan orang tentang pentingnya perbedaan. Jadi jelas bahwa sangat mungkin untuk memahami sesuatu meskipun ia tidak mungkin benar, dan juga mungkin untuk mengetahui sesuatu itu benar tanpa memahaminya secara baik. Sejalan dengan pemahaman dan pengetahuan dapat bervariasi secara independen, adalah penting dalam kehidupan dan dalam MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
195
filsafat untuk memperoleh kesadaran bahwa berbagai persoalan, yang bersifat hermeneutika dan foundasional, terlibat dalam banyak persoalan.
D. Tafsir Multikultural, Sebuah Alternatif Melalui kerangka teoretik di atas, kita bisa melihat bagaimana posisi pemahaman tafsir tunggal berada dalam perangkap epistemologis fondasionalisme, yang juga bias dialami oleh MUI. Sebagaimana kebingungan kaum rasionalis, empirisis dan intuisionis, tafsir tunggal memandang Al-Qur’an dan atau Sunnah misalnya, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Tafsir tunggal merupakan refleksi gagap paradigmatik lama (baca: modernisme) yang telah membakukan diri menjadi sebentuk fondasionalisme tradisional. Perkembangan ruang dan waktu (time-space factor) membenturkan mereka pada kebuntuan epistemologis. Logika positivistik mengakui hanya ada satu sumber kebenaran, pemahaman dan penempatan realitas dalam dua sisi yang saling bertentangan. Suatu pendekatan oposisi biner yang menyederhanakan “Islam” dan realitas keber-islam-an ke dalam dua polar: “Islam murni” yang bersumber dari Al-Qur’an (dan atau Sunnah) versus “bukan Islam murni” karena ada unsur “asing” (lihat tabel I). Bertolak dari klaim ortodoksi ini, tafsir tunggal merasa memiliki legitimasi untuk menghegemoni tafsir-tafsir lain. Slogan sesat menyesatkan (dhall wa mudhill) yang berlaku di kalangan mereka telah bermetamorfosis menjadi klaim kebenaran dan keselamatan (truth and salvation claim), yang diikuti. “kegairahan” para penganjurnya untuk mendiskriminasi tafsir dan praktek Islam lain apapun namanya. 196
Zakiyuddin Baidhawy
Tabel I Paradigma Modernisme dan Tafsir Islam Dualisme Modernisme objek pengetahuan sama dengan realitas “res extensa”
Realisme versus idealisme fakta versus mental
Subjek pengetahuan sama dengan pikiran “res cogitans”
Dualisme Tafsir Islam Konteks
Kontekstualisme versus tekstualisme “Islam lain” versus “Islam Murni”
Teks
Dalam tubuh tafsir tunggal dapat dijumpai kesan kristalisasi ideologis sebagai arena propagand yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik dan diubah. Tafsir tunggal adalah beton ortodoksi bagi pembacaan kontemporer atas teks-teks kitab suci dan sunnah serta realitasbeton ortodoksi itu lebih cenderung muncul dalam bentuk fondasionalisme bayani, meskipun sangat mungkin juga kita temukan fondasionalisme burhani dan `irfani. Kecenderungan fondasionalisme bayani adalah kebingungan menerima burhani, dan menolak sama sekali `irfani.2 Berangkat dari kenyataan dominasi tafsir tunggal di muka, kita perlu mengambil keuntungan dari perkembangan muta2 Salah satu ayat Al-Qur’an yang bisa dirujuk secara jelas dan menunjukkan ada tiga model epistemologi bayani, burhani, dan `irfani adalah al-A’raf (7): 179. Ayat ini menyatakan relasi: 1) al-qulub sebagai instrumen untuk memperoleh pemahaman (tafaqquh), dan ini dapat dijadikan rujukan bagi keabsahan `irfani sebagai sumber pengetahuan; 2) al-a`yun atau indera manusia sebagai insturmen manusia untuk memperoleh pengetahuan inderawi atau empirik, dan ini menjadi sandaran bagi burhani sebagai sumber pengetahuan; dan 3) aladzan sebagai instrumen bagi pengetahun sima`i, yakni pengetahuan bayani. MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
197
khir wacana dan gerakan pascamodernisme. Ada ide-ide positif dari perkembangan tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pemikiran Islam. Pascamodernisme merupakan gerakan kultural yang memayungi wacana gerakan feminis dan poskolonialisme dengan kepedulian bersama untuk membongkar pusat-pusat kekuasaan atas nama apapun seperti gender, ras, warna kulit, sosial-budaya, ekonomi, politik dan agama. Dalam konteks terakhir, spirit mendekonstruksi “pusat” tafsir Islam menjadi perhatian utama. Semangat ini pada akhirnya melegitimasi ragam-tafsir Islam yang selama ini dipandang oleh tafsir arus utama sebagai marginal atau pinggiran (baca: sesat dan menyesatkan). Jadi, intinya paradigma baru menolak otoritas pada umumnya termasuk di dalamnya pusat-pusat kebudayaan atau wacana hegemoni tafsir Islam. Beberapa ide positif dalam filsafat pascamodernisme yang bisa diadopsi untuk mengatasi kebuntuan dualisme tafsir dan fondasionalisme bayani, dan menawarkan alternatif ragamtafsir adalah sebagai berikut: perlunya mengesampingkan narasi besar (grand narrative) kebenaran dan tatanan “Islam tunggal”; dekonstruksi atas otoritas kanon literer tafsir Islam tunggal dan kekuasaannya untuk menghegemoni dan mengontrol tafsirtafsir Islam lainnya yang juga berkembang di dalam komunitas Muslim; keruntuhan konsep tunggal dan tafsir Islam status quo; kehancuran hiperrealitas tafsir Islam tunggal yang mengabaikan pluralitas tafsir Islam di dunia senyatanya; kelahiran komunitaskomunitas penafsir yang multisuara dan poli-vokal; karenanya tidak membedakan antara apa yang sering disebut dengan tafsir “Islam tunggal” sebagai “high culture” dan “tafsir-tafsir populer/ lain” sebagai “low culture”, dalam mana tafsir ideal merupakan hibrida dari keduanya.
198
Zakiyuddin Baidhawy
Hibrida dalam tafsir adalah hal biasa dalam sejarah pemikiran keislaman. Ada fakta menarik bahwa terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai kalangan untuk proses hibridasi dengan mengacu pada tiga epistemologi –bayani, burhani dan `irfani– yang kini masih kontroversial. Hibrida dalam tafsir dapat mengambil beberapa bentuk yakni: Pertama, hibrida yang terjadi pada tingkat pembentukan dengan mengambil salah satu unsur untuk memperkaya bangunan pemikiran Islam. Inilah yang disebut Muhammad Abid al-Jabiri (1990a; 1990b) sebagai at-tadakhul at-takwini. Beberapa contoh bentuk ini dapat dilihat antara lain: al-Haris al-Muhasibi telah mengupayakan hibrida antara bayan dan `irfan, di mana bayan berada di bawah payung `irfan yang kemudian melahirkan tasawwuf sunni; al-Kindi berhasil menghibrida unsur bayan ke dalam burhan, dan menjadi cikal bakal berkembangnya falsafah kalam; Ibn Sina mempertautkan antara kalam dan falsafah, dan falsafah dengan tasawuf, yang tujuannya untuk menegakkan pendekatan burhani pada setiap aspek dalam ilmu kalam dan keputusan-keputusan ilmu tasawuf, serta memerankan fungsi falsafah dan mantiq pada setiap keputusan kalam dan tasawuf; Ikhwan ash-Shafa dan Falsafah Ismailiyah telah memasukkan unsur burhan ke dalam `irfan; falsafah agama aliran Hermes menjadikan falsafah Aristoteles sebagai inti dan mengadopsi pendapat-pendapat dan banyak falsafah lainnya; dan burhan pada al-Farabi dihibrid dengan `irfan aliran Hermes. Kedua, hibrida antara berbagai bangunan pemikiran yang bermacam-macam, dan mengumpulkan serta menyusun bagian-bagiannya dalam satu bangunan yang sempurna. Upaya ini disebut sebagai at-tadakhul at-talfiqi. Usaha ini ditandai oleh keberhasilan al-Ghazali. Untuk mempertahankan bayani, ia mengMODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
199
gantikan qiyas burhani dengan qiyas bayani pada ma`qulat; ia juga mengganti `irfan sufi dengan suluk fiqhi-ruhi, dan membangun kalam dengan syiyagh burhani dan membuang unsur falsafah. Sementara, Ibn `Arabi mengupayakan `irfan menjadi bagian dari bayan; Suhrawardi al-Halabi membangun pemikiran Islam antara Ibn `Arabi dan `Irfan sufi; dan `Irfan Ismailiyah dibangun atas dasar `irfan dan burhan. Pada periode tajdid muncul kreasi dari beberapa tokoh terkemuka seperti Ibn Rusyd dengan hibrida burhan dan bayan; Ibn Hazm di bidang ushuluddin menawarkan manahij al-adillah; asy-Syatibi di bidang usul fikih muncul dengan tawaran maqasid asy-syari’ah melalui pendekatan istiqra’ma`nawi (induksi-tematik); dan Ibn Taimiyah menegakkan salafi baru di bidang fikih Hanbali dengan pendekatan hikmah. Didorong oleh dukungan data sejarah dalam pemikiran keislaman, dan situasi dan kondisi kontemporer yang jauh lebih kompleks, kebutuhan akan tafsir multikultural tidak dapat dihindarkan. Dalam kesempatan ini, penulis mengajukan beberapa asumsi penting yang menjadi dasar pengembangan tafsir multikultural meliputi: 1. Wacana dalam mana tafsir diabadikan atau dibakukan perlu ditolak tanpa menegasikan keabadian itu sendiri; 2. Fokus pada pendekatan rasionalitas yang pluralistik, fallibilistik, dan multidisipliner sebagai pengganti model berdimensi tunggal (one-dimensional interpretation/exegesis); 3. Menghindari visi tafsir di mana ketunggalan tafsir Islam –ketika mengakui banyak cara untuk mengorganisir masyarakat– ditekankan; 4. Menghindari pendekatan foundasional dalam mana tafsir yang benar memiliki cukup alasan/landasan dari sisi tekstualitas semata;
200
Zakiyuddin Baidhawy
5. Mengkonfirmasi teori Piaget bahwa perkembangan kognitif (baca: tafsir) adalah hasil dari konflik dan dialog konseptual (antara individu-individu intelektual) daripada keserupaan konseptual (antara individu-individu); 6. Tafsir Islam membutuhkan berbagai pendekatan terhadap realitas: reality-for-me (pendekatan personal) yang dapat diketahui melalui pengalaman dan konseptualisasi unsur-unsur pokok dari pengalaman personal; reality-for-us (pendekatan intersubjektif) yang dapat diketahui melalui konseptualisasi unsur-unsur pokok dari pengalaman tentang realitas yang juga dialami orang lain melalui dialog; dan reality-as-such (pendekatan transendental) yang harus dipostulatkan sebagai sesuatu yang dapat diketahui tanpa kita secara mental mampu menjangkaunya menurut pernyataan-pernyataan empirik-formal, yang mengimplikasikan bahwa fakta-fakta (yang dipandang mengungkapkan hakekat realitas ini dan itu atau realitas senyatanya); Tabel II Paradigma Pascamodernisme dan Tafsir Multikultural Paradigma Pascamodernisme Objek pengetahuan Dunia “nyata”
Realitas “kami”
Realitas ”ku”
Subjek pengetahuan Teori “ku”
Teori “kami”
Teori “Ideal”
Tafsir Multikultural Objek pengetahuan Dunia nyata
Realitas kami
Realitas ku
Subjek pengetahuan Islam “ku”
Islam “kami”
Islam “Ideal”
MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
201
Sedangkan organisasi Tafsir Multikultural yang secara khusus berkaitan dengan pengembangan pemikiran keislaman adalah sebagai berikut: 1. Kitab: adalah a body of texts baik al-kitabah maupun at-takwin (al-Maraghi, 1944); yang pertama berkaitan dengan teks tertulis (written texts), dan yang terakhir berkenaan dengan teks terhampar. Dengan demikian pengertian kitab meliputi sabda dan fakta, kalam dan alam. 2. Al-Qira’ah al-Muntijah: dekonstruksi atas teks yang beroperasi paralel dengan (dan dalam) teks, berbagai pendekatan atas problem kritik teks dapat digunakan secara bersama-sama; mendayagunakan kekayaan epistemologis –metode dan pendekatan– untuk memproduksi meaning dalam sinaran fusi horizon dalam rangka merespon episteme atau zeitgeist zaman. 3. Nafs: konfrontasi antara teks dan teks hasil dekonstruksi dengan audiens –pada berbagai level lokal, nasional, regional dan global– yang plural dan multikultural; 4. Natijah: simbol perkembangan pengetahuan dan inferensial yang merupakan hasil dari partisipasi keseluruhan, dialog dan harmonisasi para penafsir/tafsir-tafsir. Karenanya tidak ada hegemoni tafsir di sini.
202
Zakiyuddin Baidhawy
Bagan Organisasi Tafsir Multikultural KITAB Sabda & fakta
NATIJAH Partisipasi, Dialog, Harmonisasi Para penafsir/ tafsir AL-QIRA`AH AL-MUNTIJAH
NAFS audiens lokal, nasional, regional, global
E. Simpulan Tantangan-tantangan kontemporer pascamodernisme telah mengejutkan konvensi-konvensi sosial dan kultural, sistemsistem kepercayaan, statisme dan fondasionalisme dalam pemikiran, kebudayaan dan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap suci oleh masyarakat Muslim. Dalam rangka keluar dari krisis pemikiran keislaman dan praksis sosial, tafsir multikultural merupakan alternatif yang dibutuhkan dalam strategi dan implementasi Dakwah Islam rahmatan lil `alamin. Tafsir multikultural adalah upaya mempertahankan kontinuitas sejarah pemikiran dan kritisisme (baca: tajdid) di mana sejarah gagasan, atau dalam istilah Kuntowijoyo periode ilmu, menyediakan batu loncatan bagi ide-ide dan gerakan MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan Hermeneutika
203
kultural baru. Semua gerakan dalam pemikiran, penulisan dan kritisisme akan memberikan kontribusi bagi kontinuum pemikiran tekstual dan kultural sehingga diharapkan membuka tumbuhkembangnya oposisi atas pikiran-pikiran konvensional yang sudah out of date, dan sekaligus memproduksi gagasan dan praksisnya yang menyegarkan. Ini adalah saatnya bahwa kontinuum ide dan pencerahan intelektual serta nurani membuka horizon di mana kita harus memulai dari sini dan kini.[]
204
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 11
MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
K
ekayaan akan keanekaragaman Nusantara –agama, etnik, dan budaya– ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa. Di sisi lain, ia dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Faktor-faktor yang terlibat terlalu kompleks dan saling terkait: ada faktor kepentingan internasional dan kepentingan nasional, sejarah kolonial, sumber daya alam yang tersedia, keragaman etnik, iklim, agamaagama, tradisi, dan globalisasi. Cukup banyak konflik komunal terjadi sepanjang krisis, dan diperparah konflik elite politik yang membuang-buang waktu dan mengarahkan negara pada perang MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
205
sipil (Bamualim dkk, ed., 2002). Sebuah permulaan yang sangat buruk bagi bangsa Indonesia dalam menyambut abad 21. Krisis moneter dan politik yang berlarut-larut bergerak dalam suatu proses interrelasi yang sangat kompleks telah menghasilkan kekacauan yang sulit diprediksi. Berbagai ragam kekerasan bersilang sengkarut dengan proses demokratisasi yang mandul dan kebebasan tanpa kesadaran dan penerapan hukum yang berwibawa. Sementara itu, economic recovery berjalan lambat karena reorientasi ekonomi pasca era konglomerat masih terbuka untuk dipersoalkan; karena aparat negara yang berkuasa gagal ketika monopoli kekuasaan terdesentralisir melalui kebijakan otonomisasi daerah yang berjalan tanpa skenario yang jelas. Tiga rangkaian Undang-undang otonomi daerah dan penanggulangan korupsi –UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN– masih mengandung banyak celah untuk korupsi. Semua bentuk korupsi di atas disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadi yang berhubungan dengan merembesnya insentif, minimnya informasi dan transparansi kepada publik, dan kurangnya akuntabilitas publik. Otonomi daerah yang tak terkendali telah melahirkan “rajaraja kecil” dengan chauvinisme etnik yang memperparah situasi konflik dan ketegangan. Para elite anti demokrasi seringkali memanipulasi sentimen etnik dengan maksud untuk melemahkan tuntutan akan demokratisasi. Demokratisasi nampaknya gagal di bawah lingkungan di mana institusi-institusi demokrasi lemah dan para elitenya tidak dapat mengadopsi demokrasi. Agaknya,
206
Zakiyuddin Baidhawy
masyarakat Indonesia sedang memetik akibat politisasi etnisitas yang dieksploitasi secara semena-mena oleh para elite lokal yang cenderung mengedepankan ikatan primordial di mana etnisitas hanya dimaknai sebagai realitas nenek moyang dan fundamental (Nordoholt & Abdullah, 2002: 67-106). Perbedaan kelompok-kelompok keagamaan, kelompok etnik, dan kelompok sosio-kultural yang semakin meningkat dari segi ukuran dan signifikansi politiknya dalam beberapa tahun terakhir, telah melahirkan tuntutan agar kebijakan dan program-program sosial responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan keragaman tersebut. Memenuhi tuntutan ini akan menghendaki lebih kepekaan kultural (cultural sensitivity), koalisi pelangi dan negosiasi-kompromi secara pluralistik pula. Ketegangan etnik dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu dapat diakselerasi, dan akibatnya terjadi persaingan terhadap berbagai sumber daya yang terbatas seperti lapangan pekerjaan, perumahan, kekuasaan politik, dan sebagainya. Semua persoalan krusial tersebut tidak akan terpecahkan tanpa meninggalkan konsep masyarakat majemuk atau plural dan beralih ke konsep masyarakat multikultural. Seluruh definisi, konsepsi, praktek sosial dan kebijakan politik pada sistem masyarakat majemuk sudah tidak lagi memadai untuk mewadahi dan memecahkan persoalan-persoalan kebudayaan, yang selama ini lebih sering melahirkan proses marginalisasi terhadap kebudayaan-kebudayaan tertentu. Ketika keran demokratisasi dan kebebasan semakin terbuka lebar, sistem sosial-politik yang dipaksakan oleh negara tidak mendapatkan tempat di hati rakyat sebagai pemilik kedaulatan sepenuhnya. Demokratisasi dan globalisasi telah mempecundangi kendali negara, rakyat tidak lagi memandang negara sebagai agen yang dominan, seMODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
207
hingga peluang untuk menjadi berbeda sangat terbuka. Untuk kepentingan ini, kita perlu memiliki pengetahuan fundamental tentang, kepekaan terhadap, dan penghargaan atas berbagai pengalaman, perspektif, masyarakat yang beragam secara etnik maupun kultural, dan kebijakan multikulturalisme yang meliputi power sharing serta cultural recognition (Lijphart, 1977; Taylor, 1992) di antara kelompok-kelompok yang terlibat. Pendidikan multikultural diharapkan sebagai salah satu instrumen paling efektif untuk dapat mempertemukan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Karena itu, masa depan bangsa Indonesia tergantung pada pendidikan untuk saling memahami dan pendidikan tentang pluralisme kultural sangat berhubungan erat.
A. Pendidikan Agama sebagai Aparatus Ideologis Selama Orde Baru, suasana hubungan antar umat beragama di Indonesia ditengarai banyak pengamat sebagai terbaik kala itu. Pancasila sebagai ideologi juga dinilai berhasil menjadi sarana pemersatu negara-bangsa (Taher, 1997: 13-20). Sayangnya, suasana itu dibangun melalui pendekatan top-down yang pada gilirannya menemukan kegagalan bersamaan dengan jatuhnya rezim Orde Baru. Ini ditandai dengan semaraknya skala aksi kekerasan, kerusuhan dan konflik antaragama, antaretnik, antarkelompok masyarakat, dan konflik politik yang terjadi di manamana di Indonesia belakangan ini. Merentang dari Aceh, Timor Timur, Sanggau Ledo, Situbondo, Jakarta, Solo, Sampit, Maluku, dan Poso. Semua rentetan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat memprihatinkan ini terjadi dalam satu dekade terakhir. Semua ini merupakan indikator nyata terabaikannya hakhak dan eksistensi kebudayaan-kebudayaan lokal di antara 208
Zakiyuddin Baidhawy
ratusan kelompok etnik dan kelompok sosial di seluruh negeri oleh negara. Selama lebih dari tiga dekade, peningkatan efisiensi dan produktivitas program pembangunan pemerintah dilakukan melalui berbagai upaya penyeragaman aneka kebudayaan di Indonesia. Kecenderungan ini dimotivasi oleh kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas sebagai salah satu modal pembangunan utama. Pemerintahan yang otoriter dan totaliter, dan persaingan yang tidak seimbang dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi dan politik, telah melahirkan kecemburuan dan kesenjangan sosial yang cukup lebar dalam pembagian “kue” pembangunan, yang pada gilirannya membuat keadilan dalam berbagai bentuknya jauh dari harapan rakyat banyak. Nyata sudah bahwa konstruk harmoni yang selama ini dibanggakan lebih merupakan sarang laba-laba yang rapuh dan mudah hancur. Teologi kerukunan yang telah ditegakkan rezim lama bersifat pasif dan tidak dinamis sehingga gagal menangkap gejala-gejala akan runtuhnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama itu pula, pendidikan di Indonesia sedikit menyentuh persoalan bagaimana menghargai kepercayaan-kepercayaan keagamaan dan keragaman kultural yang sangat kaya. Ada kecenderungan homogenisasi yang diintrodusir secara sistematik melalui dunia pendidikan di bawah payung kebudayaan nasional, hegemoni kebudayaan Jawa sebagai pusat dan kebudayaan lain sebagai pinggiran, dan pemiskinan budaya dengan meringkas keragaman identitas kultural sejumlah propinsi. Proses homogenisasi, hegemoni dan pemiskinan budaya itu diajarkan dalam civic education, seperti Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa, Kewiraan, Penataran P4 dan bahkan Pendidikan Agama (religious education).
MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
209
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah Orde Baru tentang pentingnya mempertahankan stabilitas, kebebasan beragama (freedom of religion) mengalami pembatasan secara politik. Agama-agama yang berhak hidup adalah yang diakui secara resmi oleh pemerintah –Islam, Katholik, Kristen, Budha dan Hindu. Salah satu tujuan pembangunan nasional di bidang pengembangan kehidupan beragama adalah untuk menegakkan kehidupan harmoni komunitas-komunitas keagamaan. Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah sekaligus para pemimpin agama untuk mencapai tujuan tersebut. Upaya ini termasuk mengkondisikan dialog antara pemimpin-pemimpin agama, diskusi informal, konferensi dan seminar yang diikuti oleh para pemuka dan sarjana dari semua komunitas keagamaan yang ada.1 Sangat disesali bahwa inisiatif pemerintah tidak diimbangi dengan kebebasan masyarakat sipil untuk mengorganisir diri membentuk lembaga-lembaga volunter serupa atas prakarsa mereka sendiri. Lembaga-lembaga keagamaan seperti tersebut 1 Termasuk di antara berbagai upaya menuju harmoni kehidupan beragama adalah pendirian forum-forum komunikasi dan konsultasi kerukunan umat beragama di mana pemerintah sebagai motornya dengan representasi dari seluruh dewan agama-agama yang diakui. Forum semacam ini didirikan sejak 1980 dan disebut Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Forum ini beranggotakan MUI, PGI, KWI, Walubi dan Parisada Hindu Dharma. Tiga belas tahun kemudian, pemerintah juga memprakarsai Musyawarah Nasional I tentang Agama-agama di Indonesia pada 11-12 Oktober 1993, dan menghasilkan deklarasi Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB). Upaya penyebaran gagasan tentang kerukunan antarumat beragama versi pemerintah melalui corong-corong kekuasaan mereka –MUI, PGI, KWI, Walubi dan Parisada Hindu Dharma– pernah dilakukan pada masa Departemen Agama dipimpin oleh Tarmizi Taher. Salah satu hasil kerja mereka adalah risalah The Theological Frame of Harmonious Life of Religious Communities in Indonesia (Jakarta: Balitbang Agama DEPAG RI, 1997) yang dipublikasikan dalam dua bahasa –Inggris dan Indonesia.
210
Zakiyuddin Baidhawy
di atas dipandang yang paling berhak membicarakan kepentingan umat-umat beragama di Indonesia, sementara kekuatan masyarakat madani tidak memperoleh tempat untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi mereka. Untuk tujuan ini, pemerintah mempergunakan segala cara, termasuk memanfaatkan Pendidikan Agama sebagai aparatus ideologis negara untuk mengindoktrinasi kebebasan beragama sebagaimana yang dikehendakinya. Agama yang secara kebetulan memiliki hubungan ideologi dengan komunisme –Kong Hucu– tidak diakui sebagai agama yang sah. Model Pendidikan Agama (religious education) semacam ini menyembunyikan secara sistemik nilai saling menghargai (mutual respect) dari berbagai jalan hidup, dan mengabaikan kontribusi kelompok-kelompok minoritas terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia. Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum maupun keagamaan lebih bercorak eksklusifis –mengajarkan sistem agamanya sendiri sebagai benar dan satu-satunya jalan keselamatan (salvation and truth claim) sembari merendahkan agama orang lain. Pendidikan Agama melibatkan indoktrinasi dogmatik terhadap siswa. Pendekatan ini tidak mampu menyediakan sarana yang memadai untuk menentukan materi pelajaran agama mana yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak. Pendidikan Agama pada masa lampau sebenarnya juga menyinggung masalah pentingnya kerukunan antar umat beragama, namun lebih bersifat permukaan. Istilah “kerukunan” yang diintrodusir lewat indoktrinasi sangat artifisial, karena tidak mencerminkan dialektika, dinamika, apalagi kerjasama. Selama masa Orde Baru, kerukunan merupakan suatu konfigurasi relasi harmoni dalam pengertian pasif, karena cara-cara dan MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
211
skenario perjumpaan agama-agama (religious encounters) berada dalam satu framework yang telah didesain sedemikian rupa oleh pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi kekuatan sipil dari para pemeluk agama-agama. Ketika negara atau sekolah mengajarkan pada rakyatnya tentang agama-agama resmi, itu artinya pendidikan gagal mengajarkan nilai-nilai tentang pluralisme demokratis. Tanpa mengajarkan nilai-nilai demokrasi, negara dan sekolah telah mengurangi peran keragaman dan membatasi diri pada alternatif politik secara tidak bebas pada siswa dan masyarakat.
B. Basis Teologi Pendidikan Multikultural Multikulturalisme biasa didefinisikan sebagai gerakan sosialintelektual yang mendorong nilai-nilai keberagaman (diversity) sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok budaya diperlakukan setara (equal) dan samasama dihormati. Isu multikulturalisme di Indonesia semakin terasa signifikan dan memperoleh tempat dalam kehidupan kontemporer saat ini, bersamaan dengan munculnya kesadaran perlunya memperbaiki tatanan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak oleh tindakan-tindakan kekerasan dengan berbagai macam alasan dan bentuk. Dalam konteks Pendidikan Agama, paradigma multikultural perlu menjadi landasan utama penyelenggaraan proses belajarmengajar. Pendidikan Agama sangat membutuhkan lebih dari sekedar reformasi kurikulum, namun juga perubahan perspektif keagamaan dari pandangan eksklusif menuju pandangan multikulturalis, atau setidaknya dapat mempertahankan pandangan inklusif dan pluralis.
212
Zakiyuddin Baidhawy
Dengan memperhatikan persoalan-persoalan di muka, cukup alasan bagi kita bahwa pemecahan masalah atas perkembangan kontemporer sebagaimana telah dipaparkan tersebut tidak dapat didekati secara permukaan semata. Pemecahan masalah ini perlu menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental, yakni merumuskan basis teologi multikulturalis. Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia sudah sejak awal masuk ke nusantara pada abad 7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih bagi keanekaragaman kebudayaan lokal nusantara. Islam tidak saja hadir dalam bentuk tradisi agung (great tradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tradisi kecil (little traditions) Islam. Berbagai warna Islam –dari Aceh dan Melayu, Jawa, Sunda, Sasak, Bugis, dan sebagainya– riuh rendah memberi corak tertentu kemajemukan, yang akibatnya dapat berwajah ambigu. Di satu sisi dengan keragamannya Islam berjasa bagi penciptaan landasan kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Islam menawarkan norma-norma, sikap, dan nilai-nilai yang dapat memperluas relasi damai di antara komunitas-komunitas etnik, budaya dan agama. Sejumlah kajian sosiologis dan antropologis telah menunjukkan potensi pandangan dunia agama (baca Islam) untuk mereduksi ketegangan dan menyediakan solusi nirkekerasan terhadap konflik dalam berbagai setting kultural. Dan secara langsung maupun tidak langsung keragaman Islam juga dapat menyumbang potongan-potongan kayu dalam kobaran api konflik, ketegangan dan friksi antar kelompok yang terus membesar di sisi lain.
MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
213
Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah, Islam merasa perlu meredefinisi kehadirannya dalam konteks keragaman agama dan budaya, sekaligus menawarkan suatu harapan dan perspektif keagamaan baru bahwa Islam adalah seraut wajah yang tersenyum (smiling face of Islam), damai dan nirkekerasan. Islam perlu memberi nuansa paradigmatik bagi rekonstruksi dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building) pada umumnya. Ia perlu membangkitkan kembali idealisasi sebagai agama non-sentralistik, kebalikan dari sifat indoktriner dan otoriter. Tanpa mengabaikan ajaranajaran teologis yang dipahami untuk memperkuat keimanan dan pencapaian nilai-nilai eskatologis, Islam mengiringinya dengan kesadaran berdialog dan kesiapan untuk berjumpa dengan siapapun, kapan dan di manapun dikehendaki. Dengan cara ini, Islam mempunyai kesempatan berharga untuk tampil sebagai agama publik sekaligus agama profetik yang menjanjikan dengan perspektif khas multikulturalis –untuk membedakan dan sebagai perluasan dari dua pandangan keagamaan inklusifis dan pluralis. Dalam kegagalan politik penguasa mengelola masyarakat multikultural, paradigma moral dan etis Islam multikulturalis sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikulturalis adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan “sang lain” (the other); suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis; sebuah teologi qur’ani yang membolehkan “sang lain” menjadi “yang lain” sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina,
214
Zakiyuddin Baidhawy
ini merupakan “sensibilitas ekumene” (ecumenical sensibility) (Sachedina, 2001: 7) dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, antaretnik dan antarbudaya. Untuk mengatasi kebuntuan konseptual masyarakat plural yang pernah menjadi slogan pembangunan dan telah melahirkan budaya diskriminasi, dominasi dan rawan konflik, Islam multikulturalis berpotensi untuk menawarkan tata nilai (value system) baru melalui pola relasi masyarakat yang setara dan saling menghargai perbedaan.
C. Pendidikan Agama untuk Perdamaian dan Harmoni Mendasarkan diri pada disposisi dan perspektif di atas, Pendidikan Agama dirancang untuk menjadi instrumen penting guna mengimplementasikan kerangka kerja perspektif teologi multikulturalis. Pendidikan Agama pada era di mana intensifikasi dan akselerasi pluralitas semakin terbuka, harus berani dan asertif menyatakan selamat tinggal pada pendekatan dogmatik dan strategi indoktirinasi dalam proses belajar mengajar. Sebagai gantinya, Pendidikan Agama mengusung pendekatan dialogis, muatan material yang berlimpah dengan memanfaatkan keragaman agama-agama yang hidup dan menjadi keyakinan siswa dan guru. MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
215
Sebagai sebuah pembaruan, Pendidikan Agama Berbasis Teologi Multikulturalis memiliki karakteristik khas meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Belajar Hidup Bersama (How to Live and Work Together) Dalam praktek pendidikan, ia meliputi proses: a. Pengembangan sikap toleran, empati, dan simpati yang merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. Toleransi adalah kesiapan dan kemampuan batin untuk kerasan bersama orang lain yang berbeda secara hakiki meskipun terdapat konflik dengan pemahaman Anda tentang apa yang baik dan jalan hidup yang layak (von Thun dalam Ali, 2002: 84-85). Kerasan lebih dari sekedar menerima sesuatu, namun juga yakin bahwa ada banyak jalan menuju Roma dan bahwa tidak semua orang hendak menuju ke Roma. Toleransi adalah konsep yang ambivalen. Di satu sisi, ia mengundang dialog untuk mengkomunikasikan dan menjelaskan perbedaan serta ada saling pengakuan. Inilah toleransi dalam bentuknya yang solid. Toleransi dekoratif tidak memuat komitmen dan hanya puas dengan dirinya sendiri dan bersamaan dengan itu pasif dalam mempertemukan kebaikan milik mereka dan kita (Goeudevert dalam Ali, 2002: 44-52). Pendidikan Agama berbasis teologi multikulturalis dirancang untuk menanamkan sikap toleran dari tahap yang minimalis hingga maksimalis, dari yang dekoratif hingga solid. b. Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama. Agama-agama saling berdiskusi dan menawarkan suatu perspektif nilai masing-masing yang dapat dipertemukan dengan kepentingan serupa dari agama lain. Nilai-nilai ini pada akhirnya disepakati bersama dan me216
Zakiyuddin Baidhawy
ngalami proses objektivikasi –membumi dan menjadi milik bersama seluruh penganut agama tanpa memandang perbedaan ras dan warna kulit– serta berlanjut pada komitmen untuk dipelihara dan diimplementasikan dalam kehidupan bersama. Etika Global (global ethic) sebagaimana terumus dalam Deklarasi Parlemen Agama-agama Dunia (The Parliament of the World’s Religions 1993) merupakan salah satu perjumpaan nilai untuk kepentingan bersama umat manusia secara mendunia dalam rangka memecahkan problem bersama ekologis dan kemanusiaan mondial. Dalam konteks abad 21 yang diawali beberapa tragedi kemanusiaan yang mencengangkan –mulai dari penghancuran Gedung Menara Kembar WTC 911, perang Afganistan, pemboman Legian, Bali, Thailand, Philipina dan beberapa tempat lain–, sudah saatnya agama-agama menunjukkan kembali komitmennya untuk mengutuk semua bentuk perjuangan demi kepentingan dan atas nama apa pun dengan menggunakan instrumen kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dan menumpahkan darah mereka yang tak berdosa. Nilai-nilai kebersamaan secara religius perlu memperoleh penguatan kembali, dan pendidikan agama merupakan sarana paling efektif untuk melakukan tugas ini demi masa depan bumi yang lebih manusiawi. c. Pendewasaan emosional. Kebersamaan dalam perbedaan bukanlah hal mudah. Kebersamaan membutuhkan kebebasan dan keterbukaan terhadap orang luar (outsiders). Tanpa kebebasan dan keterbukaan, kebersamaan dapat menjerumuskan pada simbiosis yang membelenggu; sebaliknya kebebasan dan keterbukaan tanpa merasakan kebersamaan akan menimbulkan keretakan dan perselisihan. KebersaMODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
217
maan, kebebasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan intra agama-agama. d. Kesetaraan dalam partisipasi. Pengakuan atas kehadiran dan hak hidup agama-agama memang penting, namun belum cukup untuk memenuhi pilar hidup dan bekerja bersama orang lain. Pengakuan semata masih membuka kemungkinan adanya superioritas dan inferioritas, dominasi dan subordinasi, tekanan dan ketertindasan. Dengan kata lain, dominasi atau supremasi atas nama agama tertentu terhadap agama lain, misalnya agama-agama monoteistik terhadap agama-agama Timur. Untuk menutup jalan bagi dominasi dan supremasi atas nama agama ini, agama-agama perlu diletakkan dalam suatu relasi dan kesalingtergantungan, dan karenanya bersifat setara. Setiap agama memiliki kesempatan untuk hidup sekaligus memberikan kontribusi bagi kesejahteraan kemanusiaan universal. e. Kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antaragama. Biarkan kenangan konflik agama-agama pada masa lampau berlalu bersama bergulirnya waktu. Konflik agama-agama ada hanya sebagai kaca spion yang sesekali boleh dilihat dan dilirik kembali agar jalan kendaraan yang kita kemudikan menjadi lurus dan tidak melanggar marka lalu lintas dan pembatas jalan. Kebutuhan kekinian dan kedisinian mengajak semua pemeluk agama yang berbedabeda berjabat tangan untuk memulai hidup baru dengan sebuah permulaan yang positif, yakni kesepakatan bersama tentang hidup bersama yang lebih sehat dan bervisi ke depan. Untuk kepentingan ini, mendesak kiranya agar pendidikan memberi bekal ketrampilan komunikasi (communication
218
Zakiyuddin Baidhawy
skills) pada siswa dalam membuat perjumpaan pandangan dan rekonsiliasi secara kreatif melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Adapun hasil yang diharapkan dari lima proses tersebut adalah: tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir (thinking skills) dalam memecahkan problem baru yang mungkin belum pernah atau tidak mungkin diperoleh secara formal di bangku sekolah/kuliah; kemampuan mengembangkan relasi antarpersonal dan intrapersonal antarpenganut dan intrapenganut agama-agama; kapasitas dalam mengatasi isu-isu kontroversial yang disebabkan faktor sentimen, dan atau picu keagamaan (religious trigering) secara kreatif; dan mengembangkan empati, kesepahaman, serta kerjasama (kolaborasi) antaragama yang sinergis dan dinamis. 2. Membangun Rasa Saling Percaya (Mutual Trust) Saling percaya adalah salah satu modal sosial (social capital) terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani (Fukuyama, 2000: 98-111). Norma-norma yang memproduksi modal sosial secara substantif harus menonjolkan kebaikan-kebaikan seperti menyampaikan kebenaran, mempertemukan kewajibankewajiban, dan resiprositas. Modal sosial adalah sumbangansumbangan kultural akumulatif yang memudahkan dukungan terhadap tugas-tugas sosial tertentu dalam pembentukan masyarakat madani. Di samping rasa saling percaya, sumber-sumber non material di dalam masyarakat ini bisa berupa status, niat baik, kemerdekaan warga negara, toleransi, dan penghormatan pada aturan hukum norma-norma, jaringan-jaringan, yang dapat meningkatkan efesiensi sosial dengan memudahkan tindakan-tindakan yang terkoordinasi yang bisa diakumulasikan
MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
219
oleh agen-agen sosial. Modal sosial ini merupakan fondasi bagi terbangunnya sikap rasional, tidak mudah curiga, bebas dari prasangka dan stereotif baik yang dikonstruksi secara sosial-kultural maupun secara politik. Agama diyakini sebagai faktor penting dalam pembentukan budaya dan etnisitas. Karena proses internalisasi dan eksternalisasi yang berjalan dalam jangka waktu lama, sering terjadi identifikasi kultural dan etnisitas atas nama agama, dan sebaliknya. Ini bisa menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya “prasangka” tertentu antar kelompok agama, yang mungkin ditanamkan dan diwariskan secara sadar maupun tidak sadar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan Agama menggaribawahi perlunya pencerahan melalui penanaman mutual trust antaragama, antarkultur dan antaretnik. 3. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding) Memahami bukan serta merta berarti menyetujui. Sebagian orang merasa takut jika mereka mencoba secara jantan dan cinta untuk memahami sudut pandang orang lain, itu artinya mereka telah menciptakan kesan yang salah bahwa memahami sama dengan bersimpati pada sesuatu/seseorang. Saling memahami adalah kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita dapat berbeda dan mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan hidup, sehingga oposan merupakan mitra yang saling melengkapi dan kemitraan menyatukan kebenaran-kebenaran parsial dalam suatu relasi. Kawan sejati adalah lawan dialog yang senantiasa setia untuk menerima perbedaan dan siap pada segala kemungkinan untuk menjumpai titik temu di dalamnya, serta memahami bahwa dalam perbedaan dan persamaan, ada keunikan-keunikan yang tidak dapat secara bersama-sama oleh partisipan dalam kemitraan. Untuk itu, Pendidikan Agama mempunyai tanggung 220
Zakiyuddin Baidhawy
jawab membangun landasan etis kesaling sepahaman antara entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagai sikap dan kepedulian bersama. 4. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect) Sikap ini mendudukan semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada superioritas maupun inferioritas. Menghormati dan menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang dikandung semua agama di dunia. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural menumbuhkembangkan kesadaran bahwa kedamaian mengandaikan saling menghargai antarpenganut agama-agama, yang dengannya kita dapat dan siap untuk mendengarkan suara dan perspektif agama lain yang berbeda; menghargai signifikansi dan martabat semua individu dan kelompok keagamaan yang beragam. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri orang lain apalagi dengan menggunakan sarana dan tindakan kekerasan. Saling menghargai membawa pada sikap saling berbagi di antara semua individu dan kelompok. 5. Terbuka dalam Berpikir Kematangan berpikir merupakan salah satu tujuan penting pendidikan. Pendidikan seyogianya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru itu pada diri siswa. Sebagai akibat perjumpaan dengan dunia lain –agamaagama dan kebudayaan-kebudayaan yang beragam– siswa mengarah pada proses pendewasaan dan memiliki sudut pandang dan banyak cara untuk memahami realitas. Dengan horizon baru inilah siswa terbuka untuk memikirkan kembali bagaimana ia melihat diri, orang lain dan dunia. Siswa menemukan diri MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
221
dan kultur baru dengan pikiran baru yang terbuka. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengkondisikan siswa untuk berjumpa dengan pluralitas pandangan dan perbedaan radikal yang menantang identitas lama dan segalanya mulai tampak dalam sinar baru. Hasilnya adalah kemauan untuk memulai pendalaman tentang makna diri, identitas, dunia kehidupan, agama dan kebudayaan diri sendiri dan orang lain. 6. Apresiasi dan Interdependensi Kehidupan yang layak dana manusiawi hanya mungkin tercipta dalam sebuah tatanan sosial yang care, di mana semua anggota masyarakatnya dapat saling menunjukkan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi dan kesalingkaitan sosial yang rekat. Sebagai makhluk sosial (homo socius), manusia dari jenis kelamin dan ras manapun bahkan mereka yang mengklaim penganut setia individualisme sejati, tidak akan dapat survival tanpa ikatan sosial. Banyak sisi kehidupan manusia yang tidak dapat diatasi secara material oleh limpahan harta, uang, tahta dan kekayaan. Ada kebutuhan untuk saling menolong atas dasar kecintaan dan ketulusan terhadap sesama manusia, untuk mengatasi ketidakberdayaan (powerlessness), ketidakpastian (contingency), dan kelangkaan (scarcity). Perlu tanggung jawab untuk mencipta bersama sebuah masyarakat yang membantu semuanya. Tatanan sosial yang harmoni dan dinamis yang saling terkait mendukung individu-individu dan bukan memecah belah mereka. Tatanan ini melihat kerjasama sebagai hal penting bagi kesehatan masyarakat yang pada gilirannya memberi kesejahteraan bagi individu. Dengan demikian, Pendidikan Agama perlu membagi kepedulian tentang apresiasi dan interdependensi umat manusia dari berbagai tradisi agama-agama. 222
Zakiyuddin Baidhawy
7. Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan Konflik antaragama adalah kenyataan yang tak terbantahkan dari masa lalu dan masa kini. Namun konflik ini harus dikurangi sedemikian rupa karena dengan satu atau lain alasan, konflik berarti mengangkangi nilai-nilai agama tentang persaudaraan universal umat manusia (unity of humankind). Dalam situasi konflik, Pendidikan Agama harus hadir untuk menyuntikan spirit dan kekuatan spiritual sebagai sarana integrasi dan kohesi sosial, ia juga menawarkan angin segar bagi kedamaian dan perdamaian. Dengan kata lain, Pendidikan Agama perlu memfungsikan agama sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik. Pendidikan Agama perlu meyakinkan bahwa agama-agama sesungguhnya mengajarkan bahwa “balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa dengannya. Tetapi jika seseorang memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi, balasannya adalah dari Tuhan”. Memaafkan berarti melupakan semua serangan, kejahatan, perbuatan salah dan dosa yang dilakukan orang lain secara sengaja maupun tidak sengaja, seperti mencerca melalui lisan, mengambil atau merampas hak milik anda. Memaafkan itu ada dua macamnya: memaafkan ketika kita tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pembalasan. Memaafkan semacam ini pada dasarnya serupa dengan kesabaran dan menahan diri, dan bukan memberikan maaf. Dan memaafkan ketika kita memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan balas dendam. Memaafkan semacam inilah yang dikehendaki agama manapun di dunia. MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
223
Berangkat dari paparan enam konsep kunci di atas, dapat ditarik benang merah bahwa Pendidikan Agama Berbasis Teologi Multikulturalis adalah gerakan pembaharuan dan inovasi pendidikan agama dalam rangka menanamkan kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama, dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan agama-agama, terjalin dalam suatu relasi dan interdependensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan.
D. Simpulan Sejauh kita memandang ke masa depan, Pendidikan Agama Berbasis Teologi Multikulturalis harus terus diupayakan secara kolaboratif dengan institusi-institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan serta organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah lain yang berkaitan, untuk menciptakan suatu visi baru bagi peran Pendidikan Agama dalam masyarakat. Pendidikan Agama didesain untuk menawarkan nilai-nilai saling pengertian, interdependensi, dan perdamaian. Orientasi dan imperatif ini sangat jelas. Bila Pendidikan Agama hendak memainkan peran positif dalam membangun masyarakat yang damai dan harmoni dalam konteks global, ia perlu dirancang lebih dari sekedar melatih para guru dalam penguasaan teknikteknik mengintrodusir gagasan-gagasan baru tentang multikulturalisme sebagai seni mengelola keragaman dan politik pengakuan akan perbedaan. Institusi-institusi pendidikan bahkan harus menjadi tempat terjadinya transformasi pada diri siswa, 224
Zakiyuddin Baidhawy
lingkungan sekolah, dan masyarakat atau dunia secara keseluruhan, suatu proses yang mengalir dari tempat yang terdalam dari diri kita masing-masing. Kita perlu berupaya menggagas suatu tempat baru –dan tempat bagi spiritualitas baru dalam dunia pendidikan, bukan sebagai gerak terisolasi pada margin akademik, bukan pula sebagai bentuk represi dan kontrol sosial baru, namun sebagai unsur esensial dari suatu tugas besar untuk mereorientasi institusi pendidikan guna merespon secara memadai tantangan-tantangan dunia yang ada dihadapan kita: tantangan bagi pengajaran, pembelajaran dan kehidupan kita. Untuk itu, ada beberapa tugas baru yang sedang dan akan menunggu kontribusi kita untuk mencari berbagai pendekatan multikultural. Pertama, pendekatan terhadap sistem Pendidikan Agama menolak dominasi sistem tertentu sembari menerima keragaman pendekatan. Ini dimaksudkan agar Pendidikan Agama dapat membantu memperlakukan setiap agama yang hidup di negeri ini “menurut bahasa mereka sendiri” dan sebagai suatu sistem keimanan dan praktek keagamaan. Pendekatan sistem memperoleh nilainya dalam kaitan dengan dimensi-dimensi universal agama-agama, dimensi-dimensi yang tentu saja cukup nyata dan terus mempertegas diri. Bagaimanapun jika seseorang memahami seluruh fakta perbedaan antar dan intraagama, sekaligus hubungan saling pengaruh yang berkesinambungan antara agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan, maka pendekatan sistem jelas akan dimodifikasi oleh pendekatan-pendekatan alternatif dan partikular. Kedua, tugas berikutnya adalah keharusan untuk menyediakan pendekatan sistem yang transendental. Tidak ada suatu tradisi pun yang mempunyai eksistensi terisolir. Semua tradisi agama-agama terbentuk dalam dialog dan kompetisi dengan MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
225
tradisi-tradisi lain. Dalam desa buana, agama-agama dunia terus mempengaruhi dan mentransformasi satu dengan yang lain. Ini memunculkan dua tantangan bagi dialog antaragama termasuk dalam konteks sekolah atau akademik. Pertama, teologi perlu mengakui kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama lain tidak hanya sebagai tetangga yang harus dihormati, bahkan sebagai partner dialog. Kini, semua agama harus diakui sebagai partner yang penting dan setara dalam dialog, baik dalam bidang teologi maupun etika. Kedua, Pendidikan Agama perlu terus mengembangkan metode yang sesuai dengan apa yang terjadi di antara agama-agama dengan tujuan untuk memahami relasi antaragama dan proses transformasi intraagama. Tantangan besar bagi tradisi Pendidikan Agama dalam konteks multireligi saat ini adalah pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran yang dapat mengakomodir interaksi antara agama-agama sekaligus transformasi mutual di antara mereka secara serius. Dialog sebagai tantangan perlu mendorong Pendidikan Agama untuk mentransfer teologi yang lebih terbuka. Teologi yang diajarkan perlu mengakui dirinya sendiri sebagai representasi dari tradisi tertentu. Berdasarkan landasan ini, Pendidikan Agama dapat memasuki wilayah dialog dengan agamaagama dan teologi-teologi lain, serta melakukan studi bersama tentang apa yang terjadi di antara tradisi-tradisi yang hidup dan berinteraksi secara erat, seperti Kristen dan Islam. Ketiga, tugas menghadirkan pendekatan kontekstual atas Pendidikan Agama dan teologi agama-agama. Pendekatan dialogis harus mewaspadai esensialisme pada sebagian partner dalam dialog. Untuk memahami agama dalam fungsinya, pendekatan yang cenderung melakukan universalisasi terhadap Pendidikan Agama dan teologi harus dimodifikasi oleh teologi kontekstual
226
Zakiyuddin Baidhawy
dan sedikit antropologi agama. Perlu diadopsi antropologi sosial sebagai basis pendekatan interpretatif terhadap Pendidikan Agama yang akan dikembangkan. Agama dipelajari dalam suatu konteks. Pendidikan Agama perlu mempertimbangkan dan memperhatikan isu-isu kultural, perbedaan intraagama, dan interaksi berbagai level dalam agama dan tradisi-tradisi keagamaan yang dipraktekan dalam kawasan tertentu. Keempat, memahami lebih jauh pluralitas pada tingkat individu. Ada kebutuhan untuk mengakui identitas-identitas yang plural. Sejalan dengan tiadanya tradisi yang memiliki eksistensi terisolir, Pendidikan Agama tidak perlu mensyaratkan identitas keagamaan yang koheren pada sebagian peserta didik. Dalam kehidupan nyata, upaya untuk membangun kembali identitas-identitas eksklusif sering berkompetisi dengan kecenderungan untuk membentuk identitas yang lebih plural. Pada tingkat masyarakat, tradisi-tradisi yang jelas berbeda-beda biasanya memberi kontribusi terhadap apa yang disebut identitas nasional. Pada tingkat personal, orang-orang sering menjaga jarak dengan sumber-sumber spiritual yang berbeda. Jika kita hendak menerima bahwa tak satu pun tradisi yang eksklusif memiliki komunitas iman tertentu, dan bahwa orang-orang mampu membiarkan diri mereka terinspirasi oleh lebih dari satu sumber kepercayaan atau agama, Pendidikan Agama perlu membuka pendekatan yang lebih berperan dan eksperimental terhadap tradisi-tradisi keagamaan. Terakhir, mengupayakan agar Pendidikan Agama mengkombinasikan teologi dan kajian ilmiah. Artinya, Pendidikan Agama perlu mengakomodir perspektif insider dan outsider, atau dengan kata lain membuka peluang untuk saling pengaruh antara “memasuki dan mengambil jarak” terhadap agama. Pendidikan MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan Agama
227
Agama merupakan kombinasi antara karakter tradisi dan kritik, normativitas dan netralitas, pandangan partikular dan universal. Inilah dialektika antara perspektif penganut dan pengamat, orang dalam dan orang luar. Untuk mencapai tujuan ini, Pendidikan Agama perlu mendekati agama-agama dari dua sisi, yakni dari sisi dalam –seperti sumber-sumber yang hidup bagi iman, moral dan orientasi hidup– dan dari sisi luar sebagai objek investigasi kritis. Jika teologi didefinisi sebagai representasi sistematis dari perspektif orang dalam dari keimanan tertentu, maka setiap komunitas imani dalam masyarakat multireligi harus memiliki kesempatan untuk mempertegas diri sebagai teologi sistematis, dan hak untuk didengar kapasitasnya. Perspektif orang luar yang relatif netral dan kritis juga harus mengakui nilai dari perspektif orang dalam dengan tujuan untuk mengatasi tradisi tertentu. Ini mengimplikasikan keterlibatan simpatetik dengan orang-orang beriman sekaligus kehendak untuk dialog dengan orang lain yang juga beriman. Dengan demikian, Pendidikan Agama membutuhkan dialektika antara perspektif orang dalam dan orang luar. Dialektik semacam ini dapat dijadikan etos baik dalam teologi dan Pendidikan Agama, sekaligus kendaraan bagi kerjasama interdisipliner antara tradisi-tradisi keagamaan dan kesarjanaan. Atas dasar ini, bentuk-bentuk baru kerjasama institusional dapat diupayakan, dan proyek interdisipliner dapat diraih. Kunci seperti saling pengaruh antara teks-teks suci dan konteks sosial yang berubah, ketegangan antara agama normatif dan agama populer, tantangan untuk menghubungkan perbandingan agama dengan praktek-praktek dialog, akan cukup untuk mencerahkan otak dalam rangka mencari proyek kerjasama multidimensional dan interdisipliner sejati.[]
228
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 12
MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
T
erlepas dari pro dan kontra, dalam konteks Indonesia, perkembangan wacana Islam liberal dalam satu dekade terakhir semakin memperoleh tempat. Meski terasa baru, sesungguhnya Islam liberal adalah “the new wine in the old bottle”. Sosok yang disebut Islam liberal telah memiliki sejarah panjang. Menurut Charles Kurzman, Islam liberal berakar pada Syah Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakangerakan pemurnian Islam ala Wahabi pada abad ke-18. Bersama dengan berkembangnya Islam liberal, muncul tokoh-tokohnya pada tiap zaman. Jamaluddin al-Afghani di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di India, dan Muhammad Abduh di Mesir -ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed an-Naim, Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan Fatima Memissi. Nurcholish Madjid, MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
229
cendekiawan Indonesia yang mengibarkan teologi inklusif, juga disebut. Istilah liberal antara lain bermakna pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal tidak bisa dipertentangkan dengan Islam model lama semacam Islam tradisionalis, revivalis, atau modernis, juga dengan model baru seperti neomodernis dan posmodemis. Sebab, gagasan Islam liberal sesungguhnya kombinasi unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompokkelompok pemikiran modern itu. Perhatian Islam liberal adalah pada hal-hal yang prinsip. Adapun hal prinsip misalnya negara demokrasi, emansipasi wanita, dan kebebasan berpikir.
A. Beberapa Pendekatan Mengkaji Islam Liberal Islam liberal lebih bisa menerima bentuk negara sekular yang dipandang lebih unggul dari bentuk negara ala kaum fundamentalis. Nomenclature Islam liberal sebagai sebuah penanda (signifier) bagi aliran pemikiran Islam modern, kali pertama dipopulerkan oleh seorang intelektual Muslim India Asaf Ali Asghar Fyzee (1963) pada 1950-an. Fyzee memperkenalkan istilah Islam liberal sebagai sebuah upaya mendekati Islam melalui berbagai pendekatan modern dan melakukan refleksi historis-kritis terhadap berbagai wacana keagamaan kontemporer yang berkembang. Setidaknya ada enam tema utama yang menjadi perhatian Fyzee sebagai basis tinanda (signified) bagi Islam liberal. Yakn: 1) kajian kritis atas sejarah agama-agama (the history of religions), 2) kajian perbandingan agama-agama semitik (the comparative study of Semitic religions), 3) studi bahasabahasa semitik dan filologi, 4) pemisahan hukum dan agama (secularization), 5) menguji kembali syariat dan pemikiran 230
Zakiyuddin Baidhawy
kalam/teologi Islam, dan 6) menafsir ulang kosmologi dan sains. Apa yang dikemukakan Fyzee lebih merupakan kajian ilmiah dan intelektual yang membuka sedikit akses bagi pemahaman keagamaan banyak orang. Berbeda dengan Fyzee, Leonard Binder (1988) menawarkan pendekatan lain terhadap Islam liberal. Menurutnya, Islam liberal adalah sebuah gagasan dan gerakan keagamaan dalam Islam modern yang menjadi subordinat dari gagasan-gagasan dan gerakan serupa di Barat. Islam liberal tidak lain merupakan bagian dari “Liberalisme Barat”. Muslim liberal adalah manusia yang pikiran-pikirannya dipengaruhi oleh Barat dan menjadi penyambung lidah tema-tema modernitas di dunia ketiga termasuk dunia Islam di satu sisi. Meskipun demikian, aliran pemikiran Islam ini mengusung berbagai agenda aksi global yang sangat fundamental, memberikan respon dan kritik terhadap berbagai wacana Barat modern yang dalam hal tertentu dipaksakan di dunia Islam di sisi lain. Islam liberal dalam konteks ini dapat dipandang sebagai berwajah ganda --menerima ide-ide Barat sekaligus mengeliminasi dampak buruk modernisme demi kemajuan dunia Islam-- dalam menanggapi berbagai isu antara lain: 1) ideologi liberalisme, 2) wacana dan tafsir orientalisme terhadap Islam (dan dunia Timur pada umumnya), 3) ideologi sosialisme-marxisme, 4) developmentalisme dan modernisasi serta ketimpangannya dalam aplikasi di dunia ketiga, 5) ideologi nasionalisme, 6) ideologi pragmatisme, dan 7) sekularisme politik global. Meskipun karya ini patut dipuji sebagai salah satu studi yang paling signifikan tentang Islam liberal hingga sekarang, kerangka berpikir yang disodorkan Leonard Binder merupakan konsep yang sulit secara inheren untuk digunakan dalam konteks Islam, MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
231
ini karena liberalisme memperlakukan agama sebagai opini dan mentoleransi agama secara tepat sebagai keanekaan dalam wilayah opini. Islam dan liberalisme muncul sebagai hal yang saling bertentangan. Pendekatan ketiga memahami Islam liberal bukan sebagai bagian dari liberalisme Barat. Pendekatan yang ditawarkan oleh Charles Kurzman (1998) ini hendak menguji pemikiran Muslim liberal dari sudut pandang tradisi Islam, dan Muslim liberal dipandang sebagai bagian dari Islam itu sendiri. Kurzman dalam hal ini memandang Islam liberal sebagai the third tradition yang sering diabaikan dalam perdebatan dan diskusi tentang Islam. Dua tradisi interpretasi sosio-religius lainnya yang meramaikan perbincangan tentang Islam adalah: “Islam adat” (customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga umum dilakukan di seluruh dunia Islam; dan “Islam revivalis” (revivalist Islam, juga biasa disebut dengan Islamisme, Fundamentalisme atau Wahhabisme) yang menjadi antitesis bagi Islam adat karena dipandang kurang memperhatikan inti doktrin Islam. Sebagai tradisi ketiga, Islam liberal mendefinisikan diri sebagai berbeda secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan periode Islam awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktikpraktik keagamaan masa kini. Namun, pada saat yang sama, Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas, suatu posisi yang berlawanan dengan Islam revivalis yang menegaskan modernitas atas nama masa lalu. Menurut Kurzman, Islam liberal memiliki tiga model dalam mendekati dan memahami syariat, syariat liberal (liberal syariat). Bagi para pendukung syariat liberal, wahyu Al-Qur’an dan praktik-praktik Nabi memerintahkan/menghendaki Muslim un-
232
Zakiyuddin Baidhawy
tuk mengambil posisi liberal. Secara eksplisit syariat itu sendiri menekankan sikap liberal. Misalnya dalam kasus Ali Bula, ia mengutip al-Kafirun (109): 6: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. la kemudian menjelaskan secara detail mengenai Piagam Madinah, suatu pakta yang ditandatangani Nabi Muhammad saw. dengan suku-suku Yahudi di Madinah pada awal era Islam. Problem utama masa ini adalah mengakhiri konflik dan menemukan formulasi koeksistensi damai dalam segala sisi sesuai dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini, dokumen Madinah adalah suatu proyek ideal yang menghargai keadilan, hukum dan kebenaran yang bertujuan untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di kalangan masyarakat atas dasar kontrak di antara berbagai kelompok agama, politik dan budaya. Inilah kekayaan keragaman dalam kesatuan, suatu pluralisme yang nyata (Kurzman, 1998:170-174). Chandra Muzaffar mengutip al-Hujurat (49):13 sebagai bentuk nyata posisi liberal syariat dalam hal pluralisme dan multikulturalisme. Sementara itu, Mohamed Taibi dengan mengutip al-Maidah (5):48 menyatakan bahwa permusuhan dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam relasi antaragama adalah tidak islami. Kedua, syariat bisu (silent syariat). Para pendukungnya menyakini bahwa koeksistensi itu tidak dikehendaki oleh syariat tetapi diperbolehkan/dibiarkan. Model ini berpendapat bahwa syariat itu diam pada masalah-masalah tertentu bukan karena wahyu Allah tidak sempurna dan keliru, tapi karena wahyu berniat membiarkan isu-isu tertentu agar manusia memilih. Humayun Kabir misalnya, berpendapat bahwa preseden pada awal periode Islam tidak dapat diterapkan secara otomatis pada periode berikutnya. Situasi telah berubah sejalan dengan kekuasaan Islam menyebar secara cepat ke wilayah Asia dan MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
233
banyak penduduknya merasa berada dalam posisi terjepit. Praktik yang muncul dan pemikiran politik Islam menemukan tempat bagi orang-orang non-Muslim di negara Islam. Di India misalnya, kaum Muslim mengutuk pemaksaan dalam agama dan menghendaki agar semua agama diberi penghargaan. Ketiga, syariat tertafsir (interpreted syariat). Penganjurnya yakin bahwa agama itu sakral, tapi interpretasi tentang agama bersifat manusiawi dan duniawi. Teks tidak berdiri sendiri, ia tidak memikul makna di atas pundaknya sendiri. la perlu ditafsirkan dalam suatu konteks. la memuat teori, interpretasinya mengalir dan praduga-praduganya bersifat aktif di sini dan di tempat manapun dalam wilayah pemahaman. Teks-teks keagamaan tanpa kecuali. Oleh karena itu, interpretasi apapun terhadap teks wahyu tunduk pada perluasan dan penyempitan sesuai dengan asumsi yang mendahului penafsir. Kita melihat wahyu dalam cermin tafsir, sama seperti seorang ilmuwan melihat kreasi dalam cermin alam, sehingga jalan bagi demokrasi dan kesatuan transendental agama-agama yang diprediksi atas dasar pluralisme agama akan selalu terbuka. Farid Esack (1997) mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib: “Ini adalah Al-Qur’an yang ditulis secara mendatar dalam garis lurus, di antara dua dinding; ia tidak bicara melalui lidah; ia butuh penafsir dan penafsir itu adalah manusia”. Esack menerjemahkan ungkapan Ali ini menjadi: “Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan prakonsepsi tentang persoalan yang ditunjukkan oleh teks dan penafsir membawa prakonsepsi dalam penafsirannya. Esack sendiri mempunyai prakonsepsi yang muncul dari perjuangan multiagama menentang rezim apartheid di Afrika Selatan (Esack, 1997).
234
Zakiyuddin Baidhawy
Kajian lain yang berkenaan dengan gagasan Islam liberal dalam konteks keindonesiaan adalah karya Greg Barton (1999). Karya ini secara spesifik menelusuri ikatan historis antara Islam liberal dengan aliran neomodemis yang digagas oleh Fazlur Rahman. Paradigma neomodemisme sebagaimana digambarkan Rahman melukiskan gerakan pemikiran Islam liberal dan progresif yang muncul setelah modernisme klasik dan merupakan sintesis antara wawasan Islam tradisional dengan penekanan modernisme atas rasionalitas dan ijtihad (interpretasi individu Al-Qur’an) yang komprehensif, kontekstual dan terus menerus, dan dengan pemikiran Barat modern (Fazlur Rahman, dalam Alford T. Welch dan Pierre Cachia (ed.), 1979: 324-325). Melalui kajian mendalam terhadap empat tokoh utama -Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib--, Barton menangkap prinsip-prinsip sentral Islam liberal dan progresif antara lain: suatu komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan; suatu keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad; suatu penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam agama-agama; dan pemisahan agama dari partai politik dan posisi non-sektarian dari negara. Jadi, gerakan pemikiran Islam liberal dan progresif yang berkembang di Indonesia merupakan pertumbuhan lebih lanjut dari gagasan-gagasan neomodernisme. Perdebatan tentang Islam liberal di Indonesia yang kini sedang menjamur dan banyak mendapat pro kontra baik dari kalangan tradisionalis, postradisionalis, maupun revivalis dan modernis sendiri, lebih merupakan representasi dari pendekatan ketiga yang ditawarkan Kurzman utamanya, dan sedikit dari Barton. “Jaringan Islam Liberal” (JIL) yang berawal dari dan didukung Komunitas Utan Kayu (KUK) berada dalam kerangka MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
235
Kurzman, dan Barton dengan pengecualian bahwa JIL tidak begitu concern terhadap wawasan Islam tradisional. Jaringan ini sedang giat menyebarluaskan gagasan, gerakan dan agenda aksi Islam liberal melalui berbagai program, mulai dari rekonstruksi tafsir liberal hingga program advokasi berkaitan dengan isuisu: 1) menentang teokrasi yang menjadi cita-cita sosial-politik kaum revivalis, 2) memaknai dan membangun demokrasi, 3) menggagas kesetaraan gender dan kritik atas relasi kuasa antara pria dan wanita, serta pemberian hak-hak bagi kaum perempuan, 4) kebebasan beragama dan perlindungan atas hak-hak nonMuslim, 5) kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, dan 6) pentingnya progresifitas bagi kaum Muslim.
B. Latar Sosial Islam Liberal Pandangan-pandangan Islam liberal yang telah dipaparkan sebagian di muka, muncul secara independen hampir di seluruh dunia Islam. Kemunculannya secara simultan adalah karena didukung tiga faktor perubahan sejarah selama tiga dekade yang lalu. Pertama, semakin meluasnya institusi pendidikan tinggi (higher education) di dunia Islam yang telah memecahkan kejumudan dan monopoli institusi-institusi keagamaan tradisional dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti madrasah, zawiyah dan pesantren. Berjuta-juta kaum terpelajar secara otodidak maupun formal, kini telah mengakses teks-teks dan tafsirtafsir mengenai berbagai persoalan agama dan hubungannya dengan problem kontemporer. Sebagian mereka bukan berasal dari latar-belakang ilmu-ilmu keislaman/ seperti Muhammad Shahrour (Syria) dan Mehdi Bazargan (Iran); filosof seperti Mohammed Arkoun (Aljazair-Perancis) dan Rachid Ghannouchi 236
Zakiyuddin Baidhawy
(Tunisia); dan sosiolog seperti ‘Ali Syari’ati (Iran) dan Chandra Muzaffar (Malaysia). Fatima Mernissi, seorang tokoh feminis, sesungguhnya lebih terdidik dalam bidang sosiologi daripada teologi. Namun, karena kepeduliannya terhadap masalah relasi kuasa antara pria dan wanita, ia mempergunakan analisis gender untuk mendekati hadis-hadis mysoginis. la pernah mengutip sebuah hadis: “Suatu kaum yang mempercayakan urusan-urusan mereka kepada kaum perempuan, pasti mereka tidak akan pernah berjaya” (al-Asqalani, 1928: 46). Melalui penelitian terhadap berbagai sumber periwayatan hadis, ia menemukan bahwa hadis ini disandarkan pada Abu Bakrah (w. kira-kira 671), seorang yang terlahir sebagai budak dan dibebaskan oleh Rasulullah. Kemudian ia menjadi orang yang memiliki kedudukan penting di kota Basrah. la adalah satu-satunya sumber dari hadis tersebut, dan meriwayatkan hadis ini kepada umat Islam 25 tahun setelah Nabi wafat. Dengan penemuan ini, Mernissi menyimpulkan bahwa meskipun terdapat dalam kitab hadis Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari dan sangat banyak dikutip di dunia Islam, hadis tersebut mengandung keraguan karena dua alasan. Pertama, Abu Bakrah meriwayatkan hadis ini seorang diri (ahad). la telah berusaha menyelamatkan hidupnya setelah Perang Jamal (Desember 656), ketika semua orang yang tidak memilih bergabung dengan kelompok Ali mencari justifikasi atas tindakan mereka sendiri. Ini dapat menjelaskan mengapa seorang Abu Bakrah perlu mengambil hadis yang menguntungkannya. Catatannya jauh dari memuaskan karena ia menolak untuk ambil bagian dalam perang saudara ini. Meskipun banyak sahabat dan penduduk Basrah memilih sikap netral dalam konflik ini, hanya Abu Bakrah yang menjustifikasinya karena fakta bahwa salah satu kelompok yang bertentangan adalah peremMODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
237
puan. Kedua, Abu Bakrah telah mendapatkan hukuman cambuk karena pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus peradilan. Menurut aturan-aturan mengenai keahlian dalam hadis yang ditetapkan oleh Imam Malik bin Anas (710-796), salah seorang pendiri ilmu hadis, Abu Bakrah termasuk orang yang didiskualifikasi sebagai sumber dari transmisi hadis yang dapat dipertanggungjawabkan. Bila kita mengikuti prinsip-prinsip fikih Maliki, Abu Bakrah juga harus ditolak sebagai sumber hadis (Mernissi dalam Kurzman, 1998: 116-119). Jadi, melalui dunia CD-ROM dan akses internet, siapa pun yang melek huruf Arab dan mempunyai personal computer seperti Mernissi, dapat menyelidiki sumber-sumber hukum Islam yang mengundang reinterpretasi. Kedua, meningkatnya komunikasi internasional. Teknologi kemunikasi internasional seperti surat kabar, telegraf dan perdagangan bebas lainnya seperti radio, televisi, telpon, dan internet, telah membawa orang-orang terpelajar dari berbagai dunia ke dalam suatu kontak yang sangat dekat. Ideal-ideal liberalisme Barat dan paham-paham lainnya seperti sosialisme dan nasionalisme, telah masuk ke dalam rumah-rumah dunia. Masyarakat di Gabon, Afrika Barat menyaksikan jatuhnya komunisme di Eropa Timur dan mulai menuntut demokrasi (Decalo, 1992: 7). Sebagai contoh, Nurcholish Madjid mempertahankan kebebasan berpikir dengan mengutip pidato seorang jaksa terkemuka Amerika Serikat Oliver Wendell Holmess (1809-1894): “The ultimate good desired is better reached by free trade in ideas that the best test of truth of market...” Nurcholish mengatakan lebih lanjut bahwa di antara berbagai kebebasan yang dimiliki individu, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat adalah
238
Zakiyuddin Baidhawy
yang paling berharga. Kita punya keyakinan kuat bahwa semua gagasan dan bentuk pemikiran yang paling asing sekalipun, harus diberi sarana ekspresi. Karena boleh jadi gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran semacam itu yang pada awalnya dianggap salah, suatu saat mempunyai kemungkinan untuk menjadi benar. Dalam konfrontasi gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran, meski salah pasti dapat diambil hikmahnya, karena hanya dengan cara ini kebenaran akan dapat mengungkapkan dirinya dan memperoleh daya dukung dan kekuatan yang besar (Madjid dalam Kurzman/1998: 287). Barangkali ini sesuai dengan sabda Nabi saw.: “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat dari Allah”. Contoh lain bahwa teknologi telah mendorong perubahan di dunia Islam adalah meningkatnya aktivitas internet yang berkisar pada isu-isu mantan deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang mempunyai pengalaman karir dari gerakan pemuda Islam militan hingga reformis liberal yang diperkaya dengan berbagai sumber intelektual lintas kultural. Karir politik Awnar Ibrahim dimulai dari islamisme komunalis yang menjadi kambing hitam orang-orang Cina Malaysia. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi juru bicara utama koeksistensi multireligi baik di Malaysia maupun pada tingkat global. la mengatakan bahwa pengalaman kontemporer Islam di Asia Tenggara telah banyak memberi kontribusi tidak hanya bagi Muslim di kawasan-kawasan lain, tapi juga bagi dunia secara luas. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Muslim Asia Tenggara yang bertakwa telah mempraktikan agamanya dalam konteks dunia multikultural sejati. Khususnya di Malaysia, seorang Muslim tidak pernah tidak sadar akan kehadiran penganut agama-agama lain, baik sebagai teman, kolega, kolaborator, partner bahkan sahabat (Ibrahim, 1995: 4). MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
239
Banyak websites yang menjadi pendukung gerakan Anwar Ibrahim dan membuatnya menjadi gerakan berskala dunia. Meskipun sebagian negara seperti Arab Saudi dan Iran telah mencoba menutup gagasan-gagasan asing agar tidak masuk ke negara mereka karena takut terhadap dampak interaksi lintas kultural ini. Menutup jalan bagi ide-ide asing “seperti halnya menggunakan sapu untuk menghentikan banjir bandang”, demikian kata Woodrow Wilson (Mayer, 1967:602). Faktor ketiga dalam kebangkitan Islam liberal adalah kegagalan ideologi-ideologi altematif. Ini khususnya semakin timbulnya keraguan terhadap regim-regim Islam yang tidak dapat memenuhi janji-janji mereka. Sudan dan Pakistan misalnya, terbukti tidak kurang korupnya setelah melakukan islamisasi pemerintahan daripada masa sebelumnya. Pemerintahan Taliban di Afghanistan menakutkan bagi kebanyakan Muslim. Ketidakpuasan paling utama atas Muslim fundamentalis adalah Iran. Revolusi Iran pada 1979 telah memunculkan harapan besar dikalangan islamis di Malaysia, Afrika, dan seluruh dunia Islam. Iran adalah sebuah pertunjukan dan teladan utama bagi gerakan islamis. Sejak abad 7, sebuah masyarakat Islam sejati telah berupaya dibangun. Tapi sangat menyakitkan ketika mereka mendapatkan impian mereka tak terpenuhi. Berbagai contoh ilusi yang menyakitkan ini telah melahirkan pandangan-pandangan liberal. Misalnya Abdul Karim Soroush, orang yang pada tahun-tahun awal sangat mendukung Republik Islam Iran. Soroush berpartisipasi aktif dalam melakukan reorganisasi revolusi di berbagai universitas di Iran yang melibatkan banyak profesor atas nama pemurnian ideologi. Namun, pada akhirnya para pendukung setia Republik Islam ini mengalami keraguan sebagaimana Soroush. Hingga pertengahan
240
Zakiyuddin Baidhawy
1980-an ia mulai mengambil jarak dengan komite di mana ia berperan. Pada akhir 1980-an ia mulai menyatakan bahwa Republik Islam tidak memberi pelayanan terhadap keadilan dan kebenaran. Soroush mulai mengkritik pemerintah dan terus mengumandangkan pentingnya reinterpretasi hukum Islam dan menyerukan kebebasan akademik dan intelektual, sehingga universitas-universitas yang pernah direorganisasinya tidak lagi diakui. Tema-tema ini sejalan dengan intelektualitasnya yang mengesankan dan kecakapannya berbicara di depan publik. Tema-tema ini pula yang membuat Soroush sebagai salah seorang pembicara publik yang paling populer di Iran pada 1990-an. la bicara di masjid-masjid dan berbagai universitas serta radio dan selalu memperoleh banyak pendengar. Pemerintah Iran khawatir akan pidato-pidatonya yang pedas dan mengancam, sejak saat itu pula Soroush dilarang berbicara di depan publik Iran. la sekarang bicara di luar Iran, ketika ia diperbolehkan melakukan perjalanan keluar negeri, utamanya di Amerika dan Eropa. Kekecewaannya terhadap Republik Islam Iran telah memupus harapan dan aspirasinya. Dalam sebuah wawancara, Soroush menolak bahwa dirinya terlibat aktif dalam reorganisasi universitas-universitas di Iran. Republik Islam Iran tampaknya tidak saja membelenggu ideal-ideal liberal, bahkan juga membabat memori ideal-ideal kaum islamis.
C. Tantangan Islam Liberal Meskipun ada sebagian Muslim yang mempunyai dasar-dasar pijakan yang sama dengan kaum liberal Barat, Islam liberal bukan berarti tanpa celaan. Sebagian mengklaim bahwa Islam liberal tidak otentik, ia merupakan kreasi Barat dan tidak mencerminkan tradisi Islam yang sejati. “Gerakan otentisitas” MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
241
semakin meningkat secara global lebih dari seperempat abad yang lalu, dari gerakan-gerakan otentisitas keagamaan seperti Islamisme atau Bharata Janata Party di India, hingga gerakangerakan otentisitas etnik seperti kebencian suku yang banyak terjadi di Afrika Tengah. Penekanan pada otentisitas tidak terbatas pada dunia Islam. Salah satu karakteristik penting dari persoalan mengenai otentisitas adalah gagasan bahwa kita dapat mengambil sebuah budaya dan meletakkannya dalam sebuah kotak. Artinya, budaya dapat didefinisikan sebagai entitas yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, terpisah dari budaya-budaya lain dengan ikatan-ikatan yang sangat ketat. Dalam realitas, ikatan-ikatan tersebut sama sekali tidak seketat yang diperkirakan. Di Uzbekistan misalnya, pemerintah menyatakan bahwa perayaan Tahun Baru Now Ruz ditemukan di Asia Tengah, bukan di Iran, sehingga seolah-olah praktik-praktik kultural menjadi kurang berharga bila diimpor dari tempat lain. Bagian lain dari semakin meningkatnya kebutuhan akan pemilikan budaya ini adalah kebingungan kritik terhadap sesuatu atau orang-orang yang tidak cukup otentik. Karena Islam liberal berbagi kepedulian dengan liberalisme Barat, sebuah kritik mengklaim bahwa Islam liberal bukanlah interpretasi yang valid tentang agama Islam, karena jika ia Barat, maka ia tidak dapat dikatakan islami. Oposisi biner semacam ini mengabaikan keberlimpahan historis muatan-muatan pengaruh dan pinjaman kultural yang membuka batas-batas negara. Bila keberatan pertama bahwa Islam liberal itu tidak otentik dan karenanya salah, keberatan kedua menyatakan bahwa Islam liberal tidak bisa ditolerir meskipun ia benar atau salah. Gai Eaton
242
Zakiyuddin Baidhawy
(1985: 2), seorang Muslim Inggris, menyebut Muslim liberal sebagai “Paman Toms”. Sebutan “Paman Toms” adalah istilah “cibiran” yang digunakan oleh orang-orang Afro-Amerika untuk menjelaskan orang kulit hitam yang sangat merendahkan kulit putih. Pada hakikatnya, Eaton menyebut Islam liberal sebagai pengkhianatan terhadap Islam. Menurut cara berpikir Eaton, pandangan-pandangan Islam liberal tidak hanya salah, baik benar maupun salah, bahkan pandangan Islam liberal secara publik telah melemahkan dunia Islam dalam perjuangannya melawan Barat. Di Iran misalnya, perasaan terkepung oleh pihak asing, Amerika khususnya dan kebencian sedemikian kuat sehingga agar tetap survival, para politisi harus membuktikan diri bahwa mereka tidak bersikap lunak terhadap “The Great Satan” (Kurzman, 1998b: 63-72). Para politisi Iran yang ingin bernegosiasi dengan Barat, atau mengembangkan gagasan tentang demokrasi, HAM, dan isu-isu lain, akan segera dilabeli oleh para politisi oposan sebagai “soft on Satan”. Pola semacam ini sudah biasa dan merusak pandangan-pandangan liberal. Bahkan presiden Iran yang moderat sekalipun, Mohammad Khatami, yang memojokkan kaum liberal dalam kampanye 1997, barangkali bertujuan untuk menghindarkan diri dari kritik serupa atas dirinya. Dalam sebuah pidatonya di Tehran University pada 4 Mei 1997, Khatami mengemukakan tema-tema liberal seperti: “Pemerintah harus menyediakan lingkungan yang aman bagi rakyat sehingga mereka dapat mengeluarkan pendapat tentang isu-isu internal dan urusan-urusan ekonomi. Kita harus mempelajari Barat, sumber dari seluruh transformasi”. Pada saat yang sama ia menuduh kaum liberal yang menjadi
MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
243
oposisinya sebagai telah “terjerumus dalam kubangan orang asing”, dan partai politik mereka dipandang tidak absah karena tidak datang dari dalam masyarakat. Kebodohan Barat juga merupakan tantangan lain bagi Islam liberal. Selama berabad-abad Barat membangun citra Islam sebagai “the other” (orang lain), mengidentikan Islam dengan anasir yang paling eksotik (baca: primitif). Agama Islam sama dengan fanatisme, menurut Voltaire. Otoritas Islam disamakan dengan despotisme, sebagaimana pandangan Montesqieu dengan sebutan “oriental despotism”. Tradisi Islam disamakan dengan keterbelakangan dan primitif dalam bahasa Ernest Renan: “Islam adalah negasi paling sempurna atas Eropa... Islam adalah penghinaan atas sains, menekan civil society. Ia merupakan penyederhanaan yang paling menggusarkan atas semangat semitik, membatasi pikiran manusia, menutup diri dari gagasan-gagasan yang cemerlang, dari seluruh sentimen pemamahan, dari semua penelitian ilmiah, dengan tujuan untuk menjaga tautologi abadi bahwa “Tuhan adalah Tuhan” (Renan 1947: 333). Di samping bias, kebijakan Barat harus memahami lebih baik distingsi dalam gerakan-gerakan Islam. Sebagai contoh adalah kasus Aljazair. Front de Salvation Islamique (FIS) terbagi dalam dua fraksi --liberal dan radikal. Selama pemilihan umum akhir 1991 dan awal 1992, sayap liberal memperoleh pengaruh besar. Para pemimpinnya mengendalikan kebijakan-kebijakan kelompok, para kandidatnya berpengalaman dan mempunyai peluang besar untuk berkuasa. Abbasi Madani, pemimpin fraksi liberal, membuat sejumlah pernyataan yang bertujuan untuk
244
Zakiyuddin Baidhawy
meredam ketakutan penduduk Aljazair dan orang-orang Barat terhadap niat FIS, seperti “Pluralisme adalah suatu jaminan terhadap kekayaan kultural, dan keragaman dibutuhkan demi pembangunan. Kami adalah Muslim, tapi kami bukan Islam itu sendiri... Kami tidak memonopoli agama. Demokrasi menurut pemahaman kami berarti pluralisme, pilihan dan kebebasan” (Brumberg, 1991: 64). FIS memenangkan 81 suara pada putaran pertama pemilu 1991 dan menduduki tempat yang hampir sama baiknya pada putaran kedua awal Januari 1992. Seketika itu pula Militer Aljazair yang didukung Perancis dan USA membatalkan hasil pemilu, melarang FIS dan memenjarakan para pemimpinnya. Akibatnya, kaum liberal dalam gerakan Islam secara keseluruhan telah dipojokkan karena dipandang telah mengupayakan kemenangan di dalam aturan-aturan demokrasi. Sayap radikal menang dan membunuh para aktivis Islam liberal yang keberatan terhadap kekerasan, seperti Muhammad Said dan Abderrazak Redjam yang terbunuh pada 1995. Ketidakmampuan Barat meyakini adanya Islam liberal telah membuktikan ramalan yang dibuatnya sendiri.
D. Simpulan Kajian-kajian tentang Islam liberal membawa pada suatu pemahaman bahwa kelompok ini datang sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Islam liberal yang dimaksud adalah kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif dan dinamis. Dalam pengertian ini, Islam liberal bukan suatu yang baru, akarnya sudah ada sejak abad 19. Tema dan tesis yang dikampanyekan meminjam kategorisasi isu yang dikemukakan oleh Charles Kurzman. MODEL KAJIAN PEMIKIRAN ISLAM: Kajian tentang Islam Liberal
245
Dengan demikian, apa yang dilakukan Islam liberal saat ini adalah upaya memperkuat basis dan saf mereka sebagai counter discourse dari gerakan pemberlakuan syariat Islam yang menjadi cita-cita Islam revivalis. Terlepas dari counter Islam liberal, bagaimanapun, gagasan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, dapat dibenarkan tapi dengan beberapa prasyarat yang tidak boleh diabaikan. Pertama, dalam konvensi internasional syariat Islam itu dilindungi dan dapat diberlakukan hanya untuk komunitas Muslim dengan memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas non-Muslim. Dalam konteks ini, secara konseptual Islam telah memberi alternatif ahl az-zimmi, tapi bukan sebagai kelas kedua (second class). Kedua, dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, pemberlakuan syariat Islam harus memperoleh dukungan masyarakat luas. Perlu dicatat bahwa sepanjang sejarah pemilu dari 19551999, belum pernah koalisi partai-partai Islam memperoleh suara mayoritas. Penelitian Eep Syaifullah Fattah membuktikan tidak ada korelasi antara semakin “Muslim”nya seseorang, semakin tinggi kecenderungannya untuk memilih partai Islam. Banyak di antara mereka yang semakin Muslim tetapi memilih partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar, dan kini Partai Demokrat. Dalam kasus ini, kita bisa melihat perbandingan antara Indonesia dan Aljazair. Kedua negara ini sama-sama mengalami kebebasan politik setelah lepas dari rezim otoriter. Perbedaan signifikannya adalah bahwa yang pertama tidak dapat memanfaatkan kebebasan tersebut untuk mendapatkan kemenangan politik. Pendeknya, mereka menjadi pecundang. Sementara itu, yang kedua mampu memanfaatkan momentum kebebasan politik untuk memenangkan suara mayoritas tunggal lewat FIS.[]
246
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 13
MODEL KAJIAN POLITIK
T
indakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum Muslim selalu merupakan objek kajian dan berita baik bagi Studi Islam. Para spesialis di bidang politik utamanya merasa tertarik untuk mengkaji perilaku-perilaku politik kaum Muslim. Hal ini ditunjukkan oleh makin meningkatnya minat para mahasiswa dan pengkaji untuk mendaftarkan diri pada kuliah, maupun undangan-undangan komunitas akademi, komunitas, media dan forum-forum pemerintah. Subjek tentang Islam mulai dipandang sebagai bagian dari isu-isu suatu disiplin inti lebih dari sekadar pertunjukan sampingan dari disiplin kajian kawasan. Tuntutan ini mendorong melonjaknya penerbitan sejumlah buku dan artikel yang bertujuan untuk memberikan pemahaman singkat tentang Islam (Geertz, 2003: 27).
Model Kajian Politik
247
Banyak mahasiswa dan pengkaji yang memilih mempelajari subjek-subjek tentang Islam sebelum tahun 2001 mengalami perasaan campur aduk dengan munculnya minat besar yang tiba-tiba ini. Secara alamiah, kita memiliki kesempatan meningkatkan kajian Islam yang lebih serius dan kita juga menyambut prospek kajian keislaman yang makin membaik. Di samping itu, hal ini selalu membuka bacaan-bacaan favorit yang direkomendasikan untuk dibaca. Beberapa di antaranya adalah karya Carl Ernst tentang praktik Islam kontemporer berjudul Following Muhammad (2003); tentang sejarah Islam karya Marshall Hodgson The Venture of Islam (1974), yang terdiri dari 3 jilid; karya Michael Sells tentang terjemahan Al-Qur’an yang menyampaikan tampilan teks yang menarik perhatian bagi Muslim, berjudul Approaching the Qur’an (1999); karya Mansoor Moaddel yang berkaitan dengan analisis sosial-ilmiah tentang Islam dalam Annual Review of Sociology (2002); dan karya Juan Cole tentang analisis mengenai peristiwa-peristiwa kini dalam weblog yang cukup impresif http://www.juancole.com. Pada saat yang sama, kita mengalami kekecewaan ketika melihat karya berkualitas tinggi tentang Islam justru melorot dalam peringkat perjualan, kupasan media, dan pengaruh akademiknya di balik para penulisnya yang sensasional seperti Steven Emerson, yang melihat potensi bagi terorisme tersembunyi di dalam setiap tampilan keimanan Islam; atau Bernard Lewis, yang karena penelitian-penelitiannya kurang orisinal sejak awal 1970-an, tidak mencegahnya dari daur ulang materi-materi yang sudah ketinggalan zaman yang dikemas dalam judul-judul baru setiap setahun atau dua tahun. Barangkali yang paling perlu diwaspadai adalah temuantemuan baru yang berhubungan dengan masalah-masalah pen-
248
Zakiyuddin Baidhawy
ting dalam Studi Islam, namun membawa pada citra Islam yang kurang menguntungkan. Banyak orang setelah tahun 2001 takut kepada Islam, Islam lebih dipandang sebagai ancaman bagi keamanan, meski pada saat yang sama perhatian pada Studi Islam memperoleh tempat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kajian-kajian keislaman seperti memperoleh hujan untung bukan hanya dari kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh Muslim sendiri, bahkan juga dari apatisme dan sikap paranoid nonMuslim terhadap Islam. Akibatnya, para sarjana yang bergelut dengan Studi Islam mempergunakan banyak waktu mereka untuk memberikan perhatian pada upaya mengeliminir setiap stereotipe sehingga menolong membawa mereka pada citra Islam yang positif. Karena usaha-usaha mereka, Studi Islam dan kajian Timur Tengah memperoleh serangan dari para pemikir sayap kanan seperti Washington Institute for Near East Policy, yang telah menerbitkan karya Martin Kramer Ivory Towers on Sand: The Failure of Middle Eastern Studies in America (2001); dan Daniel Pipes’s Middle East Forum yang menjadi tuan rumah bagi website Campus Watch. Para sarjana Studi Islam mengungkapkan kemarahan dalam masalah ini, namun mereka juga merasakan bangga utamanya ketika Islam dipandang cukup penting, dan sejak kritik-kritik yang terlontar mengenai Islam hampir seluruhnya terbukti keliru sejauh ini. Tak seorang pun dari spesialis di bidang Timur Tengah atau Islam merasa kebakaran jenggot sebagai akibat kritikan-kritikan tersebut, dan bahkan pemerintahan federal memberikan dana bagi kajian-kajian ini dengan tujuan untuk meluruskan kesalahan-kesalahan politik yang meningkat. Salah satu titik fundamental dari kritik-kritik ini adalah bahwa kajian ilmiah Studi Islam di Amerika Serikat
Model Kajian Politik
249
secara sistematis mengurangi ancaman yang ditunjukkan oleh Islam politik (yang kadang-kadang dilabeli dengan Islamisme). Kritik-kritik ini pada akhirnya lebih banyak mempergunakan ungkapan hiperbola (terlalu dilebih-lebihkan), yang menuduh bidang Studi Islam ini telah mendukung terorisme karena kajian ini mengkritik kebijakan luar negeri AS (Horowitz and Johnson, 2004). Namun, beberapa kritik lainnya memang akurat: bahwa bidang kajian Studi Islam tidak membahayakan, tidak seberbahaya sebagaimana yang digaung-gaungkan oleh kelompok-kelompok garis keras. Bahkan, ada kesekapatan di bidang kajian ini bahwa ancaman fundamentalisme, mengutip pendapat ilmuwan politik John Mueller (2006), “terlampau dibesar-besarkan”. Buku-buku yang dibahas dalam bab ini berisi empat analisis mengenai masa depan Islam politik, dan keempat analisis itu tidak menemukan konsensus tentang masalah serupa. Semua dari empat buku ini dilahirkan oleh para spesialis bidang Islam politik. Keempat buku tersebut mempergunakan perspektif global dan sampai pada kesimpulan serupa, dengan berbagai bukti dan argumentasi: bahwa gerakan-gerakan Islam revolusioner sedang mengalami kemunduran.
A. Pendekatan Keamanan (Security) Karya yang paling menyentuh perspektif keamanan adalah buku Ray Takeyh and Nikolas K. Gvosdev The Receding Shadow of the Prophet: The Rise and Fall of Radical Political Islam. Penulis buku ini tidak dapat dikatakan sebagai ekstremis anti-Amerika, karena mereka adalah partisipan aktif dalam dunia kebijakan keamanan Amerika dengan identitas sayap kanan mereka. Takeyh yang memiliki kepakaran tentang Iran dan Mesir, adalah 250
Zakiyuddin Baidhawy
seorang anggota pada Washington Institute for Near East Policy, kemudian mengajar di National War College and the National Defense University sebelum posisi terbarunya sebagai anggota Council on Foreign Affairs. Gvosdev, yang kepakaran utamanya di bidang Eropa Timur, bekerja di Nixon Center, lembaga pemikir konservatif yang mengabdikan diri pada prinsip-prinsip kebijakan luar negeri Presiden Ricahrd Nixon. Takeyh dan Gvosdev memulai bukunya dengan sekilas pandang tentang kecenderungan pertengahan dekade 90-an, ketika gerakan-gerakan Islam bersenjata berjuang untuk kekuasaan di Aljazair, Bosnia, Chechnya, Mesir, dan Tajikistan, dan kemudian meluas. Sebaliknya, hanya beberapa tahun kemudian, tantangan-tantangan revolusioner ini mengalami pasang surut. Dua penulis ini (2004: 1-2) menyampaikan pandangan mereka yang menyatakan bahwa Islam politik radikal di mana pun mengalami kemunduran sebagai ideologi yang memerintah. Bahkan kemarahan serangan al-Qaedah, khususnya serangan mereka yang ditujukan langsung ke jantung Amerika, merupakan manifestasi dari keputusasaan para kaum fundamenatalis Islam karena ketidakmampuan mereka untuk memperbesar kekuasaan di dunia Islam. Kita bisa saja mengangkat isu tentang “ideologi yang memerintah”, di mana Islam merupakan dan masih terus memperluas diri ke berbagai negara sekuler yang terus menerus memasukkan simbol-simbol Islam ke dalam sistem pendidikan dan hukum, sebagaimana dikaji dalam studi kasus oleh Starret (1998), Nasr (2001) dan Lombardi (2006). Ungkapan “bayang-bayang Nabi” dalam sebuah judul buku boleh jadi dipandang tidak sensitif, karena Muslim cenderung menjauhi metafora “bayang-bayang” dan sedikit dari sahabat Nabi Muhammad saw. yang pernah
Model Kajian Politik
251
meriwayatkan bahwa ia tidak mempunyai bayang-bayang sama sekali. Pengaruh Muhammad saw. diulang kembali jika kita memasukkan kebangkitan gerakan-gerakan ketaatan di banyak masyarakat Muslim. Namun demikian, Takeyh dan Gvosdev telah membuat pembedaan yang jelas antara gerakan-gerakan ketaatan dan kaum revolusioner Islam yang ingin mengambil alih Negara. Kaum revolusioner yang tampak memiliki momentumnya pada pertengahan 1990-an, gagal untuk mengambil alih wilayah penting mana pun antara tahun 1996 ketika Taliban menguasai banyak wilayah Afghanistan, dan tahun 2006 ketika Dewan Pengadilan Islam (Council of Islamic Courts) dalam waktu singkat mengambil alih banyak wilayah Somalia –baik dalam kasus mengalahkan dan mengkooptasi para pejabat lokal ketika Negara-bangsa mereka tidak berfungsi. Apa pertimbangan-pertimbangan bagi kemunduran secara menyeluruh gerakan-gerakan fundamentalisme di banyak tempat? Takeyh dan Gvosdev kembali kepada studi kasus. Di Aljazair dan Mesir, pemberontakan kelompok sempalan Islam terjadi berada di bawah represi Negara yang kuat, dengan unsurunsur perubahan penting dari ideologi revolusi ke pluralisme demokratis. Di Bosnia dan Kosovo, partai-partai Islam menurunkan tuntutan dan aspirasi mereka akan Negara Islam dengan tujuan untuk menarik lapisan-lapisan masyarakat Muslim yang lebih besar. Di Tajikistan, kaum Islamis menandatangani sebuah pakta dengan Komunis dan masuk ke dalam sistem politik sebagai partai oposisi. Di Chechnya, sebuah Republik Islam dihancurkan oleh invasi Rusia. Di Afghanistan, Iran dan Sudan, rezim Islam dipandang gagal oleh kebanyakan Muslim dunia karena problem salah kelola dan intoleransi. Di Iran, kegagal-
252
Zakiyuddin Baidhawy
an ini telah mendorong lahirnya gerakan pro demokrasi yang membiarkan para jin keluar dari botol.
B. Pendekatan Demokrasi Takeyh dan Gvosdev menawarkan penjelasan-penjelasan kasus spesifik untuk setiap negara dengan menambahkan sedikit hipotesis analitik dalam bab simpulan yang pendek. Berbeda dari dua penulis di atas, karya Graham Fuller sepenuhnya hampir berisi analisis. Fuller adalah seorang mantan analis dari badan CIA Amerika Serikat di mana ia membidangi masalah masyarakat Muslim dan meramal kondisi pada skala nasional. Sejak ia meninggalkan CIA sebelum berakhirnya Perang Dingin, ia merupakan penulis prolifik mengenai Timur Tengah dan masalah-masalah Islam dan sering menjadi kritikus atas kegagalan pemerintahan AS untuk memahami pandangan dunia Muslim. Pandangan dunia yang sering dikeluhkan oleh dunia justru karena ketidakseriusan untuk memahaminya sehingga seringkali melahirkan ketidakadilan dalam memperlakukan Islam baik pada skala lokal maupun global. Pada saat yang sama dukungan Barat yang hipokrit bagi otokrasi di masyarakat-masyarakat Muslim yang bertanggung jawab telah melahirkan banyak konflik berbahaya. Fuller mengkaji masalah ini dengan perbandingan antara apa yang terjadi pada masa kini dan yang akan datang. Ia yakin bahwa kebangkitan kembali Islam akan bergandengan tangan dengan norma-norma Barat untuk menghadapi persoalan-persoalan global abad 21, termasuk degradasi lingkungan, pertumbuhan dan distribusi ekonomi serta partisipasi demokrasi. Meskipun identitas keagamaan dan etnik masih tegak berdiri sebagai produk dari universalisme modernis lama, namun identitas ini merupakan cara yang signifikan untuk mengungkapkan Model Kajian Politik
253
perlawanan modernitas atas keunikan setiap individu dan kelompok. Identitas keislaman dan identitas lainnya secara menyeluruh membentuk kembali diri mereka sebagai akibat kontak dengan pencerahan dan imperialisme Barat. Peneguhan politik keagamaan boleh jadi terdengar seperti prognosis yang tidak menyenangkan, namun bagi Fuller ini bukan sesuatu yang mesti buruk. Ia berpendapat bahwa Islam politik tidak memiliki muatan substantif yang inheren, dengan perkecualian identifikasi simbolik sebagai Islami, dan mungkin suatu trik penggunaan klaim otentisitas keagamaan untuk menciptakan suatu versi modernitas yang akan lebih luas diterima oleh kalangan Muslim daripada gerakan-gerakan sekuler. Jika Islamisme akan tetap dipandang penting dalam masyarakat Muslim untuk masa depan yang dapat diprediksi, bagi Fuller Islamisme tetap dilihat dari segi keberhasilannya. Menurutnya, dua identitas modern sedang bertarung demi masa depan Islam politik: yaitu identitas liberal-kosmopolitan yang berupaya mengkombinasikan keimanan dan warisan dengan institusi-institusi dan ideal-ideal global, dan identitas radikal-eksklusif yang selalu memandang sesuatu secara negatif dan tidak menyenangkan, hitam-putih (Fuller, 194). Secara umum, kekuatan-kekuatan global cenderung pada kaum liberal. Kegagalan hirarki keagamaan tradisional telah membawa pada pluralisme defacto dalam otoritas keislaman, yang oleh sebagian pemikir Muslim dimasukkan ke dalam teori-teori normatif mereka sekaligus. Pengaruh-pengaruh multikultural sedang menyebar dengan individualisasi agama yang menciptakan “pasar agama” di mana seseorang dapat memilih ajaran-ajaran yang menarik dan mengabaikan yang lain (Fuller, 174). Perdagangan dan migrasi global tidak terelakkan akan membutuhkan kompromi
254
Zakiyuddin Baidhawy
kultural dan politik. Politik itu sendiri –seperti gerakan-gerakan Islam yang memperoleh suara dalam pemerintahan tanpa melalui kudeta dan revolusi, namun melalui keterbukaan demokratis– akan membawa gerakan-gerakan Islam berhadapan dengan kebutuhan akan konstituen. Tidak semua masyarakat Muslim akan memperoleh keuntungan dari kekuatan-kekuatan global ini. Kaum liberal sepertinya kurang berhasil di negara-negara di mana kaum Islamis dilarang berpartisipasi secara politik; di mana Muslim dibelenggu dari perdagangan dan komunikasi dunia baik melalui embargo maupun oleh penguasa mereka sendiri; di mana batasan-batasan komunal Muslim bersebelahan dengan garis konflik etnik dan sektarian yang dapat dieksploitasi oleh para pengusaha keagamaan. Di wilayah-wilayah semacam ini yang diproteksi dari tanggung jawab pemerintahan, kaum Islamis tidak akan memiliki rangsangan sama sekali untuk mengembangkan program-program politik substantif yang melampaui frase seperti “Islam adalah solusi”. Dalam beberapa hal, kebijakan AS untuk mendukung sekutu mereka yang otoriter dalam perang global atas terorisme, justru telah memperkuat musuh-musuh mereka. Karya Gilles Kepel The War for Muslim Minds mendekati beberapa isu serupa melalui kisah-kisah. Kepel, ketua kajian Timur Tengah pada Lembaga Ilmu Politik (Science Po) di Paris, memulai kisahnya dari Kesepakatan-kesepakatan Oslo yang mengulur waktu guna mencari solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Proses kesepakatan yang diselingi dengan provokasi dan permusuhan yang meningkat selama 2000-2001 ini berjalin kelindan dengan kisah neo-konservatif dalam pemerintahan Bush di Washington dan koalisi jihad global di kalangan
Model Kajian Politik
255
kaum radikal Islamis yang gagal mengganti rezim di negaranegara mereka. Kepel adalah seorang pencerita yang ulung, sama dengan Philip Zelikow seorang sejarawan yang menjadi penulis utama Laporan Komisi 9/11 (2004), meskipun tidak sekelas dengan Lawrence Wright seorang reporter yang menulis buku tentang al-Qaedah the Looming Towers (2006). Namun, jika Zelokow dan Wright mengakhiri kisah-kisah mereka pada peristiwa September 2001, Kepel bercerita lebih jauh dari itu, hingga transformasi al-Qaedah dari pusat pelatihan ke jaringan virtual, suatu kebangkitan berskala kecil namun cukup memperlihatkan penentangan mereka atas monarki Saudi Arabia dan kegagalan AS menaklukan Irak. Kumpulan cerita ini menggambarkan perkembangan yang lebih menjanjikan seperti yang telah dicakup oleh Kepel dalam buku sebelumnya berjudul Jihad (2000) yang berkisah seputar ekspansi dan kemunduran Islamisme. Buku ini secara bebas merangkai kisah-kisah yang membawa pada kesimpulan umum bahwa kekerasan kaum Islamis merupakan pertanda akhir dari gerakan yang frustasi. Sebaliknya, buku The War for Muslim Minds mengkerangka perkembangan dalam masyarakat mayoritas Muslim sebagai “politik yang berakhir dengan kematian” dan menempatkan gelombang masa depan di Eropa: “Pertempuran yang paling penting selama dekade mendatang tidak ditemukan di Palestina atau Irak namun di komunitas-komunitas kaum beriman di wilayah-wilayah pinggiran London, Paris, dan kota-kota Eropa lainnya (Kepel, 8). Jika Islam Eropa dapat diintegrasikan ke dalam politik demokratis, generasi muda Muslim Eropa “dapat menjadi garda depan dekade mendatang” (p. 9), dan ideologi demokrasi mereka dapat diekspor ke dunia Muslim (p. 266). Jika Muslim Eropa terjebak di dalam ideologi kaku, agresif yang
256
Zakiyuddin Baidhawy
berasal dari kawasan lain Mediterania, maka semuanya akan kehilangan (p. 266). Eurosentrisme biner semacam ini merupakan teka-teki, karena karya Kepel yang lain menunjukkan bahwa ia sangat sadar dengan gerakan reformis dan kosmopolitan di seluruh dunia Muslim. Juga tidak jelas apakah gerakan-gerakan Islam dipandang Kepel berpotensi untuk menjadi garda depan demokrasi, karena bab mengenai masalah ini bersifat sarkastik terhadap setiap kecenderungan pada Islam Eropa yang ia cakup: kaum integrasionis Islam yang beraliansi dengan sayap kanan pribumi, cabang-cabang Persaudaraan Muslim yang berusaha memperkuat penampilan iman mereka di ghetto Muslim Eropa, dan bahkan Islam Eropa modernis seperti Tariq Ramadhan, dipandang secara berlebihan oleh Kepel merentang antara pembicaraan hak-hak universalis dan prasangka-prasangka anti-persamaan dari konstituen yang lebih konservatif. Kepel menawarkan bukti yang relatif sedikit dalam bukunya atas kesimpulan optimistiknya bahwa Muslim Eropa sedang menaklukan Islamisme global.
C. Pendekatan Globalisasi Bukti ini disediakan oleh Olivier Roy dalam buku Globalized Islam. Ia mengajar pada akademi Paris elit, yakni The School for Advance Study in Social Science (EHESS), dan merupakan spesialis tentang Iran dan Asia Tengah pada the National Center for Scientific Research (CNRS), di mana ia menjalankan program tentang dunia Turki. Ia merupakan penulis terkenal karena karyanya The Failure of Political Islam (1992) yang berpendapat bahwa gerakan revolusioner Islamis sudah menurun pada akhir 1980an, yang menjadi landasan awal bagi gerakan yang disebut Model Kajian Politik
257
neo-fundamentalisme. Perbedaan antara dua gerakan ini adalah bahwa kaum neo-fundamentalis menolak aktivisme politik sebagai selingan dari reformasi diri. Roy menekankankan jalan oposisi kaum revolusioner yang kecewa yang ingin kembali kepada keimanan personal mereka. Sayangnya, Roy menyebut al-Qaedah sebagai neo-fundamentalis, bukan Islamis, dengan alasan bahwa gerakan ini jarang terlibat dengan politik negaranegara para anggotanya, meskipun revolusi Islam di negaranegara itu merupakan tujuan utama kelompok ini. Komunitas-komunitas Muslim di Eropa dan Amerika Utara yang jarang dibahas oleh Kepel, merupakan paling penting bagi masa depan Islam, menurut Roy, karena mereka membentuk pusat percontohan dalam globalisasi kehidupan Muslim, bukan karena mereka terpisah dan berbeda dari dunia Muslim. Misalnya, Roy mengemukakan bahwa Muslim di Barat mengalami proses intens rekonstruksi identitas, menciptakan subkultur, kelompok-kelompok non-etnik, dan solidaritas keagamaan yang menentang tradisi warisan para pendahulunya –seperti halnya migrasi di dalam masyarakat mayoritas Muslim yang memisahkan identitas dari wilayah, dengan jutaan pengungsi Afghanistan di Iran, Palestina di Kuwait, para pekerja Muslim Afrika dan Asia di Gurun Persia, dsb. Muslim di Barat memegangi agama yang telah terprivatkan, karena mereka dapat memilih kredo dari sejumlah besar otoritas Islam termasuk yang mereka peroleh dari internet. Muslim di mana pun kini dapat memilih juru dai dan mufti dari pasar agama yang diintensifkan oleh media. Muslim di Barat dan dunia menanamkan kedirian yang terinvidualisasikan melalui penanda simbolik keimanan dan kebudayaan. Muslim di Barat sedang mengarah pada upaya untuk meredefinisi keimanan sebagai nilai-nilai (yang
258
Zakiyuddin Baidhawy
bertentangan dengan otoritas atau hukum), mendorong cinta perkawinan, melahirkan persaudaraan Muslim Sufi generasi New-Age. Kecenderungan-kecenderungan pembaratan ini tidak mesti mencerabut Islam dari kehidupan kaum Muslim –dalam banyak hal keimanan dan identitas menjadi lebih penting bagi individu modern, individu refleksif– dan mereka tidak mesti mengarah pada liberalisme atau toleransi multikulturalisme. Namun, neo-fundamentalisme pada umumnya anti-kekerasan, menurut Roy, dan tidak menunjukkan ancaman yang sama seperti yang ditunjukkan oleh kaum revolusioner Islamis. Bin Laden telah memanggil jihad dan ia telah gagal (Roy, 325). Persepktif ini meskipun tersebar luas di bidang Studi Islam, namun baru mulai digunakan di luar bidang itu sendiri dan jarang digunakan pada seluruh bidang akademik.[]
Model Kajian Politik
259
260
Zakiyuddin Baidhawy
BAB 14
METODOLOGI ILMIAH MODERN DAN STUDI ISLAM
A. Pendekatan Ilmu Sejarah
S
tudi tentang agama-agama pada masa modern dan kontemporer banyak mengambil manfaat dari perkembangan metodologi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pengaruh kedua disiplin keilmuan ini cukup besar bagi perkembangan studi agama dan khususnya Studi Islam. Mengkaji Islam belum sampai pada kesimpulan yang komprehensif bila semata mengandalkan metode dan pendekatan yang sifatnya sui generis berasal dari ilmu keislaman itu sendiri sebagaimana dalam percabangan kajian Islam tradisional. Suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk memahami fenomena Islam historis dari sudut pandang yang empiris dan historis pula. Penerapan pendekatan dan metode keilmuan modern dan kontemporer dalam Studi Islam ini bukan bermaksud untuk menggantikan Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
261
apalagi menyingkirkan kajian Islam tradisional, namun lebih merupakan melihat dari perspektif lain yang dipercaya dapat memperkaya tentang pemahaman Islam dan masyarakat Muslim. Cabang-cabang kajian Islam tradisional lebih fokus pada pemahaman mengenai Islam secara tekstual. Historisitas dan pengalaman empirik luput dari kajian mendalam tentang Islam. Untuk itu, salah satu pendekatan dalam ilmu humaniora, tepatnya ilmu sejarah telah dan masih akan terus digunakan oleh para sarjana Muslim dan Barat untuk mengkaji dimensi historis dari Islam. Pendekatan historis adalah suatu upaya untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan lembaga-lembaga keagamaan melalui periode-periode waktu tertentu dalam perkembangan historis dan untuk menilai peran faktor-faktor yang berinteraksi dengan agama dalam periode tersebut. Yang utama dari analisis historis adalah penggunaan bukti-bukti pertama baik berupa sumber-sumber dokumenter maupun benda-benda yang masih dapat dijumpai/diwariskan. Bukti dokumen khususnya literatur barangkali merupakan tipe analisis historis yang lebih umum dan memerlukan perhatian khusus dalam mengkaji agama-agama. Sejalan dengan upaya sejarawan menguji reliabilitas sumbersumber dengan harapan mengungkap data historis tertentu, ia juga harus mengakui bahwa aspek-aspek tertentu dari tradisi keagamaan tidak rentan atas penyelidikan sejarah. Misalnya, masalah mukjizat yang tidak dapat dinalar oleh rasio tidak membutuhkan penelitian historis. Hal serupa juga terjadi pada kajian tentang Islam. Kajian historis tentang Islam bisa saja dibagi-bagi lagi dalam kajian yang lebih spesifik. Yang jelas ada tiga kecenderungan
262
Zakiyuddin Baidhawy
para sarjana dalam mengkaji aspek historis Islam. Pertama, kecenderungan para pengkaji untuk mempelajari sejarah Islam dengan pendekatan krononologis. Pendekatan ini bermaksud untuk menelusuri perkembangan Islam dalam lintasan sejarah. Ciri utama dari pendekatan ini adalah upaya para sejarawan untuk melakukan periodisasi perkembangan Islam. Setelah periodisasi dilakukan, mereka menjelaskan urutan-urutan peristiwa yang terjadi. Kecenderungan kajian sejarah semacam ini merupakan tipikal para sarjana Muslim. Kedua, pendekatan kawasan yang berusaha untuk memetakan sejarah perluasan dan perkembangan Islam berdasarkan teritorial atau wilayah tertentu. Islam historis diteropong pertumbuhannya berdasarkan wilayah di mana kaum Muslim tumbuh dan berkembang pesat serta menjadi penduduk mayoritas di kawasan tersebut. Wajar apabila di sini kita akan menjumpai berkembangnya departemen-departemen kajian kawasan di berbagai universitas di Barat, departemen kajian kawasan Timur Tengah, kajian kawasan Asia Tenggara, dsb. Karena ini juga yang menjadi kecenderungan kajian sarjana Barat tentang sejarah Islam. Ketiga, pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini bermaksud untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada dua pendekatan lain –pendekatan kronologis dan kawasan. Dua pendekatan ini tidak mampu menonjolkan fenomena sejarah peradaban Islam dengan memadai. Pendekatan fenomenologis, karena itu, berusaha untuk menelaah inti, semangat dan esensi dari peradaban Islam itu sendiri, sehingga pesan dan kesan terdalamnya dapat diungkap dan dipahami. Visi kajian semacam ini adalah dalam rangka agar Muslim menjadi pengarah gerak sejarah Islam pada masa yang akan datang. Tipikal kajian
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
263
semacam ini dipelopori oleh Ismail Raji al-Faruqi dan isterinya Louis Lamya al-Faruqi (2001).
B. Pendekatan Sosiologis Beberapa pendekatan modern yang digunakan oleh para sarjana dalam mengkaji agama-agama termasuk Islam adalah pendekatan sosiologis. Pada awalnya, penerapan metode sosiologis mengikuti model sosiologi umumnya seperti yang dikemukakan oleh A. Comte dan L. Von Stein, yang berkaitan erat dengan penafsiran ekonomi yang diusulkan oleh Lasalle dan Marx. Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para pendiri sosiologi agama modern: Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max Weber dan Ernst Troeltsch, Werner Sombart and Max Scheler. Pendekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji agama-agama, namun juga salah jika kita memandang bahwa pendekatan ini diyakini dapat menyajikan kunci universal untuk memahami fenomena keagamaan. Para ideolog seperti Comte, Marx, dan Spencer adalah contoh sarjana yang menganut keyakinan tersebut. Banyak para pengikut mereka cenderung menggantikan persoalan tentang makna, nilai dan kebenaran, dengan persoalan mengenai asal-usul sosial, struktur sosiologis, manfaat sosial dari kelompok atau gerakan keagamaan. Para ilmuwan sosial Amerika sangat condong bekerja mengikuti garis ini. William James telah menentang bahwa asal-usul suatu fenomena tidak otomatis membawa nilai-nilainya dan karenanya usulannya untuk penyelidikan psikologis juga diperlukan bagi pendekatan sosiologis. Meskipun demikian, pendekatan sosiologis untuk mengkaji agama-agama telah memberikan jasa besar. Sesudah berlalunya masa individualisme agama, kita dihadapkan pada 264
Zakiyuddin Baidhawy
suatu agama komunal yang juga penting. Agama komunal membantu mengoreksi prasangka rasionalistik yang hanya mempertimbangkan ekspresi intelektual dari pengalaman keagamaan. Penemuan kembali tempat pusat peribadatan dalam setiap agama membutuhkan penamaan yang hanya dapat dijawab oleh kajian sosiologi. Bila para sejarawan cenderung untuk memfokuskan perhatian mereka pada lingkungan sebagai yang utama atau bahkan faktor utama yang penting dalam perkembangan historis, maka jasa para peneliti sosoiologis telah membuka bidang yang cukup luas mengenai pengelompokkan sosial, kesepakatan sosial, dan asosiasi di mana motivasi keagamaan memainkan peran penting. Tentu saja, pengaruh ide-ide, praktik-praktik, dan institusi-institusi keagamaan atas masyarakat selalu menggugah minat para sejarawan, bahkan ia dapat diakses lebih baik dari masa di mana organisasi-organisasi masyarakat, meminjam istilah Dilthey, lebih jelas berbeda dari sistem objektifikasi kultural (hukum, seni, ilmu). Namun, ini hanya sementara sebelum peran salah satu organisasi-organisasi ini, yaitu organisasi ekonomi dalam masyarakat, jelas-jelas diakui dan didefinisikan. Liston Pope telah menulis tentang “Religion and the Class Structure” dalam Annals of the American Academy, vol 91: “Agama, meskipun erat hubungan kelembangaannya dengan struktur kelas, bukanlah suatu produk atau sebab, sanksi atau musuh dari stratifikasi sosial. Ia selalu ada dalam berbagai masyarakat pada berbagai waktu”. Di sinilah letak pentingnya karya Max Weber dan Ernst Troeltsch yang mengoreksi pendekatan tunggal teori Marxis. Landasan baru, yang belum benar-benar dicakup baik oleh sejarawan maupun teolog sebelumnya, telah muncul ketika para sosiolog agama ditanya tentang pengaruh faktor-
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
265
faktor masyarakat atas agama. Karena kontribusinya dalam hal ini sering tidak dirujuk dalam literatur tentang masalah ini, Joachim Wach menyebut pentingnya kuliah yang diberikan oleh Jacob Burckhardt, yang diterjemahkan di bawah judul Force and Freedom, dengan pandangan mereka tentang interaksi agama, kebudayaan, dan negara. Kajian tentang pengaruh stratifikasi sosial atas pengelompokan sosial dan atas struktur dan pembentukan komunitas keagamaan kini mendapat dukungan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh sejarawan dan ahli hukum. Kajian ini terjadi di Jerman, Perancis, dan Amerika yang telah menghasilkan temuantemuan menarik. Emile Durkheim, Max Weber, Howard Becker, dan lain-lain, merupakan pelopor dalam bidang ini. Sama pentingnya adalah pendekatan sosiologis untuk mengkaji kelompok keagamaan yang diorganisir secara sistematis dan tipologis, sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi. Dalam agama-agama Kristen dan non-Kristen salah satu kepedulian utama adalah komuni, jamaah. Definisi tentang jamaah menurut penafsiran masing-masing kelompok keagamaan merupakan salah satu dari ajaran utama keimanan. Pengalaman keagamaan itu sendiri pada umumnya mengungkapkan diri dalam tiga cara: dalam pemikiran, tindakan dan perkumpulan/jamaah. Tiga bentuk ekspresi ini menyatu dan hanya dalam ekspresi perkumpulan/jamaah inilah dua hal yang lain –ekspresi intelektual dan praktikal– memperoleh makna sejatinya. Mitos atau doktrin merupakan artikulasi pemikiran tentang apa yang dialami dalam berhadapan dengan Realitas Ultim; dan kultus merupakan hidup di luar konfrontasi ini dalam bentuk tindakan. Keduanya memberikan arah bagi komunitas, yang dibentuk oleh mereka yang bersatu dalam
266
Zakiyuddin Baidhawy
pengalaman keagamaan, dan komunitas ini aktif membentuk dan mengembangkan pengalaman keagamaannya dalam pemikiran dan tindakan. Di dalam dan melalui tindakan keagamaan, kelompok keagamaan terbentuk. Tidak ada agama yang tidak melibatkan perkumpulan keagamaan. Joachim Wach (1988) menekankan hubungan ganda yang menandai kelompok keagamaan yang membedakannya dari pengelompokkan lainnya: Pertama, hubungan para anggotanya –kolektif maupun individu– dengan Tuhan (numen); dan kedua, hubungan para anggota kelompok satu dengan yang lain. Bila dalam pengalaman personal hubungan yang kedua mungkin bertemu dengan yang pertama, yang secara ontologis terlepas dari yang pertama –orientasi kepada Tuhan. Dalam konteks lain, kita mengatakan bahwa hakikat, intensitas, durasi, dan organisiasi kelompok keagamaan tergantung pada cara di mana para anggotanya mengalami Tuhan, bagaimana mereka menerima dan berkomunikasi dengan-Nya, dan bagaimana mereka mengalami perkumpulan, menerimanya, dan mempraktikannya. Lebih dari tipe-tipe perkumpulan lainnya, kelompok keagamaan menyajikan diri sebagai mikrokosmos dengan hukum-hukumnya sendiri, pandangan tentang hidup, sikap dan lingkungan. Joachim Wach telah melakukan kajian tentan integrasi kelompok keagamaan secara agak panjang lebar dalam buku Sociology of Religion. Di muka kita telah melihat bahwa ekspresi simbolik dipandang sebagai sarana utama di mana para anggota komunitas keagamaan dipersatukan. Sejauh berbagai bentuk ekspresi intelektual seperti mitos dan doktrin diperhatikan, kita mencatat dua akibat yang berbeda: keduanya dapat meningkatkan perasaan solidaritas mereka yang terikat dengannya, namun
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
267
keduanya juga dapat memecah belah. Sebagian kelompok keagamaan lebih memilih pernyataan doktrin yang tepat dengan tujuan untuk memperluas kohesi para anggotanya, dan mereka hanya berkaitan dengan akibat pengaturan atas spontanitas. Komunitas lainnya menilai otonomi tanpa diributkan dengan kesamaran dan atomisme yang merupakan akibat dari ukuran yang berlebihan. Dengan mempertimbangkan ekspresi praktis dari pengalaman keagamaan, kita mencatat bahwa tindakan-tindakan ketaatan bersama dan penghambaan menyediakan ikatan kesatuan antara anggota-anggota kelompok kultus. Beribadah bersama merupakan simbol komuni spiritual terdalam. Bergabung dengan tindakan ketaatan tertentu dapat membentuk suatu perkumpulan permanen. Persaudaraan berkembang di luar pemujaan umum atas nabi atau orang suci di kalangan banyak masyarakat. Tindakan pengorbanan merupakan contoh bagi banyak tindakan kultus lainnya, tampilan yang secara sosial dapat melahirkan efek integrasi. Perayaan dan haji menghadirkan sesuatu yangi indah karena di sini kita menemukan hubungan erat antara berbagai aktivitas kultus seperti penyucian, ibadah, sumpah, bantuan, perngorbanan, dan prosesi seluruh yang merupakan minat partikular dari para sejarawan dan sosiolog agama (Wach, 1988: 42). Jadi, pada tingkat pengelompokan sosial –dalam keluarga atau rumah tangga, dalam perkawinan atau pertemanan, dalam kekerabatan atau kelompok regional, di pedesaan atau perkotaan, dalam bangsa atau komunitas keagamaan khusus– kita menyaksikan penguatan kohesi. Penguatan ini menggambarkan fungsi integrasi dari pengalaman keagamaan bersama. Sangat penting mengkaji struktur kelompok-kelompok keagamaan. Struktur ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor
268
Zakiyuddin Baidhawy
keagamaan dan faktor di luar keagamaan. Anugerah spiritual seperti penyembuhan dan pengajaran merupakan contohcontoh faktor keagamaan; umur, kedudukan sosial, etika, dan latar belakang merupakan faktor non keagamaan. Pola atau struktur ini bisa mengikuti tatanan alamiah: di mana keluarga atau suku atau penduduk berfungsi sebagai kelompok kultus, tatanan alamiah dan tatanan keagamaan itu identik. Atau pola ini mandiri sepenuhnya dan dapat berkembang secara minimal maupun maksimal. Dalam kasus terakhir struktur kelompok keagamaan akan berada pada titik yang bersebelahan dengan tatanan lainnya seperti sosial, ekonomi atau politik. Akan banyak variasi dijumpai ketika kita melihat durasi dan perbedaan antara berbagai kelompok keagamaan. Dari audiens yang ad hoc, audiens yang cepat berkumpul, dan audiens yang cepat tersebar hingga institusi-institusi yang solid dan abadi yang hidup hingga satu milenium, kita menemukan lebih kurang perkumpulan/jamaah yang temporal, lebih kurang perkumpulan yang terikat ketat. Ada empat faktor yang membuat perbedaan di dalam komunitas keagamaan. Pertama, diferensiasi fungsi. Bahkan dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari sedikit anggota yang disatukan oleh pengalaman keagamaan yang sama, tingkat pembagian fungsi akan ada. Anggota yang lebih tua atau lebih berpengalaman biasanya akan menjadi imam dalam ibadah atau dzikir; yang muda-muda bertugas menyediakan kebutuhan untuk perngorbanan. Seseorang berfungsi sebagai guru, dan yang lain adalah murid. Di Meksiko dan Polynesia kuno, di Afrika Barat, Mesir, Roma, Babylonia, dan Israel, di Hindu dan Konfusianisme, di Budha Mahayana dan Katholik, kita menemukan contoh-contoh diferensiasi dalam fungsi-fungsi kultus sekaligus diferensiasi sosial.
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
269
Kedua, dalam kelompok-kelompok keagamaan terdapat diferensiasi menurut karisma. Bahkan, komunitas paling egalitarian sekalipun mengakui keragaman “anugerah” yang berguna untuk membuat diferensiasi dalam otoritas, prestise, dan posisi dalam komunitas. Max Weber telah bicara tentang hirarki, dan ia memperkenalkan perbedaan antara karisma personal dan karisma resmi. Karisma tertinggi yang dapat diterima oleh seseorang dapat dipandang konstan dan erat hubungannya dengan Tuhan, dewa. Kekuasaan yang luar biasa dapat meningkatkan berkah. Harga diri orang semacam itu tercermin dalam pengaruhnya baik dalam hal kekuasaan, kekayaan, atau sebaliknya justru ia mencerminkan ketiadaan sifat-sifat yang sempurna seperti lemah, miskin. Setelah jenis karisma utama ini, ada karisma turunannya: mereka yang dengan beberapa kali kontak, mungkin lama dan erat, dengan “sahabat Tuhan” akan memperoleh karisma yang menempatkannya dalam kategori yang berbeda dari orang biasa dalam komunitas: seperti para rasul, sahabat, pengikut awal dari orang karismatik yang agung. Ketiga, diferensiasi dalam kelompok-kelompok keagamaan terjadi karena pembagian secara alamiah berdasarkan usia, jenis kelamin dan keturunan. Pemuda sekaligus yang tua dengan alasan yang berbeda-beda akan memainkan peran dan fungsi sendiri-sendiri baik secara individual maupun kolektif dalam kehidupan komunitas keagamaan. Tahap persiapan untuk menuju keanggotaan dengan hak-hak penuh dimulai dari tahap inisasi terlebih dahulu sampai tepat waktunya untuk partisipasi penuh. Berbagai kelompok pemuda diorganisir sesuai dengan umurnya –anak-anak, remaja dan dewasa awal. Fungsi-fungsi senat diberikan kepada mereka yang cukup umur, lebih tua; mereka yang
270
Zakiyuddin Baidhawy
tua ini memerankan sebagai guru, nabi, dan penguasa yang memainkan peran penting dalam kelompok. Keempat, komunitas keagamaan terdiferensiasi menurut status. Prinsip ini dipandang sebagai kombinasi sejumlah faktor yang dibuat untuk keragaman. Paham demokratis tentang kesetaraan semua orang beriman hanya terjadi pada masa belakangan dalam sejarah agama-agama. Di mana tidak ada perbedaan berdasarkan atas tiga kriteria di muka, perbedaan-perbedaan dengan kelompok non-keagamaan tidak mudah dilihat. Ada perbedaan-perbedaan dalam kekayaan, alam fungsinya di masyarakat luas, dan dalam tingkatan. Diferensiasi dalam komunitas keagamaan yang mengikuti faktor-faktor ini tentu saja lebih sering terjadi daripada bukan “tak resmi”: ia ada secara de facto daripada secara de jure.
C. Pendekatan Antropologi dan Etnografi Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubunganhubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempattempat tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan perbedaanperbedaan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Studi Islam dan masyarakat Muslim, karya-karya etnografi yang merupakan tipikal dari karya para antropologis bertujuan untuk menunjukkan bagaimana Islam telah dipribumikan (Eickelman, 1981: 201), bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih menonjol dipraktikkan, diinstitusionalisasikan, ditransmisikan, tumbuh bersama dan dikontestasikan dalam berbagai kawasan sekaligus, baik di lokasi-lokasi pedesaan maupun perkotaan.
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
271
Agama dan ritual disituasikan dalam kaitannya dengan kategorikategori lain seperti kekerabatan dan etnisitas, ekonomi dan teknologi, politik dan ideologi. Dalam pengertian yang lebih teoretis, para antropolog berusaha menilai seberapa besar kemungkinan untuk menggeneralisasi tentang masyarakatmasyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam rentangan tempat (dan dalam beberapa hal dalam rentangan waktu). Bagaimana hubungan antara yang satu dan yang jamak, yang universal dan yang partikular, Islam dan keragaman empirik dari Islam yang majemuk (El-Zein, 1977). Tentu saja, semua metode ilmiah memiliki keterbatasanketerbatasan dan ambiguitas-ambiguitas sekaligus kemungkinan, sementara kebanyakan antropolog kini membutuhkan disiplin-disiplin dan sumber-sumber lain, pengamatan partisipan di bidang ini selama berbulan-bulan, dan kadang-kadang bertahun-tahun, tetap menjadi jantung kepedulian disiplin antropologi. Pada tingkat terbaiknya, etnografi dapat diandalkan untuk mengurangi reduksi, lebih melihat dari bawah, mempertimbangkan bagaimana Islam dan Muslim disituasikan dan dinegosiasikan secara kreatif dalm suatu kompleksitas dan seringkali kontradiksi dengan kehidupan orang-orang lain yang sangat berbeda. Sementara identitas Muslim dalam modernitas global dibentuk oleh wacana negara-bangsa yang menghegemoni dan menyeragamkan, lembaga-lembaga pendidikan mereka sekaligus media elektronik transnasional, proses migrasi internasional dan gerakan-gerakan kebangkitan agama yang tidak mengenal batas teritorial, metode “thick description” (deskripsi mendalam) yang dikontekstualisasikan dapat membuka kemungkinan bagi akses pada kemanusiaan pihak lain (Fisher & Abedi, 1990: xix). Sementara para kritikus poskolonial
272
Zakiyuddin Baidhawy
tetap khawatir dengan patologi esensi kebudayaan yang terbatas yang diasosiasikan dengan antropologi pada periode kolonial, sejak 1980-an khususnya, seorang posmodernis yang akhirnya terjun ke dalam disiplin ini telah mempromosikan agendaagenda yang lebih kosmopolitan bagi kebudayaan menulis. Upaya melahirkan “fiksi-fiksi sejati” yang lebih bersifat temporal dan dialogis daripada pendekatan-pendekatan ilmiah dan positivistik lama, kini telah terbuka lebar (Clifford & Marcus, 1986: 6). Etnografi baru juga mendorong antropologi sebagai kritik refleksif atas penyajian-penyajian yang simplistik mengenai orang lain yang dipandang eksotik dalam kacamata wacana Barat yang hegemonik (Marcus & Fisher, 1986: x). Dalam konflik dan krisis lokal-global saat ini, di mana Islamofobia dan kontestasi klaim-klaim Muslim atas nama Islam seringkali muncul, maka agenda-agenda antropologi dan etnografi memiliki kontribusi penting untuk membuat Studi Islam diterima lebih luas. Dalam suatu laporan akhir tentang Islam di Universitas-universitas di Inggris, definisi Studi Islam, tempat dan peran studi etnografi dan sosiologi tentang Muslim terdaftar sebagai tema penting yang dibahas dengan para ahli (Siddiqui, 2007: 4). Beberapa pakar menghendaki agar muncul suatu bidang baru Studi Islam dan Muslim yang dikaji melalui pendekatan etnografi dan sosiologi sebagaimana kajian Studi Islam yang berbasis pada teks. Siddiqui (2007: 7) menyatakan bahwa kelayakan teknik-teknik ilmiah sosial untuk Studi Islam perlu lebih dipersoalkan secara energetik daripada sebelumnya. Implikasinya studi semacam ini perlu meletakkan seorang peneliti sebagai “orang dalam”. Selama ini Studi Islam di sebagian universitas di Barat yang mengajarkan semua aspek keislaman disampaikan di bawah sosiologi atau antropologi, sejarah atau
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
273
politik, namun para pengajarnya gagal menggambarkan dimensi-dimensi keimanan yang utama dan menyatu. Siddiqui benar dalam menyinari kesenjangan signifikan, antara lain: a) projek yang mapan dalam kajian tentang sumber-sumber utama sejarah penyelamatan Islam sekaligus berbagai genre tradisi intelektual klasik, dan b) minat keilmuan sosial yang kurang mapan terhadap apa yang disebut “studi tentang masyarakat Muslim”. Problem utamanya barangkali adalah sedikitnya pengkaji memiliki kesempatan untuk mengembangkan kepakaran baik dalam kajian teks yang sangat spesifik yang biasa diasosiasikan dengan Studi Islam maupun studi tentang masyarakat dan kebudayaan Muslim kontemporer. Juga benar bahwa ideologi sekuler dari ilmu sosial seringkali gagal melakukan kajian tentang agama secara serius, meskipun ada banyak bahaya juga dalam esensialisme yang diilhami secara teologis sebagaimana kritik fenomenologi dalam Studi Agama (Flood, 1999; Fitzferald, 2000). Bagaimanapun, dalam upaya menekankan “dimensi-dimensi keimanan yang utama dan menyatukan”, Siddiqui (2007: 36) memperkuat hegemoni Islam normatif, yang menghilangkan belitannya yang tak terelakkan dengan relasi-relasi sosial dan pola-pola kultural tertentu. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, studi tentang Islam dan Muslim kontemporer harus menguji hubungan antara yang universal dan yang partikular, daripada menekankan satu atas yang lain. Menulis kembali Studi Islam yang berpusat pada teks dari pinggiran etnografi dan sosiologi, maka perlu ada perubahan Studi Islam dan Muslim yang dilakukan dalam antropologi, dari etnografi kolonial melalui fungsionalisme ke relasi antara tradisi besar dan tradisi kecil, sebagaimana ditekankan oleh Geertz
274
Zakiyuddin Baidhawy
dalam Islam Observed (1968) dan perdebatan-perdebatan yang terus menerus tentang Islam dan islam yang plural. Edward Said (1978) telah mendekonstruksi wacana paradigma dominan dalam Studi Islam di Barat modern, sebuah kritik yang sangat berpengaruh dalam memperkuat signifikansi perspektif poskolonial dan posstrukturalis dalam antropologi dan etnografi, sekaligus kajian Timur Tengah. Tentu saja, sebagaimana dikatakan Clifford (1988), ada krisis representasi dalam antropologi sebelum masa Said. Hingga 1960-an dan awal 1970-an, disiplin ini ditantang oleh kritik dari kalangan dalam, sebagian berhubungan dengan perbandingan langsung antara orientalisme dan antropologi (Asad, 1973). Deskripsi yang agak skematik tentang asal-usul kolonial antropologi dapat menelusuri semakin banyak digunakannya ide-ide evolusionis abad 19 untuk melegitimasi kontrol atas penduduk “primitif”, sementara dokumentasi karya-karya fungsionalisme tentang masyarakat belakangan mendukung manajemen mereka oleh rezim Eropa yang lebih mapan. Peran antropolog (yang lebih menyerupai orientalis) dalam pemerintahan kolonial sesungguhnya relatif kecil dan tidak merefleksikan ideologi imperial dalam arti sempit sekalipun. Seorang antropolog dan kritikus poskolonial Talal Asad (1973: 18), yang barangkali lebih jelas daripada Said berkenaan dengan kesadaran borjuis di kalangan antropolog sosial, mengatakan bahwa di dalam disiplin ini selalu terkandung suatu kontradiksi dan ambiguitas yang mendalam. Di lain tempat, ia juga menyatakan bahwa fakta kekuasaan Eropa dalam wacana dan praktik, selalu menjadi bagian dari realitas yang hendak dipahami oleh para antropolog, dan cara yang ingin mereka mengerti (Asad, 1991: 315). Di
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
275
Timur Tengah, invasi singkat Napoleon atas Mesir (1798-1801) dan surveynya tentang negara itu menggambarkan suatu arah baru pengetahuan etnografi di bawah kekuasaan kolonial (Said, 1978: 87). Dari pertengahan abad ke-19 khususnya, kontrol Eropa juga membuat perjalanan ke kota-kota besar di dunia Muslim dan aman bagi para pelancong, penulis dan sarjana Barat. Lancar berbahasa Arab dan bahasa Islam lainnya, dan sering mengadopsi pekaian dan nama-nama pribumi, para orientalis terdidik termasuk sebagian yang dibahas oleh Said, telah memperlama periode pendudukan di Timur Tengah, dan melahirkan deskripsi-deskripsi yang dikonsumsi oleh publik Barat. Meskipun demikian, ada juga karya-karya yang sangat berminat untuk menteoretisasi masyarakat Arab dengan penghargaan tinggi atas tradisi kesarjanaan Muslim. Apa pun kontestasi yang terjadi dalam sejarah kajian ini, pandangan-pandangan proto-antropologis abad ke-19 dan awal abad ke-20 memahami betapa tidak pentingnya perbedaan antara filologi dan etnografi, kajian teks dan konteks kultural. Hanya sedikit orientalis yang berminat pada folklor dan kebiasaan-kebiasaan serta kultur orang suci, menginginkan agar kajian ini menjadi lebih profesional dan peduli dengan teori, dan kajian antropologi tentang masyarakat Muslim masih sangat jarang hingga 1960-an. Pembagian kerja menjadi terlembagakan di mana kaum orientalis tidak berminat pada kajian tentang suku-suku atau penduduk yang hidup, sementara antropolog menjauhi kota-kota dan jarang membaca teks. Yang terakhir ini melahirkan akibat praktis berupa pengabaian atas teks di kalangan antropolog. Orientalis mengkaji tradisi-tradisi elite
276
Zakiyuddin Baidhawy
dan istimewa, sementara antropolog mengkaji kebudayaan oral dari masa yang buta huruf. Sebagai suatu disiplin yang memperoleh bentuk modernnya pada akhir periode kolonial, sejarah wacana antropologi tentang Islam dan masyarakat Muslim relatif singkat. Pendekatan holistik fungsionalisme mendominasi antropologi dari 1920an-1950an dan pada masa-masa inilah ada tumbuh minat terhadap Timur Tengah dan dunia Muslim sebagai peradaban yang kompleks dan berskala besar lengkap dengan berbagai tradisi kesusastraannya. Setelah Franz Boas dan Bronislaw Malinowski yang menekankan metodologi kerja lapangan yang ketat sekaligus relativisme kultural atau partikularisme historis dan fungsionalitas institusi-institusi sosial, para antropolog lebih memilih melakukan penelitian mereka tentang suku-suku atau desa-desa kecil, relatif terisolasi dan secara sosial tertutup. Relatif sedikit minat pada perubahan dan transformasi sosial, misalnya dalam masalah hubungan komunitas manusia dengan ekonomi dunia atau dengan gerakan-gerakan untuk kemerdekaan politik. Karena kekurangan dalam ketrampilan berbahasa untuk mengkaji teks-teks Islam yang biasanya menjadi keahlian para orientalis, jika mereka menyebut Islam dalam gambaran yang rinci, para antropolog Barat yang bekerja di masyarakatmasyarakat Muslim cenderung mencatat apa yang komunitas tertentu terima dari tradisi besar, misalnya rukun Islam yang lima, dan apa yang telah diasimilasi melalui tradisi kecil, misalnya pemujaan orang suci dan ziarah ke makam mereka. Memerhatikan masalah ini yang jarang dikaji dalam literatur antropologi, wajar bila Islam tidak dipandang penting dan tidak pula kontroversi dalam disiplin antropologi.
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
277
D. Pendekatan Fenomenologi Ada premis dalam fenomenologi agama bahwa manusia secara fitrah beragama dan fenomena keagamaan sama kompleksnya dengan manusia itu sendiri. Premis ini membawa para sarjana untuk bersimpati dan rendah hati ketika mereka mencoba menjelaskan fenomena keagamaan. Dalam konteks Studi Islam, sejak pertengahan kedua abad 20, pandangan simpatetik telah menjadi kecenderungan umum sebagai lawan dari prasangka dan miskonsepsi sarjana Barat yang dikritik oleh Norman Daniel dalam Islam and the West dan Edward Said dalam Orientalism (1978). Jadi pendekatan fenomenologi berusaha untuk menengahi antara sikap yang kering dan tidak simpati dari pendekatan positivistik terhadap agama dengan teologi konservatif. Tidak persis betul sebagai jalan tengah karena banyak sarjana mengusulkan berbagai cara di ruang yang sempit ini. Ada beberapa studi yang berupaya untuk menjelaskan hakikat fenomenologi agama. Arvind Sharma adalah salah seorang sarjana yang mencoba mendefinisikan metode fenomenologi dengan menganalisis definisi-definisi yang diusulkan oleh pra fenomenolog agama seperti Brede Kristensen (1867–1953) dan Gerardus van der Leeuw (1890–1950). Dari kajiannya, Sharma (1975: 95) mendefinisikan bahwa “fenomenologi agama adalah suatu metode kajian agama yang ditandai dengan upaya mencari struktur yang mengarisbawahi data keagamaan yang dapat diperbandingkan sehingga tidak menyalahi pemahaman orangorang beriman itu sendiri”. Paralelitas antara berbagai tradisi keagamaan tidak muncul dari luar dinamika interaksi historis, namun muncul dari keserupaan-keserupaan proses struktural. Inilah yang membuat fenomenologi agama berbeda dari sejarah agama. Beberapa contoh kajian di bawah ini adalah gambaran 278
Zakiyuddin Baidhawy
tentang bagaimana mengkaji Islam berdasarkan pendekatan fenomenologi. Willem A. Bijlefeld (1972) membahas fenomenologi agama mulai dengan merujuk langsung pada artikel Adams tentang ”The History of Religions and the Study of Islam“. Ia mengatakan bahwa Adams tampak melakukan kajian serius dalam fenomenologi agama. Namun, pendekatan fenomenologinya berbeda dari Adams dan Bausani. Ia memberikan catatan atas pendekatan Bausani tentang “kajian histories-religius Islam’. Metode ini mencoba mengintegrasikan perspektif fenomenologi ke dalam disiplin sejarah. Menurut Bijlefeld (1972: 1), ini mengundang perdebatan karena membutuhkan tipologi fungsional perbandingan. Tipologi fungsional adalah usaha untuk menemukan fenomena yang paralel dari berbagai tradisi keagamaan dan menafsirkannya ”dari dalam struktur (historis) luas yang dimiliki agama-agama dan dengan mempertimbangkan bagaimana tradisi itu berfungsi dalam konteks tipologis yang ada”. Baginya, tipologi fungsional ini akan mereduksi fenomenologi menjadi kajian perbandingan semata. Kritiknya atas Bausani mengimplikasikan dirinya ditempatkan dalam posisi yang bertentangan dengan Adams dan fenomenologi klasik, khususnya tipe historis-tipologis yang mencoba mengeksplorasi data yang saling berhubungan melampaui berbagai tradisi keagamaan. Bijlefeld (1972: 4) mengusulkan pendekatan fenomenologis total terhadap sejarah di mana ”penyelidikan secara sengaja dan konsisten untuk mempersoalkan apa itu tradisi keagamaan dan data spesifik yang di dalamnya terkandung makna dan sarana bagi komunitas keagamaan dan individu orang beriman. Jadi, pendekatan fenomenologi adalah upaya menggali perspektif orang dalam (insider). Semua perspektif orang dalam mesti
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
279
dipertimbangkan tanpa memandang tingkat intelektual mereka. Bijlefeld menyebut dua wilayah spesifik Studi Islam yang paling sesuai dengan pendekatan fenomenologi: studi tentang Al-Qur’an dan Muhammad saw. Menurutnya, banyak kajian Barat tentang dua hal ini menghasilkan kesimpulan yang sama sekali bertentangan dengan tradisi Muslim karena perbedaan sikap sarjana Barat terhadap tradisi Islam. Melalui pendekatan fenomenologi, ia mengusulkan perspektif alternatif yang mengakui Al-Qur’an dan Muhammad saw. sebagaimana adanya dan seperti yang dipahami oleh Muslim sendiri. James E. Royster secara khusus menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mengkaji tema Muhammad saw. Royster (1972: 49-63) telah melakukan survei terhadap berbagai pendekatan untuk mengkaji Muhammad saw. yang dilakukan Barat. Ia menyatakan bahwa kajian-kajian ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe: normatif, deskriptif dan fenomenologis. Pendekatan normatif adalah kajian yang menggunakan normanorma eksternal untuk menilai sejarah. Dalam hal ini, ada dua posisi ekstrem: apologetik yang hanya menyajikan pandangan yang positif; dan polemik yang hanya mengungkapkan yang negatif. Pendekatan deskriptif bersandar hanya pada bukti empirik dalam upaya menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Pendekatan ini miskin data primer dan seringkali jatuh pada generalisasi tak terkendali. Pendekatan ini sering mereduksi tafsir sejarah, reduksionisme alamiah yang berupaya menjelaskan mukjizat Nabi sebagai fenomena alamiah; reduksionisme psikologis yang menafsirkan keberhasilan Muhammad saw. atas dasar kepribadiannya; reduksionsme kultural yang menempatkan Muhammad saw. dalam konteks sosio-ekonomi lebih luas
280
Zakiyuddin Baidhawy
sehingga mengabaikan karakter transendentalnya; dan reduksionisme eksordial yang menemukan pengaruh Yahudi dan kristen atas Muhammad dengan maksud untuk membuktikan kepalsuannya. Pendekatan fenomenologis bersandar utamanya pada pandangan-pandangan orang beriman. Jadi, ia menghindari subjektivisme dari pendekatan normatif dan reduksionisme dari pendekatan yang murni deskriptif. Bagi Royster (1972: 69-70), alternatif terbaik adalah: Pertama, fenomenolog mesti menghindari nafsu menghegemoni perspektif Muslim. Tujuan fenomenolog ialah memahami kepercayaan semua orang termasuk tafsir yang paling kontroversial di dalam suatu tradisi. Seorang fenomenolog tidak boleh memilih satu tafsir atas tafsir yang lain. Kedua, Royster secara langsung menjawab masalah perbedaan antara ”apa yang sebenarnya terjadi” dan ”apa seharusnya terjadi”. Baginya, pendekatan fenomenologi tidak memandang penting perbedaan dua hal ini. Menurutnya, sejarah dapat dikonseptualisasikan sebagai mitos, yaitu citra, makna, pemahaman, kepercayaan dari pengikut suatu tradisi keagamaan tanpa memandang bukti histositasnya. Tugas fenomenolog adalah bukan untuk menemukan ”apa yang sebenarnya terjadi” sebagai lawan dari ”apa yang seharusnya terjadi”, namun melampaui itu semua, yaitu memahami makna mitos bagi orang beriman. Ronald L. Nettler (1973) berusaha mengembangkan pendekatan fenomenologi terhadap teologi Islam. Ia mengatakan bahwa minat utama sejarawan agama-agama adalah fenomena keagamaan yang non-rasional, karena itu pemikiran rasional seperti teologi dan hukum suci yang telah banyak dikaji dalam Islam tidak perlu dipertimbangkan. Nettler terdorong untuk
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
281
mengisi kesenjangan ini dan mencoba mengadaptasi pendekatan fenomenologi atas rasionalisme skolastik dalam teologi Islam. Ia mengklaim bahwa pendekatan ini merupakan kombinasi antara orientalisme klasik dan sejarah agama-agama. Maksudnya, ia menerapkan metode analisis teks orientalis atas teks-teks teologi Islam dan kemudian menafsirkannya sesuai dengan kerangka pendekatan fenomenologi yang dikenal dalam sejarah agamaagama. Melalui kombinasi ini, ia yakin bahwa para sarjana akan terhindar dari kajian yang kering, sikap yang kurang spiritual dari kaum orientalis atas teks-teks teologi Islam. Hermann Landolt (1991) memandang bahwa teori al-Ghazali tentang agama serupa dengan pendekatan fenomenologi yang dijelaskan Adams. Konsep Adams tentang ”epoche”, menunda penilaian kita tentang agama yang hendak kita pahami, sama dengan sikap al-Ghazali dalam pencariannya menuju kebenaran. Dalam karya al-Ghazali al-Munqidh Min ad-Dalal, menurut Landolt, al-Ghazali menjelaskan bahwa ia telah berhadapan dengan masalah bagaimana manusia mencapai kebenaran: yakni perbedaan antara praktik berbagai tradisi keagamaan dengan kapasitas manusia atau fitrah untuk mengetahui kebenaran sebagaimana adanya. Ghazali mengklaim bahwa ia membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan ”imitasi yang membutakan” dan menjalankan pencarian tanpa lelah akan kebenaran di manapun ia jumpai. Landolt memandang bahwa problem al-Ghazali sebenarnya adalah ”problem yang paling penting dalam ilmu agama-agama”. Sikap terbuka al-Ghazali sangat selaras dengan pendekatan ”irenic” model Adams dalam mendekati keimanan orang lain, inilah aspek pertama dari pendekatan fenomenologi Adams.
282
Zakiyuddin Baidhawy
Pendekatan fenomenologi Adams dalam mengklasifikasi fenomena keagamaan ke dalam skema taksonomi yang melampaui batas-batas berbagai agama dan kebudayaan juga serupa dengan al-Ghazali. Menurut Landolt (1991: 31-33), pendekatan Adams sangat paralel dengan teori al-Ghazali tentang agama, khususnya dalam bahasan mengenai hijab dalam kitab Mishkat al-Anwar. Menurut al-Ghazali, ada tiga macam atau kelas manusia yang dikelompokkan secara hirarki. Pada tingkat bawah adalah mereka yang dihijab oleh kegelapan secara total, kemudian mereka yang dihijab oleh cahaya yang bergabung dengan kegelapan, dan pada tingkat atas adalah mereka yang dihijab oleh cahaya murni. Mereka yang dihijab oleh kegelapan total adalah kaum atheis (al-mulhidun) atau materialis yang tidak mengakui ”sebab” alam semesta ini. Ia memasukkan kaum hedonis dalam kategori ini. Mereka yang dihijab oleh cahaya dan kegelapan adalah kaum politheis, penyembah berhala, penyembah api, penyembah bintang, penyembah matahari, dan kaum dualis yang dihijab oleh persepsi inderawi. Kategori ini juga memasukkan kaum monotheis korporealis (almujassimah) yang dihijab oleh citra ruang. Kelompok ini terdiri dari kaum sifatiyyah yang dihijab oleh nalar analogis yang salah, termasuk kaum mutakallimun yang mengkonseptualisasikan sifat-sifat Tuhan dengan menggambarkan analogi dengan sifatsifat mereka sendiri seperti mendengar, bicara, dst. Akhirnya, pada hirarki teratas adalah mereka yang dihijab oleh cahaya murni, yaitu mereka yang menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan tidak analog dengan sifat-sifat manusia, namun menjelaskan Tuhan dalam kaitannya dengan makhluk; mereka yang berpikir bahwa Tuhan itu Esa yang menggerakkan tubuh yang mencakup seluruh lapisan; dan mereka yang berpikir bahwa gerak tubuh
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
283
alam menghendaki kepatuhan kepada para pembantu-Nya, para malaikat, karena gerak tidak secara langsung disebabkan oleh Tuhan. Menurut Landolt, tiga kelas ini oleh al-Ghazali terdiri dari mutakallimun, al-batiniyyah, dan filosof. Pada tingkat tertinggi hanya terdiri sedikit orang yang benar-benar tidak terhijab. AlGhazali menyebut mereka adalah para sufi. Karya Annemarie Schimmel menunjukkan pendekatan simpatetik, pendekatan fenomenologinya terhadap Islam. Fakta ini diakui baik oleh Islamicis Muslim maupun non-Muslim, seperti Adams dan Nasr. Di samping itu, kuliahnya yang berjudul Deciphering the Signs of God, A Phenomenological Approach to Islam (1994) barangkali merupakan karya terpenting tentang Islam yang menggunakan pendekatan fenomenologi. Karya Schimmel merupakan kombinasi antara kajian atas teks-teks Islam/kanon dan Islam sebagai agama yang hidup yang dialami oleh Muslim. Ia juga secara implisit merasa bahwa tidak perlu membedakan antara Muslim terdidik dan tidak terdidik. Ini jelas berbeda dari karya Adams dan juga gurunya Friederich Heiler (1892-1967). Meksipun pendekatan Schimmel fokus pada eksplorasi pengalaman orang dalam, ia tidak berpikir bahwa dirinya dapat mengkaji Islam secara objektif karena implikasi dari prinsip epoche. Ia mengatakan, ”Secara personal, saya kagum bahwa kajian agama yang dilakukan secara objektif penuh adalah mungkin ketika kita menghargai wilayah Numinous... dan bias personal dari peneliti tidak dapat menjadi namun terefleksi dalam kajian –bias yang tentu saja cenderung lebih menuju kecenderungan-kecenderungan mistik dan puitik di dalam Islam daripada ke aspek legalistik” (Schimmel, 1994: xi-xii).
284
Zakiyuddin Baidhawy
Dalam kuliah-kuliahnya, di samping menunjukkan ciri khas fenomenologis dalam menilai perspektif orang dalam, Schimmel menerapkan setidaknya tiga macam pendekatan fenomenologi atas Islam. Pertama, ia menggunakan model yang diusulkan oleh gurunya Friedrich Heiler, untuk mengorganisir dan menafsirkan fenomena keagamaan Islam sebagai manifestasi Numinous. Kedua, ia mencoba menemukan struktur Islam sebagai agama yang hidup yang menyediakan makna bagi kehidupan. Ketiga, ia mencoba menjelaskan aspek-aspek Islam dalam suatu tipologi yang awalnya diusulkan Van der Leeuw. Sembari sepenuhnya sadar atas subjektifitas, Schimmel mengorganisir dan menafsirkan fenomena Islam yang tercermin dalam teks-teks keagamaan dan kehidupan keseharian Muslim melalui tiga tipe pendekatan fenomenologi. Pertama, ia mencoba menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan model Heiler tentang wilayah-wilayah Numinous. Prosedur dari model Heiler adalah ”dengan mengkaji pertama fenomena dan kemudian lapisan-lapisan terdalam dari respon manusia atas Tuhan hingga ia mencapai inti kesucian yang paling dalam dari agama, pusat, Numinous”. Schimmel menemukan pendekatan ini sangat membantu dalam menjelaskan fenomena Islam, khususnya karena afinitasnya dengan konsep sufi tentang berbagai lapisan keberagamaan. Dalam hal ini, pemahaman Muslim bahwa segala sesuatu adalah tanda Tuhan merupakan titik kunci bagi Schimmel untuk mengeksplorasi semua fenomena keislaman. Enam bagian dari bukunya mencerminkan gerakan dari manifestasi paling lahiriah dari Numinous ke bagian paling inti dari misteri Tuhan: 1) aspek-aspek suci dari alam dan kebudayaan; 2) ruang dan waktu suci; 3) tindakan suci; 4) firman dan kitab;
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
285
5) individu dan masyarakat; dan 6) eskatologi. Dalam bagian eskatologi, ia menyatakan bahwa Tuhan dalam Islam merupakan deus absconditus, misteri yang hanya diketahui oleh Tuhan dan Tuhan sendiri (Schimmel, 1994). Pendekatan keduanya berkaitan dengan struktur Islam sebagai agama yang hidup. Ia mengatakan, sebagai agama yang hidup, Islam mengalami ketegangan yang konstan antara dua sisi: Islam normatif yang disajikan oleh kaum teolog dan ahli fikih dan Islam rakyat yang didukung oleh sufi. Dinamika Islam terletak pada kesalingpengaruhan secara terus menerus antara dua sisi ini. Dialektika tercipta antara sunnah dan bidah, antara kebiasaan dan hukum-hukum syariah, antara zahir dan batin, antara eksoterik dan esoterik. Kesalingpengaruhan antara Islam normatif dan Islam rakyat idealnya melahirkan posisi tengah, sepertihalnya posisi Muhammad saw. yang terletak antara legalisme kaku Musa dan asketisme Isa. Schimmel kemudian berpendapat bahwa kaum sufi yang sederhana sering berusaha untuk merusak keseimbangan antara dua aspek tersebut dan menunjukkan bahwa setiap kemajuan atau peristiwa spiritual yang luar biasa bertentangan dengan keseimbangan Hukum. Dengan kata lain, kaum sufi lebih inklusif karena mereka berorientasi cinta sebagai lawan dari orientasi nomos/hukum dari Islam normatif. Di samping itu, kredo sufi adalah ”tidak ada wujud kecuali Allah” (the mystical No), sementara kaum kredo teolog adalah ”Tidak ada Tuhan kecuali Allah (the prophetic No). Kredo yang pertama inklusif karena kredo ini memasukkan segala sesuatu sementara kredo yang terakhir adalah eksklusif karena ia berarti ”apa pun yang bertentangan dengan kebenaran mutlak adalah bahaya, berdosa, dan sebagai Muslim kita harus mengatakan ”la” (tidak) (Schimmel, 1994: 245-249).
286
Zakiyuddin Baidhawy
Pendekatan ketiga Schimmel menggunakan tipologi yang kali pertama diusulkan oleh Van der Leeuw. Ia berpendapat bahwa sebagai ganti dari pilihan atas tipologi keagamaan tunggal, Islam cocok untuk semua tipologi. Islam adalah agama pengabdian karena menurut Al-Qur’an kita harus menjadi khalifahNya. Abdullah, hamba Allah adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai manusia. Islam juga agama perjanjian karena AlQur’an menyebutkan perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan. Manusia berjanji untuk mengakui Tuhan sebagai Pencipta. Lebih jauh, Islam adalah ”agama tanpa istirahat” karena dalam Islam, Tuhan sebagai Tuhan Maha Hidup selalu ”sibuk”. Kaum Muslim harus meniru Tuhan dengan tujuan agar dekat dengan-Nya. Islam juga ”agama Kemuliaan dan Rendah Hati”, karena Islam sendiri secara harfiah berarti berserah diri kepada Yang Maha Mulia yang mengatasi semua kemuliaan. Akhirnya, Schimmel berpendapat bahwa sejarawan agama-agama mungkin terkejut melihat bahwa Muslim selalu memandang Islam sebagai “agama cinta”. Al-Qur’an (3: 31) jelas menyatakan bahwa jika orang beriman cinta Allah, mereka harus mengikuti Nabi karena Allah memandangnya sebagai kekasih-Nya (Schimmel, 1994: 252-255). Poin paling penting dari pendekatan Schimmel adalah pandangan historisnya. Ini tidak umum di kalangan fenomenolog, namun ini menjelaskan bahwa posisinya signifikan. Ketika ia bicara tentang fenomena Islam apa pun utamanya dalam hal keserupaannya dengan tradisi-tradisi agama lain, ia menghindari penjelasan kaum difusionis yang biasa diagunakan oleh sejarawan Islam. Ini bukan berarti bahwa ia mengabaikan kenyataan bahwa Muslim dipengaruhi oleh tradisi-tradisi agama lain, namun ia menyatakan bahwa ”pengaruh-pengaruh ini bukanlah
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
287
nilai yang mutlak: suatu agama mengambilnya hanya sebagai ide, kebiasaan dan kecenderungan yang dengan satu atau lain cara sesuai dengan hakikat batiniahnya” (Schimmel, 1994: viii, xiii). Pandangan tentang keunikan setiap tradisi keagamaan mungkin tampak paradoks dengan pahamnya tentang Numinous yang bukan hanya misterius bahkan juga universal.
E. Pendekatan Arkeologi Studi Islam yang berkaitan dengan perkembangan Islam di berbagai kawasan juga berkembang. Dalam waktu yang cukup lama, Studi Islam lebih terfokus pada kajian Islam di kawasan Timur Tengah. Padahal, banyak kawasan lain di luar Timur Tengah menjadi tempat berkembangnya kebudayaan dan peradaban Muslim, seperti Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara di mana Islam tumbuh. Khususnya kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar dunia berada, adalah suatu kawasan yang lebih banyak didominasi oleh kajian para sejarawan dan antropolog. Meskipun demikian, kajian para sarjana Barat itu mengungkapkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan Islam Asia Tenggara dan relevan untuk kajian arkeologi. Kajian arkeologi ini akan memberikan jawaban atas apa yang belum disentuh secara memadai oleh kalangan sejarawan dan antropolog. Persoalan yang diajukan oleh arkeologi terhadap kajian Islam di Asia Tenggara terkait dengan masalah: kapan Islam kali pertama datang di kawasan ini, di mana pintu masuknya, siapa yang membawanya dan dari mana dibawa. Banyak pengunjung Asia Tenggara yang kesan-kesan tercatat mereka diabadikan dalam bentuk tulisan juga menggambarkan tentang bagaimana dan kapan Islam muncul di kawasan ini. Para 288
Zakiyuddin Baidhawy
pengunjung dari Eropa biasanya berkaitan dengan masalah: para pedagang Portugis kali pertama mencapai India Timur selalu mencatat bahwa pembawanya adalah orang-orang Moor. Para pengunjung Eropa Kristen lainnya berminat atas persoalan ini karena perjalanan mereka sebagian dimotivasi oleh persaingan baik atas alasan ekonomi maupun ideologis dengan Muslim. Para pengamat Eropa yang tulisan-tulisannya cukup banyak tentang dokumen-dokumen lama yang tersedia tentang Islam Asia Tenggara berspekulasi bahwa Islam telah dibawa ke wilayah ini oleh para pedagang daripada para agamawan. Dokumendokumen ini merupakan catatan para pengamat yang secara ideologis, bias dan tidak selalu menyediakan informasi yang akurat. Pertanyaan tentang asal-usul Islam Asia Tenggara terus menjadi minat utama baik bagi sarjana Asia maupun non-Asia. Menariknya, teori-teori yang ada tentang kronologi konversi dan para pembawa ide Islam ke wilayah ini belum beranjak dari spekulasi orang-orang Portugis awal. Secara umum, teori-teori ini menyatakan bahwa Islam dibawa ke Asia Tenggara utamanya oleh para pedagang daripada agamawan atau misionaris dan para pedagang ini berasal dari Asia Selatan daripada Timur Tengah. Masa kali pertama pengaruh Islam atas kepulauan ini juga lebih disandarkan atas bukti dari catatan-catatan tentang nisan-nisan di pemakaman Muslim, yang paling awal ditemukan di Sumatra pada abad ke-12. Ada sebagian bukti dari teks-teks Arab bahwa Muslim Arab telah mengunjungi wilayah ini lebih awal, dan tampaknya ide-ide Islam telah diperkenalkan ke wilayah ini pada abad ke-10 dan ke-11 (Tibbetts 1979). Persoalan islamisasi berkaitan dengan bagaimana Islam diterima dan dipraktikan oleh para pemimpin politik dan sejumlah besar pengikut mereka. Hal ini didasarkan pada bukti
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
289
kronologi dan konteks kebudayaan yang diyakini para sarjana membawa ide-ide Muslim ke kawasan ini. Dua pendekatan teoretis mendasar membimbing persoalan ini. Pertama adalah konversi dari atas ke bawah, di mana para pemimpin politik mengendalikan konversi skala besar para pengikut mereka; kedua adalah bahwa islamisasi merupakan proses dari bawah, di mana para pemimpin politik konversi hanya ketika pengikut mereka dalam jumlah yang cukup telah menjadi Muslim. Dalam dua kerangka teoretik ini, muncul perdebatan tentang peran relatif Islam politik dan kaum sufi yang dalam tingkatan tertentu keterkaitannya dengan ide-ide Muslim dapat dipahami dan dilihat pada bangsa-bangsa Asia Tenggara dan sistem-sistem kepercayaan yang sudah ada sebelumnya (Reid, 1995). Mempertimbangkan kurangnya teks-teks dari periodeperiode paling awal dan terbatasnya teks-teks dari periode belakangan, kita berpikir bahwa pra arkeolog perlu mengisi kekosongan ini. Meskipun ada peluang yang cukup besar bagi data arekologi untuk membuat sesuatu yang lain, sayangnya penelitian arkeologi dalam masalah ini relatif masih sedikit yang berkaitan dengan jawaban atas masalah asal-usul dan adaptasi Islam di Asia Tenggara. Baik para sarjana Asia Tenggara maupun sarjana Barat nampaknya tidak berminat pada periode ini. Misalnya, survei terhadap tesis-tesis dan disertasi-disertasi arkeologi Indonesia menyatakan hanya dua dari 26 tulisan dalam dua dekade lalu yang fokus mengkaji periode Islam (Tanudirjo, 1995). Kebanyakan arkeologi pada periode Islam adalah tradisi arkeologi klasik yang berorientasi untuk menjelaskan makammakam dan monumen-monumen periode Islam daripada menjawab persoalan perubahan sosial (Ambary, 1980). Mereka yang mempergunakan pendekatan antropologi sangat sedikit.
290
Zakiyuddin Baidhawy
Dari Malaka dan Jawa, Allen misalnya, menggunakan perspektif geoarkeologis dalam kajiannya tentang situs-situs Semenanjung Melayu. Dengan menggunakan catatan dokumenter sebagai titik berangkat, Allen mempertanyakan apakah pendudukan dan enklave Muslim asing tampak serupa. Ia menyimpulkan bahwa progradasi wilayah pantai yang meluas telah mengubah lanskap dalam kawasan ini sepanjang 600 tahun lalu, dan kita dapat mencari situs-situs ini di tempat-tempat yang salah: yaitu yang mungkin terdapat di pedalaman daripada di sepanjang garis pantai (Allen, 1998). Penelitian Miksic menentang pendekatan arkeologis konvensional. Dalam mencari penanda tradisional dari pendudukan urban yang berbeda karakteristiknya dari negara-negara Melayu awal abad 10 dan berkembang hingga periode Islam, Miksic menyatakan bahwa pusat-pusat urban Asia Tenggara benar-benar berbeda dari kota-kota di bagian lain di dunia ini. Barangkali karena problem logistik yang berkaitan dengan pasokan air di wilayah tropis yang basah, ia menyatakan bahwa pusat-pusat urban menjadi lebih cair dan kurang padat penduduknya daripada yang kita harapkan, yang jika benar akan memiliki implikasi penting bagi karya-karya survei masa depan di kawasan ini (Miksic, 2000). Para arkeolog lainnya menentang sumber-sumber teks secara lebih langsung. Ketika mengkaji Sulawesi Selatan, Bullbeck menggunakan teks-teks yang ditulis oleh para pemimpin agama dan politik sebagai titik awal untuk mempersoalkan catatan arkeologis (Caldwell 1995; Cummings 2001). Ia menemukan bahwa kisah-kisah tentang asal-usul Luwu tidak sejalan dengan data arkeologisnya; kisah-kisah ini tampak terlalu segera menyimpulkan kecepatan perubahan sosial, padahal data arkeologis memerlukan kontinuitas dalam waktu yang panjang.
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
291
Meskipun wilayah ini berada di luar kawasan pengaruh Islam langsung, penelitian Junker (1999) di Piliphina menunjukkan bagaimana teks-teks, dalam hal ini teks-teks berhasa China dan Spanyol, sering mempertentangkan masa lalu yang direkonstruksi dengan penggunaan data arekologis. Pendekatan ini dalam keilmuan global cukup menjanjikan untuk menambah pemahaman kita tentang asal-usul dan perkembangan Islam Asia Tenggara. Dengan memfokuskan pada skala kecil, skala lokal dan pengunaan bukti-bukti dokumenter sebagai sumber persoalan penelitian daripada jawaban-jawaban, ada potensi untuk menghasilkan capaian yang mengejutkan. Ini merupakan kawasan paling produktif dalam arkeologi sejarah secara umum, dan merupakan satu metode untuk menggerakkan penelitian arkeologi dari periode historis yang keluar dari peran sekundernya menuju sejarah di mana data arkeologi sekadar menggambarkan atau mengisi kekosongan penelitian berdasarkan dokumen. Peter Lape memilih pendekatan ini untuk penelitian di kepulauan Banda di Indonesia Timur. Pulau-pulau kecil yang merupakan salah satu sumber utama pala ini berada pada perbatasan timur sistem dunia Islam pada masa Portugis pertama kali datang pada 1512. Para sejarawan, utamanya yang bekerja dengan dokumen-dokumen Eropa, menyimpulkan bahwa orang-orang Banda konversi ke Islam pada pertengahan abad ke-15 (Abdurrahman, 1978). Kisah tentang penaklukan Banda oleh kekuatan Belanda pada awal abad ke-17 cenderung mengurangi peran signifikan agen-agen Banda. Banda sekadar suatu setting eksotik bagi pertempuran antara Portugis, Inggris, dan para pedagang Belanda.
292
Zakiyuddin Baidhawy
Data arkeologi perdahuluan menunjukkan kisah yang agak berbeda. Dengan mempertimbangkan babi sebagai penanda keberagamaan, Lape memetakan pola-pola pemanfaatan babi di 21 situs di tiga pulau. Peneliti lain menyimpulkan bahwa menjauhi babi adalah penanda paling penting bagi identitas keislaman di kepulauan Asia Tenggara. Banyak situs yang dianalisis untuk proyek ini bersebelahan secara spasial dengan desa-desa yang dipetakan dan dicatat secara historis, yang sebagiannya berlimpah pada periode penjajahan pasca Belanda. Dua kesimpulan mengejutkan ditemukan di sini. Jika kita berasumsi bahwa orang-orang Banda konversi ke Islam sekitar 1450, kita berharap dapat melihat penurunan tajam permintaan daging babi yang ditemukan dalam data-data arkeologis sesudah masa itu, dan sebenarnya ini merupakan kasus bagi beberapa situs Banda yang telah dieskavasi, dengan dua pengecualian penting. Dalam satu pendudukan, babi tetap absen dari penjajahan awal pada 1200, 250 tahun lebih awal dari yang diharapkan. Kesimpulan ini rupanya bersebelahan secara spasial dengan enklave Jawa yang telah dijelaskan oleh para pengunjung Portugis dan Belanda awal. Kesimpulan kedua yang nampak anomali berasal dari pendudukan yang berlokasi sekitar 1 km dari yang pertama di atas. Pada situs ini, babi merupakan hewan yang dominan (sekitar 500-1650), suatu bukti bahwa orang-orang yang tinggal di situs ini makan babi sekitar 100 tahun kemudian dari yang kita duga berdasarkan bukti-bukti dokumenter. Ketika Lape (2000) kembali pada catatan dokumen dalam rangka mendamaikan kontradiksi ini, pola-pola baru muncul. Dengan mengkaji lebih rinci dari sisi politik, Lape mencatat per-
Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
293
bedaan penting antara dua pendudukan yang tampak anomali. Misalnya, para pemimpin politik pada pendudukan kedua tidak pernah mempergunakan gelar-gelar seperti imam, sementara semua desa-desa lainnya menggunakan gelar-gelar itu. Meskipun para peneliti Eropa tidak pernah mengakui perbedaanperbedaan ini berdasarkan atas identitas Muslim, perbedaan identitas Muslim dapat menjelaskan dua perangkat data. Lape menyimpulkan bahwa Banda memiliki pengalaman jauh lebih lama dengan Islam dari yang diasumsikan, bahkan juga konversi terjadi secara bertahap, dan pada kontak Eropa, perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku merupakan sumber signifikan ketegangan sosial, ketegangan yang boleh jadi membuat Banda khususnya rentan dengan penaklukan Eropa.[]
294
Zakiyuddin Baidhawy
DAFTAR PUSTAKA
Abdel Haleem, M. (1996) ‘Early Kalam’, in S.H. Nasr and O. Leaman (eds) History of Islamic Philosophy, London: Routledge, ch. 5, 71-88. ‘Abduh, Muhammad. Al-A’mal al-Kamilah. ed. Muhammad ‘Imara. Beirut: Al-Mu’asasa al-’Arabiyyah li al-Dirasat wa alNashr, tth. Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Abdurachman, P.R. “Moluccan responses to the first intrusions of the west,” in H. Soebadio & C.A. du Marchie (ed.) Dynamics of Indonesian history: New York: North Holland, 1978: 16188. El-Affendi, Abdel Wahab. Islamic Theology. London: Routledge, 1998.
Daftar Pustaka
295
Ahl al-Hadith (2006) Where is Islamic Studies in the West going? Available online at: http://shaukani.wordpress. com/2006/03/29/where-is-islamic-Studies-in-the-westgoing/ (accessed June 2007). Ali, Muhammad et.al. The End of Tolerance. London: Nicholas Brealy Publishing, 2002. Allen, J. “History, archaeology, and the question of foreign control in early historic-period peninsular Malaysia”, International Journal of Historical Archaeology 2, 4 (1998): 261-89. Ambary, H.M. “Some notes on the discovery of archaeological evidence at Ternate”, Aspek-aspek Arkeologi Indonesia 10 (1980): 1-25. Arberry, A. J. Sufism: An Account of the Mystics of Islam. London: George Allen and Unwin, 1950. Arif, Syamsuddin. ”Preserving the semantic structure of Islamic key terms and concepts: Izutsu, al-Attas, and al-Raghib alIsfahani”, Islam & Science, Winter, 2007. Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Translated and edited by Robert D. Lee. Boulder, Colo., 1994. ________. The Concept of Revelation: From the People of the Book to the Society of the Book. Claremont: Claremont Graduate School, 1987a. ________. Rethinking Islam Today. Washington: Center for Contemporary Arab Studies, 1987b. ________. “The Concept of Authority in Islamic Thought: La Hukma Illa li Allah” in Islam, State and Society. Ed, K. Ferdinand dan M. Mozaffer. London: Curzon Press, 1988:53-73. Asad, T. (Ed.) Anthropology and the Colonial Encounter. London: Ithaca, 1973. Al-Attas, SMN. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970.
296
Zakiyuddin Baidhawy
________. “Kata Pengantar” dalam Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. ________. The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992. ________. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement Malaysia [ABIM], 1980. Awn, Peter. Satan’s Tragedy and Redemption: Iblis in Sufi Psychology. Leiden: E. J. Brill, 1983. Azami, M. M. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications: 1977. Bamualim, Chaider S. et.al. eds. Communal Conflicts in Contemporary Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Syarif Hidayatullah dan The Konrad Adenauer Foundation, 2002. Barbour, Ian G. Paradigms in Science and Religion. Netherland: University of Notredame Press, 1980. Bernstein, Richard J. Beyond Objectivism and Relativism: Science, Hermeneutics, and Praxis. University of Pennsylvania, 1983. Bijlefeld, Willem A. ”Islamic Studies Within the Perspective of the History of Religions,“ The Muslim World 62 (1972). Binder, Leonard ed. The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. New York, 1976. Bülent Aras and Omer Caha, “Fethullah Gülen and His Liberal “Turkish Islam” Movement,” Middle East Review of International Affairs Journal, Vol. 4, no. 4 (December 2000). Buruma, Ian. “The Origins of Occidentalism”, Chronicle of Higher Education, Vol.50 No.22 pg.B10, 6 February 2004. Caldwell, I. “Power, state and society among the pre-Islamic Bugis,” in Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 151, 3 (1995): 394-421.
Daftar Pustaka
297
Cannon, Dale. Enam Cara Beragama. Terj. Djam’annuri dkk. Yogyakarta: DIKTIS Depag RI dan CIDA, 2002. Chittick, William C. ”Mysticism in Islam”, A lecture delivered at the David M. Kennedy Center for International Studies, Brigham Young University, May 2003. Chopp, Rebecca S. The Praxis of Suffering. New York: Orbis Books, 1989. Clifford, J. & Marcus, G. E. (Eds) Writing Culture: the Poetics and Politics of Ethnography. Berkeley, CA: University of California Press, 1986. Clifford, J. The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature and Art. Cambridge, Harvard University Press, 1988. Cummings, W. “Scripting Islamization: Arabic texts in early modern Makassar” in Ethnohistory 48, 4 (2001): 559-86. Denny, Frederick M. ”Ritual Islam: Perspektif dan Teori”, dalam Richard C, Martin. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Terj. Zakiyuddin Baidhawy. Surakarta: UM Press, 2001: 85-108. Dewey, John. Reconstruction in Philosophy. Boston: the Beacon Press, 1960. Dien, Mawil Izzi. ”Islamic Studies or the Study of Islam?: from Parker to Rammell”, Journal of Beliefs & Values, Vol. 28, No. 3, December 2007: 243–255. Eickelman, D. F. The Middle East: an Anthropological Approach (1st edn). Englewood Cliffs: NJ, Prentice Hall, 1981. Ernst, Carl W. Following Muhammad. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2003. Esack, Farid. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity againts Oppression. Oxford: Oneworld, 1997. El-Zein, A. H. “Beyond ideology and theology: the search for
298
Zakiyuddin Baidhawy
the anthropology of Islam”, Annual Review of Anthropology, 6 (1977): 227–254. Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam. Kobenhaven: E.J. Brill, 1991. Al-Faruqi, I. The Rewriting of Social Sciences with an Islamic Outlook. Jeddah: International Islamic Publishing House, 1995. Al-Faruqi, Islamil Raji dan Louis Lamya al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company; terjemahnya Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan, 2001. Feener, R. Michael. ”Cross-Cultural Context of Modern Muslim Intellectualism”, Die Welt des Islams 47, no. 3-4, 2007: 264282. Fischer, M. M. J. & Abedi, M. Debating Muslims: cultural dialogues in postmodernity and tradition. Madison, WI: University of Wisconsin Press, 1991. Fitzgerald, T. The Ideology of Religious Studies. New York: Oxford University Press, 2000. Flood, G. Beyond phenomenology: rethinking the study of religion. London: Cassell, 1999. Fukuyama, Francis. “Social Capital,” dalam Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington, eds. Culture Matters: How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books, 2000: 98111. Gadamer, HS. “The Historicity of Understanding”, in The Hermeneutics Reader. Ed. K. Mueler Volmer. New York: Continuum, 1992: 261-267. Garden, Kenneth. ”Library Research Guide on The Koran & Hadith”, The Middle East Institute George Camp Keiser Library, June 2005. Geertz, Clifford. Islam Observed. Chicago: University of Chicago Press, 1971.
Daftar Pustaka
299
Geertz, C. Islam observed. Chicago: University of Chicago Press, 1968. Geertz, c. “Which Way to Mecca?” New York Review of Books, July 3 (2003):36–39. Al-Ghazali, Sheikh Muhammad. Al-Sunnah an-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith. Cairo: Dar ash-Shuruq, 1989. _______. Iljam al-’awam ‘an ‘ilm al-kalam (Restraining Commoners from Kalam), ed. M. al-Baghdadi, Beirut: Dar al-Kitab al’Arabi, 1985 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, vol. 2, tr. C. R. Barber and S. M. Stern. London, 1971. Hallaq, Wael B. “The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudoproblem”, in Studia Islamica, 89 (1999). _______. Ibn Taymiyya Against the Logicians, Oxford: Clarendon Press, 1993. Hamka. Perkembangan Tasauf dari Abad ke-Abad. Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952. Haredy, Mohsen. “Hadith Textual Criticism: A Reconsideration”, Shari`ah Editor, English IslamOnline.net, Leiden, 2001. Hodgson, Marshall W. The Venture of Islam. 3 volumes. Chicago: University of Chicago Press, 1974. Horkuc, Hasan. “New Muslim Discourses on Pluralism in the Postmodern Age: Nursi on Religious Pluralism and Tolerance,” American Journal of Islamic Social Sciences, Spring 2002, 19 (2). Horowitz, David, and Ben Johnson, eds. Campus Support for Terrorism. Los Angeles: Center for the Study of Popular Culture, 2004. Husayn, Taha. Fi al-Shi’r al-Jahili. Cairo: al-Nahr li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1996. Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad. Mecca: Dar al-Baz li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1978.
300
Zakiyuddin Baidhawy
Al-Isfahani, al-Raghib. Al-Mu`jam al-Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Izetbegovic, Alija Ali. Islam Between East and West. Indiana: American Trust Publications, 1994. Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964. ________. The Concept of Belief in Islamic Theology. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1965. ________. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press, 1966. Al-Jabbar, al-Qadi ‘Abd. Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-’Adl. ed. Amin al-Khuli. Cairo: Wizarat al-Thaqafah, 1960. Al-Jabiri, Mohammed Abid. Takwin al-`Aql al-`Araby. Beirut: Markaz al-Thaqafi al-`Arabi, 1990a. _______. Bunyah al-`Aql al-`Arabi: Dirasah Tahlilaiyyah naqdiyah li Nuzhumi al-Ma`rifah fi al-Thaqafah al-`Arabiyah. Beirut: Markaza Dirasah al-Wihdah al-`Arabiyah, 1990b. Johansen, Baber. “Islamic studies: The intellectual and political conditions of a discipline”, in Signaler ce document. http:// ifpo.revues.org/index195.html. Junker, L. Raiding. Trading, and Feasting: the political economy of Philippine chiefdoms. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1999. Juynboll, GHA. “Some isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basis of Several Women Demeaning Sayings from Hadith Literature”, in al-Qantara, 10 (1989), pp. 343-384. Kepel, Gilles. 2000. Jihad: Expansion et déclin de l’islamisme. Paris: Gallimard. Translated as Jihad: The Trail of Political Islam. London: I. B. Tauris, 2004. Kerr, Malcolm H. ed. Islamic Studies: A Tradition and Its Problems. Malibu, California, 1980.
Daftar Pustaka
301
Khaddury, Majid. The Islamic Conseption of Justice. Baltimore: The John Hopkins Press, 1984. Al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fi al-Nahwu wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab. Cairo: GEBO, 1995. Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970. Kurzman, Charles. “Islamic Studies and the Trajectory of Political Islam” in Contemporary Sociology 36, 6 (2009): 519-524. Lacroix, Stephane. “Al-Albani’s Revolutionary Approach to Hadith” in Isim Review 21 (Spring 2008): 6-7. Landolt, Hermann. ”Ghazali and ‘Religionswissenschaft: Some Notes on the Mishkat al-Anwar for Professor Charles J. Adams“, Asiatische Studien 65.1 (1991): 19–72. Lape, P.V. “Political dynamics and religious change in the late pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia,” World Archaeology 32, 1 (2000): 138-55. Lijphart, Arend. Democracy in Plural Societies. New Haven: Yale University Press, 1977. Lombardi, Clark B. State Law as Islamic Law in Modern Egypt: The Incorporation of the Shari’a into Egyptian Constitutional Law. Leiden, Netherlands: Brill, 2006. Malkawi, F. H. “Al tafkir al manhaji wa daruratuh”, Islamiyyat Al Ma‘rifa Journal, 28(7), 2002: 15–53. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar alFikr, 1944. Marcus, G. E. & Fischer, M. M. J. Anthropology as cultural critique: an experimental moment in the human sciences. Chicago: University of Chicago Press, 1986. Martin, Richard C. Mohammed Arkoun, Andrew Rippin. “Islamic Studies”, The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Martin, Richard C. ed. Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson, Arizona, 1985.
302
Zakiyuddin Baidhawy
Michel, Thomas S.J., “Sufism and Modernity in the Thought of Fethullah Gülen”, The Muslim World, Special Issue, July 2005 - Vol. 95 Issue 3: 325-471. Miksic, J. “Heterogenetic cities in premodern Southeast Asia”, World Archaeology 32, 1 (2000): 106-20. Moaddel, Mansoor. “The Study of Islamic Culture and Politics: An Overview and Assessment”, Annual Review of Sociology 28(2002):359–386. Montgomery Watt, W. Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1962. Motzki, Harald. “The Collection of the Qur’an: A Reconsideration of Western Views in the Light of Recent Methodological Developments” in Arabica, Leiden: E. J. Brill, 39 (1992). Mutahhari, Murtada. “An Introduction to ‘Ilm al-Kalam”, translated from Persian by ‘Ali Quli Qara’i, in al-Tawhid Vol. II No. 2, January 1985. Nasr, Seyyed Vali Reza. Islamic Leviathan: Islam and the Making of State Power. Oxford, UK: Oxford University Press, 2001. Nordoholt Henk Schulte, dan Irwan Abdullah, eds. Indonesia in Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. London, 1950. Ozdalga, Elisabeth. “Entrepreneurs with a Mission: Turkish Islamists Building Schools along the Silk Road,” unpublished paper delivered at the Annual Conference of the North American Middle East Studies Association, Washington, D. C., November 19-22, 1999. Pavlin, J. (1996) ‘Sunni Kalam and Theological Controversies’, in S.H. Nasr and O. Leaman (eds.) History of Islamic Philosophy. London: Routledge, ch. 7, 105-18. Penrose, Roger. The Emperor’s New Mind. Oxford University Press, 1989. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an
Daftar Pustaka
303
Intellectual Tradition. Chicago: Chicago University Press, 1982a. ________. “Approaches to Islam in Religious Studies”, in Richard Martin ed. Berkeley: University of Berkeley Press, 1982b: 189-202. Rashid Ridha, “Al-Ahadith as-Sahiha allati Zhahara Ghalatu arRuwati fiha”, in Al-Manar, 29/1 (1928). Rauf, Muhammad Abdul. “Al-Mustashriqun wa al-Wahy alMuhammadi”, in Muslim World, 58 (1986). Reid, A. “Continuity and change in the Austronesian transition to Islam and Christianity,” in P. Bellwood, J. Fox & D. Tryon (ed.) The Austronesians: historical and comparative perspectives. Canberra: Australian National University1995: 314-31. Rippin, Andrew ed. Defining Islam: A Reader. London and Oakville: Conn. 2007. Ronald L. Nettler, ”A Controversy on the Problem of Perception: Two Religious Outlooks in Islam,” Humaniora Islamica I (1973). Royster, James E. ”The Study of Muhammad: A Survey of Approaches from the Perspective of the History and Phenomenology of Religion,“ The Muslim World 62 (1972): 49–63. Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994. al-Sadr, Muhammad Baqir. “Thematic Approach to Qur’anic Exegesis (1)”, al-Tawhid, Vol.VI, No.3 Rajab - Ramadhan, 1409, March - May, 1989. Said, Edward W. Orientalism. New York, 1978. Sachedina, Abdulaziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford, New York: Oxford University Press, 2001. Sardar, Z. Islamic Futures: the shape of ideas to come. London and New York, Mansell, 1985.
304
Zakiyuddin Baidhawy
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975. Schimmel, Annemarie. Deciphering the Signs of God, a Phenomenological Approach to Islam. Albany: State University of New York, 1994. Sells, Michael. Approaching the Qur’an: The Early Revelations. Ashland, OR: White Cloud Press, 1999. Sharma, Arvind. ”An Inquiry into the Nature of the Distinction between the History of Religion and the Phenomenology of Religion,” Numen 22 (1975). Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan, 1996. ________. Membumikan Al-Quran, cet. Ke xix. Bandung: Mizan, 1999. Siddiqui, A. Islam at Universities in England. London: Department for Education and Skills, 2007. Smart, Ninian. The World’s Religions: Old Traditions and Modern Transformations. Cambridge: Cambridge University Press, 1989. Starrett, Gregory. Putting Islam to Work: Education, Politics, and Religious Transformation in Egypt. Berkeley: University of California Press, 1998. Suleiman, Y. & Shihadeh. A. Islam on Campus: Teaching Islamic Studies at Higher Education Institutions in the UK. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007. Taher, Tarmizi. Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in Indonesia. Jakarta: Censis, 1997. Tanudirjo, D.A. “Theoretical trends in Indonesian archaeology”, in P.J. Ucko (ed.) Theory in archaeology: a world perspective. London: Routledge, 1995; 61-75. Taylor, Charles. Multiculturalism and the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press, 1992.
Daftar Pustaka
305
Tibbetts, G.R. A study of the Arabic texts containing material on Southeast Asia, Vol. 44. Leiden: E.J. Brill for the Royal Asiatic Society, 1979. Tracy, David. Plurality and Ambiguity: Hermeneutics, Religion, Hope. San Francisco: Harper & Row, 1987. Al-Umari, A. Al-Islam wal Wa‘i al-Hadari . Jeddah: Dar al-Manara Publishers, 1987. Wach, Joachim. The Comparative Study of Religions. New York, London: Columbia University Press, 1958. Wach, Joachim. Sociology of Religion. New York: Macmillan Publishing Company, 1988. Wright, Lawrence. The Looming Tower: Al-Qaeda and the Road to 9/11. New York: Knopf, 2006. Zayd, Nasr Hamid Abu. Naqd al-Khitab al-Diny. Kairo: Sina li alNashr, 1994.
306
Zakiyuddin Baidhawy
BIOGRAFI PENULIS
Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini tinggal di Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah nyantri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, Associate pada Maarif Institute for Culture and Humanity. Aktivitas dan pengalaman internasional beberapa di antaranya adalah partisipan Academic Short Course at Leiden University, 1-15 December 2009; Copenhagen Conference, 2122 Oktober 2008; International Seminar on Religious Education
Pengertian dan Metodologi Studi Islam
307
and Values, Ankara-Turki 25 Juli-1 Agustus 2008; AustralianIndonesian Young Muslim Leader Exchange 21 Mei-14 Juni 2007; The 19th World Congress of the International Association for the History of Religions, Tokyo, 23-30 Maret 2005; partisipan pada The Ohio University Dialogue Project and Exchange Program, Chicago, Illinois; Athens, Ohio; Washington D.C; Lancaster, Pennsylvania; Manhattan, New York, diselenggarakan oleh Center for International Studies, Ohio University, Athens, bekerjasama dengan US State Department, 22 September-13 Oktober 2004; partisipan dan presenter pada the Global Meeting of Expert on Teaching For Tolerance, Respect, and Recognition, diselenggarakan oleh The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief bekerjasama dengan UNESCO, Oslo, 2-5 September 2004; dan partisipan dan presenter pada International Interfaith Peace Forum and Asian Muslim Action Network (AMAN) Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003. Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karyakarya yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam (1996); Wacana Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan Revolusi (2000); Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001); dan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam Multikultural (2005), Menyulam Ragam Merajut Harmoni: Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa dan Pendidik (2005), Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005), dan Kredo Kebebasan Beragama (2006); Islam Melawan Kapitalisme (2007); Etika Bisnis Syariah I (2007); Etika Bisnis Syariah II (2008); Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku Panduan untuk Guru (2008); Al-Islam Berwawasan HAM:
308
Zakiyuddin Baidhawy
Buku Ajar Pendidikan Islam untuk SMA, MA, SMK (2008); Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008); Rekonstruksi Keadilan (2008); Teologi Neo Al-Ma`un (2009); Benih-benih Islam Radikal di Masjid (dkk, 2010).
Biografi Penulis
309
310
Zakiyuddin Baidhawy