REFERAT
Ê Pembimbing : dr. Alfian Nurbi, Sp. PD
Penyusun : Ume Nur Salme bt. M. Azhar 030.06.351
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT OTORITA BATAM PERIODE 25 OKT 2010 ± 31 DEC 2010 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI c Ê
Telah disetujui o leh : dr. Alfian Nurbi, Sp. PD.
Pada tanggal,
December 2010
Dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Otorita Batam periode 25 Oktober ± 31 Desember 2010
Batam, November 2010 Pembimbing,
(dr. Alfian Nurbi, Sp. PD.)
£ Ê
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ´ Sindrom Nefrotik´. Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Alfian Nurbi, Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi dan gagal jantung. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Batam, November 2010
Penulis
Ume Nur Salme bt M. Azhar
Ê
BAB I Pendahuluan ««««««««««««««««««««««««««««« 5 BAB II. Anatomi dan fisiologi ginjal ««««««««««««««««««««««.6 BAB III Sindrom Nefrotik III.1 Definisi «««««««««««««««««««««««««««««.. 12 III.2Etiologi ««««««««««««««««..«««««««««««««. 12 III.3 Klasifikasi ««««««««««««««««««««««««««««..13 III.4 Patologi anatomi ««««««««««««««««««««««««««16 III.5Patofisiologi ««««««««««««««««««««««««««««18 III.6 Gejala ««««««««««««««««««««««««««««««.19 III.7 Diagnosis «««««««««««««««««««««««««««« 19 III. 8 Penatalaksanaan «««««««««««««««««««««««««. 20 III.8 Komplikasi «««««««««««««««««««««««««««. 23 III.9 prognosis ««««««««««««««««««««««««««««..25
BAB IV Kesimpulan ««««««««««««««««««««««««««««. 26 Daftar Pustaka ««««««««««««««««««««««««««««««« 27
Î Ê
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T (4). Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obatobatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.[3]
0 Ê
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.[7,12]
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masingmasing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Ê Anterior
Ginjal kiri
Ginjal kanan
Posterior
Dinding dorsal gaster Lobus kanan hati Pankreas Duodenum pars descendens Limpa Fleksura hepatica Vasa lienalis Usus halus Usus halus Fleksura lienalis Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m. transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis, n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).
Ê
r r
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian: x
!"#$% bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
x
"&': terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).
x
Ñ'(!"$: bagian korteks di antara pyramid ginjal
x
!)"$$'$!"$: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
x
'$!"$: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
x
!"$: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.
x
Ñ*(!: percabangan dari calix major.
x
Ñ*(!: percabangan dari pelvis renalis.
x
"+$!"$% disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter.
x
!""!: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
* Ê
(,!- Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluhpembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. [6] ü Ê
Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobarisMa. arcuata Ma.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anteriorsuperior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.[6,12]
Fisiologi ginjal[5,6,12] Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu : a. © yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi tekanan vaskuler. b. yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah. c. yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis. d. yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan produksi aldosteron Tiga tahap pembentukan urine: 1) Filtrasi glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam Ê
amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman¶s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman¶s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman¶s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler. 2) Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. 3) Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular ³perjalanannya kembali´ jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.
c Ê
BAB III
SINDROM NEFROTIK ".$
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. [1,2,3]
&"( Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. [3] Ê
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:
A. glomerulonefritis (GN) primer: - GN lesi minimal (GNLM) - Glomerulosklerosis fokal (GSF) - GN membranosa (GNMN) - GN membranoproliferatif (GNMP) - GN proliferatif lain cc Ê
B. GN sekunder akibat: i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C - sifilis, malaria, skistosoma - tbc, lepra ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma multiple, dan karsinoma ginjal iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.
$.#$Ê/01 &!(".!#$")!#$&,("&2#"(#% I. Sindrom Nefrotik Bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
II.Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh: M
Malaria kuartana atau parasit lain.
M
Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
M
Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis. c£ Ê
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
M
racun oak, air raksa. Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
M
hipokomplementemik.
III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu : a. Kelainan minimal M
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron)
M
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus
M
Lebih banyak terdapat pada anak
M
Prognosis baik
b. Nefropati membranosa M
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
M
Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferatif MEksudatif
difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. M
Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
M
Dengan bulan sabit (crescent) Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
M
Glomelurosklerosis membranoproliferatif Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental M
Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
M
Prognosis buruk
c Ê
"(, (Ê/01 a) Kelainan minimal a Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG). a Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit podosit. a Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anakanak usia 1-5 tahun. a Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi.
b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa) a Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. a warang ditemukan pada anak-anak. a Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal. a Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
c). Glomerulosklerosis fokal segmental a Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk. a Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli jukstameduler. wika penyakit ini berlanjut maka semua bagian terkena. a Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. wadi keterlibatannya baik fokal dan segmental. a Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
cÎ Ê
d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) a Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. a Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. a Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis (´jejak-trem´ atau kontur lengkap) a Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. a Ada MPGN tipe I dan tipe II.
e). Glomerulonefritis proliferatif fokal a Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal). a Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.
.$Ê2/01
(,!-2 c0 Ê
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori . Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori . Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
c Ê
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses dan berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [11] Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya Į-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein). Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. [3]
"$Ê2/0 Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
c* Ê
prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat. "!&!3&$" &!(".!#Ê2 Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal).
(,!,!!'(Ê M
Darah
2
: - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl) - Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%) - Kalsium menurun - Ureum Normal - Hb menurun, LED meningkat
M
Urin
: - Volumenya : normal sampai kurang - Berat jenis : normal sampai meningkat - Proteinuria masif (>29gr / 24 jam) - Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal - Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.
Pemeriksaan urin yang didapatkan [7,10]: Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%). cü Ê
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari. Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam. Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama edema masih ada. Berat jenis urin meningkat. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan Sudan III). Terdapat leukosit Pemeriksaan darah yang didapatkan [2,3,11]: Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik. Hiperkolesterolemia "#$ &!(".!# ")! '!."#&"&#("$ '!.% Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit c Ê
kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. [11]
Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas) Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 ± 2 gram/hari. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan. Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap
900 sampai 1200 ml/ hari
"&#("$%Ê20 Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,4]
Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut £ Ê
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi sel sumsum tulang. [1,2,3]
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome. [1]
(#$ &!(".!#Ê20 1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik: Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan Į antiplasmin. b)Hipoalbuminemia
menimbulkan
aktivasi
trombosit
lewat
tromboksan
A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.
£c Ê
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh
paparan
matriks
subendotel pada
kapiler
glomerolus
yang
selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3. Gangguan tubulus renalis Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. 4. Gagal ginjal akut. Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG. 5. Anemia Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria. 6. Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. 7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
££ Ê
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. [3,7]
"#$(#$ &!(".!#%Ê20 Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik. 1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan trombolitik. 2. Cegah infeksi. wika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama yang berspektrum luas . 3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat. 4. wika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal. 5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan biopsi ginjal. 6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap percobaan. £ Ê
!$$ &!(".!#Ê2/0 Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion): Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa) Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam waktu 10-20 tahun.
Glomerulosklerosis fokal segmental Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk
Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.
£Î Ê
4
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.
£0 Ê
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney Care Club. [cited 2010, Dec 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170 2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. 3rd ed. wakarta: PB. PAPDI. 2009 3. Carta A. Gunawan.Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2010, Nov 28]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Si ndromaNefrotikPatogenesis.html 4. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited Dec 05, 2010]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
5. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia wakarta: EGC. 2001 6. Guyton.A.C. et all .Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelpia: Elsevier saunders. 1996 7. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001 8. Hull PR. Goldsmith Dw. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008: vol.336.Website: BMw. [cited 2010 Dec, 20] 9. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb Nw.A, Postlethwaite Rw ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-22 10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison¶s Manual Of Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806 11. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. wilid 1. 4th ed. wakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549 12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company; 2007 13. Stephen wM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA: Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477 £ Ê
£* Ê