KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang begitu banyak melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Epistaksis” ini. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Dengan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini : 1. dr. H. Wawan Gunawan Kurnaedi, Sp.THT-KL selaku pembimbing. 2. Orang tua, keluarga dan orang terdekat yang selalu mengiringi dan mendukung serta
selalu memberi semangat. 3. Tuti Aliana dan Indra Harefa sebagai Rekan-rekan dokter muda di kepaniteraan
THT RSUD Dr. Slamet Garut. 4. Perawat-perawat THT yang telah banyak membantu dan berbagi ilmu.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi khususnya dan pembaca umumnya. Akhirnya penulis mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan dan sumbang saran membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan isi referat ini.
Garut, juni 2012
Penulis
1
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................. 1 BAB I...................................................................................................................... 3 PENDAHULUAN....................................................................................................... 3 BAB II..................................................................................................................... 4 ANATOMI DAN VASKULARISASI...............................................................................4 BAB III.................................................................................................................... 8 EPISTAKSIS............................................................................................................. 8 III. 1 DEFINISI.......................................................................................................8 III.2 EPIDEMIOLOGI..............................................................................................9 III. 3 ETIOLOGI................................................................................................... 10 III. 4 PATOFISIOLOGI..........................................................................................12 III. 5 DIAGNOSA.................................................................................................14 III. 6 PENATALAKSANAAN...................................................................................15 BAB IV..................................................................................................................20 KESIMPULAN.........................................................................................................20 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21
2
BAB I PENDAHULUAN Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabangcabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina. Kejadian epistaksis pada populasi umum adalah sulit untuk memastikan karena sebagian besar episode resolvewith pengobatan konservatif diri dan tidak dilaporkan. Pasien yang mencari pengobatan medis untuk epistaksis biasanya terbagi dalam dua kategori umum yaitu mereka yang memiliki beberapa episode kecil dan mereka yang memiliki episode berkepanjangan tunggal parah yang tidak akan berhenti. Para mantan pasien biasanya adalah anak atau orang dewasa muda yang memiliki perdarahan septal anterior. Pasien terakhir cenderung menjadi dewasa yang lebih tua dengan asal posterior perdarahan dan masalah kesehatan. Epistaksis terjadi lebih sering pada pria dibandingkan dengan pasien perempuan (58% versus 42%). Juselius juga mencatat kejadian yang lebih tinggi epistaksis pada pasien yang lebih tua, karena 71% dari pasiennya lebih besar dari 50 tahun. Juga, epistaksis lebih sering terjadi di bulan-bulan dingin tahun, menunjukkan link dengan kelembaban ambien menurun dan insiden yang lebih tinggi dari infeksi saluran pernapasan atas. Untuk menentukan etiologi dari epistaksis, hal ini berguna untuk memisahkan penyebab lokal dan sistemik. Epistaksis adalah suatu perubahan dari hemostasis normal dalam hidung. Hemostasis dikompromikan oleh kelainan mukosa, patologi kapal, atau gangguan koagulasi. Pemahaman kami tentang patofisiologi dan pengobatan epistaksis telah meningkat secara drastis selama abad terakhir. Kebanyakan episode epistaksis hanya menjadi gangguan kepada pasien dan dirawat di rumah. Hanya sebagian kecil pasien yang dilihat oleh tenaga medis. Kebanyakan pasien mencari bantuan medis yang mudah diobati dan dilepaskan. Sebuah subset yang lebih kecil pasien dengan epistaksis akan memiliki kambuh terus-menerus, dan lain-lain dapat hadir 3
dengan pendarahan berpotensi mengancam nyawa atau komplikasi. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan evaluasi segera, pengakuan etiologi, dan memulai pengobatan untuk menghindari hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi, atau kematian. Epistaksis berulang dapat mewakili okultisme kondisi medis atau bedah. Bab ini menyajikan topik epistaksis dari sudut pandang pragmatis. Evaluasi pasien dengan epistaksis dan pertimbangan diagnosa diferensial yang tepat dan etiologi yang mendasari okultisme dibahas. Metode tradisional dan inovatif teknik yang lebih baru ditinjau dan dibandingkan untuk efektivitas, risiko, kenyamanan pasien, dan biaya.
BAB II
ANATOMI DAN VASKULARISASI
Hidung terdiri atas navus externus (hidung luar) dan cavum nasi. 4
II.1 NASUS EXTERNUS Nasus externus mempunyai ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang keluar adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris dibatasi oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi. Rangka nasus externus di atas oleh os nasale, processus frontalis ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka ini dibentuk oleh lempeng – lempeng tulang rawan , yaitu cartilago nasi superior dan inferior dan cartilago septi nasi. II.2 CAVUM NASI Cavum nasi terletak di nares di depan sampai choanae di belakang. Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan dinding medial. Dasar dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini yaitu permukaan atas palatum dorum. Bagian atap sempit dan dibentuk dari belakang ke depan oleh corpus ossis sphenoidalis, lamina cribrosa ossis ethmoidalis, os frontale, os nasale dan cartilagines nasi. Dinding lateral ditandai dengan tiga tonjolan disebut concha nasalis superior, media, inferior. Area di bawah setiap concha disebut meatus. Recessus spheneothmoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas concha nasalis superior dan di depan corpus ossis sphenoidalis. Di daerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis.meatus nasi superior terletak di bawah dan lateral concha nasal superior, disini terdapat muara sinus ethmoidalis posterior. Meatus nasi media terletak di bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat promentia bulat, bulla ethmoidalis yang disebabkan oleh penonjolan sinus ethmoidalis medii yang terletak dibawahnya. Sinus ini bermuara pada pinggir atas meatus. Sebuah celah melengkung disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran berbentuk corong disebut infundibulum. Sinus maxilaris bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis bermuara dan dilanjutkan oleh infundibulum. Sinus ethmoidalis anteriores juga bermuara infundibulum. Meatus nasi media dilanjutkan ke depan oleh sebuah lekukan disebut atrium. Atrium ini dibatasi oleh sebuah rigi, disebut agger nasi. Di bawah dan depan atrium dan sedikit di dalam naris terdapat vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi dan mempunyai dan mempunyai rambut-rambut melengkung dan pendek atau vibrissae. Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan padanya terdapat muara nasolacrimalis. Sebuah lipatan membrana mucosa mebentuk atas yang tidak sempurna yang melindungi muara ductus. Dinding medial atau septum nasi adalah sekat cartilago yang ditutupi membrana mucosa. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan bagian posteriornya dibentuk oleh cartilago septi. Septum ini jarang sekali terletak pada bidang median. 5
Membran mucosa melapisi cavum nasi , kecuali vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis membrana mucosa, yaitu (1) mucosa olfactorius dan (2) respiratorius. Membran mucosa olfactorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoetmhoidalis; juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan atap. Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mucosa memiliki sel penghidu khusus. Akson sel – sel ini (serabut N. Olfactorius) berjalan melalui lubang – lubang pada lamina cribosa ossis ethmoidalis dan ber akhir pada bulbus olfactorius. Permukaan membrana mucosa tetep basah oleh sekret kelenjar serosa yang berjumlah banyak. Membrana mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi. Fungsinya adalah menghangatkan , melembabkan dan membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatkan terjadi oleh pleksus venosus di dalam jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mucus yang diproduksi oleh kelenjar – kelenjar dan sel – sel goblet. Partikel debu yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa yang basah dan lengket . mukus yang tercemar ini terus menerus didorong ke belakang oleh kerja cilia dari sel- sel silindris bercilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di pharinx mucus ini ditelan. II.3 PERSYARAFAN CAVUM NASI N.Olfactorius berasal dari sel – sel olfactorius khusus yang terdapat pada membrana mucosa yang telah di bicarakan sebelumnya . saraf ini ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf – saraf sensasi umum berasal dari divisi ophtalmica dan maxillaris n. Trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n.ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dai ramus nasalis, ramus nasopalatinus dan ramus palatius ganglion pterygopalatinum. II.4 PENDARAHAN CAVUM NASI Rongga hidung adalah tempat yang kaya akan vaskularisasi, dengan suplai darah berasal dari arteri karotis internal dan eksternal. Sistem karotis eksternal membagi dan berakhir sebagai arteri temporal superfisial dan arteri maxillaris internal.
6
GAMBAR 1. Sebuah bagian tengah sagital dari midface ini menunjukkan arteri bercabang dari arteri karotid internal memasok septum hidung melalui arteri arteri rahang atas dan wajah. Juga digambarkan adalah ethmoid arteri posterior dan anterior dari arteri karotid internal. Perhatikan anastomosis arterioarterial daerah septum anterior menunjukkan "daerah Little" dan suplai darah dari ethmoid anterior, sphenopalatine, palatina, dan cabang hidung dari arteri wajah.
Arteri maksilaris internal masuk ke dalam mandibula, melalui fossa infratemporal, dalam atau superfisial pada otot pterygoid lateral. Arteri ini kemudian masuk fosa pterygomaxillary dan berakhir disana, terbagi ke posterior superior alveolar, descending arteri palatina kanal, infraorbital, sphenopalatine, faring, dan pterygoid. Arteri palatine desenden turun melalui kanal palatina, memasok darah ke dinding lateral hidung. Hal ini juga berkontribusi untuk memasok darah septal melalui foramen incisive. Arteri sphenopalatine biasanya terbagi pada atau di dekat foramen sphenopalatine, memasuki hidung dan memasok turbinates dan dinding lateral hidung dan anastamose dengan arteri ethmoid. Sebuah cabang terminal dari arteri sphenopalatine melintasi atap hidung untuk memasok septum hidung, anastamosing dengan palatina mayor dan labia vessel di daerah Kiesselbach's (juga dikenal sebagai Little’s area) pada septum anterior. Daerah ini merupakan daerah paling sering terjadi epistaksis anterior.
GAMBAR 2. Sebuah bagian aksial daerah orbital menunjukkan arteri karotis interna, arteri oftalmik, dan arteri ethmoid anterior dan posterior. Atap orbital dan pelat berkisi telah dihapus untuk memungkinkan paparan kapal. Perhatikan hubungan antara arteri ethmoid ke dunia dan saraf optik.
Arteri facialis, cabang sebelumnya dari sistem karotid eksternal, juga berkontribusi pada pasokan darah daerah Kiesselbach dan dasar hidung anterior melalui cabang septum labial superior. Arteri karotis interna memberikan kontribusi pada pasokan darah dari hidung internal 7
melalui arteri ophtalmicus. Arteri oftalmicus memasuki orbit tulang melalui fisura orbital superior, membagi menjadi beberapa cabang dengan dua arteri, arteri ethmoidal anterior dan posterior, septum superior dan dinding lateral hidung. Cabang-cabang arteri posterior ethmoid dari arteri oftalmik dan keluar orbit melalui foramen ethmoid posterior (atau foramina dalam 30%). Jarak dari kanal optik untuk foramen ethmoid posterior adalah variabel, dengan kisaran 2 hingga 9 mm dicatat oleh Harrison dan 3 untuk 17 mm dicatat oleh McQueen. Arteri ini melintasi sinus ethmoid, masuk ke fossa kranial anterior, dan melewati cribiform ke dalam hidung, terbagi menjadi cabang-cabang lateral dan septal. Arteri ethmoid anterior lebih besar dan keluar orbit ethmoid melalui foramen anterior, lalu melintasi labirin ethmoid, fossa kranial anterior, dan turun melalui cribiform. Ini terbagi menjadi cabang-cabang lateral dan septum, dengan cabang septum anastomosa di daerah Kiesselbach's di septum nasal anterior. Foramen ethmoid anterior terletak 14-35 mm dari kanal optik, dengan 96% dari foramina terletak di garis jahitan frontoethmoid.
BAB III EPISTAKSIS III. 1 DEFINISI Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Epistaksis terjadi di wilayah hidung anterior 90% sampai 95% dari waktu (5). Sebagian besar kasus-kasus ini sekunder terhadap manipulasi, suhu relatif dingin dengan kelembaban rendah, dan / atau penggunaan kronis semprot decongestion hidung. Sebuah episode dan minor dari epistaksis dengan sejarah dinyatakan normal dan pemeriksaan fisik tidak menjamin 8
evaluasi yang luas. Sebaliknya, episode parah atau epistaksis berulang seharusnya mendorong penyelidikan lebih lanjut untuk menyingkirkan beberapa etiologi dalam pembahasan berikut. Hal ini berguna untuk membagi etiologi menjadi dua kategori besar: faktor lokal dan sistemikPada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.
III.2 EPIDEMIOLOGI Epistaksis adalah gangguan perdarahan yang paling umum dari daerah kepala dan leher. Beberapa penelitian yang sangat baik baru-baru ini mengungkapkan beberapa karakteristik epidemiologi dan menjelaskan beberapa kesalahpahaman. Sebuah survei pemeriksaan kesehatan AS dari 1972 dari 6.672 orang dewasa mengungkapkan kejadian 7% sampai 14% dari epistaksis. Sebuah survey Skandinavia dari 1974 dari 410 orang menemukan kejadian 60% dari setidaknya satu episode epistaksis selama satu kali seumur hidup, kejadian 6% membutuhkan perhatian medis, dan kejadian tahunan sebesar 15% untuk pria dan 9% untuk wanita. Sebuah studi Finlandia dari 1974 dari 1.724 pasien dengan epistaksis mengungkapkan kejadian lakilaki lebih tinggi 58% dibandingkan 42% bagi perempuan; keseluruhan, 71% dari pasien lebih dari 50 tahun. Di Wales, rasio laki-perempuan adalah 2:1 pada pasien berusia 20 sampai 49 tahun tetapi 1:1 terhadap pasien 50 dan yang lebih tua. Selain itu, mereka mencatat epistaksis terjadi lebih sering selama bulan September sampai April dibandingkan dengan Mei hingga Agustus. Baru-baru ini, sebuah studi US Midwest ditemukan epistaksis posterior lebih umum selama bulan kelembaban dingin dan lebih rendah dari November sampai Maret dibandingkan dengan bulan April sampai Oktober-56% versus 44%, masing-masing. Sebuah studi di Inggris menunjukkan tingkat penerimaan untuk epistaksis dari 0,829 pasien per hari dengan suhu luar ruangan kurang dari 5 ° C dan 0,645 pasien per hari untuk suhu antara 5,1 dan 10 ° C. Berlawanan dengan kepercayaan populer, hipertensi belum terbukti meningkatkan risiko 9
seseorang epistaksis. Namun, ada penelitian melaporkan epistaksis belakang yang berhubungan dengan hipertensi.
III. 3 ETIOLOGI Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. 1. Lokal a. Trauma Merupakan salah satu penyebab paling umum dari epistaksis. Anak-anak yang menghisap jempol mereka atau orang dewasa dengan manipulasi digital kebiasaan memiliki insiden yang lebih tinggi epistaksis dari septum hidung anterior tulang rawan. Trauma terus menerus devitalizes perichondrium, dengan paparan tulang rawan yang dihasilkan dan perforasi. Perforasi septum menyebabkan turbulensi; aliran udara laminar merusak, dan menghasilkan pengeringan, pembentukan keropeng, dan perdarahan berikutnya. Trauma hidung tulang mungkin merupakan patah tulang hidung terisolasi dan sederhana atau midface parah dan mengancam jiwa dan basis patah tulang tengkorak dengan exsanguinating perdarahan arteri akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma yang terisolasi di daerah yang berdekatan seperti sinus, orbit, dan telinga tengah mungkin terwujud sebagai perdarahan hidung. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. b. Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Hal ini dikarenakan reaksi inflamasi lokal akibat infeksi saluran pernapasan akut, sinusitis kronis, rhinitis alergi, dan iritasi
10
lingkungan, seperti asap tembakau, dapat mengubah selimut protektif normal mukosa dan mukosa yang mendasari, memungkinkan untuk kering, krusta, eksposur, dan perdarahan. c. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. d. Kelainan kongenital Kelainan
kongenital
yang
sering
menyebabkan
epistaksis
ialah
perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru. e. Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Benda asing intranasal biasanya ditemui pada anak-anak atau individu cacat mental. Persistent gejala hidung sepihak perdarahan, Rhinorrhea, atau berbau nasal discharge sangat menyarankan benda asing atau tumor. Tubuh asing dapat merangsang respon inflamasi yang intens dengan pembentukan jaringan granulasi rapuh. Contoh tumor terkait dengan epistaksis pada laki-laki remaja yang angiofibroma remaja dan orang dewasa adalah karsinoma nasofaring. Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. f. Pengaruh lingkungan Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering. 2) Sistemik Sebuah kategori yang berbeda dari pasien berisiko besar epistaksis berat dan seumur hidup adalah mereka dengan patologi gangguan koagulasi dan pembuluh darah. Herediter 11
telangiectasia hemoragik (HHT), juga dikenal sebagai Osler-Weber-Rendu penyakit, adalah gangguan autosomal dominan yang diwariskan yang patognomonik dengan riwayat keluarga positif, telangiectasias mukokutan, dan epistaksis. Patologi yang ditandai oleh tipinya dinding pembuluh tanpa otot polos, yang meningkatnya angiogenesis mengakibatkan proliferasi vaskuler, fistula arteriovenosa, dan kerapuhan akhirnya mukosa. Trauma yang sepertinya tidak disengaja, seperti bersin yang terlalu kuat, dapat menyebabkan epistaksis. Ini adalah penyakit yang paling umum dari struktur vaskular menyebabkan epistaksis berulang. Hampir semua pasien bergejala dengan 40 tahun dan 62% oleh 16 tahun. Epistaksis merupakan gejala yang HHT dari pada 90% dari 98 pasien yang diteliti. Konservatif, noncauterizing, tulang rawan-hemat metode pengendalian hemostasis direkomendasikan sebagai terapi awal. Perubahan dinding pembuluh yang berhubungan dengan penuaan, khususnya fibrosis tunika media otot arteri, telah terlibat dalam epistaksis. Aterosklerosis, meskipun sering diasumsikan faktor risiko, tidak secara khusus diidentifikasi sebagai faktor risiko. Hipertensi tidak dianggap menjadi faktor risiko yang signifikan untuk epistaksis anterior, berdasarkan beberapa penelitian. Namun, beberapa penulis berpendapat hipertensi terkait dalam meningkatkan resiko epistaksis posterior Perdarahan ulang atau setelah pengobatan medis atau bedah Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk. Pasien dengan gangguan hemostasis biasanya diidentifikasi sejak awal kehidupan sebagai akibat dari riwayat memar besar tanpa trauma yang diketahui atau perdarahan berkepanjangan setelah dipotong kecil. Gangguan perdarahan paling umum turun temurun terkait dengan epistaksis adalah penyakit von Willebrand (VWD). Penyakit ini diwariskan dalam pola autosom dominan dan memanifestasikan klinis dengan pendarahan mukokutan, perdarahan yang berlebihan setelah trauma / operasi, dan epistaksis.
III. 4 PATOFISIOLOGI Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi 12
jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu: 1. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.
Gambar3. Epistakis anterior
Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan. 2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
13
Gambar 4. Epistaksis posterior
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
III. 5 DIAGNOSA Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa : a) Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. b) Rinoskopi posterior 14
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. c) Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi. e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
Gambar 5. Tampilan endoskopi pada epistaksis posterior
f) Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. g) Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis
III. 6 PENATALAKSANAAN Hal yang senantiasa untuk diperhatikan adalah airway, breathing dan circulation dari penderita.
15
Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu memperbaiki keadaan umum, menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. Hal yang perlu pula diperhatikan adalah posisi penderita agar senyaman mungkin, duduk tegak untuk memudahkan pemeriksaan. a.
Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya. Seorang pasien yang datang dengan epsitaksis, jika mungkin pasien harus diperiksa dalam keadaan duduk tegak, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakan sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior. •
Perdarahan anterior Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan (pleksus Kisselbach).
Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan anestetik lokal dan dekongestan lalu dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung. Bila perdarahan tidak berhenti, pemasangan tampon diulangi, dan bila sumbernya telah terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan Asam Triklorasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
16
Gambar 6 dan 7. Tampon anterior dan Tampon rol anterior
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa berukuran 72 x 1/2 inci yang diberi vaselin (boorzalf). Pemakaian vaselin pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan disusun dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung hingga tampon dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari, kadang 3-4 hari.
•
Perdarahan posterior Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pula tahap-tahap seperti pada penanganan perdarahan anterior hingga dapat diketahui sumber perdarahannya. Bila ternyata sumber perdarahannya berasal dari daerah posterior, maka dilakukan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon Bellocq dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet (satu kateter) dimasukkan melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikatkan pada salah satu benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon itu didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, bila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Benang yang keluar dari nares anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi 17
lain dari tampon Bellocq, dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Gambar 9. Tampon Bellocq
Untuk pengontrolan aliran perdarahan yang masif dapat pula dilakukan dengan epistaxis balloon atau Foley catheter sebagai pengganti tampon posterior. Tampon balon untuk epistaksis telah menjadi lebih memiliki ketersediaan dan lebih bervariasi daripada menggunakan balon kateter Foley saat pertama kali digunakan. Konsep ini sama dengan tampon hidung secara tradisional; balon biasanya diisi oleh penempatan udara atau saline ke dalam balon, tekanan diterapkan pada dinding lateral hidung dan septum. Jenis yang lebih baru dari tampon balon hidung antara balon ganda, gabungan dari balon dan Merocel yang memiliki keuntungan dari tinggal di tempat setelah deflasi balon dan penghapusan. Beberapa balon hidung memungkinkan terjadinya respirasi dan ekspirasi seperti normal melalui pusat berongga terintegrasi. Namun cara ini memiliki kelemahan utama tampon balon adalah ketidakmampuan untuk menempatkan tekanan yang adekuat terhadap tempat sebenarnya perdarahan terjadi, karena merupakan penempatan "buta" seperti tampon anterior dan posterior. Juga ada kemukinan terjadi nekrosis alar atau columellar dapat terjadi jika tekanan tamponnya terlalu banyak mendominasi ke arah lateral atau medial.
18
Gambar 8.Storz epistaksis Kateter Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Gambar 9. Tampon posterior dengan Kateter Foley
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. b.
Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Penelitian menunjukkan bahwa sumbatan jalan napas lengkap pada individu tertentu mengarah pada peningkatan PCO¬2 dan penurunan PO2. Kombinasi keduanya pada pasien dengan riwayat paru atau jantung dapat menimbulkan komplikasi bermakna, misalnya IMA dan gangguan pembuluh darah otak. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Jika masih ada perdarahan dapat dipasang tampon baru. c.
Medikamentosa
Selama pemasangan tampon (3-4 hari), kenyamanan pasien akan terganggu dan untuk itu perlu pemberian sedatif dan analgesik untuk mengontrol rasa nyeri. 19
Pertimbangan untuk pemberian antibiotik broad spektrum adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat kuman patogen selama pemasangan tampon.
BAB IV
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri. Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997. 2. Cumming, W Charles. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 3rd edition. 1999. Mosby. Chapter : 45. Page : 852-64 3. Santos, Perry M., Lepore, Michael Leo. (2001). Epistaxis. Dalam : Byron J. Head and Neck Surgery-otolaryngology. Volume 2 . Third Edition . Philadelphia : JB Lippincott Company 4. Warta Medika. Mimisan atau Epistaksis. WartaMedika [serial online] 2007 Jul 2 [cited 2009 Mar
4]Available
from
:
http://www.wartamedika.com/2007/07/mimisan-
atau-
epistaksis.html 5. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131. 6. Wikipedia. Epistaxis. Wikipedia 2009 Feb 10 [cited2009 Feb 28] Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Epistaxis 7. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited 2009 feb http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 8. http://www.scrib.com 9. http://www.ghorayeb.com/EpistaksisPosteriorEndoskopisView.html 10. Snell, Richard S. Buku Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 6. EGC.2006.hal 803-805 21
11. Weiss NS. Relation of high blood pressure to headaches, epistaxis and selected other symptoms. N Engl J Med 1972;287:631–633. 12. Byron J et al. Head and Neck Surgery - Otolaryngology (2-Volume Set) 3rd edition. 2001. Chapter 36 .
22