REFERAT ADVANCED LIFE SUPPORT
Disusun Oleh : Lisa Sari (11.2015.297)
Pembimbing : Dr. Ucu Sp.An
Kepaniteraan Klinik Anestesi Periode 23 Januari 2017 s/d 11 Februari 2017 Rumah Sakit Bayukarta Karawang FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebun Jeruk- Jakarta Barat 1
BAB I PENDAHULUAN Kasus henti jantung dan pernafasan sering ditemukan di masyarakat dan di rumah sakit. Setiap tahun serangan jantung menyebabkan lebih dari 350.000 kematian yang terjadi sebelum penderita sampai di rumah sakit. Banyak kematian ini dapat dicegah bila seseorang segera datang menolong korban terutama pada satu atau dua menit pertama setelah mulainya tanda-tandanya. Penyebab tersering kegagalan sirkulasi, ‘henti jantung’ yang cukup berat sampai menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengamcam kehidupan, adalah : aritmia ventrikel : sumbatan koroner akut, jaringan parut yang terjadi setelah infark miokardium, gangguan metabolik seperti hipo dan hiperkalemia, hipoksemia, obat-obatan seperti antidepresan trisiklik, antihistamin non sedatif, antipsikotik dan antibiotik makrolida ; Bradiaritmia : penyakit jaringan konduksi, seperti blok jantung komplit, selama infark miokard, setelah aritmia ventrikel yang lama atau henti nafas ; Syok kardiogenij sering pada infark miokard yang luas dan gagal jantung lanjut ; Hipovolemia : seperti luka tusuk, pendarahan gastrointestinal atau retroperitoneal yang berat, misalnya pada ruptur aneurisma aorta abdominalis ; Tamponade perikardial : luka tusuk, infark miokard baru, keganasan atau segera setelah bedah jantung ; Emboli paru ; Pneumotoraks tension : penderita asma, penyakit paru obstruksi kronis atau setelah trauma.1 Sebagian besar pasien datang dengan keluhan kombinasi henti sirkulasi dan pernafasan. Hal ini biasanya berarti pada mulanya terjadi henti jantung atau pernafasan yang kemudian terus berlanjut karena tidak terelakkan lagi yang satu menyebabkan yang lain.1
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Bantuan hidup dasar istilah digunakan untuk menggambarkan pemeliharaan jalan napas yang jelas dan dukungan dari pernapasan dan sirkulasi dalam kasus-kasus serangan jantung. Hasil terbaik pada pasien dengan henti jantung jika dilakukan kompresi dada segera setelah di diagnosis henti jantung. Kompresi jantung harus segera dilakukan sesuai dengan kecepatan dan kedalaman yang direkomendasikan. 2 Resusitasi jantung paru adalah istilah yang dipakai untuk menyebut terapi segera untuk henti jantung dan/atau nafas yang terdiri dari pemberian sirkulasi dan nafas, dan merupakan terapi umum yang bisa diterapkan pada hampir semua kasus henti jantung/nafas. 1
Henti Nafas Henti nafas primer dapat terjadi oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan
obat, tenggelam, inhalasi asap, obstruksi jalan nafas oleh benda asing dan lain-lain. Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, nadi masih teraba, pemberian oksigen ke otak dan oragn vital lainnya masih cukup hingga beberapa menit. Jika pasien dengan henti nafas mendapat pertolongan segera, maka pasien akan terselamatkan. Namun jika terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal. 3
Henti Jantung Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal. 3 Henti jantung yang dikenali dengan tidak adanya denyut nadi, dapat terjadi karena : 4 1. Fibrilasi ventrikel, bila ada kedutan yang tidak terkoordinasi pada masing-masing serabut miokardium tetapi tanpa kontraksi jantung. 2. Henti ventrikel, bila tidak terdapat aktivitas listrik ataupun tidak ada kontraksi jantung. 3. Kolaps kardiovaskular, bila ada aktivitas jantung tetapi kontraksi tidak efektif.
3
Mekanisme listrik ini semua menyebabkan tidak ada denyut nadi. Penanganan utama dari semua keadaan ini adalah dengan resusitasi jantung. Tujuannya adalah untuk oksigensi darurat secar efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri dengan normal. Resusitasi mencegah agar sel tidak rusak karena kekurangan oksigen. Bantuan hidup dasar menjaga jalan nafas tetap paten, memberikan nafas buatan dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung. Tindakan ini harus dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4 menit. Dalam beberapa menit setelah henti jantung, korban kehilang kesadaran dan berhenti nafas. Selama fase dini, korban bisa kejang-kejang. Kadang-kadang dalam 30 detik pupil berdilatasi lebar. Semakin dini aliran darah ke otak dipulihkan, maka semakin besar kemungkinan fungsi otak kembali ke normal. Biasanya kerusakan otak yang berarti terjadi setelah enam menit henti jantung. Tanda-tanda henti jantung adalah penurunan kesadaran, tidak ada gerakan pernafasan dan tidak ada pulsasi di arteri karotis dan arteri femoralis. Resusitasi kardiopulmoner dimulai dengan menentukan ada tidaknya respon penderita. Penolong harus dengan lembut mengoncangkan tubuh penderita sambil menanyakan “apakah anda baik- baik saja ?”. Bila penderita tidak berespon, segera minta bantuan. Penderita ditelentangkan. Karena lidah merupakan penyebab tersering obstruksi jalan nafas pada pasien yang tidak sadarkan diri, maka sebaiknya kepala penderita dimiringkan. Penolong menempatkan satu tangannya dibawah leher penderita, tangan lainnya diletakkan di dahi. Kemudian leher diangkat dengan satu tangan sementara memiringkan kepala dengan tekanan ke belakang pada dahi dengan tangan lain. Bila ada trauma pada leher seperti pada kecelakaan lalu lintas maka memiringkan kepala tidak dilakukan. Cara yang digunakan pada pasien dengan trauma leher adalah dengan mendorong rahang. Pada cara mendorong rahang, penolong memegang sudut rahang bawah korban, satu tangan pada setiap sisi kepala diatas telinga dan angkat dengan kedua tangan, menarik mandibula ke depan sementara kepala dimiringkan ke belakang.4 Sementara mempertahankan jalan nafas terbuka, penolong menempatkan telinga di depan mulut dan hidung korban melihat arah dada dan lambung korban serta mengamati adanya gerakan, mendengarkan hembusan udara yang keluar selama ekspirasi. Bila korban tidak bernafas, maka harus dilakukan pernafasan buatan. 4
Cata terbaik memberikan pernafasan buatan dengan menggunakan teknik mulut ke mulut. Letakkan tangan penolong di dahi korban, geser sehingga anda dapat menjepit bagian bawah hidung korban sementara tonjolan telapak tangan pada dahi untuk mempertahankan kemiringan kepala. Tangan lain tetap dibawah leher penderita atau dagu dan angkat. Berikan empat pernafasan cepat tanpa waktu bagi pengempisan paru total diantara pernafasan. Volume udara yang diperlukan pada orang dewasa untuk melihat naiknya dada biasanya 800 hingga 1200 ml udara. Biasanya ini setara dengan dua kali ukuran pernafasan penolong. Ada atau tidaknya denyut nadi kemudian diperiksa dengan palpasi arteri karotis. Bila terdapat denyut nadi, penolong melanjutkan usaha pernafasan buatan, memventilasikan paru setiap lima detik sekali hingga penolong datang. Bila tidak ada denyut nadi, maka sirkulasi buatan harus dilakukan disamping pemberian nafas buatan. Bila sirkulasi tidak ada, mulai lakukan kompresi dada dengan menekan sternum ke bawah 4-5 cm, dengan kecepatan 100 kali per menit, berganti 15 kali kompresi dan 2 kali nafas. Kompresi dada dapat mengembalikan 30% perfusi otak normal. Lanjutkan hingga pasien memiliki sirkulasi yang spontan atau bingga adanya bantuan.1
ADVANCED LIFE SUPPORT (ALS) 5 Setelah henti jantung terjadi, tindakan yang cepat dan efisien dapat menyelamatkan hidup. Advanced life support adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan intervensi yang lebih luas, termasuk management jalan nafas tambahan, obat, defibriliasi manual, ekokardiografi dan identifikasi dan terapi penyebab reversibel dari henti jantung. Intervensi ALS biasanya tersedia dalam bentuk sebuah tim, misalnya tim resusitasi di rumah sakit. Algoritma dari ALS memfasilitasi anggota tim yang bekerja sama dengan cara yang terstruktur dan effisien sehingga memungkinkan untuk memberikan pengobatan sesegera mungkin tanpa diskusi yang berkepanjangan. ALS Algoritma5
Langkah pertama pada algoritma ALS adalah konfirmasi adanya henti jantung. Pemberi ALS sudah terlatih untuk menilai pernafasan dan merasakan denyut nadi yang simultan. Henti jantung dikonfirmasikan dengan tidak adanya pulsasi denyut nadi dan pernafasan yang normal; panggil tim resusitasi jika belum ada. Mulai dengan kualitas yang 5
tinggi, kompresi dada yang tidak terputus dan tempelkan pasien dengan monitor defibrilasi. Lanjutkan CPR secara bergabtian dengan 30 kompresi dan 2 ventilasi sampai dipasangnya alat bantuan jalan nafas. Algoritma ALS menyediakan dua kelompok pengobatan yang ditentukan oleh irama jantung. Perbedaan utama dari pengobatan tersebut adalah kebutuhan defibrilasi. Ritme jantung yang membutuhkan defibrilasi (ventrikel fibrilasi/VF) atau ventrikel takikardi (VT) dikelola dengan menggunakan sisi yang shockable pada algoritma. Ritme yang lain (Pulseless Electrical Activity/ PEA dan asistol) dikelola dengan menggunakan sisi yang unshockable pada algoritma. Algoritma Advanced Life Support
Tidak ada respon ? Tidak ada nafas atau nafas yang hanya sesekali Pan
il tim resusitasi CRP 30 : 2
Pasan defibrilator / monitor Nilai ritme
Shockable (VF/pulseless
Kembali ke sirkulasi
Non- Shockable (PEA/Asistol)
Segera lanjutkan CRP selama 2 menit
1 shock
Segera lanjutkan CRP selama 2 menit
Segera berikan penanganan post henti jantung : Pengunaan pendekatan ABCDE, Kontrol oksigen dan ventilasi, 12 lead EKG, Tangani faktor pencetus, Kontrol temperatur/ terapi hipotermia
6
Selama CPR
Penyebab Reversible :
Pastikan CPR yang berkualitas : frekuensi, kedalaman dan pengembangan dada
Hipoksia
Hipovolemia
Hipo/hiperkalemia
Rencanakan tindakan sebelum CPR
Hipotermia
Berikan oksigen
Trombosis – coronary / pulmonary
Tamponade – cardiac
Racun
Tension pneumothorax
Pertimbangkan pemberian bantuan jalan nafas dan capnography Lanjutkan kompresi dada ketika bantuan jalan nafas sudah ada Nilai pembuluh darah ( intravena, intraosseous )
Berikan adrenalin setiap 3-5 menit
Periksa penyebab reversible
Evaluasi dan pengobatan 6 1. Konfirmasikan keadaan yang tidak responsif. Pada keadaan trauma, kurangi seminimal mungkin resiko cedera vertebra servikalis. Mintalah bantuan. 2. Pertahankan jalan nafas dengan memakai manuver kepala tergadah – dagu diangkat, karena korban dengan henti jantung mungkin terjatuh dan menderita cedera leher. Apabila teknik kepala tergadah-dagu diangkat tidak berhasil, gunakan teknik mendorong
dagu
atau
manuver
kepala
tengadah-leher
diangkat
untuk
mempertahankan jalan nafas yang adekuat. Periksalah mulut dengan cepat, bersihkan setiap makanan yang ada, muntahan atau gigi palsu. 3. Usahakan pemberian 2 kali pernafasan buatan secara cepat dan pastikan bahwa dadanya bergerak dengan tepat. Jika tidak terjadi gerakan, lakukan manuver untuk menghilangkan obstruksi jalan nafas. a. Sekali lagi periksa mulut pasien untuk melihat adanya benda asing atau gigi palsu yang longgar dengan cara menyapu menggunakan jari tangan. b. Periksa secara langsung daerah faring dan laring dapat menemukan adanya benda asing yang dapat diraih menggunakan forsep McGill. c. Berikan 4 dorongan pada abdomen dengan berlutut di samping paha korban atau duduk mengangkanginya dan lakukan dorongan yang terpusat pada daerah epigastrium untuk wanita yang gemuk atau sedang hamil. Berikan 4 dorongan pada dada dengan meletakkan satu telapak tangan pada masingmasing sisi dari bagian bawah dada anterior dan melakukan dorongan ke arah
7
posterior. Periksa mulut dan usaha ventilasi sebagai bukti adanya obstruksi jalan nafas. Ulangi beberapa kali sebanyak yang dibutuhkan. d. Apabila tidak berhasil, balikkan si korban ke arah anda dan berikan 4 backslaps diantara kedua bahu. e. Jika semua usaha tersebut gagal maka krikotiromi harus dilakukan. Prosedur ini lebih efektif dibandingkan dengan trakeostomi pada keadaan ini. f. Pertahankan kontrol jalan nafas : o
Teruskan pernafasan mulut ke mulut atau mulut ke masker ventilasi sampai tersedianya kantong masker yang baik.
o
Intubasi trakea tidak diperlukan dengan segera, karena pada sebagian
besar keadaan, kantong masker ventilasi yang berkatup sudah adekuat untuk memperbaiki oksigenasi. Intubasi trakea dapat dilakukan hanya apabila terdapat orang yang ahli mengenainya. Setiap usaha harus dibatasi sampai 30 detik, dan usaha yang gagal harus dilanjutkan segera dengan kantong ventilasi masker berkatup untuk mengurangi hipoksia. Panjang tabung harus diperhatikan untuk menghindari intubasi bronkus utama kanan. Tabung endotrakeal harus dimobilisasi dengan aman memakai plester perekat. o
Pada pasien-pasien dengan trauma, penanganan harus sebaik mungkin untuk mengurangi resiko terjadinya trauma pada vertebra servikalis,
pada waktu intubasi dilakukan traksi servikal in line dibutuhkan. g. Pasanglah infus, bersamaan itu lakukan interpretasi EKG sebab defibrilasi yang cepat merupakan tindakan yang menyelamatkan jiwa. Infus dengan menggunakan jarum yang besar harus dipasang seawal mungkin dan jika memungkinkan alat pemantau tekanan harus dimasukkan sampai ke sirkulasi sentral. Vena-vena termasuk vena femoralis, vena subklavia dan vena jugularis eksterna harus dicoba untuk dimasukkan dengan alat pemantau tekanan sesudah jalan nafas aman atau jika sirkulasi belum terkoreksi sesudah pemberian obat-obatan melalui vena perifer. Instalasi obat-obatan ke dalam trakea melalui tabung endotrakeal merupakan alternatif yang efektif apabila tidak memungkinkan untuk memasang rute intravena secara cepat. Obatobatan harus dengan volume antara 5-10 ml dan dosis awal dari epinefrin, lidokain dan atropin adalah mirip dengan dosis yang diberikan secara IV, tetapi dosis selanjutnya harus ditakar lebih rendah. Obat-obatan ini harus 8
disuntikkan ke dalam tabung endotrakeal dengan menggunakan kateter CVP atau jarum panjang. Area sublingual yang merupakan jaringan yang sangat vaskular harus dipertimbangkan sebagai tempat pemberian obat-obatan. Pemberian natrium bikarbonat harus dipertimbangkan hanya sesudah terapi obat spesifik pada permulaan telah diberikan tanpa perbaikan dari sirkulasi. Dosis permulaan adalah 1mg/kg. Dosis selanjutnya didasarkan atas hasil analisa gas darah arterial. Apabila hasil analisa gas darah tidak diperoleh, natrium bikarbonat dapat diberikan setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal. h. Defibrilasi3 Dengan peralatan elektrokardiogram (EKG atau ECG) maka jenis henti jantung dapat diketahui.
Henti jantung pada ventrikel fibrilasi (VF) Pada ventrikel fibrilasi, gambaran EKG menggambarkan gelombang listrik tidak beraturan. Terapi definitif fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut nadi ialah syok listrik (DC Shock) dan tidak ada satu pun obat yang dapat menghilangkan fibrilasi.3 Prosedur fibrilasi : tongkat pertama ( paddle I ) ditempatkan dibawah klavikula kanan dekat tulang dada atas. Tongkat kedua ( paddle II ) di iga kelima antara garis midklavikular kiri dan garis aksila depan kiri. 3 Urutan syok listrik untuk terapi fibrilasi ventrikel : 6 a. Berikan energi sebanyak 200 joule dengan segera. Jika tidak berhasil, berikan kejutan kedua sebanyak 200-300 joule dengan segera, dan jika perlu berikan ketiga kalinya sampai 360 joule. Berikan epinefrin secara IV jika tindakan defibrilasi
tidak
berhasil.
Pada
henti
jantung
yang
tidak
diawasi
pertimbangkan dahulu natrium bikarbonat. Sesudah pemberian epinefrin dan natrium bikarbonat ulangi tindakan defibrilasi. Pemberian natrium bikarbonat tambahan harus didasarkan atas hasil analisa gas darah arterial. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, berikan setengah dari dosis awal setiap 1015 menit. Epinefrin dapat diulang setiap 5 menit. b. Jika fibrilasi ventrikel dapat diatasi, lakukan reevaluasi pasien secara hati-hati untuk mencari hipoksia yang belum diketahui yang berhubungan dengan pneumotoraks,
peletakan
tabung
endotrakeal
yang tidak
benar
atau
hipovolemia, dan lakukan koreksi ketidakseimbangan asam-basa. Jika tidak 9
berhasil, cobalah obat-obatan ini dan lakukan tindakan defibrilasi sesudah setiap obat ini diberikan :
Lidokain 1 mg/kg berat badan secara IV bolus dan ulangi tindakan defibrilasi. Jika tidak berhasil, ulangi bolus dan pertahankan infus rumatan pada dosis 1-4mg/menit.
Bretilium 5mg/kg berat badan secara IV bolus dan ulangi tindakan defibrilasi.
Prokainamid 100 mg secara IV bolus selama 1 menit, 200 mg selama 5 menit sampai tercapai suatu loading dose sebesar 1 gram, dan ulangi tindakan defibrilasi.
Propanolol 1-5 mg dengan dosis 1mg/menit secara IV dan diulangi tindakan defibrilasi.
Atropin 1 mg secara IV, ulangi tindakan defibrilasi.
Henti jantung asistole ventrikel Gambaran EKG asistol ventrikel adalah garis lurus tanpa defleksi yang dapat terganggu oleh aliran listrik, nafas buatan atau tindakan resusitasi. Dalam mendiagnosis henti jantung asistolik, kita harus hati-hati karena kita dapat terkecoh oleh fibrilasi ventrikel halus akibat ada gangguan perekaman EKG.3 a. Konfirmasikan pada 2 lead EKG. Jika meragukan obati sebagai VF b. Berikan epinefrin 0,5-1 mg secara IV bolus. Jika rute IV perifer tidak tersedia gunakan rute sublingual atau berikan ke dalam trakea dan berikan ventilasi secara besar-besaran. Apabila tersedia aktifkan alat pacu jantung perkutaneus. Jika tidak efektif, lakukan dibawah ini : 6
Berikan atropin 1-2 mg secara IV bolus.
Pertimbangkan pemberian natrium bikarbonas 1 mEq/kg, terutama jika henti jantungitu tidak terawasi atau kejadian berlarut-larut.
Henti jantung disosiasi elektro-mekanikal (DEM)3 Gambaran henti jantung jenis ini menyerupai gambaran EKG normal seakan-akan tidak ada kelainan, tetapi klinis tidak ada denyut nadi atau curah jantung. Penyebabnya dapat primer atau sekunder.
10
Penyebab primer misalnya pada : o
Infark miokardium akut yang masif, terutama pada dinding inferior
o
Keracunan obat (beta bloker, antagonis kalsium)
o
Gangguan elektrolit (hipokalsemi, hiperkalemi)
o
Trombus atrium
Penyebab sekunder akibat gangguan curah jantung secara mekanik misalnya pada : o
Tension pneumothoraks
o
Tamponade perikardial
o
Ruptur jantung
o
Emboli paru
o
Hipovolemi
Berikan epinefrin 0,5-1 mg secara IV. 6
Pertimbangkan natrium bikarbonat 1 mEq/kg.
Jika EKG memperlihatkan irama idioventrikuler dimana tidak terdapat gelombang P dan terdapat ORS yang lebar, pertimbangkan pemberian atropin 1 mg secara IV. 6
Berdasarkan pedoman American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC, terdapat perubahan untuk bantuan hidup lanjutan terkait jantung yaitu : 7
Vasopresor untuk resusitasi : Vasopresin
2015 (diperbaharui) : perpaduan penggunaan vasopresin dan epinefrin tidak memberikan manfaat apapun sebagai penganti epinefrin dosis standar dalam se rangan jantung. 2010 (lama)
: satu dosis vasopresin 40 unit IV/ secara intraosseus dapat
menggantikan epinefrin dalam penanganan serangan jantung. Alasannya
: pemberiaan vasopresin dan epinefrin terbukti dapat meningkatkan
Return of Spontaneous Circulation (ROSC), tetapi kedua obat tersebut memiliki khasiat yang sama sehingga tidak ada manfaat yang dibuktikan
dengan pemberian perpaduan obat
vasopresin dan epinefrin dibandingkan dengan hanya epinefrin saja. Sehingga untuk memberikan kemudahan, maka pemberian vasopresin telah dihapuskan dalam algoritma serangan jantung pada orang dewasa. 11
Vasopresor untuk resusitasi : Epinefrin
2015
: pemberian epinefrin segera jika tersedia mungkin perlu dilakukan
setelah terjadinya serangan jantung akibat ritme awal yang tidak dapat dikejut. Alasannya
: penelitian observasi yang sangat besar terkait serangan jantung
dengan ritme yang tidak dapat dikejutkan membandingkan epinefrin yang diberikan pada 1 hingga 3 menit dengan epinefrin yang diberikan pada 3 interval selanjutnya ( 4 hingga 6, 7 hingga 9 dan lebih dari 9 menit) ditemukan adanya keterkaitan antara pemberian epinefrin di awal dan peningkatan ROSC, kelangsungan hidup setelah keluar dari rumah sakit dan kelangsungan hidup menyeluruh dari segi neurologi.
ETCO2 untuk prediksi resusitasi yang gagal
2015 (baru)
: pada pasien yang diintubasi, kegagalan mencapai ETCO 2 lebih besar
dari 10mmHg oleh kapnografi gelombang setelah menjalani CRP selama 20 menit dapat dipertimbangkan sebagai satu komponen pendekatan multimodal untuk memutuskan waktu yang tepat untuk mengakhiri upaya resusitasi, namun tidak boleh digunakan dalam isolasi. Alasanya
: kegagalan mencapai ETCO2 sebesar 10mmHg oleh kapnografi
gelombang setelah resusitasi selama 20 menit dikaitkan dengan peluang ROSC dan kelangsungan hidup yang sangat buruk. Namun penelitian hingga saat ini terbatas pada potensi perancu yang merela miliki sehingga sangat tidak disarankan untuk hanya mengandalkan ETCO2 dalam menentukan waktu yang tepat untuk mengakhiri resusitasi.
CPR Ekstra-Korporeal
2015 (baru)
: ECPR dapat dipertimbangkan diantara pasien serangan jantung
tertentu yang belum merespon terhadap CPR konvensional awal, dalam kondisi yang mendukung ECPR dapat diterapkan dengan cepat. Alasannya
:
meskipun
tidak
ada
penelitian
berkualitas
tinggi
yang
membandingkan ECPR dan CPR konvensional, namun sejumlah penelitian berkualitas lebih rendah membuktikan peningkatan kelangsungan hidup dengan hasil neurologis yang baik pada populasi pasien tertentu. Karena ECPR merupakan sumber intensig dan memerlukan biaya besar, ,aka ECPR harus dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki manfaat yang cukup besar, misalnya pada pasien dengan penyakit jantung yang reversibel atau untuk mendukung pasien sewaktu menunggu transplantasi jantung. 12
Terapi Obat Pasca Serangan Jantung o
2015 (baru) rutin
setelah
Lidokain : tidak terdapat bukti untuk mendukung penggunaan lidokain secara serangan
jantung.
Namun,
inisiasi
atau
kelanjutan
lidokain
dapat
dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan jantung akibat VF/pVT. Alasannya
: meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan
antara pemebrian lidokain setelah infark miokardium dan tingginya angka kematian, namun pada penelitian lidokain baru-baru ini pada pasien yang selamat dari serangan jantung menunjukkan adanyapenurunan dalam insiden VF/pVT berulang, namun tidak menunjukkan manfaat atau kerugian jangka panjang. o
2015 (baru)
Β-Blocker : tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan β -blocker
secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan β-blocker oral atau IV dapat dipertimbangkan diawal setelah menjalani rawat inap setelah serangan jantung akibat VF/pVT. Alasannya
: dalam penelitian observasi terhadap pasien yang menjalani ROSC
setelah serangan jantung VF/pVT, pemberian β-blocker terkait dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Namun, temuin ini hanya merupakan hubungan asosiatif, dan penggunaan β- blocker secara ritun setelah serangan jantung berpotensi berbahaya karena β-blocker dapat menyebabkan atau memperburuk ketidakstabilan hemodinamik, menambah parah gagal jantung dan mengakibatkan bradiaritmia.
13
BAB III KESIMPULAN Setiap tahunnya kasus serangan jantung banyak terjadi sehingga menyebabkan angka kematian menjadi tinggi. Banyak kematian yang sebenarnya dapat dicegah jika segera ditangani pada saat satu atau dua menit pertama. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan pemberian bantuan dasar hidup yang berfungsi untuk memberikan oksigen ke organ-organ vital agar tidak terjadi kerusakan sel dan dapat berfungsi secara maksimal lagi. Bantuan dasar hidup harus segera diberikan pada pasien dengan henti jantung atau henti nafas untuk menurunkan angka mortalitas. Henti jantung ditandai dengan penurunan kesadaran, tidak ada pernafasan dan tidak ada pulsasi. Bantuan hidup dasar dimulai dengan melihat respon orang dengan henti jantung atau henti nafas. Setelah melihat respon, perhatikan nafas dan nadi orang tersebut dalam 10 detik. Jika bernafas dan ada denyut maka pantau hingga tenaga medis datang. Jika bernafas tidak normal dan ada denyut maka berikan nafas buatan setiap 5-6 detik. Dan jika nafas terhenti/tersengal serta denyut tidak ada, lakukan CPR 30 kali kompresi pada dada dan 2 kali ventilasi. Saat AED tersedia, maka periksa ritme detak jantung apakah dapat dikejut atau tidak. Jika dapat dikejut maka berikan 1 kali kejut lalu segera lanjutkan CPR kurang lebih selama 2 menit. Apabila ritme jantung tidak dapat dikejut maka segera lanjutkan CPR kurang lebih selama 2 menit. Jika henti jantung sudah bisa diatasi maka evaluasi ulang keadaaan pasien, faktor penyebab dan berikan penanganan yang sesuai dengan keadaan pasien.
14
DAFTAR PUSTAKA 1. Davey Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Erlangga : Jakarta. h. 131 2. ABC of Resuscitation. John Wiley & Sons. 2013. Wiley-Blackwell Pub. 3. Latif Said A, Suryadi Kartini A, Dachlan M.Ruswan. 2001. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.h.151-9 4. Boswick John A. 1988. Perawatan Gawat Darurat. ECG : Jakarta. h 56-9. 5. Jevon Phil. 2010. Advanced Cardiac Life Support. Wile-Blackwell: UK 6. Eliastam Michael, Sternbach George L, Bresler Michael J. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. EGC : Jakarta. h 36-42 7. American Heart Association. 2015. Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 untuk CPR dan ECC. h.14-5
15