Permasalahan Status Anak di LuarNikah
Makalah Mata Kuliah Hukum Islam
Muhammad Rizal Rachman NIM. 120710101282 KELAS. C
Fakultas Hukum Universitas Jember 2013
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim... Dengan rahmat Allah SWT atas segala taufik dan rahmatnya dimana saya dapat menyelesaikan makalah ini yang kami beri judul “Permasalahan Status Anak di Luar Nikah” yang berkaitan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi UU no. 1 tahun 1974 Perkawinan dengan pemohon penyanyi Machica Mokhtar terkait status anak hasil nikah sirinya dengan Mantan Menteri era Presiden Soeharto Bapak Moerdiono yang telah merubah UU Perkawinan selama lebih dari 39 tahun berlaku yang tidak tersentuh. Penulis menganggap masalah ini tidak hanya dihadapi oleh Machica saja, tetapi banyak di luar sana yang mempunyai masalah yang sama. Makalah ini terdiri dari beberapabab yang akan membahas permasalahan yang saat ini sering kita jumpai dalam kehidupan ini. Dalam bab pertama ini adalah pendahuluan dimana kita akan mengetahui apa saja masalah-masalah status anak di luar nikah ini dalam perspektif penulis. Kemudian bab kedua yaitu pembahasan yang terdiri dari beberapasubbab di antaranya mengenai, subbab lainnya membahas terkait pokok masalah yaitu masalah status anak di luar nikah selanjutnya penulis memberikan pandangan dari ketua Mahkamah Konstitusi RI bapak Prof. Moh. Mahfud MD mengenai pokok masalah makalah ini yang kami kutip dari kolom harianSindo yang berjudul ‘Bukan Legalisasi Zina’. Dalam bab terakhir penulis memberikan kesimpulan dan pemecahan dari pokok permasalahan dari makalah ini. Harapan dari penulis dengan selesainya makalah ini , semoga masyarakat di luar sana dapat berpikiran jernih menghadapi masalah yang terjadi seperti halnya di atas. Mudah-mudah makalah ini bermanfaat dan berguna, serta penulis meminta maaf jika masih ada kekuranganterkait isi dari makalah ini karena manusia tidak lepas dari kesalahan tanpa adanya usaha.Seperti pepatah “Belajar tentang pikiran dan ilmu pengetahuan tanpa belajar untuk memperkaya hati sama dengan tak belajar apaapa.” - Aristoteles
Jember, 14 Maret 2013
Penulis 1|Page
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………………………………………………………. 1 Daftar Isi …………………………………………………………….......... 2 1. BAB 1. Pendahuluan ………………………………………………….. 3 2. BAB 2. Pembahasan 2.1. Masalah Anak di Luar Nikah…………………….... 4 2.2. Bukan Legalisasi Zina………………………………6 2.3. 4 Cara Menentukan Hak Anak yang Lahir di Luar Perkawinan………………………………………… 7 3. BAB 3. Kesimpulan………………………………………………........ 8 4. Daftar Bacaan……………………………………………………......... 9
2|Page
BAB 1. Pendahuluan Dalam menjalani kehidupan di dunia ini salah satu tujuan hidup kita adalah melanjutkan keturunan.Seharusnya kita bersyukur atas titipan yang di berikan oleh Allah SWT kepada kita.Meskipun ada yang di berikan ada juga yang tidak.Tidak jarang ada orang yang tidak mempunyai keturunan sampai rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa memiliki keturunan seperti melalui jalan bayi tabung.Lain sebaliknya ada juga orang yang di berikan keturunan tetapi malah dia buang, di bunuh bahkan dijual karena alasan biaya hidup, nafkah, dan lain-lain. Saat ini pergaulan bebas / seks bebas / free sex di kalangan remaja sudah semakin tidak terkendali dan semakin memprihatinkan. Perlu adanya suatu tidakan nyata dari pemerintah untuk membatasi itu. Terlepas dari itu, tanpa di sadari oleh remaja-remaja ituapa saja akibat yang akan timbul setelah perbuatan itu dilakukan, misalnya seorang wanita yang telah melakukan perbuatan tersebut akan mengalami kehamilan di luar nikah yang jelas-jelas di larang oleh agama dan pemerintah. Contoh lainnya misalnya apakah seorang pria yang menghamili seorang wanita tersebut mau bertanggung jawab dan mau menafkahi bayi yang ada di dalam kandungannya? Siapakah yang menafkahi anak yang kelak lahir itu?Bagaimana status dari anak itu nanti setelah lahir? Banyak yang berpendapat anak di luar nikah melanggar norma kesusilaan di dalam masyarakat. Lantas apakah hukumnya bagi anak hasil perbuatan di luar nikah? Inilah pro kontra yang berkembang dan yang di perdebatkan dalam kehidupan masyarakat kita.Bagaimana MUI menjawab keraguan dalam masyarakat ini mengenai anak di luar nikah ini?Apakah keputusan MK terkait anak di luar nikah itu sudah benar? Berbagai masalah-masalah di atas sering terjadi dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari dan akan di bahas satu persatu dalam bab selanjutnya hingga mendapatkan kesimpulan dan pemecahan dari masalahmasalah di atas.
3|Page
BAB 2. Pembahasan 2.1.
Masalah Anak di Luar Nikah Anak luar kawin yang dimaknai dalam perspektif hukum Islam. Yaitu anak yang lahir karena tidak adanya ikatan perkawinan.Anak luar kawin, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya.Yang lazim disebut dengan anak zina, termasuk perkawinan yang terjadi dan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, anak yang dilahirkannya-pun dikategorikan sebagai anak zinah.Anak yang lahir di luar perkawinan di sebut juga “naturlijk kind”.1Sedangkan untuk perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah.Dalam sudut pandang hukum Islam.Anak yang lahir dari perkawinan tersebut, meskipun tidak pernah dicatatkan sudah dianggap sebagai anak yang sah. Beda halnya dalam hukum perdata (bisa dibaca: KUH Perdata) baik anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan tapi tanpa pencatatan maupun anak yang lahir karena anak yang tidak terikat dengan perkawinan (misalnya kumpul kebo/ meskipun menikah dikemudian hari).Bagaimana kalau ayah biologis menolak mengakui atau ia mengingkari sang anak seperti dimungkinkan dan dipersyaratkan dalam Pasal 251 KUH Perdata atau Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam? Malah dalam konsep hukum perdata, Pasal 287 KUH Perdata, dilarang menyelidiki siapa ayah seorang anak. Norma ini dihubungkan dengan Pasal 285-288, 294 dan 332 KUH Pidana (persetubuhan di luar perkawinan).Serta anak yang lahir karena perzinahan dimana salah satu pasangan tersebut telah menikah sebagaimana tafsiran Pasal 284 KUHP.Semua dikategorikan sebagai anak luar kawin.Atau anak yang tidak sah. Hal inilah yang memicu perdebatan atas putusan MK yang merevisi Pasal 43 ayat 1 UUP melalui putusan No. 46 / PUU-VII/ 2010 atas permohonan uji materil HJ. Aisyah Muchtar Alias Machica binti Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan Moerdiono yang menyamakan semua kategori anak luar kawin.Baik yang termasuk sebagai anak zinah fersi hukum Islam. Sehingga semua kategori anak luar kawin dapat mempunyai kedudukan keperdataan yang sama dengan anak hasil perkawinan yang sah. Penulis sendiri beranggapan bahwa ketentuan dalam Pasal 43 ayat 1 UUP adalah sudah benar karena landasan fiqih, Al-Qur;an, maupun hadits bahwa anak yang lahir karena hubungan perzinahan (baik terjadi karena peristiwa kumpul kebo, zina versi KUHP, anak zina karena nikah siri/
1
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, cetakan ke-31, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hlm. 49 4|Page
perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun nikah) adalah sudah benar tidak dapat memperoleh nasab dari ayahnya. Kalau hakim MK sekiranya beralasan karena mengacu ke kepentingan terbaik dan hak si anak. Biarkan saja secara moral ayah dapat bertanggung jawab terhadap anak biologisnya. Karena dalam hukum Islam sebenarnya orang yang melakukan perzinahan, sang laki-laki dapat di dera dengan membayar denda. Saya kira metode penghukuman ini perlu di masukkan dalam pengaturan undang-undang perkawinan ke depannya. Janganlah karena mendahulukan sang anak lalu seolah-olah putusan tersebut tidak ada lagi efek “penghukum teologik sejak dini”. Sehingga pasangan laki-laki dan perempuan gampang saja berzina. Status anak di luar nikah menurut UU positif seperti dalam UU No 1 Th 1974 pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya2. Kemudian UU ini di-judicial review oleh Macicha Mokhtar, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Pebruari 2012 menjadi : Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.Argumentasi yang melandasi keputusan ini antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu dan bahwasanya dia berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan UU N0 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM). Dalam bukunya, hakim agung Abdul Manan, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris3. Selanjutnya KHI menyebutkan dalam pasal 53 ayat (1) disebutkan bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat di kawinkan dengan pria yang menghamilinya.Hal ini memungkinkan bahwa pria yang menghamili wanita tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya 4. Sedangkan status anak diluar nikah menurut Islam seperti dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah saw bersabda, “ Al-waladu li al-firaasyi, walil`aahiri alhajaru” artinya “ Status (kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan 2
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia,2008) hal.88 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia(2006) 4 IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, ( Surabaya: SAP,2011) hal.276 3
5|Page
bagi pelaku zina (dihukum) batu.”Status kewalian dalam hadis tersebut adalah dalam konteks hubungan pernikahan agar anak yang dilahirkan kelak memiliki identitas yang jelas siapa ayah nasabnya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan lakilaki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. (AlQurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34). Dari kitab referensi yang sama, pendapat ini disanggah oleh Syafi`iy dan Malik yang didukung jumhur ulama, menurut mereka jika anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut. Mereka berpedoman pada pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menghentikan rencana khalifah Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan zina yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan (kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. (Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15) Tegasnya, meskipun si ibu melangsungkan akad nikah, bila kurang dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya. 2.2.
Bukan Legalisasi Zina Raison d’etre putusan Mahkamah sedikit banyak bisa dibaca dari tulisan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, di Sindo beberapa hari setelah putusan. Berbekal pengalaman melihat teman kuliah yang menikah siri guna menghindari zina.Gara-gara pernikahan mereka tak tercatat, anak hasil perkawinan tersebut menghadapi kesulitan mendapatkan administrasi kependudukan.Apalagi kalau ayah biologis tak mau melakukan istbat (pengakuan) atas anak. Bisa jadi, tulis Mahfud, penyusun UUP bermaksud baik, yakni mencegah lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud agar perempuan tidak mau dinikahi secara siri. Tetapi faktanya masih banyak orang melakukan kawin siri dengan dalih 6|Page
diperbolehkan agama.Padahal, jelas Mahfud, yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP “tidak adil dan melanggar moralitas hukum”. Putusan MK menegaskan anak luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligus. Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina. “Pokoknya, siapapun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya,” tulis Mahfud dalam kolom di harian Sindo. Lantaran putusan MK memberi perlindungan dan status hukum kepada anak luar kawin, termasuk hasil zina, maka muncul rumor bahwa MK melegalisasi perbuatan zina dan kumpul kebo karena toh kelak anak hasil hubungan gelap itu diakui secara hokum. 2.3.
4 Cara Menentukan Hak Anak yang Lahir di Luar Perkawinan Meski putusan Mahkamah Konsitusi (MK) menuai kontroversi, Mahkamah Agung (MA) tetap mendukung putusan soal hak anak di luar nikah.MA memerintahkan para hakim di seluruh Indonesia memberikan hakhak anak yang lahir di luar perkawinan.Tidak hanya hasil zina, tetapi juga anak hasil perkawinan siri. "Sama halnya dengan anak hasil zina, anak di luar nikah juga berhak memperoleh nafkah dan wasiat wajibah (pemberian harta setelah meninggal) dari ayah biologisnya”5.Menurut MA, anak yang lahir di luar nikah berhak mengajukan permohonan pengesahan anak ke pengadilan agama. Sebab, anak mempunyai hak untuk mengetahui kepastian siapa orang tuanya. Berikut 4 patokan dalammenentukan hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan: 1. Penentuan besaran nafkah iddah dan nafkah anak disesuaikan dengan kemampuan suami dan kepatutan. Misalnya, mempertimbangkan lamanya masa perkawinan dan besaran take home pay suami. 2. Harta warisan adalah nilai harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris pada saat meninggal dunia. Adapun hasil yang dikembangkan dari harta warisan merupakan harta perkongsian antara para ahli waris dan dapat dibagi di antara para ahli waris sesuai perbandingan bagian masing-masing.
5
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansur, saat berbincang dengan detikcom, Senin (4/2/2013) pagi. 7|Page
3. Anak tiri yang dipelihara sejak kecil bukan sebagai ahli waris, tetapi dapat diberi bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah (yang bagiannya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan). 4. Hibah orang tua kepada anaknya dapat dicabut tanpa persetujuan suami/isteri. Jika harta yang dihibahkan tersebut adalah harta bersama, maka hanya setengah dari obyek hibah saja yang dapat dicabut, setelah hakim mempertimbangkan pencabutan tersebut cukup beralasan. MA berharap keputusan Komisi Bidang Peradilan Agama MA ini ditindaklanjuti hakim-hakim agama di seluruh Indonesia."Hasil ini diharapkan bisa menjadi guide (pedoman) bagi hakim-hakim agama di daerah lewat Rakerda, agar tidak ada disparitas (perbedaan)," pungkas Ridwan.
8|Page
BAB 3. Kesimpulan Inti yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah : 1. Bahwa pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab 2. Anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah ibunya, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya 3. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Abu hanifah haram dinikahi ayah biologisnya, 4. Bila negara menetapkan UU yang mengatur status anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan orang tua biologisnya maka pengertian “ perdata “ tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut : a- Untuk kepentingan kemanusiaan, seperti tanggung jawab nafkah untuk anak, biaya kesehatan dan pendidikannya. b- Dalam hal menghormati nilai kemanusiaan sang anak, meskipun ia dilahirkan di luar perkawinan, maka status anak tersebut bukan “anak haram” atau “ anak zina” karena “haram” tidak berhubungan dengan benda, tetapi hanya berhubungan dengan perbuatan (zina yang dilakukan orang tua biologisnya). Demikian pula Allah tidak akan menghukum seseorang karena dosa yang dibuat orang lain. c- Untuk kepentingan administrasi negara dengan tetap menjaga agar tidak terjadi benturan dengan hukum agama. Dalam hal ini bila negara berkepentingan untuk mengadministrasi identitas anak yang harus dituangkan dalam akta kelahiran, tidak boleh mencantumkan nama anak laki-laki diberi “bin” atau nama anak perempuan dengan “ binti” yang dihubungkan kepada ayah biologisnya. 5. Apapun perdebatannya, para pihak sepakat bahwa anak luar nikah pun berhak mendapatkan perlindungan hukum. Termasuk mengetahui siapa kedua orang tuanya. Pasal 7 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan secara tegas: “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Lema ‘orang tua’ dalam norma itu tentu bukan hanya ibu.
9|Page
Daftar Bacaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Subekti, Prof. S.H. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa, 2003. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta, 2006. IAIN Sunan Ampel, Studi Hukun Islam. Surabaya: SAP,2011. Kompilasi Hukun Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2008. http://www.hukumonline.com/Prokontra_anak_luar_nikah_2 http://www.detik.com http://www.vivanews.tv
10 | P a g e