BAB I PENDAHULUAN Kelenjar paratiroid tumbuh dari jaringan endoderm, yaitu sulcus pharyngeus ketiga dan keempat. Secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid pada manusia, yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid, dua tertanam di kutub superior kelenjar tiroid dan dua di kutub inferiornya. Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama terutama mengandung sel utama (chief cell) yang mengandung apparatus Golgi yang mencolok plus retikulum endoplasma dan granula sekretorik yang mensintesis dan mensekresi hormon paratiroid (PTH). Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathiroid hormone, PTH) yang bersama-sama dengan Vit D3, dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. Karsinoma paratiroid termasuk salah satu keganasan endokrin yang jarang ditemui. Karsinoma paratiroid menyumbangkan sekitar 1% dari seluruh kejadian hiperparatiroid primer. Kejadian lebih banyak dilaporkan di Jepang dan Itali, dimana angka tersebut meningkat sampai 5-5,2%. Namun demikian, karsinoma paratiroid memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan penyakit tumor jinak yang lain seperti adenoma paratiroid atau hiperplasia.1 Umumya perkembangan penyakit ini lambat namun progresif. Pasien biasanya cenderung akan meninggal karena komplikasi dari hiperkalemia dibandingkan dengan invasi langsung dari tumor atau metastasisnya. Pengelolaan karsinoma paratiroid cenderung sulit dalam hal mendiagnosis, pengobatan, dan pemantauan dalam perkembangan.1 Pada lesi paratiroid, tidak mudah untuk membedakan antara tumor ganas dan tumor jinak, bahkan dengan menggunakan pemeriksaan histopatologi sekalipun. Pada sebagian besar pasien, tidak dapat dilakukan preoperative staging. staging. Maka dari itu temuan intraoperatif sangat penting untuk menentukan apakah ini ini sebuah keganasan atau bukan.1 Kesulitan dalam mendiagnosis sebelum operasi dapat mengakibatkan terbatasnya keampuhan pembedahan. Oleh karena kelangsungan hidup pasien kedepannya sangat bergantung pada tingkat reseksi bedah primer, maka sangat penting untuk mempertimbangkan karsinoma paratiroid dalam diagnosis banding hiperparatiroidisme. 2
Meskipun teknik biokimia, radiologis dan molekuler sudah dikembangkan, karsinoma paratiroid tetap merupakan penyakit yang sukar dipahami secara klinis dan bahkan patologis pada beberapa kasus. Diagnosis yang akurat sangat penting karena keganasan paratiroid memerlukan operasi yang lebih agresif untuk mengurangi risiko kekambuhan penyakit. Ketajaman klinis sangat penting untuk memastikan deteksi dini karena hiperparatiroidisme yang tidak diobati dapat menyebabkan hiperkalsemia berat dan kerusakan organ akhir, termasuk gagal ginjal, penyakit tulang, aritmia jantung dan disfungsi neurokognitif. Ketika diagnosis tertunda, pasien dapat datang dengan kondisi yang sudah tidak bisa dioperasi atau metastatik, yang seringkali tidak tahan terhadap terapi medis dan menghasilkan hasil yang fatal (3)
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI A.
Anatomi
Secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid pada manusia, yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid, dua tertanam di kutub superior kelenjar tiroid dan dua di kutub inferiornya. Tetapi, jumlah kelenjar paratiroid juga dapat bervariasi, yaitu dijumpai lebih atau kurang dari empat buah. Kelenjar paratiroid berwarna kuningcoklat, dengan bentuk yang bermacam-macam dan berukuran kurang lebih 3 x 3 x 2 mm, beratnya ±100 mg. Berat dan ukuran glandula paratiroid pun bervariasi, orang yang kegemukan mempunyai banyak lemak ekstrasel didalam kapsula paratiroidea.
Gambar 1. Anatomi normal kelenjar paratiroid
Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama mengandung sel utama (chief cell) dan sel oksifil, terdapat pula sel lemak dalam jumlah sedikit sampai cukup banyak, tetapi pada sebagian besar binatang dan manusia muda, sel oksifil ini tidak ditemukan. Sebagian besar hormon paratiroid diyakini disekresikan oleh sel utama (chief cell). Fungsi sel oksifil masih belum jelas; sel-sel ini mungkin merupakan modifikasi atau sisa sel utama yang tidak lagi mensekresi sejumlah hormon.
Gambar 2. Gambaran histopatologis normal kelenjar paratiroid
Apabila terjadi pembesaran dari glandula superior maka akan turun mengikuti gravitasi disekitar atau ke cabang trakeoesofagal dan dapat berada di inferior dari glandula paratiroid inferior. Kelenjar paratiroid bagian kaudal bisa dijumpai posterolateral kutub bawah kelenjar tiroid, atau didalam timus, bahkan berada di mediastinum. Kelenjar paratiroid kadang kala dijumpai di dalam parenkim kelenjar tiroid. Glandula paratiroid superior terletak biasa pada posterior terhadap lobus lateralis tiroidea dalam 1-2 cm sefalad terhadap perpotongan arteri tiroidea inferior dan nervus laringeus rekurens. Tersering paratiroid menempati posisi yang sama ditiap sisi. Tetapi bila membesar, sering ia bermigrasi melalui fascia pretrachelis ke dalam ruang prevertebralis atau turun diatas pedikel vaskular dibawah fasia yang menanam tiroidea atau bisa terletak dalam celah superfisialis dari tiroidea. Sangat jarang glandula paratiroidea superior berada tepat di intratiroidea. Posisi glandula paratiroid inferior lebih bervariasi. Posisinya sering anterior terhadap nervus laringeus rekurens dekat kutub bawah tiroid. Tetapi sekitar 20% turun lebih caudal dan terletak dalam lobus atas timus. Lebih lanjut, sekitar 2,5% glandula paratiroid inferior terletak persis di intratiroidea, biasanya dalam sepertiga bawah kelenjar. Glandula paratiroid inferior bisa terlet ak pada titik manapun antara os hyoideum dan mediastinum anterior dibawah arcus aorta.
Penyediaan darah arteri ke glandula paratiroidea inferior dan superior biasanya oleh cabang arteri akhir tersendiri dari arteri tiroidea inferior pada tiap sisi, walaupun glandula paratiroid inferior dalam mediastinum biasanya dilayani oleh cabang dari arteri mamaria interna. Drainase vena melalui vena tiroidea berdekatan ke dalam vena innominata atau vena jugularis interna. Telah dibuktikan bahwa 1/3 dari glandula paratiroid pada manusia memiliki dua atau lebih arteri paratiroid. Pembuluh limfe paratiroid beragam dan memiliki hubungan dengan pembuluh limfe di tiroid dan thymus.
Gambar 3. Vaskularisasi kelenjar paratiroid
Persarafannya bersifat simpatis langsung dari ganglia sevikalis superior atau ganglia servikalis media atau melalui pleksus pada fossa di lobus superior. Persarafannya bersifat vasomotor tetapi tidak sekremotor. Aktivitas paratiroid dikontrol oleh variasi level kalsium didalam darah fungsinya di hambat oleh peningkatan kadar kalsium dalam darah dan dirangsang oleh penurunan kadar kalsium dalam darah.
B.
Fisiologi
Kelenjar
Paratiroid
mengeluarkan
hormon
paratiroid.
Hormon
paratiroid adalah suatu hormon peptida yang disekresikan oleh kelenjar paratiroid, yaitu empat kelenjar kecil yang terletak di permukaan belakang kelenjar tiroid, satu di setiap sudut. Hormon
paratiroid
bersama-sama
dengan
vitamin
D3
(1,25-
dihydroxycholecalciferal), dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah. Sintesis hormon paratiroid dikendalikan oleh kadar kalsium plasma, yaitu dihambat sintesisnya bila kadar kalsium tinggi dan dirangsang bila kadar kalsium rendah. Efek keseluruhan hormon paratiroid adalah meningkatkan konsentrasi kalsium dalam plasma dan mencegah hipokalsemia. Apabila Hormon paratiroid sama sekali tidak tersedia, dalam beberapa hari individu yang bersangkutan akan meninggal, biasanya akibat asfiksia yang ditimbulkan oleh spasme hipokalsemik otot-otot pernapasan. Melalui efeknya pada tulang, ginjal, dan usus hormon paratiroid meningkatkan kadar kalsium plasma apabila kadar elektrolit ini mulai turun sehingga hipokalsemia dan berbagai efeknya secara normal dapat dihindari. Hormon ini juga bekerja menurunkan konsentrasi fosfat plasma. Sebagian besar efek hormon paratiroid pada organ sasarannya diperantarai oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP) yang bekerja sebagai mekanisme second messenger. Dalam waktu beberapa menit setelah pemberian hormon paratiroid, konsentrasi cAMP di dalam osteosit, osteoklas, dan sel-sel sasaran lainnya meningkat. Selanjutnya, cAMP mungkin bertanggung jawab terhadap beberapa fungsi osteoklas seperti sekresi enzim dan asam-asam sehingga terjadi reabsorpsi tulang, pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol di dalam ginjal dan sebagainya. Mungkin masih ada efek-efek langsung lain dari hormon paratiroid yang fungsinya tidak bergantung pada mekanisme second messenger .
1.
Homesotasis Kalsium Hormon paratiroid dan vitamin D menjadi faktor utama yang mengendalikan
metabolisme kalsium. Keduanya mempunyai kerja yang meningkatkan konsentrasi kalsium serum. Hormon paratiroid terikat ke reseptor dalam tulang dan ginjal serta mengaktivasi adenilat siklase, sehingga membentuk adenosin 3’5’ monofosfat siklik (AMP siklik) yang kemudian mengatur enzim intrasel lainnya.
Hormon paratiroid bekerja atas tulang untuk mempercepat resorpsi tulang dan meningkatkan
pembentukan
kembali
tulang
dengan
menginduksi
aktivitas
osteoklastik dan osteoblastik. Kerjanya atas tubulus renalis untuk menurunkan resorpsi fosfat dan bikarbonat serta untuk meningkatkan resorpsi kalsium. Hormon paratiroid mempunyai peranan tidak langsung dalam meningkatkan absorpsi kalsium gastrointestinalis dengan meningkatkan efek vitamin D. Vitamin D (kolekalsiferol) di bentuk dalam kulit oleh kerja sinar ultraviolet atas 7 dihidrokolesterol: kemudian ia dihidroksiklasi dalam hati ke 25-hidroksikolekalsiferol dan diaktivasi lebih lanjut oleh 1-alfahidroksilase dalam ginjal ke metabolit kuat, 1,25-dihidrosikolekalsiferol. Hormon paratiroid meningkatkan perubahan 25-hidroksikolekalsiferol ke 1,25dihidroksikalekalsiferol. Vitamin D juga menyokong keseimbangan kalsium positif, terutama dengan meningkatkan absorpsi usus. Walaupun salah satu kerja vitamin D untuk memobilisasi kalsium dari tulang, namun ia meningkaktan kalsium dan fosfat dalam cairan ekstrasel, serta efek bersihnya untuk meningkatkan mineralisasi dan pembentukan kem bali tulang (’remodeling’).
2.
Pengaturan Sekresi Paratiroid oleh Konsentrasi Ion Kalsium Bahkan penurunan konsentrasi ion kalsium yang paling sedikit pun dalam
cairan ekstraselular akan menyebabkan kelenjar paratiroid meningkatkan kecepatan sekresinya dalam waktu beberapa menit; bila penurunan konsentrasi kalsium menetap, kelenjar akan menjadi hipertrofi, sering lima kali lipat atau lebih. Contohnya, kelenjar paratiroid menjadi sangat membesar pada rikets, di mana kadar kalsium biasanya hanya tertekan sedikit; juga, kelenjar menjadi sangat besar saat hamil, walaupun penurunan konsentrasi ion kalsium dalam cairan ekstraselular ibu sangat sulit diukur; dan kelenjar sangat membesar selama laktasi karena kalsium digunakan untuk pembentukan air susu ibu. Sebaliknya, setiap keadaan yang meningkatkan konsentrasi ion kalsium di atas nilai normal akan menyebabkan berkurangnya aktivitas dan ukuran kelenjar paratiroid. Beberapa keadaan tersebut meliputi: a. Jumlah kalsium yang berlebihan dalam diet, b. Meningkatnya vitamin D dalam diet, c. Absorpsi tulang yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan hormon paratiroid (contohnya, absorpsi tulang yang disebabkan oleh tidak digunakannya tulang itu).
3.
Absorbsi Kalsium dan Fosfat dari Tulang yang Disebabkan oleh Hormon Paratiroid Hormon paratiroid kelihatannya mempunyai dua efek pada tulang dalam
menimbulkan absorpsi kalsium dan fosfat. Yang pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam. Tahap ini diyakini disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada (terutama osteosit) untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi osteoklastik pada tulang sendiri, jadi bukan hanya absorpsi garam fosfat kalsium dari tulang.
4.
Efek Hormon Paratiroid Terhadap Ekskresi Fosfat dan Kalsium oleh Ginjal Pemberian hormon paratiroid menyebabkan pelepasan fosfat dengan segera
dan cepat ke dalam urin karena efek dari hormon paratiroid yang menyebabkan berkurangnya reabsorpsi ion fosfat pada tubulus proksimal. Hormon paratiroid merangsang penghematan kalsium dan mendorong pengeluaran fosfat oleh ginjal selama pembentukan urin. Di bawah pengaruh hormon Paratiroid , ginjal mampu mereabsorpsi lebih banyak kalsium yang difiltrasi, sehingga kalsium yang keluar melalui urin berkurang. Efek ini meningkatkan kadar kalsium plasma dan menurunkan pengeluaran kalsium melalui urin. (Melarutkan tulang untuk memperoleh lebih banyak kalsium akan menjadi sia-sia apabila kemudian kalsium keluar melalui urin.) Sewaktu merangsang reabsorpsi kalsium oleh ginjal. Hormon Paratiroid juga meningkatkan ekskresi fosfat urin melalui penurunan reabsorpsi fosfat. Akibatnya, hormon paratiroid menurunkan kadar fosfat plasma bersamaan dengan saat hormon tersebut meningkatkan konsentrasi kalsium.
5.
Efek Hormon Paratiroid pada Absorbsi Fosfat dan Kalsium dalam Usus Walaupun hormon paratiroid tidak memiliki efek Iangsung pada usus, hormon
ini secara tidak langsung meningkatkan reabsorpsi kalsium dan fosfat dari usus halus melalui perannya dalam pengaktifan 1,25-dihidroksikolekal-siferal dari vitamin D. Vitamin ini, pada gilirannya, secara langsung meningkatkan penyerapan kalsium dan
fosfat oleh usus. Tetapi seperti dengan cara kerjanya di ginjal dan tulang hormon paratiroid dapat juga bekerja pada kondisi patologis atau farmakologis untuk meregulasi metabolime kalsium melalui stimulasi langsung terhadap absorpsi kalsium di usus. Semua efek hormon paratiroid ditujukan untuk meningkatkan kadar kalsium plasma. Dengan demikian, sekresi hormon paratiroid akan meningkat sebagai respons terhadap penurunan konsentrasi kalsium plasma dan menurun apabila kadar kalsium plasma meningkat. Sel-sel sekretorik kelenjar paratiroid sangat peka terhadap perubahan kalsium plasma bebas. Karena hormon paratiroid mengatur konsentrasi kalsium plasma, hubungan ini membentuk lengkung umpan-balik negatif sederhana untuk mengontrol sekresi hormon paratiroid tanpa melibatkan intervensi saraf atau hormon lain. Vitamin D (vitamin D3) juga berpengaruh pada metabolisme kalsium. Vitamin ini terdapat didalam diet normal dan di sintesis di kulit. Sinar ultraviolet menghasilkan vitamin D3 di kulit yang selanjutnya mengalami hidroksilasi di hati dan ginjal menjadi vitamin D3 (kalsitriol). Fungsi utama kalsitriol adalah merangsang penyerapan kalsium di dalam usus. Kelainan kelenjar paratiroid ditandai dengan peningkatan atau penurunan fungsi . Hipoparatiroidi dapat disebabkan oleh defisiensi hormon paratiroid yang bersifat
autoimun,
ketidakmampuan
berkurangnya
jaringan
untuk
pembentukan bereaksi
hormon
terhadap
paratiroid,
hormon
atau
paratiroid
(pseudohipoparatiroidisme). Yang paling sering ditemui ialah hipoparatiroidi iatrogenik sesudah tiroidektomi. Adanya kecurigaan terangkatnya kelenjar paratiroid, harus diantisipasi dengan reimplantasi kelenjar tersebut baik pada muskulus sternokleidomastoideus ataupun, muskulus brakioradialis pada lengan. Sedangkan hiperparatiroidi, yang di tandai dengan peningkatan hormon paratiroid kausa yang terbanyak ialah adenoma paratiroid dan hiperplasia paratiroid. Pada penderita berusia lanjut atau penderita asimtomatik dengan hiperkalsemia ringan terapi konservatif merupakan cara terbaik. Selebihnya berupa pembedahan untuk mengangkat semua jaringan yang menghasilkan hormon paratiroid. Pembedahan tersebut berupa pengangkatan adenoma, atau pada hiperplasia berupa pengangkatan tiga setengah kelenjar dengan menyisakan setengah kelenjar saja.
BAB III KARSINOMA PARATIROID A.
Definisi
Karsinoma paratiroid adalah keganasan endokrin yang jarang terjadi yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1904 oleh de Quervain. de Quervain menggambarkan metastasis dan nonfungsi karsinomma paratiroid; Uraian tentang karsinoma paratiroid dilaporkan pada tahun 1930an. Sejak saat itu, hanya beberapa ratus kasus yang telah dilaporkan dalam literatur. (4) Perjalanan penyakit karsinoma paratiroid digambarkan lambat namun progresif. Karsinoma paratiroid memiliki kecenderungan untuk menyebar ke kelenjar getah bening dengan metastasis akhirnya ke paru-paru dan beberapa dilaporkan dapat juga ke hati dan tulang. Mayoritas tumor bersifat fungsional (mengeluarkan hormon paratiroid [PTH] yang mengakibatkan peningkatan kadar kalsium serum). Morbiditas dan mortalitas biasanya diakibatkan oleh hiperkalsemia yang terjadi terus-menerus dan komplikasi dari besarnya massa tumor. Tumor nonfungsional hadir sebagai massa leher yang meluas; Biasanya, tumor jenis ini didiagnosis pada stadium yang lebih lanjut dan memiliki prognosis yang umumnya buruk. Kematian juga terkait dengan penyakit regional dan metastasis tumor. (4)
B.
Epidemiologi Kejadian karsinoma paratiroid dilaporkan kurang dari 1 dari satu juta orang
per tahun. Ada sekitar 800 kasus karsinoma paratiroid yang telah di laporkan di seluruh dunia. Kurang lebih 1-5% dari semua pasien dengan hiperparatiroid merupakan kasus hiperparatiroid primer.
Pada kasus ini ditemukan variasi yang
cukup besar dalam kejadian tumor ini di berbagai belahan dunia, di beberapa daerah bahkan mencapai angka 5% seperti yang dilaporkan di Jepang dan Italia. Insiden karsinoma paratiroid yang relatif lebih tinggi di negara-negara ini mungkin terkait dengan perbedaan geografis atau karena adanya perbedaan kriteria dalam diagnosis patologisnya. (2,3,4,5) Karsinoma paratiroid dilaporkan merupakan keganasan endokrin yang paling umum dengan prevalensi 0,005% dari semua jenis kanker. Menurut sebuah laporan dari National Cancer Data Base, perkiraan kejadian adalah 30 kasus baru per tahun di
Amerika Serikat. Sebagian besar laporan menunjukkan distribusi gender yang setara antara laki-laki dan perempuan. Usia khas pada penyakit ini dilaporkan berusia antara 40 sampai pertengahan 50an, sedikit lebih muda dari usia rata-rata pasien dengan hiperparatiroidisme primer dan jarang terjadi pada anak-anak. (5) Hiperparatiroidisme primer muncul dari tahun 1970-an dan menjadi gangguan endokrin ketiga yang paling sering dijumpai saat ini. Kejadian tahunan rata-rata hiperparatiroidisme awal telah meningkat dari 8 menjadi 28 per 100000 setelah diperkenalkannya pengukuran kalsium serum rutin di rumah sakit. Perubahan dramatis ini disebabkan oleh pengenalan pengukuran kalsium serum otomatis pada pertengahan 1974. Sebagai hasil dari skrining ini, tingkat kejadian hiperparatiroidisme primer yang disesuaikan usia meningkat dari 15,8 (1970-1974) menjadi 82,5 kasus (1974-1982) per 100000 orang/tahun baik pada pria maupun wanita. Sejak saat itu, tingkat insiden dilaporkan telah menurun. Sejumlah hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan penurunan progresif, termasuk efek dari skrining yang telah dilakukan, penggunaan penggantian estrogen pada wanita pascamenopause, suplementasi makanan kalsium dan vitamin D, serta penggunaan terapi iradiasi kepala dan leher pada tahun 1930an dan 1940an, yang diamati pada akhir 1970-an dan 1980an. (5)
C.
Etiologi
Etiologi karsinoma paratiroid tidak diketahui, dan sampai saat ini, tidak ada faktor predisposisi yang diakui. Namun demikian, riwayat radiasi leher adalah faktor risiko karsinoma kepala dan leher yang diketahui, dan kasus pasien dengan kanker paratiroid yang sebelumnya menerima pengobatan radiasi ke leher telah dilaporkan. Sebagai contoh, Koea dan Shaw, dalam penelitiannya melaporkan 1,4% individu dengan kanker paratiroid memiliki riwayat iradiasi leher sebelumnya; Namun, pada jurnal lain disebutkan bahwa riwayat radiasi sebelumnya sepertinya bukan merupakan faktor yang signifikan. (5,6) Faktor karsinoma dan radiasi atau gaya hidup belum dijelaskan. Mutasi gen somatik lainnya telah dikaitkan dalam pengembangan karsinoma paratiroid, dengan menghitung ekspresi abnormal protein retinoblastoma dan p53. Demikian juga, adanya gen supresor tumor ekstra pada kromosom 13 di sekitar gen retinoblastoma telah dibicarakan. Namun, tidak ada etiologi yang terbukti signifikan secara klinis, dan penelitian lebih lanjut masih diperlukan. (6)
D.
Patofisiologi
Selama tahun-tahun terakhir perkembangan dan patofisiologi karsinoma paratiroid telah menjadi lebih jelas. Onkogen dan gen supresor tumor telah dikaitkan dengan karsinoma paratiroid. Tidak ada bukti pasti tentang peran utama namun ekspresi gen yang berubah ini mungkin berperan dalam proses transformasi ganas. Lima gen dengan peran potensial dalam keganasan telah diidentifikasi dan dipelajari: p53, genitalitas karsinoma payudara (BRCA2), gen adenomatosis siklin D1 / paratiroid
1
(PRAD1),
gen
supresor
tumor
retinoblastoma
(RB)
dan
hiperparatiroidisme 2 gen supresor tumor (HRPT2). (1) Gen HRPT2 telah memberikan bukti terbaik. Gen ini juga bertanggung jawab untuk hiperparatiroidisme dengan sindrom rahang-tumor (HPT-JT). Karsinoma paratiroid terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada pasien HPT-JT (sekitar 15%). HRPT2 juga dapat berperan dalam patogenesis karsinoma paratiroid sporadik. Shattuck dkk menemukan mutasi HPRT2 pada 10 dari 15 pasien dengan karsinoma paratiroid sporadik. (1) Prevalensi mutasi HPRT2 pada karsinoma paratiroid sporadik mungkin setinggi
76,6%.
Kebanyakan
mutasi
akan
menyebabkan
kekurangan
atau
pengurangan ekspresi protein yang dikodekan. HPRT2 mengkodekan protein yang disebut parafibromin (penyakit paratiroid dan lesi fibroosseus) yang merupakan protein penekan tumor. Parafibromin terlibat dalam regulasi siklus sel dengan menghambat proliferasi sel dengan menghalangi ekspresi siklin D1. (1) Siklin D1 atau PRAD1 adalah onkogen yang terletak di kromosom 11 band 11q13. Siklin D1 diekspresikan dalam jumlah banyak pada karsinoma paratiroid, dalam sebuah penelitian oleh Vassef dkk, 10 dari 11 spesimen karsinoma paratiroid (91%) positif terhadap siklin D1. Sementara pada spesimen adenoma, hanya 11 dari 28 spesimen (39%) yang positif. Ekspresi belebihan dari siklin D1 mungkin merupakan hasil dari menurunnya ekspresi dari parafibromin. (1,7) Cryns dkk dalam studinya menunjukkan bahwa dari 11 kejadian karsinoma paratiroid, seluruhnya mengalami kekurangan alel RB. Subramanian dkk, dalam penelitiannya yang menggunakan antibodi monoklonal tikus, juga memaparkan bukti bahwa 2 dari 3 kasus kanker mengalami inaktivasi gen RB dan inaktivasi gen RB ini hanya ditemukan pada 1 dari 11 kasus adenoma. Pearce dkk dalam penelitiannya, menemukan adanya penghapusan alel dari wilayah 13q12-14 yang melibatkan gen RB dan gen BRCA2. Kejadian serupa yang melibatkan daerah 13q juga dilaporkan
oleh beberapa peneliti lainnya. Data ini sangat mendukung adanya gen supresor tumor pada kromosom 13, yang sangat penting untuk karsinogenesis paratiroid. (7) Keuntungan atau kerugian spesifik tumor dari bahan kromosom menunjukkan bahwa onkogen (pada lokasi 1q, 5q, 9q, 16p, 19p, dan Xq) dan gen supresor tumor (di lokasi termasuk 1p, 3q, 4q, 13q, dan 21q) dapat dilibatkan dalam patogenesis karsinoma paratiroid. Menariknya, sejumlah gen yang biasanya hilang pada kasus adenoma dapat ditemukan pada sebagian besar kasus karsinoma. Ini mendukung hipotesis bahwa karsinoma paratiroid cenderung timbul de novo dan bukan dari adenoma yang sudah ada sebelumnya. (7)
E.
Gejala Klinis dan Biokimia
Secara klinis, karsinoma paratiroid dapat terjadi pada usia berapapun, dengan puncak pada dekade kelima kehidupan. Usia rata-rata pasien dengan adalah 45 tahun dengan kisaran 12 sampai 80 tahun. Karsinoma paratiroid memiliki frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dengan rasio laki laki dan perempuan sebesar 1 : 1, berbeda dengan adenoma paratiroid yang dilaporkan lebih banyak ditemukan pada perempuan dengan rasio sebesar 3-4 : 1. Namun, pertimbangan jenis kel amin dan usia tidak banyak membantu dalam mengevaluasi etiologi dan diagnosis pasien. (3,7) Meskipun perbedaan antara penyakit paratiroid jinak dan ganas sulit ditemukan pada tingkat klinis, beberapa ciri klinis tertentu dapat meningkatkan kecurigaan dokter terhadap keganasan yang mendasarinya. (3) Karsinoma paratiroid pada umumnya menunjukan pertumbuhan tumor yang lambat dan memiliki kecenderungan untuk kambuh secara lokal yang kemudian akan dilanjutkan dengan metastasis tumor dalam jangka waktu yang lama. 95% karsinoma paratiroid dapat meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH). (7) Gejala yang dilaporkan secara umum berhubungan dengan hiperparatiroidisme yang jelas, termasuk gangguan ginjal (nephrolithiasis, nephrocalcinosis), tulang (nyeri tulang, osteopenia), dan keterlibatan neurokognitif (kecemasan, depresi). Ginjal dan tulang Di masa lalu, penyakit paratiroid jinak dan ganas akan hadir secara simtomatik pada pasien yang terkena dampak. Namun, dengan kemajuan tes kalsium serum rutin, sebagian besar pasien dengan hiperparatiroidisme jinak sekarang didiagnosis secara kebetulan dan asimtomatik. Dengan kata lain, adanya kelainan baik pada ginjal maupun skeletal yang ditemukan pada pasien dengan hiperparatirodisme saat ini harus diwaspadai adanya keganasan yang mendasari kondisinya. (2,3)
Temuan klinis lainnya, yang mengkhawatirkan namun tidak spesifik untuk karsinoma paratiroid, mencakup massa leher yang teraba (The American national cancer melaporkan dari 286 pasien dengan karsinoma paratiroid memiliki rata-rata ukuran massa leher sebesar 3,3cm), tumor rahang (jaw tumor) yang terjadi bersamaan, nyeri leher dan suara serak. Riwayat hiperkalsemia dan / atau sindrom genetik (hyperparathyroidism-jaw tumor syndrome, multiple endocrine neoplasia syndrome dan penyakit paratiroid lainnya) baik pada keluarga maupun pada dirinya sendiri juga dapat dipertimbangkan sebagai dasar diagnosis adanya keganasan. Pada beberapa kasus, meskipun jarang ditemukan, pasien dengan karsinoma paratiroid dapat datang dalam keadaan hiperkalsemia yang mengancam jiwa, dengan gagal ginjal, aritmia jantung, dan / atau keterlibatan neurologis (koma). (1,3) Secara biokimia, karsinoma paratiroid cenderung datang dengan manifestasi akibat hiperparatiodisme dimana ditemukan kadar PTH > 3 kali batas atas normal (N: 15-80pg/ml) atau > 300pg/ml dan adanya hiperkalsemia berat dimana albumincorrected calcium levels > 3,0 mmol/L atau kadar kalsium serum > 14 mg/d. Sebaliknya, penyakit paratiroid jinak umumnya bersifat lebih lamban, dengan hiperkalsemia ringan (dalam 1 mg / dL dari kadar normal) dan kadar PTH sedangringan, kecuali pada adenoma paratiroid yang besar dan sindrom yang terkait dengan fenotip florid. (1,3,5) Hiperparatiroidisme sekunder juga memiliki manifestasi yang serupa baik secara klinis (riwayat asupan lithium / thiazide, penyakit gastrointestinal / malabsorbsi kalsium) atau secara biokimia (adanya penyakit ginjal, defisiensi vitamin D, hipokalsemia), maka untuk menegakan diagnosis, kemungkinan adanya kejadian hiperparatiroidisme sekunder perlu disingkirkan terlebih dahulu. (3) Baru-baru ini, beberapa peneliti memaparkan metode yang menjanjikan dimana bila rasio PTH generasi ke-3 dan generasi ke-2 >1 diprediksi tumor paratiroid tersebut lebih cenderung ganas (sensitivitas: ~ 75-82%; spesifisitas: ~ 97-98%). Meskipun saat ini teknik ini belum diadopsi secara luas, namun metode ini sudah diusulkan dengan dasar bahwa karsinoma paratiroid cenderung memproduksi lebih banyak amino-PTH, yang dikenali oleh uji PTH generasi ke-3 dan tidak dikenali oleh uji PTH generasi ke-2. (3)
Tabel 1: Clinical F eatures of Parathyroid Carcinoma (7)
Renal
Polyurea, polydypsia, urolithiasis, nephrocalcinosis, renal failure Osteitis fibrosa cystica, osteopenia, salt & pepper skull,
Bone
pathological fractures,bone pains, periosteal bone resorption Concomitant renal Seen in up to 40 % of patients with parathyroid carcinoma. & bone Exceptional in benign hyperparathyroidism Neuromuscular Fatigue, myalgia, headache Proximal muscle weakness, pruritus, mental disturbance, recurrent laryngeal nerve palsy & pruritus. Rheumatological Joint pains, gout, pseudo-gout, chondrocalcinosis, calcific tendonitis Gastrointestinal Anorexia, nausea, vomiting, constipation, peptic ulcer, pancreatitis Cardiovascular Reduced Q-T interval, arrhythmias Cornea Calcification: band keratopathy
Tabel 2: Primary Hyperparathyroidism due to Benign and Malignant E tiology (7)
F eature M : F Age (yrs) Palpable neck mass Renal disease
Lithiasis
Nephrocalcinosis
Decreased function Bone disease
Osteitis fibrosa cysctica Renal and bone disease Peptic ulcer Pancreatitis Asymptomatic
F.
Cancer
Benign
1:1 47(12-80) 32-80% 35-60% 49%
3:1 56(17-85) Rare 4-37% 20%
23-56%
Rare
51-84%
10-14%
38-91% 36%
<5% 4%
25-45% 11% 6-15% 2-3%
Rare 8% Rare 50-80%
Temuan Radiologis
Selain informasi klinis dan biokimia, fitur radiologi tertentu dapat membantu membedakan tumor jinak dari tumor ganas pada penyakit paratiroid. Namun, saat ini tindakan pembedahan yang lebih radikal dengan dugaan klinis saja tanpa adanya tanda metastasis yang jelas masih kontroversial. Meskipun demikian, pada semua
pasien dengan hiperparatiroidisme primer, investigasi radiologi dilakukan untuk menilai sejauh mana perjalanan penyakit untuk merencanakan pengobatan. secara khusus, pencitraan ekstra-paratiroid, yang terdiri dari ultrasonografi ginjal dan dualenergy X-ray absorptiometry, digunakan untuk menilai penyakit ginjal (nefrolitiasis, nefrokalsinosis) dan penyakit tulang (penurunan kepadatan tulang) yang berhubungan dengan paratiroid hormon, karena temuan ini mungkin memerlukan intervensi pembedahan meskipun tidak ditemukannya gejala klinis. (3) Ultrasonografi leher adalah alat non-invasif dan relatif murah yang harus dipertimbangkan untuk semua pasien dengan hiperparatiroidisme. Bukti sonografi dari infiltrasi dan / atau kalsifikasi sangat terkait dengan keganasan paratiroid, sedangkan tidak adanya vaskularisasi yang mencurigakan, kehadiran kapsul tebal dan heterogenitas dalam kelenjar paratiroid lebih sesuai dengan tumor jinak. Baru-baru ini telah dikembangkan 99technetium-labelled sestamibi (99mTc-sestamibi) scintigraphy yang dapat menunjukan apakah penyakit tiroid menyerang satu kelenjar tiroid saja (single gland parathyroid disease) atau lebih dari satu kelenjar (multi gland parathyroid disease). (3) Peningkatan
penyerapan
sestamibi
umumnya
menggambarkan
adanya
hiperfungsi yang abnormal pada jaringan paratiroid. Bila dibandingkan dengan pencitraan
konvensional,
scan
sestamibi
memiliki
kelebihan
dimana
dapat
menunjukan lokasi terjadinya hiperfungsi diluar jaringan paratiroid, jika ditemukan kelainan diluar jaringan paratiroid maka harus dipertimbangkan adanya kemungkinan metastasis dari karsinoma paratiroid. CT scan leher dan dada juga dapat diindikasikan pada beberapa kasus untuk menilai penyebaran penyakit, namun biasanya pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. (3)
G.
Gambaran Histopatologi
H.
Penatalaksanaan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kanker paratiroid adalah tumor ganas agresif yang berkembang dengan lambat, dan kebanyakan pasien meninggal akibat dari hiperkalsemia. Maka dari itu, tujuan terapi yang dilakukan baik pada lesi primer, kekambuhan, maupun gangguan metastatik adalah untuk mengurangi semua gejala yang timbul apabila masih memungkinkan dan untuk mengelola masalah metabolik hiperparatiroidisme.
Terapi yang paling efektif saat ini untuk karsinoma paratiroid adalah dengan pembedahan. Karsinoma paratiroid bukan suatu tumor yang radiosensitif. Manfaat terapi ajuvan, termasuk kemoterapi dan radioterapi, masih belum jelas. Beberapa laporan telah melaporkan bahwa radioterapi pascaoperasi dapat mengurangi risiko kekambuhan lokal pada pasien dengan margin positif (positive margin) atau margin dekat (close margin). Selain itu, karena kelangkaan karsinoma paratiroid, hanya sedikit peneliti yang memiliki jumlah pasien yang cukup untuk melakukan percobaan klinis berskala besar. Sehingga, beberapa jurnal menyebutkan bahwa upaya untuk mengendalikan tumor dengan kemoterapi tidak efektif.
1.
Pembedahan Paratiroidektomi
adalah
pengobatan
pilihan
untuk
pasien
dengan
hiperparatiroidisme primer yang parah dan simtomatik, yang merupakan manifestasi klinis khas karsinoma paratiroid. Pendekatan bedah yang memadai bergantung pada kecurigaan pra-operasi karsinoma paratiroid dan pengalaman ahli bedah. Semua pasien dengan karsinoma paratiroid yang dicurigai harus dirujuk ke ahli bedah paratiroid berpengalaman. Gold standart terapi adalah dengan melakukan reseksi en blok tumor, lobus tiroid ipsilateral yang terlihat ‘kotor’, dan struktur yang letaknya berdekatan. Tracheoesphageal, paratracheal , dan kelenjar getah bening mediastinum bagian atas harus dieksisi. Tidak ada bukti bahwa pembedahan kelenjar getah bening rutin dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, namun hal tersebut baru-baru ini direkomendasikan oleh Schulte dkk pada operasi awal untuk semua pasien dengan karsinoma paratiroid. Penurnan kadar kalsium menuju normal setelah dilakukan operasi menunjukan bahwa sudah tidak adanya jaringan yang mengalami hiperfungsi. Jika ciri makroskopik khas karsinoma paratiroid dan invasi vaskular atau kapsul luas ada pada histologi, operasi ulang yang bertujuan untuk menentukan struktur yang berdekatan dapat dipertimbangkan. Demikian pula, operasi berulang, setelah studi lokalisasi yang sesuai, harus dipertimbangkan pada pasien dengan hiperkalsemia persisten / kambuhan. Jika pasien mengalami normokalememik dan histologinya tidak jelas, operasi kembali segera tidak ditunjukkan, karena reseksi tumor secara menyeluruh mungkin telah bersifat penyembuhan.
Pada periode awal pasca operasi pasien harus dipantau karena risiko hipokalsemia simtomatik akibat "sindrom tulang lapar". Selama follow-up kalsium serum dan PTH harus dipantau secara ketat (yaitu, dua tahun selama 5 tahun dan kemudian tahunan). Tindak lanjut dari pasien dengan PC yang tidak berfungsi seharusnya hanya mengandalkan pada studi pencitraan. PC memiliki tingkat kekambuhan> 50%. Sebagian besar kekambuhan terjadi dalam 23 tahun setelah operasi awal, dengan tingkat kekambuhan lokal antara 33 dan 82% dalam waktu 5 tahun. Studi pencitraan harus dilakukan pada semua pasien sebelum dioperasi kembali. Aspirasi Fineneedle dari lesi samar dengan pengukuran PTH dalam eluate dapat secara teoritis membantu, namun harus dihindari karena potensi pembenihan sel ganas di sepanjang jalur jarum. Bila studi pencitraan non-invasif negatif, arteriografi dan pengambilan sampel vena selektif untuk pengukuran PTH mungkin berguna. Kekambuhan lokal harus diobati dengan reseksi yang luas. Metastasis jauh yang dapat diakses, terutama dengan adanya penyakit metastasis lokal, juga harus direseksi, selama mungkin dan dapat menyebabkan periode normocalcemia mulai dari bulan ke tahun. Hasil kemoterapi dan radioterapi umumnya mengecewakan. Laporan terakhir menyarankan penggunaan iradiasi sebagai terapi ajuvan. Kelangsungan hidup bebas penyakit rata-rata 60 bulan pada 4 pasien yang diberi radioterapi adjuvan pasca operasi telah dilaporkan. Pengalaman MD Anderson Cancer Center menunjukkan manfaat radiasi ajuvan yang diberikan setelah operasi, terlepas dari jenis operasi dan stadium penyakitnya. Ablasi frekuensi radio saja atau dikombinasikan dengan embolisasi arteri telah berhasil digunakan dalam pengobatan metastasis hati dan paru pada dua pasien dengan PC.