MODUL
ANALISIS MASALAH DALAM KONSELING
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2013
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayaNya semata maka penulis dapat menyelesaikan modul ini sesuai dengan harapan. Secara umum modul ini dimaksudkan untuk membelajarkan peserta PLPG BK tentang konsep dan praktek dalam melakukan asesmen masalkah klien. Secara khusus, setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan modul ini para peserta PLPG BK diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan wawancara asesmen guna memperoleh data tentang konfigurasi masalah klien dan kemudian menganalisisnya dengan menggunakan model konseptualisasi masalah dari pendekatan kognitif perilaku. Materi dalam model ini disajikan dalam tiga bagian, yakni: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Bagian awal berupa pendahuluan yang terdiri atas pernyataan tujuan, organisasi materi, garis besar materi, dan petunjuk belajar. Bagian inti berisi tiga bab kegiatan belajar, yakni: hakekat asesmen dalam konseling, model-model asesmen dari pendekatan-kognitif menggunakan
perilaku,
pendektan
dan
contoh
kognitif-perilaku.
model Pada
wawancara setiap
bab
asemen tersebut
dengan disajikan
rangkuman, latihan, dan daftar bacaan anjuran. Pada bagian akhir berisikan rangkuman umum, evaluasi, dan daftar pustaka. Untuk dapat mencapai kompetensi yang diharapkan, para peserta diklat diinstruksikan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar berikut: (1) mengikuti kegiatan belajar tatap muka di kelas; (2) menanyakan atau meminta penjelasan kepada instruktur jika terdapat istilah, konsep, dan kalimat dalam modul modul ini yang tidak jelas, atau penjelasan instruktur yang kurang jelas; (3) mengerjakan seluruh soal latihan yang yang terdapat dalam modul; (4) melaksanakan tugas-tugas latihan yang ada di bagian akhir dari setiap bab kegiatan belajar; dan (5) meminta umpan balik kepada teman/kolega/instruktur berkenaan dengan tingkat ketepatan dalam mempraktekkan keterampilan-keterampilan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayaNya semata maka penulis dapat menyelesaikan modul ini sesuai dengan harapan. Secara umum modul ini dimaksudkan untuk membelajarkan peserta PLPG BK tentang konsep dan praktek dalam melakukan asesmen masalkah klien. Secara khusus, setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan modul ini para peserta PLPG BK diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan wawancara asesmen guna memperoleh data tentang konfigurasi masalah klien dan kemudian menganalisisnya dengan menggunakan model konseptualisasi masalah dari pendekatan kognitif perilaku. Materi dalam model ini disajikan dalam tiga bagian, yakni: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Bagian awal berupa pendahuluan yang terdiri atas pernyataan tujuan, organisasi materi, garis besar materi, dan petunjuk belajar. Bagian inti berisi tiga bab kegiatan belajar, yakni: hakekat asesmen dalam konseling, model-model asesmen dari pendekatan-kognitif menggunakan
perilaku,
pendektan
dan
contoh
kognitif-perilaku.
model Pada
wawancara setiap
bab
asemen tersebut
dengan disajikan
rangkuman, latihan, dan daftar bacaan anjuran. Pada bagian akhir berisikan rangkuman umum, evaluasi, dan daftar pustaka. Untuk dapat mencapai kompetensi yang diharapkan, para peserta diklat diinstruksikan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajar berikut: (1) mengikuti kegiatan belajar tatap muka di kelas; (2) menanyakan atau meminta penjelasan kepada instruktur jika terdapat istilah, konsep, dan kalimat dalam modul modul ini yang tidak jelas, atau penjelasan instruktur yang kurang jelas; (3) mengerjakan seluruh soal latihan yang yang terdapat dalam modul; (4) melaksanakan tugas-tugas latihan yang ada di bagian akhir dari setiap bab kegiatan belajar; dan (5) meminta umpan balik kepada teman/kolega/instruktur berkenaan dengan tingkat ketepatan dalam mempraktekkan keterampilan-keterampilan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
ii
penulis dalam menyusun modul ini, baik secara materiil maupun spirituil. Akhir kata, semoga modul ini memiliki nilai pembelajaran sesuai dengan harapan yang dicanangkan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI BAB
HAL
HALAMAN MUKA ……………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….
ii
PENDAHULUAN ............................................. ................................................................... ............................................ ........................... .....
1
KEGIATAN BELAJAR I: TEKNIK-TEKNIK PENGUMPULAN INFORMASI DALAM ASESMEN ......................................... ............................................................... ......................... ...
4
A. Pengantar .............................................. .................................................................... ............................................ ............................ ......
4
B. Kompetensi …………………………………………………………….
4
C. Materi …………………………………………………………………..
4
1. Observasi ............................................ .................................................................. ............................................ .......................... ....
5
2. Angket ......................................... ............................................................... ............................................ ................................ ..........
9
3. Wawancara ............................................ .................................................................... ............................................` ....................`
11
4. Sosiometri ....................................... ............................................................. ............................................ ............................. .......
13
5. Angket “Siapa Saya” ............................................. ................................................................... ............................ ......
16
D. Latihan ............................................ .................................................................. ............................................ ................................... .............
18
E. Daftar Pustaka ............................................... ..................................................................... .......................................... ....................
19
KEGIATAN BELAJAR II: II: MODEL-MODEL ANALISIS MASALAH … A. Pengantar .. ……………………………………………………………
20 20
B. Kompetensi ………………………………………………………………. 20 C. Materi .............................................. .................................................................... ............................................ .................................... ..............
21
1. Model konseptualisasi masalah dari Swensen ……………………..
21
2. Model konseptualisasi masalah dari Seay ……………. …………….……………
25
3. Model Konseptualisasi Masalah Lazarus ……………………………... 27 ……………………………... 27 4. Model Konseptualisasi Masalah ABC ………………………………… 19 D. Soal latihan …………………………………………………………….
31
E. Daftar Pustaka …………………………………………………………. ………………………………………………………….
31
KEGIATAN BELAJAR BELAJAR III. WAWANCARA ASESMEN PERILAKUPERILAKUKOGNITIF ............................................ .................................................................. ............................................ ................................ .......... … A. Pengantar ... …………………………………………………………… iv
32 32
B. Kompetensi ...………………………………………………………….
32
C. Materi .......................................................... …………………………..
33
1. Jenis informasi sasaran ....................................................................
33
2. Implementasi ...................................................................................
34
D. Tugas & latihan ………………………………………………………
41
E. Daftar Pustaka…………………………………………………………
42
v
PENDAHULUAN Istilah asesmen (assessment ) telah banyak digunakan dalam berbagai teori dan lapangan psikologi, termasuk di dalamnya dalam bidang klinis. Dalam lapangan teori dan praktek konseling – sebagai salah satu cabang bidang klinis – asesmen merupakan satu tahapan dari keseluruhan proses bantuan yang secara khusus dimakudkan untuk mengungkap masalah konseli beserta dengan berbagai faktor yang menyebabkannya dan mengembangkan hipotesis tentang program bantuan yang perlu diberikan guna memecahkannya. Macam asesmen biasa disebut asesmen klinis (clinical assessment ) atau asesmen masalah ( problem assessment ). Untuk bahasan selanjutnya akan digunakan istilah yang kedua (asesmen masalah). Dalam praktek bimbingan dan konseling, asesmen masalah merupakan suatu proses yang berisikan prosedur-prosedur dan alat-alat yang digunakan untuk memperoleh dan memproses data/informasi sebagai dasar untuk mengembangkan rencana program konseling dikembangkan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas tentang pengertian asesmen, berikut ini diberikan definisi asesmen menurut beberapa ahli. Cormier & Cormier (1991) mendefinisikan asesmen masalah sebagai suatu proses mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk mengembangkan program bantuan/konseling. Ahli lain, Goldenberg (1983) mendefinisikan asesmen masalah sebagai suatu upaya untuk memperoleh suatu gambaran tentang kekuatan, aset, dan kemampuan adaptif, di samping kelemahan, kekurangan, dan perilaku menyimpang konseli agar diperoleh suatu pemahaman yang memadai tentang masalah konseli baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan konteks sosial yang lebih luas. Sedangkan Sundberg (1977) memberikan pengertian asesmen sebagai suatu proses yang digunakan oleh konselor untuk mengembangkan kesan dan citra tentang konseli, membuat keputusan dan memeriksa hipotesis tentang pola dan karakteristik perilaku konseli dan interaksinya dengan orang lain. Asesmen pada dasarnya merupakan suatu istilah lebih disenangi oleh para ahli klinis belakangan untuk menggantikan istilah diagnosa. Istilah diagnostik itu sendiri aslinya berasal dari bahasa Greek , yakni dia = sebagian, dan gignoskein = mengetahuai. Secara harfiah, diagnosa berarti upaya untuk membedakan atau melihat dengan jelas (to distinguish) atau untuk mengetahui sebagian (to know apart ) (Achenbach, 1982). Sedangkan pengertian yang lebih luas, diagnosa berarti suatu penyelidikan atau analisis tentang sebab atau sifat dari suatu kondisi, situasi, atau masalah, dan suatu pernyataan atau kesimpulan berkenaan dengan sifat atau sebab dari beberapa gejala (Woofl, 1977). Konselor yang menguasai keterampilan asesmen akan lebih mungkin dapat bertindak lebih efektif dalam proses terapeutik, khususnya untuk mengenali dan menetapkan masalah konseli. Dengan terampil menggunakan prosedur-prosedur asesmen masalah, maka setidaknya konselor telah bertindak atau bekerja secara professional.
vi
Tujuan umum dari asesmen masalah adalah untuk memperoleh pemahaman tentang konfigurasi masalah konseli sebagai dasar untuk mengembangkan rencana bantuan. Cormier & Cormier (1991), mengemukakan lima tujuan asesmen dalam proses konseling sebagai berikut:
Untuk memperoleh informasi yang jelas tentang masalah utama konseli dan masalah-masalah lain yang terkait. Untuk mengidentifikasi atau mengenali faktor-faktor atau variabelvariabel yang menyebabkan dan mempertahankan masalah konseli. Untuk menetapkan data awal (baseline data) sebagai bahan pertimbangan (kriteria) untuk menetapkan atau menilai kemajuan konseli dan keefektifan program perlakuan/intervensi. Penilaian ini penting untuk mengambil keputusan berkenaan dengan apakah strategi atau program intervensi perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan. Untuk mendidik dan memotivasi konseli dengan cara mengkomunikasikan masalah yang telah diidentifikasi atau dikenali kepada konseli, mendorong penerimaan atau kesediaan konseli untuk menerima program intervensi. Untuk menggunakan informasi yang diperoleh dari konseli sebagai bahan pertimbangan guna merancang strategi dan program intervensi yang efektif. Informasi yang diperoleh dari proses asesmen dapat membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: macam strategi atau program perlakuan yang manakah yang seharusnya digunakan untuk membantu konseli yang memiliki problem ini, siapa yang harus mengadministrasikan, dan di bawah kondisi seperti apa?
Dalam keseluruhan proses konseling, asesmen masalah merupkan tahapan kedua setelah pengembangan hubungan. Dalam keseluruhan proses konseling itu, asesmen memainkan peran yang sangat krusial. Ini dikarenakan semua keputusan menyangkut pemilihan program bantuan atau program intervensi akan didasarkan pada hasil-hasil asesmen. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena asesmen merupakan suatu proses mengumpulkan mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk mmahami masalah konseli dan kemudian mengembangkan program bantuan. Konsep asesmen pada dasarnya hampir sama dengan konsep diagnosa dalam bidang klinis atau medis. Dapat dikatakan, bahwa ketidak mampuan konselor dalam melakukan asesmen masalah konseli akan menyebabkan ia gagal untuk menolong konselikonselinya. Jelas bahwa semua konselor, jika ingin berhasil dalam menolong konseliya, harus menguasai konsep dan keterampilan dalam asesmen masalah. Tanpa memperhatikan orientasi teoretik yang digunakan oleh konselor, secara umum proses konseling idealnya melibatkan enam tahapan berikut: (1) mengembangkan hubungan atau rapport ; (2) asesmen masalah; (3) merumuskan tujuan konseling: (4) memilih strategi intervensi; (5) implementasi strategi; dan (6) evaluasi dan tindak lanjut. Dari tahapan vii
konseling itu asesmen masalah merupakan tahapan kedua dalam keseluruhan proses konseling setelah pengembangan hubungan. A sesmen masal ah adalah suatu kegiatan mengklasifikasikan masalah konseli dan faktor-faktor penyebabnya ke dalam kategori-kategori tertentu untuk memperoleh gambaran yang jelas dan utuh tentang masalah tersebut dan dalam rangka menyediakan data yang obyektif guna pengambilan keputusan tentang teknik, strategi, atau pendekatan intervensi. Oleh karena itu, proses asesmen pada dasarnya mengandung kegiatan pengumpulan informasi, membuat analisis, dan mengembangkan hipotesis. Untuk lebih jelasnya lihatlah bagan alur proses konseling seperti digambarkan pada bagan 1.
Terminasi /tindak ljt evaluasi PENGEMBANGAN HUBUNGAN Seleksi strategi Tujuan Asesmen
viii
Impl. strategi
KEGIATAN BELAJAR 1: TEKNIK-TEKNIK PENGUMPULAN INFORMASI DALAM ASESMEN ___________________________________________________ A. Pengantar Telah dikemukakan dalam pengertian asesmen bahwa dalam proses konseling asesmen merupakan suatu proses mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk mengembangkan program bantuan/konseling. Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa teknik atau metode pengumpulan informasi yang dapat digunakan dalam proses asesmen. Beberapa teknik ini pada dasarnya tidak berbeda dengan teknik-teknik yang digunakan dalam pemahaman individu, karena ke dua kegiatan ini sejatinya tidak jauh berbeda. Dalam literatur bimbingan dan konseling, pemahaman individu sering pula disebut dengan istilah analisis individual atau asesmen siswa (Matheson, 2000). Teknik-teknik asesmen dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yakni teknik tes dan teknik non tes. Pada bagian ini hanya akan dikemukakan teknik non tes dengan pertimbangan bahwa teknik ini yang paling mungkin banyak oleh konselor sekolah di samping dapat dikembangkan sendiri oleh para konselor. Di antara teknik-teknik nontes yang akan dibicarakan pada bagian berikut adalah yang tergolong populer, yang meliputi teknik pengamatan atau observasi, angket, wawancara, dokumenter, dan sosiomeri.
B. Kompetensi Setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran pada unit II ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk: 1. Standar kompetensi:
Dapat melakukan prosedur asesmen masalah untuk kepentingan mengembangkan hipotesis masalah konseli dan merancang program bantuannya. 2. Kompetensi dasar:
Dapat merancang dan menggunakan berbagai teknik dan/atau prosedur pengumpulan data untuk tujuan melakukan asesmen terhadap kebutuhan dan permasalahan konseli. 3. Indikator:
a. Dapat menyebutkan dan menjelaskan berbagai teknik pengumpulan data dalam proses asesmen masalah konseli
ix
b. Dapat membedakan masing-masing teknik pengumpul data dilihat dari tujuan dan cara penggunaannya. c. Dapat merancang dan menggunakan berbagai bentuk alat bantu atau pedoman observasi guna mengukur suatu perilaku tertentu. d. Dapat merancang dan menggunaka angket untuk mengukur kategori informasi tertentu. e. Dapat merancang dan menggunakan beberapa bentuk pedoman wawancara guna mengumpulkan data tertentu. f. Dapat merancang dan menggunakan angket sosiometri untuk memperoleh informasi tentang popularitas konseli. g. Dapat menggunakan angket siapa saya dan menganalisis hasilnya.
C. Materi 1. Observasi Observasi atau pengamatan adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap aktivitas atau perilaku konseli dalam situsi tertentu. Teknik ini dapat dilakukan secara berencana atau insidentil. Observasi dikatakan berencana jika ia dipersiapkan secara sistematis baik mengenai waktunya, tujuannya, alatnya maupun aspekaspek yang akan diobservasi. Sedangkan observasi insidentil dilakukan dengan cara sewaktu-waktu, khususnya jika terjadi sesuatu yang diperlukan untuk diamati. Observasi juga dapat dibedakan atas situasi yang diamati, yakni observasi pada situasi bebas dan observasi pada situasi terkondisi. Observasi pada situasi bebas dilakukan jika konselor mengamati perilaku atau aktivitas konseli dalam situasi natural sehari-hari. Sedangkan observasi pada situasi terkondisi adalah observasi yang dilakukan dengan cara menempatkan konseli pada situasi atau kondisi yang telah dirancang atau dimanipulasikan sedemikian rupa menurut kebutuhan konselor. Misalnya menempatkan konseli satu meja dengan teman dari jenis kelamin berbeda untuk mengetahui reakasi konseli tersebut terhadap heterogenitas. Dalam observasi, konselor dapat melibatkan dirinya dalam situasi atau kegiatan konseli (ini disebut observasi partisipan), atau tidak terlibat dan hanya melakukan pengamatan saja terhadap konseli (ini disebut observasi non partisipan). Dalam prakteknya, konselor sering menggunakan kedua model observasi tersebut secara kombinatif. Berdasarkan pada pencatatan hasil observasi, observasi bisa dibedakan menjadi observasi terstruktur (apabila aspek-aspek tingkah laku yang akan diamati telah ditentukan dalam suatu daftar pedoman observasi), dan observasi tak terstruktur (apabila aspek-aspek tingkah laku yang diamati tidak ditentukan terlebih dahulu). Untuk memudahkan perekaman hasil pengamatan, konselor dapat menggunakan alat bantu yang disebut pedoman observasi, seperti daftar cek (cheklist ); skala penilaian (rating scale), (3) catatan anekdot (anecdotal records), dan alat-alat mekanik (mechanical devices). Daftar cek merupakan suatu pedoman observasi x
yang memuat daftar butir-butir dari aspek-aspek perilaku yang diobservasi. Melalui daftar itu konselor tinggal membubuhkan tanda cek (V) berkenaan dengan ada/muncul tidaknya aspek perilaku yang diamati. Daftar cek dapat digunakan untuk individu atau kelompok. Perhatikan contoh berikut! ______________________________________________________________
Daftar Kebiasaan Belajar 1. Nama Siswa 2. kelas / program 3. No. Induk / absen 4. Jenis Kelamin 5. Tempat / tgl. Lahir 6. Hari /tgl. Observasi 7. Tempat observasi 8. Waktu No. 1 2 3 4 5 6 7 7 8 9
: : : : : : : :
............................................................... ............................................................... ............................................................... ............................................................... ............................................................... ............................................................... ............................................................... ...............................................................
ASPEK PERILAKU AMATAN
Penampakan Ada Tdk ada
Datang sebelum pelajaran dimulai Memperhatikan penjelasan guru Mengajukan pertanyaan Memberikan pendapat dengan tepat Mengerjakan soal-soal dengan benar. Aktif dalam latihan-latihan soal Mengoreksi kembali pekerjaannya Aktif berdiskusi/tanya jawab Membuat rangkuman Dst.
Daftar Cek Keterlibatan dalam Diskusi Kelompok Aspek yang Diamati Joni
NAMA SISWA Rani Togop Mira
Rama
Datang tepat waktu Mengucapkan salam Memperhatikan pengarahan Dst.
Jika dalam daftar cek aspek yg diamati dinyatakan dalam bentuk “ada atau tidak ada,” dalam skala penilaian aspek yang diamati dinyatakan ke dalam tingkatan skala. Misalnya untuk mengukur tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran di kelas, tingkat keterlibatan itu dinyatakan dalam bentuk lima ukuran skala yang mertentang dari skala 1 (terendah) hingga skala 5 (tertinggi). Setiap tingkatan skala tersebut memiliki makna kualitatif, misalnya: xi
skala 1 skala 2 skala 3 skala 4 skala 5
: sangat tidak terlibat (pasif) : sedikit terlibat : cukup terlibat : terlibat : sangat terlibat (terlibat aktif)
CONTOH:
Skala Penilaian Keterlibatan Siswa dalam Bimbingan Kelompok 1. Nama 2. Kelas / program 3. No. Induk / absen 4. Jenis Kelamin 5. dst. No.
: ............................................................... : ............................................................... : ............................................................... : ............................................................... : ................................................................. ASPEK AMATAN 1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kualitas 2 3 4
5
Kehadiran Membuat greeting Menjabat tangan anggota lain Mempersiapkan diri Memperhatikan pengarahan Membuka diri Mengemukakan pendapat Membuat pertanyaan Menguji ide Membuat dorongan verbal Sikap badan
Komentar / kesimpulan : ...................................................................................... ................................................................................................................. Jember, ..................... 2010 Pengamat, .............................................. Catatan anekdot (anecdotal records) digunakan untuk melakukan pengamatan terhadap peristiwa yang dinilai penting. Berbeda dengan pedoman observasi yang lain, catatan anekdot tidak mencantumkan aspek-aspek perilaku yang diamati. Pencatatan peristiwa penting ini harus dibedakan antara berita atau fakta dengan pendapat (opini) pengamat. Berita/fakta merupakan gambaran obyektif situasi, keadaan, tingkah laku tanpa penambahan atau pengurangan apapun sebagai pengaruh kesan pengamat., seperti: merokok di kelas, meninggalkan pelajaran, berkelahi, menyontek, membuat gaduh di kelas, dan sejenisnya. xii
Menurut bentuknya catatan anekdot dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yakni: anekdot deskriptif (mendiskripsikan perilaku dan kegiatan atau situasi sesuai dengan proses berlangsungnya kejadian), anekdot interpretatif (interpretasi terhadap terjadinya perilaku berdasarkan fakta yang diamati), dan anekdot evaluatif (menggambarkan perilaku, kegiatan atau situasi yang berupa penilaian oleh pengamat berdasarkan ukuran baik-buruk, benar-salah, dapat diterima-tidak dapat diterima). Perhatikan contoh berikut: Contoh 1: Catatan anekdot satu peristiwa Nama siswa Kelas Tanggal Tempat Peristiwa
: …………………………………………………. : …………………………………………………. : …………………………………………………. : …………………………………………………. : ................................................................................................... Pengamat, ............................
Contoh 2: Catatan anekdot untuk beberapa peristiwa Siswa :............................................. L/P No.
Tanggal Tempat
Kelas :............................
Kejadian Komentar/Interpretasi
Saran
Pengamat : ............................
Catatan anekdot tidak harus disajikan dalam bentuk tabel yang telah dicontohkan, tetapi dapa pula berbentuk uraian atau paparan deskriptoif tentang suatu peristiwa. Perhatikan contoh berikut: ______________________________________________________________ Peristiwa:
xiii
Hari ini, senin tanggal 10 Januari 2010 Joni terlambat hampir tiga puluh menit untuk mengikuti pelajaran pada jam pertama, yaitu matematika. Wajahnya tampak murung. Ketika akan masuk kelas Bu Ani memintanya menemui Konselor sekolah, sekedar melapor dan minta izin masuk kelas. Sampai jam pelajaran usai Joni belum juga kembali ke kelas. Setelah ditanyakan pada pihak konselor sekolah Joni tampaknya tidak datang, dan memilih membolos pada hari itu. Komentar : Joni menunjukkan punya masalah. Sudah tiga kali petemuan datang terlambat, dan di dalam kelas tidak konsentrasi. ______________________________________________________________
Yang tergolong alat-alat mekanik adalah alat-alat elektronis yang digunakan oleh konselor untuk mempermudah pelaksanaan pengamatan. Alat-alat mekanik ini biasanya dipergunakan sebagai tambahan bagi teknik yang lain, misalnya wawancara. Peralatan ini antara lain meliputi: kamera, tape recorder, videocassete, VCD atau DVD, dan komputer.
2. Angket Angket (sering juga disebut metode self-report ) adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyajikan pertanyaan/pernyataan tertulis kepada konseli untuk dijawab/ditanggapi dg cara tertulis pula. Angket digunakan untuk mengungkap informasi yang tidak dapat diperoleh melalui teknik lain. Umumnya angket digunakan untuk mengungkap tanggapan, harapan, pendapat, prasangka, sikap, kecenderungan, dan sebagainya. Penggunaan angket sebagai teknik untuk mengumpulkan data memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan angket antra lain adalah: lebih efisien jika ditinjau dari waktu, biaya, dan tenaga; dapat mengungkap data yang memerlukan perkembangan dan pemikiran dan bukan jawaban spontan; dapat mengungkap keterangan yang mungkin bersifat pribadi dan tidak akan diberikan secara langsung. Sedangkan keterbatasan angket adalah: menuntut kecakapan baca dan tulis; tidak mampu mengungkap makna psikologis yang diekspresikan secara non verbal oleh siswa; tidak dapat mengklarifikasikan pernyataan konseli yang tidak jelas; dan kurang dapat mengungkap informasi secara mendalam. Dilihat dari konstruksinya angket dapat angket dapat bersifat langsung dan tidak langsung, angket terstruktur dan tak terstruktur, angket terbuka dan tertutup. Suatu angket dikatakan langsung jika ia diberikan dan dijawab oleh individu yang menjadi sasaran. Angket dikatakan tidak langsung jika angket diberikan dan dijawab oleh sumber data bukan individu sasaran tetapi yang dipkamung memiliki pengetahuan yang mmadai tentang individu (misalnya orang tuanya). Angket tak terstruktur adalah angket yang tidak memberikan struktur, artinya sumber data diberikan keleluasaan untuk menjawab atau menanggapi angket. Salah satu contoh dari bentuk ini adalah angket yang meminta jawaban uraian xiv
atau ceritera. Sedangkan angket terstruktur adalah angket yang membatasi sumber data untuk menjawab/menanggapi pertanyaan/pernyataan angket. Angket ini sering disebut sebagai angket tertutup. Dalam angket ini, jawaban telah disediakan dan sumber data tinggal memilih di antara jawaban yang telah disediakan tersebut. Pilihan jawaban bisa berupa pilihan “ya” atau tidak”, pilihan gkamu, atau skala. Perhatikan contoh berikut! Contoh 1: petikan salah satu butir angket tak langsung tak tak terstruktur Ceriterakan apa saja yang dilakukan oleh anak Bapak (si Joni) setiap kali anak Bapak tersebut pulang dari sekolah hingga berangkat tidur pada malam hari: ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Contoh 2: petikan salah satu butir angket langsung tak terstruktur Ceriterakan apa saja yang kamu lakukan setiap hari setelah pulang sekolah hingga berangkat tidur pada malam hari: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Contoh 3: petikan salah satu butir angket langsung terstruktur dengan pilihan jawaban skala No. Pernyataan Skala Pilihan 1 2 3 4 5 1. Tugas rumah sebaiknya dikerjakan bersama-sama dengan teman 2. Dst.
Contoh 4: petikan salah satu butir angket langsung terstruktur dengan pilihan jawaban “ya” dan “tidak” Ketika mengerjakan soal-soal ulangan harian, saya biasanya menyontek. a.
ya
b. tidak
3. Wawancara Jika angket merupakan suatu teknik pengumpul data yang dilaksanakan dengan cara mengajukan pertanyaan secara tertulis kepada sumber data, wawancara diadministrasikan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan langsung. Dibandingkan dengan angket, wawancara lebih fleksibel dan memungkinkan konselor untuk mengajukan pertanyaan lebih rinci, di samping memungkinkan sumber data untuk menyatakan dengan segera, lengkap, dan utuh berbagai aspek atau informasi tentang dirinya atau tentang orang lain. Demikian pulan, melalui
xv
wawancara hal-hal yang mencerminkan intensitas suasana emosional dapat dikenali. Untuk dapat melaksanakan wawancara dengan baik, maka konselor tidak hanya harus menguasai materi wawancara tetapi juga harus memiliki kecakapan komunikasi, khususnya komuniksi interpersonal. Wawancara dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk atas dasar tujuan, subyek, dan prosedurnya. Dilihat dari tujuannya, wawancara dapat dibedakan dalam bentuk wawancara jabatan (untuk mencocokkan kemampuan pelamar pekerjaan dengan pekerjaanya tertentu), wawancara administrative (wawancara yang ditujukan untuk “menuntut” perubahan tingkah laku individu kearah kegiatan yang diinginkan oleh pewawancara), wawancara konseling (wawancara yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi atau memecahkan masalahnya, dan wawancara informative (untuk tujuan memperoleh informasi tertentu). Berdasar subyek yang diwawancarai, wawancara dibedakan atas wawancara langsung (apabila data dikumpulkan langsung dari individu yang bersangkutan), dan wawancara tidak langsung (apabila wawancara yang dilakukan dengan seseorang untuk memperoleh keterangan mengenai orang lain, misalnya wawancara dengan orangtua siswa). Dilihat dari prosedur yang digunakan, wawancara dibedakan atas wawancara berstruktur dan tak berstruktur. Disebut wawancara berstruktur apabila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara telah disusun secara jelas dan terperinci sebelumnya. Dengan demikian pelaksanaan wawancara mengacu pada pedoman pertanyaan tersebut. Sedangkan wawancara tak berstruktur apabila pertanyaan yang diajukan tidak disiapkan secara terperinci tetapi fleksibel. Wawancara juga dapat dibedakan atas dasar perencanaannya, yakni wawancara berencana dan wawancara insidentil. Wawancara disebut berencana jika waktu dan tempat telah disepakati sebelumnya. Dan insidentil bila waktu dan teampat tidak dijadwal sebelumnya. Agar dapat melaksanakan wawancara dengan efektif, maka perlu dipenuhi beberapa kondisi berikut. Pertama, pewawancara harus menciptakan suasana yang bebas, terbuka, dan menyenangkan, sehingga mampu merangsang siswa untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh dan mendatanya. Dengan kata lain, pewawancara harus dapat menciptakan hubungan baik dengan responden (siswa). Dalam hubungan konseling, hubungan baik ini ditandai oleh berkembangnya rapport, yakni suatu situasi psikologis yang menunjukkan bahwa reesponden bersedia bekerjasama, bersedia menjawab pertanyaan dan memberi informasi sesuai dengan pikirannya dan keadaan yang sebenarnya. Kedua, pewawancara mampu menyampaikan semua pertanyaan dengan baik dan tepat. Ketiga, pewawancara harus mampu mencatat semua jawaban lisan responden dengan teliti dan jelas. Kelima, pewawancara harus mampu menggali tambahan informasi dengan menyampaikan pertanyaan yang tepat dan netral. Macam pertanyaan ini disebut pertenyaan menemukan atau pertanyaan eksploratif ( probing ).
xvi
Keektifan wawancara juga dipengaruhi oleh subyek yang diwawancarai. Subyek harus memiliki kemampuan untuk mengkap dan menjawab pertanyaan. Di samping itu, subyek juga harus memiliki sikap terbuka, yakni kemauan untuk membuka diri dan menjawab pertanyaan secara terus terang dan jujur. Pada dasarnya situasi wawancara perlu juga diperhatikan selama proses wawancara, seperti : waktu, tempat, ada tidaknya pihak ketiga. Seperti halnya dalam observasi yang menggunakan pedoman observasi, ketika menggunakan teknik wawancara konselor juga dapat menggunakan alat bantu wawancara yang “pedoman wawancara.” Pedoman wawancara terdiri atas butir butir pertanyaan yang utuh, lengkap, dan tempat untuk mencatat jawabannya sehingga dapat difahami dan dapat dijawab dengan baik oleh siswa. Perhatikan contoh berikut!
1. Wawancara ke 2. Waktu wawancara 3. Tempat Wawancara 4. Masalah 5. Nama siswa 6. Proses wawancara No. 1. 2. 3.
Pedoman Wawancara : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................ : ........................................................ : .......................................................
Pertanyaan
Jawaban
...................................... ...................................... Dst
7. Kesimpulan/catatan
:
............................................................ ............................................................ ............................................................ ................................................................ ................................................................ ............................, ..................... 2010 Pewawancara, (................................................)
4. Sosiometri Teknik sosiometri digunakan untuk mengumpulkan data tentang popularitas siswa. Dari data sosiometri konselor dapat memperoleh informasi tentang siswasiswa yang tergolong populer dan siswa terisolir atau tak disenangi. Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok memiliki pola-pola struktur hubungan yang komplek dan hubungan ini dapat diungkap melalui pengukuran kuantitatif maupun kualitatif. Dapat dikatakan sosiometri adalah metode pengumpulan data tentang pola dan struktur relasi atau hubungan sosial individu dalam suatu xvii
kelompok. Situasi sosial kelompok dapat berupa kelompok belajar, kelompok bermain, persahabatan kelompok kerja, kelompok peminatan, dan sebaginya. Dari data sosiometri itu selanjutnya pembimbing dapat membuat keputusankeputusan bimbingan, misalnya membantu siswa-siswa yang terisolir atau untuk membuat kelompok-kelompok belajar yang efektif. Sosiometri pada hakekatnya meyerupai angket, tetapi pertanyaan yang diajukan sangat spesifik, yakni meminta subyek untuk memilih beberapa teman atau individu yang mereka sukai dan tidak sukai dalam hubungannya dengan situasi atau kegiatan tertentu. Perhatikan dua contoh berikut! Contoh 1: Dengan siapa kamu senang belajar kelompok? Siapa yang paling kamu inginkan untuk menjadi satu bangku denganmu di kelas? Dengan siapakah kamu senang bekerjasama? Siapa biasanya yang kamu minta tolong jika kamu mengalami kesulitan?
Contoh 2: Pilihlah 3 (tiga) orang teman yang Kamu senangi untuk diajak belajar bersama di kelas ini: a. .......................................... alasannya ............................................ b. .......................................... alasannya ............................................ c. .......................................... alasannya ............................................ Pilihlah seorang teman yang Kamu senangi untuk menjadi ketua kelompok belajar di kelas ini: a. .......................................... alasannya ............................................ b. .......................................... alasannya ............................................ c .......................................... alasannya ............................................ Pilihlah 3 (tiga) orang teman yang Kamu senangi untuk diajak bermain-main bersama (misalnya : kesenian, olah raga, dan lain-lain) : a. .......................................... alasannya ............................................ b. .......................................... alasannya ............................................ c. .......................................... alasannya ............................................ Data yang diperoleh dari sosiometri selanjutnya dirangkum dalam matrik sosiometri. Perhatikan contoh berikut: Pemilih Dipilih
A B
A
B
C
D
E
# 1
1 #
2
3 3
2 -
xviii
C D E Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Jumlah pilihan Skor pilihan
1 2 1 3 1 -
2 1 2 2 2 -
# 3 3
# -
3 #
1 2
2
`1 1
4
4
3
2
2
5
6
8
6
5
Data sosiometri selanjutnya juga perlu disajikan dalam suatu grafik yang disebut sosiogram. Sosiogram adalah penggambaran garis hubungan sosial yang dibuat atas dasar data sosiometri. Sosiogram dapat dibuat dalam bentuk lajur, lingkaran atau bentuk bebas. SOSIOGRAM BENTUK LAJUR Jumlah Pilihan
SOSIOGRAM
4
C
3
2
B
A
1 0 Keterangan
E D
:
: : : : :
laki-laki perempuan pilihan pertama pilihan kedua pilihan ketiga
Berdasarkan data sisometri kita juga dapat menetapkan intensitas hubungan dan indeks pemilihan. Intensitas hubungan adalah kekuaran relasi sosial antar subye. Intesnsitas ini dihitung dengan rumus berikut: Intensitas(int)
skor ( s)
jumlahpili han( p)
Sedangkan indeks pemilihan meliputi status pemilihan, status penolakan, dan status pemilihan dan penolakan yang masing-masing dihitung dengan rumus berikut: Status pemilihan dihitung dengan rumus : xix
Statuspilihan
jumlahpilihan
N 1
Status penolakan dihitung dengan rumus: Statuspenolakan
jumlahpenolakan
N 1
Status pemilihan dan penolakan (Spp) dihitung dengan rumus: Spp
jumlahpilihan
jumlahpenolakan
N 1
Berdasar rumus tersebut maka pada siswa A dapat dihitung : Intensitas (Int) A = 5 : 4 = 1,25 Status pemilihan = (4 : (5-1) = 1 Jadi indeks intensitas pemilihan untuk A = 1,25 dengan status pemilihan 1 berarti semua anggota kelompok telah memilih A. Dari antara kelima anggota kelompok tidak ada yang terisolir, dapat dilihat lagi pada sosiogram. Pada sosiogram juga tampak tiga pasang anak yang saling memilih, yaitu : untuk pilihan pertama, A – B; untuk pilihan kedua, B – C; sedang untuk pilihan kegitas, C – E. Di samping itu ada dua buah klik yang mencolok yaitu : A-C-D dan A-B-E yang saling memilih triangle. Dari harga-harga tersebut maka konselor dapat membuat beberapa kebijakan, misalnya untuk membentuk kelompok belajar. Untuk membentuk kelompok ini, ada beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan misalnya: Kelompok I
: A-B-C
Kelompok II
: C-D-B
Kelompok III
: C-B-E
Untuk mencatat data sosiometri secara individual maka kita dapat menggunakan kartu sosiometri untuk setiap siswa. Kartu ini selanjujtnya disimpan di dalam kartu pribadi. Perhatikan contoh berikut!
KARTU SOSIOMETRI No. ....................................... Nama siswa ........................................... L/P Kegiatan : Belajar kelompok Jumlah siswa : 5 orang Dipilih oleh : 1. ............................ 3. ............................ 2. ............................ 4. ............................ Jumlah pemilih : 4 orang Indeks pemilih : 1 Teman yang dipilih : I. .................................................... II. ................................................... III. ................................................... Komentar : .................................................... ....................................................
xx
5. Angket “Siapa Saya?”
Angket siapa saya (who am I ) digunakan untuk memperoleh data berkenaan dengan pemahaman konseli terhadap dirinya sendiri, kelebihan dan kekurangannya. Teknik ini terdiri atas sejumlah pernyataan tentang sifat-sifat kepribadian konseli. Teknik ini dilaksanakan dengan cara meminta konseli menanggapi pernyataan-pernyataan dengan membandingkannya dengan keadaan dirinya. Hasil perbandingan tersebut kemudian diisikan pada kolom jawaban yang terdiri atas tiga pilihan yaitu : sangat cocok dengan diri saya, agak cocok dengan diri saya, dan tidak cocok dengan diri saya. Konselor dapat menggunakan data hasil tes ini untuk membantu konseli memperoleh pemahaman yang lebih realistis tentang dirinya. Pemahaman ini sangat penting sebagai langkah awal untuk mengarahkan dan merealisasikan dirinya. Secara khusus, data hasil pemeriksaan ini dapat digunakan oleh konselor untuk: Mengetahui sebagian aspek kepribadian konseli secara garis besarnya, baik kelebihannya maupun kekurangannya; Memberikan layanan bimbingan untuk mengembangkan dan mengoptimalkan realisasi potensi konseli; Membantu konseli untuk dapat lebih mengenal dirinya sendiri, sehingga mereka dapat membuat penyesuaian lebih baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya.
Pengadministrasian tes siapa saya dilaksanakan dengan urutan langkah berikut: persiapan, pelaksanaan, dan analisis. Dalam langkah persiapan, konselor mempersiapkan format tes WHO AM I dan tempat pelaksanaannya. Dalam langkah pelaksanaan, konselor melakukan hal-hal berikut: Memperkenalkan teks WHO AM I Menjelaskan tentang tujuan dan manfaatnya Membagikan format tes WHO AM I Menjelaskan petunjuk tes WHO AM I Siswa mengerjakan tes WHO AM I Setelah tes selesai dikerjakan, konselor mengumpulkan hasil pekerjaan siswa tersebut. Langkah analisis meliputi dua kegiatan berikut: Menghitung jumlah skor jawaban siswa dengan memberikan pembobotan atau nilai dari masing-masing jawaban tiap item berdasarkan tabel skor. Mencocokkan jumlah skor dengan patokan interpretasi kepribadian peserta tes berdasarkan tes “WHO AM I.”
CONTOH: Menghitung skor dari jawaban subyek sesuai dengan skor ( pembobotan ) di bawah dan kemudian menjumlahkannya Pertanyaan
Cocok dengan saya
Agak cocok
xxi
Tidak seperti saya
a b c d e f g h i j k l m n o Jumlah maksimal
Kolom 1 3 3 1 1 3 1,5 1 1 1 1,5 1,5 1 3 1 3
Kolom 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 3 3 2 2 2 2
Kolom 3 1 1 3 3 1 1,5 3 3 3 1,5 1,5 3 1 3 1
Selanjutnya adalah mencocokkan jumlah skor dengan patokan interpretasi kepribadian subyek berdasarkan tes “Siapa Saya” berikut ini :
Urutan
Jumlah Skor
Interpretasi
1
37,5 - 45
Memiliki kepribadian optimis sekali sangat menyenangkan dan sangat percaya diri sendiri.
2
30,5 - 37
Berkepribadian optimis, menyenangkan dalam bergaul, dan percaya pada diri sendiri.
3
23,5 - 30
Cukup optimis, agak menyenangkan, dan cukup percaya pada diri sendiri.
4
16,5 - 23
Kurang optimis, kurang menyenangkan dan kurang percaya pada diri sendiri.
6. Rangkuman Hasil asesmen memainkan peran yang sangat penting guna menetapkan konfigurasi masalah konseli dan kemudian untuk mengembangkan rencana bantuan. Tanpa adanya data yang lengkap tentang konseli, maka program bimbingan dan konseling sangat mungkin akan gagal mencapai tujuan. Data atau informasi tentang konseli dapat dikumpulkan melalui berbagai metode atau teknik, tes dan non tes. Termasuk ke dalam metode non tes adalah xxii
teknik observasi, wawancara, angket, sosiometri, dokumenter, otobiografi, daftar masalah, dsb. setiap teknik memiliki kelebihan dan kelemahan. Dalam hal ini pembimbing harus dapat memilih suatu teknik yang cocok sesuai dengan tujua pengukuran data dan karakteristik konseli atau sumber data.
D. Latihan Bacalah kembali materi dalam kegiatan belajar ini ditambah dengan materi lain yang relevan yang dapat Anda ditemukan pada daftar pustaka, kemudian jawablah pertanyaan/selesaikan tugas-tugas berikut: a. Sebut dan jelaskan berbagai teknik pengumpulan data dalam proses asesmen masalah konseli. b. Kemukakan perbedaan masing-masing teknik pengumpul data dilihat dari tujuan dan cara penggunaannya. c. Rancanglah beberapa bentuk alat bantu atau pedoman observasi guna mengukur suatu perilaku tertentu dan kemudian praktekkan penggunaanya (gunakan untuk mengumpulkan data dan kemudian tabulasikan data yang diperoleh). d. Rancanglah sebuah angket untuk mengukur kategori informasi tertentu dan kemudian gunakan untuk mengumpulkan data yang sebenarnya. e. Rancanglah beberapa bentuk pedoman wawancara guna mengumpulkan data tertentu dan kemudian praktekkan penggunaannya. f. Rancanglah sebuah angket sosiometri untuk memperoleh informasi tentang popularitas konseli dan kemudian praktekkan penggunaannya. g. Praktekan penggunaan angket siapa saya dan kemudian interpretasikan hasilnya!
E. Daftar Pustaka Blackham, G. 1977, Counseling:theory, process, and practice. Belmont, California: Wadsworth Publising Company. Corey, G dan Corey, M. S. , 2001. Group: Processs and practice. California: Brooks/ Cole Co.
Monterey,
Cormier, W.H., & Cormier L. S., 1985. Interviewing Strategies for Helpers, Monterey California: Brooks/Cole Publishing. Egan, G., 1998. The skilled helper: A model for systematic helping and interpersonal relating, Monterey , CA: Brooks/ Cole. Gambril, E. D, 1977, Behavior modification: Hand book of assesment, intervention, and evaluation, San Francisco: Jossey-Bass. George R. L R. dan Cristiani, TS. 2001, Theory, Methods, and Process of Counseling and Psychoterapy, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. \ xxiii
Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. 1995. Introduction to Guidance. 4th. Ed. New Jersey: Englewood Cliffs. Hackney, H.L., & Cormier, L.S. 2001. The Professional Counselor. A Process Guide to Helping. 4th.ed. Boston: Allyn & Bacon. McLeod, J. 2003. Pengantar Konseling. Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kencana Parrot III, L. 2003. Counseling & Psychotherapy. 2nd. Ed. Australia: ThompsonBrook/Cole. Thompson, C.L., & Rudolph, L.B., & Henderson, D. 2004. Counseling Children. 6th. Ed. Australia: Thompson-Brook/Cole. Shertzer, B., & Stone, Shelly C. 1981. Fundamentals of Guidance. Boston: Houghton Mifflin Company.
____________________________________________
xxiv
KEGIATAN BELAJAR 2: MODEL-MODEL ANALISIS MASALAH
A. Pengantar Menerapkan berbagai prosedur asesmen hanyalah merupakan bagian dari proses asesmen dalam konseling. Lebih dari pada itu adalah aktivitas mental konselor itu sendiri selama dalam proses pengumpulan data. Dalam proses asesmen, konselor memperoleh sejumlah informasi dari konseli. Tanpa dapat mengintegrasikan dan mensintesakan data, konselor tak bararti apa-apa. Tugas konselor selama proses asesmen adalah mengetahui informasi apa yang dibutuhkan dan bagaimana memperolehnya, menempatkan informasi itu secara bersama-sama sehingga menjadi kesatuan yang bermakna, dan menggunakannya untuk mengembangkan hipotesis klinis guna mengarahkan kepada suatu gagasan tentatif tentang masalah konseli dan gagasan tentang rancangan program intervensinya. Kegiatan mental konselor ini disebut sebagai “konseptualisasi” yang secara simpel berarti “Cara konselor berpikir tentang konfigurasi masalah konseli. Terdapat banyak model konseptualisasi masalah dari pendekatan kognitif-perilaku, namun yang paling popuper dan banyak digunakan oleh para ahli dan praktisi konseling kognitif-perilaku adalah model konseptulisasi perilaku ABC. Model ini akan dipaparkan pada bagian berikut ini. Namun, untuk m,emberikan pemahaman yang luas sebelumnhya akan dikemukakan terlebih dahulu model konseptualisasi masalah yang lain yang muncul mendahului model perilaku ABC.
B. Kompetensi 1. Standar kompetensi: Dapat melakukan prosedur asesmen masalah untuk kepentingan mengembangkan hipotesis masalah konseli dan merancang program bantuannya. 2. Kompetensi dasar: Dapat merancang dan menggunakan berbagai teknik dan/atau prosedur pengumpulan data untuk tujuan melakukan asesmen terhadap kebutuhan dan permasalahan konseli 3. Indikator:
Setelah menyelesaikan kegiatan belajar ini ini para peserta PLPG diharapkan memiliki kemampuan untuk: a. Menyebutkan dan menjelaskan model-model konseptualisasi masalah dari pendekatan kognitif perilaku. b. Menggunakan model konseptualisasi masalah model Swensen untuk menganalisis masalah suatu kasus siswa. c. Menggunakan model konseptualisasi masalah model Seay untuk menganalisis masalah suatu kasus siswa. xxv
d. Menggunakan model konseptualisasi masalah menganalisis masalah suatu kasus siswa.
model
Lazarus
untuk
e. Menggunakan model konseptualisasi masalah model perilaku ABC untuk menganalisis masalah suatu kasus siswa
C. Materi 1. Model Konseptualisasi Masalah dari Swensen
Model konseptual masalah dari Swensen merupakan model awal dalam bidang asesmen masalah. Secara teoretik, dalam mengembangkan modelnya itu Swensen diilhami oleh pemikiran Lewin (1951) dan Pascal (1959). Model konseptualisasi Swensen didasarkan pada formula berikut :
Gangguan perilaku = fungsi dari derajad tekanan dan perilaku, kebiasaan, pertahanan ego maladaptif versus dukungan, kekuatan, dan kebiasaan dan pertahanan ego adaptif.
Penjelasan: Perilaku menyimpang . Perilaku menyimpang (deviant behaviour ) menunjuk pada berbagai bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, tuntutan, atau nilai yang diterapkan oleh masyarakat, atau menyimpang dari perilaku yang seharusnya ditampilkan sesuai dengan tingkat perkembangan konseli. Beberapa bentuk konkrit dari gangguan perilaku ini antara lain adalah: kecemasan, depresi, agresi anti sosial, kenakalan, senang menyontek, penyalahgunaan narkoba, tindak kriminal, malas, anoreksia, bulimia, dan sebagainya.
Tekanan. Tekanan ( stress) meliputi situasi-situasi yang mengandung tekanan atau tegangan yang tidak menyenangkan konseli dan selalu menghasilkan sensasi fisiologis seperti denyut jantung berdebar-debar, pusing/sakit kepala, mual atau gangguan perut lainnya, keluar keringat dingin, telapak tangan berkeringat, dan sebaginya.
xxvi
Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan diri maladaptif . Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan ego maladaptif menunjuk pada perilaku negatif atau destruktif dan berbagai bentuk kebiasaan pertahanan ego yang maladaptif konseli dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam rangka untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadinya atau dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
Perhatikan contoh kasus berikut: Joni dipindah dari kelasnya dan ditempatkan dalam suatu kelas yang berisikan anakanak yang telah diidentifikasi memiliki gangguan perilaku, seperti memulai perkelahian, mencuri, dan menentang guru. Menurut orang tuanya, Joni hampir tidak pernah diberi sanksi setiap kali melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak bertanggung jawab. Orang tuanya juga menyatakan bahwa kebiasaan buruk Joni itu telah menyebabkan terjadinya ketegangan yang terus-menerus di dalam keluarga. Orang tuanya juga mengatakan bahwa perilaku Joni sangat berbeda dengan perilaku kakaknya dan menggunakan perilaku kakaknya sebagai contoh. Mereka tidak mengerti mengapa si Joni sering bertindak destruktif dan tidak bertanggung jawab, berbeda dengan kakaknya. Dalam suatu wawancara dengan si Joni, Joni menyatakan bahwa ia merasa rendah diri dengan kakaknya dan dengan banyak teman di sekolahnya. Joni juga mengatakan bahwa ia sengaja melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan orang tuanya agar orang tuanya tidak bercerai, karena mereka akan selalu berdebat tentang perilakunya. Dalam kasus ini, perilaku menyimpang si Joni adalah senang memulai perkelahian, mencuri, dan menentang guru. Kebiasaan perilaku/pertahanan maladaptif berawal dari ketidak mampuan dan keyakinannya bahwa “masalah” dirinya memberikan suatu alasan yang baik agar orang tuanya tetap bersatu.
Dukungan dan kekuatan. Dukungan ( support ) meliputi sumber-sumber yang tersedia untuk konseli, seperti adanya orang atau situasi di dalam kehidupan konseli saat ini yang membantu. Kekuatan ( strenghts) meliputi potensi atau performansi positif konseli dalam beberapa hal. Kekuatan merupakan indikator dari “bakat” atau “kemampuan dasar” konseli. Bakat atau kecakapan dasar ini merupakan bidang-bidang yang harus digarap oleh para konselor.
Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan adaptif. Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan adaptif menunjuk pada berbagai bentuk perilaku atau kebiasaan yang positif atau konstruktif dan pertahanan ego yang adaptif dalam arti dapat diterima oleh masyarakat dan dapat membantu konseli mencapai tujuan-tujuannya. Perilaku adaptif merupakan perilaku yang dipelajari, perilaku yang tepat menurut situasi/konteks, dan manghasilkan keberhasilan atau penguat yang optimal untuk konseli. Sebagai contoh, dalam kasus yang telah dikemukakan, konseli juga menjadi anggota dari kelompok/team renang di sekolah. Performansi keberhasilan dalam renang merupakan suatu kekuatan bagi konseli. Perilaku yang mendukung keberhasilan ini, seperti mengikuti latihan setiap hari, datang tepat waktu, dan mengikuti instruksi pelatih semuanya itu merupakan kebiasaan perilaku adaptif atau pola-pola yang secara optimal mendukung keberhasilan atau penguat bagi konseli dalam bidang ini.
xxvii
Informasi-informasi tersebut dirangkumkan dalam tabel 1 berikut: Tabel 1. Model konseptualisasi masalah dari Swensen Perilaku menyimpang
Memulai perkelahian Mengambil milik teman Menantang guru Prestasi belajar rendah
Dukungan
Konselor bersedia membantu memecahkan masalah konseli Pelatih renang ingin membantu agar konseli tetap menjadi anggota team renang
Tekanan
Kebiasaan adaptif
Memiliki kakak lakilaki yang lebih unggul Hubungan dengan orang tua tidak harmonis Kelas yang tak teratur
Potensi
Kurang bertanggung jawab Merasa cemas dalam situasi yang tak teratur, khususnya di sekolah
Kebiasaan adaptif
Menjadi anggota team renang Kinerja dalam kompetisi baik Kesehatan baik Pola makan dan tidur baik Skor IQ tinggi
Mengikuti latihan renang secara teratur Dapat mengvikuti instruksi pelatih renang Mengerjakan tes dengan jujur Secara umum dapat menampilkan dirinya dengan baik dalam situasi kompetitif dan terstruktur
Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk beberapa hal. Pertama, model Swensen dapat digunakan oleh konselor untuk melihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada diri konselinya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis menyangkut masalah konseli. Sebagai contoh, dari contoh kasus yang telah dikemukakan kita dapat memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak lakilaki yang menampakkan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di sekolah. Konseli juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku konseli, meliputi (tetapi tidak terbatas) halhal berikut :
xxviii
1. Terdapat banyak kompetisi di dalam diri konseli dan saudaranya yang lebih tua untuk memperoleh perhatian orang tua. Konseli seringkali merasa bahwa saudaranya lebih banyak mengalahkan dirinya. 2. Konseli tidak pernah merasa harus bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya. 3. Konseli mungkin merasa bahwa masalahnya memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan perkawinan orang tuanya. 4. Konseli merasa tidak senang dalam suatu situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan bukti respon adaptif dalam situasi yang terstruktur dan agak kompetitif. Kenyataannya, konseli sepertinya dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia mampu berenang dengan baik.
Kedua, model Swensen dapat membantu konselor untuk memutuskan macam pendekatan perlakuan yang manakah (atau kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk membantu konseli. Seringkali keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model teoritik, perkiraan, dan dikaitkan dengan potensi/kekuatan. Sebagai contoh, konselor dari pendekatan berpusat pada pribadi ( personcentered ) mungkin memusatkan perhatian pada kurangnya kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri konseli. Konselor dari pendekatan realita mungkin memperhatikan pada perilaku tidak bertanggung jawab konseli dan bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil tanggung jawab bagi tindakantindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih memusatkan perhatian pada situasi kompetitif antara konseli dan saudaranya dan berupaya membantu konseli memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa memiliki yang lebih baik, di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif analisisis transaksional akan memandang konseli dalam hubungannya dengan orang lain dari kondisi “ego anak nya dan kemudian berusaha menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah perilaku konseli. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi, atau tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian konseli, seperti dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan konseli, dan juga pada gagasan introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat konseli. sedangkan para konselor kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku maladaptif konseli dan kemudian berusaha untuk membantu konseli untuk menghentikan atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif. Para konselor keluarga ( family counseling ) akan memusatkan perhatian pada peran dan batas-batas hubungan keluarga konseli dan pada hubungan perkawinan orang tuanya. Sedangkan para konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada pengubahan sebab-sebab yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif konseli dan kemudian memperkuat kebiasaan perilaku adaptif konseli. Idealnya, keputusan tentang pendekatan mana yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu teori konseling tertentu. Alih-alih mengedepankan preferensi teoretiknya, konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki ”
xxix
kemungkinan paling baik untuk membantu konseli memecahkan masalah dan mencapi tujuan yang diinginkannya. Ketiga, cara yang lebih umum dimana model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang dalam denominator. Menurut Swensen (1968, h. 31), “Banyak penurunan dalam faktor dalam numerator formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan) dapat mengurangi defisit psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang didaftar di dalam denominator (kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan adaptif)” dapat meningkatkan kesehatan psikologis.”
2. Model Konseptualisasi Masalah dari Seay Model konseptualisasi masalah dari Seay (1978) mengintegrasikan teknik konseling dan isi tematik. Model ini didasarkan pada tema hidup utama (dan gaya hidup) yang ditarik dari tiga modalitas utama fungsi manusia yaitu: kognisi (pikiran), afeksi (perasaan, emosi), dan perilaku (tindakan, kinerja), yang diberi akronim “CAB.” Untuk dapat menggunakan model konseptualisasi msalah dari Seay, perhatikanlah contoh kasus berikut: Pada suatu hari, Pak Mudah, seorang konselor di suatu SMP, menerima rujukan seorang siswa perempuan bernama ira dari seorang guru. Guru tersebut menyatakan bahwa sepertinya Mira memiliki suatu kesulitan yang bisa mengganggu kegiatan belajarnya dan meminta konselor untuk membantunya. Konselor selanjutnya menerima rujukan tersebut dan melakukan wawancara awal dan wawancara asesmen den gan Mira. Dari hasil wawancara awal Mira menyatakan bahwa tidak memiliki banyak pilihan karena ia takut untuk pergi ke sekolah sendirian. Ia juga melaporkan mengalami depresi karena terus-menerus dicela dan diolok-olok oleh saudara-saudaranya karena ia sering meminta tolong dan tidak mandiri. Konseli juga menyatakan bahwa belakangan ini ia mengalami gangguan tidur dan kehilangan selera makan. Dari hasil wawancara lebih mendalam diperoleh informasi bahwa Mira sering merasa tertekan dengan sikap ayahnya yang menurutnya sangat keras dalam mendidik dan saudara-saudaranya yang sering mencelanya. Namun konseli juga mneyatakan bahwa sebagai seorang anak perempuan ia sabar menghadapi kekerasan ayahnya. Demikian pula terhadap kritikan dari saudara-saudaranya ia hanya mendengarkan saja dan tidak menanggapi, meskipun ia sudah merasa bosan dan terganggu dengan semua itu. Konseli juga memiliki keyakinan bahwa ia telah menjadi orang yang gagal dan dan tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri. Selama wawancara awal, ia seringkali menangis dan berbicara dengan suara yang lirih dan tersendat-sendat. Untuk memperoleh data lebih lanjut, konselor melakukan pemeriksaan terhadap dokumen siswa. Dari dokumen hasil tes konselor memperoleh data siswa tergolong anak yang berkemampuan tinggi (cerdas). Demikian pula prestasi belajar konseli juga tergolong bagus karena ia masuk ranking sepuluh besar di kelasnya. Informasi konseli tersebut dapat dirangkumkan dalam tabel 2 beri kut: Tabel 2. Model konseptualisasi masalah darai Seay xxx
Kemungkinan lingkungan 1. Cara mendidik ayah yang keras 2. Saudara terus – menerus mengkritik 3. Prestasi belajar baik 4. Masuk ranking sepuluh besar
Kesalahan kognitif
Gangguan afektif
Pola perilaku
1. Pikiran gagal 2. Menyalahkan diri 3. Kurang percaya
1. Kecemasan/
1. Tak dapat pergi ke
ketergantuang emosional 2. Depresi
sekolah sendirian 2. Mendiamkan kritikan saudar-saudaranya meskipun merasa bosan dan terganggu 3. Kadang2 menangis dalam wawancara 4. Bicara pelan, tersendat 5. Gangguan tidur 6. Kehilangan nafsu makan
diri
Informasi yang diungkap tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan hipotesis tentang masalah konseli dan untuk merencanakan suatu program bantuan yang komprehensip. Sebagai contoh, dalam kasus yang telah dikemukakan, satu dari tema utama adalah kognitif dan meliputi persepsi negatif tentang diri. Tema ini barangkali berawal dari kekerasan ayahnya dan yang kemudian diperkuat/dipertahankan melalui kritikan yang terus menerus dari audara-saudaranya. Meskipun kekasaran verbal yang terus menerus tampak memberikan sumber tekanan, konseli tampaknya juga menggunakannya sebagai alat untuk menguatkan atau membenarkan persepsinya terhadap dirinya sebagai orang tergantung dan gagal, dan mendorongnya untuk menghindari situasi yang mendatangkan kecemasan, seperti berangkat ke se kolah sendiri. Gangguan afektif dalam bentuk kecemasan dan depresi mewakili perasaan marah dan tidak puas yang ditekan di dalam batin. Emosi tersebut, seperti tema kognitif, menegaskan kurang adanya rasa percaya diri atau cara konseli mencela/mengutuk dirinya. Emosi ini sebagai hasil dari peristiwa lingkungan dan kesalahan persepsi. Perilaku-perilaku yang dapat diamati seperti menangis, bicara pelan dan tersendat, gangguan tidur, dan kehilangan berat badan mengkonfirmasikan laporan konseli tentang perasaan depresifnya. Kesalahan persepsi kognitif dan gangguan afektif tersebut mendukung konseli untuk bertindak pasif terhadap kritikan saudaranya. Untuk perencanaan perlakuan, fokus awal konselor dapat memusatkan perhatian pada peristiwa lingkungan dan kesalahan kognitif konseli yang menyebabkan terbentuknya pola perilaku dan emosi maladaptif. Sebagai contoh, konseli mungkin dapat dibantu dengan menggunakan strategi Gestalt, analisis transaksional, atau latihan asertif untuk mengeksplorasi perasaan-perasaannya yang berkaitan dengan kekasaran ayah dan saudaranya (peristiwa lingkungan) dan kemudian membantunya mengubah reaksinya terhadap tekanan lingkungan tersebut. Teknik-teknik kognitif-perilaku dan rasional-emotif mungkin juga efektif untuk menangani kesalahan persepsi atau kognisi konseli. Konselor juga
xxxi
dapat membantu konseli melalui strategi perilaku dengan cara melatih konseli untuk berangkat ke sekolah sendirian.
3. Model Asesmen 3: Analisis masalah dari Lazarus Lazarus (1976, 1981) menyatakan adanya tujuh modalitas yang dapat dijadikan sebagai fokus asesmen masalah konseli. Ketujuh modalitas tersebut dinyatakan dalam akronim “BASIC ID” dan terdiri ats: perilaku (behavior ), emosi (affect ), sensasi ( sensation), imajeri (imagery), kognisi (cognition), relasi interpersonal (interpersonal ), dan tampila fisik (drug ). Setiap modalitas tersebut berinteraksi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah penjelasan dari msing-masing modalitas tersebut. B: Behavior (perilaku, tindakan yang kasat mata). Modalitas ini berisikan aktivitas dan keterampilan-keterampilan psikomotor yang sederhana dan kompleks seperti tersenyum, berbicara, menulis, makan, merokok, dan sebaginya. A: Affect (emosi, perasaan). Modalitas ini meliputi perasaan atau emosi yang dilaporkan oleh konseli. Termasuk di dalam kategori ini adalah perasaan-perasaan khusus yang muncul atau tidak muncul di samping perasaan yang tersembunyi atau didistorsikan. S: Sensation (perasaan tubuh). Modalitas ini berisikan lima penginderaan utama dalam kaitannya dengan proses sensory informasi, yakni: visul (sight), kinesthetic (touch), auditory (hearing), olfactory (smell), dan gustation (taste). Modalitas juga berkaitan dengan keluhan-keluhan perasaan tubuh yang dilontarkan konseli seperti sakit atau gangguan perut atau kepala pusing. Konselor perlu peka terhadap sensasi yang dilaporkan dengan senang dan tidak senang di samping sensasi yang tidak disadari konseli. I: Imagery (imajeri). Imagery ter diri atas macam “gambaran mental” yang sangat mempengaruhi kehidupan konseli. Sebagai contoh, seorang suami yang berprasangka bahwa isterinya telah berselingkuh (punya pria idaman lain atau PIL), tentu akan merasakan tekanan (terganggu) karena ia mengembangkan suatu gambaran terus menerus atau imej mental tentang isterinya yang tidur dengan pria lain. C: Cognition (kognisi). Kognisi adalah pikiran dan keyakinan konseli tentang diri, lingkungan, pengalaman, dan masalah yang sedang dialaminya. Gangguan perilaku timbul karena konseli memiliki kognisi – pikiran, persepsi, dan keyakinan – yang negatif, tidak realistis, atau tidak rasional. I: Interpersonal (relasi interpersonal). Banyak ahli dari perspektif psikodinamik telah menekankan pentingnya hubungan interpersonal. Menurut Lazarus (1976), masalah yang berkaitan dengan relasi interpersonal dapat dideteksi tidak hanya melalui laporan diri dan bermain peran tetapi juga dengan mengamati hubungan konselor-konseli. D: Drug (tampilan fisik). Drug merupakan suatu modalitas yang penting dalam asesmen, karena faktor-faktor biologis dan neurologis dapat mempengaruhi perilaku, respon afektif, kognisi, sensasi, dan sebagainya. Asesmen modalitas ini dapat meliputi: (1) penampilan menyeluruh – cara berpakaian, gangguan kulit atau bicara, xxxii
saraf, gangguan psikomotor; (2) keluhan fisik atau penderitaan fisik; dan (3) kesehatan umum – kebugaran tubuh, olah raga, diet, nutrisi, hobi, minat, kegemaran, dan pengisian waktu luang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari suatu prosedur asesmen, informasi-informasi modalitas tersebut dapat ditempatkan ke dalam sel-sel dalam tabel berikut:
Modalitas
Amatan
B: perilaku A: emosi S: sensasi I: imagery C: kognisis I: hubungan interpersonal D: kesehatan
4. Model asesmen 4: konseptualisasi perilaku ABC Konseptualisasi perilaku ABC adalah suatu pendekatan untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku bermasalah dan peristiwa lingkungan. ABC adalah akronim dari Antecedent (anteseden) atau pristiwa-peristiwa yang mendahului atau ada sebelum perilaku, Behavior (perilaku), dan Consequences (konsekuensi) atau peristiwa-peristiwa yang mengikuti perilaku dan berpotensi mempertahankannya Model ini menyatakan bahwa B dipengaruhi oleh A dan C, atau B merupakan fungsi dari A dan C. A dan C memberikan penjelasan berkenaan dengan bagaimana seseorang bertindak B dalam suatu situasi. Sebagai contoh, perilaku marah (B) terjadi karena seseorang menemukan sesuatu yang tidak memuaskannya (A) dan perilaku marah itu dipertahankan atau diperkuat oleh reaksi-reaksi dari orang lain yang berupa ketakutan, membujuk, minta maaf, dsb. Mengikuti model ini, wawancara asesmen atau studi kasus perlu memusatkan perhatian pada upaya mengidentifikasi peristiwa peristiwa antaseden dan konsekuensi yang mempengaruhi atau berhubungan secara fungsional dengan gangguan perilaku konseli. Contoh lain adalah perilaku berbicara. Perilaku berbicara kita selalu disebabkan oleh tanda-tanda tertentu, seperti adanya orang lain yang menstimulasi kita untuk mengajaknya berbicara, atau karena ada orang lain yang mengajukan pertanyaan pad kita atau membuat perilaku tertentu sehingga mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan. Antaseden yang mungkin dapat memperlemah keinginan kita untuk berbicara dapat meliputi antara lain adanya perasaan takut jika tidak mendapatkan persetujuan/tanggapan positif terhadap apa yang kita bicarakan atau bagaimana kita akan menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul. Perilaku berbicara kita dapat dipertahankan oleh perhatian verbal dan nonverbal yang kita terima dari orang lain itu. Konsekuensi positif yang lain yang dapat menjaga perilaku berbicara kita adalah adanya perasaan senang, atau bahagia ketika kita berbicara dengan orang. Kita xxxiii
mungkin tidak akan bicara banyak jika orang yang sedang kita ajak bicara tidak memperhatikan (memandang) kearah kita (menatap kemana-mana). Perilaku (B) meliputi perilaku yang tampak dan tidak tampak. Perilaku tampak adalah perilaku yang dapat dilihat secara langsung seperti berbicara, tersenyum, menangis, berjalan, menulis, dan sebaginya. Perilaku tidak tampak atau tertutup meliputi peristiwa-peristiwa internal di dalam diri konseli dan tidak dapat dilihat atau diamati secara langsung, tetapi dapat dideteksi melalui ekspresi non verbal atau laporan diri konseli. Contoh perilaku nonverbal adalah berpikir, berkeyakinan, image, dan merasa. Setiap gangguan perilaku hampir selalu memiliki lebih dari satu komponen. Sebagai contoh, seorang konseli yang mengeluh “cemas” atau “depresi” mungkin melibatkan komponen afektif (pernyataan perasaan, suasana hati), komponen somatik (sensasi yang berkaitan dengan tubuh dan fisiologis), komponen perilaku (apa yang dilakukan dan tidak dilakukan konseli), dan komponen kognitif (pikiran, keyakinan, image, atau dialog internal). Dan lagi, pengalaman kecemasan atau depresi dapat bervariasi untuk konseli, tergantung pada faktor-faktor kontekstual (waktu, tempat, peristiwa yang terjadi bersamaan) dan pada faktor relasional seperti ada atau tidak adanya orang lain. Semua komponen tersebut dapat dikaitkan dengan suatu problem khusus yang dilaporkan. Sebagai contoh, anggaplah bahwa konseli kita yang menyatakan “merasa cemas” adalah takut dengan perbuatan yang mengandung resiko di masyarakat kecuali di rumah atau di tempat kerja. Ia menyatakan bahwa kecemasannya nampak menjadi bagian dari rangkaian yang berawal dari munculnya pikiran bahwa ia tak mampu untuk memecahkan atau memperoleh bantuan dari orang lain jika perlu (komponen kognitif). Komponen kognitif tersebut menyebabkan konseli sering merasa ketakutan (afektif) dan berkeringat dingin atau denyut jantungnya meninggi (somatik). Tiga komponen tersebut bekerja bersama-sama mempengaruhi perilaku tampak konseli. Berbagai bentuk perilaku dan reakasi-reaksi emosional dan somatik seperti marah, takut, gembira, pusing, atau meningkatkan tekanan darah disebabkan oleh adanya peristiwa-peristiwa yang mendahului atau stimuli (Anteseden). Anteseden mempengaruhi perilaku dengan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan kejadiannya. Sebagai contoh, seorang siswa kelas satu SD dapat bertindak secara berbeda ketika di sekolah dan di rumah, atau berbeda terhadap guru tetap dan guru pengganti. Suatu anteseden yang berdekatan dengan perilaku menyimpang secara teknis disebut stimuli (Kantor, 1970). Berbagai bentuk anteseden itu antara la in adalah usia, traf perkembangan, keadaan fisiologis, karakteristik kerja, rumah, atau kondisi sekolah, dan perilaku-perilaku lain yang muncul dan mempengaruhi perilaku-perilaku berikutnya (Wahler & Fox, 1981). Anteseden juga dapat bersumber pada komponen afektif (pernyataan perasaan, suasana hati), perilaku (respon verbal, nonverbal, dan motorik), kognitif (pikiran, keyakinan, image, dialog internal), kontekstual (waktu, tempat, peristiwa yang terjadi bersamaan), dan relasional (ada atau tidak adanya seseorang). Sebagai contoh, seorang konseli yang menyatakan “cemas” mungkin berkaitan dengan takut kehilangan kontrol (kognitif/afektif), memiliki keyakinan atau persepsi negatif tentang diri dan orang lain (kognitif), kesadaran tent ang sensasi tubuh yang berkaitan dengan ketakutan, kelelahan, dan kecenderungan hypoglycemic (somatik), bangun terlambat (perilaku), menghadiri tempat umum (kontekstual), dan tidak adanya orang lain yang dekat dengan dirinya seperti teman dan keluarga (relasional). xxxiv
Di samping itu, juga terdapat variasi sumber anteseden yang dapat meniadakan kecemasan, seperti perasaan rileks, atau mengurangi ketakutan terhadap terjadinya peristiwa (afektif), istirahat (somatik), makan dengan teratur atau mengurangi perilaku tergantung pada orang lain (perilaku), menilai diri dan orang lain dengan positif (kognitif), dan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain (relasional). Pengaruh anteseden pada perilaku dapat bervariasi, tergantung pada pengalaman belajar tiap individu. Tidak segala sesuatu yang mengikuti perilaku secara otomatis dipandang sebagai konsekuensi (C). Sebagai contoh, anggaplah Anda sedang melakukan konseling dengan seorang siswa putri yang kelebihan berat tetapi menyenangi kegiatan pesta dan makan-makan. Konseli tersebut menyatakan bahwa dirinya merasa bersalah setiap kali habis persta makan dan memandang dirinya menjadi tidak menarik, dan mengalami gangguan tidur. Meskipun peristiwa-peristiwa tersebut sebagai hasil dari perilaku pesta makan, itu bukanlah konsekuensi, kecuali ia dapat mempengaruhi kesenangan konseli untuk persta makan. Dalam kasus ini, peristiwa-peristriwa lain yang mengikuti perilaku pesta makan dapat menjadi konsekuensi yang sesungguhnya. Sebagai contoh, barangkali perilaku senang makan dapat dipertahankan melalui kenikmatan yang ia peroleh ketika makan. Perilaku tersebut untuk sementara waktu mungkin dapat dikurangi bila orang lain, misalnya kekasihnya, menegurnya atau menolak pergi dengannya untuk bermalam mingguan. Konsekuensi dapat berbentuk ganjaran atau hukuman. Ganjaran adalah sesuatu yang menyenangkan mengikuti munculnya perilaku yang diharapkan. Sedangkan hukuman adalah sesuatu yang tak menyenangkan mengikuti munculnya perilaku. Seperti halnya anteseden, sesuatu yang berfungsi sebagai konsekuensi dapat bervariasi dari konseli ke konseli. Seperti halnya anteseden, konsekuensi juga selalu memiliki lebih dari satu sumber atau tipe peristiwa. Sumber-sumber konsekuensi tersebut dapat bersifat afektif, somatik, perilaku, kognitif, kontekstual, dan/atau relasional. Individu juga cenderung untuk bertindak dalam suatu perilaku yang memiliki banyak payoffs”. Payoff adalah sesuatu yang segera diperoleh oleh individu mengikuti perilakunya. Sebagai contoh, seorang konseli terus menerus merokok bahkan meskipun untuk itu ia kehilangan banyak uang karena ia menyenangi perasaan yang segera diperolehnya ketika merokok, dan merokok dapat membantunya menangani tekanan. Seorang konseli laki-laki terus-menerus mengeluarkan kata-kata kasar terhadap kekasihnya bahkan meskipun hal itu sering menimbulkan membuat ketegangan, karena dengan kekasarannya itu ia memperoleh perasaan kuasa dan kontrol. Dalam dua contoh tersebut, perilaku bermasalah seringkali sulit berubah, karena konsekuensi yang dengan segera membuat orang merasa lebih baik. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa anteseden, konsekuensi, dan komponen-komponen masalah harus ditaksir dan diidentifikasi untuk setiap konseli karena komponenkomponen tersebut berlakunya dapat bervariasi antara konseli ke konseli. Demikian pula penting juga untuk diingat bahwa seringkali terdapat banyak overlap di antara anteseden, konsekuensi, dan komponen perilaku bermasalah.
xxxv
D. Tugas/Latihan Untuk memperoleh umpan balik berkenaan dengan seberapa jauh Anda telah menguasai materi dalam bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan konseptualisasi masalah dalam perspektif konseling kognitif-perilaku? 2. Bagaimanakah formulasi asesmen masalah menurut model Swensen? 3. Bagiamanakah formulasi asesmen masalah menurut model Seay? 4. Bagiamanakah formulasi asesmen masalah menurut model perilaku ABC? 5. Temukan satu kasus yang pernah Anda tangani di lapangan kemudian lakukan analisis dengan menggunakan ke empat model konseptualisasi masalah: Swensen, Seay, Lazarus, dan ABC.
Daftar Pustaka Bootzin, R. S, 1991, Behavior Modifikation and Therapy: An Introduction. Cambridge: Winthrop Publisher. Cormier, W.H., & Cormier L. S., 1985. Interviewing Strategies for Helpers, Monterey California: Brooks/Cole Publishing. Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. 1995. Introduction to Guidance. 4th. Ed. New Jersey: Englewood Cliffs. Hackney, H.L., & Cormier, L.S. 2001. The Professional Counselor. A Process Guide to Helping. 4th.ed. Boston: Allyn & Bacon. Lazarus, A. A, 1981, The practice of multimodal therapy, New York: Mc-Graw-Hill.
McLeod, J. 2003. Pengantar Konseling. Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kencana Shertzer, B., & Stone, Shelly C. 1981. Fundamentals of Guidance. Boston: Houghton Mifflin Company. Swensen, C. H. 1968, An approach to case conceptualization, Boston: Hougton Mifflin.
_______________________________________
xxxvi
KEGIATAN BELAJAR 3: WAWANCARA ASESMEN PERILAKU-KOGNITIF _____________________________________________________________
A. Pengantar Materi yang diperlakukan dalam konseptualisasi masalah adalah informasi-informasi yang diperoleh atau dikumpulkan oleh konselor melalui berbagai kegiatan pengumpulan data atau aplikasi instrumen. Dalam pengumpulan data itu konselor dapat menggunakan satu atau lebih pendekatan, metode, atau teknik yang dipandang relevan dengan jenis data yang akan dikumpulkan beserta dengan karakteristik siswa atau konseli. Salah satu teknik yang banyak digunakan untuk mengumpulkan data konseli adalah wawancara asesmen. Berikut ini akan diberikan suatu model wawancara asesmen untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagiamana konselor mengumpulkan data dari klein dengan cara-cara yang sistematis dan ilmiah. Penggunaan wawancara dalam asesmen masalah konseli didasarkan pada beberapa kelebihan yang ada di dalam pendekatan itu. Beberapa kelebihan itu, seperti dikemukiakan oleh Cormier & Cormier (1985), antara lain adalah: (1) dalam wawancara konseli dapat melibatkan pribadinya secara penuh dan keterlibatan pribadi konseli dapat memperkuat keinginan untuk berubah; (2) percakapan dapat terus berlangsung sehingga memungkinkan konselor untuk mengidentifikasi bidang permasalahan konseli lebih jauh; (3) secara tidak langsung konseli mulai mengenal dan dapat belajar tentang metodemetode pemecahan masalah yang mungkin akan digunakan pada pertemuan-pertemuan atau hubungan terapeutik yang akan dilaksanakan kemudian. Kelebihan-kelebihan dari wawancara asesmen tersebut dapat diperoleh hanya jika konselor mampu mendorong konseli untuk terlibat aktif dan memberikan informasi yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya tentang pengalaman, perasaan, pikiran, dan tindakan khususnya yang terkait dengan masalahnya. Jelas bahwa wawancara asesmen bukan hanya sekedar peristiwa pengumpulan informasi, te tapi juga suatu peristiwa sosial yang memungkinkan terjadinya pola-pola komunikasi dan berkembangnya hubungan interpersonal antara konselor dan konseli. Dalam proses ini, antara konselor dan konseli dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan yang tercipta ini selanjutnya memainkan peran penting untuk menentukan apakah tujuan wawancara dapat atau tidak dapat dicapai. Dengan demikian, kemampuan untuk mengembangkan hubungan interpersonal merupakan keterampilan lain yang perlu dimiliki oleh konselor di samping ketrampilan dalam komunikasi wawancara itu sendiri.
B. Kompetensi 1. Standar kompetensi: Dapat melakukan prosedur asesmen masalah untuk kepentingan mengembangkan hipotesis masalah konseli dan merancang program bantuannya.
xxxvii
2. Kompetensi dasar: Setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran ini para peserta diklat diharapkan memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu proses wawancara asesmen dari perspektif perilaku-kognitif guna mengungkap berbagai kategori informasi penting sebagai dasar dalam membuat analisis tentang masalah yang dialaminya. 3. Indikator: Secara khusus, setelah mengikuti kegiatan ini para peserta diklat diharapkan memiliki kemampuan untuk : (1) Menjelaskan pengertian wawancara asesmen dari perspektif perilaku-kognitif. (2) Menjelaskan kategori-kategori informasi yang perlu diungklap dalam proses wawancara asesmen perilaku-kognitif. (3) Mendemonstrasikan pelaksanaan bagian-bagian dari proses wawancara asesmen perilaku-kognitif secara benar guna mengungkap kategori-kategori informasi konseli.
C. Materi 1. Jenis informasi sasaran
Meskipun beberapa model konseling mungkin mengakui peran kehidupan masa lalu konseli sebagai variabel penting yang perlu diungkap dalam proses asesmen (Goldenberg, 1982), dalam konseling perilaku-kognitif peristiwa masa lalu – disebut histori - tidak perlu diperhatikan (diungkap) kecuali ia berkaitan dengan amsalah sekarang (Cormier & Cormier, 1991). Informasi historis tersebut hanya digunakan sebagai bagian dari proses asesmen secara keseluruhan untuk membantu konselor mempertalikan potongan-potongan peritiwa yang berkaitan dengan masalah atau kesulitan hidup konseli saat ini. Proses pengumpulan informasi semacam ini disebut “history taking.” Dalam banyak kasus, history taking terjadi pada proses wawancara wawancara awal yang disebut “intake interview.” Wawancara awal ini tidak mengandung unsur terapeutik melainkan hanya bersifat informasional belaka dan dapat diadministrasikan oleh orang lain selain konselor. Menurut Cormier & Cormier (1985), berbagai macam informasi dapat dihimpun dalam proses history taking tetapi yang paling penting adalah: (1)
Informasi tentang konseli
(2)
Penampilan dan sikap atau cara bertindak secara umum
(3)
Peristiwa masa lalu (riwayat hidup) yang berkaitan dengan masalah yang dialami sekarang
(4)
Riwayat konseling atau penyembuhan yang pernah dilakukan
(5)
Riwayat pendidikan dan pekerjaan
(6)
Riwayat kesehatan
xxxviii
(7)
Riwayat perkembangan/sosial (termasuk di dalamnya latar belakang dan afiliasi budaya dan agama, nilai dan prinsip hidup, masalah/kesulitan yang pernah dialami, kronologi peristiwa-peristiwa perkembangan, kegiatan sosial dan waktu luang, dan situasi sosial saat terakhir).
(8)
Riwayat seksual, perkawinan, dan keluarga
(9)
Asesmen pola-pola komuniaksi
(10) Hasil-hasil diagnostik/pemeriksaan mental Setelah wawancara awal, dilaksanakan wawancara asesmen yang sesungguhnya oleh konselor. Tujuan dari proses wawancara asesmen menurut model konseling perilaku-kognitif dapat dikelompokkan ke dalam sebelas kategori informasi, yakni: (1) penjelasan tujuan, (2) identifikasi cakupan masalah, (3) pengurutan prioritas dan pemilihan masalah, (4) identifikasi masalah, (5) identifikasi anteseden, (6) identifikasi konsekuensi, (7) identifikasi payoff , (8) identifikasi pemecahan masalah yang pernah dilakukan, (9) identifikasi potensi konseli, (10) identifikasi persepsi konseli terhadap masalah yang dialaminya, dan (11) identifikasi intensitas masalah. Berikut adalah penjelasan dan contoh dari masing-masing kataegori informasi tersebut (Cormier & Cormier, 1985).
2. Implementasi
a. Menjelaskan tujuan asesmen Untuk menjelaskan tujuan asesmen, konselor dapat memberikan suatu rasional (alasan) kepada konseli tentang perlunya dilakukan wawancara asesmen (untuk maksud atau tujuan apa). Ini untuk memberikan gambaran dan menumbuhkan harapan pada konseli tentang apa yang akan terjadi selama proses wawancara dan mengapa wawancara tersebut perlu dilakukan. Perhatikan contoh berikut! "Hari ini kita akan membahas berbagai hal yang sedang merisaukan Anda. Agar kita dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang masalah apa yang sebenarnya sedang Anda alami, saya membutuhkan banyak informasi. Informasi itu akan sangat membantu kita untuk menetapkan dengan tegas masalah Anda, faktor-faktor penyebabnya, dan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang dapat kita lakukan untuk memecahkanya. Nah, apakah Anda mengerti maksud saya?" b. Identifikasi cakupan masalah konseli Dalam kategori ini, konselor menggunakan berbagai ketrampilan dasar konseling, utamanya pertanyaan terbuka, untuk membantu konseli mengenali semua isu primer dan sekunder yang berkaitan dengan masalah yang sedang dialaminya sehingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang masalahnya tersebut. Pada awalnya konseli seringkali hanya mengemukakan satu permasalahan, tetapi pada proses selanjutnya konselor dapat menemukan sejumlah masalah lain yang saling berkaitan, bahkan satu atau beberapa di antaranya mungkin justru menjadi masalah utamanya. Jadi, untuk benar-benar dapat memahami masalah konseli, konselor perlu memperoleh suatu big picture dari masalah konseli tersebut. Perhatikan contoh berikut!
xxxix
"Masalah atau kesulitan apa saja yang sedang Anda alami?' "Dapatkah Anda mengatakan berbagai hal yang merisaukan Anda?" "Dalam situasi atau kondisi apa saja Anda merasa tertekan?" "Apa ada hal lain lagi yang juga mengganggu Anda?"
c. Menetapkan prioritas dan memilih isu dan masalah konseli Pada kategori ini konselor menggunakan berbagai ketarampilan dasar konseling atau ketrampilan interpersonal untuk membantu konseli membuat prioritas dari berbagai masalah yang sedang dialaminya dan kemudian memilih salah satu di anataranya untuk dijadikan sebagai fokus awal pemecahan. Prioritasisasi ini perlu sebab konselor tidak akan mungkin dapat membantu konseli memecahkan semua masalahnya secara serentak. Idealnya, pemecahan masalah diurutkan dari hal yang paling mudah untuk ditangani. Tetapi untuk beberapa kasus, fokus awal dapat tertuju pada masalah utama atau masalah yang menjadi penyebab timbulnya amsalah lain. Ada kemungkinan, jika masalah utama ini terpecahkan, masalah lain dapat dengan sendirinya ikut tereliminasi. Perhatikan contoh berikut! "Dari lima masalah yang Anda sebutkan tadi, manakah yang Anda inginkan untuk kita tangani lebih dahulu?" "Dari seluruh masalah Anda yang telah kita temukan, manakah yang paling merisaukan Anda?"
d. Identifikasi komponen masalah Setelah menetapkan fokus masalah apa yang akan ditangani, konselor selanjutnya membantu konseli untuk mengidentifikasi komponen-komponen dari permasalahannya. Pada kategori ini, dengan menggunakan berbagai bentuk ketrampilan dasar konseling, konselor berusaha membantu konseli untuk mengenali enam komponen masalah yang sedang dialaminya, yakni: afektif, somatik, perilaku, kognitif, kontekstual, dan relasional. Afektif . Komponen afektif meliputi mood atau perasaan-perasaan atau seperti: cemas, depresi, ketidakbahagiaan, dsb. Perasaan-perasaan ini pada umumnya merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara proses proses biologis, perilaku, dan kognitif. Perhatikan contoh berikut: "Ketika hal itu terjadi, perasaan apa saja yang Anda alami?" "Bagaiamana perasaan Anda ketika Anda melakukan hal itu atau ketika hal itu terjadi?” “Ketika Anda berceritera tentang ayah Anda, suara Anda sedikit berat dan bergetar. Apa yang Anda rasakan ketika Anda berceritera tentang ayah Anda tadi?” “Tadi Anda mengatakan jika Anda marah dan menangis ketika mendapati nilai ulangan Anda jelek. Apa ada perasaan lain yang Anda alami?" xl
Sensasi somatik . Berkaitan erat dengan perasaan adalah sensasi somatik atau perasaan tubuh. Beberapa konseli sangat menyadari pengalaman internal ini, dan beberapa konseli lain tidak menyadarinya. Reaksi-reaksi somatik ini memiliki kaitan erat dengan berbagai gangguan seperti mal fungsi seksual, kecemasan, dan depresi. Beberapa konseli mungkin menyatakan masalahnya dalam bentuk keluhan somatik alih-alih perasaan atau pikiran, seperti mengeluh sakit kepala, mual, sesak nafas, dsb. Perhatikan contoh berikut: "Secara fisik, apa saja yang terjadi pada diri Anda ketika hal itu terjadi?" "Apakah Anda sadar ketika Anda melakukannya?” “Anda mengatakan jika Anda selalu gemetar ketika jam matapelajaran matematika akan mulai. Apa ada reaksi tubuh yang lain yang Anda rasakan, misalnya pusing, mual, dsb.?” Perilaku attau respon motorik. Konseli seringkali menyatakan masalahnya bukan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati. Dengan klata lain, mereka menggambarkan suatu situasi atau suatu proses dan bukan tindakan mereka dalam peristiwa atau proses itu. Misalnya, konseli mengatakan “Saya tak dapat bergaul secara baik dengan ibun saya,” atau “Saya merasa tidak enak,” atau “Saya tidak mampu untuk berbicara di depan orang banyak,” tanpa menyebutkan secara spesifik tentang apa yang mereka lakukan untuk dapat berhubungan dan tak dapat berhubungan secara baik. Dalam wawancara asesmen informasi ini perlu diungkap oleh konselor. Perhatikan contoh berikut: "Saya ingin Anda menggambarkan apa saja yang Anda lakukan dalam situasi tersebut!" "Tadi Anda mengatakan bahwa Anda mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran matematika di kelas. Saya ingin Anda mengatakan pada saya tentang apa saja yang anda lakukan pada waktu Anda mengikuti pelajaran matematika di kelas.” "Apa yang Anda lakukan ketika peristiwa itu terjadi?” “Apa pengaruh peristiwa itu pada perilaku Anda sehari-hari?"
Kognisi, keyakinan. Banyak ahli, khsuusnya dari perspektif kognitif, yang mengakui peran penting proses-proses kognisi atau keyakinan dalam menyebabkan suatu masalah. Proses kognisi atau keyakinan yang berpotensi menyebabkan masalah atau gangguan adalah yang tidak adaptif seperti: adanya harapan yangbtidak rasional atau tidak realistis terhadap diri dan orang lain, pernyataan diri negatif, menyalahkan diri, distorsi kognitif, dsb. Perhatikan contoh berikut:
"Apa saja yang Anda pikirkan ketika peristiwa itu terjadi?"
xli
"Menurut Anda, apa yang menyebabkan Anda menjadi seperti ini?" "Seandainya Anda tetap seperti ini atau seandainya Anda berubah, menurut Anda, apa kemungkinan yang akan terjadi pada diri Anda?" "Menurut Anda, apa yang seharus Anda lakukan agar nilai-nilai ujian Anda bisa menjadi lebih baik?"
Konteks. Masalah konseli terjadi dalam suatu konteks sosial, yakni berkaitan erat dengan berbagai macam situyasi, waktu, tempat, dan persitiwa. Pentingnya mengungkap informasi tentang konteks ini ditegaskan oleh Lazarus (1976) sebagai berikut: jika konselor benar-benar tulus ingin membantu konseli, maka penting baginya untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang semua konteks tempat terjadinya gangguan perilaku (Lazarus, 1976). Perhatikan contoh berikut: "Dimana saja biasanya Anda mengalami kesulitan itu?" "Anda tadi mengatakan bahwa Anda merasa tertekan ketika mengikuti pelajaran matematika. Apakah perasaan itu juga muncul ketika Anda mengikuti matapelajaran yang lain?" "Anda meninggalkan rumah karena tidak tahan setiap hari dimarahi oleh ibu Anda. Barangkali ada sebab lain?"
Relasi atau hubungan. Masalah konseli tidak hanya berhubungan dengan waktu, tempat, dan peristiwa, tetapi juga berkaitan dengan ada atau tidak adanya kehadiran orang lain. Orang-orang di sekeliling konseli – baik yang keberadaannya hanya sementara atau permanen - tidak hanya membuat konseli merasa aman dan bahagia, tetapi juga dapat membuat konseli merasa terancam dan menderita. Banyak orientasi teoretik konseling yang merekomendasikan perlunya melakukan asesmen tentang hubungan konseli dengan orang lain. Perhatikan contoh berikut: "Apakah masalah yang Anda alami itu berpengaruh buruk pada temanteman Anda di sekolah?" "Seberapa jauh masalah yang Anda alami itu mempengaruhi hubungan Anda dengan orang tua Anda?" "Apakah Anda punya teman atau siapa saja yang biasanya Anda ajak untuk membicarakan masalah-masalah Anda?” “Kepada siapa saja biasanya Anda mengelukan perasaan atau kesulit an Anda?"
e. Identifikasi anteseden
Dengan menggunakan berbagai keterampilan dasar, dalam kategori ini konselor membantu konseli untuk mengenali sumber-sumber atau peristiwa-peristiwa yang menjadi penyebab dari masalah atau kesulitannya. Suatu peristiwa tidak terjadi dengan sendirinya, dan anak tidak terlahir dengan masalah tertentu. Beberapa peristiwa mungkin dapat menyebabkan masalah konseli dengan cara memelihara, xlii
memperkuat, atau menguaanginya. Berkaitan dengan ini, konselor dapat mengungkap sitausi atau kondisi-kondisi yang ada sebelum terjadinya masalah, baik yang menyebabkan terjadinya masalah maupun yang berpotensi tidak menyebabkan masalah, maupun yang masih mempengaruhi masalah. Perhatikan contoh berikut: Kondisi afektif: "Apa yang Anda rasakan sebelum peristiwa itu terjadi?" “Apa yang biasanya Anda rasakan sebelum hal itu terjadi? ” “kapan pertama kali Anda merasakan hal itu?” Kondisi somatik: "Secara fisik, apa saja yang biasanya Anda alami sebelum peristiwa terjadi?" “Apakah Anda merasakan gejala-gejala fisik tertentu sebelum hal itu terjadi?” “Sebelum hal itu terjadi, apakah Anda merasakan tanda-tanda fisik tertentu seperti mual, pusing, gemetar, dsb.?” Kondisi perilaku: "Dapatkah Anda mengenali beberapa bentuk tindakan Anda sebelum hal ini terjadi?” “barangkali Anda dapat mengingat mungkin hal ini terjadi karena Anda telah melakukan sesuatu?” “Dapatkah Anda mengambarkan beberapa bentuk perilaku Anda yang tampaknya (mungkin) menyebabkan Anda mengalami masalah tersebut?"
Kondisi kognitif: "Sebelum Anda mengalami masalah ini, apa yang biasanya Anda pikirkan?” “Barangkali Anda dapat mengenali keyakinan-keyakainan Anda yang mungkin menyebabkan Anda mengalami maslaah ini?” “Mungkin Anda memiliki keyakinan-keyakinan atau pikiran-pikiran tertentu yang mungkin menyebabkan Anda mengalami kesulitan ini? " Kondisi kontekstual: “Pernahkah Anda mengalami masalah ini sebelumnya, misalnya ketika masih di SD, SLP?” “Telah berapa lama masalah ini Anda alami?” “Di mana dan kapan saja masalah itu Anda alami?” “Dalam situasi apa saja kesulitan itu muncul?”
Kondisi hubungan/relasional: "Coba Anda temukan mungkin ada orang-orang atau siapa saja yang menyebabkan Anda mengalami masalah ini?"
xliii
“Barangkali Anda dapat menyebutkan orang-orang tertentu yang tampak menyebabkan atau turut mendukung masalah Anda ini?” “Dengan siapa biasanya Anda melakukan hal itu?”
f.
Identifikasi konsekuensi
Dengan menggunakan berbagai keterampilan dasar konseling, konselor membantu konseli mengenali sumber-sumber konsekuensi yang berhubungan dengan masalah yang dialaminya. Sumber-sumber ini dapat berupa peristiwa peristiwa internal atau eksternal yang memperkuat, memelihara, atau memperlemah masalah yang dialaminya. Perhatikan contoh berikut: Konsekuensi afektif: "Perasaan apa yang Anda alami setelah Anda memperoleh nilai buruk dalam ujian statistik kemarin?" “Perasaan apa saja yang Anda rasakan setelah Anda melakukan hal itu?” Konsekuensi somatik: "Secara fisik gejala tubuh apa yang Anda rasakan setelah Anda berbicara kasar pada guru Anda?" “Apakah Anda merasakan gejala-gejala tubuh tertentu setelah Anda meminum minuman keras?” Konsekuensi perilaku: "Setelah peristiwa itu terjadi, apa yang Anda lakukan dan apakah itu membuat Anda merasa lebih baik atau lebih buruk?" “Apa biasanya yang Anda lak ukan setelah Anda meninggalkan atau mangkir dari jam pelajaran di sekolah?”
Konsekuensi kognitif: "Apa yang biasanya Anda pikirkan setelah Anda meninggalkan pelajaran sebelum waktunya (membolos)?" “Apa yang biasanya Anda katakan pada diri Anda setelah Anda minum minuman keras?” “Adakah pikiran-pikiran atau imej tertentu yang ada di benak Anda setelah Anda menyetubuhi pacar Anda?” Konsekuensi kontekstual: “Apa yang biasanya terjadi setelah Anda minum alkohol?” “Apakah dalam situsi atau kondisi tertentu kebiasaan Anda minum alkohol itu dapat berhenti?” “Dalam situasi apa Anda biasanya dapat mengendalikan dorongan Anda untuk merokok?”
xliv
Konsekuensi relasional: “Siapa orang-orang yang bersama Anda atau Anda temui setiap kali kesulitan itu muncul?” “Barangkali Anda dapat mengidentifikkasi siapa saja orang-orang tertentu dalam kehidupan Anda yang dapat membuat masalah Anda itu semakin menjadi, terus terjadi, berkurang, atau berhenti?” “Dapatkah Anda mengingat reaksi orang-orang di sekeliling Anda setiap kali mereka menemukan Anda merokok?”
g. Identifikasi payoff Dalam kategori ini konselor menggunakan berbagai ketarmpilan interpersaonalnya untuk membantu konseli mengenali atau mengidentifikasi variabel-variabel pengendali penyerta yang bertindak sebagai “ gain secondair dari kesulitan atau masalah yang dialaminya. Perhatikan contoh berikut:
”
"Apa yang Anda peroleh setelah Anda merokok, dan apakah itu membuat Anda merasakan kesenangan tertentu dan sulit untukm menghentikannya?” “Kesenangan apa yang biasanya Anda peroleh setelah Anda menghisap sabusabu?” "Adakah perasaan tertentu yang Anda nikmati dan itu membuat Anda ingin selalu menggangu teman-teman anda?
h. Identifikasi pemecahan masalah yang pernah dilakukan Dalam kategori ini konselor menggunakan keterampilan interpersonal untuk membantu konseli mengidentifikasi upaya-upaya pemecahan yang telah dilakukan dan pengaruhnya pada masalah sekarang. Perhatikan contoh berikut: "Apakah Anda pernah mencoba untuk memecahkan kesulitan Anda itu?" "Apakah pernah ada orang lain yang mencoba membantu Anda untuk memecahkan masalah Anda itu?" "Apakah Anda pernah berbicara dengan orang lain untuk maksud memecahkan masalah Anda tersebut?"
i.
Identifikasi potensi konseli untuk memecahkan masalah
Dengan menggunakan seperangkat keterampilan dasar, dalam kategori ini konselor berupaya membantu konseli untuk mengidentifikasi keterampilan yang dimilikinya dan apakah keterampilan tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dialaminya. Perhatikan contoh berikut: "Coba instrospeksi barangkali Anda memiliki keterampilan-ketrampilan tertentu yang dapat gunakan untuk memecahkan masalah Anda itu?" "Apa kira-kira yang dapat Anda lakukan untuk mengatasi kesulitan Anda itu?"
xlv
j.
Identifikasi persepsi konseli terhadap masalah yang dialaminya
Dengan menggunakan seperangkat keterampilan dasar, dalam kategori ini konselor berupaya membantu konseli untuk menggambarkan persepsi atau pemahamannya tentang masalah yang sedang dihadapinya. Perhatikan contoh berikut: "Problem macam apa kira-kira yang sedang Anda alami itu?" "Kira-kira masalah Anda itu disebabkan oleh kesalahan orang lain ataukah kesalahan Anda sendiri?" "Kira-kira apa yang menyebabkan Anda mengalami masalah tersebut?
k. Identifikasi intensitas masalah Dengan menggunakan seperangkat keterampilan dasar, dalam kategori ini konselor berupaya membantu konseli untuk mengidentifikasi dampak masalah yang dialaminya pada kehidupannya, yang meliputi tingkat severitas dan frekuensi atau durasi masalah. Perhatikan contoh berikut: "Anda mengatakan jika Anda merasa cemas setiap kali akan menghadapi ujian. Jika rasa cemas itu kita tempatkan pada suatu rentangan skala, misalnya dari 1 s.d. 10, dimanakah kira-kira letak tingkat kecemasanmu Anda itu?" "Berapa lama biasanya Anda mengalami kecemasan itu?" "Berapa sering Anda mengalami kecemasan?"
D. Tugas/Latihan Untuk mengukur seberapa jauh Anda telah menguasai tujuan pembelajaran, selesaikanlah tugas berikut ini. 1. Bentuklah kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga peserta. 2. Lakukan bermain peran: satu orang menjadi konselor, satu orang menjadi konseli, dan satu orang lainnya bertin dak sebagai pengamat. 3. Bagi peserta yang memerankan konselor, lakukan wawancara dengan konseli guna mengungkap sebelas kategori informasi seperti telah dimodelkan. 4. Bagi peserta yang bertindak sebagai pengamat, lakukanlah proses yang berlangusng dan catatlah apa saja yang terjadi dalam proses asesmen, termasuk di dalamnya kecanggungan konselor, resistansi konseli, dan sikap keduanya secara umum di sepanjang sesi. 5. Lakukanlah itu secara terus-menerus sehingga masing-masing anggota kelompok telah memainkan peran konselor, konseli, dan pengamat.
xlvi