TASAWWUF SUNNI
MAKALAH AKHLAQ TASAWWUF
Disusun Oleh :
Vina Idamatussilmi (14350037)
Sholikah (14350038)
Al-Ahwal As-syakhsiyyah-B
Dosen Pengampu :
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
ABSTRAK
Rendahnya tingkat kesadaran spiritualitas yang dimiliki manusia saat ini menjadi problematika tersendiri bagi kalangan Islam. Kekhawatiran akan kemudahan orang-orang mendapatkan informasipun menjadi bahasan tersendiri. Yang dikhawatirkan adalah kurang selektifnya orang-orang dalam menerima ajaran yang baru masuk.
Sikap manusia yang tidak pernah merasa puas, adalah sebuah keprihatinan. Apalagi ketika mereka telah mencapai titik kesuksesan. Di situ mereka akan mengalami kegoncangan hati, jika benar-benar jauh dari Sang Kholiq. Setanpun akan dengan mudah mempengaruhinya melakukan sesuatu yang buruk dengan apa yang menjadi miliknya, bahkan terhadap yang bukan miliknya.
Dengan adanya sikap bertasawuf, atau setidaknya mencuplik ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa para sufi, nafsu keduniawian tidak akan menjadi bayang-bayang semu manusia. Seperti ajaran zuhud yang berarti meninggalkan hal-hal duniawi. Paling minimal adalah tidak terlena dengan keduniawian.
Dan bertasawufpun seharusnya mempunyai pegangan yang jelas. Banyak tasawuf yang melenceng karena minimalnya kontribusi hati dengan apa yang menjadi rujukannya. Tasawwuf Suni termasuk tasawuf yang kuat adanya kerena tasawuf ini berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Dengan konsep yang ada dalam tasawuf ini manusia akan lebih mengerti akan keberhargaan dunia tidaklah seberapa dengan akhirat.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata kuliah Akhlaq Taawwuf ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Rasulullah SAW, para wali, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami ucapkan terimakasih kepada Drs. Malik Ibrahim, M.ag selaku pengampu mata kuliah Akhlaq Tasawwuf, yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Tak lupa kami ucapkan kepada staff dan karyawan Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga yang telah menyediakan referensi-referensi, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah berpartisipasi membantu kami dalam penyusunan makalan ini.
Semoga makalah ini bermanfaat, dalam proses belajar mengajar, dan di luar hal akademik. Terimakasih
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II. PEMBAHASAN
Pengertian Tasawwuf Sunni 2
Latar Belakang Munculnya Tasawwuf Sunni 4
Bentuk-Bentuk Tasawwuf Sunni 6
Pengaruh Tasawwuf Sunni 22
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
HALAMAN POWER POINT 25
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam diri manusia selalu ada yang namanya spiritualitas, karena spiritualitas berkenaan dengan hati manusia. Manusia yang ditakdirkan memiliki hati dan perasaan akan konsep spiritualitas yang membedakan hanyalah tingkat kekuatan dan keyakinan akan perasaan itu muncul dari mana.
Membahas tentang spiritualitas dalam islam dikenal dengan tasawwuf. Disini akan membicarakan tentang seberapa besar tingkat spiritualisme manusia yang akan mendekatkan dirinya pada Tuhan. Sedangkan saat ini, telah banyak orang yang mementingkan dunianya dan jauh dari Tuhannya. Apalagi ketika mereka mencapai titik kesuksesan yang fana. Dan mereka tidak akan merasakan kenikmatan rasa syukur dan kedekatan kepada Alloh yang sesungguhnya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep pendekatan diri kepada Allah dengan berpegang teguh pada al-Qur'an dan sunnah yang biasa disebut tasawwuf sunni.
RUMUSAN MASALAH
Apa pengertian tasawuf sunni ?
Apa latar belakang munculnya tasawuf suni dari faktor eksternal dan internalnya?
Apa bentuk-bentuk dari tasawuf sunni?
Apa pengaruh yang ditimbulkan adanya tasawuf sunni?
TUJUAN
Untuk mengetahui pengertian tasawuf sunni.
Untuk mmengetahui latar belakang munculnya tasawuf suni dari faktor eksternal dan internalnya.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari tasawuf sunni.
Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan adanya tasawuf sunni.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN TASAWUF SUNNI
Tasawuf menurut al-kattani adalah moral, barang siapa yang diantaramu semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening. 1
Sedangakan menurut Dr.Ahmad Amien, tasawuf adalah ketekunan dalam beribadah, konsentrasinya langsung berhubungan dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap hal-hal yang diburu dan diperebutkan oleh orang banyak, seperti kenikmatan, kekuasaan, dan kedudukan dan menghindarkan diri dari pergaulan bebas sesama makhluq, menyepi atau berkhalwah, demi untuk beribadah.2
Dari pendapat tersebut bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam sebab semua hukum islam berdasarkan landasan moral, ketekunan beribadah, ketahan mental, dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan spiritual atau mujahadah dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud Al-Haqq).
Sedangkan kata sunni atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang senantiasa tegak diatas islam berdasarkan alqur'an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga disebut dengan istilah tasawuf akhlaqi. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi,
taftazani, abu alwafa' al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, Bandung: Pustaka, 1985 hal.10
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, Jakarta : Lantabora Press, 2003, hal.158
id.wikipedia.org/wiki/sunni
2
sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmumah (tercela), 4 dengan memadukan aspek hakekat dan syari'at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur'an, Sunnah dan Shirah para sahabat.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk menjadi buruk. Tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik supaya manusia menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk supaya tidak berkembang menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur'an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai berikut : "dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikkan dan ketakwaannya."
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31
3
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Latar belakang kemunculan tasawuf Sunni dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang menyebabkan tasawuf ini adalah sekitar masalah aqidah-aqidah yang menjadi masalah besar, sedangkan faktor internalnya adalah kritik-kritik tasawuf yang ada saat itu oleh tokoh-tokoh suffi yang dipandang menyimpang.
Sebenarnya tasawuf Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada, namun disini belum terlihat jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang ada pada saat itu menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan pada abad ke-5 lah, muncul masalah besar tentang aqidah dan disini banyak muncul kaum suffi yang kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah. Faktor eksternal yang menjadi penyebabnya adalah munculnya pecekcokan masalah aqidah yang melanda para ulama' fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad ke-5 hijriah aliran syi'ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi'ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi'in,5 dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi, yang menggunakan al-qur'an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan ajarannya yang bercorakkan tasawuf Sunni.
Para sufi, yang menjadi pelopor munculnya tasawuf sunni, sekaligus mengembangkan dengan ajaran-ajarannya antara lain : Hassan Al-Bashri (21 H-110 H) dalam kitab ihya ulumuddin, Al-Ghazali berkata "Hassan Al-Bashri merupakan orang yang kata-katanya paling mirip dengan sabda para nabi, dan paling dekat petunjuknya dari sahabat"6, Al-Muhasibi (165H-243H) dengan pemikiran tasawufnya tertuang dalam kitab "Ar-Riayah li Huquqillah" tentang Hak-Hak Allah Dan Pengaruh Egoisme Terhadapnya, Al-Qusyiari (376 H-465 H)
puncakgunung12.blogspot.2013/06/tasawufsunni.com
6. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid.1, hal.77
4
dengan salah satu pemikiran tasawufnya yaitu Al-Ma'rifat (pengetahuan tentangTuhan secara dekat), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505H) dengan konsep tasawuf yang dapat dicapai melalui dua pendekatan yakni "pendekatan ilmu pengetahuan dan pendekatan amal perbuatan" , Syekh Al-Islam Sultan Al-Auliya Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang melihat ajaran islam dari dua aspek (lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang terkenal dengan konsep mahabbahnya.
5
C.BENTUK-BENTUK TASAWUF SUNNI
Bentuk tasawuf sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan juga mengembangkannya. Dari hal tersebut terdapat perbedaan-perbedaan unsur pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh lain yang lebih ditonjolkan, namun semua itu mempunyai persamaan syariat dan hakikat, selian itu dari segi sumber ajarannya, yaitu alqur'an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
TOKOH-TOKOH TASAWWUF SUNNI DAN BENTUK AJARANNYA
HASAN AL-BASRI DAN BENTUK TASAWUFNYA
Biografi
Nama lengkap beliau adalah Abu Sa'id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir diMadinah tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M). Ayahnya seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za'id bin Tsabit.
Ia dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan mengembangkan kepakarannya hingga kepuncaknyadikota yang sama. Dari segi keilmuan, ia sangat unggul dan sangat dalam ilmunya, sehingga ia digelari Syekh al-Bashrah. Ia seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus seorang suffi. Nasihat-nasihatnya tersebar dalam berbagai kitab,demikian hadist-hadist yang diriwayatkannya banyak menghiasi kitab-kitab.
"Bergurulah kepada Hasan Basri", demikian kata Qotadah,"karena saya sudah menyaksikan sendiri , tidaklah ada seorang tabi'in yang menyerupai sahabat nabi kecuali beliau (Hasan Basri)". Khalid bin Safwan menjelaskan kepada maslamah bin Abdul Malik tentang Hasan Basri. "Hasan adalah orang yang saat sendirinya sama dengan berada dimuka umum. Jika merasa tidak
6
semangat dalam kebaikan segera bangkit dan jika sedikit saja melakukan kesalahan segera ia menahan diri. Jika menyuruh orang lain beramal ia paling dulu melakukannya, dan jika ia melarang sesuatu, ia paling dulu meninggalkannya. Ia tidak membutuhkan orang lain, sementara orang lain membutuhkan dirinya".
Bentuk Ajaran Tasawuf Hasan Basri
Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik daripada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.
Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan rasa benci dan zuhud, maka bahagialah dia dan ia mendapat faidah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia akan sengsara. Dia akn terbawa pada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.
Tafakur membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana walau bagaimana banyaknya tidaklah dapat menyamai barang yang baqa' walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cept pergi juga karena tipuan.
Dunia ini laksana seorang nenek tua yang telah bungkuk dan telah banyak kematian laki-laki.
Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore, karena ia hidp dalam dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya apakah yang sedang mengancam.
Patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan ia mesti berdiri dihadapan Allah akan dihisab (dihitung amalnya).
Banyak duka cita didunia memperteguh amal sholeh.7
7. Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, hal, 78
7
AL-MUHASIBI (W.243 H/857 M)
Biografi
Nama lengkapnya adalah Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan di Basrah dan menghabiska sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf tercover dalam kitab utamanya "Ar-Ri'ayah li huquqillah" ( Hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya). Misi utama kitab itu adalah mengembangkan psikologi moral dengan sangat ketat, dan ternyata karyanya ini berpengaruh kuat pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi disusun dalam bentuk dialog antara guru dan muridnya sendiri. Murid bertanya kepada guru secara singkat kemudian guru menjawab dengan jawaban yang luas,rinci dan detail.
Bentuk Ajaran Tasawuf Al-Muhasibi
Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang biasa disebut narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah kontemporer biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya sebagai pusat realitas (3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri dengan melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal bahwa penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya akan sifat rahmat rahim Allah.
Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing melahirkan sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan serta tafakhur(membangga-banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut memiliki suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal. Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan dan bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan 'ujb. Masing-masing
8
bentuk dan sub bentuk egoisme memiliki penawar dalam kehiduan manusia. Ikhlas, misalnya adalah penawar bagi riya. Setiap penawar bersumber pada renungan pada keesaan tuhan, Al-Qur'an , sunnah nabi dan akal sehat manusia selama ia berpijak pada wahyu Ilahi. 8
AL-QUSYAIRI
Biografi
Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah 'Abdul Karim ibn Hawazim, lahir tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al-Daqaq, seorang sufi terkenal.
Bentuk Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Beliau adalah tokoh sufi yang mampu mengkompromikan syariat dan hakikat. Dan rujukannya pada doktrin Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti tokoh-tokoh sufi Sunni pada abad ketiga-keempat Hijriyah yang sebagaiman diriwayatkannya dalam Ar-Risalah. Adapun beberapa ajarannya yaitu :
Membina prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, agar jauh dari adanya penyimpangan.
Menolak tasawwuf Syathoiyyah, yaitu tasawwuf yang mengungkapkan adanya penyatuan dengan Tuhan.
Tidak setuju dengan pakaian sufi yang compang-camping, karna baginya tasawuf bukanlah masalah pakaian namun masalah batin.
8. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualisme Islam awal, karya Michael A.Sells, judul asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur'an , Mi'raj , oeticand Theological Writings, hal 227
9
AL-GHAZALI DAN BENTUK TASAWUFNYA
Biografi Dan Sejarah Ketasawufannya
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad ibn Ahmad, karena kedudukan tingginya dalam Islam, di digelari Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan Al-Ghazali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan Al-Ghazali, sebagaimana halnya diriwayatkan Al-Sam'ani dalam karyanya, Al-Anshab, yang dinisbatkan pada satu kawasan yang disebut Ghazalah.
Selama periode kehidupannya Al-Ghazali menimba dan mempelajari banyak cabang ilmu pengetahuan, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguan sejak dia mengajar. Tetapi ternyata ilmu –ilmu itu tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelira sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis.
Mengenai krisis yang terjadi pada Al-Ghazali, beliau berkata: "Lalu keadaan diriku pun kurenungi, dan ternyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut. Amalan-amalanku pun ku renungi, khususnya amalanku yang terbaik yaitu mengajar,dan ternyata aku menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna. Akupun lalu memikirkan niatku dalam mengajar, dan ternyata niatku tidak ikhlas demi Allah. Bahkan hanya didorong terhadap jabatan dan keinginan untk menjadi terkenal. Aku pun menjadi yakin bahwa aku hampir mengalami kehancuran, dan aku benar-benar tidak akan lepas dari neraka, andai saja aku tidak meinggalkan hal-hal sepele tersebut." 9, inilah salah satu ucapan beliau pada saat itu.
Maka ketika beliau menyadari ketidakmampuannya, dan hilang seluruh kesanggupannya untuk memutuskan, maka beliaupun memutuskan menuju Allah, sebagaimana kembalinya orang yang yang tersudut dan tanpa daya.
Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri Al-Ghazali.
taftazani, abu alwafa' al-ghanimi al-, sufi dari zaman ke zaman, hal.150
10
Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi beliau untuk menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai dengan berbagai kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam, rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya memahami realitas alam dan menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan-perasaan samar lainnya, yang kesemua itu akhirnya menuju Allah.
Dalam tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Dan akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada aliran murni, namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya mampu menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah tasawuf yang dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam mengkritik aliran-aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta memancangkan persoalan-persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya tersebut, seperti dikatakan Macdonald, " Beliau membuat tasawuf mempunyai posisi terhormat dalam kalangan kaum muslimin yang Sunni"
Bentuk Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan batiniyah tersebut, akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurut beliau, para sufilah pencari kebenaran yang paling haqiqi. Lebih jauh lagi, menurutnya jaln para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, smentara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah tinimbang mengamalkannya. Bahkan ternyata pula
11
bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.
Karena itu, sebagaimana yang dinyatakan Al-Ghazali,para sufi adalah "orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniah tinimbang ucapannya".
Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma'rifat, dan kebahagiaan. Dalam perinciannya sebagai berikut :
b.1. Jalan (At-Thoriq)
Al-Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud jalan para sufi adalah " penyucian diri, pembersihannya, serta pencerahannya, lalu persiapan dan penantian (ma'rifat)"
Jadi tujuan jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga dengan ini, penempuh jalan sufi tersebut akan mencapai pengenalan Allah. Dengan kata lain, poros penempuh jalan sufi adalah moralitas.
Penempuh jalan sufi, harus konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat menyaksikan Tuhannya.
b.2. Ma'rifat
Ma'rifah adalah penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur Illahi sehingga mampu mendekat dan mendapat kasyaf/ keterbukaan kepada Allah.10 Menurut Al-Ghazali, " sarana ma'rifat seorang sufi adalah kalbu", bukan perasaan
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, hal.182
12
dan bukan pula akal budi.
Untuk mencapai tingkat ma'rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :
At-Taubah
At-Taubah atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3 jenjang dalam penempuhannya, yang pertama At-Taubah, merupakan taubatnya orang yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan. Yang kedua Al-Inabah, yaitu taubatnya orang yang mengiginkan pahala. Dan yang ketiga adalah Al-Aubah, yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena takut disiksa ataupun menginginkan pahala.
Az-Zuhd
Zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan kesenangan ukhrowi. Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini sebagai hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan akhirat, terlalu rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat.
Menurut Al-Ghazali Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia (barang-barang duniawi), dia merasakan hal yang berat, karena sesungguhnya dia masih menginginkan namun berusaha untuk melawan. Orang ini disebut "Al-Mutazahid" (belajar zuhud), yang kedua orang yang siap meninggalkan barang duniawi dengan sukarela, orang ini disebut dengan "Az-Zahid". Dan yang ketiga adalah orang yang tidak merasakan adanya keberatan apapun meninggalkan masalah dunia, karena memang dia sudah tidak lagi tertarik dengan hal dunia. Orang ini disebut "Az-Zahid Al-Kamil" (orang yang sempurna kezuhudannya).
Al-Wara'
Kata ini asalnya mempunyai arti "menahan diri" atan "pengendalian diri". Wara' ada tiga tingkatan, pertama wara'nya orang awam (wara'al awam), yang menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukun meskipun itu bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri dari semua barang syubhat (Yang tidak jelas hukumnya). Kedua, wara'nya orang khas (wara'al khusus),
13
yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya, atau mengganggu hak orang lain. Ketiga, wara'nya orang yang sangat khusus (wara' khushusi al-khusus) yang menjauhi segala hal selain Allah dengan menjelaskan bahwa Al-Wara' itu menjauhkan diri dari segala hal berbau syubhat
dan Az-Zuhd adalah meninggalkan hal-hal yang melebihi kebutuhan pokok.
At-Tawadlu
At-Tawadlu makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua manusia apalagi terhadap Allah, sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq luhur (khusnu al-khuluq/makarimal akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama seseorang maka sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa yakni: Al-Kibr, Al-Hisr, Al-Hasad, Ro'su kulli khati'ah, Al-Kidzb, Al-Hibah, Fitnah, An-Namimah
Al-Muroqobah
Adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi di semua tempat dan waktu.
Adz-Dzikr
Adalah mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.
Al-Istiqomah
Prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan secara sempurna oleh para nabi dan auliya.
Syech Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-Taqwim (mendisiplinkan diri), kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan setelah itu baru Al-Istiqomah (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah.11
Dan itulah yang sering disebut dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh para sufi menurut Al-Ghazali.
hasan, muhammad tholhah, ahlussunnah wal jamaah, hal.198
14
b.3 Fana dalam Tauhid atau Ilmu Mukasyafah
Adalah ketika seseorang tidak melihat yang selain Allah serta tidak tahu yang selainnya. Yang dia tau hanyalah Allah dan kreasi-kreasiNya. Dengan itu tidak ada yang dikenalnya kecuali Allah, tidak ada yang dicintainya kecuali Allah.Dia juga tidak akan memandang dari dirinya sndiri, tapi dari segi
predikatnya sebagai hamba Allah.
b.4 Pengungkapan Ilmu Mukasyafah Secara Simbolis
Ilmu mukasyafah adalah ilmu yang tersembunyi, dan hanya diketahui bagi mereka orang yang benar-benar mengenal Allah. Karena itu mereka hanya akan menggunakan simbol-simbol khusus serta tidak akan memperbincangkannya diluar kalangan sendiri.
b.5 Kebahagiaan
Inilah tujuan terakhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah.
SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI
Biografi
Nama lengkap beliau adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-Qudwah, Syekh al-Islam, Sultan al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-Sunah wa Mumit al-Bid'ah , Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih Abdullah bin Janki Ddus in Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al-Jaili, Asy-Syafi'i , al-Hanbali, Syekh Baghdad.
Ibunya adalah Um al-Khair (induk kebaikian) , amat al-Jabbar (khadam Tuhan yang Maha Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-Suma'i, seorang ibu yang banyak memiliki karamat dan ahwal.
15
Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun 471 H di kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun. Pada tahun 488 H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya.
Pada masa studi Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib kepada setiap muslim dan muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang masih muda ia belajar berbagai disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni dizamannya. Ia mulai belajar al-Qur'an dibawah bimbingan Abual-Wafa 'Ali bin 'Uqail al-Hanbani dan ulama yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak tangan para ahli hadist yang masyhur di zamannya, seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia mempelajari fiqih melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra dipelajari juga dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-Dabbas dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.
Latar belakang studinya yang amat sistematis mengantarkan ia keposisi yang amat tinggi, ia mumpuni dalam ilmu aqidah syariah, tariqah, lugah dan sastra. Ia menjadi tokoh utama dalam mazhab Hanbali dan tempat orang bertanya dalam mazhab ini. Allah memasukkan kedalam hatinya hikmah yang nampak dalam lisannya setiap kali ia memberi tausiyah majelis-majelis pengajian.
Pada bulan syawal tahun 521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di madrasah Abu Said Al- Mukhrimi bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian banyak ulama yang hadir sekitar tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih, hadist, para sufi dan para cerdik cendikiawan lainnya.
Bentuk Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani
Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran islam dari dua aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-
16
Qur'an bagi nya ada yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh, taharah yang berarti bersuci terbagi pada dua bagian, Pertama, penyucian diri secara lahiriah. Hal ini diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci anggota badab atau tubuh dengan air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi. Nabi SAW bersabda:
"Barang siapa yang memperbaharui wudhu maka Allah memperbaharui imannya"
Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan adanya kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-dosanya dan secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara penyucian batiniah ini harus mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan suluk.
Dalam aspek ibadah Syek bukan hanya memetingkan ibadah fardhu, yang nawafil pun menjadi perhatian utama dalam kehidupan kesehariannya. Amal-amal sunnah yang menjadi amalan TQN sebagaimana diamalkan di PP suryalana, itulah ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani.9 Sedangkan riyadoh yang tidak pernah ditinggalkannya adalah dzikrullah. Pedoman aurad yang dipandang representasi ajaran tuan Syekh Adul Qadir al-Jilani telah ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas dalam bukunya Fathul Arifin, yang kemudian dibukukan secara komprehensif olh Abah Anon dalam kitab Uquq al-Juman.12
alba, cecep, tasawuf dan tarekat, hal.31
17
ROBIAH AL-ADHAWIYYAH
Biografi
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi'ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut(khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi'ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi'ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi'ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.13
Bentuk Ajaran Tasawuf Robiah Al-Adhawiyyah
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.14 Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara', baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah
13 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 74
14 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 70
18
disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. 15 Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan
15. Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, hal. 278-279
19
itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma', maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba
di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha') kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu "tempat" yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi. Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
20
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah "terkoyaknya tabir" dan "tersingkapnya rahasia" Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan danuntuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya'qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
21
D. PENGARUH MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Adanya tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya mendekatkan diri pada Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur'an dan sunnah, akan meminimalisir bahkan menjauhkan dari adanya penyelewengan dalam bertasawwuf.
Tasawwuf sunni juga mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti seorang sufi harus berpakaian compang-camping karena tasawwuf bukan hanya mengemukakan dalam hal berpakaian tetapi juga dalam kesehatan batin. Dari sisi kehidupan pun manusia bisa belajar menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, atau dikenal dengan nama istilah zuhud. Atau dapat mengikuti proses pendekatan diri pada Allah sesuai maqamat-maqamat yang dituliskan oleh Al-Ghazali.
Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan membawanya menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawwuf Sunni adalah salah satu tasawwuf yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, hingga konsep ma'rifat, yang meniadakan hijab antara Allah dengan seorang sufi.
Dengan berbagai tokoh dan ajarannya yang berbeda, namun tasawwuf sunni berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah yang menjadikan ajaran itu menjadi satu kesatuan. Tergantung seorang penempuh jalan tasawwuf akan menggunakan ajaran dari siapa.
Pengambilan jalan tasawwuf, akan membuat manusia semakin tinggi tingkat spiritualitasnya, dan tidak tertarik dengan dunia yang fana.
Saran
Dalam bertasawwuf sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam tasawwuf tersebut, guna mencocokkan akan kemampuan diri kita dan kenyamanan dalam menjalaninya. Karena banyak tasawwuf, yang menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil, seperti halnya tasawwuf falsafi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2012
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,
Bandung: Mizan,1993
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : Panjimas, 1984
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta : Lantabora
Press, 2003
Isaid bin Musfir, Qahthani, Al-,Buku Putih Syaikh 'Abd Qadir Jilani terj, cv.Darul
Falah, Jakarta
Michael A.Sells, Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif Spiritualisme Islam
Awal , judul asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur'an , Mi'raj , oeticand
Theological Writings, Bandung: Mizan, 2004
Romli, Muhammad Guntur, Syahadat Cinta Rabi'ah Adhawiyah, Rehal Pustaka,
2012
Syihab, Alwi, Akar Tasawuf Di Indonesia, Bandung: Pustaka II Man, 2009
Taftazani, Abu Alwafa' Al-Ghanimi Al-, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung:
Pustaka, 1985
24
HALAMAN POWER POINT
PRESENTASI TASAWWUF SUNNI
Drs. Malik Ibrahim, M.Ag
Vina Idamatussilmi (14350037)
Sholikhah (14350038)
25