Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah (2012), Hlm. 2-3
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah (2012), Hlm. 94
Ibid. Hlm. 129-131
Ibid. Hlm. 129-131
Ibid. Hlm. 134-137
Ibid. 137-138
MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah ilmu tasawuf semester IV
Dosen pengampu: Nanang Nurcholis
Disusun Oleh:
Muhammad Nur Hidayat (166010106)
Mudrikatul Maghfiroh (166010060)
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITSAS WAHID HASYIM SEMARANG
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sepantasnya dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya, penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan makalah yang bertemakan "Sejarah Perkembangan Tasawuf" ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad SAW sebab berkat beliau kita dapat terbebas dari belenggu kebodohan.
Dalam pembuatan makalah ini penulis dan semua anggota kelompok telah mengupayakan semaksimal mungkin mulai dari pencarian materi hingga penyusunannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan kami mengucapkan terimakasih atas pihak-pihak yang telah banyak memberikan bantuan.
Pada akhirnya kami menyadari, bilamana dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kesalahan dan kekeliruan yang kami tidak ketahui. karena segala kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa sedangkan kekurangan adalah milik kita sebagai makhluk-Nya.
Untuk itu, kekurangan yang ada akan menjadi sebuah pelajaran bagi penulis, dan penulis mengharapkan koreksi, berupa kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca, terutama pengoreksi, untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan makalah yang telah penulis sajikan ini dapat sangat bermanfaat.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
Latar Belakang 1
Rumusan masalah 1
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
Latar Belakang Munculnya Tasawuf
Faktor-Faktor yanng Melahirkan Tasawuf
Perkembangan Tasawuf Pada Zaman Dahulu
BAB III PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam sejak pertama kali dibawa oleh Rasulullah selalu mengedepankan akhlak yang baik, hidup dalam kesederhanaan di samping mengedepankan Ibadah. Islam sendiri terdiri dari beberapa aspek yaitu aqidah, syariat, dan akhlak. Aspek ketiga ini menjadi hal yang penting dimana, akhlak merupakan implementasi dari usaha manusia mengenal Tuhannya atau yang disebut sebagai tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu metode untuk mengobati hati manusia dari nafsu duniawi dalam rangka mengenal Allah SWT. Tasawuf menjadi suatu yang penting bagi manusia yang ingin menggapai tingkatan makrifatullah, di mana hanya manusia pilihan seperti Rasulullah yang terjaga dari perbuatan dosa serta cinta dunia sehingga mampu melihat Tuhan dengan hatinya. Sesuatu yang tampak pada seseorang yang bertasawuf yaitu akhlak yang mulia.
Sejak zaman Rasulullah sudah ada golongan orang yang telah bersungguh-sungguh mengorbankan seluruh waktu dan hartanya serta meninggalkan hal yang bersifat duniawi untuk berjuang bersama Rasulullah. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang-orang yang mulai gemar bertasawuf di samping melakukan ritual ibadah. Akhirnya banyak bermunculan aliran-aliran tasawuf yang berbeda-beda coraknya yang disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya serta pengalaman spiritual yang berbeda tiap individu.
Rumusan Masalah
Bagaimana latar belakang munculnya tasawuf?
Bagaimana faktor-faktor yang melahirkan Tasawuf?
Bagaimana perkembangan tasawuf pada zaman dahulu?
Tujuan
Untuk menjelaskan latar belakang munculnya tasawuf.
Untuk memaparkan faktor-faktor yang melahirkan tasawuf.
Untuk menjelaskan perkembangan tasawuf pada zaman dahulu.
BAB II
PEMBAHASAN
Latar Belakang Munculnya Tasawuf
Secara etimologi, tasawuf berasal dari beberapa asal makna kata diantaranya yaitu shuf (bulu domba), shaff (barisan), shafa (jernih), dan shuffah (Seranbi masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat rasulullah) kemudian disebut dalam bahasa Arab dengan tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufan. Secara terminologi tasawuf memiliki pengertian yang berbeda-beda pada setiap tokoh karena pengalaman spiritual pada seseorang berbeda-beda yang berdampak pada pemaknaan tasawuf. Sedangkan menurut Samsul Munir Amin, Tasawuf didefinisikan sebagai usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupannya, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas.
Menurut Samsul Munir yang mengutip pendapat Ibnu Al-Jauzi dan Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa secara garis besar kehidupan kerohanian dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu zuhud dan tasawuf. Diakui bahwa keduanya merupakan istilah baru, sebab belum ada pada masa Rasulullah SAW dan tidak terdapat dalam Al-Qur'an, kecuali zuhud yang disebut sekali dalalm Surah Yusuf (12) ayat 20. Term tasawuf kemudian mulai dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad II Hijriah, sebagai perkembangan lanjut dari keshalehan askestis atau para zahid yang mengelompok di seramnbi masjid Madinah. Abu Hasyim Al-Kufi adalah orang pertama yang dipanggil dengan nama sufi.
Tasawuf tumbuh dan berkembang selaras dengan pertumbuhan Islam sendiri. Maka sejatinya tasawuf dan Islam tidak bisa dipisahkan, karena Islam sendiri memiliki corak tasawuf. Tasawuf identik dengan perilaku seseoramg sederhana dan hal ini tercermin dari kepribadian Rasulullah SAW bahkan sebelum masa kenabiannya hal ini sudah banyak diriwayatkan melalui hadits-hadits. Maka, dapat dikatakan bahwa tasawuf bersumber pada sifat umum Rasulullah dan para sahabat yaitu kesederhanaannya dan kegigihan mereka dalam beribadah kepada Alloh SWT.
Dalam perkembangan sejarah, para sahabat mencoba untuk mendalami amalan dan ajaran-ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang kemudian lahirlah filsafat ibadah. Kemudian muncul sahabat yaitu Hudzaifah Al-Yamani yang memperkenalkan ilmu tasawuf beserta teori-teorinya. Setelah itu perkembangan sufi dilanjutkan oleh para tabi'in dan mulai berdiri madrasah-madrasah tasawuf.
Faktor-Faktor Munculnya Tasawuf
Dalam perkembangannya orang-orang memiliki pendapat tersendiri dengan hadirnya tasawuf, ada yang pro adapula yang kontra. Mereka yang kontra dengan tasawuf mengemukakan alasan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islalm. Pendapat ini diwakili oleh para orientalis. Para sarjana Islam sendiri mempunyai pendapat yang berbeda tentang faktor munculnya tasawuf maupun gerakan tasawuf dalam Islam.
Abu Al-A'la Al-Afifi mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf menjadi empat aliran. Pertama, tasawuf berasal dari India melalui persia. Kedua, tasawuf berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, tasawuf dari ajaran Islam sendiri. Keempat, tasawuf berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep. Dengan demikian, tasawuf dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Menurut Al-Afifi masing-masing faktor tersebut dapat dipecah dua sehingga menjadi empat, yaitu sebagai berikut.
Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur'an dan sunnah.
Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara', takwa, rajin beribadah, bertingkah laku baik, berpuasa, dan sebagainya. Semua itu sejalan dengan surat Al-Ahzab (33).
Reaksi kerohanian kaum muslim terhadap sistem sosial-politik dan ekonomi di kalangan umat Islam sendiri.
Dahulu sempat terjadi pertikaian yang disebabkan kepentingan ekonomi dan politik yaitu antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah yang bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa Utsman bin Affan. Dengan fenomena sosial-politik seperti itu, ada sebagian masyarakat yang mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Kependetaan (rabbaniyyah) agama Nasrani sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum Islam.
Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam.
Keduanya tidak dapat memuaskan batin seseorang muslim. Ilmu fiqh mementingkan formalisme dan legalisme dalam menjalankan syariat Islam. Sementara ilmu yang kedua mementingkan pemikiran rasional dalam pemahaman agama Islam.
Perkembangan Tasawuf pada Zaman Dahulu
Menurut Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. dalam bukunya intelektualisme tasawuf, menyatakan bahwa sejarah perkembangan tasawuf dikalangan islam mengalami beberapa periode, yang secara rinci dapat dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Periode Pembentukan
Pada abad I Hijriah bagian kedua muncul Hasan Al-Bashari (w.110 H) dengan ajaran khauff untuk mempertebal takut kepada Tuhan. Begitu juga tampilnya guru-guru yang lain, yang disebut qari', mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian dikalangan kaum muslim. Bibit tasawuf sudah mulai ada sejak itu, garis besar mengenai thariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun. Dalam ajaran yang dikemukakan sudah mulai dianjurkan mengurangi makan (ju'), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), dan mencela dunia (dzam ad-dunya) seperti harta keluarga dan kedudukan. Kemudian pada akhir abad I Hijriah , Hasan Al-Bashri diikuti oleh Rabi'ah Al-Adawiyyah (w. 185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran mahabbah.
Selanjutnya pada abad ke II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yaitu sama dengan corak kezuhudan meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini adalah adanya kenyataaan pendangkalan ajaran agama dalam melaksanakan syariat agama (lebig bersifat fiqih). Hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan seperti itu.
Abu Al-Wafa' menyimpulkan zuhud islam pada abad I dan II Hijriah mempunyai karakter sebagai berikut.
a. Menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nash agama.
b. Masih beraifat Praktis.
c. Ciri lain dari motif zuhudnya ialah rasa takut.
2. Periode Pengembangan
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Seperti yang diungkapkan Abu Yazid Al-Bushtami (261 H). Ia adalah orang pertama yang menggunakan istilah fana (lebur atau hancurnya perasaan), sehingga ia dibilang sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini.
Nicholos mengatakan, Yazid dijuluki sebagai pendiri tasawuf yang berasal dari Persia, yang memasukkan ide wahdah al-wujud sebagai pemikiran orisinal teosofi dari Timur yang merupakan kekhususan pemikiran Yunani. Fariduddin Al-Aththar menyampaikan beberapa pandangan Abu Yazid, antara lain yang artinya, "Aku keluar dari Yang Haq kepada Yang Haq sehingga ia berteriak, Hai dzat, kau adalah Aku. Pada saat ini aku berada dalam maqam fana".
Sesudah Abu Yazid Al-Bushtami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yaitu Al-Hallaj yang menampilkan teori hulul (reinkarnasi Tuhan). Pada akhir abad II orang berlomba menyatakan dan mempertajam pemikirannya. Kemudian datanglah Junaidi Al-Baghdadi yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan thariqah (tarekat), mengajarkan ilmu tasawuf, memperkenalkan sistem syaikh, murshid, murid, dan murad, sehingga ia dinamakan Syaikh at-tha'ifah (ketua rombongan suci).
Dengan demikian, tasawuf abad III dan IV Hijriah sudah berkembang sehingga mempunyai madzhab, bahkan seolah-olah agama berdiri sendiri. Menurut Abu Al-Wafa', tasawuf pada abad-abad ini telah mencapai peringkat tertinggi sekaligus terjernih dan mereka menjadi panutan bagi sufi-sufi sesudahnya. Pada abad III dan IV Hijriah , terdapat dua aliran. Pertama aliran tasawuf Sunni dan aliran tasawuf Falsafi.
3. Periode Konsolidasi
Fase ini terjadi pada abad V Hijriah. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semifalsafi dengan tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni memenangkan pertarungan sehingga berkembang sedemikian rupa. Sementara itu, tasawuf semifalsafi tenggelam dan kembali muncul pada abad VI Hijriah dalam bentuk yang lain. Kemenangan tasawuf Sunni dikarenakan menangnya teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy'ari. Periode ini cenderung mengadakan pembaharuanserta pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, Al-qur'an dan sunnah.
tokoh-tokohnya adalah Al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (196 H), dan Al-Ghazali (450-505 H).
4. Periode Falsafi
Setelah tasawuf Falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI Hijriah tampillah tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, berkompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat, scbut saja tasawuf Falsafi karena di satu pihak memakai term-term filsafat, namun di lain pihak pendekatan terhadap Tuhan memakai metode dzauq, intuisi, dan wajd.
Ibnu Khaldun dalam bukunya, Muqaddimah, menyimpulkan bahwa tasawuf Falsafi mempunyai empat objek utama yang menurut Abu Al-Wafa' dapat dijadikan karakter sufi Falsafi, yaitu sebagai berikut.
Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi yang timbul darinya.
Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
Pemakaian ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyat) .
Adapun metode pencapaian tujuan tasawuf sama dengan tasawuf sebelumnya, baik mengenai maqamat, ahwal, riyadhah, muujahadah, dzikir, mematikan kekuatan syahwat, maupun yang lainnya.
Tokoh-tokohnya ialah Suhrawardi Al-Maqtul. dengan teori isyraqiyah-nya (pancaran), Ibnu Arabi dengan teori wahdah al-wujud-nya, Ibnu Sabi'in dengan teori ittihad-nya, Ibnu Faridl dengan teori cinta, fana, dan wahdah asy-syuhud-nya.
Pada abad VI dan dilanjutkan abad VII Hijriah, muncul cikal-bakal tarekat sufi kenamaan. Hingga dewasa ini, pondok-pondok tersebut merupakan oase-oase di tengah gurun pasir kehidupan duniawi. Kemudian tibalah mereka berjalan dalam suatu kekerabatan para sufi yang tersebar luas, yang menyangkut seorang guru, dan menerapkan disiplin dan ritus yang lazim. Tarekat terkénal yang lahir dan berkembang sampai sekarang antara lain, tarekat Qadariyah yang dikaitkan kepada Abdul Qadir Al-]ailani (471-562 H), tarekat Suhrawardiyyah yang dicetuskan Syihabuddin Umar bin Abdillah Al-Suhrawardi (539-631 H), tarekat Rifa'iyyah yang dikaitkan kepada Ahmad Rifa'i (512 H), tarekat Syadziliyyah yang dikaitkan pada Abu Al-Hasan Al-syadzili (592-656 H), tarekat Badawiyyah yang dikaitkan pada Ahmad Al-Badawi (596-675 H), tarekat Naqsyabandiyyah yang dikaitkan kepada Muhammad bin Bahauddin Al-Uwaisy Al-Bukhari (717-791 H).
5. Periode Pemurnian
A. J. Arberry menyatakan, masa Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, dan Ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf, baik secara teoretis maupun praktis. Pengaruh dan praktik-praktik tasawuf kian tersebar luas melalui tarekat-tarekat dan para sultan serta pangeran yang tidak segan mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka. Contoh paling menonjol adalah figur terhormat, Dharma Syaikh, putra Kaisar Moghul, Syaikh Johan yang menulis sejumlah kitab, di antaranya Al-Majma' Al-Bahrain, di dalamnya ia mencoba merujuk teori tasawuf Verdania. Tanda-tanda keruntuhan tampak jelas ketika penyelewengan dan skandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya.
Kemudian, tasawuf pada waktu itu ditandai bid'ah, khurafat, mengabaikan syariat dan hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, membentengi diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan amalan yang irrasional, azimat, ramalan, dan kekuatan ghaib.
Bersamaan dengan itu muncullah Ibnu Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Ia terkenal kritis, peka tethadap lingkungan sosial, polemis dan tegas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, Alquran dan sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat, dan bentuk bid'ah pada umumnya. Menurut Ibnu Taimiyah, yang disebut wali ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten dengan syariat Islam. Sebutan yang tepat diberikan kepada orang-orang tersebut ialah muttaqin (QS. Yunus (10): 62-63).
Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, yaitu menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain, tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial, sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini yang cocok untuk dikembangkan di masa modern seperti sekarang.
TASAWUF SUNNI
Tasawuf Sunni ialah tasawuf yang pengikut-pengikutnya memagari dengan Alquran dan sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.
Berkembangnya tasawuf Sunni ini tidak lepas dari aliran teologi Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah, karena keunggulan Abu Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H) atas aliran-aliran (teologi) lainnya, dengan kritiknya yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid Al-Busthami dan Al-HalIaj maupun para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk penyimpangan yang mulai timbul di kalangan tasawuf.
. Secara materiil, yang membedakan tasawuf Sunni dengan yang Iain hanya dalam tingkatan maqamat menuju Al-Haq. Materi paham tasawuf Sunni tidak menunjukkan paham yang ekstrem sehingga produk materi yang dikembangkan tetap tidak melampaui secara ekstrem petunjuk nash-nash agama. Itikad Ahl As-Sunnah wa Al-jama'ah itu bertauhid menurut konsepsi paham Imam Al-Asy'ari dan Imam Al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu mazhab empat dan berakhlak sesuai dengan perumusan Imam Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali.
Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang mempunyai karaktcr dinamis karena selalu mendahulukan syariat. Seseorang tidak akan mencapai haqiqah apabila tidak melalui syari'ah, sedangkan proses pencapaian haqiqah harus melalui maqamat (terminal-terminal). Aliran Al-Asy'ari menolak mazhab hulul. Paham Al-Asy'ariyah tidak dapat menerima jika Ilahi turun ke dalam manusia, di samping tidak dapat menerima jika manusia naik menuju Ilahi.
Tasawuf Sunni terus berkembang sejak zaman klasik Islam hingga zaman modern. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-negara bermazhab Syafi'i.
Adapun ciri-ciri tasawuf Sunni antara lain sebagai berikut.
1. Melandaskan diri pada Alquran dan sunnah.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syatahat.
3. lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.
4. Kesinambungan antara haqiqah dan syari'ah.
5 Lebih berkonsentrasi pada soaI pembinaan, pendidikan akhlak, serta pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan Iangkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
TASAWUF SYI'I
Di luar dua aliran tasawuf di atas, ada Juga yang memasukkan tasawuf lain yaitu tasawuf Syi'i atau Syi'ah. Pembagian ini atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan kaum Syi'ah golongan yang dinisbahkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib.
Hubungan antara Syi'ah dan tasawuf terbilang rumit oleh kenyataan dalam membicarakan dua hal ini. Tidak berhubungan dengan tingkatan atau dimensi keislaman pada keduanya. Islam memiliki dimensi eksoteris (lahir) dan dimensi esoteris (batin), yang bersama dengan segenap perbedaan di dalamnya, mewakili susunan vertikal wahyu. Namun, hal tersebut juga dibedakan menjadi aliran Sunni dan Syi'ah yang dapat dikatakan mewakili susunan horizontalnya.
Dalam sejarah, setelah peristiwa Perang Shiffin orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, yaitu suatu daratan yang terkenal banyak mewarisi tradisi pemikiran sejak Imperium Persia berjaya. Di daratan inilah kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa. Ketika itu di daratan Persia ini sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga sudah berkembang mendahului wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi'i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi'ah dengan paham tasawuf. Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf Falsafi dengan sekte Isma'illiyah. Sekte ini menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususnya dalam persoalan quthb dan abdal. Bagi para sufi Falsafi, quthb adalah puncaknya kaum 'arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran Isma'iliyyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga tentang pakaian compang-camping yang disebut berasal dari imam Ali.
TASAWUF DI INDONESIA
Masuknya tasawuf di Indonesia sejalan dengan masuknya Islam di Indonesia. Islam masuk Indonesia melalui berbagai metode yang memerlukan proses dan penyesuaian terhadap adat dan budaya. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat sudah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, maka Islam pun disebarkan salah satunya adalah melalui mistisisme (tasawuf).