Tasawuf Sunni : Tokoh dan Pemikirannya Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing: Ibu Hj. Rosdiana M.A. Disusun oleh: Rifa Farhah (108046100158) Ahmad Aminullah (108046100161) Prasetyo Wardoyo (108046100192)
Semester III Kelas E Perbankan Syari’ah
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
Kata Pengantar Kami memulai makalah ini dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan sanjungan selayaknya kami persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai nikmat-Nya kepada hamba-hambanya. Rahmat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw., juga bagi keluarga, para sahabat serta siapa saja yang beriman dari zaman ke zaman. Berkat rahmat-Nya, Alhamdulillah kami dapat menyusun makalah yang berjudul ”Tasawuf Sunni: Tokoh dan Pemikirannya”. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memahami dan mengenal tokoh-tokoh dalam tasawuf sunni sendiri dan juga disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Akhlak dan Tasawuf yang diberikan oleh dosen pembimbing kami yaitu, Hj. Rosdiana MA. Kami menyadari bahwa makalah ini tentu masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan untuk kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. Harapan kami, makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Amin !
Jakarta , November 2009
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................1 DAFTAR ISI ..............................................................................................................2 BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................................3 BAB II : PEMBAHASAN .........................................................................................5 A. Pengertian Tasawuf Sunni......................................................................5 B. Perkembangan Tasawuf Sunni...............................................................5 C. Tokoh dan Pemikirannya.......................................................................7 BAB III : PENUTUP ...............................................................................................14 BAB IV : DAFTAR PUSTAKA .............................................................................15
3
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ajaran tasawuf dimulai oleh kaum Muslim di abad 1 Hijriyah ketika mereka para sahabat beserta para tabi'in coba untuk menghindari dari apapun yang mereka dapatkan setelah mereka berhasil membuka Irak, Mesir, Suriah dan negara lainnya. Beberapa dari mereka memutuskan untuk tetap menjadi Mujahidin atau sibuk dengan beribadah dan melayani umat dengan mengajar ataupun perbuatan lainnya dalam hidup mereka. Kala itu mereka mendapat sebutan "Az-Zuhaad." Zahid berarti kurang menyukai akan kenikmatan dunia karena takut hal itu justru dapat menyebabkan susutnya waktu dan perhatian yang sebenarnya, yaitu mencapai kebahagiaan yang abadi serta tidak menjadikan kehidupan dunia itu sebagai tujuan akhir. Setelah itu tasawuf seperti halnya bagian lain dari ilmu pengetahuan dan aktivitas berkembang dan banyak tokoh sufi yang mencontohkan bagaimana semestinya mengisi hidup sebagai persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, sufisme terbagi menjadi dua jenis: tasawuf suni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni mempraktekkan zuhud dan Ibadah sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW, cara hidupnya dan para pengikutnya. Jenis sufisme yang lain adalah yang dinamakan tasawuf falsafi yang berarti jenis sufisme yang mengajarkan cara dan jalan hidup seseorang yang datang dari India dan Persia dan tempat lainnya yang kemudian masuk menjadi bagian umat Islam. Mereka mempraktekkan cara sufisme mereka dalam lingkungan umat Islam dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Berdasarkan uraian diatas kami ingin mencoba memaparkan lebih jelas bagaimana tasawuf sunni yang berlandaskan Ahli Sunah wa al-Jama’ah, perkembangannya, dan tokoh-tokoh beserta pemikirannya. Untuk itu kami akan memaparkannya dalam makalah kami yang berjudul “Tasawuf Sunni: Tokoh dan Pemikirannya”.
4
2. Rumusan Masalah Untuk membantu para pembaca dalam memahami tugas makalah kelompok kami. Kami mencoba menjabarkan pokok masalah yang akan kami bahas dalam makalah kali ini, yaitu : •
Apa pengertian dari tasawuf sunni itu?
•
Bagaimana perkembangan tasawuf sunni dari awal kemunculannya?
•
Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam tasawuf sunni? Dan bagaimana pemikiran mereka tentang tasawuf?
3. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah: •
Menyelesaikan tugas mata kuliah akhlak tasawuf.
•
Memberikan penjelasan bagaimana tasawuf sunni itu, perkembangannya, dan tokoh-tokoh beserta pemikirannya.
4. Sistematika penyusunan Penyusunan makalah ini memiliki sitematika sebagai berikut : •
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penulisan dari makalah, tujuan penulisan makalah, batasan dan rumusan masalah, serta sistematika penyusunan makalah ini.
•
BAB II PEMBAHASAN Pada bab ini dijelaskan mengenai pengertian tasawuf sunni secara umum, perkembangannya, dan tokoh beserta pemikirannya.
•
BAB III PENUTUP Pada bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan penutup dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab pembahasan.
5
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tasawuf Sunni Tasawuf sunni merupakan aliran tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf as-shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat mengganggu kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Para penganutnya berpegang teguh pada al-Kitab dan al-Sunah, dan mempertalikan ahwal (kondisi) dan magomat (tangga-tangga) mereka, dengan kedua hal tersebut. Aliran tasawuf ini memiliki ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada Allah, dzikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi. Dari awal prosesnya, corak tasawuf ini muncul dikarenakan keteganganketegangan dikalangan sufi, baik yang bersifat internal maupun eksternal yaitu para sufi dan ulama’ zahir baik para fuqaha maupun mutakallimin. Hal itu menyebabkan citra tasawuf menjadi jelek dimata umat, maka sebagian tokoh sufi melakukan usahausaha untuk mengembalikan citra tasawuf. Usaha ini memperoleh kesempurnaan ditangan al-Ghazali pada abad ke-5 H.
B. Perkembangan Tasawuf Sunni1 Seperti yang telah dijelaskan pada bab terdahulu mengenai perkembangan tasawuf itu sendiri, pada abad ke-3 dan ke-4 H terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah (Tasawuf Sunni). Kedua, cenderung pada kajian yang bersifat filsafat metafisika (Tasawuf Falsafi). Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni pada masa itu adalah Haris al- Muhasibi (basra, 165-Baghdad, 243 H). Beliau mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (muhasabah). Pembicaraannya yang lebih rinci tentang itu tertuang dalam karyanya ar-Ri’ayat li 1
Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Ven Hoeve : Jakarta
6
Huquq Allah (menjaga hak Allah) yang banyak mempengaruhi al-Ghazali dalam menyusun karyanya, Ihya Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu agama). Disamping karya tersebut, al-Muhasibi juga menulis Kitab al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Dalam bukunya at-Tawahhum al-Muhasibi menyuguhkan kedahsyatan maut dan hari pembalasan. Adapun kehalusan dan kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya secara artistik di dalam Fasl fi al-Mahabbah (penjelasan tentang konsep cinta) Tokoh lainya ialah Sirri as-Saqati, Abu Ali ar-Ruzbar, dan Abu Zaidal-Adami. Disamping itu terdapat pula Abu Said al-Kharraz yang banyak menumpahkan kajiaannya
pada
magam
dan
hal,
Sahlat-Tustari
yang
terkenal
dengan
kekhusyukkannya dalam beribadah dan disiplin diri, dan al-Junaid al-Bagdadi (wafat 289 H) yang paling popular dan mempunyai analisis yang dalam tentang tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi sunni. Baginya memperdalam kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Al-Junaid mewariskan ilmunya itu kepada murid-muridnya. Diantara muridnya yang masyhur ialah Abu Bakar asySyibili. Namun pada masa itu Tasawuf Sunni kurang berkembang, justru
lebih
berkembang adalah Tasawuf Falsafi yang mencapai puncak kejayaannya di tangan alHallaj. Baru setelah al-Hallaj meninggal pada abad ke-5 H, Tasawuf Sunni mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat. Abad ke-5 H boleh dikatakan sebagai masa kemunduran Tasawuf Falsafi dan berjayanya Tasawuf Sunni, dengan tokoh-tokohnya yaitu Abu Qasim abdul Karim al-Qusyairi (376-466 H), Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H) dan al-Ghazali (450-478 H). Al-Ghazali telah memulihkan pandangan umum yang selama ini sinis terhadap tasawuf. Atas usaha tokoh-tokoh dalam tasawuf sunni terutama ditangan al-Ghazali ini tumbuhlah tasawuf itu dengan suburnya bersama-sama dengan fiqh dan ilmu kalam. Tetapi di samping usaha al-Ghazali ini, tasawuf versi al-Hallaj yang sudah mendarah daging dalam pribadi pengikut-pengikutnya, secara diam-diam tumbuh juga pada awal abad ke-6 H. Bahkan mengambil bentuk yang lebih ekstrim dari pendahulunya. Usaha al-Ghazali memadukan antara ilmu-ilmu ke-Islaman yang sudah mulai cerah dan berhasil itu, mulai mundur kembali karena semakin besarnya pengaruh tasawuf versi al-Hallaj yakni perpaduan tasawuf dengan filsafat. 7
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni pada Masa Puncak Kejayaannya (Abad ke-5 Hijriyah) 1. Abu Qasim abdul Karim al-Qusyairi Qusyairi merupakan salah satu tokoh penting dalam tasawuf Islam pada kurun kelima hijriyah. Urgensinya itu tak lain disebabkan oleh tulisannya tentang tasawuf dan para sufi kurun ketiga dan keempat hijriah. Ia lahir di Istiwa, salah satu kawasan di Naisamburi tahun 376 H. Ia keturunan Arab, dan tumbuh di Naisamburi yang merupakan salah satu pusat keilmuan masa itu. Disanalah Qusyairi bertemu dengan gurunya yang bernama Abi Ah ad-Diqaq, yang merupakan seorang tokoh sufi terkemuka. Qusyairi menghadiri forum ilmiahnya, dan mengambil jalan kesufian darinya. Gurunya tersebut memerintahkan kepadanya untuk menguasai keilmuan-keilmuan syariat terlebih dahulu. Sehingga Qusyairi harus belajar ilmu fikih kepada seorang ahli fikih yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar at-Thusi, belajar ilmu kalam dan ushul fikih kepada Abu Bakar bin Furik, dan juga pernah mempelajari kitab al-Baqilani. Oleh karena itu, tertanam pada diri Qusyairi akidah Ahli Sunah wa al-Jama’ah. Qusyairi sendiri meninggal pada tahun 465 H. Qusyairi menulis ar-Risalah al-Qusyairiyah. Sebuah kitab tasawuf yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf walaupun kajiannya agak umum dan ringkas, buku tersebut banyak mendapat perhatian para ulama tasawuf sesudahnya. Orangorang membaca ar-Risalah al-Qusyairiyah akan melihat dengan jelas kecenderungan Qusyairi dalam membenarkan tasawuf sesuai dengan akidah Ahli Sunah. Dalam kitab tersebut juga menandakan pengingkarannya terhadap sufi-sufi yang identik dengan Syathatat, yaitu mereka yang mengatakan sebuah ungkapan yang menimbulkan adanya tumpang tindih antara sifat-sifat ketuhanan, dengan sifat-sifat manusia. Qusyairi juga mengkritisi sufi-sufi semasa dengannya yang senantiasa mengenakan pakaian-pakaian orang miskin dan pakaian-pakaian bulu, sedangkan perbuatannya bertentangan dengan pakaian yang dikenakannya itu.? Oleh karena itu, Qusyairi menekankan adanya perbaikan batin dengan berpegang pada al-Kitab dan alSunah. Dalam hal ini ia berkata: ”Wahai Saudaraku! Janganlah tertipu dengan apa
8
yang telah engkau lihat dari sebuah penampilan luar. Segala tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan dan kesucian adalah sebuah penyelewengan......” Qusyairi juga memberikan gambaran lain tentang penyelewengan para sufi yang terjadi pada kurun ketiga dan kelima hijriah dengan mengatakan: ”Jalan kesufian ini telah sampai pada suatu masa keterhapusannya secara nyata. Para syekh yang dapat disuri tauladani telah berlalu, dan sudah sangat sedikit para pemuda yang perilaku dan perbuatannya bisa dijadikan contoh. Hilangkah sifat menjauhkan diri dari dosa, dan berlalulah sebuah kemudahan. Mengharapkan apa yang ada di tangan manusia semakin meraja lela, dan berlakulah dalam hati sebuah keharaman syariat. Mereka kurang memperhatikan agama dan tak berhati-hati di dalamnya. Mereka menolak pembagian halal dan haram, serta meninggalkan kehormatan dan kesopanan. Mereka menganggap enteng pelaksanaan ibadah, dan merendahkan puasa dan shalat....” Perkataan Qusyairi tersebut tampak melebih-lebihkan. Namun perkataan tersebut menunjukan bahwa kondisi tasawuf pada masanya mulai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari orientasi awalnya dari tinjauan akidah, atau dari tinjauan akhlak dan juga perbuatan. Oleh karena itu, Qusyairi memberitahukan bahwa ia menulis rislahnya tersebut karena semangatnya terhadap tasawuf. Ia tak ingin menyatakan kejelekan kepada salah satu penganutnya hanya karena ulah keberadaan orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai seorang sufi. Perkataanya tersebut tak lain adalah sebuah keluhan atas kondisi tasawuf yang ada pada masanya. Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa perbaikan tasawuf menurut pendapat Qusyairi tak lain adalah mengembalikan kembali akidah Ahli Sunah Wal Jama’ah, dan mensuri tauladani sufi-sufi sunni yang telah disebut dalam risalahnya itu sebagai sufi-sufi kurun ketiga dan keempat hijriah. 2. Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi Salah satu sufi lainnya yang menyandarkan tasawufnya dengan sangat jelas pada akidah ahli sunnah, dan termasuk para pembaharu tasawuf pada abad ke-5 H adalah al-Harawi. Dia termasuk orang-orang yang menentang keras mereka yang bersyathahat semisal Bustami dan al-Hallaj. Ia lahir di Bahrah salah satu kawasan di Kharasan pada tahun 396 H. Ia sebagaimana yang dikatakan oleh Massignon adalah salah satu fuqaha terkemuka dari mazhab Hambali. Karya-karyanya dalam tasawuf sangatlah bernilai.
9
Salah satu kitab terpenting al Harawi dalam tasawuf adalah Manazilul Sairin ila Rabbil Alamin. Yaitu sebuah kitab yang sangat ringkas yang didalamnya menggambarkan
maqam-maqam
sufi
dan
tingkatan-tingkatannya,
dari
titik
permulaaan hingga keberakhiran. Ia berkata: “Mayoritas ulama’ golongan ini ( Sufi) sepakat bahwa titik keberakhiran tak sah tanpa pembenaran terhadap permulaan. Sebagaimana bangunan tak mungkin berdiri dengan tanpa adanya sebuah pondasi. Pembenaran terhdap permulaan adalah melaksanakan perintah dengan penuh keikhlasan, dan mengikuti sunah.”2 Al-Harawi dari tinjauan dirinya sebagai penganut paham sunni, juga mengkritisi sufi-sufi yang mengungkapkan sebuah syatahat. Ia berkata: ”Salah satu dari mereka (sufi-sufi yang menyeleweng) ada orang yang tak membedakan tingkatan-tingkatan khusus, dan orang-orang umum. Sebagian dari mereka adalah seorang yang menganggap syathahat sebagai sebuah tingkatan (magam), dan menyamakan anatara pemilik eforia dengan sufi-sufi yang kokoh. Mayoritas dari mereka tidak mengatakan tentang tingkatan-tingkatan.” Al-Harawi sangat respek terhadap tingkatan ketentraman hati yang muncul dari sebuah kerelaan terhadap Allah. Yaitu sebuah tingkatan yang tercegah dari syathahat. Dalam hal ini, ia berkata: ”Derajat yang keempat (dari ketiga tingkatan ketentraman) adalah ketentraman yang muncul dari sebuah kerelaan (ridha), dan tercegah dari syathahat” maka ia mengingkari dengan sangat jelas akan kewalian alBustami dan al-Hallaj karena syathahat yang keluar dari dirinya tersebut. 4. Abu Hamid Al-Ghazali Imam al-Ghazali dianggap sebagai pembela tasawuf sunni terdepan dalam islam. Yaitu sebuah tasawuf yang didirikan di atas akidah Ahli Sunah wa al-Jama’ah, zuhud, kesederhanaan, pendidikan, jiwa dan perbaikannya. Dalam hal ini, Imam alGhazali sepakat dengan mainstream tasawuf pada masa ketiga dan keempat hijriah, dan juga sepakat dengan Qusyairi, al-Harawi, dan orang-orang sebelumnya yang mempunyai mainstream yang sama. Namun demikian, al-Ghazali lebih besar ketimbang mereka secara keseluruhan dari tinjauan kepribadian, intelektualitas, tasawuf, dan keilmuannya. Maka tepat sekali jika al-Ghazali dianggap sebagai sufi 2
Abu Wafa’ al Ghanimi al Tatazani. 2008. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama. (Dikutip dari: Manazil Sainn, Musthafa al-Babi al-Halbi, Kairo, 1328.)
10
terbesar dalam Islam. Kontribusinya dalam tasawuf terhadap orang-orang setelahnya sangatlah besar. Ia lahir di Thus yang merupakan salah satu kawasan di Kharasan pada tahun 450 H, dan meninggal pada tahun 478 H. Puncak kecemerlangan tasawuf sunni tercapai pada masa al-Ghazali yang karena ilmu dan kedudukannya yang tinggi ia di beri gelar Hujatul Islam. al-Ghazali menempuh dua masa kehidupan berbeda. Pertama, ketika ia dalam kondisi penuh semangat dalam menimba ilmu, mengajar, dan penuh gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di Perguruan Nizamiyah yang senantiasa diliputi harta duniawi. Kedua, masa syakk (ragu) terhadap kebenaran ilmu yang didapatnya dan terhadap kedudukan yang di pegangnya. Akhirnya keraguan itu terobati dengan pengamalan tasawufnya. Hal ini terjadi di akhir masa pertamanya dan merupakan masa peralihannya. Maka bagian kedua dari kehidupannya di jalani dengan ketentraman dan keheningan tasawuf. Pada masa inilah ia banyak menulis tasawuf. Al-Ghazali mempunyai karya tulis yang begitu banyak dalam bidang tasawuf. Di antaranya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din yang paling besar, paling popular dan mendapat tempat di hati masyarakat serta telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Di dalam buku tersebut al-Ghazali dengan ilmunya yang luas dan dalam mendamaikan teologi, fikih, dan tasawuf. Ia juga membahas secara luas tentang ibadah perilaku yang menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan, dosa-dosa yang membinasakan, dan jalan menuju keselamatan berupa maqamat dan ahwal. Dari
telaah
karya-karya
tasawuf
al-Ghazali,
kemudian
at-Taftazani
menyimpulkan bahwa al-Ghazali telah berhasil mendeskripsikan secara jelas tentang jalan menuju Allah SWT sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase pencapaian rohaniah dalam bentuk maqamat dan ahwal, yang akhirnya sampai pada fana, tauhid, makrifat, dan sa’adah (kebahagian). Karya-karya tasawuf yang berbobot lainnya pada abad ke-5 H adalah atTabaqat as-Sufiyah (Tingkatan-tingkatan Sufi) oleh Abdur Rahman as-Sulami (wafat 412 H), Hilyah al-Aulia’oleh Abu Nu’aim al-Isfahani (wafat 430 H), dan Kasyf alMahjub (Menyingkap Tabir) oleh Ali bin Usman al-Jullabi al-Hujwiri.3 Ia beranggapan bahwa pencarian jalan para sufi dalam tasawuf adalah memutuskan diri dan belenggu-belenggu nafs( jiwa/hawa nafsu), membersihkannya dari akhlak-akahlak yang tercela dan semua sifat yang menjijikan sehingga mampu 3
Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Ven Hoeve : Jakarta
11
mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, dan menghiasinya dengan zikir kepada-Nya. Ia beranggapan bahwa para sufi adalah orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju Tuhan, dan perjalanan mereka adalah perjalanan yang paling baik, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Itu semua karena gerakan dan berdiam dirinya mereka, di dhahir dan batin mereka, adalah diperoleh dari cahaya lentera kenabian yang di belakangnya tak ada lagi cahaya yang mendapat penerangan darinya. Namun itu tidak terjadi pada diri sufi-sufi pemilik Syathahat, dan segala sesuatu yang dihayalkan semisal penyatuan (ittihad), penitisan (hulul), atau kesampaian. Al-Ghazali beranggapan bahwa Syathahat-Syathahat yang mereka ucapkan adalah sebuah keselahan yang tak patut diucapkan oleh seorang sufi yang sempurna. Ia menyatakan dalam Mungkidz Minal Dzalal itu dengan mengatakan : ”Kemudian kondisi seorang sufi mengalami penanjakan, dari kesaksian terhadap gambar-gambar dan bentukbentuk, hingga mencapai tingkatan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sehingga orang yang berusaha mengungkapkan hal itu dengan kata-kata, maka katakatanya itu pasti mendatangkan sebuah kesalahan yang nyata dan tidak bisa dihindari. Secara keseluruhan, itu akan mengarah sebagaimana yang telah dibayangkan oleh sekelompok orang yang mengatakan tentang penyatuan (ittihad) dan tentang penitisan (hulul). Semuanya itu adalah sebuah kesalahan yang kami jelaskan letak kesalahannya dalam kitab Muqsidul Asna”. Al-Ghazali beranggapan bahwa bahaya Syathahat sangatlah besar bagi masyarakat umum. Dalam hal ini, ia menjelaskan kepada kita tentang dua model Syathahat. Pertama adalah klaim yang sangat panjang yang muncul dalam sebuah kerinduan terhadap Allah dan kesampaian dengan-Nya, yang karenanya membuat orang-orang yang rancu pikirannya melalaikan perbuatan-perbuatan dhahir, dan akhirnya berujung pada klaim penyatuan, terangkatnya tirai penghalang dan musyabadah (kesaksian). Orang-orang semacam itu menyerupain Husain bin Mansur al-Halaj yang telah disalib karena publikasinya terhadap kalimat-kalimat semacam itu, dan sekaligus mereka bersandarkan pada perkataan-perkataan al-Halaj yang mengatakan: ” aku adalah al-Haq,” dan juga yang telah diceritakan tentang perkataan Abu Yazid Al-Bustami: ” Maha suci aku, Maha suci aku”. Al- Ghazali beranggapan bahwa perkataan-perkataan tersebut sangat berbahaya bagi orang awam, sehingga menjadikan sekelompok petani meninggalkan pertaniannya, dan memunculkan klaimklaim semacam itu. Perkataan tersebut memang membuat nikmat dirasakan oleh 12
watak manusia karena di dalamnya mengandung pengguguran terhadap perbuatan, saat melakukan pensucian jiwa dan pencapaian pada tingkatan-tingkatan (maqamat) dan kondisi-kondisi (hal). Namun demikian, Al-Ghazali bisa memaklumi Al-Bustami dan mentakwil syathahatnya seperti: ”sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah diriku”, dengan mengatakan bahwa perkataan Abu Yazid tersebut tak lain hanyalah sebuah penceritaan terhadap Allah. Sedangkan model kedua dari syathahat adalah sebuah kalimat yang tak dapat dipahami, mempunyai penampakan-penampakan yang meruni, di dalamnya terdapat sebuah ungkapan yang muluk-muluk dan di baliknya tidak terdapat sesuatu yang besar. Terkadang tidak terpahami perkataan tersebut disebabkan oleh orang yang mengatakannya sendiri. Sebab terkadang itu muncul saat pikirannya sedang kacau dan imajinasinya memudar yang disebabkan oleh tidak adanya penguasaan terhadap artiarti kalimat, dan karena tidak adanya penguasaan pula terhadap ilmu syariat, sekaligus tidak menguasai dalam pengungkapan sehingga perkataan semacam itu tidak membawa manfaat sedikit pun kecuali hanya merancukan hati dan membingungkan akal dan pikiran. Walaupun Al-Ghazali bisa memaklumi Al-Bustami dan Al-Halaj namun pengingkarannya terhadap sufi-sufi pemilik syathahat sangatlah jelas. Dengan mengatakan: sebab terkadang lisan pemilik perkataan syathahat mengatakan disaat merasakan kebingungan: ” Aku adalah al-Haq” sehingga disaat tidak jelas apa yang ada dibelakang perkataan tersebut, maka akan tertipu dan bersikukuh dihadapannya hingga dirinya binasa. Al-Ghazali beranggapan bahwa hal itu serupa dengan pandangan orang-orang nasrani terhadap al-Masih. Mereka melihat pancaran Tuhan telah berkilauan di dalamnya sehingga menganggap Tuhan berada di dalamnya. Ia lebih suka menggunakan kata kedekatan dari pada kata penyatuan atau penitisan, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits qudsi: ” seseorang hamba yang
senantiasa
mendekatiku
dengan
kesunnahan-kesunnahan
hingga
aku
mencintainya. Jika aku mencintainya, maka aku adalah indera pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, indera penglihatan yang digunakan untuk melihat, dan lisan yang digunakan untuk berbicara. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh AlGhazali: ”Ini adalah pembahasan yang pena harus dihentikan penulisannya. Banyak sekali orang yang tergelincir di dalam pembahasan ini, sehingga condong untuk mengatakan sebuah penyerupaan Tuhan secara dhahir dan condong menuju ekstrimisme sehingga menngatakan sebuah penyatuan. Mereka berkata tentang hulul, sehingga salah satu dari mereka berkata: ”Aku adalah al-Haq” ( menyinggung al13
Halaj). Sedangkan orang-orang yang telah terbuka kepada kemustahilan sebuah penyerupaan, penyamaan, penyatuan, dan penitisan telah tampak pada diri mereka sebuah hakikat kerahasiaan dan orang-orang yang semacam itu sangat sedikit. Di samping al-Ghazali menyeriusi tasawuf dengan penuh keikhlasan dan konsentrasi maka pengetahuannya tentang filsafat telah menjadikannya mampu memberikan
penjelasan,
analisis
dan
perimbangan
dalam
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan dalam tasawuf, sebagaimana ia mampu mengkritisi aliran-aliran pemikiran yang bersebrangan dengan tasawuf sunni dan mengukuhkan apa yang seharusnya ia kukuhkan.
BAB III PENUTUP 14
Kesimpulan Dalam perkembangan tasawuf, kita melihat ada dua kecenderungan yang berbeda para sufi kurun ketiga dan keempat hijriah. Salah satunya adalah sunni yang para penganutnya berpegang teguh pada al-Kitab dan Sunah, dan mempertalikan ahwal (kondisi) dan magomat (tangga-tangga) mereka, dengan kedua hal tersebut, sedangkan satunya lagi adalah falsafi. Mainstream pertama senantiasa lestari di pertengahan kurun kelima hijriah dengan sangat nyata. Sedangkan Mainstream kedua tampak redup pada masa-masa itu, dan akhirnya bangkit kembali dalam bentuknya yang lain pada diri sufi-sufi falsafi kurun keenam hijriah dan setelahnya. Redupnya penganut aliran kedua tersebut pada kurun kelima hijriah, diserbabkan oleh kemenangan sekte teologis Ahli Sunah wa al-Jama’ah dan perlawanan terhadap ekterimisme dalam tasawuf yang tampak pada diri al-Bustami, al-Hallaj, dan penganut-penganut paham syathahat secara umum, dan segala bentuk penyelewengan yang mulai muncul dalam area tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf pada kurun kelima hijriah tampak sekali berorientasikan sebuah pembaharuan, dengan cara mengembalikan kembali menuju al-Kitab dan Sunah. Dalam hal ini, Qusyain dan al-Harawi merupakan tokoh tasawuf kurun itu yang bermainstreamkan tasawuf suni. Jalan keduanya dalam melakukan pembaruan tersebut, nantinya akan digunakan oleh al-Ghazali di seperdua kurun itu. Sehingga terjadilah kemenangan tasawuf suni, dan penyebarannya yang amat luas diberbagai kawasan-kawasan dunia Islam, dan senantiasa ada hinnga masa yang sangat panjang dalam masyarakat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
15
Abu Wafa’ al Ghanimi al Tatazani. 2008. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama. Ali, Yunasril. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Ensiklopedia Islam, PT. Ichtiar Baru Ven Hoeve: Jakarta. Khaliq, Abdurrahman Abdul, Ihsan Ilahi Zharir. 2000. Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-Bayang Fatamorgana. Jakarta: Amzah.
16