MAKALAH KASUS DEPARTEMEN PEDIATRIK
STATUS EPILEPTIKUS
Di Ruang 7B
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun Oleh :
Kelompok 1
Agung Wiyatno (0910720018)
Rahayu Rahmawati (0910720074)
Iva Maulida CCN (0910720046)
Eky Madyaning N. (0910721004)
Indah Puspita Sari (0910721005)
Nurona Azizah (0810720049)
Lina Mafula (0910720050)
Nurul Uswatin (0910720066)
Prisca Triviana (0910720069)
Rendra Frenki Aji (0910720076)
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Status Epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan kematian.Secara definisi, SE adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar (Harsono, 2008).
Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab paling sering adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba. Sedangkan penyebab lainnya adalah kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus-menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar dapat terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian (Harsono, 2005).
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada penelitian secara epidemiologi. Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak(Muttaqin, 2008).
Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE. Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda, genetik serta kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar 15%-20% dan 3%-15% pada anak-anak. Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa hipertermia, edema paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi jangka panjangdari SE yaitu epilepsi (20% - 40%), ensefalopati (6% -15%) dan defisit neurologis fokal (9%-11%) (Kariasa, 2002). Oleh karena itu, penting sebagai perawat untuk mengetahui rencana asuhan keperawatan yang sesuai pada pasien status epileptikus dengan tepat agar dapat menekan angka morbiditas dan mortalitasnya.
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Mengetahui rencana asuhan keperawatan yang sesuai pada pasien status epileptikus.
Tujuan Khusus
Mengetahui Intervensi yang dilakukan pada pasien status epileptikus.
Mengetahui rasional dari intervensi yang dilakukan pada pasien status epileptikus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Epileptikus
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harusdimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan (Kamus Kedokteran Dorland, 2009).
Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinue yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Muttaqin, 2008).
Klasifikasi Epileptikus
Ada dua golongan utama dari epilepsy, yaitu serangan parsial atau fokal yang mulai pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah korteks serebri; dan serangan umum yang agaknya mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon (Muttaqin, 2008).
Epilepsi Parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup gejala-gejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari atau tangan yang bergetar atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, mengalami sinar, bunyi, atau rasa yang tidak umum atau tidak nyaman.Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berfikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat dengan waktu & tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan atau peka rangsangan. Focus epileptik pada jenis epilepsi ini sering kali pada lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial dapat menyebar & menjadi serangan umum (motorik utama).
Kejang umum lebih umum disebut sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seliruh tubuh yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot.
Klasifikasi Kejang berdasarkan Hudak dan Gallo, 2006, yaitu :
Kejang Parsial
Parsial sederhana (kesadaran klien baik)
Motorik
Sensorik
Otonomi
Fisik
Parsial kompleks (kerusakan kesadaran)
Parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
Kerusakan kesadaran saat awitan
Kejang parsial generalisasi sekunder
Kejang Umum
Non kejang
Tonik-klonik umum
Tonik
Klonik
Mioklonik
Atonik
Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di korteks (Partial Onset) atau kedua hemisfer otak (Generalized onset) sedangkan jika berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik).
Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).
Etiologi Epileptikus
Menurut DeLorenzo et al (2009) ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi 2, yaitu :
Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama / sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
DeLorenzo et al (2009) melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun, penyebab paling umum adalah demam atau infeksi(36%). Pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya SE. Hal ini termasuk juga pasien yang cenderung mengalami epilepsi berulang serta ketidakteraturan dalam meminum obat antikonvulsan.
Patogenesis Epileptikus
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan asetilkolin) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.Pada lebel neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya inhibisi. Neurotransmitter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtipe NMDA (N-methyl-D-aspartat). Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus. Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA berperanan dalam terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABAinhibisi yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan (Schweich dan Zempsky , 2007).
Suatu lepasan muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi yang selanjutnya menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Disamping itu pelepasan muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan energi yang sangat banyak.Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat energi tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia jantung, hipoksia otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan autoregulasi lain juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak (Schweich dan Zempsky , 2007).
Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami iskemik selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje (Schweich dan Zempsky , 2007).
Patofisiologi Epileptikus
Faktor Predisposisi
Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pascacedera kepala
Riwayat dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsa
Riwayat ibu yang mempunyai resiko tinggi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
Adanya riwayat keracunan
Riwayat gangguan sirkulasi serebral
Riwayat demam tinggi
Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi
Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol
Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan
Riwayat keeturunan epilepsi
Gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Gangguan keseimbangan membran sel neuron
Difusi Na dan Ca berlebih
Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan secara berulang dan tidak terkontrol (disritmia)
Depolarisasi dan lepas muatan listrik berlebih
Periode pelepasan implus yang tidak diinginkan
Kejang
Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan
Status epileptikus kebutuhan metabolik besar
Gangguan pernapasan
Hipoksia otak
Kerusakan otak permanen Edema
Kejang parsial Gangguan perilaku
alam perasaan, sensasi dan
Peka rangsang kejang umum persepsi
Kejang berulang Respons
pascakejang Respons Psikologis Aktivitas otot
Risiko tinggi(postikal) - Ketakutan
Injury - Respons Penolakan metabolisme
Respon Fisik - Penurunan nafsu
Penurunan - Konfusi dan sulit bangun makan suhu tubuh
Kesadaran - Keluhan sakit kepala atau - depresi
Sakit otot - menarik diri Hipertermi
Reflek menelan
Pelepasan mediator Nyeri - Ketakutan
Aspirasi (bradikinin, prostaglandin,dll) - koping individu tidak efektif
- perubahan nutrisi kurang
Nyeri akut dari kebutuhan tubuh
Ketidakmampuan memenuhi
ADL (mandi,makan,dl)
Defisit Perawatan diri
Manifestasi Klinis Epileptikus
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. Berikut manifestasi klinis status epileptikus berdasarkan Harsono (2005).
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai"slow motion movie" dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
h.Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
Adapun manifestasi klinik dari status epilepsy yaitu:
Kejang-kejang ( tonik klonik, Absence)
Hipertensi
Mulut berbuih
Menggigit lidah
Kekuatan Otot menurun
Cyanosis
Inkontinensia urin
Denyut nadi meningkat
Hipersalivasi
Fase Epileptikus
Menurut Kariasa (2002), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase, yaitu :
Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada tahap ini.
Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.
Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf yangirreversibel.
Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak berlanjut.
Pemeriksaan diagnostik Epileptikus
Anamnesis
Pada anamnesis, tenaga medis dapat menanyakan kepada pasien ataupun keluarga tentang adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau SSP, riwayat putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma pada pasien tersebut.Selain itu, dari anamnesis dapat digali informasi tentang bagaimana gambaran serangan, berapa lama durasinya, tingkat kesadaran selama ataupun antara kejang,sifat kejang dan sejak kapan serangan terjadi (Harsono, 2005).
Pemeriksaan Fisik
Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu bangkitan umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf simpatis.Menetapnya takikardi, hipertensi, keringat berlebihan, hipersalivasi merupakan gambaran umum status epileptikus.Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial menunjukkan kemungkinan adanya lesi ,massa atau infeksi otak. Fitur neurologis juga tampak seperti tonus yang meningkat dan refleks asimetris. Ekstensor berulang cepat atau sikap fleksor dapat membingungkan dengan aktivitas kejang lainnya oleh pengamat biasa. Mioklonus berulang pada pasien koma setelah cedera otak hipoksia difus dapat mensimulasikan kejang umum. Asal fisiologis tersentak mioclonic mungkin tidak kortikal,myoclonus biasanya hanya terbatas dalam durasi beberapa jam (Harsono, 2005).
Pasien dengan status epileptikus halus tidak menunjukkan peningkatan kesadaran pada 20-30 menit setelah aktivitas kejang umum. Ekspresi motor aktivitas listrik abnormal kortikal dapat berubah sehingga terlihat kedipan kelopak mata atau kedutan ekstremitas yang merupakan satu-satunya tanda dari pelepasan listrik umum yang berkelanjutan. Aktivitas motorik mungkin tidak ada walaupun adanya aktivitas listrik pada status epileptikus. Trauma dapat juga ditemukan pada pasien dengan kejang termasuk luka lidah (biasanya lateral), dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah (Harsono, 2005).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium menurut muttaqin (2008), yaitu :
Kadar obat antikonvulsan :
Yang harus dipantau untuk menjamin konsentrasi serum yang adekuat.
Segera setelah status epileptikus dapat dikendalikan, pasien dengan epilepsi yang sudah ada sebelumnya dapat diberikan kembali regimen antikonvulsan oral yang biasa dipakai.
Lumbal Punksi
Harus dilakukan pada pasien demam walaupun tidak ada tanda-tanda adanya meningitis.
Kimia darah rutin
Meliputi kadar Mg, Ca, dan kadar zat kimia darah lainnya.
EEG: Untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama pada kasus refrakter yang mungkin fungsional yaitu pseudostatus dan tidak menunjukkan kelainan EEG.Untuk memantau pengobatan, melakukan titrasi obat anestesi - pola burst-suprpresion dicapai.
Brain Imaging
Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan tempat lesi di otak. Jika pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi adanya lesi di otak.
Penatalaksanaan Medis Epileptikus
Tabel. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan
BerdasarkanpenelitianRandomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagiberdasarkanempatkelompok (padatabel di bawah), dimanaLorazepam 0,1 mg/kg merupakanobatterbanyak yang berhasilmenghentikankejangsebanyak 65%.
BAB III
PEMBAHASAN
Masalah Keperawatan
Hipertermia berhubungan dengan gangguang termoregulasi
Kompres atau seka pasien dengan air hangat (tidak panas, tidak dingin) pada daerah lipatan tubuh
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bruderlein et al. (2006) menyatakan bahwa beberapa peserta dilaporkan menggunakan intervensi yang tidak didukung literatur seperti alkohol , es yang dibungkus pada pangkal paha dan juga membuka jendela di unit perawatan intensif. Selama fase demam (dingin), penggunaan kompres es malah cenderung mengarah pada peningkatan menggigil dan tubuh menjadi semakin bekerja untuk meningkatkan suhu sampai ambang yang baru. Kekhawatiran ini semakin besar pada saat es diberikan pada daerah selangkangan yang berisi sejumlah besar neuron yang sensitif terhadap panas. Disisi lain, penggunaan alkohol untuk mengurangi demam memang menjadi suatu keberhasilan. Sementara Polderman menunjukkan bahwa kombinasi spray alcohol + air dingin juga berkhasiat (Polderman 2009). Namun, alkohol sendiri dapat mengeringkan kulit, dan toksisitas alkohol dilaporkan pada penggunaan 100% isopropil atau etil alkohol untuk spons mandi pada anak-anak dan orang dewasa.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kompres yang efektif dalam menurunkan suhu tubuh adalah kompres hangat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Axelrod (2000), menyatakan bahwa kompres hangat hingga saat ini merupakan terapi terbaik karena mampu menstimulasi vasodilator pembuluh darah sehingga panas tubuh lebih cepat keluar (Axelrod, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Djuwariyah,dkk (2011) tentang efektivitas penurunan suhu tubuh menggunakan kompres hangat dibandingkan dengan kompres plester pada anak dengan demam yang dilakukan di rumah sakit umum daerah Banyumas. Dari hasil penelitian tersebut, Penurunan suhu tubuh yang lebih efektif antara kompres air hangat dan kompres plester dapat dilihat pada tabel di bawah, dimana penurunan suhu tubuh menggunakan kompres air hangat yaitu sebesar 0,710C. Sedangkan penurunan suhu tubuh dengan menggunakan kompres plester yaitu sebesar 0,130C. Hal ini membuktikan bahwa penurunan kompres air hangat untuk menurunkan suhu tubuh lebih besar dibandingkan dengan penurunan kompres plester.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nurwahyuni (2010), menyatakan bahwa kompres air hangat pada daerah axial menurunkan suhu tubuh dengan rata-rata 0,0933 (+ 0,036, p value=0,000) sedangkan suhu tubuh klien yang dikompres didaerah dahi mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,0378 (+0,011, p value=0,000). Kompres air hangat mempengaruhi suhu tubuh dengan cara memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi), member tambahan nutrisi dan oksigen untuk sel dan membuang sampah-sampah tubuh, meningkatkan suplai darah ke area-area tubuh, mempercepat penyembuhan dan dapat menyejukkan. Selain itu, pemberian kompres hangat akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, system efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata pada tangkai otak, di bawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan atau kehilangan energy atau panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali.
Berikan antipiretik yang sesuai
Demam, yang merupakan target terapi dari obat antipiretik, merupakan "keadaan suhu inti tinggi , yang sering , tetapi tidak harus , bagian dari respon defensif organisme multiseluler ( host ) ke invasi hidup (mikroorganisme) atau benda mati diakui sebagai patogen atau benda asing oleh host " (International Union of Physiological Sciences Thermal Commission. Glossary of terms for thermal physiology, 2008). Demam , satu komponen , merupakan reaksi fisiologis yang kompleks penyakit yang melibatkan kenaikan sitokin, suhu tubuh inti , generasi - reaktan fase akut , dan aktivasi berbagai fisiologis , endocrinologic , dan sistem kekebalan (Mackowiak et al., 2008). Kenaikan suhu inti saat demam harus dibedakan dari kenaikan yang tidak diatur yang terjadi selama hipertermia , di mana sitokin pirogenik tidak terlibat langsung dan terhadap yang antipiretik standar sebagian besar tidak efektif . Antipiretik adalah agen yang mampu memblokir atau membalikkan kenaikan sitokin demam di suhu inti , tetapi tidak mempengaruhi suhu tubuh dalam keadaan demam . Mereka harus dibedakan dari agen hipotermia (cryogens) , yang mampu menurunkan suhu inti bahkan tanpa adanya demam.
Dua asumsi penting yang dibuat ketika meresepkan terapi antipiretik . Salah satunya adalah bahwa demam adalah, setidaknya sebagian, berbahaya, dan yang lainnya adalah bahwa penekanan demam akan mengurangi, jika tidak menghilangkan, efek berbahaya demam itu . Asumsi Baik telah divalidasi secara eksperimental. Bahkan , ada bukti yang cukup bahwa demam merupakan mekanisme pertahanan yang penting yang memberikan kontribusi untuk kemampuan host untuk melawan infeksi (Kluger et al., 2007, Mackowiak et al., 2007).
Antipiretik, seperti paracetamol dan ibuprofen biasanya digunakan untuk menurunkan demam pada anak. Keduanya berguna sekali jika anak mengalami distress akibat demam, tapi tidak boleh digunakan secara rutin dan satu-satunya tujuan untuk menurunkan suhu tubuh, karena antipiretik tidak mempengaruhi demam tapi membantu anak merasa lebih nyaman (NICE, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas (2001), merekomendasikan perawat untuk memberikan paracetamol dengan dosis 15 mg/kg untuk mengatasi demam di atas suhu 38,30C dan hal ini efektif dalam mengurangi demam, bisa juga diberikan ibuprofen 10 mg/kg tetapi mengingat mengobati anak itu lebih penting dibanding angka di termometer, karena faktor risiko perdarahan dan ulserasi lambung, maka pemberian ibuprofen tidak boleh diberikan pada anak yang memiliki faktor risiko tinggi. Contohnya, anak yang mengalami dehidrasi dengan cerebral palsy mungkin diberikan paracetamol, namun jika diberikan ibuprofen akan menyebabkan gagal ginjal atau kelemahan (DHB, 2008). Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini diterbitkan oleh penanganan demam pada anak merekomendasikan penggunaan selektif dan berhati-hati terhadap penggunaan antipiretik pada anak-anak yang sehat. Sebagai pertimbangan fever seizure (kejang-demam) sebagai bahaya utama terkait dengan demam dan penggunaan paracetamol sebagai pengobatan lini pertama dalam pencegahan demam sangat efektif untuk dilakukan.
Observasi tanda-tanda vital (terutama suhu tubuh) tiap 4 jam sekali
Hipertermia merupakan suatu kondisi dimana temperatur tubuh meningkat diatas level normal 37oC dan mungkin melebihi 43oC. Temperatur berkisar 41-42oC mungkin bisa fatal. Penyebab hypertermia mungkin bisa eksternal atau internal. Merupakan hal penting perawat mengetahui situasi yang mungkin meningkatkan hipertermia sehingga bisa mengambil langkah prevensi awal. Hipertermi memicu sensor tubuh yang merubah sistem sirkulasi dan atau neurologi (Walton J, 2004).
Pada saat temperature meningkat, reaksi jaringan pertama yang meningkat adalah aliran darah. Ambang temperatur untuk perubahan adalah 41o ke 41.5oC pada kulit (Dewhirst et al., 2009). Perubahan pada permeabilitas vaskular juga terjadi, memicu pada pembentukan edema karena adanya volum yang panas. Pada dosis thermal yang lebih tinggi, stasis vaskular dan hemoragik juga berkembang. Perubahan pada perfusi jaringan normal yang sedang memanas umumnya akan lebih besar daripada volum tumor. Sebagai kisaran kasar, hipertermi dapat meningkatkan perfusi otot dan kulit setidaknya 10 kali lipat, sedangkan perfusi tumor meningkatkan perfusi sebanyak 1,5 – 2 kali lipat (Song CW, 2009). Untuk sistem saraf, saraf perifer tahan panas, sumsum tulang belakang dan otak tengah jatuh ke dalam kategori yang sangat sensitive terhadap panas. Demikian pula, komponen yang berbeda dari mata telah sangat beragam terhadap sensitivitas termal.
Mekanisme yang mendasari stasis vaskular termasuk arteriovenous shunting, pembentukan thrombus, dan plugging leukosit. Kerusakan thermal pada jaringan akan membuat sistem patologi yang tergantung pada beratnya injuri dan jaringan yang panas. Kerusakan ringan bisa memicu edema, tetapi injuri yang lebih berat bisa memicu nekrosis masif dan gagal organ. Pada rentang jam ke hari dapat terjadi apoptosis, nekrosis, reaksi inflamatori, dengan edema, hemoragik fokal dan infiltrasi granulositik. Perubahan kronik dapat terlihat beberapa minggu, termasuk fibrosis, nekrosis parenkim (kematian sel jaringan) dan infiltrasi limfohistiositik (Reinhold, 2009).
Respon yang terinduksi dini dan non adaptif meliputi mekanisme efektor tertuju pada mikroorganisme. Respon tersebut dipicu oleh reseptor tetapi responnya tidak member imunitas tahan lama atau menimbulkan memori. Begitu juga saat imunitas tubuh anak menurun, tubuh akan mengelurakan zat tertentu yang juga dapat merangsang naiknya suhu tubuh. Demam karena infeksilah yang dapat menghawatirkan, karena suhu tubuh dapat mencapai 390C dan suhu tubuh dapat mencapai 400C. Hipertemi memicu terjadinya kejang, untuk itu pemantauan suhu tubuh (hipertermi) dilakukan secara teratur, setidaknya setiap 4 jam untuk mencegah perburukan kerusakan fungsi otak yang mengakibatkan kejang (SCDDSN, 2006).
Risiko cedera berhubungan dengan faktor internal fungsi regulasi biokimia (kejang berulang).
Intervensi berdasarkan jurnal
Pemberian Intramuskular (IM) midazolam pada pasien status epileptikus prehospital (Robert et al, 2012).
Berdasarkan penelitian Robert et al, 2012 pemberian Intra Muskular midazolam dan Intravena Lorazepam dapat menghentikan kejang sebelum tiba di UGD pada pasein status epileptikus diobati oleh tenaga medis. Intramuskular midazolam sama aman dengan intravena lorazepam. Kelompok subjek diobati dengan IM midazolam memiliki tingkat lebih tinggi untuk menghentikan kejang daripada yang kelompok yang diobati dengan IV lorazepam dan memiliki sama atau lebih rendah tingkat kejang berulang dan endotrakheal intubasi. Pemberian IM Midazolam oleh Pelayanan Medis Emergensi (EMS) adalah praktis, aman, dan efektif. Pemberian secara IV untuk mengobati kejang berkepanjangan dalam keadaan prehospital.
Berdasarkan penelitian Robert et al, 2012 percobaan double blind acak, menunjukkan bahwa pengobatan prehospital dengan IM midazolam sama efektifnya dengan IV lorazepam pada pasien status epileptikus (P < 0,001 untuk noninferior dan superior). Akses IV pada pasien yang mengalami kejang dalam lingkungan prehospital memakan waktu. Sejak pengobatan intramuskular dapat diberikan lebih cepat dan reliabel daripada pengobatan intravena dan memiliki kemanjuran noninferior.
Penggunaan oleh sistem EMS intramuskular midazolam untuk status epileptikus telah meningkat karena mini research telah menunjukkan kemanjurannya dan karena obat ini cepat diabsorbsi intramuskular. Menurut meta-analisis dari mini research, penggunaan midazolam nonintravenous dalam rumah sakit baik dibandingkan dengan intravenous diazepam dalam pengobatan darurat status epileptikus. Selain itu, tidak seperti lorazepam, midazolam tidak memiliki masalah stabilitas jika tidak didinginkan. Midazolam dapat diberikan rute selain nonintravenous sama baiknya, tetapi rute intramuskular lebih efektif daripada intranasal atau bukal karena obat tidak dapat ditiup atau diludahkan oleh pasien kejang. Dalam mini research Robert et al, 2012, menggunakan lorazepam sebagai kontrol aktif. Pencantuman kelompok plasebo akan menjadi tidak etis, sejak PHTSE menunjukkan jelas bahwa benzodiazepin lebih unggul, tidak ada pengobatan pada subyek dalam status epileptikus dalam pengaturan prehospital. Pertanyaan klinis penting adalah apakah midazolam intramuskular bekerja cukup baik untuk pasien status epileptikus secara rutin melupakan rute intravena atau untuk meningkatkan kemudahan dan kecepatan pengobatan dikelola oleh personil EMS. Kontrol aktif obat, pengaturan pemeriksaan, dan rencana analisis yang hati-hati dipilih untuk menghindari perangkap potensial dan keterbatasan studi noninferior (Mullan et al, 2010 dalam Robert et al, 2012).
Dosis midazolam dan lorazepam digunakan dalam percobaan ini konsisten dengan dosis yang paling efektif untuk pengobatan status epileptikus yang dilaporkan dalam literatur (Milikan et al, 2009 Robert et al, 2012). Meskipun dosis awal lebih tinggi dari yang digunakan oleh banyak sistem EMS dan dokter emergensi, mereka adalah sama dengan yang disetujui untuk indikasi dan sejalan dengan yang digunakan oleh epilepsi. Penggunaan autoinjector dimaksimalkan kecepatan dan kemudahan intramuskular (dengan periode laten nominal sekitar 20 detik untuk membuka autoinjector dan administrasi obat-obatan) dan mengurangi keterlambatan dalam memulai akses intravena.
Hubungan antara dosis benzodiazepine, depresi pernapasan, dan kebutuhan selanjutnya untuk intubasi endotrakeal ditandai yang buruk, tetapi dosis tinggi benzodiazepin dapat benar-benar mengurangi jumlah intervensi saluran napas. Data ini konsisten dengan menelukan bahwa intubasi endotrakeal lebih sering kejang terus daripada efek samping dari sedasi benzodiazepin (chamberlai et al, 2007 dalam Robert et al, 2012).
Berkenaan dengan mekanisme kerja obat, Data penelitian oleh Robert et al, 2012 konsisten dengan apa yang akan diharapkan, rute intramuskular memberikan obat lebih cepat setelah tenaga medis tiba di tempat kejadian daripada rute intravena, tetapi onset kerjanya lebih cepat setelah rute intravena daripada rute intramuskular. Waktu yang disimpan dengan menggunakan rute intramuscular tampaknya lebih dari mengimbangi keterlambatan tindakan onset obat. Hal ini untuk berspekulasi bahwa perbedaan hanya beberapa menit dengan sebelumnya dalam kelompok intramuskular mungkin sudah cukup untuk mendorong sedikit keunggulan intramuskular sehubungan dengan hasil. Namun, juga mungkin bahwa perbedaan dalam hasil diantara kedua kelompok perlakuan mencerminkan berbeda disebabkan oleh perbedaan dalam efektivitas digunakan daripada dalam rute pemberian. Karena ini adalah uji klinis pragmatis dirancang untuk menginformasikan EMS praktek klinis daripada untuk menjelaskan mekanisme, pengaruh alat dan rute tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis data ini. Demikian pula, autoinjector digunakan dalam penelitian ini untuk mengoptimalkan kecepatan dan efisiensi intramuskular, tetapi tidak mungkin untuk menentukan pentingnya menggunakan alat ini untuk injeksi intramuskular, dibandingkan dengan injeksi intramuskular konvensional.
Penelitian Robert et al, 2012 konsisten dengan temuan keunggulan statistik intramuskular midazolam. Terlepas dasri apakah itu noninferior atau superior, percobaan ini mendukung keputusan klinis menggunakan intramuskular lebih pragmatis dalam pengobatan prehospital status epileptikus.
Kolaborasi pemberian obat anti konvulsif sesuai saran dokter (Roth dan Berman, 2013)
Obat anti konvulsif dapat menurunkan durasi onset kejang yang lama, yang menurunkan suplai oksigen ke otak. Salah satu obat antikonvulsan yang diberikan pada pasien adalah fenitoin. Fenitoin diberikan dengan dosis 18 sampai 20 mg / kg intravena atau melalui rute intraosseous lebih dari 20 menit (dengan kecepatan infus maksimal 50 mg / menit). Administrasi harus dimulai segera setelah dosis pertama benzodiazepin. Pengobatan fenitoin intravena mungkin rumit oleh bradikardia, hipotensi, dan aritmia jantung, sehingga pemantauan kardiorespirasi dianjurkan. Pada anak-anak yang menerima fenitoin sebelum timbulnya status epileptikus, kami merekomendasikan penggunaan dosis yang lebih kecil dari fenitoin (5 mg / kg lebih dari 5 menit), sambil menunggu hasil dari tingkat fenitoin darah. Ketika akses IV tidak dapat dicapai segera, intramuskular (IM) atau rektum fosphenytoin Paraldehid dapat digunakan.
Sumber lain menyebutkan dalam 10-15 menit periode kejang Cenderung menjadi status konvulsivus. Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30 mg/kgbb.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor psikologis penurunan nafsu makan, intake makanan inadekuat.
Intervensi pada jurnal
Anjurkan kepada keluarga untuk membawakan anak permainan video game ketika makan (Jean et al, 2011).
Berdasarkan penelitian Jean et al, 2011 Sebuah sesi tunggal permainan video game pada anak laki-laki remaja yang sehat dihubungkan dengan peningkatan intake makanan, tanpa menghiraukan sensasi nafsu makan. Penelitian ini secara kolektif memberikan bukti awal pada remaja laki-laki yang bermain video game selama 1 jam disertai dengan intake kalori yang lebih besar pada makanan daripada bersantai di kursi yang nyaman selama 1 jam (kondisi kontrol). Selain itu, konsumsi makanan yang berlebihan setelah bermain video game yang diobservasi tanpa peningkatan sensasi subjektif dari rasa lapar dan nafsu makan. Observasi yang didukung oleh penanda objektif nafsu makan yaitu, profil nafsu makan berhubungan dengan hormon dan substrat yang tidak sugestif dari pengaturan nafsu makan. Hal ini, bagaimanapun, tidak diketahui apakah "makan tanpa merasakan rasa lapar" yang berhubungan dengan adanya penurunan kapasitas sinyal kepuasan yang berlebih atau sistem penghargaan yang disebabkan oleh stres mental.
Masalah "tekanan mental" yang berhubungan dengan permainan video game adalah kepentingan tertentu dan mungkin sebagian menjelaskan peningkatan intake makanan terkait dengan aktivitas menetap ini. Nada simpatik yang lebih tinggi dan beban mental dalam kodisi bermain video game daripada dalam kondisi istirahat konsisten dengan penelitian lain yang telah menemukan peningkatan yang signifikan dalam berbagai penanda stres dengan video game yang bermain pada anak-anak dan orang dewasa. Selain itu, baru-baru ini studi eksperimental menunjukkan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan komputer mewakili jenis tertentu aktivitas yang menetap dapat menyebabkan stres dan secara biologis menuntut tubuh. Selain itu, kegiatan yang berkaitan dengan komputer juga telah dilaporkan untuk mempromosikan berlebihan dari intake makanan tanpa meningkatkan sensasi lapar dan nafsu makan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa jiwa beban kerja mungkin menambahkan komponen baru dengan meningkatkan energi positif yang mungkin terjadi ketika seseorang tidak aktif (Jean et al, 2011).
Pengeluaran energi secara signifikan lebih tinggi selama 1 jam bermain video game (> 89 kJ istirahat) setuju dengan penelitian sebelumnya terkait fisiologis respons bermain video game oleh Wang et al, 2006. Meskipun secara statistik signifikan, peningkatan sederhana dalam pengeluaran energi selama bermain video game tidak boleh dianggap sebagai sarana mempromosikan pengeluaran energi. Sebaliknya, implikasi-klinis dari surplus energi 335 kJ (80 kkal) pada spontan Intake makanan setelah 1 jam bermain video game tidak sepele dan mungkin berkontribusi terhadap obesitas yang mendasari celah energi. Celah energi ini mungkin lebih besar jika kita memperhitungkan surplus 436 kJ diukur untuk sisa hari dengan menggunakan catatan diet. Menariknya, telah diperkirakan bahwa mengurangi kesenjangan energi dengan 100 kkal bisa mencegah kenaikan berat badan pada sebagian besar penduduk.
Berdasarakan observasi bahwa peserta tidak lapar setelah bermain video game daripada kontrol tapi makan lebih pada siang hari. Memang, semakin diakui bahwa menonton televisi meningkatkan intake makanan tanpa sensasi nafsu makan. Demikian juga, penelitian eksperimental baru-baru ini telah melaporkan bahwa yang berkaitan dengan kegiatan komputer meningkatkan intake makanan spontan tanpa peningkatan sensasi kelaparan dan nafsu makan (Chaput et al, 2008 dalam Jean et al, 2011). Selain itu, hasil dari studi crossover acak baru-baru ini telah menunjukkan bahwa stres psikologis akut (tugas aritmatika) yang dikaitkan dengan makan tanpa adanya rasa lapar (Rutters et al, 2008 dalam Jean et al, 2011). Diskoneksi antara sensasi nafsu makan subyektif dan diukur intake energi sangat menarik, dan kami berspekulasi bahwa bermain video games merusak kapasitas sinyal kenyang atau menyebabkan stres akibat sistem reward. Penelitian di masa depan harus mencakup teknik pencitraan otak saat bermain video game dalam mencoba untuk mengidentifikasi area otak yang mungkin terkait dengan peningkatan intake makanan spontan. Selain itu, penelitian di masa depan disarankan untuk menjelaskan makan lebih cepat setelah bermain video game, karena penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa tingkat makan tinggi terkait dengan bobot yang lebih tinggi (Llwellyn et al, 2008 dalam jean et al, 2011). Tidak adanya perbedaan selera sensasi antara kedua kondisi ini sejalan dengan profil glukosa plasma dan hormon nafsu makan. Memang, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam profil insulin dan kortisol serum dan jumlah ghrelin plasma (Tidak ada waktu X interaksi kondisi) yang diamati antara kondisi baik. Sebaliknya, konsentrasi glukosa plasma meningkat selama kondisi bermain video game daripada selama kondisi beristirahat. Perbedaan ini mungkin mencerminkan lebih tinggi glukosa ke dalam aliran darah oleh hati dalam respon terhadap stres akut (fight-or-flight response).
Menurut teori glucostatic kontrol nafsu makan (Mayer et al, 2008 dalam jean et al, 2011), peningkatan Konsentrasi glukosa darah diharapkan dapat menghasilkan peningkatan sensasi kenyang. Namun, asupan makanan meningkat disajikan dalam kondisi bermain video game diamati setelah peningkatan glukosa darah. Oleh karena itu, temuan dari sebuah asosiasi antara "makan tanpa adanya rasa lapar" dan bermain video game menekankan bahwa komponen hedonis nonhomeostatic dari perilaku makan memainkan peran penting. Observasi ini juga menunjukkan bahwa pengembangan strategi coping yang dibutuhkan.
Kesimpulannya adalah menunjukkan bahwa bermain video game pada remaja laki-laki menginduksi asupan energi spontan yang tinggi, terlepas dari sensasi nafsu makan. Peningkatan asupan makanan yang terkait dengan bermain video game adalah penemuan baru dan merupakan instrumen dalam mendapatkan wawasan yang lebih baik faktor-faktor penentu obesitas. Mengingat bahwa Media game dengan cepat menjadi aktivitas waktu luang dari pilihan untuk kebanyakan anak-anak dan remaja, pemahaman yang lebih baik pengaruh bahwa kegiatan distraktive terhadap energi intake yang diinginkan.
Berikan diet ketogenik (tinggi lemak, protein yang adekuat, rendah karbohidrat) sesuai kebutuhan (Stafstrom, 2004).
Berdasarkan penelitian Freeman et al, 2006 Diet ketogenik adalah terapi yang berguna untuk pasien dengan epilepsi, termasuk beberapa epilepsi pada masa kanak-kanak . Keberhasilannya adalah Paling tidak sebanding dengan obat antikonvulsan. Diet ketogenik dapat digunakan pada pasien dari segala usia.
Berdasarkan Review Stafstrom, 2004 Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah karbohidrat, protein yang adekuat sehingga memicu keadaan ketosis. Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein. Diet ketogenik biasanya digunakan sebagai terapi dari epilepsi. Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak sehingga menjadi tinggi kadarnya (ketosis). Keadaan ketosis ini dipercaya dapat menghasilkan efek antikonvulsi, yang dapat mengurangi simptom epilepsi dengan mengurangi frekuensi dan derajat kejang. Pada anak-anak diet ini dirasakan lebih efektif dibandingkan orang dewasa, khususnya pada saat obat antikolvusan tidak bekerja secara efektif atau menjadi kontraindikasi.
Makanan yang digunakan dalam diet ini memanfaatkan produk trigliserida dengan kandungan tinggi (mentega, krim, mayonaise) dan kacang. Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam makanan dan minuman dikurangi untuk menambah efek akumulasi keton. Diet ketogenik sebenarnya telah lama ditemukan yaitu pada sekitar tahun 1930-an; tetapi sejak diketemukannya phenytoin pada tahun 1938, diet ini semakin jarang digunakan. Pada tahun 1990-an diet ini dikembangkan dan diimplementasikan kembali pada klinik Mayo dan Fakultas Kedoketran John Hopkins.
Diet ketogenik merupakan alternatif terapi khususnya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang tidak terkendali. Diet harus dilakukan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ahli gizi. Pada diet ketogenik ini hingga 90% sumber kalori dapat diberikan dalam bentuk lemak, dengan asupan protein tidak lebih dari 1g /kg berat badan dan minimal karbohidrat. Rasio standar dari kalori lemak berbanding karbohidrat dan protein adalah 4:1, pada anak-anak yang usianya lebih muda dan remaja rasio bisa menjadi 3:1 hal ini dikarenakan karena mereka dalam usia pertumbuhan sehingga diperlukan asupan protein lebih banyak. Cairan yang masuk dibatasi hingga 80% dari asupan biasa dan vitamin dan mineral harus diberikan dalam bentuk suplemen.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fakultas Kedokteran John Hopkins oleh Freeman et al, 2006 yang melibatkan 150 pasien anak-anak dengan gangguan kejang tidak terkontrol dilaporkan terjadi penurunan serangan setelah pasien menjalani diet ketogenik ini.
Efek samping yang mungkin muncul akibat diet ketogenik jangka panjang adalah konstipasi, batu ginjal (6-7%); biasanya dalam bentuk kalsium sitrat atau asam urat, turunnya berat badan, dehidrasi, hipekolesterolnemia dan penipisan tulang (oleh karenanya pada diet ini bisanya ditambahkan preparat vitamin D dan kalsium).
Kesuksesan dari diet ini memungkinkan penurunan dosis antikonvulsi yang berarti dapat menurunkan risiko efek samping dari pemakaian obat tersebut, sehingga diet ketogenik dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif dalam mengontrol serangan kejang khususnya pada anak-anak dengan epilepsi karena selain efektif juga dengan baik dapat ditoleransi (Stafstrom, 2004).
Jenis makanan untuk anak rasionya 4:1, diet ketogenik 1500 kalori (Parris, 2006)
Sarapan: Telur dengan daging sapi Telur 28 g Daging 11 g 36% krim (heavy whipping krim) 37% mentega 23 g apel 9 gSnack: peanut butter ball (kue bola mentega kacang) mentega kacang 6 g mentega 9 gMakan siang: Salad Tuna Ikan tuna 28 g Mayonaise 30 g seledri 10 g 36% krim (heavy whipping krim) 36 g daun selada 15 gSnack: Keto Yogurt 36% krim (heavy whipping krim) 18 gsour cream 17 g strawberi 4 g pemanis buatanMakan Malam: Burger Keju Daging sapi 22 g Keju amerika 10 g Mentega 26 g Krim 38 g Daun Selada 10 g Kacang polong 11 g Snack: Puding 36% krim (heavy whipping krim) 25 g Telur 9 g Perasa VanilaKetika beralih dari diet tinggi karbohidrat untuk tinggi lemak dan karbohidrat dengan pembatasan ketat, tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi primer. Pemecahan lemak terjadi di liver yang menciptakan ketone bodies (β-hydroxybutyrate, acetoacetate, dan aseton), yang bersirkulasi menuju otak dan menuju jaringan serebral melalui transporter khusus monokarboksilat. Pada mitokondria neuronal, keton dimetabolisme menjadi ATP melalui siklus asam trikarbosiklik dan fosforilasi oksidatif (Stafstrom, 2004).
Jenis makanan untuk anak rasionya 4:1, diet ketogenik 1500 kalori (Parris, 2006)
Sarapan: Telur dengan daging sapi
Telur 28 g
Daging 11 g
36% krim (heavy whipping krim) 37%
mentega 23 g
apel 9 g
Snack: peanut butter ball (kue bola mentega kacang)
mentega kacang 6 g
mentega 9 g
Makan siang: Salad Tuna
Ikan tuna 28 g
Mayonaise 30 g
seledri 10 g
36% krim (heavy whipping krim) 36 g
daun selada 15 g
Snack: Keto Yogurt
36% krim (heavy whipping krim) 18 g
sour cream 17 g
strawberi 4 g
pemanis buatan
Makan Malam: Burger Keju
Daging sapi 22 g
Keju amerika 10 g
Mentega 26 g
Krim 38 g
Daun Selada 10 g
Kacang polong 11 g
Snack: Puding
36% krim (heavy whipping krim) 25 g
Telur 9 g
Perasa Vanila
Pemberian suplemen zink 20mg/hari ditambah multivitamin kepada anak yang mengalami penurunan nafsu makan
Zink adalah mikronutrien yang sangat esensial dan mempunyai peran penting pada kesehatan dan perkembangan anak. Zink mengandung lebih dari 100 metalloenzim yang sangat esensial adalah mikronutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mencegah infeksi. Zink sendiri sangat esensial untuk sintesis protein, termasuk imunoglobulin dan mediator cell yang memediasi imunitas. Kekurangan zink pada anak mengakibatkan anak mudah terserang penyakit infeksius. Anak yang memperoleh terapi suplemen zinc sembuh lebih cepat dari penyakit diare (Shakur, et al. 2009).
Shakur, et al. (2009) melakukan penelitian pada 40 anak usia antara 36 bulan hingga 72 bulan yang mempunyai berat badan yang rendah (kenaikan berat badan kurang dari 100mg dalam 3 bulan). Setelah pemilihan dari 100 anak, didapatkan 40 anak yang memenuhi kriteria dilakukan RCT (randomized control trial) untuk memperoleh suplemen zink 20mg/hari ditambah multivitamin (Group A, n=20) dan hanya memperoleh multivitamin (Group B, n=20) selama 21 hari. Kedua kelompok dibandingkan, yang dibandingkan meliputi karakteristik dasar termasuk antropometri, komposisi tubuh, dan status zink. Komposisi tubuh diukur dengan menggunakan bioelectric impedence analysis (BIA). Anak-anak dikaji 1 bulan setelah intervensi menunjukkan jumlah yang signifikan pada kelompok A lebih meningkatkan nafsu makan dibandingkan dengan kelompok B ((60% VS 15%, RR 8, 95% Cl 1.75-36.48). peningkatan nafsu makan berhubungan dengan peningkatan yang signifikan terhadap peningkatan BB, kelompok A dibandingkan kelompok B (RR 9, 95% C1 1.64-49.41). peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan fat free body mass (FFBM) pada mayoritas anak di kelompok A. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa suplemen zink dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan dengan signifikan pada anak-anak yang memiliki penurunan nafsu makan dan gagal tumbuh.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Aplikasi yang terdapat pada jurnal sangat mungkin diaplikasikan pada praktik klinik keperawatan seperti intervensi pada pasien dengan
Hipertermi dilakukan kompres atau seka pasien dengan air hangat (tidak panas, tidak dingin) pada daerah lipatan tubuh, observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam sekali, Berikan antipiretik yang sesuai program kolaborasi.
Risiko Injury dilakukan Pemberian Intramuskular (IM) midazolam pada pasien status epileptikus prehospital, dan kolaborasi pemberian obat anti konvulsan fenitoin ( 18-20 mg/kg BB intravena dengan pengenceran 10 ml Nacl 0,9% setiap 1 ml).
Ketidakseimbangan nutrisi dengan intervensi penerapan video game saat jam makan, pemberian diit ketogenik yang tinggi lemak, rendah karbohidrat, cukup protein, dan Pemberian suplemen zink 20mg/hari ditambah multivitamin kepada anak yang mengalami penurunan nafsu makan
Saran
Dalam pemberian antikonvulsan fenitoin harus diperhatikan dosis obat sesuai berat badan pasien serta pengenceran dengan cairan yang sesuai yaitu Nacl 0,9% bukan water for injection, perlu diperhatikan juga jumlah cairan pengencer antara fenitoin dengan Nacl 0,9% minimal dengan perbandingan pengenceran 1:10 ( 18-20 mg/kg BB intravena dengan pengenceran 10 ml Nacl 0,9% setiap 1 ml).
Sangat perlu sekali pengetahuan terkait intervensi keperawatan yang terdapat pada jurnal-jurnal karena pada saat praktik klinik respon anak-anak saat diberikan perawat berbeda-beda sehingga modifikasi intervensi keperawatan sangat dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen. Edisi 2. Alih Bahasa H.Y.Kuncoro. Jakarta. EGC.
Kariasa, Made. 2002.AsuhanKeperawatanKlienEpilepsi.Jakarta.FIK-UI
Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta . Gadjah Mada University Press.
Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi edisi 3. Jakarta. PERDOSSI.
Freeman J, Veggiotti P, Lanzi G, Tagliabue A, Perucca E, Institute of Neurology IRCCS C. Mondino Foundation. 2006. The ketogenic diet: from molecular mechanisms to clinical effects. Epilepsy Research 68:145–180.
Stafstrom Carl E. 2004. Dietary Approaches to Epilepsy Treatment: Old and New Options on the Menu. Epilepsy Currents Review, Vol. 4. No 6 (November/December) 2004 pp. 215-222. Blackwell Publishing Inc: American Epilepsy Society.
Jean-Philippe Chaput, Trine Visby, Signe Nyby, Lars Klingenberg, Nikolaj T Gregersen, Angelo Tremblay, Arne Astrup, and Anders Sjoodin. 2011.Video game playing increases food intake in adolescents: a randomized crossover study. Am J Clin Nutr 2011;93:1196–203.
Robert Silbergleit , Valerie Durkalski, , Daniel Lowenstein, , Robin Conwit, , Arthur Pancioli, , Yuko Palesch, , and William Barsan. 2012. Intramuscular versus Intravenous Therapy for Prehospital Status Epilepticus. The new england journal medicine. February 16,2012. Vol.366, No.07: 591-600.
sHartman A.L and Vining A.E. 2007. Clinical Aspects of the Ketogenic Diet. Critical Review. Epilepsia Blackwell Publishing, 48(1):31–42.
Walton J. Nurse-aid management of hyperthermia. Br J Nurs 2004 Mar 10-23; 3(5) 239-42.
Dewhirst MW, Sim D, Gross J, Kundrat M. Effects of heating rate on normal and tumor microcirculatory function. In: Diller K, Roemer RB, editors. Heat and mass transfer in the microcirculation of thermally significant vessels. Anaheim (CA): ASME; 2009. p. 75–80.
Song CW. Effect of local hyperthermia on blood flow and microenvironment: a review. Cancer Res. 2009;44:4721s–30s.
Reinhold HS. Physiological effects of hyperthermia. Recent Results Cancer Res. 2009;107:32–43.
Tasovac B. Acute viral infections: the clinico-immunologic role of high fever]. Srp Arh Celok Lek 1990 Jul-Aug; 118(7-8) :271-6. MEDLINE Journals
International Union of Physiological Sciences Thermal Commission. Glossary of terms for thermal physiology. Pflugers Arch (2d ed.) 2008;410:567-87.
Mackowiak PA, Bartlett JG, Borden EC, et al. Concepts of fever: recent advances and lingering dogma. Clin Infect Dis 2008;25:119-38.
Kluger MJ, Kozak W, Conn CA, et al. The adaptive value of fever. In: Mackowiak PA, et al., editors. Fever: basic mechanisms and management. 2d ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 2007. p. 255-66.
Mackowiak PA. Fever: blessing or curse? A unifying hypothesis. Ann Intern Med 2008;120:1037-40.
Bruderlein U, Strupp P, Vagts DA. Fever in intensive care patients. Anasthesiologie, Intensivmedizin, Notfallmedizin, Schmerztherapie. 2006;41(7–8):E8–E18Polderman KH. Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Critical Care Medicine. 2009;37(7 Suppl):S186–S202.
Polderman KH. Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Critical Care Medicine. 2009;37(7 Suppl):S186–S202
Axelrod P. External cooling in the management of fever. Clinical Infectious Diseases. 2000;31(Suppl. 5):S224–S229
Department of Health, Social Services & Public Safety Castle Buildings. 2007. Get your 10 a day! THE NURSING CARE STANDARDS FOR PATIENT FOOD IN HOSPITAL. Stormont, Belfast BT4 3SQ.
Jean-Philippe Chaput, Trine Visby, Signe Nyby, Lars Klingenberg, Nikolaj T Gregersen, Angelo Tremblay, Arne Astrup, and Anders Sjo¨din. Video game playing increases food intake in adolescents: a randomized crossover study. Am J Clin Nutr 2011;93:1196–203.
Parris, Carol Rees. The Ketogenic and Atkins Diets: Recipes for Seizure Control. PRACTICAL GASTROENTEROLOGY. 2006
Stafstrom Carl E. Dietary Approaches to Epilepsy Treatment: Old and New Options on the Menu. Epilepsy Currents, Vol. 4. No 6 (November/December) 2004 pp. 215-222. Blackwell Publishing Inc: American Epilepsy Society.
http://nanda-nurse-diary.blogspot.com/2012/11/nursing-diagnosis-and-interventions.html
Sanders PT, Cysyk BJ, Bare MA. Safety in long-term EEG/videomonitoring.J Neurosci Nurs1996; 28:305–313
Helmstaedter C. Cognitive outcome of status epilepticus in adults. Epilepsia. 2007 Dec;48(12):2384.
Ramachandrannair Rajesh. 2013. Pediatric Status Epilepticus Treatment & Management
http://emedicine.medscape.com/article/908394-treatment
Julie L Roth, Stephen A Berman. 2013. Status Epilepticus. emedicine.medscape.com