NOMOPHOBIA “CAN YOU SURVIVE WITHOUT YOUR PHONE?”
TUGAS PROGRAM MATRIKULASI KETERAMPILAN PRESENTASI
DYAH AYU KUSUMAWARDANI GUNAWAN EVY MEGAWATI GABRIEL DWIKI BERMANDA TARIGAN SABRINA ETIKA UTAMI
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI KLINIS FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................... ..................................................................................... ........................................ ..................i BAB I. PENDAHULUAN ......................................... ............................................................... ....................................... ................. 1 I.1. LATAR BELAKANG ........................................... .................................................................. ............................ ..... 1 BAB II. TEORI ................................................ ...................................................................... ............................................ ............................ ...... 6 II.1. COMPUTER-MEDIATED COMMUNICATION ........................... ........................... 6 II.2. MODEL ASOSIASI PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN SIMTOM MENTAL ............................ ................................................... ........................................... .................... 7 II.3. TEORI NOMOPHOBIA TEORI NOMOPHOBIA ................................................ ................................................................... .................... 8 II.4. DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN SMARTPHONE BERLEBIHAN ........................................... ................................................................. ............................................ ........................ 11 II.5. METODE UNTUK MENGURANGI KECENDERUNGAN NOMOPHOBIA .......................................... ................................................................ ............................................ ........................ 13 II.5.1. NOMOPHOBIA II.5.1. NOMOPHOBIA TREATMENTS TREATMENTS ................... .......................................... ........................... .... 13 II.5.1.1 BEHAVIORAL II.5.1.1 BEHAVIORAL TREATMENTS TREATMENTS .......................................... .......................................... 13 II.5.1.2 COMPLEMENTARY TREATMENTS ................................ ................................ 13 II.5.2. USAHA MANDIRI UNTUK MENGURANGI KECENDERUNGAN DAN PENCEGAHAN NOMOPHOBIA PENCEGAHAN NOMOPHOBIA ........ 14 II.5.3. PENCEGAHAN UNTUK ANAK-ANAK .............................. 15 BAB III. SIMPULAN ...................................... ............................................................ ............................................ ........................... ..... 18 PUSTAKA ACUAN
i
BAB I PENDAHULUAN
I.1.
LATAR BELAKANG
Teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari hidup manusia (Lee, Tam, & Chie, 2013). Konsep tersebut mengacu pada teknologi dengan jenis beragam yang digunakan untuk bertukar pengalaman dan informasi antara individu dengan dunia luarnya melalui lingkungan virtual. Teknologi yang dimaksud dapat mencakup komputer, tablet, dan telepon genggam (King et al., 2013). New technologies merupakan bagian dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. New technologies membantu untuk menyebarkan perangkat lunak yang sebelumnya hanya dapat diakses lewat komputer. Keanekaragaman dari perangkat new technologies dan kemudahan aksesnya membuat masyarakat dapat menggunakan perangkat lunak dengan cepat dan praktis (Nicolaci-da-Costa, 2002). Perkembangan teknologi dapat mendorong perubahan dalam dunia sains, terutama ilmu sosial. Peningkatan penggunaan dan penetrasi perangkat teknologi dan komunikasi virtual, terutama telepon genggam, telah membawa perubahan terhadap identitas, cara mempersepsikan realita, bahasa dan istilah personal, serta pembentukan arena virtual yaitu global virtual community (Bragazzi & Del Puente, 2014). Efek psikologis dari penggunaan new technologies pada individu, kelompok, dan masyarakat sebagian besar berhubungan dengan adanya perubahan perilaku dan kebiasaan, dan sangat perlu untuk diteliti lebih dalam untuk mengetahui efek interaktif sehubungan dengan proses belajar, kognisi sosial, kepribadian, dan hubungan antarmanusia (Nicolaci-da-Costa, 2006). New technologies memiliki sifat yang ambivalen yaitu adanya sisi positif, seperti membuka kesempatan untuk pertukaran informasi dan komunikasi serta peningkatan penggunaan fungsi kognitif melalui fitur-fitur yang membutuhkan pemrosesan data; serta sisi negatif, seperti berkurangnya komunikasi tatap-muka yang dapat menghalangi interaksi sosial dan menyebabkan gangguan perilaku dan
1
isolasi sosial, serta kebiasaan mengecek kompulsif (Bragazzi & Del Puente, 2014; Oulasvirta et al., 2012). Hal tersebut didukung oleh penelitian pionir Hoffman et al. yang menunjukkan penggunaan media yang paradoksikal, yaitu dalam penggunaan jangka
pendek media
memunculkan lebih banyak
manfaat
dibandingkan kerugian; sedangkan pemanfaatan dalam jangka panjang akan memunculkan mekanisme dan proses yang mengarah kepada perilaku impulsif dan adiktif (Hofman et al., 2004). Permasalahan yang berhubungan dengan masyarakat kontemporer dan tantangan baru dalam menghadapi kehidupan sehari-hari semakin bertambah. Permasalahan nomophobia sebenarnya sejak dulu telah ada, akan tetapi akhirakhir ini menjadi serius seiring dengan pesatnya perkembangan new technologies. “Nomophobia” (“No Mobile Phone” yang berarti tidak ada telepon g enggam, dan “Phobia” yang berarti fobia) atau ketakutan apabila ti dak dapat mengakses telepon genggam, merupakan hasil dari adanya perkembangan new technology yang memungkinkan terjadinya komunikasi virtual (Bragazzi & Del Puente, 2014). Definisi ini tidak hanya mencakup penggunaan telepon genggam, tetapi juga komputer, tablet, dan perangkat-perangkat lain yang memungkinkan komunikasi virtual (King et al., 2013). Nomophobia dianggap sebagai gangguan masyarakat virtual dan digital kontemporer yang mengacu pada adanya perasaan tidak nyaman, gelisah, gugup, atau menderita karena berada di luar kontak dari telepon genggam atau komputer. Secara umum, hal tersebut merupakan ketakutan patologis terhadap keadaan berada di luar kontak atau tidak dapat mengakses teknologi (Bragazzi & Del Puente, 2014). Penelitian pertama yang mencetuskan konsep ini dilakukan oleh UK Post Office pada tahun 2008 untuk menginvestigasi kecemasan yang dialami oleh pengguna telepon genggam. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 2100 orang dan menunjukkan bahwa 53% dari pengguna telepon genggam telah menderita nomophobia. Dalam mengkaji hubungan antara usia dengan nomophobia, hasil penelitian itu menunjukkan bahwa orang yang berada dalam masa dewasa awal atau berusia 18-24 tahun adalah yang banyak mengalami nomophobia, dengan 77%-nya teridentifikasi sebagai nomophobic. Urutan kedua diikuti oleh pengguna
2
berusia 25-34 dengan 68% yang terkena nomophobia. Terakhir, pengguna berusia 55 tahun ke atas merupakan kelompok dengan urutan ke-3 dengan nomophobe terbanyak (SecurEnvoy, 2012). Dalam studi yang dipublikasi Facebook mengenai penggunaan gadget terhadap remaja dari 13 negara (Australia, Brazil, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Norwegia, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat) pada akhir 2014, muncul sebuah pernyataan dari remaja Indonesia bahwa ponsel adalah “raja” mereka. Sebanyak 72 persen remaja dunia tidak dapat meninggalkan rumah tanpa membawa telepon genggam. Kebiasaan tersebut paling banyak dimiliki oleh remaja Indonesia dengan persentase 84 persen dari responden Indonesia, yang secara statistik lebih tinggi dari rata-rata global (Facebook IQ & Crowd DNA, 2014). Kesimpulan yang dapat diambil dari data kuantitatif tersebut adalah bahwa gadget telah menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat remaja Indonesia. Banyak komentar mengenai maraknya penggunaan gadget di masyarakat seperti “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Seperti yang dilansir dalam beritasatu.com, menurut sebuah survei di Inggris, seorang dewasa menghabiskan waktu selama tujuh jam perhari untuk berinteraksi dengan teknologi komunikasi. Hal tersebut membuat ketergantungan terhadap ponsel dan gadget menjadi sebuah masalah tersendiri. "Ponsel adalah bagian dari budaya konsumen. Mereka tidak hanya dijadikan sebagai alat, namun juga sebagai simbol status. Sayangnya, alat itu mengikis hubungan interpersonal," ujar Dr. James Roberts dari Hankamer Baylor of Business yang memimpin penelitian tersebut. Studi yang dilakukan oleh Roberts melibatkan responden berusia 18 hingga 29 tahun, yang sebagian besar adalah mahasiswa. Setiap harinya, terhitung bahwa rata-rata mahasiswa mengirimkan 109,5 teks SMS atau chat per hari atau sekitar 3.200 pesan per bulan. Mahasiswa memeriksa ponsel mereka sebanyak 60 kali setiap hari (Berita Satu Editorial Team, 2012). Di Indonesia, gejala nomophobia ini sebenarnya sudah sering dijumpai. Ketika naik angkutan umum atau jalan-jalan di pusat perbelanjaan, akan didapati orang-orang yang sangat asyik dengan ponselnya, terutama bagi pengguna
3
smartphone. Mereka seperti kurang peduli dengan lingkungan sekitar dan fokus hanya ke layar ponsel. Survei tentang nomophobia pernah dilakukan oleh Kompas, dan hasilnya perempuan lebih banyak menggunakan smartphone dibandingkan dengan laki-laki (Dodon, 2012): 1.
70% dari perempuan merasa takut jauh dari ponsel mereka, sedangkan laki-laki hanya 61%.
2. Persentase responden yang memiliki dua buah ponsel lebih besar pada laki-laki, yaitu 47%, sedangkan perempuan hanya 36%. 3. Usia 18-24 tahun memiliki kecenderungan nomophobia yang paling besar, yaitu 77%, sedangkan usia 25-34 tahun berada di posisi kedua dengan persentase 68%. Menurut para peneliti, gadget merupakan pemutus hubungan yang besar bagi kehidupan sosial manusia, memang benar apabila dengan gadget manusia dapat berkomunikasi dengan orang dari jarak jauh, namun hal ini telah memutuskan kedekatan secara personal antara individu yang berada dekat di sekitarnya dan membuat seseorang menjadi individualis. Tidak sedikit pula orang yang merasa kesepian meskipun ia memiliki banyak teman di media sosialnya (Young, 2007). Selain itu, penelitian yang ada juga menunjukkan bahwa orangorang yang terlalu sering menggunakkan gadget cenderung merupakan orangorang yang merasa kesepian, sehingga mencari hiburan pada gadgetnya. Orang yang kesepian atau depresi cenderung mengalihkan problem yang mereka hadapi dengan menonton televisi atau menelusuri internet, meskipun mereka tahu bahwa itu hanyalah alat bantu sementara untuk membantu melupakan masalah (Tainaka, Yoshi, & Mori, 2014). Merupakan
sebuah
fakta
menarik
bahwa
dalam
dunia
dengan
permasalahan nomophobia yang cukup serius, jarang ada penelitian yang mengkaji nomophobia secara mendalam (King et al., 2013). Hal tersebut berakibat pada kurangnya pemahaman masyarakat awam terhadap fenomena ini. Di Indonesia sendiri penelitian nomophobia masih berjumlah sangat minim. Seperti dilansir dalam www.jawapos.com, berita yang ada menyatakan bahwa terdapat lima mahasiswa S-1 Universitas Airlangga (Unair) melakukan penelitian
4
mengenai fenomena nomophobia pada mahasiswa Unair, tetapi masih kurang dapat membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap fenomena ini. Hingga saat ini, intervensi yang efektif untuk menangani nomophobia juga masih sangat terbatas (Yildirim & Correia, 2015). Alasan utama untuk mengangkat topik ini adalah nomophobia merupakan gangguan serius yang banyak diabaikan, terutama di Indonesia. Topik nomophobia sendiri belum banyak dibahas dari sudut pandang nomophobia sebagai simtom dari gangguan psikologis yang lebih serius. Selama ini, masyarakat lebih sering memahami nomophobia murni sebagai gangguan adiksi. Dengan demikian,
penting adanya usaha untuk meningkatkan pemahaman
mahasiswa dan masyarakat awam melalui seminar interaktif; sehingga audience menjadi paham, sadar, dan dapat mengurangi kecenderungan nomophobia.
5
BAB II TEORI
II.1.
COMPUTER -ME DI ATED COMMUNICATI ON Computer-mediated communication (CMC) dapat didefinisikan sebagai
komunikasi manusia yang terjadi melalui penggunaan dua atau lebih perangkat elektronik (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Perkembangan teknologi menyebabkan CMC lebih mudah diakses di mana dan kapan pun diperlukan (Chung, 2003). Saat ini riset terkait CMC lebih banyak fokus terhadap efek sosial dari berbagai jenis teknologi komunikasi berbasis komputer, seperti jejaring sosial (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Pendekatan sosiopsikologis dalam CMC menjelaskan mengenai bagaimana manusia menggunakan komputer atau media digital untuk mengatur interaksi interpersonal, membuat impresi terhadap orang lain, dan mempertahankan hubungan. CMC menunjukkan bahwa komunikasi yang dimediasi oleh perangkat elektronik memberikan dampak terhadap banyak aspek interaksi. Beberapa penelitian yang menghubungkan CMC dengan bidang psikologi memfokuskan cakupan penelitian terhadap manajemen impresi, penipuan, dinamika kelompok, pengungkapan diri, perilaku tidak sesuai norma, dan pembentukan hubungan (Herring, 2004). Sebuah
ide
akan
diterima
oleh
masyarakat
setelah
mereka
mempertimbangkan keuntungan relatif dari inovasi tersebut, kecocokan dengan keadaan masyarakat, dan kemudahan dalam penggunaan (Rogers, 1995). Alasan mengapa CMC banyak diadopsi oleh masyarakat adalah karena CMC dapat memenuhi seluruh faktor prasyarat tersebut. CMC yang bersifat efisien dan cepat, tidak hanya membuat komunikasi dapat diakses oleh masyarakat, tetapi juga membuat komunikasi lebih mudah dilakukan dari yang sebelumnya (Lau, 2015). CMC telah membuat komunikasi menjadi lebih mudah, terutama untuk komunikasi jarak jauh. Saat ini, masyarakat tidak hanya bergantung pada CMC untuk berelasi dengan orang lain, tetapi juga untuk menemukan cinta dan memenuhi kebutuhan afeksi. Dengan berkembangnya penetrasi teknologi, muncul keprihatinan akan dampak CMC terhadap komunikasi tatap-muka. Muncul pula
6
ketakutan akan adanya kemungkinan bahwa CMC suatu hari akan secara utuh menggantikan komunikasi tatap-muka dalam kehidupan nyata (Lau, 2015). Banyak temuan ilmiah mendukung kemungkinan terjadinya hal tersebut. Penelitian yang ada menunjukkan adanya peningkatan jumlah orang yang memiliki ketergantungan untuk selalu terkoneksi via CMC. Sebagian masyarakat merasa kurang nyaman dan sangat hampa ketika mereka tidak terkoneksi. Ketergantungan untuk selalu terkoneksi merupakan komponen pembentuk dari proses gratifikasi digital, yaitu ketika seseorang menjadi semakin tergantung, hingga akhirnya mengembangkan adiksi terhadap konektivitas (Watson, 2010).
II.2. MODEL ASOSIASI PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN SIMTOM MENTAL
Penelitian Thomee et al. (2010) telah mengungkap hubungan antara pengguna teknologi informasi dan simtom mental. Melalui penelitian tersebut, dapat pula diketahui pembagian domain-domain kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan informasi dan teknologi secara berlebihan. Bagan dari penelitian Thomee et al. yang sesuai dengan konteks penelitian ini adalah sebagai ber ikut:
Diagram 1. Model asosiasi penggunaan teknologi informasi dan simtom mental (Thomeé et al., 2010).
7
Bagan di atas menunjukkan langkah-langkah terjadinya stres, depresi, dan masalah tidur, via konsekuensi dari penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang secara kuantitatif berlebihan, penggunaan yang secara kualitatif bersifat negatif, dan masalah si pengguna itu sendiri. Faktor utama yang muncul dalam menjelaskan penggunaan TIK yang secara kuantitatif berlebihan adalah tuntutan dan ekspektasi atas achievement dan availability, yang berasal dari domain pekerjaan, studi, kehidupan sosial, dan aspirasi individual. Tuntutantuntutan ini juga dapat secara langsung menciptakan stres dan simtom permasalahan kesehatan mental. Alasan utama lain dari penggunaan TIK yang berlebihan adalah dependensi personal. Ketergantungan atau kompulsi terhadap TIK juga dapat menjadi sumber utama stres atau berkorelasi dengan permasalahan kesehatan mental. Konsekuensi dari penggunaan yang secara kuantitatif berlebihan mencakup kelebihan beban mental, konflik peran, tekanan waktu, kurangnya waktu untuk aktivitas lain, tidak menghiraukan sinyal tubuh dan kebutuhan personal (aktivitas fisik, nutrisi, proses penyembuhan, tidur), perasaan bersalah ketika tidak membalas panggilan dan pesan, permasalahan relasi sosial, isolasi sosial, simtom-simtom fisik, kecemasan terhadap radiasi elektromagnetik, adiksi, masalah perekonomian, kecanduan ponsel, dll (Thomeé et al., 2010).
II.3. TEORI NOMOPHOBI A
Sebagian besar masyarakat pada saat ini memiliki kebutuhan yang tinggi untuk melakukan interaksi melalui penggunaan smartphone maupun komputer (laptop). Dalam hal ini kecanduan yang dialami atau dilakukan oleh sebagian besar masyarakat dapat disebut juga sebagai nomophobia. Nomophobia sendiri merupakan ketakutan untuk tidak dapat menggunakan atau berkomunikasi melalui telepon selular atau Internet. Kata “nomophobia” berasal dari Bahasa Inggris yang merupakan singkatan dari “ No mobile phone phobia” yaitu fobia tanpa telepon selular (King et al, 2014). Nomophobia dianggap sebagai gangguan dunia modern, dan digunakan untuk menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan yang disebabkan oleh ketidaktersediaan telepon genggam, komputer, atau perangkat komunikasi virtual
8
lain pada individu yang menggunakan.
Gejala nomophobia juga dapat
mengungkap adanya gangguan psikologis yang sudah ada sebelumnya. Gangguan-gangguan yang dimaksud harus diselidiki, didiagnosis, dan ditangani (paling sering dengan obat-obatan dan psikoterapi) (King et al, 2014). Gejala nomophobia dapat timbul pada individu yang mengalami gangguan kecemasan dan masalah interpersonal sebagai gangguan utama. Dengan demikian, nomophobia berperan sebagai simtom dalam penggalian atau penyelidikan penyebab gangguan psikologis yang lebih serius, baik bagi dokter maupun psikologis. Nomophobia sendiri merupakan kasus yang beberapa tahun ini menjadi serius dan merupakan konsekuensi dari manusia terkait interaktivitas yang dilakukannya dengan teknologi baru. Jadi gangguan tersebut belum secara resmi dimasukkan dalam manual diagnostik dan statistik gangguan mental (DSM) (King
et
al,
mengembangkan
2013).
Akan
proposal
tetapi,
serta
sudah
kriteria
ada
beberapa
diagnostik
untuk
peneliti
yang
memasukkan
nomophobia atau smartphone addiction ke dalam DSM karena keprihatinan yang mendesak akan gangguan ini (Bragazzi & Puente, 2014; Kwon et al., 2013; Lin et al., 2014). Gangguan nomophobia memiliki beberapa prediktor psikologis. Hal tersebut terdiri dari: (1) usia yang muda, (2) pandangan diri yang negatif, (3) selfesteem dan self-efficacy yang rendah, (4) gairah yang tidak teregulasi (level ekstraversi dan introversi yang tinggi), (5) impulsivitas, (6) kecenderungan untuk terburu-buru, dan (7) pencarian sensasi (Bragazzi & Puente, 2014). Beberapa cara penggunaan perangkat teknologi secara impulsif (Ribak, 2009) adalah sebagai pelindung, pencegah, dan sebagai objek transisi, atau sebagai sarana menghindari interaksi sosial. Karakteristik klinis dari nomophobia menurut Bragazzi & Puente (2014) adalah sebagai berikut: 1. Sering menggunakan telepon genggam dan menghabiskan banyak waktu dalam penggunaannya, memiliki satu atau lebih perangkat teknologi, selalu membawa charger kemana pun; 2. Merasa cemas dan gugup ketika kehilangan ponsel atau ketika tidak berdekatan dengan telepon genggam atau tidak dapat menggunakannya
9
karena jangkauan jaringan, kehabisan baterai atau pulsa, dan sebisa mungkin menghindari tempat atau situasi yang sekiranya tidak memadai untuk memakai telepon genggam seperti angkutan umum, restoran, bioskop, dan bandara; 3. Sering melihat layar telepon genggam untuk melihat apakah ada SMS (atau chat) maupun telepon yang masuk (perilaku ini disebut ringxiety atau sensasi berupa mendengar suara telepon genggam yang berbunyi, meskipun pada kenyataannya tidak; ataupun mendengar telepon orang lain berbunyi dan mengira bahwa yang berbunyi adalah telepon genggam pribadinya); 4. Selalu menyalakan telepon genggam selama 24 jam, bahkan tidur dengan telepon genggam di sampingnya; 5. Memiliki interaksi antarmanusia yang lebih sedikit serta merasa cemas dan gugup jika harus berinteraksi langsung dengan orang lain, bahkan lebih memilih
menggunakan
perangkat
teknologi
untuk
berkomunikasi;
memiliki hutang atau pengeluaran yang besar karena penggunaan telepon genggam. Yldirim dan Correia (2015) merupakan dua orang peneliti yang pertama kali melakukan eksplorasi untuk mencari tahu mengenai dimensi nomophobia. Melalui proses interviu semi-terstruktur mereka mendapatkan deskripsi naratif individual mengenai pengalaman pribadi experts yang berhubungan dengan fenomena nomophobia. Analisis data fenomenalogis dari sembilan experts dikelompokkan sesuai dengan tema yang ada dan menghasilkan unit-unit pemaknaan yang berbeda-beda. Kemunculan empat tema data yang telah diolah dan dianalisis menghasilkan empat dimensi nomophobia yaitu perasaan-perasaan negatif yang muncul ketika tidak menggunakan smartphone yang terdiri dari: (1) tidak dapat berkomunikasi, (2) kehilangan keterhubungan, (3) tidak dapat mengakses informasi, dan (4) melepaskan kenyamanan. Dimensi tidak dapat berkomunikasi berarti adanya perasaan takut untuk kehilangan komunikasi dengan orang lain yang dapat diakses secara cepat, serta ketakutan untuk tidak dapat mengunakan layanan yang memungkinkan layanan
10
komunikasi instan. Dimensi kehilangan keterhubungan membahas mengenai perasaan kehilangan dari layanan koneksi smartphones, dan menjadi terputus dari identitas online seseorang, terutama dalam media sosial. Dimensi selanjutnya adalah
tidak
dapat
mengakses
informasi
yang
berhubungan
dengan
ketidaknyamanan dari kehilangan akses luas terhadap informasi melalui smartphones, yaitu ketidakmampuan untuk mengambil dan mencari informasi dengan
menggunakan smartphones.
Terakhir
adalah
dimensi
melepas
kenyamanan yaitu perasaan melepas kenyamanan yang diberikan oleh smartphone dan mencerminkan keinginan untuk memanfaatkan kemudahan yang dimiliki smartphone (Yldirim & Correia, 2015). Penelitian mereka tidak hanya berhenti di sana. Berbekal dengan dimensi yang telah ditemukan, mereka kemudian mengembangkan alat ukur bernama Nomophobia Questionnaire (NMP-Q). Alat ukur tersebut digunakan untuk menentukan tingkat keparahan nomophobia yang ada dalam diri seseorang. Terdapat empat jenis klasifikasi dari rentang skor yang ada sebesar 20 hingga 140, yaitu: 1) absent yaitu tidak memiliki nomophobia (skor 20); 2) mild yaitu mengalami nomophobia ringan (skor 21 - 59); 3) moderate yaitu mengalami nomophobia sedang (skor 60 - 99); dan terakhir 4) severe yaitu mengalami nomophobia parah (skor ≥ 100) (Yldirim & Correia, 2015). Kuesioner ini dapat dilihat pada lampiran.
II.4. DAMPAK
NEGATIF
PENGGUNAAN
SMARTPH ONE
BERLEBIHAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan smartphone juga menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan. Dikutip dari www.kompasiana.com terdapat beberapa dampak negatif dari penggunaan smartphone yang mencakup beberapa aspek kehidupan. Dampak negatif dalam hal fisik yaitu 1) menyebabkan gangguan penglihatan, secara spesifik adalah Computer Vision Syndrome (CVR) yang merupakan gejala yang disebabkan oleh terlalu lama memandang layar smartphone; 2) menyebabkan sakit kepala karena postur kepala yang salah; 3) pandangan kabur karena ketegangan otot mata yang tidak mampu lagi untuk fokus
11
pada jarak jauh maupun dekat; 4) timbulnya gangguan pendengaran karena terlalu lama menggunakan earphone; 5) kelainan postur tubuh yaitu gangguan arthritis yang biasanya ditemui pada usia 40-50, kini ditemui juga pada pengguna smartphone usia muda; 6) bahkan kematian karena kecelakaan atau kejadian yang berkaitan dengan penggunaan smartphone seperti ketika sedang menyetir atau selfie di tempat berbahaya (Gowthami & Kumar, 2016; Nur, 2016). Penggunaan smartphone berlebih juga membawa dampak negatif terhadap kesehatan psikososial, yaitu 1) menimbulkan kecanduan; 2) menggangu tidur; 3) mengurangi produktivitas; 4) merusak otak; 5) sulit tidur; 6) merusak hubungan; 7) waktu interaksi secara langsung menjadi semakin berkurang; 8) kurang peka terhadap lingkungan sekitar; 9) menjadi hyperpersonal ; 10) mengganggu kualitas interaksi langsung; 11) menjadi individu konsumtif; 12) menjadi lebih agresif; dan 13) stres (Gowthami & Kumar, 2016; Kursiwi, 2016; Nur, 2016; Putri, 2015). Beberapa contoh berita di media yang menceritakan dampak negatif penggunaan handphone dalam kehidupan nyata adalah sebagai berikut: 1. Seorang Konglomerat Taiwan bernama Gu Cheng Yun (62 Tahun) dikabarkan meninggal dunia karena bermain hp saat di eskalator. Tampak dalam kamera CCTV, pria tersebut menaiki eskalator sambil memandangi layar HP. Tidak disangka, ponsel yang dia mainkan terjatuh dan Gu bergegas untuk mengambilnya. Namuh nahas, ia malah terjatuh dan terbolak balik mengikuti arah tangga. Sumber : www.netizen6.liputan6.com 2. Dilansir dari www.cnnindonesia.com/teknologi pada tahun 2015 seorang pria bernama Joshua M. Burwell dikabarkan meninggal karena terperosok kedalam jurang sedalam 18 meter. Dia meninggal karena asik menggunakan handphone dan tidak memperhatikan jalan. Peristiwa itu terjadi di Sunset Cliffs, San Diego.
Saksi
mengungkapkan
bahwa
dia
terlihat
sibuk
menggunakan handphonenya dan tidak memperhatikan jalan. 3. Dikabarkan
melaui
www.news.okezone.com
seorang
wanita
berusia 20 tahun asal china hampir kehilangan penglihatannya
12
karena menonton drama korea tanpa henti dan hanya melakukan aktifitas lainnya saat hendak makan.
II.5. METODE UNTUK MENGURANGI KECENDERUNGAN
NOMOPHOBIA II.5.1.
NOMOPHOBI A TRE ATMENTS
II.5.1.1 BE HAVI ORAL TRE ATME NTS A. Cognitive behavioral approach (CBT )
CBT dapat membantu individu dengan gangguan kecanduan internet untuk mengenali diri dan perasaan mereka yang menyebabkan seseorang memiliki kebutuhan akan smarth phone yang tidak wajar (Orzack, 1999). B. Motivational I nterviewing (M I )
MI merupakan pendekatan secara langsung yang berpusat pada pasien yang menekankan pada pendapat pribadi dan tanggung jawab. Secara umum MI merupakan tantangan terbesar bagi para terapis, kebanyakan orang yang mengalami kecanduan smart phone mereka menyangkal bahwa mereka kecanduan dan tidak mencari bantuan rehabilitasi. Jadi bagi orang yang belum siap mengubah tingkah lakunya sendiri MI dapat membantu (Merlo & Gold, 2008). C. Mindfulness behavioral cognitive treatment (M BCT)
Zindel Segal menemukan solusi yang dapat digunakan dalam praktik “ Mindfullness”- sejenis meditasi yang dapat membantu seseorang keluar dari pemikiran negatif
dan berhubungan dengan suasana hati yang sedih (Segal,
Williams, & Teasdale, 2011). II.5.1.2 COMPLE ME NTARY TRE ATMENTS
Complementary Treatments lebih fokus pada beragam faktor lingkungan dan menggunakan beragam aktifitas untuk menyembuhkan kecanduan internet. Aktifitas tersebut meliputi seni dan olahraga untuk menurunkan tingkat kecanduan Smart Phone. A. Therapeutic recreation
13
Therapeutic recration adalah Terapi yang menekankan pada rekreasi namun terarah, cermat dan berkualitas. Sehingga individu yang telah menjalani terapi ini dapat mengembangkan kekuatan pribadi dan lingkungan dan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik (Anderson & Heyne, 2012). B. Art Therapy
Park et al. (2009) menerapkan terapi seni ke kecanduan smart pohone pada remaja untuk memperbaiki kemampuan pengendalian diri. Akibatnya, sikap bermusuhan menurun dan interaksi sosial dengan kelompok sebaya dan anggota keluarga meningkat.
II.5.2.
USAHA MANDIRI UNTUK MENGURANGI KECENDERUNGAN DAN PENCEGAHAN NOMOPHOBIA
6 kebiasaan yang dapat diterapkan untuk pencegahan Nomophobia (Small, 2014). 1. Meninggalkan kebiasaan mengecek smartphone di pagi hari
Mengecek Smart Phone di tiap pagi saat memulai hari seperti yang dilakukan saat akan tidur, sangat tidak baik. Dapat mengurangi produktifitas, hal ini membuat otak mengolah berbagai hal sbeleum anda bisa fokus dengan hal yang lebih besar. Ganti aktifitas mengecek Smart Phone anda dengan aktifitas fisik yang lain seperti yoga. 2. Mencegah intervensi dari Internet
Interupsi adalah hambatan, pasang batasan waktu atau jadwalkan untuk mengunjugi situs web tertentu, atau matikan jaringan internet pada waktu tertentu. 3. Mengendalikan pikiran
Meditasi Mindfullness adalah teknik yang dapat digunakan untuk mendapatkan kembali fokus. Kembangkan latihan dan jadikan menjadi salah satu aktifitas harian. 4. Stop untuk terus menerus online 24/7
Smart Phone memungkinkan anda untuk bekerja atau berhubung dengan orang lain kapanpun dan dimanapun. Beristirahat dan Berjauhan dengan Smart Phone akan mengurangi kecenderungan anda ketergantungan deng Smart Phone.
14
5. Stop mencari semuanya di Internet
Mengurangi berselancar diinternet. Saat bekerja percayalah pada intuisi dan kagumi diri dan bakat. Kurangi browsing web untuk mencari inspirasi. 6. Membuat zona bebas smartphone
Sangat penting untuk membuat Zona bebas Smart Phone.
II.5.3.
PENCEGAHAN UNTUK ANAK-ANAK
Untuk mencegah semakin tingginya tingkat ketergantungan Anak terhadap Smart phone/technology,
menurut Sean Grover Ada beberapa tips yang dapat
diterapkan orang tua (Sean Grover, 2016) 1. Tech B lackouts
Meluangkan waktu dimana tidak ada seorangpun di rumah (termasuk orang tua) yang menggunakan teknologi. Smart phone, laptop, tablet harus dalam keadaan mati. Tech free time dapat diisi dengan membaca, mengobrol dengan anggota keluarga, memasak, kegiatan apapun yang berhubungan dengan sosial dan kreatifitas. 2. Tech H ours
Penggunaan teknologi harus dibatasi pada anak. Orang tua harus memberi jadwal kepada mereka kapan mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah, bermain game, dan menggunakan teknologi ( smart phone, ipad, laptop). Contohnya anak hanya boleh menggunakan teknologi 30 menit tiap harinya di hari biasa dan 2 jam tiap harinya akhir minggu. 3. Tech Spaces
Taruh semua teknologi di ruangan dimana semua orang sering berada seperti di ruang keluarga. Sehingga saat Tech time (saat anak diperbolehkan menggunakan teknologi) anak hanya boleh menggunakan di ruang tersebut. Cobalah untuk tidak membiarkan anak menggunakan teknologi dalam waktu yang lama sendirian di ruangan tertutup atau tanpa pengawasan dari orang tua. 4. Tech Li mits
Terdapat beberapa servis online yang dapat menyaring konten yang tidak tepat atau berisi kekerasan sehingga tidak dapat diakses oleh anak. Servis ini juga dapat
15
mejadwalkan berapa lama anak dapat menggunakan internet. Salah satu servis yang dapat digunakan orang tua adalah Net Nanny.
16
BAB III SIMPULAN
New technologies yang merupakan bagian dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari hidup manusia. New technologies, khususnya smartphone, memiliki sifat yang ambivalen yaitu adanya sisi positif, seperti membuka kesempatan untuk pertukaran informasi dan komunikasi serta peningkatan penggunaan fungsi kognitif melalui fitur-fitur yang membutuhkan pemrosesan data; serta sisi negatif, seperti berkurangnya komunikasi tatap-muka yang dapat menghalangi interaksi sosial dan menyebabkan gangguan perilaku dan isolasi sosial, adiksi terhadap telepon genggam, serta kebiasaan mengecek kompulsif. Permasalahan nomophobia sebenarnya sejak dulu telah ada, akan tetapi akhir-akhir ini menjadi serius seiring dengan pesatnya perkembangan new technologies. Nomophobia dianggap sebagai gangguan masyarakat virtual dan digital kontemporer yang mengacu pada adanya perasaan tidak nyaman, gelisah, gugup, atau menderita karena berada di luar kontak dari telepon genggam atau komputer. Di Indonesia sendiri, penelitian yang ada menunjukkan bahwa gadget telah menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat remaja Indonesia. Hal tersebut membawa dampak negatif, baik dari dimensi fisik maupun psikologis penggunanya. Teori
computer-mediated communication
(CMC)
secara
sederhana
menjelaskan komunikasi manusia yang terjadi melalui penggunaan dua atau lebih perangkat elektronik. Penelitian dampak CMC terhadap sosiopsikologis manusia menemukan bahwa masyarakat menjadi semakin bergantung pada CMC untuk berelasi dengan orang lain, termasuk untuk menemukan cinta dan memenuhi kebutuhan
afeksi.
Muncul
keprihatinan
bahwa
suatu
saat
CMC
akan
menggantikan komunikasi tatap-muka seutuhnya, merasa tidak nyaman ketika tidak terkoneksi, serta mengembangkan adiksi terhadap CMC atau memiliki nomophobia. Teori tersebut didukung oleh model asosiasi penggunaan tekonologi informasi dan simtom mental, bahwa berbagai domain kehidupan turut
17
berpartisipasi dalam pembentukan kecenderungan penggunaan iptek secara berlebihan
atau
nomophobia.
Sebuah
alat
ukur
bernama Nomophobia
Questionnaire telah dikembangkan untuk memahami tingkat kecenderungan seseorang untuk memiliki nomophobia. Alat ukur tersebut disusun berdasarkan karakteristik klinis yang dikembangkan oleh Braggazi dan Puente (2014). Terdapat berbagai usaha yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecenderungan nomophobia. Dari sisi psikologi klinis, hal yang dapat dilakukan adalah cognitive behavioral approach, motivational interviewing, mindfulness behavior cognitive treatment, complementary treatments, therapeutic recreation, dan art therapy. Selain itu, ada pula usaha-usaha mandiri yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecenderungan serta mencegah nomophobia yang dapat dilakukan ke masyarakat dewasa dan anak-anak.
18
PUSTAKA ACUAN
Berita Satu Editorial Team. (2012, December 11). Nomophobia, Kecemasan Jauh Dari
Ponsel
dan
Gadget.
Retrieved
October
12,
2015,
from
http://www.beritasatu.com/iptek/87514-nomophobia-kecemasan-jauh-dari ponsel-dan-gadget.html Bragazzi, N. L., & Del Puente, G. (2014). A proposal for including nomophobia in the new DSM-V. Psychology research and behavior management, 7, 155. Chung, D. (2003, May). I am not a lonely person any more: Interpersonal relationships in computer-mediated-communication. Paper presented at the International Communication Association, San Diego, CA Dodon, M. (2012, November 2). Sindrom Nomophobia, Rasa Takut Jauh dari Handphone - KOMPASIANA.com. Retrieved October 12, 2015, from http://www.kompasiana.com/masdodon/sindrom-nomophobia-rasa-takut jauh-dari-handphone_5518fcb381331145739de0b9 Facebook IQ & Crowd DNA. (2014, December 1). Coming of Age on Screens. Facebook IQ, 2-23. Gowthami, S. A., Kumar, S. (2016). Impact of Smartphone: A pilot study on positive
and
negative
effects.
International
Journal
of Scientific
Engineering and Applied Science (IJSEAS), 473-478. Grover, S. (2015, October 09). 4 Ways to Prevent Your Kid From Becoming A Tech
Addict.
Retrieved
October
16,
2017,
from
https://www.huffingtonpost.com/sean-grover/4-ways-to-prevent-your-kidfrom-becoming-a-tech-addict_b_8272282.html Herring, S. C. (2004). Computer-mediated discourse analysis: An approach to researching online behavior. In: S. A. Barab, R. Kling, and J. H. Gray (Eds.), Designing for Virtual Communities in the Service of Learning (pp. 338-376). New York: Cambridge University Press. Hoffman, D. L., Novak, T. P., & Venkatesh, A. (2004). Has the Internet become indispensable?. Communications of the ACM, 47(7), 37-42
King, A. L. S., Valença, A. M., Silva, A. C. O., Baczynski, T., Carvalho, M. R., & Nardi, A. E. (2013). Nomophobia: Dependency on virtual environments or social phobia?. Computers in Human Behavior, 29(1), 140-144. King, A. L. S., Valença, A. M., Silva, A. C., Sancassiani, F., Machado, S., & Nardi, A. E. (2014). “Nomophobia”: Impact of Cell Phone Use Interfering with Symptoms and Emotions of Individuals with Panic Disorder Compared with a Control Group. Clinical practice and epidemiology in mental health: CP & EMH, 10, 28. Kwon, M., Lee, J. Y., Won, W. Y., Park, J. W., Min, J. A., Hahn, C., ... & Kim, D. J. (2013). Development and validation of a smartphone addiction scale (SAS). PloS one, 8(2), e56936. Lau, K. (2015). Computer-Mediated Communication: Effects on Relationship Development and Maintenance(Unpublished master's thesis). California State University, Fresno . Lee, S., Tam, C. L., & Chie, Q. T. (2013). Mobile phone usage preferences: The contributing factors of personality, social anxiety and loneliness. Social Indicators Research, 118(3), 1205 – 1228 Lin, Y. H., Chang, L. R., Lee, Y. H., Tseng, H. W., Kuo, T. B., & Chen, S. H. (2014). Development and validation of the Smartphone Addiction Inventory (SPAI). PloS one, 9(6), e98312. Nicolaci-da-Costa, A. M. (2002). Technological revolutions and subjective transformations. Psychology Search Theory, 18, 193 – 202. Nicolaci-da-Costa, A. M. (2006). Digital heads: The daily life in the era of information. Rio de Janeiro. Puc-Rio: Loyola. Nur, Zulfa. (2016). Pengaruh Penggunaa Gadget Terhadapa Kesehatan Pemakai. Putri, A. V. (2015, June 24). Dampak Negatif Penggunaan Smartphone. Retrieved October 16, 2017, from https://www.bing.com/. SecurEnvoy (2012). 66% of the population suffer from nomophobia the fear of being
without
their
phone.
suffer-from-nomophobia-the-fear-of-being-without-their-phone/ Retrieved 27.09.15. Small, A. (2014, November 20). 6 Ways to Break a Tech Addiction. Retrieved October 17, 2017, from https://www.entrepreneur.com/article/239707 Tainaka, T., Miyoshi, T., & Mori, K. (2014). Conformity of Witnesses with Low Self-Esteem to Their Co-Witnesses. Psychology, 5(15), 1695. Thomée, S., Dellve, L., Härenstam, A., & Hagberg, M. (2010). Perceived connections between information and communication technology use and mental symptoms among young adults-a qualitative study. BMC Public Health, 10(1), 66. Thurlow, C., Lengel, L. & Tomic, A. (2004). Computer mediated communication: Social interaction and the internet. London: Sage. Watson, R. (2010). Future minds: how the digital age is changing our minds, why this matters and what we can do about it. Nicholas Brealey Publishing. Yildirim, C., & Correia, A. P. (2015). Exploring the dimensions of nomophobia: Development and validation of a self-reported questionnaire. Computers in Human Behavior, 49, 130-137. Young, K. S. (2007). Cognitive-behavioral therapy with Internet addicts: Treatment outcomes and implications. CyberPsychology & Behavior, 10(5), 671 – 679.