LAPORAN PENDAHULUAN
POST TREPANASI
Penugasan ini disusun untuk memenuhi tugas individu profesi keperawatan
Oleh:
Maya Rachmah Sari NIM. 0910723033
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UNIVERSITAS BRAWIJAYA BRAWIJAYA MALANG 2013
KONSEP PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL
Pengertian Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang diberikan oleh otak, darah, dan cairan cerebrospinal (cerebrospinal ( cerebrospinal fluid / CSF) di dalam ruang kranium yang kaku. Sebagai respon terhadap peningkatan volume intrakranial, kompensasi awal terjadi melalui perpindahan CSF dari ventrikel ke ruang subaraknoid serebral, dan meningkatkan penyerapan CSF. Kisaran nilai tekanan intrakranial ( intracranial pressure/ pressure / ICP) normal bervariasi sesuai dengan usia. Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan oleh peningkatan volume otak (edema serebral), darah (perdarahan intrakranial), lesi desak ruang, atau CSF (hidrosefalus). Pemantauan ICP dapat berupa teknik invasif dan memiliki beberapa risiko yang terkait. Pengukuran ICP adalah standar baku pada neurocritical care. care. Manajemen yang efektif terhadap hipertensi intrakranial diawali dengan menghindari secara ketat faktor-faktor yang memicu atau memperburuk peningkatan tekanan intrakranial. Ketika tekanan intrakranial menjadi tinggi, penting untuk menyingkirkan lesi massa baru yang harus dievakuasi melalui pembedahan.
Fisiologi Tekanan Intra Kranial Kompartemen Tekanan dan Aliran Cairan
Variasi kontraktil curah jantung memiliki dua efek yang berbeda pada dinamika intrakranial, perubahan berkala pada tekanan dan perubahan berkala pada aliran cairan dalam otak. Sementara tekanan dan aliran cairan terkait fenomena fisik, mereka harus
dianggap terpisah untuk satu alasan utama: pulsasi tekanan menyebar melalui otak pada kecepatan suara dan titik yang tepat untuk pengukurannya bukanlah suatu masalah, sementara aliran cairan membutuhkan perpindahan cairan dari satu kompartemen ke kompartemen yang lain dan pulsasi arus bervariasi secara dramatis tergantung pada lokasi Kisaran nilai tekanan intrakranial ( intracranial pressure/ ICP) normal bervariasi sesuai dengan usia. Nilai normal adalah kurang dari 10 sampai 15 mmHg untuk orang dewasa dan tua, anak yang lebih besar, 3 sampai 7 mmHg untuk anak-anak yang lebih muda, dan 1,5-6 mmHg untuk bayi. ICP dapat bernilai ‘sub -atmosfer’ pada bayi baru lahir. Batas normal yang biasa digunakan adalah 5 sampai 15 mmHg. Nilai ICP lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan menunjukkan hipertensi intrakranial berat yang mengancam nyawa
Dinamika Tekanan Intrakranial a. Compliance
Compliance merupakan indikator toleransi otak terhadap peningkatan ICP. Ketika compliance pasien terlewati, akan terjadi peningkatan dramatis pada tekanan/ kurva volume, menyebabkan peningkatan ICP yang cepat. b. Aliran darah serebral Pada otak yang mengalami cedera, aliran darah serebral ( cerebral blood flow / CBF) diatur untuk memasok oksigen dan substrat yang cukup ke otak. Faktor fisiologis tertentu seperti hiperkarbia, asidosis dan hipoksemia menyebabkan vasodilatasi, yang menyebabkan peningkatan CBF. Aktivitas kejang dan demam akan meningkatkan tingkat metabolisme otak dan CBF. c. Tekanan perfusi serebral Tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan di mana otak mendapatkan perfusi. CPP memungkinkan pengukuran tidak langsung terhadap kecukupan CBF. Hal ini dihitung dengan mengukur perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) dan ICP (MAP - ICP), di mana MAP = 1/3 tekanan sistolik ditambah 2/3 tekanan diastolik. Nilai CPP normal yang umumnya diterima sebagai tekanan minimal yang diperlukan untuk mencegah iskemia adalah: orang dewasa > 70 mmHg; anak > 50-60 mmHg; bayi/ balita > 40-50 mmHg. CPP < 40 mmHg adalah prediktor yang bermakna dari mortalitas pada anak dengan TBI.
Peningkatan Tekanan Intrakranial Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan oleh peningkatan volume otak (edema serebral), darah (perdarahan intrakranial), lesi desak ruang, atau CSF
(hidrosefalus). Edema serebral adalah penyebab paling penting dari peningkatan ICP pada cedera otak non-trauma seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP), serta ensefalopati sistemik dan metabolik. Edema serebral vasogenik terjadi karena cedera pada sawar darah otak dan peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar daerah cedera atau peradangan terutama pada infeksi SSP. Edema otak interstisial terjadi k arena peningkatan tekanan hidrostatik dari CSF dan sering terlihat pada pasien dengan hidrosefalus obstruktif atau produksi CSF berlebihan. Edema otak sitotoksik (pembengkakan seluler) terjadi setelah iskemia otak dan hipoksia menyebabkan kerusakan sel ireversibel dan kematian. Pembengkakan osmolar dapat terjadi karena peningkatan beban osmolar lokal di sekitar fokus nekrotik yang disebabkan oleh infark atau kontusio, dan mungkin karena peningkatan volume darah serebral (hiperemi) pada infeksi SSP. Etiologi primer bisa berasal dari intrakranial atau ekstrakranial.
Jika penyebab primer peningkatan ICP berasal dari intrakranial, normalisasi ICP tergantung pada kecepatan mengatasi gangguan otak yang mendasarinya. Peningkatan ICP juga dapat terjadi setelah prosedur bedah saraf. Hipertensi intrakranial yang terjadi setelah cedera otak traumatis (traumatic brain injury / TBI) bersifat multifaktorial:2 trauma
akibat hematoma epidural atau subdural, kontusio hemoragik, dan f raktur depresi tengkorak, edema serebral (penyebab paling penting setelah hematoma), hiperemia akibat hilangnya autoregulasi, hipoventilasi yang menyebabkan hiperkarbia dan vasodilatasi serebral, hidrosefalus akibat terhalangnya aliran CSF atau penyerapannya, peningkatan tekanan intra-toraksik atau intra-abdomen sebagai akibat dari ventilasi mekanik, posturing , agitasi, atau manuver Valsava.
Prosedur Pemantauan Tekanan Intrakranial Pada gilirannya CBF tergantung pada tekanan perfusi serebral (CPP) yang berhubungan dengan tekanan intrakranial (ICP-lebih mudah untuk diukur). Kisaran normal ICP bervariasi sesuai dengan usia (pada orang dewasa < 10 -15 mmHg). Pemantauan ICP dapat berupa teknik invasif dan memiliki beberapa risiko yang terkait. Indikasi pemantauan ICP adalah sebagai berikut:3,4 kriteria neurologis: cedera kepala berat (GCS <= 8), hasil CT-scan abnormal pada saat masuk (kontusio, edema serebral, hematoma dengan atau tanpa pergeseran garis tengah > 5mm/ terdapat kompresi cisterna atau t idak), hasil CT-scan normal, tetapi memiliki lebih dari 2 faktor risiko berikut: usia > 40 tahun, menunjukan postur deserebrasi atau dekortikasi pada pemeriksaan motorik (unilateral atau bilateral), tekanan darah sistolik < 90 mmHg. Berdasarkan prosedur yang harus dilakukan, terdapat dua metode pengukuran ICP -) Metode pengukuran ICP invasif Pengukuran ICP dapat dilakukan di berbagai lokasi anatomi intrakranial; intraventricular, intraparenkimal, epidural, subdural dan subaraknoidal. Pada pasien dengan aliran CSF yang terbuka/ terhubung (communicating ), dalam kondisi tertentu ICP dapat dinilai melalui pungsi lumbal. a. Drainase Eksternal Ventrikel (external ventricular drainage/ EVD) Pemantauan invasif menggunakan teknik EVD, di mana kateter ditempatkan ke salah satu ventrikel melalui burr-hole. Teknik ini juga dapat digunakan untuk drainase dari CSF dan pemberian obat intratekal, misalnya pemberian antibiotik dalam kasus ventrikulitis. Tergantung pada ukuran ventrikel, penempatan EVD mungkin sulit, terutama pada pasien muda dengan sistem ventrikel yang sangat sempit. Kesalahan penempatan kateter juga dapat mengakibatkan cedera pada struktur otak yang penting, misalnya ganglia basal, talamus, kapsula interna dan bahkan penetrasi pada ventrikel ketiga. b. Alat pemantau ICP microtransducer Merupakan perangkat pemantau ICP invasif dapat dibagi ke dalam perangkat
serat optik, perangkat strain gauge dan sensor pneumatik. Perangkat serat optik, seperti Camino ICP Monitor , mentransmisikan cahaya melalui serat optik menuju cermin displaceable. Codman MicroSensor , Raumedic Neurovent-P ICP sensor dan Pressio sensor termasuk ke dalam grup perangkat piezoelektrik strain gauge. Ketika transduser digerakkan oleh perubahan ICP, terjadi perubahan resistensi dan ICP dapat dihitung. Pneumatic sensor (Spiegelberg) menggunakan balon kecil di ujung distal kateter untuk mendeteksi perubahan tekanan, dan memungkinkan pengukuran kuantitatif peningkatan tekanan intrakranial. ICP microtransducers yang paling banyak digunakan, adalah ICP intraparenkimal, biasanya ditempatkan di daerah frontal tepat pada kedalaman sekitar 2 cm.
-) Metode Non Invasif Metode pengukuran ICP non-invasif terlihat menggiurkan, yaitu dilihat dari komplikasi yang dapat dihindari dalam pemasangan metode invasif yang dapat menyebabkan perdarahan dan infeksi. a. Transcranial Doppler Ultrasonography (TCD) Teknik TCD menggunakan USG untuk awalnya mengukur kecepatan aliran darah pada arteri serebri media. Rasio selisih antara kecepatan aliran sistolik dan diastolik, dibagi dengan kecepatan aliran rata-rata, disebut Pulsatility Index (PI): PI = (kecepatan aliran sistolik - kecepatan aliran diastolik) / kecepatan aliran rata-rata. b. Tympanic Membrane Displacement (TMD) Teknik ini mengambil keuntungan dari hubungan anatomis CSF dan perilimfa melalui saluran perilimfatik. Stimulasi refleks stapedial menyebabkan gerakan dari membran timpani, yang terbukti berkorelasi dengan ICP. Stapes bersandar pada oval window , yang ditutupi oleh membran. Membran ini fleksibel, artinya tekanan cairan dalam koklea mempengaruhi posisi membran dan stapes serta bagaimana mereka bergerak.
Penatalaksanaan Tekanan Intrakranial Pengukuran ICP adalah standar baku pada neurocritical care. Estimasi tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah inti dari terapi hipertensi intrakranial yang diarahkan oleh ICP/ CPP, t erutama pada cedera otak traumatik yang parah (severe traumatic brain injury / severe TBI). Perhitungan CPP dilakukan dengan pengukuran ICP intraventricular atau intraparenkimal dan pemantauan tekanan arteri rata-rata ( mean arterial pressure/ MAP) invasif, menurut persamaan CPP = MAP-ICP. Manajemen medis tekanan intrakranial yang meningkat mencakup sedasi, drainase cairan serebrospinal, dan osmoterapi baik dengan manitol atau garam hipertonik. Untuk
hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap manajemen medis awal, koma yang diinduksi barbiturat, hipotermia, atau kraniektomi dekompresif harus dipertimbangkan. Pasien dengan berbagai kelainan intrakranial - termasuk cedera otak traumatis, stroke, perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, dan tumor otak - sering terjadi peningkatan tekanan intrakranial progresif. Edema otak pasca trauma adalah hasil dari berbagai mekanisme sekunder dan pilihan perawatan terbatas pada osmoterapi dan dekompresi bedah. Obat farmakologis yang mempengaruhi berbagai mekanisme sekunder masih dalam tahap pengembangan awal, yang paling menjanjikan adalah aquaporin 4 channel inhibitors
KONSEP TREPANASI
Pengertian
Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yangbertujuan mencapa i otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Indikasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal b. Mengurangi tekanan intracranial c. Mengevaluasi bekuan darah d. Mengontrol bekuan darah e. Pembenahan organ-organ intracranial f.
Tumor otak
g. Perdarahan h. Peradangan dalam otak i.
Trauma pada tengkorak
Teknik Operasi
a. Positioning Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya. b. Washing Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi. c. Markering Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII ( kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita). d. Desinfeksi Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril. e. Operasi
Manifestasi Klinis Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) :
Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema.
Perubahan bicara, msalnya: aphasia
Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi.
Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
Perubahan dalam seksual
Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).
Sakit kepala
Nausea atau muntah proyektil
Pusing
Perubahan mental
Kejang
Pemeriksaan Penunjang Untuk membantu menentukan lokasi tumor yang tepat, sebuah deretan pengujian dilakukan. a. CT-Scan memberikan info spesifik menyangkut jumlah, ukuran, dan kepadatan jejas tumor, serta meluasnya edema serebral sekunder. b. MRI membantu mendiagnosis tumor otak. Ini dilakukan untuk mendeteksi jejas tumor yang kecil, alat ini juga membantu mendeteksi jejas yang kecil dan tumor-tumor didalam batang otak dan daerah hipofisis. c. Biopsy stereotaktik bantuan computer (3 dimensi) dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis. d. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral. e. EKG dapat mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
Komplikasi Post Operasi
a. Edema cerebral. b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral. c. Hypovolemik syok. d. Hydrocephalus. e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus). f.
Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
b. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi. c. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini d. Infeksi Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
Penatalaksanaan a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan. b. Mempercepat penyembuhan. c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi. d. Mempertahankan konsep diri pasien. e. Mempersiapkan pasien pulang.
Perawatan Pasca Pembedahan a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage. c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, d. jangan sampai drain tercabut. e. Perawatan luka operasi secara steril. f.
Makanan Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika: - Perut tidak kembung - Peristaltik usus normal - Flatus positif - Bowel movement positif g. Mobilisasi Pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini. h. Pemenuhan kebutuhan eliminasi -
Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
-
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi retensio urine.
·
Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusia abdomen bawah (distensi bulibuli).
·
Dower catheter a kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam a
i.
Sistem Gastrointestinal : -
Mual muntah a 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
·
Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
·
Kaji paralitic ileus a suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.
·
Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
-
Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
·
Meningkatkan istirahat.
·
Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
·
Memonitor perdarahan.
·
Mencegah obstruksi usus.
·
Irigasi atau pemberian obat.
Kriteria Evaluasi a. Tidak timbul nyeri luka selama penyembuhan. b.
Luka insisi normal tanpa infeksi. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali. Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut. Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka :
Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.
Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
Pencegahan infeksi.
Pengembalian Fungsi fisik.
c. Tidak timbul komplikasi. d.
Pola eliminasi lancar.
e. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat. f.
Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal.
g. Sebelum pulang, pasien mengetahui tentang : ·
Pengobatan lanjutan.
·
Jenis obat yang diberikan.
·
Diet.
·
Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah
·
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN POST TREPANASI
1. Pengkajian Primary Survey a. Airway - Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi. - Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung. - Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan. b. Breathing - Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. - Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat. - Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi. c. Circulating: - Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). - Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan. d. Disability : berfokus pada status neurologi - Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tandatanda vital. - Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah. e. Exposure Kaji
balutan
bedah
pasien
terhadap
adanya
perdarahan
Secondary Survey : Pemeriksaan fisik
a. Abdomen. Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit. Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal. b. Ekstremitas Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat. c. Integumen. Kulit keriput, pucat. Turgor sedang d. Pemeriksaan neurologis Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Tersiery Survey
a. Kardiovaskuler Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235. b. Brain Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks dalam batas normal.
c. Blader Klien terpasang doewer chateter urine meliputi jumlah dan warna
2. Diagnosa Keperawatan a. Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi. b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi. c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk. d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan. e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi. f.
Pola nafas inefektif berhubungan dengan efek anastesi.
g. Bersihan jalan napas inefektif berhubungan dengan penumpukan secret. h. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan efek anastesi. i.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah.
3. Rencana Intervensi Keperawatan a.
Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa nyeri dapat teratasi atau tertangani dengan baik. Kriteria hasil:
Melaporkan rasa nyeri hilang atau terkontrol.
Mengungkapkan metode pemberian menghilang rasa nyeri.
Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dan aktivitas hiburan sebagi penghilang rasa nyeri. Intervensi
Rasional
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, skala
Berguna dalam pengawasan keefektifan
(0-10). Selidiki dan laporkan perubahan
obat, kemajuan penyembuhan. perubahan
nyeri dengan tepat.
pada
karakteristik
nyeri
menunjukkan
terjadinya abses. Pertahankan posisi istirahat semi fowler.
Mengurangi
tegangan
abdomen
yang
bertambah dengan posisi telentang. Dorong ambulasi dini
Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh
merangsang
kelancaran
flatus,
peristaltic dan
dan
menurunkan
ketidaknyamanan abdomen. Berikan kantong es pada abdomen
Menghilangkan melelui
dan
mengurangi
penghilangan
ujung
nyeri saraf.
catatan:jangan lakukan kompres panas karena
dapat
menyebabkan
kongesti
jaringan Berikan analesik sesuai indikasi.
Menghilangkan nyeri mempermudah kerja sama dengan intervensi terapi lain.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi. Tujuan: Setelah diberikan tindakan pasien tidak mengalami gangguan integritas kulit. Kriteria hasil:
Menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu. pasien menukjukkan
Pasien menunjukkan perilaku untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi. Intervensi
Rasional
Kaji dan catat ukuran, warna, keadaan
Mengidentifikasi terjadinya komplikasi
luka, dan kondisi sekitar luka. lakukan kompres basah dan sejuk atau
merupakan tindakan protektif yang dapat
terapi rendaman.
mengurangi nyeri.
lakukan perawatan luka dan hygiene
Memungkinkan
sesudah
bergerak dan meningkatkan kenyamanan
mandi,
lalu
keringkan
kulit
dengan hati hati.
pasien
lebih
bebas
pasien
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien diharapkan tidak mengalami infeksi. Kriteria hasil:
Tidak menunjukkan adanya tanda infeksi.
Tidak terjadi infeksi. Intervensi awasi
Rasional
tanda-tanda
demam,
menggigil,
vital,
perhatikan
berkeringat
Deteksi dini adanya infeksi.
dan
perubahan mental dan peningkatan nyeri abdomen. Lihat
lika
insisi
dan
balutan.
catat
Memberikan deteksi dini terjadinya proses
karakteristik, drainase luka.
infeksi.
Lakukan cuci tangan yang baik dan
Menurunkan penyebaran bakteri
lakukan perawatan luka aseptik. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
diberikan
secara
profilaktif
untuk
menurunkan jumlah organisme, dan untuk menurunkan
penyebaran
dan
pertumbuhannya
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan. Tujuan: Setelah dilakukan perawatan tidak terjadi gangguan perfusi jaringan. Kriteria hasil:
Tanda-tanda vital stabil.
Kulit klien hangat dan kering
Nadi perifer ada dan kuat.
Masukan atau haluaran seimbang Intervensi
Rasional
Observasi
ekstermitas
terhadap
pembengkakan, dan eritema.
Tirah baring lama dapat mencetuskan statis
venadan
meningkatkan
resiko
pembentukan trombosis. Evaluasi
status
mental.
perhatikan
terjadinya hemaparalis, afasia, kejang,
Indikasi yang menunjukkan embolisasi sistemik pada otak.
muntah dan peningkatan TD
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat. Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil.
Mukosa lembab
Turgor kulit/ pengisian kapiler baik.
Haluaran urine baik Intervensi
Rasional
Observasi intake dan out put cairan.
memberikan
informasi
tentang
penggantian kebutuhan dan fungsi organ Awasi TTV, kaji membrane mukosa,
indicator keadekuatan volume sirkulasi/
turgor kulit, membrane mukosa, nadi
perfusi
perifer dan pengisian kapile Observasi
hasil
pemeriksaan
laboratorium
Memberikan informasi tentang volume sirkulasi,
keseimbangan
cairan
elektrolit Berikan cairan IV atau produk darah sesuai indikasi
Mempertahankan volume sirkulasi
dan
DAFTAR PUSTAKA Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing . Sixth Edition. J.B. Lippincott Campany, Philadelpia. Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC, Jakarta. Carolyn M. Hudak, Barbara M. Gallo (1996), Keperawatan Kritis; Pedekatan