KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan bimbingan dan dorongan dari beberapa pihak, baik berupaa mental maupun moril, laporan ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ketua Sistem Imunologi Dr. Elyusrar, PhD 2. Tutor modul imunodefisiensi, Dr. Rizka H. Saenong, SpKK. 3. Teman-teman kelompok 4 yang tidak bisa disebutkan satu per satu 4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang telah membantu demi kelancaran penyusunan laporan ini. Sekiranya semua bantuan dari pihak-pihak terkait mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, kami sudah berusaha dengan segala kemampuan untuk menyusun laporan ini dengan sebaik-baiknya. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan modul ini. Semoga laporan modul ini dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu kedokteran.
Jakarta, 4 Juni 2014
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 1 DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3 I.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 3 I.2 Tujuan Pembelajaran ................................................................................................ 3 I.3 Tujuan Instruksional ( TIK ) ..................................................................................... 3 BAB II ANALISA MASALAH ............................................................................................. 4 II.1 Skenario 2 ................................................................................................................ 4 II.2 Kata Sulit ................................................................................................................. 4 II.3 Kata/Kalimat Kunci ................................................................................................. 4 II.4 Problem Tree ........................................................................................................... 5 II.5 Identifikasi Permasalahan dan Pertanyaan .............................................................. 6 BAB III PEMBAHASAN III.1 Definisi Imunodefisiensi ........................................................................................ 7 III.2 Klasifikasi Imunodefisiensi Spesifik ..................................................................... 8 III.3 Klasifikasi Imunodefisiensi Non Spesifik ............................................................ 14 III.4 Penyakit-Penyakit pada Hipersensitivitas ............................................................ 20 III.5 Definisi HIV & AIDS……………………………………………...…………….23 III.6 Diagnosis Terkait Imunodefisiensi………………………………………………39 KESIMPULAN……………………………………………………………………………..41 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 42
2
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul, dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.. Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan makanan yang mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraselular dengan menggunakan sumber energi sel penjamu. Baik mikroba ekstraselular maupun intraselular dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk penjamu.
I.2 Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang konsep-konsep dasar imunodefisiensi, sehingga dapat menjelaskan peran sistem imun pada manusia sehat dan yang mengalami gangguan imunodefisiensi.
I.3 Tujuan Instruksional Khsusus ( TIK ) Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa akan dapat : 1. Menjelaskan definisi dari imunodefisiensi. 2. Menjelaskan klasifikasi imunodefisiensi menjadi spesifik dan non spesifik. 3. Menjelaskan diagnosis dari imunodefisiensi. 4. Menjelaskan penyakit-penyakit pada imunodefisiensi.
3
BAB II ANALISA MASALAH
II.1 Skenario 2 Seorang wanita 27 tahun, belum menikah, datang ke dokter dengan keluhan meriang, menggigil, sakit kepala, kadang – kadang disertai batuk sejak satu minggu yang lalu. Tenggorokan terasa panas, kelenjar di leher dan ketiak terasa membesar. Menyangkal pernah memakai obat narkoba suntik. Beberapa kali berganti pacar, diakui pernah melakukan hubungan dengan pacar terakhir, kira – kira 6 bulan yang lalu. Laki – laki tersebut kemudian mengakui mengidap HIV positif. Penderita segera melakukan test HIV, hasilnya negatif.
II.2 Kata Sulit : -
II.3 Kata/Kalimat Kunci -
Wanita 27 tahun belum menikah.
-
Meriang, menggigil, sakit kepala, batuk sejak 1 minggu yang lalu.
-
Tenggorokan terasa pana, kelenjar di leher dan ketiak terasa membesar.
-
Beberapa kali ganti pacar, terakhir berhubungan dengan laki – laki pengidap HIV positif.
-
Test HIV penderita negative.
4
II.4 Problem Tree
imunodefisiensi
definisi
klasifikasi
diagnosis
spesifik
non spesifik
defisiensi primer
defisiensi komplemen
defisiensi fisiologik
defisiensi interferon & lisozim
defisiensi sekunder
defisiensi NK
AIDS
sistem fagosit
5
II.5 Identifikasi Permasalahan dan Pertanyaan 1. Jelaskan definisi imunodefisiensi ! 2. Jelaskan klarifikasi primer imunodefisiensi spesifik ! 3. Jelaskan klarifikasi primer imunodefisiensi non spesifik ! 4. Jelaskan klasifikasi imunodefisiensi sekunder ! 5. Jelaskan mengenai HIV & AIDS ! 6. Jelaskan mengenai diagnosis terkait imunodefisiensi ! # Menjelaskan kesimpulan terkait scenario di atas !
6
BAB III PEMBAHASAN III.1 Jelaskan definisi imunodefisiensi! Jawab : Imunodefisiensi adalah keadaan yang terjadi saat respon imun yang terlalu lemah dan kurang aktif dari biasanya yang menyebabkan mnculnya infeksi. Penyakit imunodefisiensi terjadi jika sistem imun gagal berespons secara adekuat terhadap invasi asing. Penyakit ini dapat bersifat kongenital atau didapat, dan mungkin hanya mengganggu imunitas yang diperantai oleh antibodi, imunitas yang diperantarai oleh sel, atau keduanya.2 Imunodefisiensi : Defek salah satu komponen system imun yang dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal.1 Adanya defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut: a. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya tergantung dari komponen sistem imun yang defektif. b. Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker tertentu. c. Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspefik dan spesifik. d. Yang merupakan paradoks adalah bahwa imunodefisiensi tertentu dengan peningkatan insidens autoimunitas. Mekanismenya tidak jelas, diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr (T regulator).1 Defisiensi imun primer relatif jarang dan yang sekunder lebih sering terjadi dan disebabkan berbagai faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit. Organ tubuh yang sering terkena adalah saluran napas yang diserang bakteri piogenik dan jamur. IgA yang defisien dapat mengakibatkan infeksi kronik saluan napas. Gejala lain yang dapat terjadi pada defisiensi imun adalah ruam kulit, diare, pertumbuhan yang terganggu, hati dan limpa yang membesar, abses rekuren atau osteomielitis. Jenis kuman yang menimbulkan infeksi tergantung dari komponen sistem imun yang defisien. Infeksi yang berulang atau infeksi yang tidak umum merupakan pertanda penting adanya defisiensi imun.1
7
III.2 Jelaskan imunodefisiensi system imun spesifik! Gangguan dalam sistem imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik dan di dapat. 1. Defisiensi Kongenital atau Primer Defisiensi imun1 spesifik kongenital sangat jarang terjadi. Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri. Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan menghancurkan pathogen, biasanya timbul dengan infeksi bakteri rekuren. Penyakit komplemen menunjukan defek dalam jalur aktifasi klasik, alternative dan atau lektin yang meningkatkan mekanisme pertahanan pejamu spesifik. a. Defisiensi Imun Primer Sel B Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B. berbagai akibat dapat ditemukan seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig / semua Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG lebih mudah menjadi sakit dibandingan dengan yang hanyamenderita defisiensi kelas Ig tertentu saja. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk menentukan pada berbagai kelas dan subkelas Ig. Istilah agamaglobulinea (tidak ada Ig sama sekali) sebenarnya tidak benar. Oleh karena pada defisiensi ini biasanya masih ada kadar Ig yang rendah terutama IgG. Oleh karena itu sebaiknya disebut hipogamaglobulinemia. i.
X-linked Hypogamaglobulinemia
Bruton pada tahun 1952 menggambarkan penyakit yang disebutnya agamaglobulinemi Bruton yang X-linked dan hanya terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit jarang terjadi (1/100.000), biasanya Nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Pada usia terbseut, bayi mulai menderita nfeksi bakteri berulang. Pemeriksaan imunologi menunjukan tidak adanya Ig dari semua kelas Ig. Darah, ST, limfa, dan KGB tidak mengandung sel B. kerusakan utama adalah oleh karena pre Sel B yang ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang. Bayi dengan defisiensi sel B menderita otitis media rekuren, bronchitis, septikemi, pneumoni, artritis, meningitis dan dermatitis. Kuman penyebab pada umunya adalah H.influenza dan S.pneumoniae. sering pula ditemukan syndrome mal-absorbsi oleh karen a G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna. Antibiotic biasanya tidak menolong. Pemberian IgG yang periodik memberikan hasil yang efektif ntuk 20 – 30 thaun. Prognosis nya buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik. ii.
Hipogamaglobulinemia Sementara
8
hipogamaglobulinemia sementra dapat terjadi pada bayi bila sintesis terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th. Penyakit ditemukan pada bayi melalui masa hipogamaglobulinemia antara 6 – 7 bulan. Banyak bayi menderita infeksi saluran napas rekuren pada masa tersebut. Beberapa bayi mengalami perkembangan yang terlambat dalam sintesis IgG. Bayi sering menderita infeksi kuman piogenik positif-gram (kulit, selaput otak, saluran nafas). Keadaan membaik sendiri, biasanya pada usia 16 – 30 bulan. Terapinya adalah pemberian antibiotic, gamaglobulin, atau keduanya. Pada usia 5- 6 bulan kadar IgG yang berasal dari ibu mulai menurun dan bayi mulai memproduksi IgG sendiri. Kadang-kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar IgM dan IgA normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang belum makan. Pada beberapa bayi ditemukan kelebihan sel Ts. Ganggaun apat berlangung dalam beberapa bulan sampai 2 tahun. Penyakit ini tidak X-linked dan dapat dibedakan dari penyakit Bruton. Oleh karena pada yang akhir tidak ditemukan IgG dan sel B dalam darah. Pemberian Ig hanya diberikan bila terjadi infeksi berat yang rekuren. iii.
Common Variable Hipogamaglobulinemia.
CVH menyerupai hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit berhubungan dengan insiden autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal, kemmapuan produksi dan atau kemmapuan melepas Ig mengalami gangguan. Kadar Ig serum menurun seiring dengan memberat nya penyakit. Fungsi CMI biasanya membaik , teteapi kada juga defektif. CVH dapat mengenai pria maupun wanita, sebabnya belom diketahui. Penyakit dapa ttimbul setiap saat, biasanya antara usia 15 hingga 35 tahun. Penderita menunjukan peningkatan kerentanan terhadap infeksi kuman pyogenic. Selain itu ditemukan pula penyakit autimun. Seperti halnya pdengan penyakit Bruton, kadr semua kelas Ig sangat menurun. Bedanya adalah bahwa penderita CVH mengandung sel B tetapi tidak mampu berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Ig. Beberapa penderita menunjukan kelebihan sel Ts yang menggangu respon sel B. Pengobatan adalah dengan memberika Ig bila disertai infeksi yang terus menerus atau berulang kali. beberapa penderita dapat hidup sampai usia 70-80 tahun. Wanita dengan penyakit tersebut dapathamil dan melahirkan bayi dengan normnal meskipun tidak ada Ig yang dialihkan ke anak. iv.
Defisiensi Immunoglobulin yang Selektif (Disgamaglobulinemia)
disgamaglobulinemia adalah penurunan kadar 1 atau lebih Ig, sedang kada Ig yang lain adalah normal atau meningkat. Ddefisiensi IgA selektif ditemukan pada satu dari 700 orang dalam masyarakat dan merupakan defisiensi imun tersering. Klinis menunjukan gambar infeksi sinopulmoner dan gastroinstestinal rekuren yang disebabkan virus atau bakteri. Hal tersebut menunjukan tidak adanya proteksi dari IgA pada permukaan 9
membrane mukosa. Penderita juga menunujukan peningkatan insidens autoimun, keganasan dan alergi. Anehnya ialah bahwa penderita diantara tetap sehat. Pengobatannya yaitu dengan antibiotic spectrum luas. Prognosis pada umunya baik dan penderita dapat mencapai usia lanjut. Kadar serum IgA rendah, tetapi kadar IgG, IgM adalah normal atau meningkat. Ditemukan sel B yang mengandung IgA tetapi defek dalam kemampuan melepas Ig. HGG sebaiknya tidak diberikan oleh karena penderita dengan kada IgA yang sangat rendah daapat membentuk antibody ( IgG atau IgE) terhadap IGA dan menimbulkan sensitasi anafilaksis pada resepien tanpa IgA. Terapi agresif dengan antibiotic harus deiberikan untuk mengontrol infeksi. Defisensi IgM merupakan hal yang jarang terjadi. Penderita sering menunjukan infeksi kuman yang mengandung polisakarida dalam membrane sel nya seperti pneumokok dan influenza. Defisiensi IgG selektif leboh jarang ditemukan. b. Defisiensi Imun Primer Sel T penderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadap aktivasi dan proliferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai pula dengan gangguan produksi Ig yang nampak dari tidak adanya respon terhadap vaksinasi. i.
Aplasi Timus Kongenital (Sindrom DiGeorge) Penyebab sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel T dengan sebab tidak diketahui. Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T dalam darah, KGB dan limpa. Defisiensi tersebut disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dan lengkung faring ketiga dan empat, yang terjadi pada sekitar 12minggu sesudah gestasi. Baik kelenjar timus maupun kelenjar paratiroid terkena. Bayi menunjukan gejala hipokalsemi selama 24 jam pertama setelah kelahiran disertai dengan kelainan jantung dan ginjal kongenital. Bayi dengan sindrom DiGeorge juga menunjukan infeksi kronik oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan mikobakteria rekuren. Hipoparatiroidesm dapat menimbulkan tetani hipokalsemia. Penampilan muka berubah, berbentuk mulut ikan dengan letak telinga rendah meskipun sel B, sel plasma dan keadaan Ig dalam serum normal, banyak penderita dengan sindrom DiGeorge tidak mampu membentuk antibody setelah vaksinasi. Pengobatannya ialah dengan transplantasi dengan timus fetal. Perbaikan terjadi dengan timbulnya sel T 1 minggu kemudian. Timus fetal yang digunakan hendaknya tidak lebih tua dari 14minggu agar dapat menghindari reaksi GVH yang terjadi bila limfosit matang diberikan ke donor yang imuno defisiensi. Prognosisnya buruk jika tidak diobati.
ii.
Kandidiasis Mukokutan Kronik 10
KMK3 adalah infeksi jamur biasa yang non patogenik seperti K.albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita menunjukan imunitas seluler yang normal terhadap mikro organisme selain candida dengan imunitas humoral yang normal. Jumlah limfosit total normal, tetapi sel T menunjukan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap antigen candida, meskipun respon terhadap antigen lain normal reaksi kulit lambat atau DTH terhadap candida juga negative. Transplantasi timus memberikan hasil yang bervariasi. Penderita perlu di observasi sejak awitan disfungsi endokrin, terutama penyakit Addison yang merupakan penyebab utama kematian. Penyakit tersebut mengenai pria dan wanita terutama anak. KMK biasanya disertai disfungsi berbagai kelenjar endokrin seperti andrenal dan paratiroid. Respon antibody dan antifungal terhadap candida normal. c. Defisiensi Kombinasi Sel B dan Sel T yang Berat i.
Severe Combine Imuno Deficiency Diasease SCID adalah defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat. Penderita dengan SCID rentan terhadap sakit hati, infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoa terutama CMV, pneumocystis karini dan candida gejala mulai terlihat pada usia muda dan bila tidak diobati jarang dapat hidup melebihi usia 1 tahun. Tidak adanya sel B dan T terlihat dari limfositopenia. Kepada penderita dengan SCID tidak boleh diberikan vaksin hidup / dilemahkan oleh karena dapat fatal. Bayi dapat ditolong dengan transpaltasi sumsum tulang.
ii.
Sindrom Nezelof sindrom nezelof adalah golongan penyakit dengan gambaran imun yang sama. Semua penderita dengan sindrom ini rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba. Imunitas sel T Nampak jelas menurun. Defisiensi sel B variable dan keadan Ig spesifik dapat rendah, normal atau meningkat. Respon antibody terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada.
iii.
Sindrom Wiskott-Aldrich WAS menunjukan trombositopeni, ekzem dan infeksi rekuren oleh mikroba, IgM serum rendah, kadar IgG normal sedangkan IgA dan IgE meningkat. Isohemaglutinin ditemukan dalam jumlah sedikit atau tidak ada. Jumlah sel B normal, tidak memberikan respons terhadap antigen polisakarida untuk memproduksi antibody. Imunitas sel T biasanya baik pada fase dini, tetapi mengurang dengan progress penyakit. WAS mengenai usia muda dengan gejala trombositopenia, ekzim dan infeksi rekuren. Sering terjadi perdarahan dan infeksi bakteri yang rekuren dan menimbulkan, otitis media, meningitis serta pneumoni akibat kadar IgM yang rendah dalam serum hal ini mungkin 11
disebabkan oleh karena penderita tidak mampu memberikan respons terhadap antigen polisakarida, disamping ada kerentanan terhadap leukemia. Pengobatannya adalah dengan antibiotic dan transpaltasi sumsum tulang. iv.
Ataksia Telangiektasi AT adalah penyakit autosomal resesif mengenai syaraf, endokrin dan sistem vascular. Ciri klinisnya berupa gerakan potot yang tidak terkoordinasi dan dilatasi pembuluh darah kecil yang jelas dapat dilihat disklera mata, limfopenia, penurunan IgA, IgE, dan kadang-kadang IgG. Penyakit timbul pertama pada anak dibawah usia 2tahun dan berhubungan dengan infeksi sinopulmoner berulang. Pada penderita yang lebih tua dapat timbul karsinoma.
v.
Defisiensi Adenosine Deaminase Adenosine deaminase tidak ditemukan dalam semua sel. hal ini berbahaya oleh karena bila hal itu terjadi, kadar bahan toksik berupa ATP dan deoksi ATP dalam sel limfoid akan meningkat.
2. Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik a. Kehamilan Defisiensi imun selular 4 dapat ditermukan pada kehamilan. Keadaan ini mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen paternal. Hal tersebut antara lain disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh esterogen. IgG diangkat melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu. b. Usia Tahun Pertama Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai 5tahun masih belum matang. Meskipun neonates menunjukan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naïf dan tidak memberikan respons yang adekuat terhadap antigen. Antibody janin disintesis pada awal minggu ke 20, tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia sekitar 5 tahun. Pada usia beberapa bulan pertama, bayi tergantung pada IgG Ibu. Susu Ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman botol 60x lebih beresiko untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan pertama. Bayi premature lebih mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit menerima immunoglobulin Ibu selama akhir-akhir kehamilan. c. Usia Lanjut Golongan usia lanjut lebih sering mendapat infeksi disbanding usia muda. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat involusi timus, jumlah sel T naïf dan kualitas respons sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin 12
sulit untuk berkembang. Terutama sel CD8 dan sel Th1 sangat menurun, diduga oleh karena aktivitas apoptosis. Sitokin Th2, IL-6 meningkat sedang IL-2 menurun. Defisiensi selular sering disertai dengan meningkatnya kejadian kanker, kepekaan terhadap infeksi misalnya tuberkolosis, herpes zoster, gangguan penyembuhan infeksi dan fenomena autoimun. Penyakit autoimun yang sering timbul pada usia lanjut disebabkan oleh penurunan aktivias sel T. pada usia 60 tahun, jaringan timus hamper seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hamper hilang. Jadi pejamu tergantung dari persediaan sel T yang sudah diproduksi sebelum nya pada usia muda. Juga dengan berkurang nya repertoire, kemampuan sel T pada usia lanjut untuk berkembang adalah terbatas. Hal itu akan menurunkan respons CMI. Pada usia lanut, imunitas humoral juga menurun yang terlihat dari perubahan dalam kualitas respons antibody yang mengenai : Spesifisitas antibody dari autoantigen asing Isotope antibody dari IgG dan IgM Afinitas antibody dari tinggi menjadi rendah Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel T untuk menginduksi pematangan sel B. disamping itu terjadi penurunan produksi sel B dalam sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun menunjukan respons terhadap mikroba seumur hidup. Sintesis immunoglobulin meningkat dan adanya pertumbuhan klon sel B dapat menimbulkan para-protein atau keganasan sel B. proses tersebut dipacu oleh virus Epstein-Barr. Autoantibodi juga lebih sering ditemukan pada usia lanjut. Menurunnya respons imun akan menurunkan pulsa respons terhadap vaksinasi, sehingga risiko infeksi pada usia lanjut akan meningkat. Nutrisi buruk pada usia lanjut cenderung menimbulkan defisiensi imun sekunder yang ringan namun berarti.
13
III.3 Jelaskan definisi klasifikasi imunodefisiensi non-spesifik! Defisiensi Komplemen6 Seperti yang diketahui, system komplemen sangat penting dalam pembunuhan bakteri, opsonisasi (Imuglobulin yang normalnya berikatan dengan dinding bakteri) dan kemoktasis. Di samping itu sangat perlu untuk mencegah timbunan kompleks imun dalam jaringan. Oleh karena itu defisiensi dalam komponen komplemen dapat memberikan akibat dalam berbagai bentuk mulai dari infeksi bakteri berulang sampai peningkatan kepekaan terhadap penyakit autoimun. Sebaliknya kelebihan salah satu komponen komplemen ataupun kekurangan faktor penghambat aktivasi komplemen dapat pula mengakibatkan berbagai penyakit parah. Kerusakan genetik memiliki kaitan dengan komponen-komponen tertentu dari komplemen. Kerusakan ini diwariskan secara resesif melalui autosom, sedang pada orang yang heterozigot akan memberikan manifestasi produksi komponen bersangkutan sebanyak separuhnya. Defisiensi komponen komplemen C1 atau C2 dan C4 menunjukkan keterkaitan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita yang gejalanya mirip dengan SLE (Sistemik Lupus Eritematosus). Penderita-penderita ini juga menunjukkan kepekaan terhadap infeksi. 1. Defisiensi komplemen Kongenital.5,1 Adalah defisiensi komplemen bawaan, defisiensi ini jarang terjadi, tetapi bergantung pada komponen apa yang tidak ada, dapat menyebabkan timbulnya infeksi piogenik serius berulang terutama karena bakteri berkapsul (missal, defisiensi C3, defisiensi properdin) atau meningokokus (missal, defisiensi C5, C6, C7 atau C8) atau Vaskulitis mirip SLE, terutama yang kambuhan (missal, defisiensi C1, C4, atau C2).. 1) Defisiensi inhibitor esterase C1
14
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angiodem herediter, penyakit yang di tandai dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapilar. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang sel mast melepas histamine di daerah dekat trauma yang berperan pada edem lokal. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan menimbulkan edem laring yang fatal. 2) Defisiensi C2 dan C4 Defisiensi ini dapat menimbulkan penyakit serupa SLE, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen. 3) Defisiensi C3 Defisiensi ini dapat menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti streptokok dan stafilokok. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak di produksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b tidak diendapkan di membrane dan terjadi gangguan opsoninasi. 4) Defisiensi C5 Defisiensi ini menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis. 5) Defisiensi C6, C7, dan C8 Defisiensi ini menigkatkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme Kontrol utama dalam imunitas terhadap neseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut menunjukkan derajat infeksi neseria, sepsis, atritis yang lebih berat dan peningkatan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). 2. Defisiensi Komplemen fisiologik1 Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonates yang disebabkan kadar C3, C5 dan factor B yang masih rendah.
3. Defisiensi komplemen yang didapat. 15
Defisiensi komplemen yamg didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein/ kalori. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen yang meningkatkan risiko infeksi salmonella dan pneumokok. 1) Defisiensi Clq,r,s Defisiensi ini terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita SLE. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi C1 adalah edem angioneurotik herediter. Penderita tersebut tidak memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptida yang vasoaktif. Hal ini menimbulkan edem local dalam berbagai alat tubuh yang dapat fatal bila terjadi dalam larings. Danazol dan oksimetolon memacu sintesis inhibitor esterase C1 pada penderita dengan edem angioneurotik. 2) Defisiensi C4 Ditemukan pada beberapa penderita SLE. 3) Defisiensi C2 Merupakan defisiensi komplemen yang paling sering terjadi. Defisiensi tersbeut tidak menunjukkan gejala seperti telah dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita SLE. 4) Defisiensi C3 Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonephritis kronik. 5) Defisiensi C5-C8 Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan yang meningkatkan terhadap infeksi terutama neseria. 6) Defisiensi C9 Defisiensi ini sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi secara perlahan. A. Defisiensi Interferon dan lisozim. 16
1. Defisiensi interferon kongenital Defisiensi interferon kongenital dapat menimbulkan infeksi mononucleosis yang fatal. 2. Defisiensi Interferon dan lisozim Defisiensi ini dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori. B. Defisiensi Sel NK 1. Defisiensi kongenital Defisiensi sel NK kongenital telah ditemukan pada penderita dengan osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi biasanya meningkat. 2. Defisiensi yang didapat Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi. C. Defisiensi system fagosit Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrophil yang menurun. Risiko infeksi meningkat apabila jumlah fagosit turun sampai di bawah 500/mm3. Meskipun defek terutama mengenai fagosit, defisiensi fagosit juga terjadi pada PMN. 1. Defisiensi Kuantitatif Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrophil dapat disebabkan oleh pemberian depresan sumsum tulang (kemoterapi pada kanker), leukemia, kondisi genetik yang menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitor dalam sumsum tulang termasuk precursor myeloid (disgenesis reticular). Peningkatan destruksi neutrophil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin). Hipersplenisme dengan ciri destruksi fungsi limpa yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi elemen darah perifer. Asplenia (kongenital), tindakan bedah atau destruksi keganasan atau anemia sel sabit dapat meningkatkan risiko infeksi terutama septicemia oleh streptokok pneumoni dan enterobakteria. 2. Defisiensi Kualitatif 17
Defisiensi ini dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/ memakan dan membunuh mikroba intraseluler. 1) Chronic Granulomatous Disease. CGD adalah infeksi rekuren berbagai mikroba, baik negative-Gram (Escherichia, Serratia, klebsiela) maupun positif-Gram (stafilokok). CGD biasanya merupakan penyakit X-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrophil dan ketidakmampuan membentuk peroksid hydrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya. 2) Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase Defisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi yang X-linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Pada defisiensi ini, juga ditemukan anemia hemolitik. Penyakit diduga disebabkan oleh defisiensi generasi NADPH. Gejalanya dimulai terlihat pada usia di bawah dua tahun berupa kerentanan yang tinggi terhadap kuman yang biasanya mempunyai virulensi rendah seperti S.epidermidis, Seratia marsesen dan Aspergilus. Kelainan klinis yang ditemukan yaitu limfadenopati, hepatosplenomegali dan KGB yang terus mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik selain di KGB, juga terjadi di kulit, saluran cerna, hati, dan tulang. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidase NADPH tidak dibentuk peroksidase yang diperlukan untuk membunuh kuman intraseluler. 3) Defisiensi mieloperoksidase Pada beberapa penderita dengan DMP ditemukan infeksi mikroba rakuren terutama K.albikans dan S.aureus. enzim tersebut ditemukan pada neutrophil normal. Peroksidase ditemukan dalam granul sitoplasma dan dilepas ke fagosom melalui proses degranulasi yangj diikuti dengan fagositosis. Pada DMP proses tersebut terganggu sehingga kemampuan membunuh neutrophil terganggu. 4) Sindrom Chediak-Higashi SCH sangat ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokok dan stafilokok. Prognosisnya buruk dan kebanyakan penderita 18
meninggal pada usia anak. Neutrophil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan, memakan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada SCH ditemukan neutrophil dengan kemotaksis dan kemampuan membunuh yang abnormal dengan aktivitas sel NK san kadar enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi peroksid hydrogen adalah normal. 5) Sindrom Job Sindrom Job berupa pilek yang berulang (tidak terjadi inflamasi normal), abses stafilokok, eksim kronis dan otitis media. Kemampuan neutrophil untuk menelan-memakan tidak menunjukkan kelainan, tetapi kemotaksis terganggu. Kadar IgE serum sangat tinggi dan dapat ditemukan eosinophilia. 6) Sindrom Leukosit Malas (Lazy leucocyte) Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba yang berat. Jumlah neutrophil menurun, respons kemotaksis (asal nama sindrom) dan respon inflamasi terganggu. 7) Defisiensi Adhesi Leukosit Defisiensi ini merupakan penyakit imunodefisiensi yang ditandai dengan infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka. Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan endotel dan antar leukosit (agregrasi), kelmotaksi dan aktivitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksik neutrophil, sel NKnya dan sel T terganggu.
19
III.4 Jelaskan defisiensi imun didapat atau sekunder! Imunodefisiensi didapat atau sekunder sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik. 1 Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi sekunder terlibat pada table dibawah ini : Faktor-Faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder Faktor Komponen yang kena Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunan respon terhadap vaksinasi, penurunan respon sel T dan B serta perubahan dalam kualitas respon imun Malnutrisi Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi tertentu (besi, seng/Zn), sebab tersering defisiensi imun sekunder Mikroba imunosupresif Contohnya: malaria, virus campak, terutama HIV, mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan APC Obat imunosupresif Steroid Obat sitotoksik/radiasi Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga membunuh sel penting dari system imun termasuk sel induk, progenitor neutrophil dan limfosit yang cepat membelah dalam organ limfoid Tumor Efek direk dari tumor terhadap system imun melalui penglepasan molekul imunoregulator imunosupresif (TNF-β) Trauma Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan penglepasan molekul imunosupresif seperti glukokortikoid Penyakit lain seperti diabetes Diabetes sering berhubungan dengan infeksi Lain-lain Depresi; penyakit Alzheimer, penyakit celiac, sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif, makroglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastic, neoplasia 1. Infeksi Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Malaria dan rubella kongenital dapat berhubungan dengan defisiensi antibody. Campak sudah diketahui berhubungan dengan defek imunitas seluler yang menimbulkan reaktivasi tuberculosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada penderita sakit berat. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respon limfosit terhadap antigen dan nitrogen menurun. Hal yang sama dapat terjadi setelah imunisasi dengan campak. Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan bakteri dapat menekan system imun. Kehilangan imunitas selular dapat terjadi pada penyakit campak, mononucleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis, lepra, tuberculosis milier, dan parasit. 2. Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan kateterisasi dan bedah dapat menimbulkan imunokompromais. Antibiotic dapat menekan system imun. Obat 20
sitotoksik , gentamisin, amikain, tobramisin dapat menganggu kemotaksis neutrophil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Klorafenikol dapat menekan respon antibody, sedangkan rifampicin dapat menekan baik imunitas humoral maupun selular. Jumlah neutrophil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesic, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang, dan antibiotic. Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi. Penderita yang mendapat trauma ( luka bakar tindakan bedah besar/mayor ) akan kurang mampu menghadapi patogen. Sebabnya tidak jelas, mungkin karena penglepasan factor yang menekan respon imun. 3. Penyinaran Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif. 4. Penyakit berat Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang jaringan limfoid, seperti penyakit Hodgkin, myeloma multiple, leukemia, dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan system imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Immunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare. 5. Kehilangan immunoglobulin Defisiensi immunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kita kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM tetap normal. Pada diare ( limfagiektasi intestinal, protein losing enteropaty ) dan luka bakar terjadi kehilangan protein. 6. Agamaglobulinemia dengan timoma Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula menyertai agamaglobulinemia. Hal-Hal yang menimbulkan imunokompromais Faktor Predisposisi Efek Terhadap Sistem Jenis Infeksi Imun Obat atau sinar X pada Imunitas selular dan Infeksi paru,bakteremi, imunosupresi, resipien alograf humoral menurun infeksi jamur, saluran ginjal, sumsum tulang, kencing jantung, dan terapi kanker Virus imunosupresif (rubella, Replikasi virus dalam sel Infeksi bakteri sekunder herpes, EBV, virus hepatitis, limfoid yang menimbulkan protozoa pada AIDS HIV ) gangguan fungsi sel Tumor Replacement sel system Bakteremi, pneumoni, imun infeksi saluran kencing Malnutrisi Hipoplasi limfoid 21
Rokok, inhalasi (silica, spora jamur ) Penyakit endokrin (diabetes ) Defisiensi imun primer
Limfosit dalam sirkulasi menuun Kemampuan fagositosis menurun partikel Inflamasi paru, endapan kompleks imun terhadap spora jamur kronik Kemampuan fagositosis menurun Imunitas selular humoral menurun
Campak, tuberculosis, infeksi saluran napas dan cerna Infeksi saluran respon alergi
napas,
Infeksi stafilokok, tuberculosis, infeksi saluran napas, bakteremi
dan/
22
III.5 HIV dan AIDS DEFINISI HIV( Human Immunodeficiency Virus) Adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.9 Acquired Immunodeficiency Syndrom disingkat (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya kekebalan sistem imun manusia akibat dari virus HIV atau viru-virus lain yang menyerang spesiesnya. AIDS mengancam jiwa bila sel penolong T melemah atau dirusak oleh virus HIV. Sel T sendiri membantu pembentukan anti bodi-anti bodi yang melawan infeksi dalam darah.9 EPIDEMIOLOGI Statistik Kasus AIDS di Indonesia dilapor s/d Maret 2012 (Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI) 13 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin
AIDS
Laki-laki
20665
Perempuan
8339
Tak Diketahui 304 Jumlah
29308
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Faktor Risiko
AIDS 23
Heteroseksual
17267
Homo-Biseksual
948
Penasun
10165
Transfusi Darah
70
Transmisi Perinatal 846 1134
Tak Diketahui
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur Golongan Umur AIDS <1
273
1–4
419
5 – 14
200
15 – 19
1077
20 – 29
13223
30 – 39
9026
40 – 49
2926
49 – 59
923
>60
236
Tak Diketahui
1005
Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Menurut Provinsi No. Provinsi
HIV
AIDS
1
DKI Jakarta
20126 5118
2
Jawa Timur
10781 4663
3
Papua
8000
4469
4
Jawa Barat
6092
4043
5
Bali
5062
2582
6
Jawa Tengah
3842
1630
7
Kalimantan Barat
3268
1269
8
Sulawesi Selatan
2602
930 24
9
Riau
1130
731
10
DI Yogyakarta
1482
536
11
Sumatera Utara
5405
515
12
Sumatera Barat
596
428
13
Kepulauan Riau
2380
409
14
Banten
2394
408
15
Sulawesi Utara
1620
361
16
Nusatenggara Timur 1174
342
17
Jambi
274
302
18
Sumatera Selatan
1034
260
19
Nusatenggara Barat
464
241
20
Maluku
733
195
21
Lampung
509
192
22
Papua Barat
1473
173
23
Bengkulu
128
155
24
Bangka Belitung
230
122
25
NAD
63
95
26
Kalimantan Tengah
94
95
27
Sulawesi Tenggara
87
80
28
Kalimantan Selatan
135
27
29
Maluku Utara
95
17
30
Gorontalo
20
16
31
Kalimantan Timur
1443
14
32
Sulawesi Tengah
106
12
33
Sulawesi Barat
28
0
Jumlah
82870 30430
Jumlah Kasus Baru HIV & AIDS dan Kematian Berdasarkan Tahun Pelaporan Tahun 2000
HIV
AIDS Meninggal 255
83
25
2001
219
45
2002
345
86
2003
316
140
2004
1195
420
2005 (HIV: 1987-2005) 859
2639
509
2006
7195
2873
635
2007
6048
2947
788
2008
10362 4969
711
2009
9793
3863
331
2010
21591 5744
979
ETIOLOGI Sel darah putih dan antibodi menyerang dan menghancurkan organism asing yang masuk ke dalam tubuh.Respon ini diatur oleh sel darah putih bernama limposit CD4. Limposit ini juga merupakan target utama HIV. Sekali masuk ke dalam tubuh, virus memasukkna material genetiknya ke dalam limposit dan melipat gandakan diri.
Ketika salinan virus baru keluar dari sel induk dan masuk ke dalam aliran darah, virus akan menyerang sel lain. Sebagai efeknya sel CD4 akan mati. Siklus ini terus berulang. Pada akhirnya menyebabkan kerusakan sistem imun yang berarti tubuh tidak akan mempu melawan infeksi bakteri dan virus lain. Penularan seksual Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya.Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. 26
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga. Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi.Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang.Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan. Kontaminasi patogen melalui darah Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara,Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang.Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh.Kewaspadaan 27
universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan. Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju.Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi". Penularan masa perinatal Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan carabedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya).Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. MANISFESTASI KLINIS HIV mempunyai banyak gejala yang sama seperti kondisi umum (seperti flu atau demam kelenjar). Untuk menentukan apakah mengalami salah satu gejala berikut: - Kering tenggorokan - Sakit kepala dan demam tinggi - Merasa lelah dan kurang energi - Nyeri pada sendi, otot dan punggung bawah - Merasa mual dan memiliki nafsu makan rendah - Kelenjar bengkak (terutama di leher dan ketiak) 28
- Ruam pada dada dan kadang-kadang lengan - Diare Sebagaimana disebutkan di atas, meskipun sekitar 60% dari orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala diatas,tapi banyak orang lain tidak menunjukkannya.11 1. Tahap 1: Periode Jendela - HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah - Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat - Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini - Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu - 6 bulan 2. Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun: - HIV berkembang biak dalam tubuh - Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat - Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV -Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek) 11 3. Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala) - Sistem kekebalan tubuh semakin turun - Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll - Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya 11 4. Tahap 4: AIDS - Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah - berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah 11 MEKANISME
29
PATOGENESIS INFEKSI HIV Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif.Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.1 Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.1 Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening.Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya).Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral 30
maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.1 Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinicallatency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV.Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.1 Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.1 Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).1 RESPON IMUN TERHADAP HIV Pada pasien HIV terjadi respons imun humoral dan selular terhadap produk gen HIV. Respons awal terhadap infeksi HIV serupa dengan pada infeksi virus lainnya dan dapat menghancurkan 31
sebagian besar virus di dalam darah dan sel T yang bersirkulasi. Kendati demikian, respons imun ini gagal untuk menghilangkan semua virus, dan selanjutnya infeksi HIV mengalahkan sistem imun pada sebagian besar individu.8 Terdapat 3 karakteristik respons imun terhadap HIV. Pertama, respons imun dapat berbahaya terhadap pejamu, misalnya dengan menstimulasi uptake virus yang teropsonisasi kepada sel yang tidak terinfeksi melalui endositosis yang diperantarai Fc reseptor atau melalui eradikasi sel T CD4+ yang mengekspresi antigen virus oleh sel T sitotoksik CD8+. Kedua, antibodi terhadap HIV merupakan petanda infeksi HIV yang digunakan secara luas untuk uji tapis tetapi sedikit yang memiliki efek netralisasi. Ketiga, pembuatan vaksin HIV memerlukan pengetahuan tentang epitop virus yang paling mungkin menstimulasi imunitas protektif.8 Respons imun awal terhadap infeksi HIV mempunyai karakteristik ekspansi masif sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap protein HIV.Respons antibodi terhadap berbagai antigen HIV dapat dideteksi dalam 6-9 minggu setelah infeksi, namun hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antibodi mempunyai efek yang bermanfaat untuk mengontrol infeksi.Molekul HIV yang menimbulkan respons antibodi terbesar adalah glikoprotein envelope, sehingga terdapat titer anti-gp120 dan anti-gp41 yang tinggi pada sebagian besar pasien HIV.Antibodi anti-envelope merupakan inhibitor yang buruk terhadap infektivitas virus atau efek sitopatik.Terdapat antibodi netralisasi dengan titer rendah pada pasien HIV.Antibodi netralisasi ini dapat menginaktivasi HIV in vitro.Terdapat pula antibodi yang memperantarai ADCC.Semua antibodi ini spesifik terhadap gp120.Belum ditemukan korelasi antara titer antibodi dengan keadaan klinis.Uji tapis standar untuk HIV menggunakan imunofluoresensi atau enzyme-linked immunoassay untuk mendeteksi antibodi anti-HIV pada serum. Setelah dilakukan uji tapis dengan hasil yang positif, sering dilanjutkan dengan Western blot atau radioimmunoassay untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap protein virus tertentu.8 MEKANISME PENGHINDARAN IMUN OLEH HIV Kegagalan respons imun selular dan humoral untuk mengatasi infeksi HIV disebabkan berbagai faktor.Karena gangguan dalam hal jumlah dan fungsi sel T CD4+, respons imun tidak mampu
32
mengeliminasi virus. Selain itu, HIV mempunyai berbagai cara utuk menghindari imunitas tubuh.7
HIV mempunyai tingkat mutasi yang sangat tinggi sehingga HIV dapat menghindari deteksi oleh antibodi atau sel T yang terbentuk. Diperkirakan pada seseorang yang terinfeksi, mutasi titik (point mutation) pada genom virus dapat terjadi setiap hari. Satu area protein pada molekul gp120 yang disebut V3 loop mampu mengubah komponen antigeniknya, dan dapat bervariasi walaupun bahannya diambil dari individu yang sama pada waktu yang berbeda.7
Sel terinfeksi HIV dapat menghindari sel T sitotoksik dengan caradown-regulation ekspresi molekul MHC kelas I. Protein HIV Nef menghambat ekspresi molekul MHC kelas I, khususnya HLA-A dan HLA-B, dengan cara meningkatkan internalisasi molekulmolekul tersebut.7
Infeksi HIV dapat menghambat imunitas selular. Sel TH2 yang spesifik untuk HIV dan mikroba lain dapat meningkat secara relatif terhadap sel TH1. Karena sitokin TH2 menghambat imunitas selular, hasil dari ketidakseimbangan ini adalah disregulasi (disebut juga deviasi imun) yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi mikroba intraselular, termasuk HIV itu sendiri.7
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan HIV -AIDS pada dasarnya meliputi aspek Medis Klinis, Psikologis dan Aspek Sosial. 1. a.
Aspek Medis,meliputi : Pengobatan Suportif Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan dari awal sehingga tidak terjadi hal hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau terjadi kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan perburukan keadaan penderita dengan cepat.Penyajian makanan hendaknya bervariatif sehingga penderita dapat tetap berselera makan.Bila nafsu makan penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan pemakaian obat Anabolik Steroid. Proses Penyedian makanan sangat perlu diperhatikan agar pada saat proses tidak terjadi penularan yang fatal tanpa kita sadari. Seperti misalnya pemakaian alat-alat memasak, pisau untuk memotong daging tidak boleh digunakan 33
untuk mengupas buah, hal ini di maksudkan untuk mencegah terjadinya penularan Toksoplasma, begitu juga sebaliknya untuk mencegah penularan jamur.
b.
Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita infeksi HIV dan AIDS. 1)
Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali.Dosis INH 300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun. 2)
Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging yang kurang matang.Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari. 3)
CMV
Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan kebutaam.Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak yang dapat menyebabkan luka pada usus.Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga kali sehari. 4)
Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur Kandida. Obat : Nistatin 500.000 u per hari Flukonazol 100 mg per hari.
c.
Pengobatan Antiretroviral (ARV)
1)
Jangan gunakan obat tunggal atau 2 obat
2) Selalu gunakan minimal kombinasi 3 ARV disebut “HAART” (Highly Active Anti Retroviral therapy) 3) Kombinasi ARV lini pertama pasien naïve (belum pernah pakai ARV sebelumnya) yang dianjurkan : 2NRTI + 1 NNRTI. 4)
Di Indonesia :
a) Lini pertama : AZT + 3TC + EFV atau NVP b) Alternatif 5)
: d4T + 3TC + EFV atau NVP AZT atau d4T + 3TC + 1PI (LPV/r)
Terapi seumur hidup, mutlak perlu kepatuhan karena resiko cepat terjadi resisten bila sering lupa minum obat. 34
2.
Aspek Psikologis, meliputi :
a.
Perawatan personal dan dihargai
b.
Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
c.
Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
d.
Tindak lanjut medis
e.
Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f.
Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
3.
Aspek Sosial,meliputi : Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
a.
Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan
b.
Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c.
Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007) Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan social : a.
Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan b.
Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain c.
Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya d.
Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana. 35
PENATALAKSANAAN LABORATORIUM HIV dapat diisolasi dari cairan-cairan yang berpean dalam penularan AIDS, seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibody yang khusus terhadap virus tersebut. a. Rapid tes biasanya dilakukan saat pertama kali. Saat ini tes yang cukup sensitive da juga memiliki spesifitas yang tinggi. Hasil yang positif akan diperiksa ulang dengan menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil positif palsu, yaitu ELISA. Rapid tes dapat dilihat dalam waktu kurang lebih 20 menit. b. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibody dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih besar. Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih negative 6 sampai 12 minggu setelah pasien terinfeksi. karena hasil positif palsu ELISA menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positfi diulang dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu Western Bolt c. Western Blot merupak elektrporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan berarti tes negative. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bias disimpulkan maka tes western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negative maka pasien negative. PENCEGAHAN
Tidak ada vaksin untuk mencegah infeksi HIV dan tidak ada penyembuh untuk AIDS. Jaga kesehatan dan lindungi diri anda dari faktor-faktor risiko adalah jalan terbaik.
Jika HIV negatif adalah:
Ketahui apa itu HIV dan bagaimana penularannya 36
Ketahui status kesehatan pasangan seksual anda
Gunakan kondom setiap kali melakukan hubungan seksual
Pertimbangan untuk melakukan penyunatan pada laki-laki
Gunakan jarum suntik steril
Waspada terhadap darah transfusi
Periksakan kesehatan secara teratur12
Jika positif mengidap HIV maka harus melindungi orang di sekeliling dengan:
Lakukan hubungan seksual yang aman dengan memakai kondom
Beritahukan pasangan anda bahwa anda mengidap HIV
Jika pasangan anda hamil, beritahukan bahwa anda mengidap HIV dan lakukan perawatan untuk menjaga kesehatannya dan bayinya
Katakan kepada orang lain yang anda rasa perlu untuk tahu bahwa anda mengidap HIV
Jangan berbagi jarum suntik
Jangan donorkan darah dan organ anda
Jangan berbagi pisau cukur atau sikat gigi
Jika anda hamil, ambil perawatan medis secepatnya 12
FAKTOR RESIKO Faktor risiko terinfeksi AIDS antara lain:
Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan
Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan orang dengan HIV positif
Memiliki penyakit menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhea atau bacterial vaginosis.
Bergantian dalam memakai jarum suntik
Mendapatkan transfusi darah yang terinfeksi virus HIV
Memiliki sedikit salinan gen CCL3L1 yang membantu melawan infeksi HIV
37
Ibu yang memiliki HIV 12
III.6. Jelaskan mengenai diagnosis terkait imunodefisiensi ! Diagnosis a. Pemerikaan in vitro
38
Sel b dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibody terhadap CD19,CD20,CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibody monoclonal terhadap CD23 atau CD2,CD5,CD7,CD,4,CD8. Penderita dengan defisiensi sel T hanya hipokreeatif atau tidak reaktif terhadap tes kulit dengan antigen tuberkulin, candida,trikofiton,streptonkinase/streptodonase dan virus parotitis. Produksi sitokinnya berkurang bila dirangsang dengan PHA atau mitogen nonspesifik yang lain.1 Tes in vitro dilakukan dengan fiksasi komplemen dan funngsi bakterisidal,reduksi NBT atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif yang berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.1 b. Pemeriksaan antibody microbial pada defisiensi imun Antibody terhadap mukribo merupakan bagian penting dalam pemeriksaan defisiensi imun. Kemampuan untuk memproduksi antibody merupakan cara paling sensitif untuk menemukan gangguan dalam produksi antibody. Antibodi tersebut biasanya ditemukan dengan esai ELISA.1 Antibodi terhadap S. pneumoniae ditemukan pada hamper semua orang dewasa sehat, tetapi tidak pada individu dengan defisiensi imun primer. Antibody terhadap antigen virus yang umum juga dapat digunakan bila ditemukan ada riwayat terpejan virus. Demikian juga,bila seseorang diimunisasi, sebaiknya diperiksa untuk antibody terhadap toksoid tetanus, toksoid difteri,dan virus polio. Bila kadar antibody rendah, sebaiknya individu tersebut dites dengan imunisasi terhadap antigen mati dan responnya dievaluasi 4-6 minggu kemudian.1
Selain tes ELISA tes lain yang berhunugnaan dengan imunodefisiensi ada beberapa lagi yaitu: 1. Tes Widal Tujuan mengetahui apakah pasien menderita typhoid dan mengidap typhoid karena bakteri jenis apa, dengan melihat antibody terhadap bakteri S. typhi dan S. paratiphi Tes ini dapat di masukan dalam tes yang berhubungan dengan imunodefisiensi karena penyakit typhi menyebabkan salah satu dari imunodefisiensi.15 2. Tes Rapid Ada dua tes Rapid a. Tes Rapid HIV Tujuannya melihat apakah serum pasien positif HIV/AIDS, tes ini juga dimasukan dalam tes yang berhubungan dengan imunodefisiensi karena HIV/AID termasuk penyakit imunodefisiensi b. Tes Rapid Dengue Tujuannya untuk melihat, apakah serum pasien positif virus dengue. 39
Tes ini dimasukan kedalam tes yang berkaitan dengan imunodefisiensi karena virus dengue juga menyerang imun. Dan membuat salah satu imun menjadi defisiensi.15 Pada kasus sebaiknya dilakukan Tes Rapid HIV/AIDS
KESIMPULAN Dari gejala klinis dan pengakuan social sang penderita, dapat kami simpulkan bahwa diagnosis kerja dari kasus modul imunodefisiensi ini yaitu AIDS. Sesuai dengan apa yang telah di akui oleh orang tersebut bahwa ia telah beberapa kali berganti pacar, mengakui pernah melakukan hubungan dengan pacar terakhir, kira – kira 6 bulan yang lalu. Dan laki – laki tersebut kemudian mengakui mengidap HIV positif. Pada saat penderita melakukan test HIV, hasilnya negatif. Hasil negative tersebut merupakan tahapan 1 dari fase penyakit HIV-AIDS yaitu periode jendela, dimana belum terdapat tanda-tanda khusus, sehingga penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat. Bahkan test HIV juga belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini pada tubuh sang penderita. Penyakit HIV tersebut bisa di deteksi pada tahap 2 dan rata-rata pada usia penyakit 510 tahun. Untuk diagnosis yang lebih pasti, sebaiknya dilakukan test kandungan CD4 pada tubuh sang penderita. Karena virus HIV-AIDS menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Sehingga pada tubuh sang penderita HIV memiliki kandungan CD4 yang relative rendah, kandungan CD4 yang rendah itu lah yang menyebabkan daya tahan tubuh penderita melemah sehingga mudah terkena penyakit seperti yang ada pada gejala klinis dari scenario modul di atas. Virus HIV-Aids juga menyerang sel dendrit pada jaringan limfoid primer, hal tersebut yang menyebabkan kelenjar di leher dan ketiak penderita terasa membesar.
40
DAFTAR PUSTAKA 1
2
3
4
5
6 7 8
9
10 11
12 13 14 15
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke 11. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Dorland , newman (2012). Kamus saku kedokteran Dorland edisi 28 jakarta penerbit : buku kedokteran EGC Abbas AK, Lichtman AH. (2011). Basic Immunology edisi 3. Philadelphia ;WB Saunders Company Insley, Jack. 2005. Vade-Mecum Pediatri E/13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Subowo,Prof. dr. MSc., PhD. 2010. Imunologi Klinik. Sagung Seto Kumar. Cotran. Robbins. 2007. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC Kelleher A, Bockel D. 2004. Imune Response to HIV. Business Briefing: Clinical Virology& Infectius Diseases Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi V. Jakarta Pusat : Interna Publishing. 2009 http://hivaidsclinic.wordpress.com/2012/08/13/epidemiologi-dan-angka-kejadianhiv-aids-di-indonesia-dan-dunia/ http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS www.depkes.go.id Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalan vol.4. Edisi 13. Jakarta; EGC Faldin.1997.Biochemical Tests Fot Identification of Medical Bacteria. Baltimore : Williams & Wilkins Co.
41