KONSEP DAN TEORI SENGKETA ADMINISTRASI DENGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA
Dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara pada Semester Genap Tahun Akademik 2009 – 2010
Disusun Oleh: Dyah Ayu Paramita 1101 1006 0071
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARA P ADJADJARAN N 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah lembaga Yudikatif di Indonesia yang berlandaskan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebagai sebuah lembaga peradilan, Pengadilan Tata Usaha Negara tidak lepas dari kontroversi dan juga perdebatan, baik yang keluar dari pemikiran akademisi, masyarakat, maupun pemerintah itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu kesenjangan yang cukup signifikan atas fungsi
dan
konsep
awal
sebuah
Peradilan
Administrasi
dengan
pelaksanaan dan landasan hukum yang diberikan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam kenyataannya. Pengadilan Tata Usaha Negara sendiri memiliki sejarah panjang dalam pembentukannya, yakni dimulai dengan Arrest Hooge Raad 1919 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1919, di mana peristilahan onrecht (melawan hukum) adalah dibedakan artinya dengan onwet (melawan hukum tertulis atau perundang-undangan), hal ini menimbulkan ketidaksesuaian dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum onrecht (melawan hukum) tersebut adalah Perdata di mana tindakan yang onrecht (melawan onwet (melawan hukum tertulis atau perundang-undangan). sama dengan onwet (melawan Melalui Arrest Hooge Raad 1919 ini, maka perbuatan melawan hukum diperluas menjadi, selain melawan peraturan perundang-undangan tertulis, juga melawan kesusilaan, keseksamaan, kewajiban hukum, dan norma-norma hukum umum yang berlaku di dalam masyarakat.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
3
Beberapa tahun berselang, terdapat sebuah kejadian lagi yang cukup
memiliki
peran
penting
dalam
terbentuknya
Pengadilan
Administrasi, yakni Arrest Hooge Raad 1924, atau yang dikenal dengan nama Ostermaan Arrest, yang dikeluarkan pada tanggal 20 November 1924 dan disebut sebagai “Revolusi November”1. Inti dari Ostermaan Arrest ini adalah prinsip ganti rugi administratif, yakni upaya hukum terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan kerugian terhadap masyarakat (baik secara individual maupun sebagai sebuah badan), yakni dengan cara mengeluarkan kebijakan baru yang sedapat mungkin menghilangkan kerugian yang telah diderita oleh masyarakat. Kisah di balik Ostermaan Arrest ini adalah tindakan pejabat yang mengeluarkan shipping dari pihak Ostermaan, di mana isi dari kebijakan untuk menahan shipping dari shipping tersebut adalah bahan pokok pada akhirnya membusuk karena shipping tersebut; maka Hooge Raad pun menyatakan bahwa penahanan shipping tersebut; tindakan
yang
dilakukan
oleh
pejabat
tersebut
memang
benar
berdasarkan Undang-Undang, namun menimbulkan kerugian pada orang lain (dalam hal ini Ostermaan), dan oleh sebab itu maka diberikan putusan di mana pejabat yang bersangkutan diminta untuk membuat kebijakan baru untuk menghapuskan kerugian dari Ostermaan tersebut. Baik dalam Arrest HR 1919 maupun Arrest HR 1924, keduanya dilakukan melalui Pengadilan Umum Perdata. Melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa di dalam ranah yudikatif terdapat suatu pengadilan yakni Pengadilan
Tata
Usaha
Negara.
Undang-Undang
ini
kemudian
ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang merupakan Undang-Undang mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara yang pertama di Indonesia, yang kemudian dilengkapi dengan 1
Prins, W.F., R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara , Pradnya Paramita, Jakarta: 1983, hlm. 131.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
4
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya dalam Pengadilan Tata Usaha Negara. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 itu sendiripun telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yakni pada tahun 2004 melalui Undang-Undang Nomor 9 dan pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 51. Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa peraturan perundang-undangan yang telah saya sebutkan di atas memiliki kesenjangan yang cukup signifikan terhadap konsep dari Pengadilan Administrasi itu sendiri. Selain dari bentuk dan cakupan Peradilannya, bentuk dari sengketa administrasi yang memiliki cakupan yang sangat luas pun memiliki kesenjangan yang cukup signifikan dengan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang dijelaskan di dalam peraturan perundang-undangan. Penyempitan makna dari sengketa Tata Usaha Negara di dalam peraturan perundang-undangan yang positif tersebut di atas, dan upaya perluasan kembali dengan adanya RUU Administrasi Pemerintahan dan RUU Pelayanan Publik merupakan beberapa hal utama yang akan menjadi pembahasan di dalam tulisan ini.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
5
BAB II SENGKETA DALAM RANAH ADMINISTRASI
Di dunia, dikenal perbedaan terhadap pertimbangan di dalam ranah Peradilan Administrasi, di mana dikenal Sistem Administratief Beroep , yang digunakan di Belanda, di mana yang berwenang untuk memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa di dalam bidang Administrasi adalah Instansi yang secara hierarkhis lebih tinggi atau instansi lain di luar instansi yang telah mengeluarkan kebijakan yang “bermasalah” tersebut. 2
Dengan sistem ini, maka instansi (yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara administrasi) tersebut tidak saja memeriksa segi rechtmatigheid , tetapi juga segi doelmatigheid nya. nya. Dan instansi ini pun memiliki wewenang untuk mengganti, merubah, ataupun mengeluarkan kebijakan baru atas Keputusan Administrasi pertama yang dipersengketakan tersebut. Berbeda dengan Sistem Administratief Rechtspraak , di mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu sengketa administratif adalah Hakim. Dan karena Hakim di sini berdiri sebagai suatu perwakilan dari lembaga lain, maka yang dapat diperiksa atau diteliti hanya segi rechtmatigheid saja. Dan Hakim pun tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan baru dalam rangka menghapuskan kerugian, namun hanya dapat mengeluarkan hukuman dalam bentuk denda, atau rekomendasi untuk membuat perubahan dan/atau penghapusan kebijakan yang lama, atau rekomendasi untuk membuat kebijakan yang baru. 3 Sengketa administrasi itu sendiri merupakan sengketa hukum kongkrit yang pada dasarnya terletak di bidang Hukum Administrasi Negara. Sengketa administrasi terbagi ke dalam 2 (dua) jenis, yakni 2 3
S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara , Penerbit Liberty, Yogyakarta: 1988, hlm.6. Ibid, hlm. 7.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
6
Sengketa Intern (atau yang dikenal dengan Sengketa Kepegawaian, di mana kedua pihak yang bersengketa adalah pegawai atau pejabat administrasi Negara) dan Sengketa Ekstern (di mana yang bersengketa adalah
antara
anggota
masyarakat
dengan
pejabat
atau
badan
administrasi Negara). Oleh sebab itu dikenal 2 (dua) bentuk Peradilan Administrasi, yakni: a. Peradilan Semu Administrasi (Quasi (Quasi Administratief Rechtspraak ) b. Peradilan Murni Administrasi (Administratief (Administratief Rechtspraak ) Kedua bentuk Peradilan Administrasi ini dikenal dan berlaku di Indonesia, sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Bentuk yang pertama, yang kita kenal dengan sebutan Peradilan Semu Administrasi, merupakan perkembangan dari sistem Administratief Beroep yang Beroep yang berlaku di Belanda, dan secara paralel berlaku pula di dalam Pemerintahan Hindia-Belanda (Indonesia sebelum merdeka) dengan adanya azas konkordansi. Bentuk ini memang memiliki kelemahan dalam hal kepastian landasan hukumnya, di mana penyelesaian sengketa dilakukan di dalam lingkungan sendiri, yang di dalam hal ini adalah kekuasaan lingkungan eksekutif (karena pejabat dan badan administrasi berada di dalam lingkungan eksekutif), atau melalui lembaga ad-hoc yang tidak permanen. Namun bentuk ini juga memiliki kelebihan, terutama dalam hal cakupannya dan wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa (masalah). Salah satu contohnya, bahwa Peradilan Semu Administrasi dapat bertidak seperti Consumer Care bagi sebuah perusahaan swasta. Di mana fungsi pelayanan publik yang dimiliki oleh setiap Pejabat dan Badan Administrasi dapat menjadi dasar penggugatan sengketa administrasi.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
7
Tindakan-tindakan
Pejabat
Administrasi
sehubungan
dengan
wewenangnya untuk mengeluarkan kebijakan memiliki potensi merugikan masyarakat, beberapa di antaranya yakni: kebijakan yang sifatnya onjuist , tidak tepat, atau tidak betul; dan juga perbuatan atau kebijakan dari Pejabat Administrasi yang melanggar Undang-Undang atau melanggar 4
hukum. Hal ini merupakan sebuah tindakan detournement de pouvoir , ultra
vires ,
atau
penyalahgunaan
kewenangan
administratif
yang
dipercayakan kepadanya. kepadanya. 5 Maka konsep dasar dari Peradilan Semu Administrasi kemudian adalah mengembalikan keadilan ke tempatnya, mengingat sengketa administrasi merupakan sengketa yang subjek hukumnya memiliki hubungan yang vertikal, di mana penggugat adalah pihak yang secara hukum berada di bawah tergugat. Sedangkan bentuk kedua, yakni Peradilan Murni Administrasi, yakni apa yang kita kenal dengan Pengadilan Administrasi sebagai suatu lembaga tersendiri di ranah kekuasaan yudikatif. Sistem, prosedur, dan struktur kelembagaan yang ada di dalam Peradilan Murni Administrasi adalah sama seperti Peradilan pada umumnya. Yakni dengan adanya prosedural dan birokrasi yang menyerupai pada Peradilan Perdata, adanya Hakim dan panitera, dan sebagainya. Yang membedakan adalah objek dan subjek di dalam sengketa administrasi itu sendiri. Di mana objeknya adalah Ketetapan Administrasi, dan subjeknya adalah anggota masyarakat yang mengalami kerugian atas dikeluarkannya Ketetapan yang bersangkutan (baik sebagai individu maupun sebagai badan) sebagai Penggugat, dan Pejabat atau Badan Administrasi Negara sebagai Tergugat.
4 5
Prins, W.F., op.cit , hlm. 135. S.F. Marbun, op.cit , hlm. 12-13.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
8
Untuk mengenali Sengketa Administrasi, maka kita harus terlebih dahulu mengenal apa yang menjadi permasalahan di dalam Sengketa Administrasi, yakni Keputusan Administrasi/Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 1 (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Sengketa Tata Usaha Negara yakni: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. ”
Sedangkan Pasal 1 (9) Undang-Undang yang sama menjelaskan mengenai objek Sengketa Tata Usaha Negara, yakni Keputusan Tata Usaha Negara yang dijelaskan sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang “ Keputusan dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata ” ”
Van Vollenhoven menyatakan bahwa Keputusan Administrasi adalah tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan, dilakukan oleh suatu badan Pemerintah berdasarkan wewenangnya yang luar biasa.6 Sedangkan Prajudi menyatakan bahwa Keputusan Administrasi pada dasarnya harus atas dasar permintaan, baik dari instansi maupun orang perseorangan, dan keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya suatu permintaan adalah batal demi hukum.7 Beliau juga menyatakan bahwa setiap Keputusan Administasi beschikking ), mengandung penetapan ((beschikking ), dan keputusan yang sering
6
Prins, W.F., op.cit , hlm. 42. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara , Ghalia Indonesia, Jakarta: 1981, hlm. 95. 7
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
9
menimbulkan sengketa di antaranya yakni yang berbentuk dispensasi, izin, lisensi, dan konsesi.8 Sedangkan Soehardjo menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara merupakan keputusan dalam ruang lingkup hukum publik berdasarkan suatu kewenangan yang terletak dalam Hukum Administrasi Negara, dan harus bersifat individual dan kongkrit. 9
8
Ibid, hlm. 98. Soehardjo Ss., S.H., Hukum Administrasi Negara: Pokok-pokok Pengertian serta Perkambangannya di Indonesia , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 1991, hlm. 41-42. 9
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
10
BAB III PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA
Kedua penjelasan mengenai apa yang dimaksud sengketa maupun berkenaan mengenai objeknya, yang termuat di dalam Peraturan Perundang-undangan yang positif di Indonesia, telah mempersempit beschikking tersebut sendiri. makna dari beschikking tersebut Kemudian terdapat beberapa Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diperkarakan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai pengganti dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang - Undang ini: 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku; 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”
Pembatasan-pembatasan yang termuat di dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia tersebut, seakanakan menjadikan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu bentuk perlindungan terdapat pejabat dan tindakannya sendiri. Dewasa ini terdapat wacana mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik dan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang diharapkan kemudian dapat kembali
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
11
memberikan harapan bagi warga masyarakat untuk melakukan tuntutan haknya. Namun isi, baik secara esensi maupun secara praktis, dari kedua Rancangan Undang-Undang tersebut akan menjadi komplikasi apabila Undang-Undang
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
tidak
mengalami
perubahan. Beberapa isi dari Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang
cukup
menarik
perhatian
yakni
pada
BAB
VII
mengenai
Penyelesaian Sengketa Pelayanan Publik, Pasal 40 – 42, yakni: Pasal 40 (1) Masyarakat dapat menggugat atau menuntut Penyelenggara atau Aparat melalui Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal sebagai berikut: a. tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan publik atau tidak memberikan pelayanan yang semestinya menurut standar pelayanan; b. melalaikan atau melanggar kewajiban dan atau larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; dan c. menyalahgunakan dan atau melampaui kewenangan yang dimiliki oleh Aparat. (2) Gugatan atau tuntutan masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan oleh: a. perseorangan atau badan hukum yang bersangkutan; b. masyarakat yang terdiri dari para penerima jasa yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum dan dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikan organisasi adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di bidang pelayanan publik. Pasal 41 (1) Penyelenggara dapat menjadi subyek hukum yang diwakili oleh pejabat yang bertanggungjawab di dalam organisasi Penyelenggara. (2) Penuntutan dilakukan terhadap Aparat yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan atau Aparat yang terlibat langsung, baik secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 42 (1) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat menimbulkan kerugian perdata atau bersifat melawan hukum, gugatan diajukan melalui Peradilan Umum. (2) Dalam hal pelayanan publik yang diberikan oleh Penyelenggara dan atau Aparat mengandung unsur perbuatan pidana, tuntutan diajukan melalui Peradilan Umum.
Sebagaimana dapat disimak bahwa di dalam Pasal 40, Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menuntut “Penyelenggara”, yang di dalam
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
12
Pasal 1 (2) RUU yang sama dijelaskan sebagai “ Penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah penyelenggara negara, korporasi penyelenggara pelayanan publik, dan lembaga
independen
yang
dibentuk
oleh
pemerintah ”.
Korporasi,
sebagaimana saya garisbawahi di sini, akan menjadi sebuah benturan besar dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara di mana yang dapat menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. Namun Rancangan Undang-Undang ini memiliki jiwa yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan yang baik, melalui pendekatan “fungsi pelayanan publik”.
Rancangan Undang-Undang yang lainnya, yakni Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang hendak memfasilitasi beschikking yang tidak tertulis, beleids regel , dan kebijakan-kebijakan aparatur pemerintahan lainnya yang tidak terfasilitasi dalam UndangUndang Peradilan Tata Usaha Negara dan menggunakan istilah: “Keputusan Pemerintahan”.
Pasal 1 (4) Rancangan Undang-Undang ini menyatakan bahwa: “Keputusan Pemerintahan adalah keputusan tertulis dan/atau tidak tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam lapangan Hukum Administrasi Negara” Di
dalam
Pasal
3
Rancangan
Undang-Undang
ini
pun
mencantumkan mengenai mengenai 8 (delapan) azas pemerintahan yang baik, yang merupakam landasan bagi warga Negara untuk mengajukan tuntutan haknya. Di dalam Pasal 6 mengenai Diskresi, terlihat bahwa Kebijakan Pejabat Pemerintah yang didasarkan atas freies ermessen harus pula dapat dipertanggungjawabkan, yang mana merupakan suatu tantangan yang besar apabila dihadapkan kepada Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
13
Dan di dalam Pasal 20 Rancangan Undang-Undang ini dapat dilihat pula bahwa suatu Keputusan Pemerintahan harus memenuhi syarat formil dan materiil, dan dapat berupa suatu Keputusan baik tertulis (di atas kertas maupun elektronik), lisan, ataupun tindakan lainnya. Dan mengenai Upaya Administrasi, Rancangan Undang-Undang ini kembali mengemukakan Peradilan Semu Administrasi, yakni penyelesaian yang diselenggarakan melalui jenjang jabatan, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 37, yakni: (1) Keputusan Pemerintahan dapat diajukan Upaya Administratif dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkannya keputusan tersebut oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan dan/atau kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan. (2) Keputusan terhadap Upaya Administratif dibuat oleh atasan dari Pejabat Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan. (3) Dalam hal atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan menilai Upaya Administratif yang diajukan cukup alasan, maka atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib mengeluarkan Keputusan Upaya Administratif yang membatalkan dan/atau memperbaiki Keputusan Pemerintahan dimaksud. (4) Dalam hal atasan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan menilai Upaya Administratif yang diajukan tidak cukup alasan, maka dibuat Keputusan Upaya Administratif yang berupa penolakan. (5) Keputusan Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (1) ayat (4) dikeluarkan oleh: a. Badan atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan Keputusan Pemerintahan, kecuali Undang-undang menetapkan lain; b. Kepala Daerah apabila Keputusan Pemerintahan dikeluarkan oleh Pejabat Daerah. c. Presiden apabila Keputusan Pemerintahan dikeluarkan oleh menteri atau pejabat setingkat menteri atau kepala lembaga pemerintah (6) Keputusan Upaya Administratif yang berupa penolakan harus memuat alasan penolakan dan memberikan penjelasan mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak. (7) Keputusan Upaya Administratif yang menimbulkan akibat keuangan harus menetapkan pihak yang menanggung biaya. (8) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya
Dan Pengadilan Tata Usaha Negara, merupakan usaha banding dari Keputusan Upaya Administratif yang telah diselenggarakan di dalam lembaga sebelumnya, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 39 dari Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
14
BAB IV KESIMPULAN
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yang selama ini telah dianggap sebagai suatu jawaban atas jaminan keadilan dan pemerintahan
yang
baik,
di
dalam
pelaksanaannya,
tidak
dapat
memfasilitasi banyak aspek yang signifikan, di antaranya pengujian doelmatigheid dari
suatu
keputusan
administrasi
dan
keputusan
administrasi yang didasarkan atas freies ermessen . Hal ini menjadi sebuah ironi, terutama dengan tidak terfasilitasinya pengawasan masyarakat atas pemerintahan, dengan adanya berbagai pembatasan atas apa yang dapat dan apa yang tidak dapat disengketakan di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, walaupun sengketa tersebut telah benar adanya di dalam ranah eksekutif sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan. Oleh sebab itu dengan keluarnya wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yang di dalam Ketentuan Peralihan, Pasal 44 (4) menyebutkan bahwa “ Keputusan Pemerintahan
berkekuatan hukum yang sama dengan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
Undang-Undang
penegakkan
hukum
di
ini. ”;
bidang
memberikan
Tata
Usaha
nafas
Negara.
baru
bagi
Keputusan
Pemerintahan di dalam Rancangan Undang-Undang ini tidak menunjuk kepada bentuk spesifik, namun kepada segala bentuk kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dikaluarkan oleh pemerintah dalam menyelenggarakan menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Kemudian sehubungan dengan wacana Rancangan UndangUndang Pelayanan Publik, yang mana memperluas kompetensi dari Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri, yang sebelumnya hanya dapat
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
15
memproses perkara yang menggugat Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara (yang di dalam hal ini sudah pasti pemerintah), menjadi juga dapat memproses perkara yang menggugat korporasi, sehubungan dengan fungsinya dalam pelayanan publik. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila kedua Rancangan Undang-Undang ini disahkan, masalah tidak akan berakhir begitu saja. Karena polemik sehubungan dengan peraturan perundang-undangan mana yang akan berlaku? Sedangkan isi secara esensi maupun secara bunyi dari peraturan perundang-undangan tersebut tidak di dalam suatu harmoni. Di dalam azas hukum, kita mengenal lex posterior derogate legi priori , yakni hukum yang baru diutamakan dibandingkan hukum yang lama, namun azas ini tidak dapat serta merta menjadi pembenar bagi perluasan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan kedua Rancangan Undang-Undang tersebut di atas apabila sampai disahkan. Namun sebagai suatu kepastian, keberadaan kedua Rancangan Undang-Undang ini, memberi tempat bagi sengketa administrasi (secara umum) ke dalam dunia hukum Indonesia.
Dyah Ayu Paramita | 110110060071
16
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR S.F. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara , Penerbit Liberty, Yogyakarta: 1988 Soehardjo Ss., S.H., Hukum Administrasi Negara: Pokok-pokok Pengertian serta Perkambangannya di Indonesia , Indonesia , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 1991 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara , Ghalia Indonesia, Jakarta: 1981 Prins, W.F., R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara , Pradnya Paramita, Jakarta: 1983
PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelakanaannya dalam Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Per ubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
ARTIKEL / JURNAL / DAN SEBAGAINYA Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan
Dyah Ayu Paramita | 110110060071