Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
ISSN: XXXX-XXXX
KAJIAN SISTEM INFRASTRUKTUR TERINTEGRASI DALAM MENCAPAI KOTA HIJAU BERDASARKAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 1
Dr. Wulfram I. Ervianto1 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 44 Yogyakarta Telp.(0274) 487711 E-mail:
[email protected]
ABSTRAKS Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 514 kabupaten kota berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2016. Diantara kota-kota di Indonesia ada sejumlah kota yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi penduduknya, yang berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk. Tujuan pendatang di kota dapat bersifat sementara maupun permanen. Belum adanya regulasi yang membatasi jumlah penduduk dalam sebuah kota berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan sistem yang telah ada. Di sisi lain, daya dukung lingkungan kota mempunyai kendala keterbatasan kapasitas penyediaan dan kapasitas tampung limbah. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut diatas dengan cara mengimplementasikan konsep kota hijau yang terdiri dari sembilan atribut, yaitu: infrastruktur jalan, transportasi, ruang terbuka hijau, air bersih, kebisingan, energi, perumahan, udara bersih, bangunan gedung. Semua atribut tersebut perlu segera dieksekusi didasarkan pada pendekatan sistem yang terintegrasi guna memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan (aspek ekonomi, sosial, lingkungan). Dalam hal ini diperlukan pengelolaan agar terjadi keseimbangan antara proses penyediaan infrastruktur dengan keterbatasan lingkungan. Kata Kunci: Infrastruktur, Terintegrasi, Kota Hijau, Berkelanjutan ABSTRACT Indonesia is an archipelago country, which consists of 514 urban district refering to 2016 data issued by the ministry of domestic affairs. This country has some cities that are able to generate secure and comfortable environment. Among its cities, there are some areas that are able to generate secure and comfortable environment for their population. They affect for increasing population. The nature of urban migrants’ goal can be either temporarily or permanently. The absence of government regulation enhancing stable number of residents in urban area produces imbalance of the existing system. In addition, carrying capacity in an urban area is facing problem of both source availibility and waste management. By implementing the concept of green city isone theory to achieve a suitable solution in case of problem obove. There are nine atributes of green approaches, namely : road infrastructure, transportation, green open space, clean water, noise, energy, housing, clean air, building. All these attributes need to be executed immediately based on an integrated systems approach to meet the principles of sustainable development (economic, social, environmental). In this case, it is necessary to manage the balance between the process of providing infrastructure with environmental limitations. Key Words : Infrastructure, Integrated, Green City, Sustainable. 1.
PENDAHULUAN Isu terancamnya keberlanjutan kehidupan di Bumi mulai dihembuskan di Amerika pada tahun 1962, melalui upaya untuk menyadarkan bahaya pestisida terhadap lingkungan oleh Rachel Carson. Selanjutnya gerakan peduli terhadap lingkungan sampai di Indonesia pada tahun 1978 yang ditandai dengan dibentuknya Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Salah satu pendekatan untuk mengetahui ramah tidaknya sebuah kegiatan didasarkan pada banyak sedikitnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dan dinyatakan dalam ekivalen. Maraknya pembangunan berbagai jenis infrastruktur dengan sendirinya akan meningkatkan timbulnya emisi secara signifikan, bukan berarti harus berhenti membangun namun perlu dikelola secara komprehensif sehingga dampak negatif bagi lingkungan masih dapat dikendalikan. Indonesia telah menyepakati untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ± 26% pada tahun 2019 dan peningkatan ketahanan perubahan iklim di daerah yang dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. Program pemerintah yang dikemas dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang dikoordinasi oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional menetapkan 226 proyek yang direncanakan akan selesai pada tahun
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
ISSN: XXXX-XXXX
2025. Berdasarkan jumlah proyeknya, tiga jenis proyek terbanyak adalah proyek bendungan (60), proyek jalan tol (47), dan proyek pembangunan kawasan Industri (24). Pembangunan berbagai jenis proyek tersebut akan memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia terutama dalam aspek ekonomi, namun demikian pembangunan proyek juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Oleh sebab itu, pelaksanaan proyek-proyek tersebut perlu dikelola secara baik, salah satunya perlu mengadopsi dan menerapkan prinsip ramah lingkungan sebagaimana dinyatakan dalam Fase 3 (2020-2025) dokumen MP3EI berupa penerapan teknologi tinggi untuk pembangunan berkelanjutan. Adanya rencana pembangunan berbagai jenis infrastruktur dan target penurunan emisi GRK sebesar 26% di tahun 2019, maka perlu dilakukan kajian mengenai pendekatan terbaik dalam mewujudkan infrastruktur terintegrasi dan berkelanjutan yang secara nyata berdampak signifikan terhadap aspek ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Kajian ini didasarkan data sekunder dan dokumen yang telah dipublikasikan secara legal. Keluaran kajian berupa skema atau framework terkait dengan pengelolaan proyek yang menggambarkan dampak pembangunan terhadap lingkungan yang merujuk pada prinsip kota hijau dan berkelanjutan. 2.
KAJIAN PUSTAKA Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11/PRT/M/2012, yang dimaksud dengan infrastruktur mencakup bidang sumberdaya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman, dan penataan ruang. Program pemerintah saat ini, mendorong pembangunan jaringan infrastruktur tol laut, dan sistem logistik harus terintegrasi satu sama lain agar dapat memberikan manfaat nyata terhadap aspek ekonomi, serta mampu meningkatkan arus masuk/keluar barang dan jasa antar kota, antar kabupaten, antar provinsi, antar pulau, dan antar wilayah. Penerapan rencana aksi tentang isu berkelanjutan dapat dimulai di tingkat kota atau dapat dilakukan secara simultan di tingkat kabupaten dan provinsi. Beberapa ahli telah merumuskan atribut kota hijau, diantaranya adalah:
1. Platt, (2014) mendefinisikan kota hijau menjadi lima atribut, yaitu: (a) kepekaan dan kepedulian masyarakat; (b) beradaptasi terhadap karakteristik bio-geofisik kawasan; (c) lingkungan yang sehat, bebas dari pencemaran lingkungan yang membahayakan kehidupan; (d) efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan ruang; (e) memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan.
2. Kurokawa, (2011) mendefinisikan kota hijau menjadi lima atribut, yaitu: (a) menciptakan suatu jejaring ruang terbuka hijau kota/wilayah; (b) menghindari atau mengendalikan urban sprawl atau ekspansi penduduk kota beserta aktivitasnya ke kawasan pinggiran yang mengakibatkan peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi perkantoran; (c) pengembangan usaha untuk mengurangi sampah dan limbah serta pengembangan proses daur ulang (reduce, reuse, recycle); (d) pengembangan sumber energi alternatif (misal: biomas, sinar matahari, angin, ombak); (e) pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (misal: pembangunan fasilitas pedestrian dan jalur sepeda, dsb.).
3. United Nations Urban Environmental Accord (UNUEA, 2005), mendefinisikan kota hijau meliputi: (a) Energi (efisiensi energi, energi terbarukan, perubahan iklim); (b) Pengurangan limbah (tanpa limbah, peningkatan tanggung jawab produsen, tanggung jawab konsumen), (c) Transportasi (transportasi umum, mobil bersih, pengurangan kemacetan), (d) Urban design (green building, perencanaan kota, green jobs), (e) Urban Nature (ruang terbuka hijau, restorasi habitat, konservasi cagar alam), (f) Kesehatan lingkungan (pengurangan bahan beracun, sistim makanan sehat, udara bersih, (g) Air (akses air bersih, konservasi sumber air, pengurangan limbah). Secara ringkas atribut kota hijau dapat disintesakan menjadi dua belas atribut sebagai berikut: (1) Peran serta masyarakat, (2) Adaptif terhadap bio-geofisik kawasan, (3) Lingkungan yang sehat, bebas dari pencemaran lingkungan yang membahayakan kehidupan, makanan sehat, udara bersih, (4) Efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan ruang, (5) Memperhatikan daya dukung lingkungan, (6) Jejaring ruang terbuka hijau, (7) Menghindari atau mengendalikan urban sprawl atau ekspansi penduduk kota beserta aktivitasnya ke kawasan pinggiran yang mengakibatkan peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi perkantoran, (8) Reduce, reuse, recycle, peningkatan tanggung jawab produsen dan konsumen, (9) Energi (efisiensi energi, energi terbarukan, perubahan iklim), (10) Sistim transportasi berkelanjutan; fasilitas pedestrian; fasilitas jalur sepeda, (11) Urban design (green building, perencanaan kota, green jobs), (12) Air (akses air bersih, konservasi sumber air, pengurangan limbah). Dua belas atribut kota hijau tersebut perlu didekatkan dengan kondisi spesifik Indonesia, dalam perspektif lingkungan, regulasi, sistem transportasi dan lainnya sehingga mengerucut menjadi delapan atribut, yaitu: (1) Green planning and design, (2) Green openspace, (3) Green waste, (4) Green transportation, (5) Green water, (6) Green energy, (7) Green building, (8) Green community (Program Pengembangan Kota Hijau, 2011).
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
ISSN: XXXX-XXXX
Mewujudkan kota hijau di Indonesia memiliki makna strategis, dikarenakan pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berdampak timbulnya berbagai persoalan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Selain itu, berkurangnya luas hutan menjadi persoalan terutama dalam fungsinya menyerap emisi fakta memperlihatkan data tahun 2015 luas hutan di dunia mengalami penurunan sebesar 0,2 hektar/orang jika dibandingkan data tahun 1990 yang besarnya adalah 0,8 hektar/orang. Fenomena ini perlu direspon cepat, salah satunya melalui program pengembangan kota hijau yang didasarkan pada mekanisme kolaborasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat dan dunia usaha. 2.1. Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan mencakup tiga pilar yang saling terkait satu sama lain dan saling menunjang yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup (KTT Bumi, 1992). Definisi lain dari pembangunan berkelanjutan adalah (1) Pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat; (2) Pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan (3) Pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup masyarakat yang didukung oleh tata kelola yang menjaga pelaksanaan pembangunan yang akan meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (RPJMN Tahun 2015-2019). Dalam KTT Bumi telah disepakati pola pembangunan baru dan diterapkan secara global yang disebut dengan Environmentally Sound and Sustainable Development (ESSD), di Indonesia dikenal dengan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan (PBBL), yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu derivatif PBBL adalah dokumen konstruksi Indonesia 2030 yang memiliki salah satu visi “Kenyamanan Lingkungan Terbangun” dan salah satu misinya adalah “Menjamin Keberlanjutan”. Sedangkan tujuan konstruksi Indonesia diantaranya adalah “Peningkatan Keberlanjutan” dan “Produk Konstruksi Berkelanjutan”. Saat ini Indonesia telah memasuki tahap III (2016-2020) dalam Agenda Konstruksi Indonesia 2010-2030 dengan agenda “Memacu Pertumbuhan Sektor Konstruksi” yang terdiri dari 16 agenda, salah satu diantaranya adalah “Perencanaan Infrastruktur Terintegrasi”. Untuk mencapai sarana transportasi yang terhubung dan terintegrasi secara nasional diperlukan konsep yang jelas dan tentu membutuhkan biaya pembangunan infrastruktur yang relatif besar. Melalui kebijakan otonomi daerah, pembangunan sarana infrastruktur bukan hanya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat, akan tetapi menjadi bagian dari kewajiban Pemerintah Daerah. Secara nasional, kawasan Indonesia bagian barat memiliki tingkat percepatan pembangunan infrastruktur khususnya transportasi yang lebih tinggi dibandingkan kawasan Indonesia bagian timur, sehingga menimbulkan ketimpangan diantara keduanya. Dampak ketimpangan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur menimbulkan beberapa persoalan antara lain : biaya ekonomi tinggi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, kurangnya daya saing dan akses daerah menjadi sulit. Namun demikian perhatian pemerintah terhadap percepatan pembangunan infrastruktur khususnya sektor transportasi di Kawasan Indonesia Timur secara perlahan mengalami peningkatan dan menjadi salah satu prioritas pembangunan di Indonesia. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur di Indonesia harus terintegrasi dan mengakomodasi prinsip berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara detil mengakomodasi berbagai isu sebagai berikut: (a) energi, (b) limbah, (c) lingkungan kota, (d) air, (e) transportasi, (f) perencanaan, (g) kesehatan. 2.2. Infrastruktur dan Ekonomi Kebijakan pembangunan infrastruktur yang terpusat di Jawa dan Indonesia bagian barat menimbulkan disparitas pendapatan perkapita masing-masing daerah di Indonesia,terutama dikawasan Indonesia bagian timur. Selain itu, modal fisik infrastruktur berupa elektrifikasi, jalan beraspal, dan air bersih memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia (Yanuar, 2006). Purwaningsih, 2009 menyimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan dari investasi infrastruktur jaringan di satu wilayah terhadap aktivitas ekonomi (sektoral) di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya. Keterkaitan antar wilayah secara signifikan diperlihatkan oleh kombinasi kategori jaringan jalan (jalan tol, jalan raya) dari duawilayah atau lebih yang mempengaruhi aktivitas ekonomi (sektor) tertentu di suatu wilayah. Hal senada diungkapkan oleh Kurnia, 2016 yang menyatakan bahwa jaringan infrastruktur jalan nasional yang terhubung dengan jalan provinsi di Nusa Tenggara Timur memicu terjadinya investasi/aktivitas ekonomi dan berpotensi meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat di sekitarnya. World Economic Forum (WEF) dalam laporan tahun 2015-2016, memaparkan bahwa dalam delapan tahun terakhir tingkat daya saing Indonesia masih tertinggal dalam persoalan infrastruktur, kesiapan teknologi, dan inovasi. Secara spesifik, kendala yang terkait dengan infrastruktur bersumber dari masih rendahnya kualitas jalan, pelabuhan, bandara, kereta hingga kualitas pasokan listrik. Sedangkan dalam kesiapan teknologi dan inovasi antara lain disebabkan karena tingkat penguasaan teknologi dan inovasi yang masih rendah.
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
ISSN: XXXX-XXXX
2.3. Infrastruktur Terintegrasi Salah satu pendekatan untuk mengoptimalkan kinerja sebuah kota perlu diperhatikan ketersediaan infrastruktur, tidak hanya dalam hal kapasitasnya saja namun harus mempertimbangkan aspek integrasi antar jenis infrastruktur. Hai ini dibuktikan oleh Legowo, P. S., 2009 bahwa ada pengaruh signifikan antara investasi infrastruktur jaringan jalan di satu wilayah terhadap aktivitas ekonomi (sektoral) di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya. Keterkaitan antar wilayah secara signifikan diperlihatkan oleh kombinasi antara jaringan jalan tol, dan jaringan jalan non tol dari dua wilayah atau lebih yang mempengaruhi aktivitas ekonomi di satu wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Ness, D., 2014 berhasil memformulasikan keterkaitan antar jenis infrastruktur perkotaan dalam tiga tingkat, yaitu : (a) Level 0, adalah infrastruktur perkotaan. (b) Level 1, adalah infrastruktur jalan, kereta api listrik, cadangan air, ruang terbuka hijau dan biodiversity. (c) Level 2, adalah perkerasan berpori, bio filtrasi, peredam suara, udara segar, penanaman pohon, energi listrik, rekreasi, pengembangan sistem transportasi. (d) Level 3, adalah energi surya dan perumahan (Gambar 1). Pemahaman mengenai hal tersebut diatas sangat diperlukan oleh dinas terkait, misalnya terkait dengan perencanaan dan pembangunan daerah setempat. Fakta menunjukan bahwa sistem birokrasi di Indonesia masih tersegregasi secara sektoral. Pengetahuan tentang hal ini tidak serta merta tersedia begitu saja, namun masih perlu dilakukan kajian komprehensif untuk setiap jenis infrastruktur yang didasarkan pada pendekatan green (green design, green construction, green building, green infrastructure). Meskipun pengetahuan green belum sepenuhnya terdefinisi dengan baik untuk semua jenis infrastruktur, hendaknya jangan dianggap sebagai penghambat dalam melaksanakan pembangunan yang telah direncanakan. Dalam dokumen Global Green Growth Institute, 2015 dinyatakan bahwa pada tahun 2050 anak-anak di Papua, Maluku, Nusa Tenggara akan menikmati kesempatan dan standar hidup yang sama dengan teman sebangsanya di Jawa, Sumatera, dan Bali. Kemakmuran ini berasal dari ekonomi yang bervariasi, rendah karbon, dan berbasis jasa bukan dari eksploitasi modal manusia dan alam. Indonesia akan beralih dari ketergantungan sektor ekstraktif dan diganti menjadi energi terbarukan, teknologi dan layanan yang inovatif. Gambaran ini akan terwujud manakala infrastruktur telah terintegrasi secara masif sebagai prasyarat yang harus dipenuhi. Konektivitas sektor telekomunikasi, transportasi, infrastruktur, dan konstruksi menyumbangkan 17% dari Produk Domestik Bruto Nasional Indonesia terbesar kedua setelah industri manufaktur (Global Green Growth Institute, 2015). 3.
TAHAPAN PENELITIAN Dalam menggali pengetahuan secara komprehensif guna menjawab tujuan penelitian digunakan konseptual framework sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2. Penelitian diawali dengan melakukan kajian tentang pemahaman dan makna infrastruktur terintegrasi yang kemudian diderivasi dalam aspek ekonomi, lingkungan dan sosial. Selanjutnya, sintesa yang terwujud dalam tiga aspek tersebut diidentifikasi yang berpengaruh terhadap penciptaan kota hijau. Dalam kajian ini, penggalian pengetahuan sepenuhnya didasarkan pada dokumen yang telah dipublikasikan dan relevan dengan obyek penelitian. Perkerasan berpori
Infrastruktur jalan Peredam suara
Bio filtrasi
Infrastruktur perkotaan
Cadangan air
Ruang terbuka hijau biodiversity
Kereta api listrik
Tenaga surya
Penanaman pohon
Energi/ Listrik
Pengembangan sistem transportasi
Udara segar
Rekreasi
Perumahan
Sumber : Ness, D, 2014. Gambar 1 Sistem infrastruktur terintegrasi
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
Infrastruktur terintegrasi
ISSN: XXXX-XXXX
Aspek Ekonomi Kota Hijau Aspek Lingkungan
Aspek Sosial
Gambar 2 Konseptual framework 4.
INTERPRETASI DATA Dalam merealisasikan pembangunan infrastruktur di perkotaan di level 1 menurut Ness, 2014 adalah: (a) jalan, (b) kereta api listrik, (c) penciptaan ruang terbuka hijau dan (d) keanekaragaman hayati (biodiversity) yang berperan penting untuk berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer. Beberapa informasi yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 dapat dimanfaatkan untuk menggali informasi mengenai moda transportasi terbaik yang perlu segera dikembangkan di Indonesia (Tabel 1). Jika pendekatan yang digunakan didasarkan pada rasio bahan bakar per penumpang, maka pilihan moda transportasi yang harus segera dikembangkan secara berturutan adalah: (a) Kereta api, (b) Kapal laut, (c) Bus, dan terakhir adalah (d) Pesawat terbang. Tabel 1 Komparasi penggunaan berbagai moda transportasi Deskripsi Kereta Api Rata-rata penumpang terangkut 1500 Penggunaan bahan bakar per kilometer 3 Rasio penggunaan bahan bakar per penumpang 0,002 Indeks 1 Sumber : RPJMN 2015-2019, Bapenas, 11 September 2013
Kapal Laut 1500 10 0,006 3
Bus 40 0.5 0,0125 6.25
Pesawat Terbang 500 40 0,08 40
Kedua data tersebut diatas nampak berbeda dalam memprioritaskan jenis moda transportasi yang harus direalisasikan lebih dahulu, namun sesungguhnya perbedaan ini disebabkan karena perspektif yang berlainan antara keduanya. Pendekatan dalam dokumen RPJMN tersebut diatas didasarkan pada rasio penggunaan bahan bakar per penumpang, sedangkan perspektif yang digunakan oleh Ness didasarkan pada terintegrasinya berbagai jenis infrastruktur yang tertuang dalam skala prioritasnya, yaitu jalan raya diintegrasikan dengan kereta api listrik yang berdampak langsung terhadap luas ruang terbuka hijau dan keanekaragaman hayati. Infrastruktur jalan kereta api. Berdasarkan luas lahan yang dibutuhkan tidak jauh berbeda dengan infrastruktur jalan raya. Pendekatan terhadap nilai-nilai lingkungan dapat mengadopsi prinsip yang telah diformulasikan dalam “jalan hijau” dengan melakukan penyesuaian yang bersifat spesifik untuk jenis moda transportasi ini. Salah satu hal yang penting untuk dikaji secara komprehensif adalah kondisi eksisting sistem perkeretaapian di Indonesia yang masih didominasi oleh energi fosil meskipun rasio penggunaannya relatif kecil jika dibandingkan moda transportasi lain (Tabel 1). Infrastruktur pelabuhan. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan sudah seharusnya mengedepankan moda transportasi perairan dimana nilai rasio penggunaan bahan bakar per penumpang relatif kecil yaitu sebesar 0,006. Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada kajian untuk memformulasikan prinsip-prinsip pelabuhan ramah lingkungan atau “pelabuhan hijau” (green port). Beberapa kajian tentang amdal untuk infrastruktur pelabuhan menyebutkan aktivitas yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan adalah sebagai berikut : (a) pengelolaan material pengerukan, (b) emisi udara, (c) pengelolaan persampahan (limbah umum, air limbah, limbah padat), (d) pengelolaan oli dan bahan berbahaya, (e) kebisingan, (f) keanekaragaman hayati dan sumber daya ekologi, (g) pengelolaan lalu lintas, (h) dampak visual, (i) keberlanjutan dan perubahan iklim. Infrastruktur jalan. Salah satu hal penting untuk mencapai jalan hijau adalah mengintegrasikan “nilai” di setiap tahap dalam daur hidup proyek. Salah satunya adalah tahap konstruksi yang mencakup tiga bagian penting, yaitu : (a) pengelolaan di lokasi tapak proyek yang terdiri dari pembersihan lahan, pekerjaan tanah, dan pekerjaan badan jalan. (b) pengelolaan di quarry dan jalur pengangkutan material perlu diterapkan pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan skenario terbaik yang diukur dalam perspektif biaya dan ramah lingkungan. (c) pengelolaan di base camp yang mengutamakan kesehatan dan keselamatan bagi seluruh pekerja konstruksi
Seminar Nasional Riset dan Teknologi Terapan 2017 (RITEKTRA 2017) Kupang, 2-4 Agustus 2017
ISSN: XXXX-XXXX
melalui proses edukasi dalam hal perilaku (behaviour) pekerja konstruksi untuk keberlangsungan lingkungan (Ervianto, W.I., 2016). Infrastruktur pelabuhan udara. Fasilitas moda transportasi jenis ini adalah terminal, apron, taxiway, pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC), landas pacu, hanggar. Bandara di negara lain yang telah menggunakan pendekatan ramah lingkungan dalam disainnya adalah (a) Boston Logan International Airport, bandara yang pertama mendapat sertifikasi US Green Building Council. Sedangkan di benua Eropa, bandara Swiss, Spanyol dan Inggris telah diakui dalam upaya ‘penghijauannya’, antara lain menginstal turbin angin yang bergantung pada tenaga surya sebagai sumber energi. Bandara di benua Asia yang tengah melakukan penghijauan dan berpendingin ruangan berbasiskan tenaga surya dan lampu LED adalah bandara di Manila. Ruang terbuka hijau. Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai suatu wilayah tergolong sebagai kawasan hijau adalah besar kecilnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Amanat undang-undang menetapkan besar RTH minimal adalah 30% dari luas wilayah. Saat ini, hanya ada beberapa kota yang mampu memenuhi persyaratan RTH. Sebagian besar telah melebihi persyaratan yang ditetapkan akibat pembangunan berbagai jenis infrastruktur, antara lain jalan raya, perumahan yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan relatif pesat. Menurunnya besarnya RTH disebabkan karena meningkatnya pembangunan berbagai jenis infrastruktur di daerah tersebut. Keanekaragaman Hayati. Meningkatnya jumlah berbagai jenis infrastruktur akan berdampak pada berkurangnya ruang terbuka hijau sekaligus hilangnya berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang habitatnya musnah karena habitatnya tergerus oleh aktivitas pembangunan. Bukan tidak mungkin dalam jangka waktu yang relatif singkat kekayaan hayati dan hewan yang ada di Indonesia akan musnah akibat proses pembangunan yang tidak mengakomodasi prinsip berkelanjutan. Secara global, dalam rentang 25 tahun (1990 s/d 2015) rasio luas hutan/orang mengalami penurunan sebesar 0,2 hektar/orang, yang semula 0,8 hektar/orang menjadi 0,6 hektar/orang. 5.
KESIMPULAN Prioritas pertama dalam penyediaan pembangunan infrastruktur dapat diawali dengan pembangunan infrastruktur kereta api, kapal laut, bus, dan pesawat terbang, yang didasarkan pada rasio penggunaan bahan bakar per penumpang. Namun demikian perlu inisiasi untuk menyelesaikan persoalan emisi yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan bakar fosil menjadi energi alternatif lain yang lebih ramah lingkungan. Pendekatan lebih lanjut dapat dilakukan menggunakan pemodelan yang lebih komprehensif, antara lain system dinamik, cyclon, atau lainnya. Keluaran aplikasi ini dapat menggambarkan keterkaitan antar faktor yang lebih terukur antara infrastruktur satu dengan lainnya. Dengan demikian dapat dengan tepat ditentukan rencana aksinya. PUSTAKA Agenda Konstruksi Indonesia 2010-2030. Ervianto, W.I. 2016. Kajian Awal Penyusunan Instrumen Penilai Jalan Hijau Di Indonesia. Makalah disajikan dalam Konferensi Nasional Teknik Sipil 10, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 26-27 Oktober 2016. Global Green Growth Institute, 2015. Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk Indonesia yang Sejahtera. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi. 1992. Kurokawa dan Plat, 2011. Program Pengembangan Kota Hijau. Legowo, P. S. 2009. Dampak Keterkaitan Infrastruktur Jaringan Jalan Terhadap Pertumbuhan Sektoral. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Ness, D. 2014. The Accessible City. First Edition, CIB Publication 398. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11/PRT/M/2012 Tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim. Platt, 2014, London Global Green City. Institute for Public Policy Research. Purwaningsih, S.L. 2009. Dampak Keterkaitan Infrastruktur Jaringan Jalan Terhadap Pertumbuhan Sektoral Wilayah di Jabodetabek. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. Agenda 21 Indonesia, 1997. United Nations Urban Environmental Accord (UNUEA), 2005. World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2015–2016. Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana IPB, Bogor.