1
IMPLEMENTASI PERHUTANAN SOSIAL DALAM MEWUJUDKAN PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perhutanan sosial merupakan mata rantai penghubung antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Hutan merupakan sumber daya alam terbaharui yang memiliki nilai ekologi, ekonomi dan sosial budaya, serta berkontribusi terhadap kehidupan manusia. Nilai atau fungsi hutan yang sangat penting tersebut di antaranya adalah sebagai pengatur hidroorologi, penyuplai oksigen (O2), filter polusi udara, menjaga kesuburan tanah, pengawetan keanekaragaman hayati serta sebagai sumber plasma nutfah. Meskipun hutan memiliki berbagai manfaat, jika tidak dikelola dengan benar dapat memberikan dampak buruk dengan ragam potensi bencana serta potensi konflik bagi pemerintah dan masyarakat sekitar hutan, dimana sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.
Pemangku kebijakan bersama dengan berbagai elemen stakeholder, telah lama merumuskan berbagai program/kegiatan untuk menekan berbagai macam konflik antara pemerintah dan masyarakat, maupun masyarakat dengan sumber daya alam. Ketergantungan masyarakat yang cukup besar terhadap hutan, memicu maraknya perambahan dan illegal logging yang mengakibatkan meningkatnya deforestasi.
Tingkat deforestasi yang cukup tinggi dan kemiskinan yang masih mencengkeram masyarakat di dalam dan sekitar hutan membuat berbagai pihak termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencoba mendorong program pemberdayaan masyarakat. Banyak istilah yang digunakan dalam program pemberdayaan tersebut, antara lain Program Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat (PHBM). Istilah PHBM sendiri sebenarnya bukan merupakan istilah yang genuine Indonesia karena istilah ini merupakan terjemahan dari community based forest management yang dikembangkan dalam program Ford Foundation, kemudian istilah kehutanan masyarakat atau community forestry digunakan di Nepal, istilah lainnya adalah perhutanan sosial atau social forestry digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan di India. Indonesia hanya merangkum dan mengakomodir berbagai konsep dan istilah yang ada dalam pelaksanaan programnya (Rahmina, 2011).
Pemerintah secara legal formal memiliki banyak model pengembangan kehutanan yang berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat dengan asas pemberdayaan. Salah satu kebijakan yang mencerminkan hal tersebut adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Perhutanan Sosial (Social Forestry). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan. Perhutanan sosial didasarkan pada pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan prinsip : manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal, dan adaptif.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam makalah ini adalah:
Bagaimana implementasi perhutanan sosial di Indonesia?
Apa faktor penghambat dalam mengimplementasikan perhutanan sosial di Indonesia?
Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah:
Menganalisis implementasi perhutanan sosial di Indonesia.
Merumuskan faktor penghambat dalam mengimplementasikan perhutanan sosial di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Perhutanan Sosial (Social Forestry)
2.1.1.Definisi Perhutanan Sosial
Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress di Delhi, India tahun 1968 dan mendefinisikan Social Forestry sebagai "a forestry which aims at production flow of protection and recreation benefits for the community". Namun istilah Social Forestry itu sendiri diperkenalkan setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people.
Kemudian untuk kondisi di India pada saat itu Tiwari mendefinisikan "Social Forestry sebagai The science and art of growing trees and or other vegetation on all land available for purpose, in outside forest areas, and managing existing forest with intimate involvement of the people and more and less integrated with other operations, resulting in balance and complementary land use with a view to provide a wide range of goods and services to the individuals as well as to the society". Wiersum mendefinisikan Social Forestry sebagai "Participatory Forestry, relating to forest management activities planned by profesional forestry services in which popular participation with the management of centrally controlled forest land is encouraged. Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakan Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan.
Menurut CIFOR (2003) perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Dalam arti luas, perhutanan sosial mencakup semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran, hak dan akses masyarakat serta ada upaya memperhatikan perpaduan antara kesejahteraan masyarakat dengan pelestarian sumberdaya hutan.
Dari berbagai konsep tersebut, maka dapat ditarik elemen-elemen pembentuk perhutanan sosial yakni partisipatif antara masyarakat dan pihak pengelola perhutanan sosial, masyarakat sebagai mitra utama, perlindungan hutan yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan produksi lestari.
2.1.2. Aplikasi Perhutanan Sosial
Sejak awal pembangunan nasional, pengelolaan hutan sosial mengalami perkembangan. Artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Istilah perhutanan sosial setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people, bukan hal yang baru untuk Indonesia, karena sejak abad 18 pemerintah Belanda melakukan pengelolaan hutan (khususnya taman jati) dengan sistem tumpang sari.
Konsep dari perhutanan sosial tersebut yang mencakup seni dan ilmu sangat terkait dengan konsep agroforestry juga. Pada kasus pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) di wilayah KPH Pati Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, pemanfaatan tersebut menjadi sebuah alternatif dalam akses lahan hutan yang diberikan pada masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PLDT merupakan agorforestry yang pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu pola tanam agroforestry juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan dan pemeliharaan lingkungan. Agroforestry merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, peternakan, perikanan pada unit lahan pada waktu yang sama maupun berurutan dengan tujuan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan. Teknik ini diterapkan pada beberapa perhutanan sosial untuk memaksimalkan fungsi hutan secara terpadu dan maksimal. Pemberian lahan dari pihak pengelola seperti Perhutani dapat dimanfaatkan dan tujuan definisi khusus perhutanan sosial yakni tujuan produksi lestari dapat dicapai.
Social Forestry pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan pemerintah.
Secara kongkrit, tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa dan komersial dalam tiga (3) hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-mentionized); (2) perhutanan sosial menyangkut partisipasi langsung pemanfaat; (3) termasuk sikap dan keterampilan yang berbeda dari ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon.
Permasalahan Perhutanan Sosial
Dengan diberlakukannya PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum sempat tidak berlaku lagi. Seharusnya kebijakan, peraturan atau keputusan dan perijinan dapat ditetapkan dengan Perda. Dengan proses desentralisasi pihak pemerintah di beberapa kabupaten berupaya membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat bekerjasama dengan masyarakat, LSM serta lembaga pendidikan.
Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, lemahnya koordinasi antar pihak dan peran serta masyarakat yang kurang dalam memberikan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pemerintah cenderung memberikan berbagai peraturan yang malah menyulitkan.
Sangat disayangkan bahwa PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum tidak berlaku lagi. Dari pemerintah menyediakan ruang khusus untuk upaya perbaikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara, namun dari pihak pemerintah pun yang tidak memberlakukan HKM tersebut. Ruang masyarakat sebagai penenetu kebijakan terbaruka seharusnya perlu dibuka, bukan mereka yang tidak pernah mengerti kehidupan sekitar hutan tiba-tiba mengeuarkan kebijakan seenaknya.
Dalam usaha hutan rakyat sebagai bagian dari perhutanan sosial pun ditemui hambatan yang dihadapi petani. Berdasarkan hasil penelitian Irawanti et.al, (2012), ada tiga hambatan yang dihadapi petani sengon di lokasi studi, yaitu hambatan silvikultur, pengorganisasian petani, dan pemasaran. Dari silvikultur, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu yang diperlakukan sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendaatan petani. Oleh karena itu petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon 3 tahun. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertima pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang akhirnya tidak menerapkan pola tersebut. Dalam pengorganisasian petani, organisasi yang sudah dibentuk pada masyarakat tidak serta merta efektif memasarkan hasil hutan. Hal ini dikarenakan kurangnya jaringan yang lebih menguntungkan. Hasil hutan biasanya dipasarkan kepada tengkulak atau perusahan-perusahaan kayu besar yang lebih banyak mengambil keuntungan dari petani.
Berdasarkan definisi perhutanan sosial yang bercita-cita pada kesejahteraan masyarakat lokal, serta tujuan produksi lestari kesejahteraan masyarakat, berikut dipaparkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan atau kawasan hutan yang dipengaruhi oleh perhutanan sosial.
Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan
Perhutanan sosial memiliki fokus utama yakni perlindungan hutan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan produksi lestari. Dari fokus perhutanan sosial tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Perhutanan sosial dapat mempengaruhi modal sosial seperti pengembangan jaringan dan tingkat kepercayaan. Pengembangan jaringan diperlukan agar mencari hubungan kerjasama pemasaran hasil hutan atau dalam kehidupan politik di lingkungannya. Sedangkan dari tingkat kepercayaan, pengembangan jaringan didasari kepercayaan pada pihak lain karena relasi-relasi yang dibangun sebelumnya. Selain modal sosial, adajuga strategi nafkah. Dengan ekosistem kawasan hutan, masyarakat harus menguasai sistem nafkahnya dan mengatur strategi dari unsur-unsur kapabilitas, aset dan aktvitas untuk bertahan hidup atau bahkan mengembangkan usahanya kemudian. Kemudian terdapat peran gender yang dipengaruhi program perhutanan sosial. Peran gender dapat berubah-ubah bahkan dari perempuan atau laki-laki bisa memiliki peran ganda ditinjau dari peran produksi, reproduksi, dan pengelolaan. Aspek yang terakhir adalah pemberdayaan sebagai aksi dan bentuknyata perhutanan sosial. Dalam pemberdayaan dapat terlihat secara kongkrit bentuk komitmen pelaksanaan perhutanan sosial yakni dengan memberi kekuasaan pengelolaan perhutanan kepada masyarakat. Kelima aspek kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh perhutanan sosial tersebut kemudian dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa hutan. Kesejahteraan dapat ditinjau dari tingkat pendapatan rumah tangga dan analisis good services ratio.
Selain dari aspek kehidupan sosial, sebagai daerah yang rawan terjadinya konflik, program perhutanan sosial juga dapat menjadi alat resolusi konflik. Konflik dapat saja muncul oleh dua pihak atau lebih yang memperebutkan suatu sumberdaya yang sama. Klaim antar pihak bertentangan tersebut dipengaruhi oleh perhutanan sosial yang dapat terjadi lewat redistribusi lahan, sistem bagi hasil, atau penyewaan. Dengan begitu banyaknya klaim sengketa, ketidaksesuaian pemahaman antar pihak yang berkonflik, bahkan data di lapangan dan dari sumber sekunder yang tidak sama akan menimbulkan penyerobotan lahan bahkan bentuk kekerasan lainnya. Perhutanan sosial dapat menjadi alternatif konflik tersebut yankni dengan menyamakan cita-cita yang sama dan kerelaan membagi kekuasaan pihak pngelola perhutanan dengan masyarakat. Dengan perhutanan sosial, penyerobotan lahan dapat ditanggulangi dengan pemberdayaan masyarakat dan pihak pengelola. Hukuman yang dilaksanakan juga harus dimaknai bersama dan menguntungkan hutan itu sendiri juga. Jika diadakan rekonsiliasi dan pelaksanaan perhutanan sosial bagi areal konflik, tentu akan menguntungkan kedua pihak sengketa. Perhutanan sosial yanng muncul sebagai resolusi kemudian mampu memancing investasi. Investasi yang dimaksud adalah hasil rekonsiliasi areal konflik. Dengan adanya rekonsiliasi, areal konflik dapat ditanami tanaman bernilai ekonomi dan produktif. Nilai ekonomi dari tanaman hasil rekonsiliasi tersebut kemudian akan menambah sumber daya bahkan menyimpan hasilnya untuk masa depan. Investasi yang terjadi, selain dalam bentuk modal, dapat juga dalam bentuk investasi sumberdaya manusia. Investasi sumberdaya manusia misalnya dalam bentuk kesehatan dan pendidikan atau pengetahuan. Investasi sebagai hasil resolusi konflik tersebut kemudian akan berpeluang menjadikan hutan itu sendiri lestari karena tutupan vegetasi yang lebih banyak dan menguntungkan hutan. Berikut kerangka pikiran usulan berdasarkan pemaparan tersebut.
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PHB) adalah pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan hutan berkelanjutan menggunakan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan yang sangat luas. Berbagai lembaga kehutanan sekarang mencoba berbagai bentuk pengelolaan hutan berkelanjutan dengan berbagai metode dan alat-alat yang tersedia yang telah diuji dari waktu ke waktu.
The "Forest Principles" yang diadopsi pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro pada tahun 1992 menangkap pemahaman internasional umum pengelolaan hutan lestari pada waktu itu. Sejumlah kriteria dan indikator telah di set sejak dikembangkan untuk mengevaluasi pencapaian PHB di beberapa negara dengan tingkat unit pengelolaan. Ini semua upaya untuk mengkodifikasi dan menyediakan untuk penilaian independen terhadap sejauh mana tujuan yang lebih luas dari pengelolaan hutan berkelanjutan yang telah dicapai dalam praktek. Pada tahun 2007, Majelis Umum PBB mengadopsi Non-Legally Binding Instrument pada semua jenis hutan. Instrumen ini adalah yang pertama dari jenisnya, dan mencerminkan komitmen internasional yang kuat untuk mempromosikan pelaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui pendekatan baru yang membawa semua pemangku kepentingan bersama-sama.
Definisi PHB dikenal dengan kehutanan yang berkelanjutan sampai saat ini memahami pengelolaan hutan yang disepakati oleh Konferensi Menteri tentang Perlindungan Hutan di Eropa MCPFE, dan sejak itu pula telah diadopsi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Mendefinisikan pengelolaan hutan berkelanjutan sebagai berikut: Mengurus dan menggunakan hutan dan lahan hutan dengan cara, dan pada tingkat, yang mempertahankan keanekaragaman hayati yang ada, produktivitas, kapasitas regenerasi, vitalitas dan potensi mereka untuk memenuhi, sekarang dan di masa depan, fungsi ekologi, ekonomi dan sosial yang relevan, di tingkat lokal, nasional, dan global, dan yang tidak menyebabkan kerusakan ekosistem lainnya.
Secara sederhana, konsep ini dapat digambarkan sebagai pencapaian keseimbangan-keseimbangan antara tuntutan masyarakat yang semakin meningkat untuk produk hutan, manfaat, dan pelestarian kesehatan hutan dan keanekaragaman. Keberlanjutan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup hutan, dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada hutan.
Untuk pengelola hutan berkelanjutan, mengelola saluran hutan tertentu berarti menentukan, dalam cara yang nyata, bagaimana menggunakan hari ini untuk memastikan manfaat yang sama, kesehatan dan produktivitas di masa depan. Untuk menghasilkan kebijakan hutan yang terpadu, manajerial hutan (pemerintah red.) harus menilai dan mengintegrasikan beragam masalah kadang-kadang faktor yang saling bertentangan – nilai komersial dan non-komersial, pertimbangan lingkungan, kebutuhan masyarakat, bahkan dampak global. Dalam kebanyakan kasus, pengelola hutan (pemerintah red.), mereka mengembangkan rencana konsultasi (dengan berbagai pihak red.) seperti dengan warga, pengusaha, organisasi dan pihak lain yang berkepentingan di dalam dan sekitar saluran hutan yang dikelola. Alat dan visualisasi baru-baru ini telah berkembang untuk praktek-praktek manajemen/pengelolaan yang lebih baik.
Karena hutan dan masyarakat berada dalam fluks konstan, hasil yang diinginkan dari pengelolaan hutan berkelanjutan/lestari bukanlah tidak berubah atau tetap. Melainkan hutan yang dikelola secara berkelanjutan/lestari akan berubah dari waktu ke waktu sebagai nilai-nilai yang dipegang oleh publik mengenai perubahan itu sendiri.
2.2.1. Kriteria dan indikator
Kriteria dan indikator adalah alat yang dapat digunakan untuk membuat konsep, mengevaluasi dan menerapkan manajemen hutan lestari atau berkelanjutan. Kriteria mendefinisikan dan mencirikan unsur-unsur penting, serta seperangkat kondisi atau proses, dimana pengelolaan hutan lestari dapat dinilai. indikator berkala diukur mengungkapkan arah perubahan yang berkenaan dengan kriteria masing-masing.
Kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari secara luas digunakan, banyak negara membuat laporan nasional yang menilai kemajuan mereka terhadap pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan). Ada sembilan kriteria internasional dan regional dan inisiatif indikator, yang secara kolektif melibatkan lebih dari 150 negara. Tiga dari inisiatif lebih maju adalah orang-orang dari Kelompok Kerja tentang Kriteria dan Indikator untuk Pengelolaan Konservasi dan berkelanjutan iklim dan Hutan ( juga disebut Proses Montreal), Konferensi Menteri untuk Perlindungan Hutan di Eropa, dan International Tropical Timber Organization. Negara-negara yang merupakan anggota dari inisiatif yang sama biasanya setuju untuk menghasilkan laporan pada waktu yang sama dan menggunakan indikator yang sama. Dalam negara, di tingkat unit manajemen, upaya juga telah diarahkan pada tingkat lokal mengembangkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari.Center for International Forestry Research, International Model Forest Network dan peneliti di University of British Columbia telah mengembangkan sejumlah alat dan teknik untuk membantu masyarakat yang bergantung pada hutan mereka sendiri mengembangkan kriteria dan indikator tingkat lokal. Kriteria dan Indikator juga membentuk dasar standar atau yang disebut "Kanada Asosiasi Standar", sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan).
Tampaknya ada tumbuh konsensus internasional pada elemen kunci dari pengelolaan hutan lestari. Tujuh wilayah tematik umum pengelolaan hutan lestari (berkelanjutan) telah muncul berdasarkan kriteria dari sembilan kriteria regional dan internasional yang sedang berlangsung dan inisiatif indikator.
Ketujuh daerah tematik adalah: Luas Sumber daya hutanKeanekaragaman hayatiHutan kesehatan dan vitalitasProduktif fungsi sumber daya hutanPerlindungan fungsi sumber daya hutanFungsi Sosial-ekonomiHukum, kebijakan dan kerangka kelembagaan.
Ini konsensus di area tematis umum (atau kriteria) secara efektif memberikan definisi, umum implisit pengelolaan hutan lestari. Ketujuh wilayah tematik yang diakui oleh masyarakat kehutanan internasional di sesi keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa Forum Hutan dan sesi ke-16 Komisi Kehutanan. Daerah-daerah tematik sejak itu diabadikan dalamNon-Legally Binding Instrument pada Semua Jenis Hutan sebagai kerangka acuan untuk pengelolaan hutan lestari untuk membantu mencapai tujuan instrumen.
Pendekatan Ekosistem telah menonjol dalam agenda Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) sejak tahun 1995. Definisi CBD, Pendekatan Ekosistem dan satu set prinsip untuk aplikasi yang dikembangkan pada pertemuan ahli di Malawi pada tahun 1995, yang dikenal sebagai Prinsip Malawi. Definisi ini, 12 prinsip dan 5 poin dari "bimbingan operasional" diadopsi oleh Konferensi Para Pihak kelima (COP5) pada tahun 2000.
Definisi CBD adalah sebagai berikut:Pendekatan ekosistem adalah strategi untuk pengelolaan terpadu dari lahan, air dan sumberdaya hayati yang mempromosikan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan dengan cara yang adil. Penerapan pendekatan ekosistem akan membantu untuk mencapai keseimbangan dari tiga tujuan Konvensi. Suatu pendekatan ekosistem didasarkan pada penerapan metodologi ilmiah yang sesuai difokuskan pada tingkat organisasi biologi, yang meliputi struktur esensial, proses, fungsi dan interaksi antara organisme dan lingkungan mereka. Ia mengakui bahwa manusia, dengan keragaman budaya mereka, adalah komponen integral dari banyaknya ekosistem.
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan telah diakui oleh pihak untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati tahun 2004 (Keputusan VII/11 dari COP7) menjadi beton sarana menerapkan Pendekatan Ekosistem untuk ekosistem hutan. Kedua konsep, pengelolaan hutan berkelanjutan dan pendekatan ekosistem, bertujuan mempromosikan praktek konservasi dan pengelolaan yang ramah lingkungan, sosial dan ekonomi yang berkelanjutan, dan yang menghasilkan dan menjaga keuntungan bagi generasi sekarang dan mendatang. Di Eropa, MCPFE dan Dewan untuk Pan-Eropa Keanekaragaman Hayati dan Landscape Strategi (PEBLDS) bersama-sama diakui pengelolaan hutan berkelanjutan untuk konsisten dengan Pendekatan Ekosistem pada tahun 2006.
2.2.2. Sertifikasi hutan independen
Tumbuh kesadaran lingkungan dan permintaan konsumen untuk bisnis yang lebih bertanggung jawab sosial membantu sertifikasi hutan pihak ketiga muncul pada 1990-an sebagai alat kredibel untuk mengkomunikasikan kinerja lingkungan dan operasi sosial mengenai hutan.
Ada pengguna banyak potensi sertifikasi, termasuk pengelola hutan, investor, pendukung lingkungan, konsumen bisnis dari kayu dan kertas, dan individu.
Dengan sertifikasi hutan, sebuah organisasi independen yang mengembangkan standar manajemen hutan yang baik, dan sertifikat auditor independen masalah pada operasi hutan yang memenuhi standar tersebut. Sertifikasi ini memverifikasi bahwa hutan dikelola dengan baik-seperti yang didefinisikan oleh standar tertentu dan memastikan bahwa kayu tertentu dan produk kertas berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab.
Kenaikan sertifikasi menyebabkan munculnya beberapa sistem yang berbeda di seluruh dunia. Akibatnya, tidak ada satu standar manajemen hutan yang diterima di seluruh dunia, dan sistem masing-masing mengambil pendekatan yang agak berbeda dalam mendefinisikan standar untuk pengelolaan hutan lestari.
Sertifikasi hutan untuk pihak ketiga adalah alat yang penting bagi mereka yang ingin memastikan bahwa produk kertas dan kayu mereka membeli dan menggunakan berasal dari hutan yang dikelola dengan baik dan legal dipanen (ditebang red.). Menggabungkan sertifikasi pihak ketiga ke dalam praktek pengadaan hasil hutan dapat menjadi pusat kebijakan komprehensif untuk kayu dan kertas yang meliputi faktor-faktor seperti perlindungan nilai-nilai hutan sensitif, pemilihan material secara bijaksana dan efisiensi penggunaan produk.
Ada standar sertifikasi lebih dari 50 di seluruh dunia. Beberapa standar sertifikasi umum adalah: Program untuk Persetujuan skema Sertifikasi Hutan (PEFC)Forest Stewardship Council (FSC) Luas hutan bersertifikat di seluruh dunia tumbuh perlahan-lahan. PEFC adalah sistem sertifikasi hutan terbesar di dunia, dengan lebih dari dua pertiga dari luas total dunia bersertifikat. Sertifikat adalah salah satu alat untuk alat ukur pencapaian pada hutan yang berkelanjutan(red).
Sementara sertifikasi dimaksudkan sebagai alat untuk meningkatkan praktek-praktek pengelolaan hutan di seluruh dunia, sampai saat ini sebagian besar operasi kehutanan bersertifikat terletak di Eropa dan Amerika Utara. Sebuah penghalang penting bagi pengelola hutan di negara berkembang adalah, mereka tidak memiliki kapasitas untuk menjalani audit sertifikasi dan mempertahankan operasi dengan standar sertifikasi.
PEMBAHASAN
Beberapa Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi)
3.1.1.Ringkasan
Pengertian otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of social body and is actual independence. Sedangkan menurut UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perudangan.
Aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat perlu diaplikasikan untuk mendapat bentuk kongkrit dari otonomi. Pemberdayaan jenis ini diharapkan bisa berhasil, memiliki benefit dimasyarakat, dan kontinu. Digalakannya hutan rakyat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program "sengonisasi, sungkenisasi, sukunisasi dan turinisasi" di Jawa Barat, nampaknya belum memberikan kesan atas keberhasilannya ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut. Nampaknya kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah; terciptanya kontinuitas pendapatan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas penerapan sistem tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian dilanjutkan dengan agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas dasar itulah menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara rasional, akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan atas keberhasilan program.
Memperhatikan atas fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. Penyelarasan tersebut perlu diperjelas menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting. Namun, hadirnya pembangunan hutan rakyat, cenderung memacu ekses terjadinya kesenjangan, antara masyarakat yang memiliki lahan dan membangunnya dengan masyarakat lainnya; dimana ekses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan hutannya.
3.1.2. Analisis
Artikel ini menunjukkan sebenarnya otonomi daerah itu sangat ideal untuk desa dengan memberi pengertian tentang otonomi.. Namun demikian, otonomi bisa menjadi bumerang yang tepat sasaran untuk daerah yang menjalankan otonomi itu juga. Perlunya otonomi juga dirasa karena masyarakat jenuh dengan perintah-perintah dari atas seperti Departemen Kehutanan. Departemen ini juga menjadikan masyarakat sebagai objek program bukan sebagai subjek yang memastikan keberlanjutan.
Dalam lingkup pembangunan daerah, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain. Bukan hanya perlu keberhasilan sehingga menaikkan prestise dimata pihak lain. Namun menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat dan lingkungannya memang perlu dibangun. Pembangunan tersebut harus berkelanjutan sekalipun melibatkan pemberdayaan. Penulis memiliki pemikiran kritis seperti ini dan hal ini sangat koheren dengan kehidupan pemberdayaan hutan kemasyarakatan zaman sekarang.
Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan)
3.2.1.Ringkasan
Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah "bawahan" yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta sebagaimana sebutkan dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Masyarakat adat kemudian disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Pengertian masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengana perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar. Masyarakat adat memiliki kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang mengagumkan serta sistim sosial-ekonomi yang tangguh. Namun demikian, dalam kenyataannya terjadi pertentangan antara budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistim produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten.
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Masyarakat hutan adat umumnya terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk.
Penentuan tingkat kemiskinan di wilayah masyarakat adat Battang masih tinggi yang merupakan desa hutan, ditandai dengan beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut yakni kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi. Untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa upaya penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah pertama, reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan, kedua, gerakan sosial masyarakat adat,ketiga, membangun institusi lokal masyarakat adat, keempat, pengembangan kapasitas masyarakat adat.
3.2.2. Analisis
Dalam jurnal tersebut, penulis mengaitkan antar variabel secara berkesinambungan. Penjelasan konstruksi masyarakat adat dibahas dari hal fundamental negara yakni UUD 1945. Ternyata dari UUD 1945 sekalipun, menganggap pemerintah masyarakat desa sebagai pemerintah "bawahan" dengan panggilan "istimewa". Setelah penguatan masyarakat adat dan keberanian mereka dengan dibentuknya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), konsep masyarakat adat dinyatakan kembali. Masyarakat adat disepakati merupakan kelompok masyarakat yang memiliki historis, ideologi, politik, dari wilayah sendiri. Masyarakat adat juga dikenal dengan kekayaan hukumnya sehingga sering dikenal dengan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat lebih kuat posisinya karena memiliki kesatuan hukum, penguasa, lingkungan hidupberdasarkan hak atas sumber daya yang sama. Posisi ini pun sangat rentan apabila mulai mengorientasikan budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten. Masyarakat adat pun memiliki tempat tinggal yang sering dekat dengan hutan adat. Lokasi hutan adat tersebut berada dalam wilayah adat dan memiliki hubungan sangat dekat dengan komunitas yang tinggal di dalamnya. Namun sangat disayangkan, peningkatan kapasitas bagi masyarakat adat kurang diperhatikan, sedangkan proyek atau program pembangunan selau diintervensi pada mereka. Terjadinya lag antaraa usaha peningkatan kapasistas dengan intervensi program pembangunan terhadap hutan berdampak pada kemiskinan mereka. Kemiskinan masyarakat adat terutama masyarakat Battang masih tinggi dengan memperhatikan variabel kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat dalam menyampaikan aspirasi.
Ketimpangan perencanaan dan realitas di masyarakat adat hutan membutuhkan pemberdayaan setempat yang berbasiis kebutuhan mereka sendiri juga. Uaya yang penting dala pemberdayaan tersebut adalah reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan yakni pengkajian kembali tujuan dari berdirinya masyarakat adat. Kemudian upaya selanjutnya adalah gerakan sosial masyarakat adat yang menguatkan kelembagaan adat dengan merevitalisasi pola-pola gerakan tersebut. Selanjutnya adalah upaya membangun institusi lokal masyarakat adat. Masyarakat adat membutuhkan wadah aspirasi yang aman dan terjamin. Wadah tersebut merupakan institusi lokal yang terbentuk dan bertumbuh hingga akhirnya melahirkan buah yang baik dari institusi tersebut kepada masyarakat. Terakhir adalah pengembangan kapasistas masyarakat adat. Sangat disayangkan apabila karena kelalaian atau tidak terliriknya kapasistas masyarakat adat yang merupakan subjek pembangunan, segala proyek pembangunan tidak efektif berjalan.
Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan
3.3.1.Ringkasan
Penguasaan lahan merupakan masalah besar bagi kehidupan petani dan keluarganya. Selain rumah atau tempat tinggal, lahan merupakan aset paling berharga yang dimiliki petani di ketiga desa kasus. Ada tiga jenis lahan yang menjadi indikator kehidupan petani, yaitu lahan persawahan, lahan hutan kemiri dan lahan perladangan. Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra (gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang tinggal di kota.
Modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural. Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma dan nilai-nilai serta keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur prmbukaan lahan, peralihan hak kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan), dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan (networking) meliputi jaringan pembukaan lahan, pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan terkordinasi.
Peran modal sosial makro pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus akan dikaji baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi struktural yang terangkum dalam kebijakan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Pada awalnya pemerintah dalam menetapakan tata batas hutan masih memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam kawasan hutan. Sejak tahun 1994, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros mulai mensosialisasikan batas-batas kawasan hutan TGHK dan melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk peremajaan (mallolo). Masyarakat hanya diizinkan melakukan pemungutan buah kemiri dalam kawasan hutan.
Analisis keterkaitan modal sosial mikro, dan modal sosial makro dalam pengelolaan hutan kemiri pada tiga desa kasus adalah sebagai berikut: (1) Saling Percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan kemiri antara petani dengan petani dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan kemiri. (2) Jaringan. Hasil penelitian memperlihatkan keterkaitan modal sosial jaringan (net work) dalam hal pembukaan dan pengelolaan lahan hutan kemiri antar petani di ketiga desa kasus dijumpai dalam bentuk kelompok pembukaan lahan, dan sewa menyewa lahan.
3.3.2. Analisis
Jurnal ini sedikit banyak menceritakan tentang begitu besar kontribusi modal sosial baik mikro maupun makro dalam produksi kemiri petani setempat. Bentuk modal sosial tersebut yakni rasa saling percaya dalam batas penguasaan lahan, jaringan pembukaan lahan baru, dan terbangunnya norma dan kelembagaan masyarakat yang mengarahkan ketertiban sosial dalam pembukaan dan pengelolaan lahan kemiri. Namun dalam penjelasan interaksi dari keterkaitan modal sosial hanya dijelaskan dari sudut pandang hubungan saling percaya dan jaringan saja tanpa mendalami peran norma. Perihal pengaruh yang paling dirasakan dan dilihat mungkin jadi pertimbangan penulis tidak memasukkan unsur norma kedalam penjelasannya.
Selebihnya, penjelasan dari jurnal ini, dibahas juga pemanfaatan lahan itu diatur dalam pengetahuan lokal maupun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat secara umum saja. Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra (gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang tinggal di kota. Hal ini sangat mengagumkan karena masyarakat desa tersebut memahami kompleksitas penguasaan lahan dan melakuan regulasi sedemikian rupa hingga aturan dapat dimaknai bersama.
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Dalam Konteks Desentralisasi Kelembagaan
3.4.1.Ringkasan
Secara teori, desentralisasi dapat meningkatkan demokratisasi alami pengelolaan sumber daya dengan memungkinkan populasi lokal untuk membuat keputusan pada kontrol dan penggunaan sumber daya lokal. Dengan desentralisasi pengelolaan sumber daya alam, masyarakat lokal mungkin merasa kepemilikan yang lebih besar untuk aturan penggunaan sumber daya dan akan lebih terlibat dalam pelaksanaannya, pemantauan, dan penegakan hukum. Dalam pengalaman Lepaterique pada hutan manajemen, Amerika Tengah, diprakarsai oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), mendefinisikan kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan yang dikenal sebagai '' proses Lepaterique ''. Selama proses ini, kota berwenang meningkatkan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam dan melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan hutan kegiatan . Pengakuan kompleksitas pengelolaan hutan menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam lebih dari sekedar devolusi kekuasaan atas sumber daya alam dari pemerintah pusat untuk masyarakat.
Kotamadya mengakui hak adat dari pemegang kekuasaan lokal (parceleros), meskipun, dalam pengertian hukum, hak guna tersebut tidak diakui oleh negara. Pengelolaan sumber daya hutan secara tradisional telah sangat terpusat di Honduras. Sampai tahun 1970-an, perusahaan kayu di luar mendominasi sektor kehutanan di Lepaterique, seperti di tempat lain di Honduras, melaksanakan luas potong-dan-lari melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah. Logging yang ekstensif, dilakukan tanpa reboisasi, mengurangi stok kayu dari hutan dan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk regenerasi alami. Selama tahun 1970, sebagai tanggapan terhadap salah urus skala besar dan eksploitasi berlebihan hutan sumber daya, pemerintah Honduras mengambil peran yang lebih besar dalam tata kelola hutan. Pada tahun 1974, pemerintah mendirikan Honduras Korporasi Pengembangan Kehutanan (Corporacio' n Honduren~a de Desarrollo Forestal, COHDEFOR), dan membuat lembaga ini pemilik eksklusif hutan Honduras. Semua pohon-pohon di wilayah Honduras yang dinyatakan sebagai properti negara, sedangkan tanah tersebut secara nasional, municipally, atau milik pribadi.
3.4.2. Analisis
Jurnal ini sangat menarik untuk dibaca karena menghubungkan variabel-variabel unik yang secara kasat mata tidak berhubungan, namun setelah ditilik lebih lanjut sangat berhubungan erat. Penjelasan awal dan menjadi starter yang baik adalah isu desentralisasi dalam keberpusatan pemerinthan. Desentralisasi diakui mendistribusikan manfaat lebih adil, meningkatkna rasa kepemilikan sumber daya yang lebih besar untuk aturan penggunaan sumber daya, dan lain sebagainya. Masyarakat dijadikan sebagai mitra aktif dalam manajemen hutan. Mitra aktif yang dimaksud adalah masyarakat lokal berperan serta mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan. Efisiensi dari pengelolaan hutan di Amerika Tengah sukses yakni di hutan kemasyarakatannya. Kesuksesan tersebut ternyata membutuhkaan banyak tenaga untuk mencapai rekonsiliasi atau terkadang membuat konflik antar lembaga.
Namun pemerintah mengakui kompleksnya pengelolaan hutan tersebut bahkan harus menarik slogan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya. Akibat pengakuan dari keterbatasan pemerintah tersebut, kotamadya mengakui hak adat dari pemegang kekuasaan lokal walaupun dalam pengertian hukum tidak diakui oleh negara. Pengelolaan yang sentralistik tersebut membuat banyak konsesi juga mudah diserahkan kepada siapa saja sekalipun mayoritas diberikan kepada perusahaan-perusahaan. Kerusakan hutan semakin parah akibat perusahaan yang kapitalis dan logging yang ekstensif tanpa reboisasi. Maka didirikanlah COHDEFOR di Honduras sebuah korporasi Pengembangan Kehutanan yang dinaungi pemilik eksklusif hutan Honduras. Kelembagaan lokal ini pun mengendalikan semua fase kehutanan. Proyek MAFOR pun dikeluarkan dari lembaga ini yang menghubungkan tujuan pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintahan dan pembangunan hutan bisnis penebangan komunal.
PENUTUP
Kesimpulan
Perhutanan sosial memiliki dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Masyarakat memiliki hubungan emosional yang kuat antara dirinya dan lingkungannya. Hal ini pulalah yang menyebabkan perhutanan sosial memiliki pengaruh yang kuat kepada kehidupan masyarakat desa hutan. Pengaruh tersebut setidaknya menyentuh kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika perhutanan dapat terbukti menyejahterakan masyarakat bahkan meningkatnya kualitas hidupnya, redistribusi lahan untuk sumber hidup sekaligus pelestarian hutan merupakan suatu kewajiban.
Perhutanan sosial memiliki fokus utama yakni perlindungan hutan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan produksi lestari. Dari fokus perhutanan sosial tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Perhutanan sosial dapat mempengaruhi modal sosial seperti pengembangan jaringan dan tingkat kepercayaan.
Dengan perhutanan sosial, konflik kehutanan seperti halnya penyerobotan lahan dapat ditanggulangi dengan pemberdayaan masyarakat dan pihak pengelola. Hukuman yang dilaksanakan juga harus dimaknai bersama dan menguntungkan hutan itu sendiri juga. Perhutanan sosial yanng muncul sebagai resolusi kemudian mampu memancing investasi. Investasi yang dimaksud adalah hasil rekonsiliasi areal konflik. Dengan adanya rekonsiliasi, areal konflik dapat ditanami tanaman bernilai ekonomi dan produktif. Nilai ekonomi dari tanaman hasil rekonsiliasi tersebut kemudian akan menambah sumber daya bahkan menyimpan hasilnya untuk masa depan. Investasi yang terjadi, selain dalam bentuk modal, dapat juga dalam bentuk investasi sumberdaya manusia. Investasi sumberdaya manusia misalnya dalam bentuk kesehatan dan pendidikan atau pengetahuan. Investasi sebagai hasil resolusi konflik tersebut kemudian akan berpeluang menjadikan hutan itu sendiri lestari karena tutupan vegetasi yang lebih banyak dan menguntungkan hutan.
Saran
Adapun saran yang terdapat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
Perlu adanya peningkatan peran para pihak (termasuk Pemerintah melalui Dinas/Instansi terkait dan Forum Komunikasi PHBM dari semua tingkatan) dalam upaya mensukseskan implementasi Perhutanan sosial di Indonesia, termasuk dukungan alokasi dana baik dari APBD maupun APBN.
Pemerintah serta lembaga terkait harus mampu untuk terus menggali peluang-peluang kegiatan produktif yang sesuai dengan potensi spesifik masing-masing daerah dan dikembangkan dengan peran semua pihak secara proporsional agar dapat mengoptimalisasi potensi hutan pada setiap daerah yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[CIFOR]. 2003. Perhutanan sosial. [jurnal]. Warta Kebijakan 9(01): 1-6. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: www.cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf.
[College of Forestry and Natural Resources University of the Phipippines Los Banos]. 2004. Simplified and harmonized forestry regulatory procedures of the Philippines. [terminal report]. Hal 290-302. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadd061.pdf.
Dipokusumo Bambang. 2011. Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan. [tesis].
Fajari Onrianto Adi. 2002. Efektivitas program hutan kemasyarakatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi lahan. [tesis]. Hl 2-168. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7633
Mulyadi Mohammad. 2013. Pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan). [jurnal]. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(4) hal 224-234. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/170.
Muspida. Tidak ada tahun. Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. [jurnal]. Jurnal Hutan dan Mayarakat. 2(3) hal 290-302. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29822&val=2169
Nygren Anja. 2005. Community-based forest management within the context of institutional decentralization in Honduras. [jurnal]. Elsevier. 33(4) hal 1-17. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0305750X05000070
Sumanto Selamet Edi. 2009. Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. [jurnal]. Jurnal Analisis Kebijakan Hutan 06 (01) hal 1-13. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: http://fordamof.org/files/.2009lamet_Edi_Sumanto%5.pdf.
Waryono Tarsoen. 2008. Beberapa aspek pemberdayaan perhutanan sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi). [jurnal]. Makalah Penunjang Seminar Perhutanan Sosial Litbang Dephutbun. Diunduh pada tanggal 29 September 2017. Dapat diunduh dari: https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/26- perhutanan- sosial.pdf.