CASE REPORT TETANUS Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Stase Ilmu Penyakit Dalam Pembimbing : dr. Ardyasih, Sp.PD
Diajukan Oleh : Mira Candra Karuniawati J510165011
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017 CASE REPORT Tetanus
Oleh : Mira Candra Karuniawati J510165010
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
hari..................tanggal..........................2016
Pembimbing : dr. Ardyasih, Sp.PD
(.............................................)
Dipresentasikandihadapan :
2
pada
dr. Ardyasih, Sp.PD
(.............................................)
DisahkanKa Program Profesi : dr. Dona Dewi Nilawati
(.............................................)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas KedokteranUniversitas Muhammadiyah Surakarta BAB I PENDAHULUAN Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom1. Tetanus membunuh 1 dari 5 orang yang terinfeksi. Secara sporadik tetanus mampu menyerang individu tanpa imun, individu dengan imun parsial, serta individu dengan imun penuh tetapi imunitasnya gagal dan inadekuat2. Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian neonates yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa negara berkembang menunjukkan kematian neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000
3
kelahiran hidup. Di beberapa Negara berkembang kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total kematian neonatal3. Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkotaminasi atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan4.
BAB II TETANUS A. Identitas Pasien Nama Usia Jenis Kelamin Agama No. RM Alamat Agama Tanggal Masuk Tanggal Pemeriksaan
: Ny. S : 70 tahun : Perempuan : Islam : 353XXX : Temulus 3/7 Pondok Grogol Sukoharjo : Islam : 26-12-2016 : 04-01-2017
B. Anamnesis 1. Keluhan Utama : Kaku pada rahang, kaku pada tangan dan kaki, mulut tidak bisa dibuka sejak tiga hari yang lalu 2. Riwayat Penyakit Sekarang : HMRS : 4
Pasien diantar keluarga datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 26-12-2016 dengan keluhan kaku pada rahang, kaku pada tangan dan kaki, mulut tidak bisa di buka sejak jum’at, 3 hari yag lalu. Keluaga pasien mengaku seminggu sebelumnya pasien mencabut gigi palsunya di ahli gigi. Keluarga pasien mengatakan pasien telah memasang gigi palsu selama ±2 tahun di ahli gigi tempat pasien mencabut giginya. 3. Riwayat Penyakit Dahulu a) Riwayat Hipertensi
: disangkal
b) Riwayat sakit jantung
: disangkal
c) Riwayat penyakit asma
: disangkal
d) Riwayat gastritis
: disangkal
e) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal f) Riwayat Penyakit Ginjal
: disangkal
4. Riwayat penyakit Keluarga a) Riwayat Sakit Serupa
: disangkal
b) Riwayat Hipertensi
: disangkal
c) Riwayat Diabetes Melitus : disangkal d) Riwayat Sakit Jantung
: disangkal
C. Anamnesis Sistem a) System cerebrospinal : lemah (+), demam (-), penurunan kesadaran (-), pusing (-) b) System cardiovascular : anemis (-), akral dingin (-), palpitasi (-). c) System respirasi : sesak (-), batuk (-), mengi (-). d) System urinarius : BAK (+) BAB (+) e) System gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+). f) System musculoskeletal : edema pedis (-/-), kaku pada rahang (+), kaku pada perut (+). g) System integumentum : tampak pucat (-), sering berkeringat (-) D. Pemeriksaan Fisik a) Status generalis : lemah, kesadaran compos mentis
5
l)
b) Vital sign : TD 130/90 mmHg; RR 20x/menit; HR 84x/menit; S:36,4°C. c) Kepala : Bentuk normocephal, rambut rontok (-) d) Mata : simetris, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-). Reflek cahaya (+/+) e) Telinga : ukuran normal, sekret (-), bau (-), perdarahan (-) f) Hidung : eritem (-), pernapasan cuping hidung (-), sekret (-) g) Mulut : tertarik kebawah (-) gigi terkatup rapat (-) tidak bisa terbuka (+) h) Ekstremitas: akral dingin (-), edema (-/-). i) Leher : Inspeksi : pembesaran KGB (-), pembesaran tyroid (-), JVP tidak meningkat. j) Thorax: Cor: i. Inspeksi: iktus cordis tak tampak ii. Palpasi: iktus cordis tidak kuat angkat, iii. Perkusi: batas atas jantung SIC III linea parasternalis sinistra, batas bawah jantung SIC V linea midclavicularis sinistra. iv. Auskultasi : suara jantung S1-S2 reguler, suara tambahan (-) Pulmo: i. Inspeksi: simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak (-/-) ii. Palpasi: tidak terdapat ketinggalan gerak, fremitus normal. iii. Perkusi: sonor iv. Auskultasi: SDV (+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-). k) Abdomen: i. Inspeksi: permukaan rata, striae (-) sikatrik (-), warna kulit sawo matang ii. Auskultasi: hiperperistaltik (-) iii. Palpasi: kaku (+) seperti papan, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan (-) tidak teraba massa (-) iv. Perkusi: tympani (+) Pemeriksaan kaku kuduk (+)
6
E. Pemeriksaan Penunjang 1. Hasil pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan
Satuan
Nilai Rujukan
8.4
10ˆ3/uI
3.6 – 11.0
Eritrosit
4.36
10ˆ6/uL
3.80 – 5.20
Hemoglobin
12.5
g/dL
11.7 – 15.5
Hematokrit
38.3
%
35 – 47
Index Eritrosit MCV MCH MCHC
87.8 28.7 32.6
fL pg g/dL
80 – 100 26 – 34 32 – 37
Trombosit
321
10ˆ3/uI
150 – 450
RDW-CV
13.5
%
11.5 – 14.5
26 Desember 2016 HEMATOLOGI Paket Darah Lengkap Lekosit
7
PDW MPV P-LCR PCT
9.6 9.5 20 0.31
DIFF COUNT NRBC Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil IG
0.00 78.3 15.6 5.10 0.80 0.20 0.50
Golongan Darah KIMIA KLINIK GDS Ureum Creatinin SGOT SGPT
% % % % % % %
0–1 53 – 75 25 – 40 2–8 2.00 – 4.00 0–1
mg/gL mg/gL mg/gL U/L U/L
70 – 120 0 – 31 0.50 – 0.90 0 – 30 0 – 50
A
99 95.5 1.72 38.54 23.5
HBs Ag
fL % % %
Non reaktif
2. EKG
8
9
Normal Sinus Rhytm, Heart rate 75x/menit, old myocard infark inferior, ischemia anteroekstensif. F. Diagnosis Banding -
Tetanus generalisata
-
Meningitis
G. Diagnosis -
Tetanus : terjadi spasme otot messeter yang menyebabkan trimus (N.V) dan otot leher yang mengenai risus sardonicus (N.VII), otot-otot
10
perut, dan otot-otot punggung. Pasien akan merasakan kesukaran untuk menelan, nyeri pada bagian yang kaku jika dipaksakan bergerak. Pasien selalu sadar penuh. Ada riwayat trauma luka akibat pemasangan dan pencabutan gigi H. Terapi Lapor dr Sp PD, advise -
Rawat ruang isolasi
-
D5 + diazepam 4 amp 20 tpm
- ATS 20.000 IU -
Inj Cefttriaxon 1g/12j
-
Mecobalamin 1A /24j
-
Inj metronidazol 500mg/12j
-
Bila kejang extra diazepam
-
Inj Ranitidin 1amp/12j
I. Follow Up a. 3 Januari 2017 07.00 Subyektif : Kaku mulut (+) berkurang Trismus (+) berkurang Perut papan (+) berkurang Kejang (-) Kaku kuduk (+) berkurang Obyektif : TD : 100/70 HR: 82x RR : 24x T : 36,4 Kepala: Conjunctiva anemis -/-, sclera ikterik -/Thorax: SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, BJ I/II regular Abdomen: perut papan (+) berkurang Ekstremitas: akral hangat
11
Asessment : Tetanus Planning : -
D5 + diazepam 1 amp 20 tpm
-
Inj Cefttriaxon 1g/12j
-
Mecobalamin 1A /24j
-
Inj metronidazol 1 flash /12j
-
Nitokaf 1x1
-
Clopidogrel 1x1
-
Diazepam STOP
-
Mobilisasi dan fisioterapi
b. 4 Januari 2017 06.20 Subyektif : Kaku mulut (+) berkurang Trismus (+) berkurang Perut papan (+) berkurang Kejang (-) Kaku kuduk (+) berkurang Obyektif : TD : 110/70 HR : 88x RR: 24x T : 36 Kepala: Conjunctiva anemis -/-, sclera ikterik -/Thorax: SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, BJ I/II regular Abdomen: perut papan (+) berkurang Ekstremitas: akral hangat Asessment : IHD Planning : -
D5 + diazepam 1 amp 20 tpm
-
Inj Cefttriaxon 1g/12j
-
Mecobalamin 1A /24j
12
-
Inj metronidazol 1 flash /12j
-
Nitokaf 1x1
-
Clopidogrel 1x1
-
Mobilisasi dan fisioterapi
c. 5 Januari 2017 06.30 Subyektif : Kaku mulut (-) berkurang Trismus (-) berkurang Perut papan (+) berkurang Kejang (-) Kaku kuduk (-) membaik Obyektif : TD : 110/70 HR : 88x RR: 24x T : 36 Kepala: Conjunctiva anemis -/-, sclera ikterik -/Thorax: SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, BJ I/II regular Abdomen: perut papan (+) berkurang Ekstremitas: akral hangat Asessment : IHD Planning : -
D5 20 tpm
-
Diazepam STOP
-
Inj Cefttriaxon 1g/12j
-
Mecobalamin 1A /24j
-
Inj metronidazol 1 flash /12j
-
Nitokaf 1x1
-
Clopidogrel 1x1
-
Mobilisasi dan fisioterapi
d. 6 Januari 2017 06.30
13
Subyektif : Kaku mulut (-) berkurang Trismus (-) membaik Perut papan (-) membaik Kejang (-) Kaku kuduk (-) membaik Obyektif : TD : 110/70 HR : 88x RR: 24x T : 36 Kepala: Conjunctiva anemis -/-, sclera ikterik -/Thorax: SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, BJ I/II regular Abdomen: perut papan (-) Ekstremitas: akral hangat Asessment : IHD Planning : -
BLPL
-
Diazepam tab 2 mg 2x1
-
Cefadroxil caps 500 mg 2x1
-
Metronidazol tab 2x1
-
Omeprazol caps 40 mg 1x1
14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani sebuah obligat bakteri anaerob gram positif6. Yang utama jalur infeksi adalah melalui luka terbuka. Banyak kasus tetanus disebabkan oleh trauma minor,seperti berkebun, luka ringan di ladang pertanian, cedera medan perang, dan pencabutan gigi menggunakan peralatan yang tidak steril7. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat
serta
diperberat
dengan
kegagalan
respirasi
dan
ketidakstabilan
kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot8. II. Etiologi Tetanus merupakan bakteri gram positif yang menghasilkan toksin Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm dan mempunyai sifat: a. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. b. Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella. c. Menghasilkan eksotosin yang kuat. d. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektans biasa. e. Port yang biasa masuk dan istirahat di kulit, dan faktor risiko untuk tertular tetanus terkait dengan kondisi kloinis yang mencakup ini, terutama
15
luka karena bedah. Meskipun jarang, pada saluran pencernaan dapat memberikan kemungkinan sumber endogen Clostridium tetani. f. Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetativ yang akan menghasilkan eksotoksin. g. Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro tropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot h. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia. i. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. j. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya9,1.
16
Gambar 1. Clostridium tetani III. Epidemiologi Secara global hampir 14% penyebab kematian neonatus adalah tetanus neonatorum. Tetanus neonatorum bertanggung jawab terhadap 50% kematian neonates yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi dan atau pelayanan persalinan dan pasca persalinan yang bersih. Beberapa penelitian komunitas di awal tahun 1970 dan 1980 di Negara Amerika Latin dan beberapa negara berkembang menunjukkan kematian neonatal antara <5 sampai 60 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di beberapa Negara berkembang kematian tetanus neonatorum merupakan 23-72% dari total kematian neonatal4. Tetanus terjadi sporadik dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu dengan imunitas penuh kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Trauma yang menyebabkan tetanus bias berupa luka besar tapi dapat juga luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Pada beberapa pasien tidak diidentifikasi adanya port d’entree9.
17
Port d entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui : 1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar. 2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik. 3. OMP, caries gigi. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril. 5. Penjahitan luka robek yang tidak steril5. IV. Patogenesis Kontaminasi luka oleh Clostridium tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan akan tetap tenang, sampai ada infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi
sumber
infeksi
dan
mengoptimalkan
kondisi
yang
memungkinkan multiplikasi bakteri10. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang
18
spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti3. V. Manifestasi Klinis Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Variasi masa inkubasi sangat lebar, makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur11. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan: 1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris. 2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki) 3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut) 4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior. 5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. 6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
19
7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat. 8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat. 9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir. 10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak2,11. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: a. Tetanus lokal Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin1. b. Tetanus Cephalic Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi,
20
dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek13. c. Tetanus umum Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis13,1. d. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru9.
21
VI.Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada riwayat imunisasi dan juga pemeriksaan klinis dan laboratorium, meliputi: -
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.
-
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
-
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
-
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
-
Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium: -
Lekositosis ringan
-
Trombosit sedikit meningkat
-
Glukosa dan kalsium darah normal
-
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
-
Enzim otot serum mungkin meningkat
-
EKG dan EEG biasanya normal
-
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
-
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)9.
VII. Komplikasi 1. Pada saluran pernapasan Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi13,. 2. Pada kardiovaskular
22
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi,
vasokonstriksi
perifer
dan
rangsangan
miokardium. 3. Pada tulang dan otot Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa. 4. Komplikasi yang lain : a. Laserasi lidah akibat kejang b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. d. Kematian
yang
dapat
terjadi
akibat
komplikasi,
yaitu:
bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks13. VIII. Penatalaksanaan Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan, yaitu organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi. Penatalaksanaan umum pasien tetanus hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, dimana observasi dan pemantauan kardiopolmuner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan nafas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan secara menyeluruh9. 1. Tatalaksana Dasar a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah12 1. Antibiotik Penggunaan antibiotik digunakan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium tetani peka terhadap penisilin grup laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman 23
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Pemberian metronidazole awal diberikan secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. 2. Perawatan luka Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi. b. Netralisasi toksin 1. Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV4
24
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. c. Menekan efek toksin pada SSP 1. Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 2. Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik. 3. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus.
25
Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi4 4. Metronidazol Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematiansel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. Dosis dewasa diberika 500mg per oral tiap 6 jam atau 1 g i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4 g/hari. Pada anak diberikan 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2g/hari9 5. Ceftriaxone Ceftriaxone merupakan golongan antibiotic cephalosporin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri gram + maupun -. Dosis ceftriaxone untuk dewasa dan anak >12 tahun diberikan 1gr/ hari. Sedangkan untuk anak <12 tahun diberikan 20-50mg/kgBB dosis tunggal12.
BAB IV
26
PEMBAHASAN Ditegakan diagnosis tetanus karena pada anamnesis pasien terdapat riwayat
pemasangan dan pencabutan gigi di ahli gigi yang diduga
menggunakan peralatan bedah yang tidak steril. Lalu didapatkan kaku pada rahang, kaku pada tangan dan kaki, mulut tidak bisa di buka, juga nyeri perut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gejala yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus yaitu adanya kekakuan pada rahang, tangan dan kaki, mulut tidak bisa di buka, kesulitan menelan, nyeri perut dan perut tegang juga keras seperti papan (Risus Sardonikus). Penatalaksanaan Pada pasien ini saat di IGD telah diberikan ATS 20.000 iU sebagai lini pertama yang bertujuan untuk mencegah penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut. Diazepam (valium) sebagai psikotropika dan bekerja untuk relaksasi otot skelet sekaligus antikonvulsan. Diberikan intravena 10mg setiap 4 jam. Lalu dosis dapat diturunkan dengan menggunakan tablet dua kali sehari. Metronidazole memiliki aktivitas tinggi terhadap bakteri anaerob dan protozoa. Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium
tetanii
yang
merupakan
bakteri
anaerob.
Pemberiannya melalui injeksi intravena sebesar 500mg dalam 10 ml dan diulang setiap dua jam. Obat ini akan membantu mengikat C.tetanii agar tidak meluas daerah infeksinya. Metronidazol dapat dikombinasikan dengan antibakteri golongan sefalosporin, Ceftriaxone secara intravena. Kedua obat ini bersifat sinergis sehingga akan mengurangi toksin dari C. Tetani.
27
BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Hendarwanto. Nyeri Abdomen Akut. Dalam : Sudoyo, Aru W., Bambang, Setiyohadi., Idrus Alwi., Macellus, Simadibrata K., Siti Setiati., 2009. llmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FK UI: Jakarta, hal 474-476 2. Center of Decease Control. 2013. Updated Recommendations for Use of Tetanus Toxoid, Reduced Diphtheria Toxoid and Acellular Pertussis (Tdap) Vaccine from the Advisory Committee on Immunization Practices. MMWR. 60 :13-15 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatus. Jakarta. 33-34 4. Soedarmo, Garna., 2008. Tetanus. Buku Ajar Infeksi Tropik. Jakarta : EGC 5. Laksmi, NKS. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-22. 41:11 6. Pascapurnama, DN., Murakami, A., H, Changan-Yasutan., T, Hattori., H, Sasaki., S, Egawa., et al., 2016. Prevention of Tetanus Outbreak Following Natural Disaster in Indonesia: Lessons Learned from Previous Disasters. . Exp. Med. 238 : 219-227 7. Zunga, Parvaiz M., Tarfarosh, Shah Faisal Ahmad., Yaseen, Ummer., 2016. Generalized Tetanus Initially Presenting with Dysmasesis. Cureus : 8(6) 8. Behrman, Kligman, Arvin. Nelson. 2000.Ilmu kesehatan anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta : EGC. 1004 – 1007. 9. Ismanoe, G., 2009. Tetanus. Dalam : Sudoyo, Aru W., Bambang, Setiyohadi., Idrus Alwi., Macellus, Simadibrata K., Siti Setiati., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2911-2923 10. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : www.pediatrik.com. (diakses 3 Januari 2017)
28
11. Soedarmo,Sumarmo, P, Poorwo, Herry Garna, Hadinegoro, Sri Rezeki S., Satari, Hindra Irawan., 2002. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 322 – 329 12. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1986. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta : Infomedika. 568 – 573. 13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.Penatalaksanaan Tetanus. Jakarta.
29