Case Report Session
TETANUS
Oleh : Widia Sari
(1210312004)
Preseptor : dr. Eva Chundrayetti, Sp.A (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2017
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga laporan kasus yang berjudul “Tetanus” ini dapat penulis selesaikan. Makalah ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan, serta sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr. M. Djamil Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada staf pengajar yang telah membimbing penulis dalam menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak, serta kepada dr. Eva Chundrayetti, Sp.A (K) sebagai preseptor dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis
menyadari
sepenuhnya
bahwa
makalah
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala saran dan kritikan yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi semua pembaca. Padang, Februari 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar.........................................................................................................2 Daftar Isi...................................................................................................................3 BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................4 1.1 Latar Belakang............................................................................................4 1.2 Batasan Masalah.........................................................................................4 1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................5 1.4 Metode Penulisan ………………………………………………………...5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................6 2.1 Definisi........................................................................................................6 2.2 Etiologi ………………………………………………………………..... .6 2.3 Epidemiologi.............................................................................................. 7 2.4 Patogenesis................................................................................................ 8 2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................... 9 2.6 Diagnosis.................................................................................................. 10 2.7 Diagnosis Banding………………………………………………………11 2.8 Tatalaksana.............................................................................................11 2.9 Komplikasi..............................................................................................13 2.10 Prognosis.................................................................................................13 BAB 3. ILUSTRASI KASUS................................................................................14 BAB 4. DISKUSI ……..........................................................................................24 Daftar Pustaka
3
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya riwayat kekakuan otot yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostrodium tetani.1 Tetanus masih menjadi masalah global meskipun penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin. World Health Association (WHO) memasukkan tetanus sebagai salah satu bagian dari Expanded Program of Immunization (EPI) untuk mengeredikasi penyakit ini. Sebagian besar penyakit ini ditemukan pada negara berkembang.2 Gejala tetanus terutama disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan oleh bakteri penyebab tetanus pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom. Gejala dapat diawali dengan kekakuan pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.3 Berdasarkan gejalanya tetanus dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu tetanus lokal, tetanus sefalik, dan general tetanus.2 Prinsip pengobatan tetanus adalah pemberian antibiotik, netralisasi toksin, antikonvulsan, perawatan luka atau port d’entrée, dan terapi suportif lainnya.4 1.2 Batasan Masalah Laporan kasus ini membahas tentang salah satu kasus tetanus yang ditemukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
4
1.3 Tujuan Penulisan Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari tetanus, serta membandingkan dengan kasus yang ditemukan di lapangan. 1.4 Metode Penulisan Metode penulisan laporan kasus ini dengan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tetanus Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya riwayat kekakuan otot yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostrodium tetani.1 Gejala terutama disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.3 Tetanus merupakan penyakit yang berbahaya yang dapat dicegah dengan menggunakan vaksin. Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan kriteria klinisnya. Penegakkan diagnosis yang cepat dan tatalaksana yang adekuat memberikan prognosis yang baik dalam perjalanan penyakit ini.5 2.2 Etiologi Mikroorganisme penyebab tetanus adalah Clostridium tetani, kuman yang berbentuk batang ( basil Gram-positif) yang dapat hidup dan bertahan di tanah dan usus binatang, terutama pada tanah di daerah peternakan atau perkebunan3. Mikroorganisme ini memiliki sifat :2,3,5 1. Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak menggunakan flagella.
6
2. Mampu membentuk spora yang berbentuk seperti raket tenis yang bisa nertahan dalam suhu tinggi, kekeringan, dan desinfektan. Spora dapat ditemukan di tanah, kotoran hewan, air yang kotor, dan peralatan operasi yang tidak steril. 3. Mampu menghasilkan eksotoksin yang kuat, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin bekerja optimal pada luka, sedangkan tetanospasmin merupakan salah satu neurotoksin kuat yang diketahui. Tetanospasmin akan berefek di susunan saraf pusat dan akan menimbulkan gejala klinis dari tetanus.. 2.3 Epidemiologi Tetanus merupakan masalah kesehatan yang terjadi di seluruh dunia, terutama pada daerah panas yang padat penduduk, daerah dengan kelembapan tinggi dan tanah yang mengandung banyak bahan organik. Penyakit ini merupakan penyakit endemik di sekitar 90 negara berkembang. Kasus terbanyak ditemukan pada neonatus (tetanus neonatorum) yang diperkirakan menjadi penyebab kematian pada 500.000 bayi baru lahir setiap tahun, dengan sekitar 80% kematian terjadi di 12 negara tropis di Asia dan Afrika. Kematian yang disebabkan oleh tetanus neonatorum sebagian besar terjadi pada bayi yang tidak diberikan imunisasi.1,2 Tetanus yang terjadi pada anak juga tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi yang memiliki angka cakupan imunisasi DTP rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh tingkat aktivitas anak laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan.3 Berdasarkan data rekam medis yang tercatat pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RS Cipto Mangunkusumo, dalam 10 tahun ditemukan 99 kasus tetanus, dengan kematian pada
7
8 pasien. Khusus pada tahun 2009, didapatkan 9 kasus tetanus, dan pada tahun 2010 didapatkan 6 kasus tetanus tanpa adanya kematian.4 Port d’entre penyakit ini sering tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi diduga penyebarannya dapat melalui :3 1. Luka tusuk, patah tulang akibat komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. 2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan dengan baik. 3. Otitis media, karies gigi, atau luka kronik. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pemberian punting tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak, kuda, dan hewan lainnya, sehingga risiko angka kejadian tetanus tinggi pada daerah peternakan. Spora kuman ini dapat tahan terhadap kekeringan dan bisa bertebaran dimana-mana, seperti pada debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), atau pada alat suntik dan alat operasi. 3 Penyakit ini tidak ditularkan dari manusia ke manusia dan dapat dicegah dengan pemberian vaksin. Infeksi terjadi apabila spora C. tetani masuk melalui luka atau trauma, proses operasi atau injeksi, atau dari lesi kulit yang bersifat kronik.3,6 2.4 Patogenesis Spora dari C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka yang terkontaminasi dengan spora dan setelah beberapa lama mengalami inkubasi, spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan toksin tetanolisin dan
8
tetanospasmin. Selanjutnya toksin ini akan berikatan pada neuro muscular junction dan kemudian masuk ke saraf motorik melalui proses endositosis. 1,2 Toksin yang telah masuk ke saraf motoric akan ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc dependent endopeptidase akan memecah vesicleassociatedmembrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptide tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi dengan cara mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron melakukan inhibisi, maka motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, sehingga terjadi kegagalan dalam menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tibatiba. 1,2,7 2.5 Manifestasi Klinis 1. Tetanus general Gejala yang sering tampak pada sebagian besar kasus adalah trismus (spasme otot masseter). Gejala awal lainnya adalah sakit kepala, mudah lelah, dan iritabilitas, yang sering diikuti dengam kekakuan, sulit mengunyah, dan spasme dari otot leher. Spasme pada wajah dan otot bukal akan menunjukkan gambaran wajah risus sardonicus, yaitu dahi dapat mengerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut tertarik ke luar bawah. Apabila paralisis sampai ke abdominal, lumbal, bokong, dan otot paha,
9
maka pasien akan menunjukkan posisi tubuh yang hiperketensi atau membentuk seperti busur yang dikenal dengan opistotonus. 1,3 Apabila spasme mengenai laring dam otot pernapasan, maka dapat menyebabkan timbulnya obstruksi dan asfiksia. Anak akan tetap sadar karena toksin yang dihasilkan oleh bakteri penyebabnya tidak dapat mempengaruhi saraf sensoris dan fungsi kortikal. Jika kekakuan makin berat, maka akan timbul kejang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat tonik, dengan tangan mengepal, lengan fleksi dan adduksi, sedangkan tungkai hiperkestensi. Kejang akan berlangsung selama beberapa detik hingga beberapa menit. Kejang dapat terjadi karena adanya rangsangan cahaya, suara, dan sentuhan. 1,3 2. Tetanus lokal Tetanus lokal ditandai dengan spasme otot yang nyeri di daerah luka dan bisa berkembang menjadi tetanus general.1 3. Tetanus Cephalic Tetanus cephalic merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal yang melibatkan otot bulbar yang terjadi akibat adanya luka atau benda asing di kepala, hidung, atau wajah. Tetanus cephalic juga berhubungan dengan otitis media kronis dan ditandai dengan retraksi alis mata, pandangan yang deviasi, trismus, risus, sardonikus, dan paralisis spastik pada lidah dan otot faring.1 2.6 Diagnosis Diagnosis dari tetanus ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan. Penemuan dari agen penyebab tidak dapat memastikan diagnosis dan apabila tidak ditemukannya agen penyebab, diagnosis tetanus tetap tidak bisa disingkirkan. 5 10
Seorang anak akan dicurigai menderita tetanus jika tidak mendapatkan imunisasi, ada riwayat terluka, terdapat gejala trismus atau gejala kekakuan otot lainnya dan tidak ada gangguan kesadaran ( tidak ada gangguan sensori).1 Pemeriksaan dari laboratorium biasanya tidak khas dan sering ditemukan dengan hasil normal. Adanya peningkatan dari leukosit, dapat disebabkan oleh infeksi sekunder pada luka. Pemeriksaan cairan serebrospinal akan normal. Penemuan dari bentuk basil dan spora terminal C. tetani dari pemeriksaan kultur kuman dari swab luka akan mengarahkan pada kemungkinan diagnosis adalah tetanus.
1,2,5
2.7 Diagnosis Banding Pada kasus tetanus general tidak dapat disamakan dengan jenis penyakit yang lain. Pada kasus yang samar perlu dipikirkan diagnosis banding berupa :2 1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Hal yang membedakannya dengan tetanus, pada ketiga diagnosis tersebut tidak ditemukan adanya trismus, risus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan adanya kelainan dari cairan serebrospinal. 2. Rabies. Pada rabies akan dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesisnya akan ditemukan riwayat digigit binatang saat terjadinya epidemic. 3. Trismus karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsillar. Pada keadaan tersebut trismus biasanya bersifat asimetris. 2.8 Tatalaksana Tatalaksana dari tetanus meliputi netralisasi dari toksin, eradikasi bakteri C. tetani, kontrol pernapasan dan kejang, dan pencegahan agar tetanus tidak berulang.1 11
2.8.1. Netralisasi toksin Berikan human tetanus immunoglobulin (TIG) secepat mungkin jika tersedia untuk mencegah toksin menyebar luas ke otot-otot lain. Dosis optimal dari TIG belum ditentukan. Pemberian injeksi TIG intramuskular dosis tunggal sebanyak 500U dapat menetralisir toksin tetanus di sistemik, akan tetapi pemberian dosis total sebanyak 3.000-6.000 U juga direkomendasikan. Pemberian TIG tidak menetralisir toksin yang telah menyebar hingga ke tulang belakang, oleh karena itu harus segera diberikan setelah dosis ditegakkan.1,6 Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka karena hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Kontraindikasi TIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya, trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular.7 Apabila TIG tidak ditemukan, berikan anti tetanus serum (ATS) dengan dosis yang dianjurkan 100.000 IU, dengan 50.000 IU diberikan intramuskular dan 50.000 IU diberikan secara intravena. Pemberiannya harus hati-hati karena dapat menimbulkan terjadinya reaksi anafilaksis. 3 2.8.2. Eradikasi bakteri C. tetani Antibiotik lini pertama adalah metronidazole iv/oral dengan dosis awal 15 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval pemberian
12
6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurami jumlah C. tetani dalam bentuk vegetative.3 Lini
kedua
dapat
diberikan
penisilin
prokain
dengan
dosis
50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari. Jika terdapat alergi terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak dengan usia >8 tahun).3
2.8.3. Mengurangi dan mengatasi spasme dan kejang Diazepam efektif untuk mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval pemberian 2-4 jam. Untuk anak usia <2 tahun dosis uang direkomendasikan adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg per 3 jam. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Tanda klinis dikatakan membaik jika tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Jika dengan pemberian dosis diazepam rumatan didapatkan perbaikan klinis, maka dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (sekitar 20% dari dosis setiap dua hari).3 2.9 Komplikasi Kejang dan kekakuan otot yang parah dapat menjadi predisposisi munculnya komplikasi pada pasien tetanus, seperti :1 1.
Aspirasi dan pneumonia
2.
Timbulnya laserasi pada lidah dan bibir akibat kejang
13
3.
Trombosis vena, emboli paru, ulkus lambung dengan atau tanpa perdarahan, ileus paralitik, dan ulserasi dari decubitus.
2.10 Prognosis Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, waktu munculnya onset, jenis lukan, dan status imun pasien. Semakin pendek masa inkubasi, semakin buruk prognosis, semakin pendek waktu munculnya onset, maka prognosis semakin buruk. 3 BAB 3 LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN Nama
: An. RF
Nama ibu kandung
: Ny. DS
Umur/ Tanggal Lahir : 6 tahun / 11 Februari 2011 Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Pelajar
Status perkawinan
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat Sinjunjung
: Jl. Jorong Ladang Kapeh, Padang Sibusuk Kupitan,
Tanggal masuk
: 18 Februari 2017
No. RM
: 97.07.92
ANAMNESIS Seorang anak laki-laki usia 6 tahun dirawat di bangsal Akut Anak RSUP Dr. M Djamil Padang hari rawatan ke – 3 dengan diagnosis Tetanus dalam pengobatan. 14
KELUHAN UTAMA Kejang berulang sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG •
Tampak kaku pada hampir seluruh tubuh (tangan, kaki, dan leher) sejak 3
•
minggu yang lalu, anak tampak susah berjalan. Sukar membuka mulut sejak 10 hari yang lalu, disertai sulit menelan dan
•
menguap. Kejang berulang sejak 1 minggu yang lalu, awalnya 1x, lama ± 5 menit. Kemudian kejang berulang, seluruh tubuh, frekuensi ± 10x, lama kejang 1020 detik, anak sadar setelah kejang dan menangis. Kejang timbul apabila ada
•
rangsangan cahaya dan suara. Riwayat sakit kulit di belakang telinga kiri ada, 3 bulan yang lalu, tidak
•
diobati, sekarang sudah tidak ada lagi. Riwayat luka terbuka pada kuku kelingking kanan ada 1 tahun yang lalu,
• • • • • • • • •
karena terjatuh. Riwayat gigi berlubang tidak ada. Riwayat tergigit binatang tidak ada. Riwayat terkena luka tusuk tidak ada. Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada. Anak tidak pernah diberikan imunisasi, termasuk imunisasi tetanus. Riwayat demam, batuk, pilek, dan sesak nafas tidak ada. Buang air kecil jumlah dan warna biasa. Buang air besar jumlah dan konsistensi biasa. Sebelumnya anak telah dirawat selama 4 hari di RSUD Solok, telah dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil : Hb 12,2 g/dl, leukosit 11.130 mm3, Ht 35%, trombosit 433.000/mm3, dan telah mendapat terapi IVFD KaEn 1B 4 tpm makro, Tetagam 10 unit (2500 IU), Metronidazole 3x200 mg IV selama 3 hari, Luminal 750 mg IM dilanjutkan Luminal 2x60 mg p.o, Ceftriaxone 15
2x500mg IV selama 2 hari dan oksigen 2L/menit. Dalam rawatan anak sudah dikonsulkan ke bagian THT dengan hasil OMA ADS, kemudian anak dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU • Tidak ada riwayat kejang demam sebelumnya. • Tidak ada riwayat infeksi telinga sebelumnya. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Tidak ada keluarga memiliki riwayat kejang dan badan kaku seperti pasien RIWAYAT KELAHIRAN, KEBIASAAN, SOSIAL, EKONOMI • Pasien anak keempat, lahir cukup bulan, lahir spontan dengan bantuan bidan. Berat badan saat lahir 2.900 gram, panjang badan 49 cm, anak langsung • •
menangis kuat. Anak tidak pernah diberikan imunisasi. Pasien mendapatkan ASI hingga usia 24 bulan dan diberikan susu formula sejak usia 3 bulan. Makan 3x sehari menghabiskan 1 porsi anak-anak.
•
Kualitas dan kuantitas cukup. Rumah tempat tinggal permanen, sumber air minum PAM, buang air besar di WC dalam rumah, pekarangan ada (sedikit), dan sampah dibuang ke tempat pembuangan sampah.
PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN UMUM Keadaan Umum
: sakit sedang
Kesadaran
: sadar
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 96x / menit
Nafas
: 20x / menit
Suhu
: 36,5o C
Berat Badan
: 16,5 kg
Tinggi Badan
: 115 cm 16
BB/U
: 83,3%
TB/U
: 99,6%
BB/TB
: 85,4%
Status Gizi
: Gizi kurang
Edema
: Tidak Ada
Ikterus
: Tidak Ada
Anemia
: Tidak Ada
Sianosis
: Tidak Ada
PEMERIKSAAN KHUSUS Kulit
: kulit teraba hangat
Kelenjar getah bening : tidak ada teraba pembesaran kelenjar getah bening Kepala
: Simetris, bulat, wajah Risus Sardonicus tidak ada
Rambut
: Rambut hitam, tidak mudah rontok
Mata
: konjungtiva pucat -/- , sklera ikterik -/-, pupil isokor, diameter 2mm/2mm
Telinga
: Aurikula Dekstra
: liang telinga lapang, tidak hiperemis, membran timpani utuh, sekret tidak
ada. Aurikula Sinistra
: liang telinga sempit, tidak hiperemis, membran timpani tidak jelas, sekret tidak ada.
Hidung
: Napas cuping hidung tidak ada
Tenggorok
: Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, dinding posterior faring tidak hiperemis
Mulut
: Gigi : karies dentis tidak ada, trismus (+) 3cm 17
Leher
: 5-2 cmH2o
Thoraks
: retraksi dinding dada tidak ada Paru : Inspeksi
: simetris kiri = kanan (statis dan
Palpasi
: fremitus kiri = kanan
Perkusi
: sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi
: suara nafas vesikuler, rh -/-, wh -/-
dinamis)
Jantung : Inspeksi
: iktus tidak terlihat
Palpasi
: iktus teraba di LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung atas
: RIC II
batas jantung kanan : LSD batas jantung kiri Auskultasi
: LMCS RIC V
: irama teratur, bising (-), murmur (-)
Hati : Inspeksi
: distensi abdomen tidak ada
Palpasi
: spasme otot abdomen tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: BU (+) normal
Punggung
: Opistotonus tidak ada
Genitalia
: A1P1G1
18
Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < detik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-, tanda rangsang meningeal -/-
HASIL LABORATORIUM Hb
: 12,4 gr/dl
Leukosit
: 7.100 /mm3
Hitung jenis
: 0/1/3/68/24/4
Hematokrit
: 38%
Trombosit
: 481.000 /mm3
Kesan
: Trombositosis
DIAGNOSIS KERJA Tetanus dalam pengobatan Susp. OMA AS dalam pengobatan TATALAKSANA Tatalaksana Nutrisi / Dietetik MC 8x150 cc (hari pertama) ML 500 kkal KaEN 1B 4 tpm (makro) Tatalaksana Medikamentosa Metronidazol 4x125 mg IV Paracetamol 200 mg (jika suhu > 38,50C) Diazepam 4x2 mg IV Edukasi Menjelaskan kepada keluarga mengenai penyebab penyakit, tatalaksana, dan
prognosis penyakit anak. Hindari anak dari rangsangan cahaya dan suara yang berlebihan. Jika ada luka terbuka segera dibersihkan, obati, dan tutup luka. Jika ada keluhan pada telinga dan gigi segera obati. Hindari bermain tanpa menggunakan alas kaki.
Follow Up 19 Februari 2017
19
S/ Kaku masih ada, namun sudah berkurang. Trismus (+) 3cm. Opistotonus tidak ada. Demam tidak ada. Sesak nafas tidak ada, batuk ada sekali-sekali, batuk berdahak. Anak sudah bisa menelan makanan lunak. O/ Keadaan umum
: sakit sedang
Kesadaran
: sadar
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 100x/ menit
Nafas
: 24x/menit
Suhu
: 36,5o C
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Mulut
: Trismus (+) 3 cm
Thorak
: retraksi dinding dada tidak ada, paru dan jantung dalam batas normal
Abdomen
: hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Tetanus dalam pengobatan Susp. OMA AS dalam pengobatan P/ MC 8x150 cc KaEn 1B 4 tpm (makro) Metronidazole 4x125 mg IV Diazepam 4x2 mg IV Paracetamol 200 mg (jika suhu >38,5o C) Follow Up 20 Februari 2017 20
S/ Kaku tidak ada Trismus (+) 3cm.. Demam tidak ada. Sesak nafas tidak ada, batuk ada sekali-sekali, batuk berdahak. Intake makanan baik. Nyeri saat menelan tidak ada. O/ Keadaan umum
: sakit sedang
Kesadaran
: sadar
Tekanan darah
: 100/60mmHg
Nadi
: 98x/ menit
Nafas
: 24x/menit
Suhu
: 37o C
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Mulut
: Trismus (+) 3 cm
Thorak
: retraksi dinding dada tidak ada, paru dan jantung dalam batas normal
Abdomen
: hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Tetanus dalam pengobatan P/ terapi lanjut Follow Up 21 Februari 2017 S/ Kaku tidak ada. Kejang tidak ada. Trismus tidak ada Demam tidak ada. Sesak nafas tidak ada, batuk ada sekali-sekali, batuk berdahak. Intake makanan baik. Anak sudah mulai bisa berbicara dan makan seperi biasa. Nyeri saat menelan tidak ada. O/ Keadaan umum
: sakit sedang 21
Kesadaran
: sadar
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 96x/ menit
Nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36,8o C
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Mulut
: Trismus tidak ada
Thorak
: retraksi dinding dada tidak ada, paru dan jantung dalam batas normal
Abdomen
: hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
: akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Tetanus dalam pengobatan P/ terapi lanjut
BAB 4 DISKUSI
Seorang anak laki-laki usia 6 tahun dirawat di bangsal akut Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. M Djamil Padang hari rawatan ke tiga dengan diagnosis tetanus dalam pengobatan dengan keluhan utama kejang berulang sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. 22
Diagnosis tetanus pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, karena sesuai dengan teori bahwa penegakkan diagnosis dari tetanus pada dasarnya berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis yang dilakukan kepada ibu kandung pasien didapatkan data yang dapat mengarahkan diagnosis kearah tetanus, yaitu anak mengalami kejang berulang sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya anak tampak kaku hampir pada seluruh tubuh, anak tampak susah berjalan, dan tubuh tampak melengkung seperti busur. Selain itu, pada anak juga ditemukan keluhan sukar membuka mulut yang disertai dengan sulit menelan dan menguap. Berdasarkan teori gejala klinis tetanus ditandai dengan kekakuan otot (spasme) tanpa disertai adanya gangguan kesadaran. Kekakuan dimulai pada otot setempat (trismus) yang kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Selain itu, kekakuan pada tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pda kedua tungkai, dan fleksi pada telapak kaki, dan tubuh kaku melengkung seperti busur (opistotonus). Trismus merupakan kekakuan dari otot mengunyah (otot maseter) sehingga menimbulkan gejala sukar membuka mulut. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh, seperti otot punggung, otot leher, otot badan, dan otot anggota gerak. Apabila kekakuan yang terjadi sangat berat, maka dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.3 Pada pasien ini ditemukan gejala trismus dan opistotonus yang dapat mengarahkan diagnosis kepada tetanus. Kekakuan pada otot disebabkan dampak dari toksin C. tetani (tetanospasmin) pada ganglion pra sumsum tulang belakang. Tetanospasmin akan menghambat 23
sinaps jalur antagonis, sehingga akan mengubah keseimbangan dan koordinasi dari impuls yang berdampak kepada terjadinya peningkatan tonus otot dan otot menjadi kaku.3 Selain hal diatas, pada pasien ini juga didapatkan adanya riwayat kejang berulang, pada awalnya kejang hanya terjadi 1x selama ± 5 menit, kemudian kejang berulang dengan frekuensi ±10x, dengan lama kejang 10-20 detik. Kejang terjadi pada seluruh tubuh dan timbul jika adanya rangsangan cahaya atau suara. Keluhan ini juga sesuai dengan gejala dari tetanus. Kejang umum dapat terjadi apabila kekauan yang terjadi semakin berat. Awalnya, kejang terjadi setelah diberikan suatu rangsangan seperti dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena cahaya dan adanya suara. Perlahan “masa istirahat” kejang akan semakin pendek sehingga anak akan jatuh kepada status konvulsivus. Kejang pada tetanus dapat terjadi sebagai dampak dari toksin C. tetani pada otak. Toksin akan menempel pada cerebral gangliosides dan hal ini diduga menjadi penyebab terjadinya kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.3
Penegakkan diagnosis tetanus pada pasien ini juga didukung berdasarkan keterangan dari ibu pasien, bahwa pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi, termasuk imunisasi tetanus. Secara teori, seorang anak akan dicurigai menderita tetanus jika tidak mendapatkan imunisasi. Meskipun tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan adanya pemberian vaksin, namun kasus tetanus asih menjadi kasus global terutama di negara berkembang, karena pelaksanaan program
24
imunisasi yang masih belum berjalan dengan baik dan faktor masyarakat yang masih menolak pemberian imunisasi kepada anaknya.1,7 Untuk port d’entre dari pasien ini belum bisa diketahui dengan pasti. Karena berdasakan dari hasil anamnesis, anak tidak pernah mengalami luka tusuk, digigit oleh binatang, tidak memiliki riwayat gigi berlubang atau keluhan pada gigi, atau riwayat keluar cairan dari telinga. Hal ini perlu ditanyakan untuk mencari sumber infeksinya, karena berdasarkan teori tetanus tidak ditularkan dari manusia ke manusia. Akan tetapi, infeksi terjadi apabila spora C. tetani masuk melalui luka atau trauma, proses operasi atau injeksi, atau dari lesi kulit yang bersifat kronik. Pada beberapa kasus, port d’entre dari kuman ini memang tidak dapat diketahui dengan pasti.3,6 Namun, pada pasien ini ditemukan adanya riwayat luka terbuka pada kuku kelingking kanan yang terjadi 1 bulan yang lalu akibat terjatuh. Mungkin adanya luka terbuka pada kuku ini dapat dipikirkan sebagai salah satu tempat masuknya spora dari bakteri penyebab tetanus ini. Berdasarkan teori, tetanus pada anak sering berhubungan dengan luka traumatik, luka dapat dipenetrasi oleh benda kotor seperti kuku, pecahan kaca, atau tindakan penyuntikan yang tidak steril.1 Dari pemeriksaan fisik pasien ini, yang masih ditemukan adalah gejala sukar membuka mulut (trismus) yang dijumpai sebesar 3cm. Menurut teori, pemeriksaan fisik yang ditemukan pada tetanus adalah trismus, opistotonus, wajah risus sardonikus, dan otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan. 1 Tidak adanya pemeriksaan fisik lainnya pada pasien ini mungkin disebabkan karena perjalanan penyakit yang sudah berlangsung 3 minggu dan didukung 25
dengan pengobatan yang telah didapatkan sebelumnya di RSUD Solok yaitu, pemberian Tetagam, Ceftriakson, Metronidazol, dan Luminal, sehingga telah mengurangi dari gejala penyakit pada pasien ini. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian Metronidazol intravena untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani. Dosis yang diberikan adalah sebanyak 500 mg yang dibagi menjadi 4 dosis yaitu 4x125 mg. Pemberian Metronidazol akan dilanjutkan selama 6 hari kedepan, karena sebelumnya di RSUD Solok pasien telah mendapatkan Metronidazol selama 4 hari. Hal ini sesuai dengan dosis rumatan dari Metronidazol yaitu 30 mg/kgBB/hari dalam interval waktu 6 jam dan diberikan selama 7-10 hari.3 Pengobatan lain yang diberikan adalah pemberian diazepam untuk menghilangkan kejang dan spasme otot. Pemberian diazepam terus dilanjutkan meskipun telah ditemukan perbaikan klinis. Selain itu paracetamol diberikan apabila terjadi demam.3 Dalam perawatannya anak dirawat di ruangan isolasi, hal ini dilakukan untuk menghindari rangsangan cahaya dan suara yang dapat menjadi penyebab munculnya kejang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arnon SS. Tetanus (Clostridium tetani) dalam Nelson Text Book of Pediatric. Kleggman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme JW, dan Behrman RE (Ed). 19th Edition. 991-4. Elsevier. 2011. 2. Ingole KV, Mundhadha SG, dan Powar RM. Tetanus in developing country : a review and case series. International Journal of Applied Research; 2(6): 55660. 2016. 26
3. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRG, dan Satari HI (Ed). Tetanus dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Hal :322-9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. 4. Leman MM dan Tumbelaka AR. Penggunaan anti tetanus serum dan human tetanus immunoglobulin pada tetanus anak. Sari Pediatri; 12(4): 283-8. 2010.
5.
Gomes AP, Freitas AC,Rodrigues DC, Silveira L, Tavares W, dan Batista RS. Clostridium tetani infections in newborn infants: a tetanus neonatorum review. The Revista Brasileira de Terapia Intensiva; 23 (4): 484-91. 2011.
6.
Wirld Health Association. Current recommendation for treatment of tetanus during humanitarian emergencies. 2010.
7.
Laksmi NKS. Penatalaksanaan tetanus. Cerdmin Dunia Kedokteran; 41(11):8237. 2014.
27