BAB 1. PENDAHULUAN
Kanker paru merupakan penyakit yang jarang ditemukan sebelum tahun 1900-an. Kanker paru saat ini dianggap sebagai penyakit dunia modern terutama pada laki-laki. Sejak pertengahan 1900-an, kanker paru merupakan penyakit epidemis di Amerika Utara dan Eropa dan merupakan penyebab terbesar kematian yang berhubungan dengan kanker. Hal ini menjadi masalah berat karena kanker paru merupakan salah satu keganasan yang paling mudah untuk dicegah. Konsumsi tembakau merupakan penyebab utama kanker paru, hal tersebut dinyatakan dalam U.S. Surgeon General’s Report pada 1964, di dalamnya juga dilaporakan pengaruh merokok terhadap kesehatan. Angka penggunaan rokok menurun mengikuti laporan tersebut, begitu juga angka kejadian kanker paru. Sebaliknya, angka penggunaan rokok di negara-negara berkembang meningkat, begitu juga dengan angka kejadian kanker paru turut meningkat (Kasper et al., al., 2015). Kanker paru merupakan penyebab terbesar kematian pada pasien kanker. Prevalensi kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2014 mencapai 215.951 kasus dengan 113.326 kasus pada pria dan 201.625 kasus pada perempuan. Angka kematian akibat kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2014 mencapai 155.526 kasus dengan 84.849 kematian pada pria dan 70.667 kematian pada perempuan (Dela Cruz et al., al., 2013). Adenokarsinoma merupakan tipe kanker paru yang paling sering ditemukan di Amerika Utara. Kanker paru dibagi menjadi 2 tipe yaitu Small Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC). NSCLC kemudian dibagi menjadi 3 subtipe antara lain adenokarsinoma paru, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel besar (Kasper et al., al., 2015). Faktor-faktor risiko kanker antara lain indeks massa tubuh tinggi, kurangnya konsumsi buah dan sayur, kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol berlebihan. Paparan terhadap bahan karsinogenik juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker. Paparan bahan karsinogenik dapat berupa bahan karsinogenik fisik seperti sinar ultraviolet dan radiasi ion, bahan
2
karsinogenik
kimiawi
seperti
benzo(a)pyrene
dan
formalin,
dan
bahan
karsinogenik biologis seperti infeksi virus dan bakteri (National Cancer Institute, 2017).
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Adenokarsinoma paru merupakan neoplasma ganas epitel dengan diferensiasi sel kelenjar atau produksi mukus. Adenokarsinoma paru merupakan tipe kanker paru yang paling banyak ditemukan dengan prosentase 40% dari seluruh kanker paru (Krasna, 2016).
2.2 Klasifikasi
International Association for the Study of Lung Cancer (IASLC). American Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society (ERS) pada 2014 mengklasifikasikan adenokarsinoma paru sebagai berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Adenokarsinoma Paru
4
Preinvasif adenokarsinoma merupakan kanker paru di mana belum terjadi invasi sel kanker ke jaringan sekitar. Atypical adenomatous hyperplasia merupakan proliferasi sel kecil (≤0,5 cm) berupa perubahan pneumosit tipe II dan/atau sel Clara ringan hingga sedang. Adenokarsinoma in situ merupakan neoplasia kecil (≤0,3 cm) dengan gambaran lepidic sepanjang struktur alveolus tanpa adanya invasi stroma, vaskular, atau pleural (Zugazagoitia et al., 2014).
(a)
(b)
Gambar 2.1 Adenokarsinoma preinvasif (a) Atypical Adenomatous Hyperplasia, (b) Adenokarsinoma in situ Adenokarsinoma invasif minimal adalah neoplasma kecil (≤0,3 cm hingga 0,5 cm) dengan gambaran stroma tanpa adanya invasi ke dalam limfa, vaskular, atau pleura. Apabila terdapat invasi tersebut, maka kanker paru yang ditemukan diklasifikasikan ke dalam adenokarsinoma invasif (Zugazagoitia et al., 2014). Adenokarsinoma invasif merupakan neoplasma berukuran >0,5 cm di mana terdapat invasi ke dalam limfa, vaskular, atau pleura. Adenokarsinoma lepidic, asinar, papiler, mikropapiler, dan solid merupakan berbagai spektrum dari adenokarsinoma invasif. Pada adenokarsinoma lepidic terdapat gambaran neoplasma sepanjang batas alveolus tanpa adanya perubahan struktural alveolus. Pada adenokarsinoma asinar terdapat gambaran neoplasma berbentuk glandular pada batas alveolus. Pada adenokarsinoma papiler terdapat gambaran neoplasma sepanjang
alveolus
dengan
perubahan
struktural
pada
alveolus.
Pada
adenokarsinoma mikropapiler terdapat gambaran neoplasma dengan batas alveolus yang tidak tegas. Pada adenokarsinoma solid terdapat gambaran neoplasma padat yang memenuhi rongga alveolus (Zugazagoitia et al., 2014).
5
Gambar 2.2 Adenokarsinoma invasif (a) Adenokarsinoma lepidic; (b) Adenokarsinoma asinar; (c) Adenokarsinoma papiler; (d) Adenokarsinoma mikropapiler; (e) Adenokarsinoma solid
6
2.3. Epidemiologi
Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai hingga 13% dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat sekitar 213.380 kasus baru pada tahun 2007 dan 160.390 kematian akibat kanker paru. Berdasarkan data WHO, kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak pada laki-laki di Indonesia, dan terbanyak kelima untuk semua jenis kanker pada perempuan. Kanker paru juga merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada laki-laki dan kedua pada perempuan. Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta, kanker paru merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan ke-4 terbanyak pada perempuan tapi merupakan penyebab kematian utama pada laki-laki dan perempuan. Data hasil pemeriksaan di laboratorium Patalogi Anatomi RSUP Persahabatan kanker paru mencakup lebih dari 50% kasus dari semua jenis kanker yang didiagnosa. Data registrasi kanker Rumah Sakit Dharmais tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru merupakan keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker nasofaring (13,63%) dan merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria (28,94%). Insidensi kanker paru rendah pada usia di bawah 40 tahun, namun meningkat sampai dengan usia 70 tahun. Faktor risiko utama kanker paru adalah merokok. Secara umum, rokok merupakan 80% penyebab kanker paru pada lakilaki, dan 50% pada perempuan. Faktor lain adalah kerentanan genetik, polusi udara, pajanan unsur kimia radon dan pajanan industri seperti asbestos dan silika (Komite Penanggunalangan Kanker Nasional, 2016).
2.4. Faktor Risiko
International
Agency
for
Research
on
Cancer (IARC)
telah
mengidentifikasi salah satu agen yang berperan penting pada perkembangan karsinoma paru, yaitu Tobacco Specific n-nitrosamin (TSNA) yang dibentuk oleh nitrosasi nikotin selama pemrosesan tembakau dan selama merokok. Delapan
7
TSNA telah dijelaskan, termasuk 4-(methylnitrosamino)-1 (3-pyridyl)-1-butanone (NNK), yang diketahui dapat menyebabkan adenokarsinoma paru pada hewan percobaan. Karsinogen tembakau, seperti NNK, dapat mengikat DNA dan menciptakan produk sampingan DNA, yaitu potongan DNA yang secara kovalen terikat dengan bahan kimia penyebab kanker, seperti Polycycic Aromatic Hidrocarbon (PAH) dalam asap rokok. Proses repair DNA dapat menghilangkan produk sampingan DNA ini dan mengembalikan DNA normal, meski begitu sel dengan DNA yang rusak dapat mengalami apoptosis. Kegagalan mekanisme repair DNA normal untuk menghilangkan produk sampingan DNA dapat menyebabkan mutasi permanen. NNK dapat memediasi serangkaian aktivasi jalur sinyal yang mencakup modulasi onkogen kritis dan gen supresor tumor yang pada akhirnya dapat menghasilkan proliferasi seluler dan tumorigenesis yang tidak terkontrol. NNK dikaitkan dengan mutasi DNA yang mengakibatkan aktivasi onkogen
KRAS.
Aktivasi
onkogen
KRAS
telah
terdeteksi
pada
24%
adenokarsinoma paru manusia. Pada adenokarsinoma paru pada bekas perokok, menunjukkan bahwa mutasi semacam itu tidak dapat kembali dengan penghentian merokok tembakau. Hal tersebut dapat menjelaskan peningkatan risiko kanker paru secara terus-menerus pada orang bekas perokok bahkan bertahun-tahun setelah menghentikan penggunaan rokok. Selain itu, unsur kimia tertentu dari asap tembakau, benzo[a]pyrene metabolite, dapat merusak berbagai lokus gen tumor supressor p53 yang diketahui abnormal pada 60% kasus kanker paru primer. Risiko relatif kanker paru pada perokok jangka panjang diperkirakan 10 kali lipat hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. Tidak diragukan bahwa merokok tembakau tetap merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang paling penting untuk kanker paru-paru. Diperkirakan bahwa sampai 20% dari semua kematian akibat kanker di seluruh dunia dapat dicegah dengan tidak merokok tembakau. Meskipun lebih dari 80% kanker paru-paru terjadi pada orang dengan paparan tembakau, kurang dari 20% perokok memiliki kanker paru. Variabilitas kerentanan terhadap kanker ini
8
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lingkungan lainnya atau oleh predisposisi genetik (Dela Cruz, 2013).
2.5. Immunopatologi
Kanker, yang juga disebut tumor adalah sekelompok sel yang pertumbuhan dan penyebarannya tidak terkendali. Kanker merupakan akibat dari mutasi dari gen pengendali pertumbuhan sel yaitu onkogen. Ekspresi yang berlebihan dari onkogen atau jumlah yang terlalu banyak dapat mengakibatkan munculnya sel tumor. Pertumbuhan sel ditahan oleh gen suppressor tumor. Apabila gen suppressor tumor mengalami mutasi, pertumbuhan sel menjadi tidak terkendali dan dapat mengakibatkan munculnya sel tumor (Ross, 2012).
Bentuk mutasi yang banyak ditemukan pada adenokarsinoma paru antara lain KRAS (25-30%) dan EGFR 98 (23-27%). KRAS dan EGFR berada dalam satu jalur yang berhubungan dalam menstimulasi pertumbuhan sel. (Kris et al., 2011). EGFR termasuk dalam golongan Human Epidermal Growth Factor Receptor (HER) yang terdiri atas EGFR (HER1 atau erB1), erB2 (HER2/ neu),
9
erB3 (HER3), dan erB4 (HER4). Reseptor erB merupakan glikoprotein yang terdiri atas domain ligand-binding ekstraseluler, region transmembran, dan domain protein tirosin kinase intraseluler dengan segmen terminal regulatoris karboksil. Meskipun memiliki homolog yang serupa, tidak semua erB reseptor bersifat otonomik; HER2/neu kurang sensitif terhadap ligand, sedangkan HER3 memiliki protein tirosin kinase yang kurang sensitif. Meskipun demikian, seluruh reseptor erB dapat menyalurkan dan menstimulasi cellular signaling (Markman, 2010). Apabila tidak terdapat ligand, EGFR berada dalam keadaan basalnya di mana tidak diaktivasinya EGFR berperan sebagai mekanisme supresif terhadap aktivitas protein tirosin kinase sehingga menekan pertumbuhan sel. Terikatnya ligand terhadap reseptor mengaktifkan EGFR tersebut. Ligand yang dapat berikatan pada EGFR antara lain epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor alpha (TGFα), heparin-binding EGF-like growth factor (HB-EGF), amphiregulin, betacelulin, dan epiregulin. Ketika ligand berikatan dengan reseptor EGFR terjadi aktivasi intrinsic protein tirosin kinase dan autofosforilasi dari tirosin kinase terjadi di beberapa tempat dalam sitoplasma. Hal ini menyebabkan teraktivasinya enzim dan molekul adaptor lain sehingga terjadi signaling cascades yang menstimulasi aktivitas seluler (Markman, 2010). Berbagai tumor epitel pada manusia menunjukkan tingginya jumlah EGFR. Tingginya jumlah EGFR ditemukan pada tumor kepala dan leher (80100%), tumor renal (50-90%), tumor non-sel kecil pada paru (40-80%), tumor payudara (14-90%), kolorektal (25-90%), tumor ovarium (25-75%), prostat (3947%), pancreas (30-50%), tumor vesika urinaria (31-48%), dan glioma (40-63%). Tingginya jumlah protein EGFR berhubungan dengan penyakit yang agresif, prognosis yang buruk, menurunnya angka harapan hidup, respon terhadap terapi yang buruk, dan munculnya resistensi terhadap obat-obatan sitotoksik pada beberapa tipe tumor. Beberapa variasi EGFR sudah ditemukan dengan EGFRvIII sebagai mutan yang paling sering ditemukan. Tidak seperti EGFR Wild-Type, EGFRvIII tidak ditemukan pada membran sel jaringan normal. Adanya EGFRvIII sudah ditemukan pada berbagai variasi tumor antara lain tumor paru non-sel kecil,
10
tumor payudara, karsinoma prostat, dan 50% dari seluruh glioma. EGFRvIII memiliki protein tirosin kinase yang terus-menerus teraktivasi. Tidak seperti WildType EGFR, EGFRvIII tidak membutuhkan terikatnya ligand terhadap reseptor untuk menjadi teraktivasi (Markman, 2010). EGFR (epidermal growth factor receptor) merupakan reseptor growth factor pada membran sel. EGFR pada membran sel terhubung dengan tirosin kinase di intrasel. Apabila EGF (epidermal growth factor ) diterima oleh EGFR, tirosin kinase di intrasel yang terhubung dengan EGFR akan mengalami fosforilasi. Tirosin kinase yang mengalami fosforilasi akan meneruskan stimulus yang menginduksi proliferasi sel. Pada kasus-kasus kanker EGFR ditemukan mengalami overekspresi dan mutasi. Aktivasi EGFR-tirosin kinase yang bermutasi akan mengakibatkan
proliferasi sel yang tidak terkendali, tidak
terjadinya diferensiasi sel, invasi, angiogenesis, dan terhambatnya proses apoptosis (Martinelli, 2009). Mutasi EGFR banyak ditemukan pada individu bukan perokok dan ras Asia (Kerr, 2013). Protein RAS termasuk dalam golongan protein GTP-binding, yang juga diketahui sebagai RAS-like GTPase. Protein ini merupakan turunan dari protoonkogen RAS yang dalam tubuh manusia ditemukan 3 genom. Tiga genom pada manusia yang sudah ditemukan antara lain HRAS yang bersifat homolog dengan onkogen H-ras yang ditemukan pada Harvey rat sarcoma virus, KRAS yang berisfat homolog dengan onkogen K-ras yang ditemukan pada Kirsten sarcoma virus, dan NRAS. Protein-protein tersebut diregulasi oleh gen yang berbeda dan jumlahnya beragam antara satu jaringan dengan jaringan yang lain namun memiliki struktur yang hampir identik dan fungsi yang serupa. Secara fungsional, protein RAS berperan sebagai ‘saklar biner’. Protein RAS memiliki 2 kondisi yaitu GTP-bound (RAS-GTP) yang merupakan kondisi aktif dan GDP bound (RAS-GDP) yang merupakan kondisi inaktif. Siklus GDP/GTP diregulasi oleh guanine nucleotide exchange factors (GEFs) yang bekerja di bawah kendali reseptor growth factor-stimulated membrane-bound pada domain intraseluler. Apabila terdapat stimulus yang masuk, GEFs akan mengaktivasi GTP-ase activating proteins (GAPs) yang menstimulasi hidrolisis RAS-GTP dengan
11
melepaskan 1 atom fosfat dari RAS sehingga terbentuk RAS-GDP yang bersifat inaktif. Atom fosfat yang terlepas dari RAS-GTP akan digunakan untuk fosforilasi dalam meneruskan stimulus aktivitas seluler. Protein RAS mutan tidak memiliki sensitivitas terhadap GAP, menyebabkan protein ini terus-menerus mengaktivasi GTP dan menimbulkan stimulus yang bersifat independen. Mutasi protein RAS menyebabkan aktivasi efektor setelah RAS seperti mitogen-activated protein kinase (MEK) bersifat persisten (Markman, 2010). Mutasi KRAS merupakan bentuk mutasi protein RAS yang banyak ditemukan pada beberapa tumor spesifik seperti tumor pankreas, tumor kolorektal, dan tumor paru. Pada setiap tumor, mutasi KRAS menggambarkan frekuensi transversi dan substitusi asam amino spesifik dengan beragam spektrum (Roberts, 2013). Perubahan asam amino tersebut menyebabkan GTP-KRAS tidak menghidrolisis 1 atom fosfat yang seharusnya terhidrolisis untuk mencapai kondisi inaktif menjadi GDP-KRAS. Hal tersebut menyebabkan KRAS terusmenerus berada dalam kondisi aktif dan tidak dapat distimulasi oleh stimulus dari protein sebelum KRAS, dalam kata lain KRAS tetap memiliki kemampuan untuk meneruskan sinyal namun tidak sensitif terhadap feedback negatif. Mutasi KRAS banyak ditemukan pada bekas perokok dan perokok. Adenokarsinoma dengan mutasi KRAS memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan adenokarsinoma dengan mutasi EGFR (Roberts, 2013).
2.6. Manifestasi Klinis
Gejala adenokarsinoma serupa dengan gejala klinis kanker paru lainnya. Gejala klinis kanker paru tidak khas tetapi batuk, sesak napas, atau nyeri dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa pada “kelompok risiko” harus ditindak lanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. Gejala yang berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung, seperti batuk, hemoptisis, nyeri dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala tersering (60-70%) pada kanker paru.
12
Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura, efusi perikard, sindorm vena kava superior, disfagia, Pancoast syndrome, paralisis diafragma. Pancoast syndrome merupakan kumpulan gejala dari kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang menyebabkan invasi pleksus brakial sehingga menyebabkan nyeri pada lengan, sindrom Horner (ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis). Keluhan suara serak menandakan telah terjadi kelumpuhan saraf atau gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai adalah penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika telah terjadi penyebaran ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada kanker yang telah menyebar ke tulang. Terdapat gejala lain seperti gejala paraneoplastik, seperti nyeri muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi, dan lain-lain (Komite Penanggunalangan Kanker Nasional, 2013).
2.7. Diagnosis
2.7.1 Penegakkan diagnosis Diagnosis adenokarsinoma diawali dengan penegakkan diagnosis kanker paru. Kanker paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan pemeriksaan patologi anatomik.
2.7.1.1 Anamnesis Pemeriksa dapat menggunakan Pasien dapat mengeluhkan batuk lama, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada, suara serak, sulit/nyeri menelan yang tidak merespons dengan pengobatan atau penurunan berat badan dalam waktu singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul, sakit kepala, nyeri di tulang atau parese, dan pembengkakan, atau ditemukan benjolan di leher, aksila atau dinding dada.
13
2.7.1.2 Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status) penderita yang menurun, penemuan abnormal terutama pada pemeriksaan fisik paru (suara napas yang abnormal), benjolan superfisial pada leher, ketiak atau dinding dada, tanda pembesaran hepar atau tanda asites, nyeri ketok di tulang.
2.7.1.3 Pemeriksaan Patologi Anatomik a. Pemeriksaan Patologi Anatomi (Sitologi dan Histopatologi) b. Pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis, apabila fasilitas tersedia c. Pemeriksaan Penanda molekuler yang telah tersedia diantaranya adalah mutasi EFGR hanya dilakukan apabila fasilitas tersedia
2.7.1.4 Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit.
2.7.1.5 Pemeriksaan pencitraan a. Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk mengevaluasi lesi tersebut. b. CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosa dan menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen paru yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut.
14
c. CT scan kepala / MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh nyeri kepala hebat untuk menilai kemungkinan adanya metastasis ke otak. d. USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV e. Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang. Bone survey dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada. f. PET-Scan dapat dilakukan untuk evaluasi hasil pengobatan.
2.7.1.5 Pemeriksaan khusus a. Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru. Prosedur ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan tumor intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dan histopatologi, sehingga diagnosa dan stadium kanker paru dapat ditentukan. Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang dapat menilai paru hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan kadang hingga derajat ke-enam. Spesimen untuk menghasilkan pemeriksaan sitologi dan histologi didapat melalui bilasan bronkus, sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat memberikan hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker paru dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini adalah hipertensi pulmoner berat,
instabilitas
kardiovaskular,
hipoksemia
refrakter
akibat
pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat berhenti, dan
hiperkapnia
akut.
Komplikasi
yang
dapat
terjadi
adalah
pneumotoraks dan perdarahan. b. Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan jaringan sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada CT-scan toraks maupun PET CT-scan.
15
c. Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy-TTB), merupakan tindakan biopsi paru transtorakal, tanpa tuntunan radiologis (blinded TTB) maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT-scan toraks (CT-guided TTB), untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru. d. Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk pembesaran kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.
2.7.1.6 Pemeriksaan lainnya a. Pleuroscopy dilakukan
untuk melihat
masalah
intrapleura
dan
menghasilkan spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas pada cairan pleura yang dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien kanker paru. Jika hasil sitologi tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka penilaian ulang atau CT scan toraks dianjurkan. b. Mediastinoskopi kadang dilakukan untuk mendapatkan spesimen, terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal. c. Torakotomi eksplorasi dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan semua modalitas lainnya tidak ditemukan sel ganas.
2.7.2. Staging Karsinoma
paru
(ICD-10
C33-34),
penentuan
stadium
penyakit
berdasarkan sistem TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC) versi 7 tahun 2010, sebagai berikut:
Tumor Primer (T)
Tx: tumor primer tidak dapat ditentukan dengan hasil radiologi dan bronkoskopi tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif (ditemukan sel ganas) T0: tidak tampak lesi atau tumor primer Tis: Carcinoma in situ T1: ukuran terbesar tumor primer ≤ 3 cm tanpa lesi invasi intra bronkus yang sampai ke proksimal bronkus lobaris
16
T1a: Ukuran tumor primer ≤ 2 cm T1b: Ukuran tumor primer > 2 cm tetapi ≤ 3cm T2: ukuran terbesar tumor primer > 3 cm tetapi ≤ 7 cm, invasi intra bronkus dengan jarak lesi ≥ 2 cm dari distal karina, berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif pada daerah hilus atau invasi ke pleura visera T2a: Ukuran tumor primer > 3cm tetapi ≤ 5 cm T2b: Ukuran tumor primer > 5cm tetapi ≤ 7 cm T3: Ukuran tumor primer > 7 cm atau tumor menginvasi dinding dada termasuk sulkus superior, diafragma, nervus phrenikus, menempel pleura mediastinum, pericardium. Lesi intrabronkus ≤ 2 cm distal karina tanpa keterlibatan karina. Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif di paru. Lebih dari satu nodul dalam satu lobus yang sama dengan tumor primer. T4: Ukuran tumor primer sembarang tetapi telah melibatkan atau invasi ke mediastinum, trakea, jantung, pembuluh darah besar, karina, nervus laring, esophagus, vertebral body. Lebih dari satu nodul berbeda lobus pada sisi yang sama dengan tumor (ipsilateral).
Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)
Nx: Metastasis ke KGB mediastinum sulit dinilai dari gambaran radiologi N0: Tidak ditemukan metastasis ke KGB N1: Metastasis ke KGB peribronkus (#10), hilus (#10), intrapulmonary (#10) ipsilateral N2: Metastasis ke KGB mediastinum (#2) ipsilateral dan atau subkarina (#7) N3: Metastasis ke KGB peribronkial, hilus, intrapulmoner, mediastinum kontralateral dan atau KGB supraklavikula
Metastasis (M)
Mx: Metastasis sulit dinilai dari gambaran radiologi M0: Tidak ditemukan metastasis M1: Terdapat metastasis jauh M1a: Metastasis ke paru kontralateral, nodul di pleura, efusi pleura ganas, efusi pericardium
17
M1b: Metastasis jauh ke organ lain (otak, tulang, hepar, atau KGB leher, aksila, suprarenal, dll)
Gambar 2.3. Staging Kanker
18
2.8. Tatalaksana
2.8.1. Kebijakan Umum Tatalaksana Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit, tampilan umum penderita, komorbiditas, tujuan pengobatan dan cost-effectiveness. Modalitas penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, kemoterapi, dan terapi target. Pendekatan penanganan dilakukan secara integrasi multidisiplin.
2.8.2. Bedah Modalitas ini adalah terapi utama utama untuk sebagian besar adenokarsinoma paru, terutama stadium I-II dan stadium IIIA yang masih dapat direseksi setelah kemoterapi neoadjuvan. Jenis pembedahan yang dapat dilakukan adalah lobektomi, segmentektomi dan reseksi sublobaris. Pilihan utama adalah lobektomi yang menghasilkan angka kehidupan yang paling tinggi. Namun, pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru yang lebih rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru dilakukan. Intervensi menggunakan bronkoskopi berkembang dalam tahun-tahun terakhir, terutama untuk obstruksi saluran pernapasan sentral (trakea dan bronkus) akibat keganasan, dengan saluran bronkial sehat dan parenkim yang berfungsi dengan baik distal dari stenosis. Penilaian sebab dan luas stenosis, dan permeabilitas saluran bronchial distal dari stenosis dapat dilakukan menggunakan bronkoskopi
fleksibel.
Fungsi
permeabilitas
dapat
dinilai
menggunakan
pemeriksaan CT scan. Metode bronkoskopi intervensi yang paling sering digunakan
adalah
dengan
bronkoskopi
kaku
(rigid
bronchoscopy)
dan
pengeluaran massa secara mekanik, terutama untuk massa proximal, intralumen. Komplikasi paling sering intervensi ini adalah perdarahan. Selain itu, bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan terapi laser. Pada prosedur ini, berbagai tipe gas seperti CO2 dan KTP digunakan untuk menimbulkan koagulasi dan merusak tumor intralumen. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi, perdarahan dan fistula bronkovaskular. Bronkoskopi kaku juga dapat digunakan dengan krioterapi untuk merusak jaringan maligna. Ini dilakukan dengan memberikan suhu yang sangat rendah menggunakan expansi
19
dari cairan gar kriogenik yang menyebabkan dehidrasi, kristalisasi sel, apoptosis, dan iskemia jaringan. Metode yang terakhir ini dianjurkan sebagai penanganan paliatif stenosis proksimal non-obstruktif tanpa gangguan pernapasan akut. Kadang, aspirasi bronkial harus dilakukan setelah 1-2 hari untuk mengeluarkan sisa jaringan tumor. Teknik anestesi yang dapat digunakan adalah anestesi umum, dan dapat dikombinasikan dengan anestesi regional (epidural, blok paravertebral).
2.8.3. Radioterapi Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana kanker paru. Radioterapi dalam tatalaksana adenokarsinoma dapat berperan sebagai terapi kuratif definitif, kuratif neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif. Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi dapat diberikan pada adenokarsinoma stadium awal (Stadium I) yang secara medis inoperabel atau yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah thoraks dan pada stadium lokal lanjut (Stadium II dan III) konkuren dengan kemoterapi. Pada pasien yang tidak bisa mentoleransi kemoradiasi konkuren, dapat juga diberikan kemoterapi sekuensial dan radiasi atau radiasi saja. Pada pasien Stadium IIIA resektabel, kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca operasi merupakan pilihan. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan sebagai paliatif atau pencegahan gejala (nyeri, perdarahan, obstruksi).
2.8.4. Terapi Target Terapi target diberikan pada penderita dengan stadium IV adenokarsinoma EGFR mutasi positif yang sensitif terhadap EGFR-TKI. Terapi EGFR-TKI yang tersedia yaitu Gefitinib, Erlotinib atau Afatinib.
2.8.5. Terapi Kombinasi Terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan pada kasus-kasus tertentu, terutama yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan. Selain itu, terapi kombinasi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan pada pasien dengan
20
tampilan umum baik (Karnofsky >70%) dan penurunan berat badan minimal, dan pasien usia lanjut yang mempunyai komorbiditas berat atau kontraindikasi operasi. Regimen kemoterapi dan terapi radiasi dapat diberikan secara bersamaan (concurrent therapy), selang-seling (alternating therapy), atau secara sekuensial. Hasil paling baik didapat dari regimen concurrent therapy.
21
BAB III. KESIMPULAN
Adenokarsinoma paru merupakan penyakit yang dapat dihindari dengan menerapkan gaya hidup yang sehat. Faktor-faktor risiko terjadinya adenokarsinoma paru merupakan gaya hidup yang kurang sehat. Paparan zat-zat karsinogenik dapat dihindari dengan cara hidup yang sehat. Indonesia merupakan negara dengan angka konsumsi tembakau yang tinggi. Tingginya angka konsumsi tembakau memiliki hubungan dengan angka kejadian adenokarsinoma yang merupakan penyebab tertinggi kematian akibat kanker. Sebagai dokter di Indonesia, pemahaman terhadap adenokarsinoma paru sangat diperlukan. Edukasi pasien tentang gaya hidup yang sehat merupakan langkah preventif dalam penurunan risiko kejadian adenokarsinoma.
22
DAFTAR PUSTAKA
Dela Cruz, C. D., Tanoue, L. T., dan Matthay R. A. 2013 Lung Cancer: Epidemiology, Etiology, and Prevention. New Haven: Departement of Internal Medicine Yale University School of Medicine. Kasper, D. L., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Longo, D.L., dan Loscalzo, J. 2015. Harrison’s Principals of Internal Medicine 19th Edition. New York: McGraw-Hill Education. Kerr,
K.M. 2013. Clinical Relevance of The New IASLC/ERS/ATS Adenocarcinoma Classification. Journal of Clinical Pathology.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Paru. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Krasna, M. J. 2016. Lung Cancer, An Issue of Surgical Oncology Clinics of North America. New York: Elsevier Inc. Kris, Johnson, Kwiatkowski, Iafrate, Wistuba, Aronson, Engelman, Shyr, Khuri, Rudin, Garon, Pao, Schiller, Haura, Shirai, Giaccone, Berry, Kugler, Minna, dan Bunn. 2011. Identification of Driver Mutations in Tumor Specimens from 1000 Patients with Lung Adenocarcinoma: The NCI’s Lung Cancer Mutation Consortium (LCMC). Alexandria, VA: American Society of Clinical Oncology. Markman, B., Javier, R. F., Capdevila, J., dan Tabernero, J. 2010. EGFR and KRAS in Colorectal Cancer . Barcelona: US National Library of Medicine National Institutes of Health. Martinelli, Palma, Orditura, Vita, dan Ciardiello. 2009. Anti-Epidermal Growth Factor Receptor Monoclonal Antibodies in Cancer Therapy. US: National Library of Medicine National Institutes of Health. National Cancer Institute. 2017. United States Cancer Statistics 1994-2014 Incidence and Mortality Web-Based Report . Atlanta: U.S. Cancer Statistics Working Group. Roberts, P. J. dan Stinchcombe, T. E. 2013. KRAS Mutation: Should We Test for It, and Does It Matter?. Alexandria, VA: American Society of Clinical Oncology. Ross, W. Dennis. 2012. Introduction to Oncogenes and Molecular Cancer Medicine. New York: Forsyth Medical Center.
23
Zugazagoitia, J., Enguita, A. B., Nunez, J. A., Iglesias, L., dan Ponce, S. 2014. The new IASLC/ATS/ERS lung adenocarcinoma classification from a clinical perspective: current concepts and future prospects. Pioneer Bioscience Publishing Company.
24
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3 2.1. Definisi ......................................................................................................... 3 2.2 Klasifikasi ..................................................................................................... 3 2.3. Epidemiologi ................................................................................................ 6 2.4. Faktor Risiko ................................................................................................ 6 2.5. Immunopatologi ........................................................................................... 8 2.6. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 11 2.7. Diagnosis .................................................................................................... 12 2.7.1 Penegakkan diagnosis .......................................................................... 12 2.7.2. Staging ................................................................................................ 15 2.8. Tatalaksana ................................................................................................. 18 2.8.1. Kebijakan Umum Tatalaksana ............................................................ 18 2.8.2. Bedah .................................................................................................. 18 2.8.3. Radioterapi .......................................................................................... 19 2.8.4. Terapi Target ....................................................................................... 19 2.8.5. Terapi Kombinasi ................................................................................ 19 BAB III. KESIMPULAN...................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22
25
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3 2.1. Definisi ......................................................................................................... 3 2.2 Klasifikasi ..................................................................................................... 3 2.3. Epidemiologi ................................................................................................ 6 2.4. Faktor Risiko ................................................................................................ 6 2.5. Immunopatologi ........................................................................................... 8 2.6. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 11 2.7. Diagnosis .................................................................................................... 12 2.7.1 Penegakkan diagnosis .......................................................................... 12 2.7.2. Staging ................................................................................................ 15 2.8. Tatalaksana ................................................................................................. 18 2.8.1. Kebijakan Umum Tatalaksana ............................................................ 18 2.8.2. Bedah .................................................................................................. 18 2.8.3. Radioterapi .......................................................................................... 19 2.8.4. Terapi Target ....................................................................................... 19 2.8.5. Terapi Kombinasi ................................................................................ 19 BAB III. KESIMPULAN...................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22