keterlibatan Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis pada penyakit ini. E coli merupakan bakteri yang paling umum terisolasi, meskipun berbagai bakteri aerob Gram negatif dan positif serta bakteri anaerob juga ditemukan Dengan demikian, diperlukan terapi polimikrobial dan agen tunggal oral yang sesuai dengan pasien rawat jalan.3
E. Patofisiologi
Mukus yang diproduksi untuk lubrikasi vulva berasal dari Glandula Bartholin. Glandula Bartholin dapat membentuk kista dan abses pada wanita usia reproduktif. Kista dan abses secara klinis dapat dibedakan. Kista Bartholin terbentuk ketika ostium ductus mengalami obstruksi, menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di dalam glandula dan ductus. Obstruksi biasanya merupakan efek sekunder dari parut setelah infeksi, inflamasi non-spesifik ataupun trauma. Abses Bartholin terbentuk dari infeksi primer kelenjar ataupun kista yang terinfeksi.1,3,4 Obstruksi distal saluran Bartolin mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam glandula. Kista saluran Bar tolin bisa saja tidak tampak sebelum menjadi abses. Jika kista saluran Bartolin tampak kecil dan tidak menjadi inflamasi, akan tampak asimptomatik. Jika kista menjadi infeksi, akan tampak bentuk abses. 5 Obstruksi duktus
Retensi mukus Kista Bartholin
Inflamasi
Infeksi
Batholinitis
Abses Bartholin
Gambar 2.2 Mekanisme pembentukan abses Bartholin 5
7
F.
Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko timbulnya abses Bartholin adalah adanya riwayat infeksi pada glandula Bartholin (Bartholinitis). Pada Bartholinitis akuta kelenjar membesar, merah, nyeri, dan lebih panas daripada daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui ductusnya, atau jika tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa diatasi dengan pemberian antibiotika. Radang pada glandula Bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista Bartholin. Pada beberapa kasus, isi kista dapat terinfeksi dan menyebabkan pembentukan abses. 1,3,6
G. Manifestasi Klinik
Pada kista Bartholin, bila pembesaran kistik tidak disertai dengan infeksi lanjutan atau sekunder umumnya tidak akan menimbulkan gejala-gejal a khusus dan
hanya
dikenali
melalui
palpasi.
Kista
Bartolin
menyebabkan
pembengkakan labia di satu sisi, dekat introitus vagina. Kista biasanya nampak sebagai massa yang menonjol secara medial dalam introitus posterior pada regio yang duktusnya berakhir di dalam vestibula. Karena letaknya di vagina bagian luar, kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri. Jika kista tumbuh lebih besar dari diameter 1 inci, dapat menyebabkan ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan seksual. Tanda kista Bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva. Indurasi biasa terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau melakukan hubungan seksual bisa menyebabkan rasa nyeri pada vulva. Pasien berjalan mengegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.4,5 Infeksi akut disertai penyumbatan, indurasi, dan peradangan. Gejala utama akibat infeksi biasanya berupa nyeri sentuh dan dyspareunia. Pada tahap supuratif, dinding kista berwarna kemerahan, tegang, dan nyeri. Bila sampai pada tahap eksudatif, dimana sudah terjadi abses, maka rasa nyeri dan 8
ketegangan dinding kista menjadi sedikit berkurang disertai penipisisan dinding di area yang lebih putih dari sekitarnya. Umumnya hanya terjadi gejala dan keluhan lokal dan tidak menimbulkan gejala sistemik kecuali apabila terjadi infeksi yang berat dan luas. 4 Pasien dengan abses mengeluhkan nyeri vulva akut dan progresif dengan cepat. Berbeda dengan kista Bartholin yang sering kali asimptomatik, pasien dengan abses Bartholin biasanya mengeluh adanya pembesaran pada vulva unilateral dengan cepat dan nyeri yang signifikan. Ditemukan pula massa berfluktuasi pada satu sisi introitus, bagian eksternal hymenal ring, dan aspek inferior vulva.1,3 Beberapa manifestasi klinis kista dan abses Bartholin:5 a)
Biasanya unilateral
b)
Berbentuk bulat sampai oval, berukuran 1-5 cm
c)
Tidak terasa nyeri
d)
Terletak pada labia minora bagian 1/3 posterior, menonjol ke arah introitus
e)
Kista yang membesar menimbulkan rasa tidak nyaman/mengganggu saat berjalan, duduk atau coitus
f)
Bila meradang: nyeri, demam, disertai tanda radang lainnya
g)
Bila terbentuk abses: fluktuasi (+)
h)
Dapat disertai pembesaran kelenjar limfa femoral dan inguinal
H. Pemeriksaan Penunjang
Pada kista yang terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Pembesaran glandula Bartholin pada wanita usia lebih dari 40 tahun dan memiliki riwayat kista rekuren a taupun adanya abses rekuren
9
sebaiknya dilakukan biopsi atau eksisi. Semua massa s olid membutuhkan FNA atau biopsi untuk menentukan diagnosis definitif. 3,5
I.
Penegakan Diagnosis
Kebanyakan kista glandula Bartholin berukuran kecil dan asimptomatik kecuali adanya minor discomfort selama kontak seksual. Dengan terjadinya infeksi pada kista atau pada kista dengan ukuran yang lebih besar, pasien dapat mengeluhkan nyeri vulva hebat yang menghalangi pasien untuk berjalan, duduk, atau melakukan aktivitas seksual. Gejala utamanya adalah demam dan nyeri vulva unilateral akut. 3,7 Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti: 5 a)
Panas
b)
Gatal
c)
Sudah berapa lama gejala berlangsung
d)
Kapan mulai muncul
e)
Faktor yang memperberat gejala
f)
Apakah pernah berganti pasangan seks
g)
Keluhan saat berhubungan
h)
Riwayat penyakit menular seks sebelumnya
i)
Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
j)
Riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin
k)
Riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi
l)
Riwayat pengobatan sebelumnya Keluhan pasien pada umumnya adalah: 5
a)
Benjolan
b) Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual c)
Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal
d)
Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari
10
e)
Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual
f)
Dapat terjadi ruptur spontan
g)
Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras Pada pemeriksaan fisik, kista secara khas bersifat unilateral, berbentuk
bulat atau ovoid, dan berfluktuasi atau tegang. Jika terinfeksi, tampak area sekitar menjadi eritema dan lunak serta nyeri tekan. Massa biasanya berlokasi pada inferior lipatan labium minora/majora atau bagian bawah vestibulum pada posisi jam 4/5 atau 7/8, yang mana kebanyakan kista dan abses menyebabkan asimetris pada labia. Kista yang lebih kecil dapat dideteksi hanya dengan palpasi. Abses Bartholin pada ambang dekompresi spontan akan menunjukkan area pelunakan, di mana ruptur kemungkinan besar akan terjadi. 3,7
J.
Diagnosis Banding
Kista duktus Bartholin dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva lainnya. Karena glandula Bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya keganasan, khususnya jika massa irregular, nodular dan indurasi persisten.5 a)
Lesi vulva: kista sebaseus, kista disontogenetik, hematom, lipoma, fibroma, hidradenoma, syringoma, endometriosis, myoblastoma, mamma abberans, leiomyoma, tumor von recklinghausen, adenokarsinoma. 5
b)
Lesi vagina: kista inklusi vagina, endometriosis, adenosis, kista duktus gardner, leiomyoma, hernia inguinalis.5
Beberapa diagnosis banding dari abses Bartholin: 2,3 a)
Kista Bartholin Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista 11
Bartholin adalah kista yang terdapat pada glandula Barholin. Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.5 Kista Bartholin merupakan kista berukuran relatif besar yang paling sering dijumpai pada glandula Bartholin. Kista Bartholin biasanya berukuran diameter 1-4 cm dan sering berifat asimptomatik. Pasien dengan kista yang besar, dapat mengeluhkan adanya tekanan pada vagina atau dyspareunia.3,4 Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan ductus sekretorius dan kelenjar Bartholin dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung hingga bertahun-tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi kista, tidak mencapai ukuran yang besar sehingga penderita juga tidak menyadari adanya kelainan ini. Lokasi kista juga berada di dinding sebelah dalam pada 1/3 bawah labium majora. Infeksi sekunder atau eksaserbasi akut yang berat dapat menyebabkan indurasi yang luas, reaksi peradangan, dan nyeri sehingga menimbulkan gejala klinik berupa nyeri, dyspareunia, ataupun demam. 4
Gambar 2.3 Kista Bartholin, tampak penonjolan yang asimetris 3
12
b) Malignancy Setelah menopause, kista dan abses Bartholin jarang terjadi dan kemungkinan adanya neoplasia harus lebih diwaspadai. Bagaimanapun juga, carcinoma glandula Bartholin jarang dan insidennya sekitar 0,1 per 100.000 wanita. Tumor malignant primer yang berasal dari glandula Bartholin dapat berbentuk adenocarcinoma, squamous cell carcinoma, ataupun transitional cell carcinoma. Insiden carcinoma glandula Bartholin mencapai puncak pada usia pertengahan 60-an. Kebanyakan kasus adalah squamous carcinoma atau adenocarcinoma. Adenocarcinoma glandula Bartholin jarang terjadi, sekitar 1-2% dari malignancy vulva. Lesi muncul dengan kelenjar yang mengalami pembesaran secara berangsur-angsur, asimptomatik, dan terjadi pada wanita postmenopausal. 2,3 Mengingat kelangkaan insiden kanker, eksisi glandula Bartholin biasanya tidak diindikasikan. Sebagai alternatif, pada wanita di atas 40 tahun, dianjurkan untuk dilakukan drainase kista dan biopsi area dinding kista secara adekuat untuk menyingkirkan kemungkinan malignancy.3 c)
Diverticulum urethrae dan Skene Gland Oklusi ductus Skene gland atau glandula paraurethralis dapat menyebabkan pembesaran kistik paraurethralis dan kemungkinan terbentuknya abses.3
d) Epidermoid cysts Kista epidermoid yang juga dikenal sebagai epidermal inclusion atau sebaceous cysts, umumnya ditemukan pada vulva, dan jarang di vagina. Vulvar epidermoid cyst secara khusus terbentuk dari unit pilosebaceous. Kista epidermoid juga dapat diikuti implantasi traumatik sel epidermal ke dalam jaringan yang lebih dalam. Ukuran kista bervariasi, berbentuk bulat atau ovoid, dan kulit berwarna kuning, atau putih. Pada umumnya, kista diisi dengan material viscous, berpasir, atau material caseous berbau busuk.
Kista
dermoid
biasanya
tidak
asimptomatik
dan
tidak
membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Jika kista simptomatik atau terjadi infeksi sekunder, insisi dan drainase direkomendasikan. 3 13
Gambar 2.4 E pidermal inclusion cysts.
K. Terapi
Kista
Bartholin
yang
berukuran
kecil
dan
asimptomatik
tidak
membutuhkan intervensi kecuali adanya tanda-tanda neoplasia pada wanita usia lebih dari 40 tahun. Pada kista yang simptomatik dapat ditatalaksana dengan salah satu teknik, termasuk insisi dan drainase (I&D), marsupialisasi, dan eksisi glandula Bartholin. Abses dapat ditatalaksana dengan I&D ataupun marsupialisasi. Abses ductus glandula Bartholin tidak sesuai untuk dilakukan tindakan prosedur eksisi glandula. 3 a)
Bartholinitis: Antibiotik spektrum luas
b)
Kista Bartholin: Kecil, asimptomatik
: Dibiarkan
Simptomatis/ rekuren
: Pembedahan berupa insisi + word catheter Marsupialisasi Laser varporization dinding kista
c)
Abses Bartholin: Insisi (bedah drainase) + word catheter , ekstirpasi Penanganan abses Bartholin sama dengan penanganan kista Bartholin
simtomatis, namun ada sedikit perbedaan. Prinsipnya berikan terapi antibiotik spektrum luas, dan lakukan pemeriksaan kultur pus oleh karena ada kemungkinan disebabkan Gonorrhea atau Chlamydia, meskipun 67% disebabkan oleh flora normal vagina. 1.
Medikamentosa
Antibiotik oral yang dapat diberikan pada pasien abses Bartholin termasuk
trimethoprim-sulfamethoxazole,
amoxicillin-clavulanate,
14
generasi kedua cephalosporin, atau fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin. Pada kebanyakan kasus, kultur dilakukan. Adapun, berdasarkan risiko pasien, NAATs untuk N gonorrhoeae dan C trachomatis dan screening untuk STDs lainnya. 3 2.
Drainase Abses Bartholin
Dengan tindakan insisi dan drainase (I & D) saja, pada dasarnya dapat memberikan penyembuhan dengan cepat tetapi kadang pula hanya bersif at sementara. Apabila terbentuk ostium ductus yang baru, tepi insisi pada I&D akan menutup dan terjadi reakumulasi mucus atau pus. Dengan demikian, I&D dengan langkah-langkah untuk membuat ostium yang baru merupakan surgical goal.3 Resolusi permanen dari kista ataupun abses dapat dicapai dengan melakukan tindakan marsupialisasi atau I&D dengan penempatan word catheter . Bagaimanapun juga, jika obstruksi berulang terjadi, mengulangi prosedur tersebut lebih disarankan dibandingkan eksisi glandula pada kebanyakan kasus. Bartholinectomy, membawa morbiditas lebih besar yang signifikan jika dibandingkan kedua prosedur yang kurang invasif. 3
Preoperatif a)
Persetujuan/consent Obstruksi ductus glandula Bartholin yang berulang setelah tindakan insisi dan drainase awal, jarang terjadi selama hitungan minggu dan bulan setelah drainase. Pasien dijelaskan kemungkinan dibutuhkan untuk mengulangi prosedur jika terjadi obstruksi kembali. Dyspareunia biasanya adalah sequel jangka-panjang yang jarang terjadi, tetapi pasien dinasehati mengenai potensi terjadinya dyspareunia. Jarang terjadi, adanya infeksi jaringan dalam atau terbentuknya fistula rectovaginalis setelah postoperatif.3
b)
Indikasi Insisi dan drainase diindikasikan untuk kista Bartholin tertentu yang memiliki diameter ≥ 1 cm atau timbulnya kista dengan
15
simptomatik (nyeri, lunak, mengganggu aktivitas fisik atau seksual) dan/atau adanya abses Bartholin. 2 Keuntungan: minimal trauma, nyeri sedikit, coitus tidak terganggu, dan tindakan sederhana.5 c)
Kontraindikasi Tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan insisi dan drainase kista ataupun abses. Kontraindikasi relatif termasuk abses yang kompleks atau rekuren yang membutuhkan drainase di bawah pengaruh general anestesi di ruang operasi.2
d)
Anestesi Insisi dan drainase kista ataupun abses Bartholin membutuhkan anestesi di mukosa labia Anestesi lokal digunakan untuk kebanyakan kasus dan dapat dilakukan dengan infiltrasi lapisan kulit, dan area sekitar insisi dengan larutan lidocaine 1 % aqueous. Selain itu, dapat pula ditambahkan dengan analgesia intramuscular atau intravena. Oleh karena adanya infiltrasi mukosa labia dengan anestesi lokal dapat menimbulkan nyeri, narkotik intravena dan prosedural sedasi serta analgesia dapat menjadi pilihan.2,3
I ntraoperatif a)
Alat dan Bahan Tujuan dari tindakan I&D ductus glandula Bartholin adalah untuk mengosongkan cavitas kista dan membuat accessory epithelialized tract yang baru untuk drainase glandula. Dengan demikian belakangan terakhir, digunakan Word catheter . Alat ini dibuat dari latex tube stem dengan panjang 1 inch yang mempunyai ballon yang dapat digelembungkan pada satu ujung dan tempat injeksi sali ne pada ujung lainnya.3 Alat dan bahan yang digunakan dalam insisi dan drainase termasuk:2 1)
Cairan antiseptik dan duk steril 16
2)
Lidocaine 1%
3) Normal saline (NaCl 0,9%) 4)
Syringe 3 cc, 5 cc, dan 10 cc
5) Needle 18 gauge (3) 6) Needle, 25 atau 27 gauge, 1,5 inch (untuk injeksi anestesi) 7)
Scalpel blade (No.11) dan handle
8)
Gauze pads (4×4)
9)
Hemostat
10) Culture swab 11) Word catheter
Gambar 2.5 Word catheter 3
b)
Prosedur Prosedur tindakan insisi dan drainase adalah sebagai berikut: 2,3 1)
Jelaskan prosedur, risiko, manfaat, komplikasi yang mungkin terjadi, pilihan alternatif, dan perawatan post prosedur kepada pasien atau perwakilan legal pasien. Lakukan informed consent tertulis. Sebaiknya, pengantar perempuan ada di dalam ruang tindakan selama prosedur.
2)
Posisikan pasien dengan posisi litotomi dorsal standar, lebarkan untuk membuka labia. Seorang asisten dapat membantu melakukan traksi labia selama prosedur.
17
Gambar 2.6 Abses Bartholin 2
3)
Gunakan larutan povidone-iodine atau agen antiseptic lainnya untuk membersihkan kulit labia ipsilateral dan area sekitar.
Gambar 2.7 Desinfeksi kulit 2
4)
Infiltrasi 2-3 mL lidocaine 1% secara subcutaneous di bawah mukosa labia minora.
Gambar 2.8 Infiltrasi mukosa dengan lidocaine 2
5)
Abses atau kista besar yang tampaknya memiliki tekanan yang tinggi dapat dilakukan needle-decompressed secara parsial sebelum insisi dengan blade, dalam rangka mencegah drainase tekanan tinggi selama insisi. Dekompresi jarum yang lengkap
18
dapat menyulitkan untuk identifikasi pasti dari cavitas abses dan sebaiknya dihindari.
Gambar 2.9 Needle aspiration 2
6)
Lakukan insisi area vestibular pada area yang berfluktuasi. Gunakan blade No. 11 untuk membuat insisi dengan panjang 0,51 cm menembus kulit, dinding abses atau cavitas kista pada permukaan mukosa labia minora. Buat insisi dibagian atas kista, hingga paralel terhadap hymenal ring pada arah jam 5 atau 7 (bergantung pada sisi yang terlibat), jika memungkinkan, serta posisinya pada sisi medial Hart line. Posisi tersebut dibuat guna menirukan anatomi normal dari muara guctus glandula dan mencegah pembentukan tractus fistulous terhadap bagian luar labium majus. Untuk meminimalisir cedera scalpel , beberapa merekomedasikan penggunaan small Keyes punch biopsy jika dibandingkan membuat lubang secara simultan melalui kulit dan dinding kista. Apabila akan dilakukan pemasangan Word catheter , insisi yang dibuat harus lebih besar dari diameter kateter. Jika insisi terlalu besar, pasien tidak akan dapat mempertahankan kateter dalam jangka waktu yang diinginkan. Sebaliknya, jika dilakukan insisi standar dan drainase, insisi besar penting untuk diterapkan.
19
Gambar 2.10 Insisi abses Bartholin 2
7)
Keluarkan isi saccus secara manual dan gunakan hemostat untuk menghentikan adhesi. Isi saccus dapat dipersiapkan untuk dikirim guna dilakukan pemeriksaan kultur, dan suction system dapat digunakan untuk menampung cairan yang keluar secara manual. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton swab kecil untuk membuka lokulasi pus atau mucus potensial. Biopsi dinding kista setelah drainase cavitas guna mengeluarkan kemungkinan adanya carcinoma glandula Bartholin yang jarang terjadi, dipertimbangkan pada wanita yang lebih tua dari 40 tahun, terutama pada kista dengan komponen solid, atau rekurensi kista yang multiple.
Gambar 2.11 Drainase abses Bartholin 2
8)
Masukkan ujung dari Word catheter ke dalam cavitas abses dan injeksi 2-4 mL normal saline melalui catheter hub untuk mengembangkan balon. Inflasi harus mencapai diameter yang sesuai untuk mencegah kateter terlepas dari insisi. Alt ernatif yang bisa digunakan adalah nonlatex 14F Foley catheter yang mana cocok sebagai pengganti pada pasien yang alergi dengan material 20
latex atau pada kondisi tidak tersedia Word catheter . Inflasi dengan saline lebih disarankan daripada udara, hal ini terkait dengan deflasi ballon prematur.
Gambar 2.12 Insersi Word catheter 2
Gambar 2.13 Inflasi Word catheter 2
9)
Lipat ujung bebas kateter ke dalam vagina untuk mencegah kateter tercabut oleh adanya traksi dari gerakan perineal normal. Pada banyak kasus, ujung bebas kateter dibiarkan protrusi ke luar vagina. Kateter harus tetap pada tempatnya selama 4 minggu untuk proses epitelisasi tractus. Pasien harus menghindari vaginal intercourse saat kateter terpasang.2
Gambar 2.14 Posisi Word catheter 2
21
10) Word catheter dibiarkan terpasang selama beberapa minggu untuk meminimalkan kemungkinan rekurensi. Ketika proses healing selesai, fistula permanen kecil terbentuk diantara cavitas kista dan area vestibular. Ukuran ostium sangat kecil dan hampir tidak tampak.2
Postoperatif Drainase kista ductus glandula Bartholin pada dasarnya tidak membutuhkan terapi antibiotik. Namun pada kondisi dimana abses dise rtai dengan selulitis signifikan maka antibiotik harus diberikan. Pilihan yang cocok
termasuk
trimethoprim-sulfamethoxazole,
doxycycline,
atau
cephalexin diresepkan selama 7-10 hari. Pada wanita yang menderita immunocompromised sebaiknya dirawat untuk terapi antibiotik intravena hingga demam atau eritema membaik. 3 Pasien disarankan untuk berendam dalam warm tub bath dua kali sehari. Coitus sebaiknya dihindari guna kenyamanan pasien dan mencegah displacement Word catheter . Idealnya, kateter dipasang selama 4-6 minggu. Setelah 4 minggu akan terbentuk saluran drainase baru dari kista Bartholin. Namun, seringkali kateter akan terlepas sebelum waktu tersebut. Tidak diperlukan untuk mencoba dan menempatkan kembali kateter jika kateter berubah posisi, dan berusaha untuk memasukkan kembali. Hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena terjadinya penutupan cavitas. Secara kosmetik hasilnya cukup bagus karena orifisiumnya akan mengecil dan hampir tidak terlihat. 3,5
3.
Marsupialisasi dan Kateterisasi Word
Pada prosedur I&D ostium ductus yang baru seharusnya terbentuk pada abses ductus Bartholin untuk mencegah daerah tepi insisi terjadi adhesi dan menyebabkan pus terakumulasi kembali. Oleh karena itu, marsupialisasi dikembangkan dengan maksud membentuk accessory tract untuk drainase glandula. 3 22
Indikasi: Kista Bartholin kronik dan berulang. Keuntungan: komplikasi lebih kecil dari ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Kerugian: rekurensi 10-15% karena penutupan dan fibrosis orifisium. 5 Marsupialisasi melibatkan tindakan membuka kista Bartholin atau abses dan kemudian menjahit tepinya, dengan cara demikian akan terbentuk kantong terbuka permanen dan memungkinkan terjadinya drainase continue. Prosedur ini dapat dikerjakan di bawah pengaruh anestesi umum ataupun lokal, yang mana lebih sulit dibandingkan kateterisasi Word , dan secara khusus dilakukan pada kista ataupun abses yang rekuren. 2 Dengan diperkenalkannya teknik
Word catheter, penggunaan
marsupialisasi baik itu pada kista ataupun abses Bartholin mengalami kemunduran. Pada umumnya, efektivitas, tingkat komplikasi, dan rekurensi serupa antara prosedur marsupialisasi dan kateterisasi Word . Kateterisasi Word , pada dasarnya lebih sederhana untuk dikerjakan dan harganya tujuh kali lipat lebih murah dibandingkan marsupialisasi. Sedangkan, marsupialisasi membutuhkan analgesia yang lebih besar, insis i yang lebih besar, penggunaan jahitan, dan waktu prosedur yang lebih la ma. Dengan demikian, prosedur marsupialisasi dipilih pada pasien dengan abses atau kista yang besar, terjadinya rekurensi setelah gagal dengan Word catheter, atau pada pasien yang memiliki alergi terhadap material latex.2,3
Preoperatif Pasien diizinkan untuk diskusi menyangkut tindakan marsupialisasi dan prosedur I&D ductus glandula Bartholin. Pasien diinformasikan tentang kemungkinan rekurensi abses dan kista. Komplikasi postoperatif yang jarang terjadi adalah dyspareunia, infeksi jaringan dalam, atau fistula rectovaginalis.3
23
I ntraoperatif a)
Anestesi dan memposisikan pasien. Marsupialisasi dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dan prosedur dilakukan pada ruang operasi menggunakan unilateral pudendal nerve block
atau general
anesthesia. Pasien ditempatkan pada posisi litotomi dorsal standar. 3 b)
Insisi kulit. Insisi vertical atau elliptical sekitar 2 cm dibuat melalui kulit pada penonjolan kista menggunakan scalpel dengan blade no.10 atau 15. Insisi dibuat pada bagian atas kista, hingga mencapai dan paralel terhadap hymen pada arah jam 5 atau 7 (sesuai sisi yang terlibat), dan diposisikan pada medial Hart line. Posisi mengikuti anatomi normal ostium ductus glandula dan mencegah terbentuknya fistulous tract terhadap bagian luar labium majus.3
c)
Insisi kista. Dibuat inisisi vertical kedua, kemudian buka dinding kista, dan berikan tekanan sehingga pus atau mucus keluar. Pus dapat diambil untuk kultur. Allis clamp ditempatkan pada dinding kista superior, inferior, lateral dextra, dan sinistra dan keluarkan. Setelah drainase, cavitas dieksplorasi dengan ujung cotton swab kecil untuk membuka lokulasi cairan potensial. Periksa secara hati-hati untuk mencegah terjadinya perforasi melalui dinding ductus dan bulbus verstibulum terdekat dengan kaya vascularisasi. Sebagai tambahan, biopsi dinding kista setelah drainase cavitas dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya adenocarcinoma glandula Bartholin yang jarang terjadi. Hal ini dapat dipertimbangkan pada pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun atau jika ditemukan komponen padat yang menyertai kista. 3
d)
Penutupan luka. Tepi dinding kista dijahit ke tepi kulit berdekatan dengan jahit interuptus menggunakan 2-0 atau 3-0 gauge delayedabsorbable suture. Tidak diperlukan tampon/drain. 3,5
24
Gambar 2.15 Marsupialisasi glandula Bartholin 3
Postoperatif Penggunaan Cool pack selama 24 jam pertama setelah pembedahan dapat meminimalisir nyeri, pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, warm sitz bath, satu atau dua kali sehari, berguna dalam hal pain relief dan wound hygiene. Aktivitas dapat dilakukan kembali dengan cepat, meskipun coitus dicegah hingga penyembuhan luka selesai. 3 Pasien dapat kontrol kembali dalam minggu pertama setelah pembedahan untuk memastikan tepi ostium tidak terjadi adhesi satu sama lain. Dalam 2-3 minggu, penyusutan luka membentuk muara ductus dengan ukuran 5 mm atau lebih kecil lagi. Tingkat rekurensi setelah marsupialisasi rendah. Dicatat oleh Jacob (1960) hanya 4 rekurensi pada 152 kasus.3 4.
Eksisi/Ekstirpasi
Indikasi: Abses/kista persisten, abses/kista rekuren, terdapat indurasi pada basal kista yang sulit dicapai dengan marsupialisasi, kista pada usia >40 tahun (dapat menjadi ganas) . Keuntungan: kecil kemungkinan rekuren. Kerugian/Komplikasi: perdarahan (a. pudenda), hematoma, selulitis, pembentukan scar yang nyeri, sisa jaringan kista yang tidak terangkat sepenuhnya sehingga dapat terjadi rekuren, fungsi lubrikasi tidak ada.5
25
Eksisi dilakukan jika terjadi rekurensi berulang. Sebaiknya tindakan ini dilakukan di kamar operasi oleh karena biasanya akan terjadi perdarahan yang banyak yang berasal dari plexus venosus bulbus vestibuli, dan pernah dilaporkan terjadinya septik syok pasca tindakan. Komplikasi lain adalah selulitis dan dyspareuni. 5
5. Sitz Bath
Kadang-kadang, perendaman dalam bak berisi air hangat (mandi sitz) beberapa kali sehari selama tiga atau empat hari membantu mengecilkan kista dan kista terinfeksi dan pecah.5 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan abses Bartholin: 2 a.
Pada
umumnya,
antibiotik
tidak
diindikasikan
pada
pasien
imunokompeten dengan abses Bartholin. Antibiotik khususnya diberikan jika disertai selulitis. b.
Jika tidak tersedia Word catheter , insisi sederhana dan drainase dengan pembalutan dapat dilakukan. Gauze packing harus dilepas dalam waktu 24-48 jam.
c.
Semua pasien harus diinstruksikan untuk mulai sitz baths 1-2 hari post prosedur dan menghindari vaginal intercourse hingga Word catheter atau pembalutan dilepaskan.
d.
Berikan analgesik untuk pasien.
e.
Pasien yang lebih tua dari 40 tahun sebaiknya dilakukan biopsi untuk kemungkinan Bartholin gland cancer .
f.
Pasien dengan rekurensi multiple dan riwayat pengobatan sebelumnya sebaiknya dilakukan pengobatan definitif (complete excision).
Pasien yang mempresentasikan adanya tanda-tanda malignancy harus dilakukan follow-up ginekologik yang ketat untuk dilakukan biopsi dan kemungkinan eksisi. Pada kista yang tidak mengalami komplikasi dan asimptomatik, pasien dapat diinstruksikan untuk melakukan sitz bath. Sitz bath
26
(tiga kali sehari) selama beberapa hari dapat memberikan peningkatan dengan resolusi atau ruptur spontan dengan resolusi dari kista. 1
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus abses Bartholin adalah sebagai berikut:2 a.
Perdarahan Perdarahan berlebihan adalah komplikasi potensial untuk prosedur pembedahan.
b.
Rekurensi Rekurensi adalah komplikasi paling umum setelah insisi dan drainase (± 30%). Premature dislodgement dari Word catheter terjadi pada penutupan insisi dan tingginya tingkat rekurensi.
c. Missed diagnosis dari Bartholin duct carcinoma Malignant tumors dari jaringan ikat vulva sangatlah jarang terjadi. Ketika terlokalisir pada area glandula Bartholin, tumor tesebut dapat disalah artikan sebagai lesi benigna, yang menyebabkan tertundanya diagnosis. Bentuk jarang dari carcinoma ini memiliki insiden sekitar 0,1 kasus per 100.000 wanita. d.
Infeksi progresif dan sepsis Pasien dengan compromised immune systems dapat menunjukkan komplikasi jarang berupa infeksi progresif dan sepsis. Terapi semua pasien immunocompromised dengan antibiotik.
e.
Komplikasi lain Abses Bartholin dapat pula menyebabkan komplikasi seperti tachycardia
fetal
dan
maternal,
chorioamnionitis
( E.coli),
dan
sternoclavicular septic arthtitis.
M. PROGNOSIS
Kelalaian diagnosis dari adanya malignancy dapat memberikan outcome yang lebih buruk pada pasien. 1 27
BAB III LAPORAN KASUS
Waktu Masuk RS
: Senin, 12 Desember 2017, pukul 02:00 WITA
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 12 Desember 2017 Jam
: 02:00 WITA
Tempat
: RSU Anutapura Palu
I.
IDENTITAS
Nama
: Ny. Y
Umur
: 26 tahun
Alamat
: Desa Lembah Mukti, Kelurahan Dampelas, Donggala
Pekerjaan
: Wiraswasta
Agama
: Islam
Pendidikan : SLTP Cara Pembayaran: Tunai
Nama Suami : Tn. H Umur
: 30 tahun
Alamat
: Desa Lembah Mukti, Kelurahan Dampelas, Donggala
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Pendidikan : SLTA
II. ANAMNESIS
G2P1A0 HPHT
: 03 - 06 - 2017
TP
: 10 - 03 - 2018
Usia Kehamilan : 27-28 minggu Perkawinan
: Menikah 1 kali, usia perkawinan ± 8 tahun
Menarche
: ± 15 tahun 28
Lama Haid
: 4-7 hari, 2 pembalut/hari
Siklus Haid
: 28 hari, teratur
Keluhan Utama:
Nyeri pada bibir kemaluan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien G2P1A0 umur 26 tahun usia kehamilan 27-28 minggu masuk ke IGD kebidanan RSU Anutapura dengan keluhan nyeri pada bibir kemaluan sisi kiri, disertai benjolan pada bibir kemaluan sisi kiri. Keluhan ini mulai dirasakan sejak ± 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri memberat bila tersentuh, saat pasien berjalan maupun duduk. Rasa nyeri berkurang bila pasien dalam posisi berbaring dan tidak memakai celana ketat. Benjolan awalnya berukuran kecil seperti kelereng yang lambat laun semakin membesar dan semakin hari bertambah nyeri serta terasa hangat. Benjolan tidak terasa gatal. Pasien juga mengeluh mengalami keputihan sejak awal kehamilan, awalnya keputihan warna putih keruh, sedikit dan tidak berbau. Dalam dua bulan terakhir, pasien mengaku keputihan yang dialami mulai berwarna kekuningan, cukup banyak, dan agak berbau serta terkadang terasa gatal. Keluhan disertai pula demam sejak 3 hari yang lalu, kesulitan buang air kecil sejak 2 hari terakhir karena nyeri yang dirasakan, serta kesulitan buang air besar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nafsu makan pasien biasa. Tidak ada keluhan nyeri perut tembus belakang, mual, muntah, pusing, dan sakit kepala, serta adanya pelepasan pervaginam berupa darah, lendir, maupun air.
Riwayat Pengobatan:
Riwayat berobat di Puskesmas 1 hari yang lalu karena kesulit an buang air kecil, ditangani dengan pemasangan kateter. Tidak ada riwayat pengobatan terkait keluhan utama pasien.
29
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Riwayat keluhan berupa benjolan pada bibir kemaluan namun tidak terasa nyeri sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan sering dirasakan hilang timbul. Pasien belum pernah dirawat sebelumnya. Tidak ada riwayat operasi sebelumnya. Riwayat alergi, asma, hipertensi, diabetes mellitus, jantung, dan penyakit lain disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa.
Riwayat Kebiasaan Pasien:
Pasien kurang menjaga kebersihan area genital, dan jarang mengganti pakaian dalam (dalam sehari pasien mengganti pakaian dalam 1 kali sehari).
Riwayat Obstetri:
1 Melahirkan pada 29/01/2013 gravid aterm, lahir secara spontan letak belakang kepala di rumah, ditolong oleh bidan. Jenis kelamin: perempuan, BBL 3600 gram. Hidup sehat. 2 Hamil sekarang
Riwayat KB
: Suntik & pil, lamanya 2 tahun
Riwayat ANC
: 4 × di Bidan
Riwayat Imunisasi
: Tetanus Toksoid 2 ×
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik Kesadaran
: GCS E4V5M6, Compos mentis
Status gizi
: Overweight BB : 66 kg 58 kg TB : 155 cm IMT : 27,47 kg/m 2 30
Vital Sign
: TD Nadi
: 100/80 mmHg : 84 ×/menit
Respirasi : 20 ×/menit Suhu Skala Nyeri
: 37,5oC
:7
IV. STATUS GENERALISATA Pemeriksaan Kepala
Wajah
: Tampak pucat (-), edema (-), efloresensi (-)
Bentuk
: Normocephalus, simetris
Rambut
: Warna hitam, distribusi normal, tidak mudah dicabut, tidak mudah rontok, alopecia (-)
Deformitas
: (-), nyeri tekan (-)
Mata
: Konjungtiva : Anemis -/Sklera
: Ikterus -/-
Palpebra
: Edema -/-
Pupil
: Bentuk bulat, isokor, RCL +/+
Secret
: -/-
Telinga
: Deformitas (-), massa (-), otorrhea (-), nyeri tekan (-)
Hidung
: Deformitas (-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), rinorrhea (-)
Mulut
: Bibir Lidah
: Kesan normal, sianosis (-), stomatitis (-) : Bentuk kesan normal, warna merah muda, tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi
: Karies (-)
Tonsil
: Ukuran T1/T1
Faring
: Hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher
Kelenjar getah bening
: Pembesaran (-), nyeri tekan (-)
Kelenjar tiroid
: Pembesaran (-), nyeri tekan (-) 31
JVP
: Peningkatan (-)
Massa
: (-)
Thorax
Pemeriksaan Paru Inspeksi
: Ekspansi paru simetris bilateral kanan = kiri, retraksi interkosta (-), jejas (-), bentuk normochest , jenis pernapasan thoraco-abdominal , pola pernapasan kesan normal
Palpasi
: Ekspansi dada simetris, vocal fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
: Bunyi sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar SIC VII LMD
Auskultasi
: Suara napas vesikuler di kedua lapang paru, kecuali di SIC I dan II Suara napas bronchovesicular di SIC I dan II Suara napas bronchial di manubrium sterni Suara napas tracheal di trachea Suara napas tambahan: Ronkhi (-/-), Whezzing (-)
Pemeriksaan Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: Batas atas: SIC II linea sternalis sinistra Batas kiri: SIC IV linea axillaris anterior Batas kanan: SIC IV linea sternalis dextra
Auskultasi
: Bunyi jantung S1 & S2 murni reguler, bunyi tambahan (-)
Pemeriksaan Mammae Bentuk
: Simetris
Papilla mammae : Menonjol Kelainan
Pengeluaran
: Tidak ada
Kebersihan
: Cukup
: Tidak ditemukan 32
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
: Tampak cembung, luka bekas operasi (-), bendungan vena (-)
Auskultasi
: Bunyi peristaltik usus terdengar, frekuensi kesan normal. Aorta abdominalis (+) kesan normal.
Perkusi
: Bunyi timpani (+). Pembesaran lien & hepar (sulit dievaluasi)
Palpasi
: Nyeri tekan (-). Palpasi hepar, ginjal, dan lien (sulit dievaluasi).
Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas superior Kulit
: Warna cokelat kesan normal, edema (-/-), akral hangat (+/+), fungsi sensorik normal, efloresensi (-/-).
Otot
: Bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
Sendi
: ROM dalam batas normal
Ekstremitas inferior Kulit
: Warna cokelat kesan normal, edema (-/-), akral hangat (+/+), fungsi sensorik normal, efloresensi (-/-).
Otot
: Bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
Sendi
: ROM dalam batas normal
V. PEMERIKSAAN GENITALIA
Vulva
: Tampak discharge warna putih kekuningan, volume sedikit, sedikit berbau.
Status Lokalis Inspeksi
: Tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra meluas ke labia majora sinistra, bentuk sferis.
33
Palpasi
: Teraba massa dengan konsistensi lunak, berfluktuasi, nyeri tekan (+), teraba lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran ± 3×2 cm.
VI. PEMERIKSAAN OBSTETRI
Leopold I
: 2 jari di atas umbilicus, Tinggi Fundus Uteri (TFU): 17 cm
Leopold II
: Punggung kiri
Leopold III
: Presentasi kepala
Leopold IV
: Belum memasuki pintu atas panggul, konvergent
HIS
: Tidak ada
Pergerakan Janin : Aktif Janin Tunggal
: Kesan tunggal
Tafsiran Berat Janin (TBJ)
: 775 gr
Denyut Jantung Janin
: 156 kali/menit
Pemeriksaan Dalam: Tidak dilakukan pemeriksaan
VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Rutin (12 Desember 2017)
: 17,7 ×103/μL
(4,0-10,0)
Neutrofil
: 13,07 #
(2,00-7,50)
Limfosit
: 2,67 #
(1,00-4,00)
Monosit
: 1,61 #
(0,20-1,00)
Eosinofil
: 0,23 #
(0,00-0,50)
Basofil
: 0,09 #
(0,00-0,20)
RBC
: 3,88 ×106/μL
(4,00-6,00)
HGB
: 10,9 g/dL
(12,0-16,0)
HCT
: 32,8 %
(37,0-47,0)
PLT
: 319 ×103/μL
(150-400)
HbsAg
: Non Reaktif
Anti HIV
: Non Reaktif
WBC
34
VIII. RESUME
Pasien G2 P 1 A0, 26 tahun usia kehamilan 27-28 minggu masuk dengan keluhan nyeri pada labia minora sinistra, disertai benjolan labia minora sinistra, mulai dirasakan sejak ± 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri diperberat oleh sentuhan & mengganggu aktivitas. Keluhan bersifat progresif dan terasa adanya kalor. Disertai pula leukorhea sejak awal gravid, febris sejak 3 hari yang lalu, retensio urin sejak 2 hari terakhir karena nyeri, serta konstipasi sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat keluhan serupa namun tidak terasa nyeri sejak 1 tahun yang lalu, bersifat intermitten. Hiegienitas area genital kurang dijaga. Pemeriksaan fisik pasien menujukkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, status gizi overweight (IMT: 27,47 kg/m 2), tanda vital: tekanan darah: 100/80 mmHg, nadi 84×/mt, respirasi 20×/m, suhu 37,5 oC. Status generalisata: tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan ginekologi: pada vulva tampak discharge warna putih kekuningan, volume sedikit, agak berbau, status lokalis pada inspeksi tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra meluas ke labia majora sinistra, bentuk sferis. Palpasi teraba massa dengan konsistensi lunak, berfluktuasi, disertai nyeri tekan, teraba lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran ± 3×2 cm. Pemeriksaan obstetrik: Leopold I = 2 jari di atas umbilicus, TFU 17 cm; Leopold II = Punggung kiri; Leopold III = Presentasi kepala, Leopold IV = konvergent. TBJ 775 gr, DJJ 160 kali/menit. Pemeriksaan darah rutin menunjukkan WBC: 17,7×10 3/μL.
IX. DIAGNOSIS KERJA
G2P1A0 usia 26 tahun, gravid 27-28 minggu, abses Bartholini, ISK, fluor albus
X. DIAGNOSIS BANDING
Kista Bartholini
35
XI. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 20 tpm Medikamentosa: Injeksi Ceftriaxone 1gr/12 jam/iv Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam/iv Injeksi Dexamethasone 5 mg/12 jam/iv Kompres NaCl 0,9% + 1 ampul Dexamethasone pagi dan sore Non-Medikamentosa: Vulva Higiene Bed rest , higienitas dijaga Rencana USG Obstetrik Prosedur tindakan: -
XII.PROGNOSIS
Quo ad Vitam
: Bonam
Quo ad Functionam
: Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam
: Dubia ad Bonam
Quo ad Cosmeticam
: Dubia ad Bonam
36
XIII. FOLLOW UP N O
1
HARI/ TGL
Senin/ 12-122017 08:00
13:30
2
Selasa/ 13-122017 08:00
10:00 13:30
S
O
A
P
Nyeri pada vulva (+), discharge kental putih kekuningan dari KU: SS/CM G2P1A0 usia vulva (+), nyeri perut IVFD RL 20 gtt/m TD: 110/70 mmHg 26 tahun, (-), nausea (-), Inj.Ceftriaxone 1gr/12 j/iv (Hari-1) N: 82×/m gravid 27-28 vomiting (-), Inj.Ketorolac 30 mg/8 jam/iv R: 20×/m minggu, abses cephalgia (-), pusing Inj/Dexamethasone 5 mg/8 jam/iv S: 36,5°C Bartholini, (-), febris (-), Kompres Betadine di Vulva Konjungtiva: ISK, fluor pelepasan Observasi BJF anemis -/albus pervaginam berupa BJF: 148×/m lendir-darah & air (-), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar. Pasien mengeluh Dilakukan drainase pus bercampur keluar cairan pada darah sekitar ±30 cc, dibersihkan vulva dengan kassa betadine Nyeri pada vulva Aff Infus berkurang, discharge IVFD RL 20 gtt/m kental putih KU: SS/CM G2P1A0 usia Inj.Ceftriaxone 1gr/12 j/iv (Hari-2) kekuningan dari vulva TD: 110/70 mmHg 26 tahun, Inj.Ketorolac 30 mg/8 jam/iv berkurang, nyeri perut N: 84×/m gravid 27-28 Inj.Ranitidine 50 mg/8 jam/iv (-), nausea (-), vomiting R: 20×/m minggu, abses Kompres Betadine di vulva (-), cephalgia (-), S: 36,6°C Bartholini, pagi/siang/sore pusing (-), febris (-), Konjungtiva: ISK, fluor Cefadroxil 3×500 mg pelepasan pervaginamanemis -/albus Paracetamol 3×500 mg berupa lendir-darah & BJF: 145×/m USG Obstetrik air (-), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar. Aff infus Pasien pulang atas permintaan sendiri,alasan sudah merasa sembuh
XIV. DOKUMENTASI
37
BAB IV PEMBAHASAN
1)
Diagnosis Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai abses kelenjar Bartholini berdasarkan dari anamnesis keluhan pasien dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini Pasien G2 P1 A0, 26 tahun usia kehamilan 27-28 minggu mengeluhkan nyeri pada labia minora sinistra, disertai benjolan yang membesar terasa adanya kalor dan mengganggu aktivitas. Pasien juga mengalami leukorhea, febris sejak 3 hari yang lalu, retensio urin sejak 2 hari terakhir karena nyeri, serta konstipasi sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Riwayat keluhan serupa namun tidak terasa nyeri sejak 1 tahun yang lalu, bersifat intermitten. Hiegienitas area genital kurang dijaga oleh pasien. Pada Pemeriksaan ginekologi: pada vulva tampak discharge warna putih kekuningan, volume sedikit, tidak berbau, status lokalis pada inspeksi tampak massa berfluktuasi dan hiperemis di labia minora sinistra meluas ke labia majora sinistra, bentuk sferis. Palpasi teraba massa dengan konsistensi lunak, berfluktuasi, disertai nyeri tekan, teraba lebih hangat dibandingkan daerah sekitarnya. Ukuran ± 3×2. Adapun, pada pemeriksaan darah rutin menunjukkan WBC: 17,7 x10 3/μL. Pada dasarnya, epidemiologi kista ataupun abses Bartholini kebanyakan terjadi pada wanita usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda. Pada pasien ini, pasien berumur 26 tahun dan termasuk dari usia reproduktif, sehingga dari segi epidemiologi sudah sesuai, selain itu dari riwayat higienitas pasien termasuk memiliki status higienitas yang buruk terbukti dari riwayat keputihan yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. Keadaan ini dapat menjadi media yang baik bagi mikrobakteri untuk hidup sehingga menimbulkan sumbatan dan infeksi pada kelenjar Bartholini. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh telah sesuai dengan teori tanda dan gejala kelenjar Bartholini yang telah terinfeksi. Keluhan pasien pada umumnya adalah adanya benjolan, nyeri saat berjalan, duduk,
38
beraktivitas fisik, teraba massa unilateral pada labia minora sebesar telur ayam, lembut, dan berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras, umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal, biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual. Pada Bartholinitis akut, kelenjar membesar, merah, nyeri dan lebih panas dari daerah sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya, atau jika duktus tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa diatasi dengan antibiotik, jika sudah bernanah akan mencari jalan sendiri atau harus dikeluarkan dengan sayatan. Radang pada kelenjar Bartholin dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista Bartholin.
2)
Penatalaksanaan Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini berupa tatalaksana medikamentosa dan non medikamentosa. Medikamentosa: injeksi Ceftriaxone 1gr/12 jam/iv, injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam/iv, injeksi Dexamethasone 5 mg/12 jam/iv, kompres NaCl 0,9% + 1 ampul Dexamethasone pagi dan sore. Non-medikamentosa: vulva higiene, Bed rest , hygienitas dijaga, Rencana USG Obstetrik. Pada hari ke-dua perawatan terjadi rupture spontan pada abses. Menurut teori abses Bartholini memerlukan drainase kecuali kalau terjadi rupture spontan. Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi hanya digunakan pada kista Bartholini. Namun sekarang digunakan juga untuk abses kelenjar Bartholini karena memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu teknik membuat muara saluran kelenjar Bartholini yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter. Prinsipnya adalah membuat insisi elips dengan scalpel di luar atau di dalam cincin hymen (jangan di luar labia mayor karena dapat timbul fistel). Insisi harus cukup dalam
39
mengiris kulit dan dinding kista di bawahnya (untuk kemudian dibuang). Apabila terdapat lokulasi, dibersihkan. Kemudian dinding kista didekatkan dengan kulit menggunakan benang 3.0 atau 4.0 dan dijahit interrupted . Angka rekurens sekitar 10%. Keuntungan dari marsupialisasi adalah komplikasi lebih kecil dari ekstirpasi dan fungsi lubrikasi dipertahankan. Komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi. Pemberian antibiotik seharusnya disesuaikan dengan bakteri penyebab yang dapat diketahui secara pasti dari hasil pengecatan Gram maupun kultur pus dari abses kelenjar Bartholini. Namun pada pasien ini pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Namun terapi yang diberikan untuk mengobati infeksi dan gejala pada pasien ini sesuai dengan teori bahwa antibiotik yang bisa digunakan adalah antibiotik yang berspektrum luas dan diberikan anti nyeri untuk mengurangi keluhan nyeri pada pasien ini. Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi spektrum luas terhadap bakteri Gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri Gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Serta pemberian ketorolac sebagai analgesik, serta dexamethasone untuk sebagai anti-inflamasi.
3)
Prognosis Edukasi yang perlu diberikan pada pasien sebelum pulang dapat berupa edukasi untuk melakukan perawatan pada abses yang sudah rupture secara spontan dengan baik dan menjaga higienitas diri terutama daerah genital. Menurut teori jika abses dengan di drainase dengan baik dan kekambuhan dicegah, prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari 20%. Namun, sayangnya pada kasus ini, pasien pulang atas permintaan sendiri.
40
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Abses Bartholini terbentuk ketika terjadi infeksi pada obstruksi ostium dari duktus, yang menyebabkan distensi dari glandula atau duktus dengan cairan.
2.
Etiologi dari abses Bartholini yaitu peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan duktus sekretorius dari kelenjar Bartholini
3.
Tanda dan gejala abses bartholini yaitu pembengkakan labial unilateral yang nyeri, nyeri saat berjalan dan duduk, nyeri menghilang diikuti dengan adanya discharge akibat adanya ruptur spontan.
4.
Terapi utama terhadap abses Bartholini adalah insisi dinding kista dan drainase cairan kista atau abses, yang disebut dengan prosedur marsupialisasi. Pengosongan dan drainase eksudat abses dapat pula dilakukan dengan memasang kateter Word . Berikan juga antibiotika untuk mikroorganisme yang sesuai dengan hasil pemeriksaan apus atau kultur bakteri.
41