Diagnosis
Osteoporosis biasanya biasanya asimtomatik sampai fraktur tulang terjadi. Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pada anamnesa anamnesa harus fokus pada tinjauan menyeluruh menyeluruh faktor resiko yang meliputi usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, faktor reproduksi seperti post menopause, kebiasaan merokok, konsumsi alcohol, kurang atau lebih olahraga, konsumsi kalsium dan vitamin D per hari, dan riwayat pengobatan kotikosteroid. Pasien yang dicurigai osteoporosis harus menjalani pemeriksaan fisik yang 3 komprehentif yang meliputi berat badan yang rendah (BMI <19kg/m ), tanda kifosis atau dowager hump , tanda-tanda yang menyebabkan osteoporosis sekunder seperti hiperparatiroid, tanda-tanda yang meningkatkan resiko jatuh pada pasien lansia yaitu, sulit seimbangkan diri, hipotensi ortostatik, kelemahan ekstremitas bawah, visualitas dan pendengaran menurun, dan penurunan nilai kognitif. Untuk mendiagnosa osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Di Indonesia dikenal 3 cara penegakan diagnosa diagnosa penyakit osteoporosis, yaitu: 1. Densitometer (Lunar) menggunakan teknologi DXA (dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini merupakan gold standard diagnosa osteoporosis. Pemeriksaan kepadatan tulang ini aman dan tidak menimbulkan nyeri serta bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:
wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis o penderita yang diagnosisnya belum pasti penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya harus dinilai secara akurat o 3. Densitometer-USG. Pemeriksaan ini lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit osteoporosis. Hasilnya pun hanya ditandai dengan nilai T dimana nilai lebih -1 berarti kepadatan tulang masih baik, nilai antara -1 dan -2,5 berarti osteopenia (penipisan tulang), nilai kurang dari -2,5 berarti osteoporosis (keropos tulang). Keuntungannya Keuntungannya adalah kepraktisan dan harga pemeriksaannya pemeriksaannya yang lebih murah. 4. Pemeriksaan laboratorium untuk osteocalcin dan dioksipiridinolin, CTx. Proses pengeroposan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda biokimia CTx (C-Telopeptide). CTx merupakan hasil penguraian kolagen tulang yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darahsehingga spesifik dalam menilai kecepatan proses pengeroposan tulang. Pemeriksaan CTx juga sangat berguna dalam memantau pengobatan menggunakan menggunakan antiresorpsi oral. o
Proses pembentukan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda bioklimia N-MID-Osteocalcin. Osteocalcin merupakan protein spesifik tulang sehingga pemeriksan ini dapat digunakan saebagai penanda biokimia pembentukan tualng dan juga untuk menentukan kecepatan turnover tulang pada beberapa penyakit tulang lainnya. Pemeriksaan osteocalcin juga dapat digunakan digunakan untuk memantau memantau pengobatan pengobatan osteoporosis. osteoporosis.
Di luar negeri, dokter dapat pula menggunakan metode lain untuk mendiagnosa penyakit osteoporosis, antara lain: 1. 2. 3. 4.
Sinar x untuk menunjukkan degenerasi tipikal dalam tulang punggung bagian bawah. Pengukuran massa tulang dengan memeriksa lengan, paha dan tulang belakang. Tes darah yang dapat memperlihatkan naiknya kadar hormon paratiroid. Biopsi tulang untuk melihat tulang mengecil, keropos tetapi tampak normal.
Diagnosis Banding 1. Mieloma Multipel
Merupakan kanker tulang primer yang paling sering ditemukan, yang berasal dari sel sumsum tulang yang menghasilkan sel darah. Umumnya terjadi pada orang dewasa. Tumor ini dapat mengenai satu atau lebih tulang sehingga nyeri dapat muncul pada satu tempat atau lebih. 2. Osteomalasia
Osteomalasia mengacu pada pelunakan tulang, biasanya disebabkan oleh kekurangan vitamin D. Pada anak-anak, kondisi ini disebut rakhitis. Osteomalasia berbeda dengan osteoporosis (kelainan tulang yang dapat juga menyebabkan patah tulang). Osteomalasia hasil dari sebuah cacat dalam proses pembaentukan tulang, sedangkan osteoporosis berkembang karena melemahnya tulang yang sudah dibentuk sebelumnya. 3. Osteogenesis Imperfekta Tardal Tipe I
Osteogenesis imperfekta tardal tipe I juga dikenal sebagai brittle bone disease atau Lobstein syndrome adalah gangguan tulang genetik. Orang dengan osteogenesis imperfekta tardal tipe I dilahirkan dengan jaringan ikat cacat, atau tanpa kemampuan untuk menghasilkannya karena kekurangan Tipe-I kolagen dimana kualitas kolagen normal tetapi kuantitas yang kurang. Gejala osteogenesis imperfekta tardal tipe I adalah tulang mudah fraktur, kurvasi tulang vertebra, sendi longgar, tonasi otot kurang, sclera berwarna biru keabu-abuan. 4. Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme primer adalah penyakit dimana produksi hormon paratiroid (PTH) lebih yang mengakibatkan homeostasis kalsium abnormal. Hiperparatiroidisme sekunder adalah kelebihan produksi hormon paratiroid akibat penyakit lain. Biasanya, hal ini karena kegagalan ginjal kronis dan penyebab umum lainnya adalah kekurangan vitamin D. Manifestasi skeletal termasuk kehilangan tulang cortical selektif, yang umum. Tulang dan nyeri sendi, pseudogout, dan chondrocalcinosis juga telah dilaporkan. Dalam deskripsi klinis awal hiperparatiroidisme primer, beberapa pasien mengembangkan jenis penyakit tulang dikenal sebagai cystica osteitis fibrosa, ditandai dengan peningkatan resorpsi tulang osteoclastic umum, khususnya yang melibatkan falang menyebabkan resorpsi subperiosteal, dan tengkorak menyebabkan tampilan radiologis dikenal sebagai salt and pepper skull . Presentasi ini jarang terlihat saat ini.
Komplikasi
Konsekuensi paling serius dari osteoporosis meliputi patah tulang dan pada beberapa pasien, kematian akibat komplikasi pasca fraktur. Kompromi pernapasan dapat terjadi pada pasien dengan beberapa patah tulang vertebra yang menghasilkan kyphosis parah. Prognosis
Jika pemulihan penuh tidak tercapai, fraktur osteoporosis dapat menyebabkan rasa sakit kronis, cacat, dan, dalam beberapa kasus, kematian. Daftar Pustaka th
1. Davidsons Principles and Practice of Medicine, 20 Edition. m/s: 1120-26 2. Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 31 3. http://emedicine.medscape.com/article/330598