BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
Kasus anak dengan ambiguous genitalia belakangan ini sangat sering ditemukan.
Anak
dengan
ambiguous
genitalia
mengalami
ketidaksempurnaan pada bentuk alat kelamin luarnya yang tidak jelas menandakan bahwa ia merupakan seorang laki-laki atau seorang perempuan. Dalam
menentukan
jenis
kelamin
mereka
diperlukan
serangkaian
pemeriksaan yang memakan waktu serta ser ta biaya. Orang tua pun mungkin akan mengalami kebingungan dalam menerapkan pola asuh yang tepat bagi anaknya. Anak seiring pertumbuhan dan perkembangannya yang beranjak dewasa mungkin juga akan mengalami beberapa masalah terkait dirinya. Peran perawat disini pada akhirnya sangat diperlukan untuk membantu menyelesaikan masalah. Remaja
dengan
masalah
ambiguous
genitalia
pada
tugas
perkembangannya saat ini pasti mengalami kesulitan untuk menentukan identitas dirinya yang sebenarnya. Remaja ini juga akan mengalami masalah dalam menentukan konsep reproduksi dan konsep seksual dirinya, sehingga perawat disini harus berperan penting dalam mengkaji perasaan anak saat ini i ni terkait dengan masalah yang dihadapinya. Perawat terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan mengenai konsep tumbuh kembang pada anak, setelah itu perawat akan mampu menyusun asuhan keperawatan yang tepat bagi remaja dengan masalah ambiguous genitalia.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami dan menguasai konsep dasar asuhan keperawatan pasien dengan ambiguous genitalia 2. Tujuan Khusus a) Mahasiswa mampu memahami defenisi ambiguous genitalia b) Mahasiswa mampu memahami anatomi kornea
1
c) Mahasiswa mampu memahami etiologi ambiguous genitalia d) Mahasiswa mampu memahami patafisiologi ambiguous genitalia e) Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis ambiguous genitalia f) Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang ambiguous genitalia g) Mahasiswa mampu memahami komplikasi ambiguous genitalia h) Mahasiswa mampu memahami panatalaksanaan ambiguous genitalia i) Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan teoritis pada pasien ambiguous genitalia
2
BAB II ISI
A. Definisi
Ambiguous genitalia adalah suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis kelamin ganda. Dicurigai ambiguous genitalia, apabila alat kelamin kecil, disebut penis terlalu kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana scrotum melipat pada garis tengah sehingga tampak seperti labium mayor yang tidak normal dan gonad tidak teraba.
Gambar 1. Pasien dengan Ambi guous Geni tali a
B. Epidemiologi
Ambigus genitalia merupakan ketidaksesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin seseorang, secara umum tingkat kejadiannya untuk mendapatkan penyakit ini adalah 1: 2000. Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit ambiguous genitalia sangat terbatas. Meskipun tidak ada jumlah pasti prevalensi penyakit ambiguous genitalia, pada akhir tahun 2006, di Jerman telah ditemukan 2 kasus dari 10.000 kelahiran.
3
Kasus DSD secara umum dapat dialami baik laki-laki, maupun perempuan dan biasanya didiagnosis pada kelahiran bayi dengan ambiguous genitalia.
C. Penamaan dan Klasifikasi
Dewasa ini, The Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society (LWPES) danThe European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) telah mengumumkan usulan perubahan nama dan definisi berdasarkan gangguan perkembangan kromosam, gonad, atau fenotip yang bersifat atipik. Istilah Disorders of Sexual Development (DSD) pun diusulkan untuk merujuk kondisi kongenital tersebut. Tabel 1. Istilah yang digunakan sebelumnya dan penamaan hasil revisi dari Disorders of Sexual Development (DSD) Terminologi lama
Terminologi baru
Female pseudohermaphrodite
46,XX DSD
Male pseudohermaphrodite
46,XY DSD
True hermaphrodite
Ovotesticular DSD
XX male
46,XX testicular DSD
XY sex reversal
46,XY complete gonadal dysgenesis
D. Etiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab pada individu yang terlahir dengan 2 kromosom X. Yang paling umum adalah Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) yang memicu produksi hormon pria (androgen) berlebih. Akibatnya terjadi maskulinisasi pada perkembangan organ seksual. Kemungkinan lain adalah tumor dan paparan zat-zat yang mengandung hormon pria selama dalam kandungan. Ketika genitalia eksternal tidak mempunyai penampakan anatomik yang sesuai dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara normal, maka dikenal sebagai ambiguous genitalia. Keadaan ini dapat disebabkan oleh berbagai DSD. Akan tetapi, tidak semua DSD berupa ambigus genitalia eksternal, beberapa DSD memiliki genital ekterna yang normal (seperti
4
Turner sydrome [45,XO] dengan fenotip wanita, Klinefelter syndrome [47,XXY] dengan fenotip pria).
E. Patofisiologi
Untuk mengetahui patofisiologi ambiguous genitalia, harus memahami diferensiasi seksual normal dan abnormal yang merupakan pengertian dasar pada kelainan. 1. Embriologi diferensiasi seksual Penentuan fenotip seks dimulai dari seks genetik yang kemudian diikuti oleh kaskade: kromosom seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan fenotip seks. Tipe gonad menentukan diferensiasi/regresi duktus internal (mulleri dan wolfili). Identitas gender tidak hanya ditentukan oleh fenotip individu, tetapi juga oleh perkembangan otak prenatal dan postnatal. 2. Diferensiasi gonad Dalam bulan kedua kehidupan fetus, gonad indeferen dipandu menjadi testes oleh informasi genetik yang ada pada lengan pendek kromosom Y disebut Testes Determining Factor (TDF), merupakan rangkaian 35-kbp dalam subband 11.3, area ini disebut daerah penentu seks pada kromosom Y (SRY). Bilamana daerah ini tidak ada atau berubah, maka gonad indeferen menjadi ovarium. Gen lain yang penting dalam perkembangan testes antara lain DAX 1 pada kromosom X, SF1 pada 9q33, WT1 pada 11p13, SOX9 pada 17q24-q25, dan AMH pada 19q13.3. 3. Diferensiasi duktus internal Perkembangan duktus internal akibat efek parakrin gonad ipsilateral. Penelitian
klasik Jost pada tahun 1942 dengan kelinci menjelaskan
dengan sangat baik peran gonad dalam mengendalikan perkembangan duktus internal dan fenotip genitalia eksterna. Bila ada jaringan testes, maka ada dua substansi produk untuk perkembangan duktus internal lakilaki dan fenotip laki-laki, yaitu testosteron dan substansi penghambat mulleri (MIS) atau hormon anti-mulleri (AMH).
5
Testosteron diproduksi sel Leydig testes, merangsang duktus wolfii menjadi epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis. Struktur wolfii terletak paling dekat dengan sumber testosteron, duktus wolfii tidak berkembang seperti yang diharapkan bila testes atau gonad disgenetik sehingga tidak memproduksi testosteron. Kadar testosteron lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi duktus wolfii namun pada fetus perempuan androgen ibu saja yang tinggi tidak menyebabkan diferensiasi duktus internal alki-laki, hal ini jug atidak terjadi pada bayi perempuan dengan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH). MIS diproduksi oleh sel Sertoli testes, penting untuk perkembangan duktus internal laki-laki normal, merupakan suatu protein dengan berat molekul 15.000, yang disekresi mulai minggu ke dela pan. Peran utamanya adalah represi perkembangan pasif duktus mulleri (tuba falopii, uterus, vagina atas). Testosteron dan estrogen tidak mempengaruhi peran MIS 4. Diferensiasi genitalia eksterna Genitalia eksterna kedua jenis kelamin masih identik sampai 7 minggu pertama masa gestasi. Tanpa hormon androgen (testosteron dan dihidrotestosteron-DHT), genitalia eksterna secara fenotip perempun. Bila ada gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif setelah minggu ke-8 menjadi fenotip laki-laki. Diferensiasi ini dipengaruhi oleh testosteron, yang berubah menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa reduktase dalam sitoplasma sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. DHT berikatan
dengan
reseptor
androgen
dalam
sitoplasma
kemudian
ditranspor ke nukleus, menyebabkan translasi dan transkripsi material genetik, akhirnya menyebabkan perkembangan genitalia eksterna laki-laki normal, bagian primordial membentuk scrotum , dari pembengkakan genital membentuk batang penis, dari lipatan tuberkel membentuk glans penis, dari sinus urogenitalis menjadi prostat. Maskulinisasi tidak sempurna bila testosteron gagal berubah menjadi DHT atau DHT gagal bekerja dalam sitoplasma atau nukleus sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. Kadar testosteron tetap tinggi sampai minggu ke-14. Setelah minggu ke-14, kadar testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih
6
rendah dan dipertahankan oleh stimulasi human chorionic gonadotrophin (hCG) maternal daripada oleh LH. Kemudian pada fase gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap pertumbuhan falus yang responsif terhadap testosteron dan DHT.
Bagan 1. Ilustrasi perkembangan sistem reproduksi normal pada manusia. M I S=M ull erian I nhi biti ng Substance, TDF =Testes Determ in in g F actor
F. Manifestasi Klinis
Gejala dari kelamin ganda (ambigous genitalia), pada bayi yang secara genetika seorang perempuan (kedua chromosome XX), maka: 1. Terlihat clitoris yang membesar yang sering dikira se bagai penis 2. Bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga dikira sebagai scrotum 3. Benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis. Pada bayi yang secara genetis adalah laki laki, maka gejalanya adalah: 1. Saluran kencing tidak sampai ke depan penis (berhenti dan keluar ditengah atau dipangkal penis) 2. Penis sangat kecil dengan lubang saluran kencing dekat dari scrotum 3. Testis tidak ada atau hanya ada satu buah.
7
Gambar 2. Ambiguous genitalia, diantaranya adalah tru e hermaphrodite (A) dan congenit al viri li zing adrenal hyperplasia (B-E)
G. Pemeriksaan Penunjang
1.
Laboratorium a. Analisis kromosom b. Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17-OH progesteron. c. Pemeriksaan elektrolit seperti natrium dan kalium.
2.
Pencitraan a. USG pelvis; untuk memeriksa keadaan genital interna b. Genitografi; untuk menetukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/tidaknya organ yang berasal dari saluran Muller.
H. Komplikasi I. Penatalaksanaan 1. Pengobatan endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya
8
tanda-tanda seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi rambut dan massa tubuh) dengan memberikan testosteron. Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminin dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa individu setelah pengobatan estrogen). Pada CAH diberikan glukokortikoid dan hormon untuk retensi garam. Glukokortikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila terjadi stres fisik dan menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien perempuan. Pengobatan dengan hormon seks biasanya mulai diberikan pada saat pubertas dan glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan, biasanya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan
hormon
seks
laki-laki,
hormon
seks
perempuan
atau
glukokortikoid, maka pengobatan harus dilanjutkan selama hidup. Misalnya, hormon seks laki-laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan karakteristik maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan penyakit kardiovaskuler, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemia, dan penyakit-penyakit yang menyebabkan stres.
2. Pengobatan pembedahan
Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungkin seperti normal dan mengkoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah mengurangi ukuran klitoris yang membesar dengan tetap mempertahankan persarafan pada klitoris dan menempatkannya tidak terlihat seperti posisi pada wanita normal. Tahap kedua menempatkan vagina keluar agar berada di luar badan di daerah bawah klitoris.
9
Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan tahap kedua mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saat pasien siap memulai kehidupan seksual. Pada laki-laki, tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan merubah letak urethra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat dilakukan dalam satu tahapan saja. Namun demikian, pada banyak kasus, hal ini harus dilakukan lebih dari satu tahapan, khususnya bilamana jumlah jaringan kulit yang digunakan terbatas, l ekukan pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan tersebut bersamaan sehingga mempersulit teknik operasi. Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah laki-laki, maka dapat dilakukan operasi rekonstruksi antara usia 6 bulan sampai 11,5 tahun. Secara umum, sebaiknya operasi sudah selesai sebelum anak berusia dua dua tahun , jangan sampai ditunda sampai usia pubertas. Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah perempuan, bilamana pembukaan vagina mudah dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka rekonstruksi vagina dapat dilakukan pada awal kehidupan tanpa koreksi klitoris. Bilamana maskulinisasi membuat klitoris sangat besar dan vagina tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan sangat posterior), maka dianjurkan untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia remaja. Namun hal ini masih merupakan perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau setidaknya sebelum usia dua tahun, namun ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia pubertas agar kadar estrogennya tinggi sehingga vagina dapat ditarik ke bawah lebih mudah.
3. Pengobatan psikologis
Sebaiknya, semua pasien interseks dan anggota keluarganya harus dipertimbangkan untuk diberikan konseling. Konseling dapat dibnerikan oleh ahli endokrin anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama (ustadz, pastur, atau pendeta), konselor genetik atau orang lain dimana anggota
10
keluarga lebih dapat berbicara terbuka. Yang sangat penting adalah bahwa yang memberikan konseling harus sangat familier dengan hal-hal yang berhubungan dengan diagnosis
dan pengelolaan interseks. Sebagai
tambahan, sangat membantu bilamana konselor mempunyai latar belakang terapi seks atau konseling seks. Topik yang harus diberikan selama konseling adalah pengetahuan tentang keadaan anak dan pengobatannya, infertilitas, orientasi seks, fungsi seksual dan konseling genetik. Bilamana pada suatu saat di sepanjang hidupnya, pasien dan orangtuanya mempunyai masalah dengan topik tersebut, maka dianjurkan untuk berkonsultasi.
11
BAB III ASKEP TEORITIS A. Pengkajian
1. Riwayat kesahatan a)
Riwayat kesahatan sekarang Biasanya klien mengeluh matanya nyeri, penglihatan buram dan terlihat merah
b) Riwayat kesahatan Apakah klien pernah menderita penyakit yang sama-sama terauma mata, alergi obat dan riwayat operasi mata c)
Riwayat kesahatan Dalam keluarga apakah ada yang menderita penyakit menular
2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium 1) Analisis kromosom 2) Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17-OH progesteron. 3) Pemeriksaan elektrolit seperti natrium dan kalium. b.
Pencitraan 1) USG pelvis; untuk memeriksa keadaan genital interna 2) Genitografi; untuk menetukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/tidaknya organ yang berasal dari saluran Muller.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin timbul, sebagai berikut
C. Intervensi No
Diagnosa
NOC
NIC
12
13
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Ambiguous genitalia adalah suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis kelamin ganda. Ambigus genitalia merupakan ketidaksesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin seseorang, secara umum tingkat kejadiannya untuk mendapatkan penyakit ini adalah 1: 2000.
14
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. Ambiguous genitalia. Dikutip dari www.medicastore.com Anonymous, Corneal Ulcer. Dikutip dari www.HealthCare.com Anonimus, Corneal Ulcer. Dikutip dari www.wikipedia.org Sidarta, Ilyas, dkk. 2010. Penuntun Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. Jakarta : Sagung Seto
15