BAB I PENDAHULUAN
A. LATA LATAR R BE BELAKA LAKAN NG
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung ayat-aya ayat-ayatt yang yang bersifat bersifat global. global. Oleh Oleh karena karena itu kehadi kehadiran ran hadits hadits berfung berfungsi si sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran secara mendalam. Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak sepert sepertii Al-Q Al-Qur’ ur’an an yang yang secar secaraa resmi resmi telah telah di tulis tulis pada pada zama zaman n Nabi Nabi dan dan dibukukan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan Sedangkan hadits baru ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2). 1 Dengan Dengan seiring seiring perkemb perkembang angan an zaman zaman banyak banyak sekali sekali haditshadits-had hadits its yang yang muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if. Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.
B. RUMUSAN MASALAH Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
1. Apa itu hadits dho’if? 2. Bagaimana Bagaimana kedudukan kedudukan hadits hadits dho’if dho’if dalam hukum hukum islam islam ? 3. Bagaimana Bagaimana pendapat pendapat ulama mengenai mengenai penggunaa penggunaan n hadits dho’if? dho’if?
4. Apa saja macam-macam hadits dho’if?
BAB II 1
Munzier Suparto, Ilmu Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
1
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS DHO’IF
Secara etimologi, etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah, lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat .2 Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam mendefi mendefinisi nisikan kan hadits hadits dho’if dho’if ini. Tetapi, Tetapi, pada pada dasarny dasarnya, a, isi dan maksud maksudnya nya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini. An-Nawawi mendefinisikannya dengan :
Artinya : “Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat syarat hadits hadits hasan.” hasan.”
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :
Artinya : “Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.” 3 Seda Sedang ngka kan n yang yang dima dimaks ksud ud Hadit Haditss Maqb Maqbul ul di sini sini adala adalah h hadi hadits ts yang yang diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.4
Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :
2 3 4
Mohammad Nor Ichwan , Study Study Ilmu Hadits Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133 Drs.H.Mudasir, Ilmu Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits Hadits,, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok Shiddieqy, Pokok-Pok -Pokok ok Ilmu Ilmu Dirayah Dirayah Hadits Hadits Jilid Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
2
Artinya : “Hadits “Hadits yang yang hilang hilang salah salah satu syaratn syaratnya ya dari dari syaratsyarat-syar syarat at hadits hadits maqbul maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”
Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, hilang, berarti berarti hadits hadits itu dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah. lemah.5 Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan” Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau hadits hadits hasan” hasan” Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”. DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam dalam pembag pembagian ian hadits. hadits. Batasan Batasannya nya yang paling tepat adalah adalah hadits hadits yang padanya padanya tidak terdapat terdapat ciri-ciri ciri-ciri hadits hadits shahih atau hasan. hasan. 5
Drs.H.Mudasir, Ilmu Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits Hadits,, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
3
Berdasarkan Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if .6
B. KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if. Berd Berdas asar arka kan n dari dari pend pendap apat at DR. DR. Subh Subhii As-S As-Sha hali lih h pada pada subsub-ma mate teri ri sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits hasa hasan n seme sement ntar araa hal hal ters terseb ebut ut dite ditemu muka kan n pada pada hadi hadits ts dho’ dho’if if,, maka maka yang yang digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat seorang ulama. Jadi, Jadi, dapat dapat dikatak dikatakan an bahwa bahwa kedudu kedudukan kan hadits hadits dho’if dho’if dilihat dilihat dari segi segi kualitasnya kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.
C. PENDAPAT ULAMA ULAMA TENTANG TENTANG HADITS DHO’IF
Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga mazhab, yaitu : Mazhab pertama, mere mereka ka mengat ngatak akan an bah bahwa hadi hadits ts dho’ dho’if if bole boleh h
diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan dengan syarat syarat tidak tidak ditemuk ditemukan an hadits hadits lain dalam dalam bab tersebut. tersebut. Pendap Pendapat at ini dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain. Yang Yang dimak dimaksud sud deng dengan an hadit haditss dho’ dho’if if di sini sini adal adalah ah hadit haditss yang yang kada kadar r kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang keadaannya
6
Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
4
demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits lain yang menyelisihinya. Adany danyaa
kemu emungki ngkina nan n
bahw bahwaa
had hadits its
yang ang
dini dinila laii
dho’i ho’iff
ters terseebut but
mengan mengandun dung g kebena kebenaran ran sementa sementara ra tak ada hadits hadits lain yang yang menyel menyelisihi isihinya nya,, maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki kemungkinan shahih sehingga boleh diamalkan. Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa'd Al Bawardi Bawardi berkata: berkata: "Konsep "Konsep yang dipakai dipakai oleh Imam Nasa'i adalah bahwa beliau menyebutk menyebutkan an setiap hadits yang tidak ada kesepakatan kesepakatan – dari para ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan, "Demikian pula Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab karena hadits tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni seseorang". Mazhab Mazhab ini juga juga diikuti diikuti oleh oleh Imam Imam Ahmad, Ahmad, beliau beliau mengat mengataka akan: n: "hadits "hadits dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", seseorang", karena beliau tidak beralih kepada kepada Qiyas kecuali kecuali setelah dipastikan dipastikan bahwa benar-benar benar-benar tidak ada nash. Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah bukanlah hadits-hadits hadits-hadits dho’if menuru menurutt istilah istilah Ilmu Hadits melaink melainkan an yang yang dimaksu dimaksud d adalah adalah hadits hadits hasan, hasan, karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan hadits shahih. Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya tidak tersambu tersambung ng (terputu (terputus), s), yaitu yaitu mursal mursal dan mudalla mudallas, s, hal itu dikarena dikarenakan kan tidak tidak adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum yang bersambung bersambung (muttashil). (muttashil). Contohnya Contohnya seperti riwayat Al-Hasan Al-Hasan dari Jabir, AlHasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…". Imam Abu Abu Dawu Dawud d meng mengan angg ggap ap hadits hadits yang yang tidak tidak tersa tersamb mbun ung g (sana (sanadn dnya ya)) bole boleh h diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana diketahui bahwasannya bahwasannya hadits munqathi' munqathi' (terputus (terputus sanadnya) sanadnya) merupakan merupakan salah satu jenis hadits dho’if.
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
5
Mazhab kedua, mereka mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if
hukumnya mustahabb (disukai) dalam hal keutamaan-keutamaan (fadhail). Ini adalah pendapat mayoritas (Jumhur) Ulama ahli hadits, ahli fikih dan lain-lain. Imam Nawawi mengatakan bahwa pendapat ini menjadi kesepakatan di antara para ulama, ulama, demikian demikian pula pula Syaikh Syaikh Ali Al-Qari Al-Qari dan dan Ibnu Hajar Al-Haitam Al-Haitamii.7 Menurut Imam An-Nawawi kita boleh mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk untuk meneta menetapka pkan n hukum, hukum, melaink melainkan an hanya hanya untuk untuk menera menerangk ngkan an keutama keutamaan an amal, amal, yang hukumn hukumnya ya telah telah ditetapk ditetapkan an oleh oleh hadits hadits shahih, shahih, setidak setidak-tida -tidakny knyaa hadits hasan. Ulama-ulama hadits sepakat boleh mempergunakannya dalam bidang :
1. Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan (Keutamaan-Keutamaan Amal) Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2. At-Targhiib (Memotivasi) Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (Menakuti) Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang orang yang yang mengerjaka mengerjakan n suatu perbuatan. perbuatan. 4. Kisah-kisah Tentang Para Nabi Nabi Dan Orang-Orang Orang-Orang Sholeh
5. Do’a Dan Dzikir Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir. 8 Akan Akan tetapi tetapi tidak tidak semua semua hadits hadits dho’if dho’if dapat dapat diguna digunakan kan,, Al-Hafizh Al-Hafizh Ibnu Hajar Hajar Asqalan Asqalanii menjela menjelaskan skan syarat-s syarat-syara yaratt yang yang harus harus dipenu dipenuhi, hi, berikut berikut ini cuplikan perkataan beliau: 7
8
Danang Kuncoro Wicaksono, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem Eida Riesky, http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-tentang-mengamalkanhadits-dho’iflemah/
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
6
"Persya "Persyaratan ratan yang harus harus dipenu dipenuhi hi dalam dalam mengam mengamalk alkan an hadits hadits dho’if dho’if ada tiga: Pertama, telah disepakati, yaitu bahwa hadits dho’if tersebut tidak parah kedho’ifannya. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh seorang pendusta (kazzab), atau orang yang tertuduh berdusta atau orang yang memiliki kesalahan fatal tidak tidak termasuk termasuk dalam kategor kategorii ini. Kedua, Kedua, hadits hadits tersebu tersebutt harus harus berada berada dalam koridor Syariat Islam secara umum. Oleh karena itu, hadits yang sengaja dibuat-buat padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam Syariat Islam tidak dapat dapat diter diterima ima.. Ketig Ketiga, a, ketik ketikaa meng mengam amal alkan kan hadi hadits ts terseb tersebut ut tidak tidak diser disertai tai keyakin keyakinan an bahwa bahwa hadits hadits tersebu tersebutt benar-b benar-bena enarr berasal berasal dari Rasulu Rasulullah llah saw, saw, dengan tujuan agar tidak terjadi penyandaran sesuatu yang tidak berasal dari beliau". Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Haitami lebih mengarahkan mengarahkan pada pengamalan hadits dho’if dalam masalah keutamaa-keuta keutamaa-keutamaan maan amal, beliau menyebutkan: menyebutkan: "Para ulama telah telah bersepa bersepakat kat mengen mengenai ai bolehn bolehnya ya mengam mengamalka alkan n hadits hadits dho’if dho’if dalam dalam hal keutam keutamaan-k aan-keut eutamaa amaan n amal, amal, karena karena andaika andaikan n hadits hadits tersebu tersebutt ternyat ternyataa benar benar keberadaannya (shahih), maka dengan mengamalkannya berarti hak-hak hadits tersebut telah terpenuhi. Kalaupun tidak demikian – terbukti dho’if -- maka hal tersebut tidak akan menimbulkan pengaruh buruk apapun seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu atau hilangnya hak orang lain". mereka mengat mengataka akan n bahwa bahwa menga mengamalk malkan an hadits hadits dho’if dho’if Mazhab ketiga, mereka adalah tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram. Pendapat ini diklaim sebagai pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi. Asy-Syihab Al-Khafaji dan Al-Jalal Ad-Dawani juga berpendapat demikian. Beberapa penulis kontemporer lebih cenderung memilih pendapat ini dengan alasan bahwa perkara-perkara tersebut di atas sama hukumnya seperti halal dan haram karena semuanya merupakan perkara syar'i. Lagipula hadits-hadits shahih dan hasan sudah mencukupi dan tidak diperlukan lagi hadits dho’if. Demi Demiki kian anla lah, h,
perm permas asal alah ahan an ini ini
meng mengun unda dang ng bany banyak ak
pole polemi mik k
dan dan
perdebatan-perde perdebatan-perdebatan. batan. Kendatipun Kendatipun demikian, demikian, tampak bahwa pendapat pendapat yang bersifat paling menengahi menengahi di antara mazhab-mazhab mazhab-mazhab tersebut adalah pendapat pendapat kedua. Hal itu dikarenakan menimbang persyaratan-persyaratan yang ditetapkan
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
7
oleh oleh para para ulama ulama dalam dalam masalah masalah berama beramall dengan dengan hadits dho’if dho’if tersebu tersebutt yang menunjukkan bahwa hadits dho’if yang menjadi perdebatan di sini bukanlah hadits hadits yang yang divoni divoniss palsu, palsu, melaink melainkan an hadits hadits yang belum jelas jelas kemung kemungkin kinan an kebenarannya (validitas) sehingga masih menyisakan peluang, dan peluang ini dapat diselesaikan ketika tidak ditemukan hadits lain yang menentangnya atau jika hadits tersebut sejalan dengan dengan prinsip-prinsip prinsip-prinsip Islam sehingga sehingga dibenarkan dibenarkan beramal dengan hadits tersebut demi menjaga menjaga hak-haknya, hak-haknya, tetapi dengan dengan harus memiliki dasar dalam syariat islam sebelumnya. Adapun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa beramal dengan hadits dho’if dalam masalah fadhail adalah sama dengan menciptakan ibadah baru dan membuat aturan baru dalam agama yang tidak direstui oleh Allah swt, maka maka hal itu telah telah dijaw dijawab ab oleh oleh para para ulam ulama, a, mere mereka ka meng mengata ataka kan n bahw bahwaa diutamakannya beramal adalah sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang mengan menganjurk jurkan an berama beramall demi demi menjag menjagaa (berhat (berhati-hat i-hati) i) dalam dalam masalah masalah agama. agama. Beramal dengan hadits dho’if termasuk dalam kategori ini, dengan demikian tak terdapat penambahan apapun dalam syariat Islam. Menuru Menurutt pandang pandangan an DR. DR. Nurudd Nuruddin in 'Eter, 'Eter, seseoran seseorang g yang yang mengam mengamati ati persyaratan-persya persyaratan-persyaratan ratan yang ditetapkan ditetapkan oleh para ulama tersebut tersebut menafikan menafikan adanya peluang untuk menambah hal-hal baru dalam syariat. Hal itu tampak jelas dari syarat mereka bahwa bahwa sebuah hadits dho’if dho’if diharuskan diharuskan tidak keluar dari koridor syariat dan prinsip-prinsip syar'i yang sudahbaku secara umum. Oleh karena itu, status hukum asal hal ini adalah legal menurut hukum syar'i, baru kemudi kemudian an muncul muncullah lah hadits hadits dho’if dho’if tersebu tersebutt yang yang tidak tidak bertenta bertentanga ngan n denga dengan n syariat. Contoh:
Hadits Hadits yang diriway diriwayatk atkan an oleh Ibnu Ibnu Majah Majah dalam dalam SunanSunan-nya nya,, sebaga sebagaii berikut: berikut: Abu Ahmad Ahmad al-Marra al-Marrarr bin Hammuy Hammuyah ah mengab mengabark arkan an kami, kami, ia berkata berkata:: Muhamm Muhammad ad bin Musha Mushaffa ffa mengab mengabarka arkan n kami, kami, ia berkat berkata: a: Baqiyy Baqiyyah ah bin AlWalid mengabarkan kami dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abu Umamah Umamah dari Rasulullah saw bahwasannya bahwasannya beliau bersabda: "Barangsiapa yang
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
8
mendirikan mendirikan shalat pada dua malam hari raya dengan dengan mengharapka mengharapkan n ridha Allah, maka hatinya takkan mati di saat hati-hati yang lain sedang mati". Pada sanad tersebut, para perawi adalah Tsiqat, kecuali Tsaur bin Yazid, ia ditud dituduh uh deng dengan an tudu tuduha han n bid'a bid'ah h Qada Qadariy riyah. ah. Akan Akan tetapi tetapi dalam dalam hal ini ia meriway meriwayatk atkan an hadits hadits yang yang tidak tidak ada sangku sangkutt pautny pautnyaa denga dengan n kebid'a kebid'ahan hannya nya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap haditsnya. Muhamad bin Mushaffa adalah adalah seorang seorang yang yang sangat sangat jujur jujur (Shadu (Shaduq), q), ia banyak banyak meriway meriwayatk atkan an hadits hadits sehingg sehinggaa Ibnu Ibnu Hajar Hajar member memberikan ikan label label "Hafizh" "Hafizh" kepadan kepadanya. ya. Adz-Dz Adz-Dzahab ahabii berkomentar berkomentar bahwa ia adalah seorang tsiqah masyhur masyhur (sangat (sangat terpercaya terpercaya dan populer), populer), akan tetapi dalam riwayat-riwayatny riwayat-riwayatnyaa terdapat riwayat yang munkar. munkar. Dalam sanad tersebut juga terdapat Baqiyyah bin Al-Walid, dia termasuk di antara jajaran para imam huffahz yang sangat jujur. Akan tetapi ia sering sekali melakukan tadlis (pengaburan) dari para perawi lemah (dho’if). Imam Muslim menuki menukill riwayat riwayatnya nya hanya hanya sebagai sebagai pengu penguat at saja (mutab (mutaba'ah a'ah). ). Sement Sementara ara dia (Baqiyyah) tidak menyebutkan secara terus terang bahwa ia benar-benar telah mendengar hadits tersebut, sehingga hadits tersebut dianggap dho’if. Para ulama berpendapat bahwa menghidupkan dua malam hari raya, baik dengan berzikir maupun ibadah-ibadah lainnya hukumnya sunnah (mustahab) sesuai dengan hadits dho’if ini, karena hadits dho’if boleh diamalkan dalam hal keutamaan-keut keutamaan-keutamaan amaan amal sebagaimana sebagaimana disebutkan disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Al-Adzkar. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa qiyamullail (shalat pada malam hari) dan meng mengisi isi mala malam m terse tersebut but deng dengan an ibad ibadah ah adal adalah ah sesua sesuaii anjur anjuran an agam agamaa sebag sebagaim aiman anaa diter diterang angka kan n dalam dalam Al-Q Al-Qur ur'an 'an dan dan Sunn Sunnah ah yang yang mutaw mutawati atir. r. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara berdoa, berzikir dan lain sebagainya adalah perkara yang dianjurkan di setiap waktu dan tempat, termasuk dua malam hari raya. Di sini tampak jelas bahwa hadits tersebut tidaklah membawa ajaran baru, melainkan membawa sesuatu yang bersifat parsial yang sejalan dengan prinsip prinsip Syariat dan teks-teks syar'I secara umum sehingga tidak diragukan diragukan lagi bahwa beramal beramal dengan hadits tersebut tersebut hukumny hukumnyaa adalah boleh. boleh.9 9
Danang Kuncoro Wicaksosno, http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
9
D. MACAM – MACAM HADITS DHO’IF DHO’IF
Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi perowi hadits. Dari bagi ketiga ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if. 1. Dho’if Dho’if ditinj ditinjau au dari dari segi segi persambu persambunga ngan n sanad. sanad. Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a. Hadits Mursal Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung langsung oleh tabi’in pada Rosulullah Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perkataan, perbuatan, perbuatan, maupun maupun taqrirnya, tabi’in yang di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar. Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya dikenalnya tentang keadaan keadaan perawi yang dihilangkan dihilangkan tersebut, tersebut, seba sebab b boleh boleh jadi jadi peraw perawii yyang yyang dihil dihilang angka kan n terse tersebu butt adala adalah h buka bukan n sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b. Hadits Munqothi’ Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau pada sanad tersebutkan tersebutkan seseorang yang tidak dikenal dikenal nama namany nya. a. Tetap Tetapii keba kebany nyaka akan n ulam ulamaa hadits hadits meng menggu gunak nakan an istila istilah h Munqothi’ Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c. Hadits Mu’dhal
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
10
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih lebih secara secara berturu berturut-tur t-turut. ut. Denga Dengan n penger pengertian tian diatas, diatas, menunj menunjukk ukkan an bahwa hadits mu’dhal mu’dhal berbeda berbeda dengan dengan hadits munqothi’. munqothi’. Pada hadits mu’d mu’dhal hal,, gugu gugurny rnyaa dua dua oran orang g peraw perawii terja terjadi di secara secara bertu berturut rut-tu -turu rut. t. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).10
d. Hadits Mu’allaq Hadits Hadits mu’alla mu’allaq q adalah adalah hadits hadits yang yang dihapu dihapuss dari awal sanadn sanadnya ya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Hadits Hadits mu’alla mu’allaq q hukumn hukumnya ya adalah adalah mardud mardud (tertola (tertolak), k), karena karena tidak tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul , yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui. e. Hadi Hadits ts muda mudalla llass Kata Kata “Mudall “Mudallas” as” secara secara etimolo etimologi gi diambil diambil dari kata kata “dals” “dals” yang yang berarti “bercampurnya “bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan digunakan untuk menye menyebut but sebuah sebuah hadits hadits yang yang didalmn didalmnya ya mengan mengandun dung g unsur-u unsur-unsu nsur r kesamaan dengan unsur-unsur yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai macam penyamaran. Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
-
Tadlisu Al Sanad Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa masa dengan dengannya nya,, namun namun disebut disebutkan kan seolah-o seolah-olah lah dia benarbenar benar menden mendengar gar darinya, darinya, agar agar hadits tersebut tersebut dipandan dipandang g baik. baik.
10
Munzier Suparto, Ilmu Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
11
-
Tadlisu Al Syuyuukhi Yaitu Yaitu meriway meriwayatk atkan an hadits hadits yang yang dideng didengarny arnyaa dari dari seorang seorang guru, guru, namu namun n dia dia menye menyebu butt nama nama guru guruny nyaa itu deng dengan an meng menggu gunak nakan an sebutan yang tidak populer misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya dengan pertimbangan agar tidak di ketahu ketahuii denga dengan n jelas jelas identit identitas as guruny gurunyaa yang yang lemah, lemah, sehingg sehinggaa tertutupi kelemahannya.11
2. Dho’if Dho’if ditin ditinjau jau dari segi segi cacatny cacatnyaa peraw perawi. i. Yang Yang dimak dimaksu sud d deng dengan an cacat cacat pada pada peraw perawii adalah adalah terd terdapa apatny tnyaa kekurangan atau cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya. Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah berbohong, berbohong, dituduh dituduh berbohong, berbohong, fasik, berbuat berbuat bid’ah dan tidak diketahui diketahui keadaanya. Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat kelir keliru/ u/ sanga sangatt dalam dalam kesal kesalaha ahanny nnya, a, buruk buruk hafal hafalan anny nya, a, lalai, lalai, bany banyak ak prasangka prasangka dan menyalahi menyalahi perawi perawi yang tsiqah. Macam-m Macam-maca acam m hadits hadits dho’if dho’if berdasa berdasarkan rkan cacat cacat yang dimilik dimilikii oleh oleh perawinya perawinya yaitu : a. Hadits its Mat Matru ruk k Hadits Hadits Matruk Matruk adalah adalah hadits hadits yang yang perawin perawinya ya mempun mempunyai yai cacat cacat tertuduh dusta, pembohong atau pendusta.
11
Muhammad Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Ushul Hadis Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
12
b. Hadits Munkar Munkar Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata. c. Hadit aditss Mu’al u’alla lall Hadi Hadits ts Mu’al Mu’alla lall adal adalah ah hadi hadits ts yang yang peraw perawiny inyaa cacat cacat kare karena na alwahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. d. Hadit aditss Mudro udrojj Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits tersebut. e. Hadits its Maq Maqllub Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya. f. Hadits its Mu Mudhor horib Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan berlawanan yang yang masing-masi masing-masing ng sama-sama sama-sama kuat. kuat. g. Hadi Hadits ts Musho ushoff ffaf af Hadits Hadits musho mushoffaf ffaf adalah adalah mengub mengubah ah kalimat kalimat yang terdapat terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara lafadz maupun maknanya. 12 h. Hadits its Sy Syadz 12
Mohammad Nor Ichwan , Ichwan , Study Study Ilmu Hadits Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
13
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau yang lebih baik dari padanya. 13
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan: etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti 1. Secara etimologi, lemah, lemah, dan yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak tidak kuat kuat . Secar Secaraa termi termino nolo logi gi,, di antar antaraa para para ulama ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul. 2. Kedudu Kedudukan kan hadits hadits dho’if dalam hukum hukum islam yaitu berada berada setelah hadits hadits shahih dan hadits hasan. 3. Terd Terdapa apatt 3 madz madzha hab b pend pendap apat at para para ulam ulamaa meng mengen enai ai peng pengam amal alan an hadits hadits dho’if, yaitu :
13
Nawir Nawir Yuslem, Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
14
Mazhab Pertama Pertama mengat mengataka akan n bahwa bahwa hadits hadits dho’if dho’if boleh boleh diamalk diamalkan an a. Mazhab secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. mempergunakan hadits yang dho’if untuk b. Mazhab kedua mengatakan mempergunakan fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan. mengamalkan hadits dho’if adalah c. Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4. Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas : a. Dho’i Dho’iff ditinj ditinjau au dari segi segi persa persamb mbun unga gan n sanad sanadny nyaa : Hadit Haditss Mursa Mursal, l, Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas Dho’iff ditin ditinjau jau dari dari segi segi cacatn cacatnya ya peraw perawii : Hadit Haditss Matru Matruk, k, Hadit Haditss b. Dho’i Munk Munkar, ar, Hadit Haditss Mu’al Mu’allal lal,, Hadit Haditss Mudro Mudroj, j, Hadit Haditss Maql Maqlub ub,, Hadit Haditss Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.
B. SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah : 1. Bagi Bagi pembac pembacaa diharap diharapkan kan dapat membeda membedakan kan hadits dho’if dengan dengan hadits hadits lainnya. 2. Untuk lebih lebih memahami memahami mengenai mengenai hadits dho’if, dho’if, diharapkan diharapkan pembaca dapat dapat mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
15
DAFTAR PUSTAKA Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta. Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-P 1987; Pokok-Pokok okok Ilmu Ilmu Dirayah Dirayah Hadits Hadits Jilid 1; 1; PT Bulan Bintang; Jakarta. Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Hadits; Rasail Media Group; Semarang. Mudasir; 1999; Ilmu 1999; Ilmu Hadits Hadits;; Pustaka Setia; Bandung. Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulamatentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/ Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-haditsdho’if.html Suparto, Munzier; 2003; Ilmu 2003; Ilmu Hadits Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta. Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6? &show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; Hadits; PT Mutiara Mutiara Sumber Widya; Jakarta.
Kelompok 3 |
Makalah Ilmu Hadits : Hadits Dho’if
16