Critical Review Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik bab III, IV, V David Easton Sebelum membahas lebih lanjut pemikiran Easton tentang sistem politik, kiranya terlebih dahulu perlu kita ketahui bahwa David Easton dikenal sebagai teoritis politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam ilmu politik. Menurut pendekatan ini, setiap sistem tentu memiliki sifat pertama, terdiri dari banyak bagian – – bagian. bagian. Kedua, bagian – – bagian bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung.
Ketiga,
sistem
itu
mempunyai
perbatasan
(boundaries)
yang
memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem - sistem lain. Dan berdasar definisi Easton tentang politik, sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan alokasi nilai – – nilai (dalam bentuk keputusan - keputusan atau kebijakan - kebijakan) yang alokasinya bersifat otoritatif (yaitu dikuatkan oleh kekuasaan yang sah) dan alokasi yang otoritatif itu mengikat seluruh masyarakat. Dalam masyarakat modern, otoritas atau kekuasaan yang sah yang memiliki wewenang sah untuk menggunakan kekuasaan bahkan dengan jalan paksaan adalah Negara. Negara disini merupakan suatu implemtasi dari kesepakatan bersama untuk mmbentuk suatu tatanan masyarakat yang lebih teratur. Untuk memudahkan kita dalam memahami sistem politik, di sini penulis mencoba memberi penafsiran sistem politik secara sederhana yang di kemukakan oleh Easton. Easton mendefinisikan Sistem adalah kesatuan dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing – masing – masing masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan dari seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing – – masing masing yang bekerja untk mencapai tujuan suatu negara. Sedangkan pengertian politik, Easton menerjemahkan politik sebagai "proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif." Pengertian politik sebagai alokasi nilai yang bersifat otoritatif ini menandai 2 tahap pembentukan teori sistem politiknya. Perhatian pada nilai sebagai komoditas yang dinegosiasikan di dalam masyarakat merupakan titik awal berlangsungnya suatu proses politik. Namun, proses alokasi nilai ini tidaklah dilakukan secara sembarang atau oleh siapa saja melainkan oleh lembaga – – lembaga masyarakat yang memiliki kewenangan untuk itu. Begitu juga halnya, untuk dapat memperoleh jalan yang terbaik untuk memahami makna status teoritis sistem politik maka alangkah baiknya kita mengawalinya melalui unit sosial yang paling inklusif yang kita sebut masyarakat. Alasannya,
karena masyarakat biasanya dipandang sebagai entitas yang paling lengkap di mana sistem – – sistem di dalamnya dapat dievaluasi. Sistem dengan demikian merupakan
abstraksi
masyarakat
yang
sebenarnya.
Selain
itu,
fenomena
masyarakat apa pun dapat dipandang dipandang sebagai sebagai satu atau sejumlah sejumlah sistem. Di samping itu, ada satu hal penting yang perlu diungkapkan bahwa interaksi politik membentuk sistem analitis. Hal ini mencoba menunjukkan makna dari usaha membangkitkan citra empiris sistem yang demikian. Sejalan dengan hal tersebut, berangkat dengan pendapat bahwa sistem politik adalah merupakan sistem manusia sebagai makhluk biologis, maka akan terdapat kesulitan. Namun kedudukan mereka sebagai makhluk biologislah yang nampaknya akan kita kaji lebih dalam. Pada prinsipnya, kita membayangkan setiap individu sewaktu ia berinteraksi satu sama lain dan mereka semua saling mempengaruhi bersama – – sama, dan berlangsung sepanjang waktu untuk membentuk suatu gambaran yang sederhana dan sangat memuaskan sebuah sistem politik. Berangkat dari hal tersebut bahwa semua sistem tingkah laku bersifat analitik. Untuk tujuan – – tujuan yang terbatas, beberapa diantaranya bersifat diferensiatif, spesifik dan terpadu, ini dapat kita sebut organisasi – – organisasi, sistem peranan ataupun keanggotaan sistem. Namun yang lainnya bersifat menyebar dan tidak diferensiatif yang terlibat di dalam rangkaian jenis interaksi analitikal lainnya. Dalam masyarakat yang diferensiatif berbagai peranan khusus yang timbul dalam sistem politik nampaknya menduduki hampir seluruh interaksi manusia sebagai makhluk biologis, paling tidak merupakan bagian terbesar daripadanya sehingga manusia di identifisir dengan nama serta peran itu sendiri. Pada dasarnya, kita dituntut untuk dapat mengidentifikasikan sistem politik yang mana hal tersebut bertujuan untuk dapat membedakannnya dengan yang lainnya. Dalam identifikasi ini, setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu unit – unit dalam sistem politik dan pembatasan. Adapun mengenai pembatasan, ini perlu diperhatikan ketika kita membicarakan sistem politik dengan lingkungan.
Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit – – unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit – Unit – unit unit ini adalah lembaga - lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik,
lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit – unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya. Kembali pada pembahasana tetang interaksi politik maka dalam konteksnya yang paling luas, penelitian kehidupan politik seperti halnya dalam ekonomi, keagamaan, atau aspek – aspek kehidupan lainnya, dapat dijelaskan sebagai seperangkat interaksi sosial yang berlangsung diantara sejumlah besar individu dan kelompok – kelompok. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, interaksi merupakan kesatuan analisis dasar. Untuk selanjutya kita akan mengadakan pengujian interaksi politik. Faktor yang membedakan interaksi – interaksi politik dari semua jenis interaksi sosial lainnya adalah bahwa seluruh rangkaian interaksi tersebut secara dominan beorientasi ke arah nilai – nilai otoritatif bagi sebuah masyarakat. Penelitian politik, dengan demikian akan mencoba memahami sistem interaksi tersebut di dalam sebuah masyarakat melalui ikatan atau alokasi otoritatif yang demikian ditetapkan
dan
dilaksanakan.
Jadi
singkatnya,
alokasi – alokasi
otoritatif
mendistribusikan berbagai hal penting di antara orang – orang atau sejumlah kelompok lewat satu atau lebih dari tiga cara yang tersedia. Alokasi bisa menghilangkan suatu nilai yang sudah dipunyai oleh seseorang atau mungkin pula menghalangi proses pencapaian nilai – nilai lain yang akan diperoleh atau bisa juga memberikan kepada sejumlah orang peluang untuk menggunakan nilai – nilai sembari menghujad yang lain. Dalam rangka menjaga sistem politik masyarakat secara lebih utuh berbeda dari sistem yang kurang inklusif, di dalam buku ini Easton akan menunjukkan pada sistem politik intenal berbagai kelompok dan organisasi sebagai ‘parapolitical sistem’ dan ‘polical system’ untuk kehidupan politik dalam unit yang paling inklusif untuk di analisa yaitu dalam masyarakat. Pada dasarnya, antara parapolitical system dan political system memiliki kesamaan dalam hal proses – proses dan struktur. Namun dalam substansinya keduanya memiliki perbedaan, dalam hal ini sekurangnya terdapat dua hal penting yaitu ; pertama, merupakan aspek – aspek subsistem dalam masyarakat dan kedua, parapolitical system hanya bersangkutpaut dengan alokasi otoritatif di dalam kelompok. Selanjutnya pembahasan selanjutnya yang akan dibahas adalah mengenai lingkungan dalam sistem politik. Telah ditandaskan bahwa derajat perbedaan –
perbedaan sistem – sistem politik dari dari sistem – sistem sosial lainnya dan oleh karena itu, kita bisa menambahkan kejelasan batasan antara sistem-sistem tersebut satu sama lain dapat ditandai lewat sifat-sifat sebagai berikut :
1.
Tingkat perbedaan sejumlah peran dan aktivitas politik dari peran dan aktivitas lainnya atau sebaliknya, sejauh mana ia ditempatkan dalam sturktur – struktur yang terbatas seperti keluarga dan kelompok – kelompok persaudaraan.
2.
Sejauh mana para pelaku peran-peran politik membentuk kelompok yang terpisah dalam masyarakat dan memiliki perasaan solidaritas dan kohesi.
3.
Sejauh mana peran – perang politik mengambil bentuk hirarki yang bisa dibedakan dari hirarkilainnya atas dasar faktor kekayaan, martabat, atau kriteria non politik lainnya.
4.
Sejauh mana proses – proses pengarahan dan kriteria pemilihan membedakan pelaku – pelaku sistem politik dibandingkan dengan peran – peran lainnya. Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of Political Life. Di dalam buku The Political System, Easton mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta – fakta kegiatan politik yang tercerai – berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi. Menurut
Chilcote,
dalam
tulisannya di The
Political
System,
Easton
mengembangkan empat asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand theory) sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan Chilcote menyebutkan terdiri atas: 1.
Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikanfakta – fakta yang ditemukan.
2.
Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
3.
Riset
sistem
politik
terdiri
atas
dua
jenis
data: data
psikologis dan data
situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik
(topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya). 4.
Sistem
politik
harus
dianggap
berada
dalam
suatu disequilibrium
(ketidakseimbangan). Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum
yang
mampu
mengakomodasi
bervariasinya
lembaga,
fungsi,
dan
karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan.
Pengaruh
data, psikologis dan
lingkungan
ini
situasional. Kendati
disistematisasi masih
ke
abstrak,
dalam
dua
Easton
jenis sudah
mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada tingkatan unit – unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara. Easton menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja. Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan – tahapannya. Konsep – konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga – lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan – pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas: 1.
Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit – unityang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit – unit ini adalah lembaga – lembagayang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit – unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2.
Input-output Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang
masuk
dari
masyarakat
ke
dalam
berupa tuntutan dandukungan. Tuntutan secara
sistem
sederhana
politik dapat
dapat disebut
seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat
untuk
mendukung
keberadaan
sistem
politik
agar
terus
berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun
dukungan
masyarakat.
yaitu keputusan dan tindakan yang
biasanya
Output dilakukan
terbagi oleh
dua
pemerintah
.Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat. 3.
Diferensiasi dalam sistem Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses penyusunan Undang – Undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga – lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan – kepentingan partai politik, serta lembaga – lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks
undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing – masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. 4.
Integrasi dalam sistem Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang - Undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa. Kesimpulan Ciri – ciri sistem politik yang membedakan dengan sistem sosial lainnya dan juga sistem mekanik dan biologis, ialah bahwa ia tidak harus tidak berdaya dalam menghadapi gangguan – gangguan yang meungkin menghadangnya. Karena hakikat tersebut anggota suatu sistem politik mempunyai keuntungan, tetapi mereka tidak selalu mengambil kesempatan, menanggapi tekanan yang demikian untuk dapat meyakinkan kelangsungan suatu sistem dari membuat dan melaksanakan keputusan – keputusan yang mengikat. Selanjutya, yang merupakan gambaran fenomena ini adalah bahwa sistem-sistem politik melalui reaksinya sendiri menanggapi berbagai tekanan sehingga mampu bertahan walau dalam suatu perubahan dunia yang cepat dan ia menampilkan masalah pokok untuk diselidiki secara teoritis. Gambaran teori sistem menghadapi berbagai tekanan luar sama halnya dengan makhluk hidup atau organisme yang mampu menangkal berbagai ganguan penyakit dan virus, seperti manusia yang memiliki kekebalan dan mekanisme membunuh kuman, bakteri dan virus. Sedangkan, sumber – sumber tekanan sistem politik tidak harus bersifat sangat dramatis
seperti
perang – perang,
revolusi,
atau
trauma
sosial
lainnya.
Sesungguhnya, secara normal semua sumber tersebut bersifat prosaik. Sumbersumber tersebut kemungkinan berasal dari kesatuan yang konstan, tekanan-tekanan setiap hari dalam kehidupan politik. Tanpa bantuan dari berbagai kemelut tertentu, nampaknya ia mampu menciptakan tekanan-tekanan serius pada kemampuan sistem politik untuk tetap bertahan atau pada kemampuan anggota masyarakat untuk meyakinkan sebuah kerangka untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang otoritatif. David Easton membagi sumber tekanan itu menjadi dua yaitu sumber – sumber tekanan yang berasar dari internal dan sumber – sumber tekanan yang berasal dari eksternal. Yakni tekanan yang berasal dari lingkungan intara dan ekstra sosial.
Sumber tekanan internal berupa disorganisasi dan pengrusakan, hubungan – hubungan antara para anggota sistem cenderung menjadi fokus bentuk – bentuk antagonisme yang paling mencolok dalam masyarakat. Dalam masyarakat terdapat bermacam – macam sarana dalam mengatasi dan memcahkan masalah tentang bagaimana nilai – nilai langka didistribusikan dan digunakan. Sedangkan yang menjadi tekanan eksternal biasanya adalah hal – hal yang luar biasa yang memaksa masyarakat untuk tidak mampu menyelesaikan kemelut dalam sistem politik, suatu keadaan yang bila terjadi akan menyebabkan kejatuhan pada masyarakat tersebut secara keseluruhan. Sistem bisa bertahan bila mampu mengatasi takanan-tekanan yang ada sehingga terjadi persistensi sistem itu sendiri.
Diposting oleh RR di 03.42 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Critical Review Ilmu Politik Modern bab I S.P. Varma
Menurut Varma, ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Ilmu politik ada sejak sekelompok orang mulai hidup bersama, masalah yang menyangkut pengaturan dan pengawasan mulai muncul dan sejak saat itulah para pemikir politik mulai membahas masalah – masalah yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah, serta sistem apa yang paling ideal. Varma dalam bukunya Politik Modern, membagai perkembangan politik kedalam tiga periode, yaitu: periode tradisional, behavioralisme, dan post-behavioralisme. Pembagian ini didasarkan pada ciri – ciri, ruang lingkup, objek kajian, dan meotodologi. Pada periode klasik ilmu politik memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal. Para pemikir politik abad pertengahan ini melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi adanya kerajaan Tuhan di dunia. Sedangkan para pemikir politik pada zaman sesudahnya, telah melibatkan diri mereka pada masalah – masalah lainya seperti kekuasaan, wewenang dan lain – lain. Pada masa
perkembangan
selanjutnya,
ilmu
politik
berfokus
kepada
masalah kelembagaan dan pendekatan yang digunakan semakin luas. Pendekatan yang digunakan pada saat itu bersifat historisdalam pengertian bahwa para pemikir
politik lebih memusatkan perhatianya pada upaya melacak serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang ada, atau pada perkembangan lembaga – lembaga politik yang bersifat khusus. Jadi pada periodetradisional menurut Varma penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada pendekatan kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para pemikir ilmu politik ini juga mencoba juga menganalisis konsep – konsep seperti : negara, hak-hak, keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan, tetap kita akan sulit membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada periode ini. Saat itu ilmu politik masih merupakan sebuah disiplin ilmu sosial yang hanya dapat dipelajari di perpustakaan atau ruang belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di mana interaksi politik sebenarnya terjadi disana.
Kencenderungan ilmu politik menggunakan analisa sejarah terus berlanjut, sampai kemudian pendekatan sejarah ini ditambah dengan perspektif normatif, sehingga para ilmuwan politik mulai membahas teori perbandingan pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan kelebihan dari berbagai lembaga politik, misalnya penelitian perbandingan sistem presidensil dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proporsional serta negara kesatuan dan negara federal. Tetapi penambahan perspektif baru pada penelitian ilmu politik tidak membawa perubahan yang fundamental bagi perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan selanjutnya pendekatan
ilmu
politik
ditambahkan
lagi
dengan
pendekatan
yang
bersifat taksonomi deskriptif, di mana ada suatu penekanan yang begitu besar pada pengumpulan dan penggolongan fakta – faktatentang lembaga – lembaga dan proses – proses politik. Pendekatan – pendekatan yang dilakukan dalam ilmu politik tradisional sebagaimana digambarkan yaitu bersifat analisisa historis, legal kelembagaan, normatif perspektif dan taksonomi deskriptif, tidak begitu eksklusif satu sama lain dan kadang objek penelitian mereka saling bertemu satusama lain. Terlepas dari beberapa kekurangan pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan pengetahuan yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah berhasil menyelidiki dimana kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana proses operasional kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
Menurut
Varma
penekanan
metodelogi
penelitian
pada
struktur –
strukturlembaga politik formal oleh para ilmuwan politik tradisional, secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi penelitian ilmu politik yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik tidak lagi terbatas pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja. Terdapat suatu kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau organisasi politik menggunakan metodologi yang bersifat empiris. Bahkan ada keinginan untuk lebih memanfaatkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisa politik, seperti pemakaian metode kuntitatif dan penggunaan peralatan riset untuk mengumpulkan dan mengolah data – data politik yang ditemukan. Perkembangan ini menurut Varma terjadi bukan sepenuhnya jasa dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan perilaku menjadi kiblat pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik sudah mempunyai keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner. Walaupun kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik ini dapat dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat primitif, tapi bagi Varma perkembangan tersebut belum menunjukan bahwa ilmu politik mampu menjangkau metode pengumpulan, pengelolaan serta analisa data yang canggih dan teliti. Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap keadaan ilmu politik benar – benar tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini menyebabkan keresahan serta tuntutan supaya ilmu politik membutuhkan unit analisa, metode, teknik, dan teori sistematis yang baru, terlebih pada masa Perang Dunia II ada kesan disiplin ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat terbukti dengan tidak dilibatkanya para ilmuwan politik dalam proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda dengan para ilmuwan sosial dari disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan antropologi, mereka mampu memberikan peranan pada setiap pembuatan kebijakan pemerintah. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwalembaga – lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit
–
unit dasar
analisa
dan
penelitian,
sehingga
penelitian
lebih difokuskan ke arah perilaku individu – individu dalam fenomena politik, kedua hal tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya pendekatan perilaku Pendekatan perilaku muncul sekitar awal abad ke-19. Para ilmuwan politik pada masa ini telah mengembangkan pengetahuan yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Para ilmuwan politik pada masa ini meletakkan penekanan yang lebih besar terhadap unsur – unsur pembuat kebijakan, dan pada penelitian terhadap
karakter dan tipe – tipe kepemimpinan politik, serta perubahan pola – pola hubungan antara ideologi dan kepemimpinan. Ruang lingkup politik pada masa ini juga tidak lagi terbatas pada filsafat – filsafat politik dan deskripsi kelembagaan, melainkan kecenderungan yang lebih besar untuk menggunakan metode – metode yang bersifat empiris dalam meneliti lembaga dan organisasi politik. Para ilmuwan politik ini kemudian berusaha menjadikan disiplin ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis, sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu – ilmu pengetahuan lain, salah satu caranya dengan menggunakan logika positivisme sebagai metode penelitian untuk memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka berargumen bahwa penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi langsung dengan kenyataan politik praktis yang ada. Beberapa ilmuwan politik seperti Charles Beard, AL Lowell dan Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode teknik statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua gagasanya untuk pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep tentang proses. Selain ketiga ilmuwan politik tersebut
perkembangan
pendekatan
perilaku
menganal
Charles
Merriam,
sumbangan Charles Merriam dalam perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik adalah upayanya untuk menciptakan penelitian – penelitian di bidang politik benar – benar memanfaatkan kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke dunia oleh ilmu – ilmu sosial dan ilmu – ilmu alam dan mendorong adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan kolaboratif.
Pendekatan perilaku mencapai puncak perkembangnya setelah perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua, perkembangan
ini
tentunya
tidak
lepas
dari
dukungan
berbagai
organisasi donaturseperti Carnegie, Rockefeller dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian
–
penelitian
behavioralisme. Tanpa
dukungan organisasi
–
organisasi ini, penelitian perilaku yang banyak memakan biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi positif juga mengandung sisi negatif. Sisi positif dari behavioralisme adalah lebih mengutamakan cabang –
cabang ilmu sosial lainnya yang telah lebuh sukses dan maju, untuk memperlajari dan mengetahui bagaimana menerapkan berpikir ilmiah serta metode – metode riset yang tepat, memusatkan pada perilaku yang benar – benar dapat diamati pada aspek – aspek politik penting, yang dilakukan para aktor dalam kenyataan, mencari, menilai, dan menguji teori – teori empiris. Jadi, secara umum berusaha ke arah sasaran – sasaran yang meliputi penjelasan, peramalan, serta pengawasan. Sisi negatif dari behavioralisme adalah memepertentangkan dirinya melawan gambaran kasar semata dari empirisme, faktualisme yang sederhana, metafisik, spekulasi abstrak, serta melawan metode pemikiran yang bersifat legalistik, serta model analisa yang bersifat kelembagaan, dan lebih jauh lagi menentang upaya ilmu politik dan masalah – masalah moral dan etika paling tidak jika hal itu menyebabkan peneliti politik mengambil sikap dan kapasitasnya sebagai ilmuwan.
Sisi negatif dari pendekatan perilaku ini kemudian menjadi embrio ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan pendekatan baru dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku. Pendekatan pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960-an di Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru pertama kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di sekitar New left, istilah itu kemudian digunakan oleh gerakan mahasiswa dunia. Pemikiran kaum kiri baru ini sangat dipengaruhi oleh para intelektual Frankfurt di Jerman, Pengaruh New Leftberimbas juga pada perkembangan ilmu politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan digelar oleh Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) merespon ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini, terlebih-lebih suatu forum rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan manifestonya, bahwa dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan untuk melayani rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara mereka sendiri maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan hirarki – hirarki, kelompok elit serta bentuk – bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan.
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini dalam ilmu politik merupakam sebuah
antitesa
terhadap pemikiran yang
dikembangkan
dalam
pendekatan
perilaku,
pendekatan
ini
menitikberatkan agar para
ilmuwan
politik
mampu
memahami masalah sosial dan politik yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahanya. Secara garis besar dalam buku Varma menjelaskan dua tuntutan utama pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi dan tindakan, termasuk ada tujuh karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca perilaku. Ketujuh karakter tersebut adalah :
1. Dalam penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya bahwa setiap
penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu harus memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan sosial politik yang terjadi. Dalam artian jika suatu penelitian ilmiah tidak relevan dan tidak mempunyai arti apapun bagi masalah – masalah sosial yang mendesak pada saat ini, maka penelitian tersebut sama sekali tidak layak untuk dilakukan. 2. Ilmu politik dewasa ini seharusnya memberikan penekanan utamanya terhadap
perubahan sosial bukan sekedar pada batas pemeliharaan sosial seperti yang dilakukan kaum behavioralis. Mereka telah membatasi diri secara eksklusif hanya pada penggambaran dan analisa data, tanpa berusaha memahami fakta – fakta ini dalam konteks sosial yang luas. 3. Ilmu politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial. Selama periode
behavioralis, ilmu politik secara penuh telah melepaskan dirinya dari realitas politik yang sifatnya masih kasar, tetapi sejak abstraksi dan analisa menjadi inti pokok penelitian yang bersifat behavioral, para ilmuwan politi tidak lagi mempunyai kemunkinan untuk mengamati kenyataan – kenyataan dari situasi yang ada. 4. Kaum behavioralis, meskipun tidak sepenuhnya mengingkari peranan dari suatu
sistem nilai, telah memberikan penekanan yang begitu besar terhadap faham – faham keilmiahan serta pendekatan yang bebas nilai untuk tujuan praktis tidak pernah menjadi suatu bahan pertimbangan. Hal ini merupakan keadaan yang bisa dikatakan salah sepenuhnya. Karena hanya pada landasan nilai semua ilmu pengetahuan berdiri, kecuali sistem nilai dianggap sebagai kekuatan pendorong yang ada dibalik ilmu pengetahuan, akan terdapat suatu potensi bahaya bahwa ilmu pengetahuan akan digunakan untuk tujuan – tujuan keliru. 5. Kaum pendukung pasca tingkahlaku, ingin mengingatkan para ilmuwan politik
sebagai kaum intelektual mempunyai peranan yang harus dimainkan, yaitu tugas penting yang harus dilaksanakan dalam masyarakat. Apabila ilmuwan politik demi
objektifitas penelitian tetap menjauhkan diri mereka dari masalah – masalah sosial yang ada, mereka hanya akan menjadi para pakar yang bekerja sembarangan dalam masyarakat, dan tidak dapat mengklaim hak – hak istimewa penelitian akan adanya kebebasan dan perlindungan ekstra teritorial dari serangan gencar yang datang dari masyarakat. 6. Apabila kaum intelektual memahami masalah – masalah sosial dan merasa dirinya
terlibat didalamnya, mereka tidak akan pernah menjauhkan diri dari tindakan – tindakan nyata. Ilmu pengetahuan harus diletakkan untuk bekerja. Easton mengatakan bahwa “ Mengetahui berarti melakukan tanggung jawab untuk bertindak, sedangkan bertindak adalah keterikatan untuk membangun kembali masyarakat. Kaum pasca tingkahlaku menginginkan adanya ilmu yang mempunyai komitmen untuk bertindak, untuk menggantikan ilmu yang bersifat kontemplatif. 7. Kaum intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan peranan ini
menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta membuat masyarakat bergerak sesuai dengan tujuan itu. Karena itu harus disepakati bersama bahwa politisasi profesi dari semua asosiasi profesional demikian juga universitas – universitas tidak hanya dapat dielakkan, tetapi juga sangat diperlukan.
Membaca perkembangan ilmu politik yang ditulis Varma dalam bukunya membuat kita mengerti tentang sejarah tahapan – tahapan perkembangan ilmu politik, dari tahapan ilmu politik yang menggunakan pendekatan tradisional, perilaku dan pasca perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu, menurut penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu politik terhadap perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendekatan perilaku muncul karena desakan situasi dan kondisi saat itu di Amerika Serikat supaya ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya, sehingga kebutuhan akan unit analisa komprehensif yang mencakup logika matematis, statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi dan beberapa metodologi ilmu alam sangat dibutuhkan. Unit analisa tersebut tentu saja tidak cukup memberikan kepastian ilmu politik bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah objektifitas, netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada
umumnya termasuk didalamnya ilmu politik sangat rentan dengan unsur – unsur subjektifisme.
Menurut penulis penggunaan logika positivisme dalam ilmu politik membuat para ilmuwan politik bisa terjebak menjadi pemberi “legitimasi” suatu kebenaran dengan memberikan parameter keilmiahan pada sebuah fenomena sosial politik yang terjadi di masyarakat, padahal tidak semua realitas dapat dideskripsikan menjadi fakta – fakta yang terukur, karena realitas sejatinya adalah realitas yang penuh dinamika yang terkadang tertutupi serta melampaui fakta yang bisa diukur dengan logika matematis. Dengan logika yang terdapat dalam pendekatan perilaku terkadang membuat para ilmuwan politik juga harus menjaga netralitas ketika melihat permasalahan sosial yang terjadi, karena dengan keterlibatan emosi serta nilai yang dianut seorang ilmuwan politik dalam melakukan pembacaan suatu fenomena bisa mempengaruhi derajat keilmiahan penelitianya. Terlepas kekurangan yang dimiliki pendekatan perilaku, kita harus berterimakasih kepada para tokohnya, karena dengan pendekatanya ini ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu pengetahuan lainya dan tidak lagi dianggap ilmu kelas dua.
Dalam bukunya Varma menjelaskan bahwa pendekatan pasca perilaku yang dipengaruhi oleh kalangan kiri baru muncul sebagai kritik atas behavioralisme yang dianggap tidak bisa melayani kaum miskin yang tertindas dan terbelakang, pendekatan baru ini ingin menjawab permasalahan sosial yang pada saat itu (situasi di Amerika serta belahan dunia lainya) diliputi ketidakpastian dengan munculnya gerakan-gerakan sosial yang menuntut hak-hak sipil, kekurangan Varma dalam bukunya tersebut tidak menyebutkan secara detail tokoh yang merintis pendekatan kritis dalam ilmu politik, ini sangat berbeda dengan uraianya ketika menjelaskan periode tradisional dan pendekatan perilaku, ia secara lengkap mengulas para tokoh-tokohnya Pendekatan pasca perilaku menggunakan metode penelitian pastisipatoris, yaitu suatu jenis penelitian kombinasi antara penelitian sosial, kerja sosial, kerja pendidikan dan aksi politik, dari definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa pendekatan pasca perilaku lebih menitikberatkan pada fungsi penelitian sebagai alat perubahan sosial, sehingga objektifikasi keilmiahan suatu pengetahuan dinilai oleh sebagian ilmuwan kurang diperhatikan, ilmu politik bagi mereka adalah sebuah
metode aksi untuk merubah tatanan yang mapan menuju tatanan sosial yang diidealkan oleh para ilmuwan sosial. Paradigma transformatif yang menjadi pondasi pendekatan pasca perilaku merupakan jawaban ilmuwan politik terhadap realitas masyarakat saat itu yang ternyata masih belum bisa menikmati hak – hak sosialnya ketika berhadapan dengan sistem politik represif, ilmu politik ingin menjawab problematika tersebut dengan melakukan perubahan revolusioner unit analisisnya. Terlepas dari kekuranganya pendekatan ini, selain telah membawa ilmu politik sebagai ilmu yang ilmiah juga menjadi sebuah ilmu yang solutif bagi permasalahan sosial yang muncul dimasyarakat.
Diposting oleh RR di 03.34 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Critical Review Political Science: The Dicipline and Its Dimension Stephen L. Wasby
Pembahasan pada awal buku ini berusaha untuk mencari pemahaman tentang pengertian dan esensi dari politik sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Menurut Wasby esensi dari politik itu sendiri mengandung dua unsur mendasar. Pertama adalah studi mengenai politik itu sendiri sebagai sebuah ilmu, hal ini dimaksudkan bahwa politik sebagai sebuah bagian dari ilmu harus dikaji dan dikritisi secara simultan demi perkembangan politik itu sendiri. Sedangkan unsur kedua adalah peranan para ilmuwan politik dan konstribusi mereka terhadap ilmu politik dan perkembangannya. Dalam hal ini para ilmuwan politik dituntut untuk menjadikan politik sebagai ilmu yang berlaku secara universal, walaupun dewasa ini ilmu politik dan politik sendiri memang tidak terlepas dari kehidupan diberbagai wilayah di dunia ini, namun belum ada suatu definisi universal terhadap politik, dalam artian politik disuatu tempat belum tentu sama dengan politik ditempat lain. Abad ke-20 bisa dikatakan sebagai abad dimana politik sebagai sebuah ilmu pengetahuan berkembang pesat. Berbagai konsep dan teori dikemukakan banyak pakar untuk menjelaskan berbagai fenomena politik dengan tujuan bukan saja mendefinisakan peristiwa tersebut tetapi juga memahami penyebabnya, apa dampaknya, dan bagaimana penanggulangannya. Akan tetapi dari abad ke-20
hingga sekarang ini politik masih belum bisa dikatakan sebagai sebuah ilmu secara utuh. Hal ini dikarenakan para ilmuwan alam menuntut agar politik sebagai sebuah ilmu harus berlaku secara universal, akan tetapi hingga saat ini belum ada satupun teori atau konsep politik yang berlaku secara universal. Walaupun telah banyak konsep dan teori yang dikemukakan oleh ilmuwan – ilmuwan politik yang sangat komprehensif, teori dan konsep tersebut hanya bersifat relatif, artinya bahwa teori dan konsep tersebut belum tentu bisa diaplikasikan untuk menjelaskan suatu permasalahan politik atau sebagai solusi bagi fenomena politik diseluruh wilayah di dunia ini. Perdebatan yang terjadi mengenai definisi dari politik sebagai ilmu dan politik sebagai praktek yang begitu banyak dan variatif membuat Wasby mencoba menjelaskan politik dari berbagai perspektif. Menurut Wasby politik sangat sulit untuk menemukan sebuah definisi yang berlaku secara universal dikarenakan antara negara dan masyarakat serta interaksi antara mereka yang menjadi objek kajian utama dari ilmu politik merupakan sesuatu yang sangat bersifat dinamis dan relatif. Perspektif pertama menurut Wasby politik dapat dijelaskan melalui sudut pandang akademis. Secara akademis, ilmu politik merupakan studi tentang politik, pemerintahan, dan segala hal yang bersangkutan dengan pemerintahan serta memberikan inovasi terhadap politik, baik sebagai ilmu walaupun praktek. Akan tetapi dalam pandangan saya politik jika dilhat dari sudut pandang akademis lebih kepada suatu kajian empiris yang melalui proses secara ilmiah, singkatnya telah memiliki meotodologi yang jelas dalam melihat dan menafsirkan sebuah fenomena politik. Penjelasan menurut Wasby yang membatasi politik dalam lingkup interaksi antara pemerintah dan masyarakat menurut saya kurang tepat, dikarenakan interaksi yang terjadi antara keduanya memang merupakan sebuah objek kajian politik sebagai ilmu, jadi penjelasan Wasby ini bukan memberikan sebuah definisi dari perspektif akademisi, melainkan menekankan bahwa objek kajian utama dari ilmu politik adalah interaksi negara dan masyarakat. Penjelasan selanjutnya dari politik adalah dilihat dari sudut pandang politik sebagai sebuah pekerjaan. Dari sudut pandang ini, Wasby menjelaskan bahwa politik sebagai sebuah pekerjaan memiliki pengertian yang sangat “kabur”. Hal ini menurut Wasby dikarenakan bahwa politik sebagai sebuah pekerjaan tidak memiliki bidang khusus, karena semua pekerjaan apapun bidangnya pasti mengandung unsur politik sebagai sebuah praktek. Sebagai contoh dalam sebuah kantor setiap
karyawannya pasti akan saling berlomba untuk segera mendapatkan jabatan yang lebih tinggi sesuai dengan kapasitasnya. Untuk itu setiap karyawan hampir bisa dipastikan akan melakukan lobby politik baik terhadap sesama karyawan maupun atasannya agar bisa mendapat jabatan yang diinginkannya. Namun dalam pandangan saya pengertian dari Wasby ini agaknya mengabaikan esensi dari politik sebagai sebuah ilmu. Harus diingat bahwa politik sebagai sebuah ilmu objek dasarnya adalah proses pembuatan pengaturan oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Dari sini menurut saya sudah seharusnya dipahami bahwa politik sebagai sebuah pekerjaan adalah untuk menciptakan sebuah ketertiban umum, bukan lagi dipahami melalui individu – individu melalui praktek politik yang mereka lakukan. Definisi politik bisa dilihat juga dari sudut pandang tujuan. Dalam hal ini Wasby menjelaskan bahwa ilmu politik sebagai sebuah tujuan adalah memberikan kritik atas politik itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa politik sebagai sebuah ilmu harus memiliki tujuan yang jelas, dengan kata lain proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung menimbulkan fenomena politik yang dinamis dan tidak jarang menimbulkan konflik harus bisa memberikan inovasi baru terhadap ilmu politik. Dengan demikian segala permasalahan apapun bentuknya dari proses interaksi pemerintah dan masyarakat akan dapat diselesaikan dengan jalan terbaik. Pendapat Wasby ini memang sangat tepat, apalagi melihat pluralitas masyarakat di Indonesia yang sedang membangun demokrasi, tentu akan menjadi pemicu konflik yang sangat potensial, untuk itu sebagai sebuah ilmu sosial, sudah seharusnya politik memberikan jalan keluar atas permasalahan yang ada maupun yang akan terjadi. Akan tetapi definisi ini perlu sedikit mendapat penambahan, karena dari sudut pandang tujuan, berdasarkan praktek yang marak terjadi, bahwa politik adalah bertujuan untuk menduduki kursi kekuasaan, jadi sudah seharusnya ilmu politik dari sudut pandang tujuan menurut Wasby ini memberikan pemahaman bagaimana cara untuk menjadi penguasa, mempertahankan kekuasaan, atau bahkan merebut kekuasaan. Wasby juga berpendapat bahwa politik dapat didefinisikan dilihat dari sudut pandang sebagai sebuah ilmu. Politik sebagai sebuah ilmu menurut Wasby menimbulkan berbagai kritik keras dari para ilmuwan alam. Hal ini karena ilmuwan alam mengganggap bahwa politik belum layak menjadi sebuah ilmu jika belum menemukan suatu teori atau konsep yang berlaku secara universal. Namun para
ilmuwan politik tetap beranggapan fokus studi mereka tetap merupakan sebuah ilmu, permasalahan belum adanya konsep dan teori yang bersifat universal adalah kare na objek kajian politik yang bersifat sangat dinamis dan relatif, hal inilah yang kemudian menjadikan rigidnya para ilmuwan politik menemukan teori yang universal. Hal lain yang dipermasalahkan para ilmuwan alam terhadap politik sebagai semua ilmu adalah banyaknya pengertian dari politik yang bersifat ambigu. Namun para ilmuwan politik memiliki pembelaan tersendiri, mereka menganggap bahwa politik sebagai sebuah ilmu sudah sangat layak, karena teori – teori dan konsep – konsep politik yang telah dihasilkan sejauh ini telah melalui meotodologi dan dapat teruji sacara ilmiah, sehingga bisa dikatakan bahwa teori politik sebagai ilmu sosial sama absahnya dengan teori – teori alam. Hal lain yang menambah validitas dari politik sebagai ilmu adalah penggunaan pendekatan – pendekatan dari berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi hal ini dalam pandangan saya justru menjadikan ilmu politik seperti kehilangan fokus kajian mereka, karena terlalu banyak meminjam pendekatan dan teori dari disiplin ilmu lain. Namun hal ini memang sbuah keharusan karena objek kajian ilmu politik yang sangat kompleks, dinamis, dan relatif. Wasby juga memberikan penjelasan mengenai politik sebagai suatu seni. Dalam pandangan Wasby politik sebagai seni lebih bersifat kepada prakteknya. Sebagai contoh para politisi saat menjelang pemilu berusaha untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin sebagai upaya untuk mendapatkan kedudukan tertentu, hal ini dilakukan bukan dengan cara kekerasan berupa paksaan, akan tetapi lebih kepada bagaimana
mempengaruhi
masyarakat
secara
persuasif
agar
masyarakat
mendukungnya. Tetepi dalam pandangan saya politik sebagai seni lebih kepada bagaimana mengolah kekuasaan atau kedudukan yang telah dicapai oleh seseorang untuk dapat menghasilkan buah karya seni berupa kebijakan yang dapat menyelesaikan permasalahan tertentu akibat perbenturan karena interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Singkatnya, politik sebagai sebuah seni adalah kemampuan para pemegang kekuasaan dalam sebuah proses menghasilkan kebijakan – kebijakan yang mampu menjawab tuntutan dari masyarakat. Kekuasaan dan pengaruh merupakan satu kesatuan dalam kajian politik, dimana tinggi kekuasaan yang dipegang seseorang maka akan semakin besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, baik itu dalam menghasilkan kebijakan maupun dalam upaya menciptakan kestabilan. Akan tetapi seringkali dalam menggunakan kekuasaan dan memperluas pengaruh, seseorang menggunakan kekerasan.
Menurut saya hal ini tidak perlu dilakukan. Dalam era globalisasi dan tingkat pendidikan masyarakat yang terus berkembang kekerasan menurut saya bukan cara yang efektif untuk menciptakan kepatuhan dan stabilitas. Kinerja politik yang nyata dan diiringi dengan wibawa akan lebih efektif dan efisien untuk menciptakan sebuah kepatuhan dan kestabilan. Pandangan lain menurut Wasby adalaha berkaitan dengan nilai. Wasby mengatakan bahwa pemerintah atau negara adalah satu – satunya institusi yang memegang hak monopoli penggunaan kekerasan dalam upaya menciptakan stabilitas. Namun pada prakteknya hal ini saya rasa telah menyimpang. Seperti pendapat saya diatas penggunaan kekerasan sudah sangat tidak kompatible dengan realitas kehidupan politik dewasa ini. Ditambah lagi dengan kondisi sekarang berdasarkan suatu pandapat dari kalangan liberalisme dalam studi hubungan internasional bahwa negara berserta peran, pengaruh, dan kekuasaannya terus mengalami penurunan digeser oleh peran, pengaruh, dan kekuasaan pasar. Dari pengertian ini bahwa sekarang ini bisa dikatakan bukan lagi pemerintah atau negara aktor tunggal pemegang monopoli kekuasaan, tetapi pasar pun sekarang memiliki kekuasaan “sah” untuk menggunakan kekerasan, bahkan kekerasan fisik. Sebagai contoh bahwa banyak sekali buruh yang bekerja si pabrik – pabrik mendapatkan upah yang tidak sepadan dengan pekerjaan mereka, menurut saya hal ini juga bisa diartikan sebagai kekerasan secara fisik. Politik juga dapat didefinisikan dari perspektif publik dan individu. Wasby berpendapat bahwa politik dari pandangan publik apabila menyangkut interaksi dan kepentingan orang banyak. Dan jika dilihat dari sudut pandang individu apabila menyangkut interaksi, kepentingan, dan hak – hak politik seseorang. Selanjutnya Wasby menjelaskan keterkaitan antara isu dan politik. Isu disini diartikan sebagai input didalam proses politik. Sebagai sebuah ilmu, politik memiliki siklus yang tetap, mulai dari inputà Proses à Output. Disini dapat dipahami bahwa isu merupakan suatu bagian dalam proses politik untuk kehidupan politik itu sendiri, dalam artian politik tidak dapat bergerak sebagaimana mestinya jika tidak ada isu (baik tuntutan atau dukungan), karena objek kajian vital dari ilmu politk tersebut adalah memproses isu yang ada sehingga menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan isu tersebut. Dalam pengertian kegiatan politik sebagai sebuah siklus, disini Wasby memiliki kekurangan dalam penjelasannya, seperti mekanisme umpan balik dari kebijakan yang diambil, namun yang menurut saya paling fatal adalah kurangnya penjelasan
bagaimana seharusnya sistem tersebut mampu menjalankan mekanisme proses (mengolah tuntutan dan dukungan) sehingga menghasilkan output, bukan saja output dari segi kuantitas, tetapi secara kualitas sehingga tidak menimbulkan overload demand yang dapat meruntuhkan siklus politik tersebut. Politik sebagaimana pembahasan diatas juga menjelaskan mengenai negara atau pemerintah. Akan tetapi sejauh ini politik tidak mampu memberikan penjelasan dan pembagian secara tepat sampai dimana sebenarnya batas – batas dari pemerintah. Kejelasan atas dasar – dasar dari batasan negara atau pemerintah ini sangat penting karena menyangkut sampai dimana batasan politik itu sendiri. Sebagai contoh jika pemerintah mengatakan bahwa batasan negara adalah patok batas yang telah ditetapkan berdasarkan hukum internasional akan tetapi mengapa politik itu sendiri memiliki batasan yang jauh lebih dari itu. Peranan mendasar dari negara dalam artian politik sebenarnya adalah bagaimana pemerintah yang menerima sebagian dari hak masyarakat menggunakannya untuk menciptakan kestabilan.
Bagaimana
proses
dalam
menciptakan
suatu
kestabilan
akan
menunjukkan sejauh mana pemerintah mampu mengalokasikan nilai – nilai kolektif tersebut. Dalam buku ini, Wasby juga menjelaskan mengenai esensi dari sebuah ilmu. Dalam pandangannya ilmu melibatkan urutan antara metode, asumsi, dan tujuan tertentu. Dari sini bisa dipahami bahwa untuk menjadikan sebuah kajian dari fokus studi menjadi sebuah ilmu, kajian tersebut harus menghasilkan sebuah teori ataupun konsep yang memiliki validitas yang dapat diuji dan diukur. Metode disini digunakan sebagai alat untuk menciptakan dan menguji tingkat kebenaran atas sebuah teori atau konsep, sedangkan asumsi adalah dasar bagi dilakukannya suatu penelitian. Sedangkan tujuan dimaksudkan sebagai artikulasi solusi bagi asumsi yang ada untuk kemudian diproses secara ilmiah agar menjadi sebuah teori atau konsep yang dapat memberi penjelasan atau bahkan jalan keluar dari asumsi tersebut. Dari pemahaman ini, Wasby kurang memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan asumsi. Apakah semua pendapat mengenai suatu fenomena bisa dikatakan sebuah asumsi, jika demikian bukankah justru ilmu tersebut akan menjadi sangat ridig. Ilmuwan baik itu ilmuwan alam maupun ilmuwan politik juga dituntut untuk dapat menjelaskan suatu pola sebuah fenomena agar dapat dipahami sebagai suatu konsep bersama. Ilmuwan disini bukan hanya sekedar menafsirkan suatu pola untuk
dapat dipahami bersama tetapi juga dituntut untuk menghasilkan output yang dapat diterima secara universal. Permasalahan selanjutnya muncul, kembali pada pembahasan awal buku ini bahwa tingkat kesulitan pada kajian ilmu sosial adalah objeknya yang sangat dinamis dan relatif sehingga sangat sulit untuk menghasilkan suatu teori atau konsep yang berlaku secara universal. Sejauh ini pencapaian ilmuwan sosial khususnya ilmuwan politik hanya mampu memberikan simplikasi sebagai suatu simbol dari permasalahan atau fenomena yang terjadi. Ilmu juga berkaitan erat dengan penjelasan dan prediksi. Sebagian orang berpendapat bahwa ilmu dibentuk dari sebuah dunia siimbolik yang merefleksikan seseorang setiap hari. Sebagian lagi berpendapat bahwa tujuan dari ilmu adalah penjelasan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa prediksi adalah tujuan akhir dari sebuah ilmu. Namun ketiga pendapat ini akhirnya menimbulkan perdebatan tersendiri. Unsur dari prediksi yang bagus memerlukan sebuah penjelasan yang memadai, dan penjelasan keilmuwan memerlukan sebuah versi dari prediksi. Disisi lain, beberapa ilmuwan meresa prediksi tidak boleh ada, tanpa penjelasan, dan melalui keseluruhan penjelasan bisa menambah kemampuan prediksi, namun prediksi yang akurat tidak selalu diikuti langsung dari sebuah penjelasan, terutama jika penjelasan tersebut hanya bersifat sebagian. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ilmu menurut pandangan Wasby tidak terlepas dari unsur penjelasan dan prediksi. Dimana prediksi memerlukan penjelasan memyeluruh, dan penjelasan yang menyeluruh akan didapat dari berbagai prediksi. Namun jika demikian, dalam pandangan saya akan terjadi error didalam ilmu itu sendiri, mungkin kalau diterapkan pada ilmu sosial prediksi tidak akan berpengaruh banyak terhadap solusi sebagai suatu tujuan dari sebuah kajian fenomena, akan tetapi akan prediksi yang salah dalam ilmu alam akan berdampak sangat fatal karena ilmu alam mengharamkan error sekecil apapun dalam solusi yang dihasilkan. Teori sebagai pembahasan mencari kepastian dari ilmu sosial menurut Wasby lebih cenderung terkait pada bagaimana mengaplikasikan metode untuk mengkaji sebuah fenomena. Berbeda dengan ilmu alam yang mana sautu objek penelitiannya memiliki sifat yang sama dimanapun objek tersebut berada, ilmu sosial memiliki relativitas pada objek kajiannya, sehingga objek penelitian disuatu tempat bisa berbeda dengan objek serupa ditempat lain. Jadi ilmu politik bukan mencari teori mana yang paling benar dan berlaku secara universal, melainkan lebih menekankan pada kritisi suatu teori yang ada dan bagaimana mengaplikasikan suatu teori yang
paling tepat untuk melihat, mengkaji, memahami, dan mencari solusi dari suatu fenomena sosial. Teori dalam pembahasan buku ini juga dikaitkan dengan matematika. Ilmuwan alam lagi – lagi memberikan kritisi terhadap ilmuwan sosial yang tidak bisa mnghasilkan teori yang tidak dapat dijelaskan secara matematis. Akan tetapi menurut saya yang lebih penting disini (ilmu politik) adalah bagaimana kita memahami suatu fenomena tersebut secara mendalam, bukan mengenai kepastian atas sebuah teori. Penelitian sosial yang dilakukan melalui metode kualitatif menggunakan angka tidak lebih akurat dibandingkan dengan metode kualitatif, yang terpenting adalah bagaimana implementasi teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian tersebut untuk menjelaskan dan mencari solusi suatu fenomena politik dimasyarakat. Eksperimen dan signifikasi, kedua hal ini adalah pembahasan selanjutnya dalam bab satu buku karangan Wasby ini. Eksperimen dalam pandangan Wasby bukan hanya mengenai proses keilmuwan yang dapat dilakukan oleh ilmuwan alam saja, tetapi ilmuwan politik juga mampu dan dapat melakukan eksperimen walaupun objek kajiannya dinamis dan relatif. Mengenai masalah signifikasi saya memiliki pandangan berbeda dengan Wasby. Menurut Wasby signifikasi lebih menekankan pada apa yang paling dominan memberikan konstribusi terhadap bidang ilmu atau suatu objek kajian, walaupun itu berasal dari disiplin ilmu yang berbeda. Akan tetapi dalam pandangan saya bukan hanya masalah pengaruh, signifikasi jika hanya dikaitkan dengan besar kecilnya pengaruh atau konstribusi yang diberikan kedalam suatu ilmu maka suatu bidang ilmu akan sulit berkembang, bahkan pada kondisi tertentu sangat mungkin menemui jalan buntu untuk berkembang. Jadi signifikasi menurut saya lebih tepat bagaimana memberikan konstribusi bagi perkembangan suatu ilmu dengan jalan membuka peluang kajian bagi permasalahan yang belum pernah dikaji dengan tidak mengesampingkan pengembangan terhadap masalah yang telah dikaji. Pembahasan terakhir dalam sub bab ini adalah tentang perdebatan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Setelah sekian lama eksistensi dari ilmu dan perkembangan pola pikir manusia secara garis besar ilmu akhirnya berkembang menjadi dua bagian besar. Yaitu pertama, ilmu alam atau ilmu fisik yang mengkaji mengenai alam dengan hukum pastinya. Dan kedua, Ilmu sosial yang memfokuskan kajian pada interaksi manusia, baik dengan sesama manusia, negara, maupun dengan lingkungannya. Perdebatan klasik mengenai ilmu ini adalah bahwa ilmu sosial
sejauh ini tidak pernah menghasilkan sesuatu yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa presisi, kelengkapan dan hukum alam dari ilmu fisik telah dianggap berlebihan, tetap tidak ada pertanyaan tentang apakah mereka lebih presisi, lengkap, dan tetap dibandingkan dengan ilmu ilmu sosial. Setelah sekian banyak diskusi dan perdebatan mengenai pernyataan tersebut, muncul sebuah kesimpulan yang saat ini dipahami dan disepakati menurut Wasby karena ilmu sosial memiliki objek kajian utama manusia, dengan segala interaksinya yang sangat dinamis. Untuk itu walaupun secara keilmuwan ilmu alam memang lebih akurat dari pada ilmu sosial, namun ilmu sosial memiliki tingkat keakuratan yang relatif yang setara dengan tingkat keakuratan ilmu alam. Sebagai contoh jika ilmu alam mengkaji manusia dari “luar” (dari segi organ tubuh) yang dapat melahirkan pemahaman tentang
manusia
secara
fisik
dan
memberikan
solusi
berupaobat
untuk
menyembuhkan manusia dari penyakit, dalam ilmu sosial mengkaji dan memahami manusia dari dalam, disini maksudnya adalah bagaimana memahami sifat manusia dan interaksi antar mereka untuk dipahami dan memberikan solusi secara relatif. Relatif disini mengandung pengertian bahwa sebenarnya ilmu sosial telah mampu memberikan konstribusi yang akurat atas sebuah fenomena, baik itu secara pemahaman maupun solusi. Ditambah lagi manusia adalah mahluk yang memiliki nalar dan pikiran, dan jika ilmu sosial dituntut untuk menghasilkan sebuah teori atau konsep yang bersifat universal, hal ini sama saja dengan mengontrol semua pemikiran dan tingkah laku manusia yang ada dibumi ini. Fakta dan nilai, dalam pembahasan ilmu ini menjadi sangat penting. Banyak penulis mengatakan bahwa ilmu seharusnya bebas dari nilai. Tapi apakah benar harusnya demikian dan selalu demikian. Jika ilmu harus bebas dari nilai hal ini mengindikasikan bahwa untuk mendapatkan suatu konstribusi bagi suatu disiplin ilmu boleh dilakukan cara apapun agar tujuan tersebut tercapai, bukankah hal ini justru akan kerap menimbulkan pertentangan dari nilai itu sendiri. Menurut saya yang lebih tepat adalah bagaimana memahami fakta dan nilai ini di dalam kajian ilmu. Karena jika dipahami dari sudut pandang metodologi fakta dapat dikatakan sebuah penelitian emipirik sedangkan nilai adalah sebuah penelitian yang normatif. Saya berpandangan bahwa tidak ada suatu hasil penelitian normatif yang tidak mengandung unsur empirik didalamnya. Dan penelitian empirikpun membutuhkan hasil dari penelitian normatif sebagai landasan literatur.
Menempatkan penelitian sebagai suatu proses untuk menghimpun data dan menghasilkan suatu interpretasi atau bahkan teori dan konsep terutama dalam kajian ilmu politik sangatlah penting. Penempatan nilai disini bukan dari pembahasan metodologi seperti pendapat saya diatas, melainkan bagaimana kita harus berusaha netral dalam menjalankan sebuah penelitian. Dalam artian tidak boleh ada nilai – nilai pribadi yang mempengaruhi proses pencarian dan pengolahan data dilapangan. Akan tetapi, faktanya, seringkali penelitian yang dilakukan dilapangan justru dipengaruhi oleh nilai – nilai yang ada dimasyarakat itu sendiri. Kalau nilai itu telah disepkati bersama ini bisa diterima dan data tetap bisa dikatakan ilmiah, akan tetapi jika nilai perseorangan yang mempengaruhi tentu akan membuat validitas data diragukan. Akan tetapi hal ini kembali lagi pada objek dari ilmu sosial khususnya ilmu politik itu sendiri. Kita harus dipahami disini manusia seringkali memiliki perbedaan persepsi dan sudah pasti memiliki perbedaan pola pikir dan nalar satu sama lain, dengan tetap menjaga netralitas pribadi terhadap sebuah penelitian yang sedang dilakukan, walaupun dipengaruhi oleh nilai – nilai personal yang ada dilapangan, ilmu sosial menganggap hal ini adalah sebagai sarana membuka kritik atas penelitian yang dilakukan dan akan menimbulkan interpretasi berbeda sehingga ilmu penelitian tersebut akan menjadi berkesinambungan.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa politik hingga saat ini bisa dipahami sebagai ilmu dan praktek. Sebagai praktek, politik dapat dijelaskan dengan mudah, karena semua orang dapat dipastikan melakukan politik dalam kehidupan kesehariannya. Namun, pembasan politik sebagai ilmu adalah sangat sulit, mulai dari definisi yang belum dapat memberi pemahaman yang jelas tentang politik itu sendiri sampai pada belum adanya suatu konsep atau teori politik yang berlaku secara universal. Unsur atau elemen yang ada dalam politik itu sendiri juga nyatanya sangat banyak sekali. Hal ini juga yang kemudian menjadikan politik sebagai sebuah ilmu begitu rumit dan salah ditafsirkan mayoritas masyarakat. Jika ditanya tantang politik, mayoritas masyarakat akan menjawab dengan suatu yang berhubungan dengan kekuasaan, namun jika dilihat dari unsur – unsur yang ada didalam politik itu sendiri, ilmu politik dapat dijelaskan sebagai sebuah alat untuk mengkaji interaksi antara negara dan masyarakat, dimana negara menciptakan pengaturan untuk menciptakan stabilitas masyarakat, sedangkan fokus politik sebagai ilmu ada
didalam proses pembuatan pengaturan, dan proses implemtasi kebijakan dari pemerintah untuk rakyat