LAPORAN KASUS MOLA HIDATIDOSA dengan HIPERTIROID
Oleh : Nanang Hidayatulloh, S.Ked Ryan Falamy, S.Ked Angga Nugraha, S.Ked Arnia, S.Ked Norma Julianti, S.Ked
Preseptor : Dr. Achmad Assegaf, Sp.An
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MULUK BANDAR LAMPUNG 2014
Daftar Isi : 1. Pendahuluan a. Mola Hidatidosa b. Spinal Anestesi 2. Laporan Kasus 3. Pembahasan 4. Daftar Pustaka
1
Daftar Isi : 1. Pendahuluan a. Mola Hidatidosa b. Spinal Anestesi 2. Laporan Kasus 3. Pembahasan 4. Daftar Pustaka
1
PENDAHULUAN
A. MOLA HIDATIDOSA
Mola adalah suatu kelainan di dalam kehamilan dimana jaringan plasenta berkembang dan membelah terus menerus dalam jumlah yang berlebihan dengan atau tanpa janin. Ada dua macam bentuk mola yaitu mola parsial dan komplit. Mola parsial jarang menyebabkan keganasan sedangkan mola komplit sering mengakibatkan
keganasan
yaitu
koriokarsinoma
atau
bahkan
bisa
pula
bermetastasis hingga ke organ lain. Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin dibandingkan dengan negara – negara negara barat. Insiden terjadi kehamilan mola yaitu 1-2 kehamilan per 1000 kelahiran di Amerika Serikat dan Eropa. Di Asia insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Di negara-negara Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi yakni 1:120 kehamilan. Meskipun angka kejadian mola hidatidosa tidak terlalu tinggi, tapi dilihat dari dampak perdarahan, infeksi serta keganasan yang di timbulkan maka dapat mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas. Mola hidatidosa dapat menyebabkan beberapa masalah terkait dengan anestesi, di antaranya distres akut pada jantung dan paru, hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid, anemia, emboli trofoblastik, hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan, neoplasma ganas, hiperemesis gravidarum, dan DIC ( Disseminated Disseminated Intravascular Coagulation). Coagulation ). Inti dari permasalahan – permasalahan – permasalahan permasalahan tersebut adalah karena pengaruh trofoblas dan hormon hCG. Permasalahan ini harus dimanajemen dengan baik untuk optimalisasi keadaan saat dan setelah pembiusan terjadi agar tidak terjadi komplikasi pasca pemberian anestesi. Oleh karena itu pengkajian lebih dalam mengenai manajemen anestesi pada mola hidatidosa sangat penting untuk dikaji.
2
I.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS
Penyakit trofoblastik gestasional disebabkan oleh gangguan genetik yaitu spermatozoon memasuki ovum yang kehilangan nukleusnya atau dua sperma memasuki ovum tersebut. Pada lebih dari 90% mola komplit hanya bersifat heterozigot. Sebaliknya mola parsial biasanya terdiri dari kromosom triploid yang memberi kesan gangguan sperma sebagai penyebab. Perkembangan tumor trofoblastik gestasional diperkirakan disebabkan oleh kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya vili mengalami distensi kaya nutrien. Pembuluh darah primitif di dalam vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio ‘kelaparan’, mati, dan diabsorbsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada keadaan tertentu mengadakan invasi ke jaringan ibu. Peningkatan aktivitas sinsitiotrofoblas menyebabkan peningkatan produksi hCG, tirotrofin korionik dan progesteron. Sekresi estradiol menurun, karena sintesis hormon ini memerlukan enzim dari janin, yang tidak ada. Peningkatan kadar hCG dapat menginduksi perkembangan kista teka-lutein di dalam ovarium. Mola hidatidosa komplit terjadi karena kelainan kromosom pada orang tua. Sebuah ovum yang kekurangan atau memiliki ketidaksempurnaan pada komplemen krosomomnya dan ovum tersebut dibuahi oleh satu sperma (46, XX androgenik) dengan reduplikasi atau dengan dua sperma (dispermia, 46 XX atau 46 XY androgenik) di mana pembuahan tersebut tidak akan menghasilkan perkembangan fetus. Mola hidatidosa parsial biasanya memiliki trisomi komplit dengan 69 XXX atau 69 XXY. Satu pasang dari kromosom haploid bersifat maternal dan sisanya merupakan reduplikasi dari paternal setelah fertilisasi sperma tunggal atau dispermia. Mola hidatidosa parsial seringnya fokal dan berhubungan dengan keberadaan jaringan fetus. Faktor-faktor pencetus lain ialah faktor malnutrisi, faktor golongan darah dan faktor sitogenetik.
3
A. Faktor nutrisi Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko dan Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas gestasional yang terjadi diantara kelompok sosial rendah di negaranegara berkembang dapat dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama rendahnya asupan protein. Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya molahidatidosa.
Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak
kasus defisiensi protein, angka kejadian molahidatidosa jauh lebih tinggi.
Tetapi penelitian-penelitian di Iran, Alaska, Jepang dan
Malaysia mendapatkan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi dengan makanan sehari-hari mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka diragukan defisiensi protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya molahidatidosa.
Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita
molahidatidosa kurang mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani.
Dikatakan bahwa terjadinya
penyakit ini berbanding terbalik dengan konsumsi beta karoten. Juga dikatakan risiko untuk mendapat molahidatidosa pada perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali. B. Faktor golongan darah Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah A,
mempunyai
risiko
koriokarsinoma
bila
yang
lebih
mempunyai
dibandingkan dengan perempuan
tinggi
suami
untuk
golongan
terjadinya darah
O,
golongan darah A, tetapi dengan
suami golongan darah A. Faktor golongan darah Rhesus juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan bahwa angka kejadian molahidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang hampir seluruhnya mempunyai faktor Rhesus positif. C. Faktor sitogenetik Penelitian tentang sitogenetik pada molahidatidosa mulai berkembang pada pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr, Baggish dan
Pattillo.
Beberapa
peneliti
melakukan
kariotipe
pada
4
molahidatidosa melaporkan
komplit
bahwa
dan
molahidatidosa
molahidatidosa
komplit
parsial,
mereka
umumnya
(95%)
mempunyai kromosom diploid 46 XX, hanya 5% yang mempunyai kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi sperma 23 X dengan telur kosong yang kemudian membelah diri/homozigot/monospermik atau fertilisasi telur kosong oleh 2 spermatosoon yang heterozigot/dispermik. Mola dispermik
lebih
sering
berkembang
menjadi
ganas.
Pada
molahidatidosa parsial sering dijumpai kromosom triploidi/trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal dan satu set kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal oleh dua buah sperma. Mola parsial jarang menjadi ganas. Telah banyak penulis melaporkan bahwa molahidatidosa secara genetik umumnya berjenis kelamin perempuan , dengan kata lain bahwa kromatin seks positif banyak ditemukan pada molahidatidosa dibandingkan dengan abortus. Moegni dan kawan-kawan melaporkan semakin besar jumlah sel sitotrofoblas yang mengandung kromatin seks, semakin besar pula kemungkinan menjadi ganas.
II.
PATOFISIOLOGI
Teori tentang patogenesis dari molahidatidosa, yaitu : (a) Teori Hertig (teori missed abortion), menganggap bahwa pada mola hidatidosa terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi. (b) Teori Park (teori neoplasia sel trofoblas), mengatakan bahwa yang primer adalah jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hyperplasia, displasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal, di mana terjadi absorbsi cairan yang berlebihan ke
5
dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio. (c)Teori Sitogenetik (Teori diploid androgenetik), menerangkan bahwa kehamilan mola hidatidosa terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses miosis. Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll), secara seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, pada mola hidatidosa tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur.
III.
GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran uterus lebih besar dari kehamilan
biasa, pembesaran uterus yang terkadang diikuti
perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala mola yaitu : 1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan pervaginam. Perdarahan timbul mulai kehamilan 8 minggu, berwarna merah segar karena berasal dari jaringan mola yang lepas dari dinding uterus. Kadang-kadang timbul bekuan darah yang tersimpan dalam kavum uterus yang kemudian akan mencair dan keluar berwarna merah ungu akibat proses oksidasi. Perdarahan biasanya intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian, oleh karena itu umumnya pasien mola hidatidosa masuk rumah sakit dalam keadaan anemia. Perdarahan uterus abnormal yang bervariasi dari spotting sampai perdarahan hebat merupakan gejala yang paling khas dari kehamilan mola dan pertama kali terlihat antara minggu keenam dan
6
kedelapan setelah amenore. Sekret berdarah yang kontinyu atau intermitten dapat berkaitan dengan keluarnya vesikel-vesikel yang menyerupai buah anggur. 2. Hiperemesis gravidarum yang ditandai dengan nausea dan vomiting yang berat. Keluhan hiperemesis terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan keluhan mual
muntah
terdapat
dengan tinggi fundus uteri lebih dari 24
pada
mola
hidatidosa
minggu.
3. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I Kejadian preeklampsia cukup tinggi yaitu 20-26% kasus. Pada kehamilan normal, preeklampsia timbul setelah kehamilan 20 minggu, namun pada mola hidatidosa dapat terjadi lebih dini. 4.
Kista lutein unilateral/bilateral Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein ±15% kasus. Umumnya
kista
ini
segera
menghilang
setelah
jaringan
mola
dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kista lutein dapat menimbulkan gejala abdominal
akut
karena
torsi
atau
pecah.
Kista
berisi
cairan
serosanguineous dan strukturnya multilokulare. Bila uterusnya besar, maka kista ini sukar diraba namun dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi. Kista menjadi normal dalam waktu 2-4 bulan setelah dievakuasi. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan dikemudian hari dari pada kasus-kasus tanpa kista. 5.
Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan Lebih dari separuh penderita mola hidatidosa memiliki uterus yang lebih besar dari usia kehamilannya. Bila uterus diraba, akan terasa lembek karena miometrium teregang oleh gelembung-gelembung mola dan bekuan darah.
6.
Tidak terdengar denyut jantung janin
7
7.
Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin (balottement), kecuali pada mola parsial
8.
Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin
9.
Emboli paru. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru paru. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru-paru tanpa memberikan gejala apaapa tetapi pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang merupakan diagnosa pasti. 11. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis sebagai abortus inkomplit atau missed abortion. 12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi
kordis,
perdarahan
intrakranial,
perdarahan
gastrointestinal, dan hemoptoe.
Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat menjadi tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid, tirotoksikosis pada mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya berbeda. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar ß-hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak
8
terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar ß-hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne.
Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992) mengajukan rumus fungsi diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada mola hidatidosa sebagai berikut: a) D = - 8,376128 + 0,52505870 FU – 0,01926897 Nadi FU = fundus uteri dalam minggu Nadi = dalam kali/menit Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatannya 87,5% b) D = +3552928 – 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi + 0,01638073 Khol Khol = Kholesterol darah dalam mg% Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya, menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%
9
IV.
PENATALAKSANAAN
Terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1. Perbaiki keadaan umum 2. Evakuasi jaringan 3. Profilaksis 4. Follow up
Perbaiki Keadaan Umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita harus diberikan : 1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik 2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia 3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin Ada 2 cara yaitu : a. Kuret vakum Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase berikutnya harus ada indikasi. b. Histerektomi Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak hidup tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis tidak selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak sebagai stimulator.
10
Profilaksis
Ada dua cara : 1. histerektomi totalis 2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan. Caranya : 1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5 hari berturut-turut. Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah
antidote
dari
MTX,
cursil
sebagai
hepatoprotektor 2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote nataupun hepatoprotektor
Permasalahan Anestesi pada Mola dan Penanganan
1. Distres Akut pada Jantung Paru 27% kasus mola dengan distres kardio-pulmonal dikarenakan oleh pembesaran uterus di mana tinggi fundus uteri menunjukkan kehamilan yang lebih dari 16 minggu akan menyebabkan distres pada sistem kardio pulmonal. 50% lainnya disebabkan karena terjadinya emboli karena sel trophoblas. Gejala distres mulai nampak setelah 4 hingga 12 jam paska evakuasi uterus. Untuk mengatasi hal ini, anestesi harus memesan ICU beserta ventilator. 2. Hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid Hipertiroid dapat terjadi pada 5-10% kasus kehamilan mola. Manifestasi klinis hipertiroid dapat muncul karena adanya hormon Human Chorionic Gonadotropin yang secara fungsi dan struktur mirip dengan subunit α pada hormon TSH. Selain itu, trofoblas juga mengeluarkan thyrotropin yang juga menstimulasi tiroid untuk terus berproduksi. TSH memiliki ukuran molekul
11
yang besar dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibandingkan HCG. Oleh karena itu, tindakan pre operatif yang dapat diberikan adalah memberikan obat anti hipertiroid (Propylthiouracil 50-100 mg QID) dan β blocker (propanolol 20 mg TID). Jika tidak sempat diberikan pre medikasi, maka iodine dan β blocker secara intra vena. β blocker dipilih karena selain menghambat kerja simpatis dan menurunankan komplikasi kardio vaskular, β blocker juga dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga hipertiroid bisa dihambat pula. Penggunaan Metoprolol dan Esmolol selama pre operasi dan pre medikasi juga dapat digunakan. Krisis tiroid adalah suatu kasus gawat emergensi yang bisa terjadi pada 2-4% pasien ketika operasi mola dan setelah operasi mola. Pasien dengan krisis tiroid dapat diberi kombinasi propylthiouracil, iodide, dan dexamethason. Diharapkan dapat menurunkan konsentrasi serum T3 menjadi normal dalam jangka waktu 24 sampai 48 jam. Pada kasus emergensi yang belum sempat mempersiapkan hormon tiroid turun, pemberian iodine dan βbloker sebagai manajemen anestesi untuk hipertiroid sangat disarankan. Jika krisis tiroid terjadi, ruang ICU harus disiapkan. 3. Anemia Anemia pada kasus mola dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu selama terjadi perdarahan pervaginam yang kronik atau melalui kehilangan darah yang masif ketika pembedahan berlangsung. Mola hidatidosa komplit menyebabkan perdarahan yang lebih masif dibandingkan dengan mola hidatidosa parsial. Infus oksitosin dapat menurunkan risiko perdarahan namun pada saat yang bersamaan juga dapat menyebabkan embolisasi
12
trofoblas dengan cara mengkontraksikan uterus terus menerus. Untuk menghindari hal ini, anestesi harus menyediakan darah.Obat – obatan anestesi inhalasi seperti halotan, enfluran, isofluran harus diturunkan konsentrasinya karena bersifat tokolitik. Oksitosin dapat diberikan karena oksitosin dapat mengurangi perdarahan namun di sisi lain, oksitosin juga dapat menyebabkan emboli trofoblastik karena kontraksi uterus yang berlebih. 4. Hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan Hormon hCG memiliki efek vasoaktif sehingga dapat memperkecil diameter pembuluh darah dan menyebabkan resistensi perifer meningkat sehingga cardiac output juga meningkat. 5. Emboli trofoblastik Emboli dapat terjadi karena sel trofoblas yang tidak berhenti berproliferasi. Emboli ini dapat menyebabkan metastase hingga ke paru dan menyebabkan adanya gambaran cannon ball pada foto thorak pasien. 6. Neoplasma ganas Mola hidatidosa tipe komplit memiliki persentase sebesar 5% untuk terjadi keganasan pada sel trofoblas maupun vili corialis. Sedangkan pada mola hidatidosa tipe parsial jarang sekali ditemukan keganasan. 7. Hiperemesis Gravidarum Peningkatan hCG yang berlebihan pada mola hidatosa menyebabkan pasien sering mual dan muntah. Hal ini harus diwaspadai karena dapat menyebabkan dehidrasi. Oleh karena itu, cairan infus harus disiapkan.
13
Ringer Laktat dapat menjadi pilihan sebagai cairan rehidrasi. Pemberian cairan harus dimanajemen dengan baik agar tidak terjadi edema paru. 8. DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation) Jaringan trofoblas menstimulasi faktor kaskade koagulasi dan mempercepat lama waktu pembekuan darah dalam
tubuh di mana hal tersebut dapat
menyebabkan DIC dan kegagalan multi organ.
A. Manajemen Anestesi pada Mola
1.
Pre Operasi a. Anamnesis Menanyakan tanda dan gejala yang berhubungan dengan keperluan pembiusan dengan lebih detail seperti : (a)
Co existance disease : riwayat asma, alergi, diabetes melitus, hipertensi, dan operasi sebelumnya
(b)
Perdarahan : berapa banyak perdarahan, apakah sempat diberi transfusi, berapa banyak transfusi yang didapatkan
(c)
Gejala hipertiroid menurut indeks wayne
(d)
Gejala krisis tiroid
14
Gejala
Skor YA
Sesak saat bekerja
+1
Berdebar
+2
Kelelahan
+2
Suka udara panas
-5
Suka udara dingin
+5
Keringat berlebihan
+3
Gugup
+2
Nafsu makan naik
+3
Nafsu makan turun
-3
Berat badan naik
-3
Berat badam turun
+3
Tabel 2.1.Gejala Hipertiroid b.
Pemeriksaan Fisik (Khanna et al ., 2013) (a) Pengukuran kesadaran baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (b) Tanda Vital (Tekanan Darah, Nadi / Heart Rate, RR, suhu) (c) Pemeriksaan tanda anemia : konjungtiva anemis, CR > 2 detik (d) Pemeriksaan tanda hipertiroid menurut indeks weyne (e) Pemeriksaan tanda krisis tiroid
15
Tanda
Skor YA
Skor TIDAK
Tiroid teraba
+3
-3
Bising tiroid
+2
-2
Eksoftalmus
-2
Van Graef
+1
Hiper kinetik
+4
Tremor jari
+1
Tangan panas
+2
-2
Tangan basah
+1
-1
Atrial Fibrilasi
+4
Nadi teratur < 80x/m >90x/m 80-90x/m
+3
-2
-3
Tabel 2.2. Tanda Hipertiroid
16
Tabel 3.3. Krisis Tiroid
c.
Pemeriksaan Penunjang
(a) Laboratorium : darah lengkap, PT, APTT, ureum, kreatinin, elektrolit (b) Pemeriksaan hormon tiroid T3 dan T4 (c) Pemeriksaan TSH (d) Pemeriksaan EKG (e) Pemeriksaan rontgen (f) Penentuan status ASA (g) Informed Consent (h) Berpuasa 8 jam sebelunoperasi (i) Terapicairansesuaibertatbadandan lama puasa
17
d.
Obat-obatan Pre medikasi Pemberian obat – obatan seperti esmolol, fentanyl, xylocaine, dan MgSO4 biasa dipilih untuk premedikasi dengan tujuan menekan stress saat dilakukan intubasi dan berhubungan pula dengan takikardia. Jika hormon tiroid meningkat, dapat diberikan kombinasi PTU, dexamethason, dan β blocker.
1. Operasi a. Anestesi Spinal Teknik anestesi ini lebih disukai karena tidak memiliki efek tokolitik yang dapat memperburuk perdarahan dan lebih aman pula untuk pasien mola dengan hipertiroid. Anestesi spinal tidak disarankan untuk pasien mola dengan gangguan hemodinamik dan gangguan pembekuan darah. b. General anesthesia menunjukkan stabilitas hemodinamik yang baik. Jenis anestesi ini dianjurkan untuk pasien dengan gangguan hemodinamik, gangguan pembekuan darah di mana hal ini dikontraindikasikan pada spinal anestesi. Drug of Choice yang digunakan untuk menginduksi pasien ketika operasi berlangsung adalah thiopentone karena thiopentone memiliki efek anti thyroid sehingga dapat menstabilkan keadaan hemodinamiknya. Muscle relaxan yang digunakan adalah obat dengan mekanisme kerja sedikit meriliskan histamin seperti Recuronium dan Vecuroniu sehingga aman untuk digunakan. Konsentrasi
obat – obatan
anestesi inhalasi yang digunakan sebagai maintanance seperti
18
halothan, enfluran, dan dan isofluran harus dikurangj karena memiliki efek tokolitik yang dapat semakin memperparah perdarahan. c. Monitoring 2. Pasca operasi a. Anestesi Umum (1)
Tidak ada mual muntah, boleh makan
(2)
Nyeri diberi ketorolac
(3)
Mual muntah diberi ondansentron
(4)
Bed rest 24 jam
b. Spinal Anestesi (1)
Bed rest 24 jam, kepala ditinggikan 30 o
(2)
Tidak boleh berdiri dan duduk selama 24 jam
(3)
Jika tidak ada mual muntah boleh makan
(4)
Nyeri diberi ketorolac ( Dosis :
(5)
Mual muntah diberi ondansentron ( Dosis : 0,15 mg/kgBB )
V.
PROGNOSIS
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 – 20% yang mungkin akan mengalami keganasan (TTG). Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko tinggi, seperti : 1. umur diatas 35 tahun 2. besar uterus di atas 20 minggu
19
3. kadar β-hCG di atas 10 5 mIU/ml 4. gambaran PA yang mencurigakan
VI.
KESIMPULAN
a. Mola adalah suatu tumor jinak di mana setelah fertilisasi hasil konsepsi tidak berkembang menjadi embrio tetapi proliferasi dari vili koriales disertai dengan degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur. b. Mola hidatidosa dapat menyebabkan beberapa masalah terkait dengan anestesi, di antaranya distres akut pada jantung dan paru, hipertiroid yang dapat pula mengakibatkan krisis tiroid, anemia, emboli trofoblastik, hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan, neoplasma ganas, hiperemesis gravidarum, dan DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation) c. Manajemen anestesi yang dapat dilakukan pada pasien mola secara garis besar terbagi menjadi manajemen pre, pra, dan pasca operasi. Manajemen ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi ketika dan setelah pembiusan dilakukan.
20
B. SPINAL ANESTESI
Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran 1. Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam r uang subarakhnoid4
Anatomi Tulang Belakang Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral (Gambar 16 – 1). Ada 7 cervical (bhb.dg.tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, dan 5 ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu satu sama lain (Gambar 16 – 2). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya.
21
Gambar 1. Medula Spinalis
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal sebelum bercampur dengan CSF. 1. Kulit 2. Lemak
subcutan
dengan
ketebalan
berbeda
dan
lebih
mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus 3. Ligament Supraspinosa 4. Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus 5. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic
yang berjalan secara vertical dari lamina ke lamina. 6. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah 7. Duramater 8. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.
Gambar 10. Sagital section through lumbar vertebra
22
Gambar 11. Dermatom tubuh
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom tubuh yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus mencapai segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah pembedahan tersebut. Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan Pembedahan
Ketinggian segmen dermatom kulit
Tungkai bawah
T12
Panggul
T10
Uterus-vagina
T10
Buli-buli, prostat
T10
Testis ovarium
T8
Intraabdomen bawah
T6
Intraabdomen atas
T4
Paha dan tungkai bawah
L1
23
Obat-obatan Anestesi Spinal
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5 dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan blokade saraf simpatis. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid, anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan. Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien bedah dengan risiko tinggi.
a. Farmakologi Obat Anestetik Lokal Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan transmisi sepanjang saraf,
jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah. Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan alkaloid larut lemak dan garam larut air. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon sebagai penghubung, bagian ekor amino tersier bersifat hidrofilik. Bagian aromatik mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai penghubung menentukan jalur metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum dari obat anestetik lokal 24
tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu membran sel saraf. Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua lapisan lemak dan satu lapisan protein di luar dan dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus hidrofilik berguna untuk transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna untuk migrasi ke dalam sel saraf. Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam
plasma
oleh
enzim
pseudo-kolinesterase
dan
golongan
amida
dimetabolisme di hati. Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain. Tabel 2. Jenis anestesi lokal Prokain
Lidokain
Bupivakain
Golongan
Ester
Amida
Amida
Mula kerja
2 menit
5 menit
15 menit
Lama kerja
30-45 menit
45-90 menit
2-4 jam
Metabolisme
Plasma
Hepar
Hepar
Dosis maksimal
12
6
2
Potensi
1
3
15
Toksisitas
1
2
10
(mg/kgBB)
25
Tabel 3. Anestetik lokal yang paling sering digunakan
Anestetik lokal
Berat jenis
Sifat
Dosis
Lidokain 2% plain
1.006
Isobarik
20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam dekstrosa 7,5%
1.033
Hiperbarik
20-50 mg (1-2 ml)
0.5% dalam air
1.005
Isobarik
5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam dekstrosa 8.25%
1.027
Hiperbarik
5-15 mg (-3 ml)
Bupivakain
b. Farmakokinetik dalam plasma Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37ºC ialah 1,003-1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut isobarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari cairan serebrospinal disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yaitu campuran antara anestetik lokal dengan dekstrosa.
c. Absorpsi Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini: 1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan. 2. Adanya
vasokontriksi
dengan
penambahan
epinefrin
menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan penurunan absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
26
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor adrenergik alfa 2. 3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat terjadi absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.
d. Distribusi Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-faktor: 1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna). 2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan jaringan. 3. Massa jaringan — otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena massa dari otot yang besar.
e. Metabolisme dan ekskresi Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan strukturnya: 1. Golongan ester Metabolisme
oleh
enzim
pseudo-kolinesterase
(kolinesterase
plasma).
Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolitnya yang larut air diekskresikan melalui urin. 2. Golongan amida Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati. Kecepatan metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian kecil diekskresikan dalam bentuk utuh. Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 27
a. Faktor utama 1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien. Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal anestetik di ruang subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien. Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi. Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal: a) Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal. b)
Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah kaudal, sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
c)
Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi lateral dan sebaliknya untuk larutan hipobarik.
d)
Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar penyuntikkan.
e)
Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan hiperbarik, anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin singkat durasi blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah injeksi. 2. Dosis dan volume anestetik lokal Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan semakin tinggi juga area hambatan. b. Faktor tambahan 1. Umur Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang 28
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level analgesia. 2. Tinggi badan Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek. 3. Berat badan Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. 4. Tekanan intraabdomen Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal. Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor abdomen. 5. Anatomi kolumna vertebralis Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi setelah penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad dan mencapai kurvatura T4. 6. Tempat penyuntikkan Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah sakral. 7. Arah penyuntikkan Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran obat akan terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad. 8. Barbotase atau kecepatan penyuntikkan Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat analgesia yang dicapai rendah
29
Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh
1. Sistem kardiovaskular -
Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
-
Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
-
Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
-
Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang dapa mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan -
Relaksasi otot polos bronkus
-
Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.
-
Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output dan tekanan
arteri
pulmonal
serta
peningkatan
ventilasi
atau
ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi untuk membantu pernafasan. 3. Sistem pencernaan Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan
30
demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi 4. Sistem saraf pusat Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma. 5. Imunologi Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen. 6. Sistem muskuloskeletal Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. 7. Ginjal dan hepar Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi. 8. Endokrin dan metabolisme Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta renin angiotensin aldosteron.
Managemen efek samping pada anestesi spinal Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/kg pada pasien
31
sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun denganusaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan vasopresor. Direct
α-adrenergic
agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus
vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan meskipun telah intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera. Untuk mencegah terjadinya hipotensi maka sebaiknya tetap membatasi ketinggian blokade simpatis dibawah T1-5 karena saraf simpatis yang keluar dari segmen tersebut menginervasi simpatis jantung. Bila terjadi hipotensi maka penyebab dari hipotensi tersebut harus ditangani dengan baik. Penurunan cardiac output dan aliran balik vena harus ditangani dan bolus kristaloid sering digunakan untuk meningkatkan volume vena. Untuk meminimalkan hipotensi saat anestesi spinal maka diberikan cairan kristaloid 500-1000 ml intravena sebelum atau saat blokade saraf. Penanganan hipotensi sangat penting agar miokardium dan otak tetap mendapatkan perfusi yang baik. Pemantauan hati-hati terhadap tekanan darah seperti pemberian oksigen tambahan harus dilakukan saat anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus diawasi dari kelebihan cairan yang akan memicu terjadinya penyakit jantung kongestif, edema paru yang memerlukan pemasangan kateter setelah pembedahan. Kateter kandung kemih sendiri juga dapat menimbulkan masalah infeksi saluran kemih. Penanganan
farmakologi
terhadap
hipotensi
yang
utama
adalah
menggunakan vasopresor. Gabungan alfa dan beta adrenergik akan lebih baik dibandingkan hanya alfa adrenergik untuk penanganan hipotensi dan ephedrine adalah
salah
satu
pilihannya.
Atrophine
juga
bermanfaat
namun
obat
simpatomimetik akan lebih efektif dibandingkan vagolitik. Cardiac output dan resistensi
vaskular
perifer
akan
ditingkatkan
oleh
ephedrine
dan
akan
32
meningkatkan tekanan darah. Jadi pada pasien dengan hipotensi dan bradikardia sebaiknya digunakan ephedrine, sedangkan phenylephrine baik untuk pasien dengan hipotensi dan takikardia. Bradikardia refrakter dengan atau tanpa hipotensi sebaiknya digunakan epinephrine dan dapat diulang serta ditingkatkan dosisnya sampai efek yang diinginkan. Selain itu, cara yang paling efektif dan praktis adalah dengan memposisikan pasien Trendelenburg atau kepala lebih rendah. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20º karena dengan Trendelenburg yang ekstrim akan memicu penurunan perfusi serebral dan aliran darah karena meningkatnya tekanan vena jugular. Posisi Trendelenburg ini juga mengubah ketinggian blok anestesi spinal pada pasien dengan larutan hiperbarik. Hal ini dapat ditangani dengan meninggikan bagian atas tubuh dengan bantal yang diletakkan dibawah bahu sementara tetap menjaga bagian bawah tubuh lebih tinggi dari jantung.
Gambar 13. Algoritma penanganan hipotensi setelah anestesi spinal
33
Tabel 6. Manajemen hipotensi Posisi kepala lebih rendah 5º Menjaga volume cairan Denyut jantung : <60 kali per menit
Atropine 0,3 mg
60-80 kali per menit
Ephedrine 3 mg
>80 kali per menit
Metaraminol 0,5 mg
Blok saraf frenikus mungkin tidak terjadi bahkan dengan anestesi spinal total, kejadian apnea dapat diselesaikan dengan resusitasi hemodinamik, hal menunjukkan bahwa hipoperfusi batang otak lebih bertanggung jawab dari pada blok saraf frenikus. Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat dapat mengandalkan otot aksesori pernapasan (otot interkostal dan abdominal) secara aktif untuk inspirasi atau ekspirasi. Tingginya level blokade saraf akan merusak otot-otot ini. Demikian pula, batuk dan pembersihan sekresi memerlukan otot ini untuk ekpirasi. Untuk alasan ini, blok neuraksial harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan cadangan pernapasan terbatas. Efek ini perlu dipertimbangkan untuk tidak menggunakan instrumen jalan napas yang berlebih dan ventilasi tekanan positif . Untuk prosedur bedah di atas umbilikus , teknik lokal anesteasi murni mungkin tidak menjadi pilihan terbaik bagi pasien dengan penyakit paru yang parah.
Komplikasi Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat. 1. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau
34
kelemahan pada lengan, mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang. Jika penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg dan vasopresor. 2. Hipotensi Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik. Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan kardiovaskular terutama blokade simpatis T1L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumpsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi setelah anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri. Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi. Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal. Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan, gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat. Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi spinal.
35
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1 mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga meningkatkan risiko bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan menimbulkan bradikardia. Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat dan tepat. 3. Retensi urin Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius. b. Lokasi penyuntikkan 1. Nyeri punggung Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses. 2. Postdural puncture headache Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 1272 jam setelah prosedur. 4. Hematoma spinal
36
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
37
LAPORAN KASUS MOLA DIDATIDOSA dengan HIPERTIROID
Nama
: Ny. Sri Mulyani
Umur
: 31 tahun
Berat Badan
: 54 kg
Register / RM : 242142 Diadnosa
: G5P1A3 hamil 11-12 minggu dengan mola hidatidosa +
Hipertiroid MRS
: 19-12-2013
Anamnesa
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit berupa gumpalan-gumpalan darah dan tidak nyeri. Kemudian pasien memeriksakan diri ke bidan dan dinyatakan hamil anggur. Pasien mengatakan hamil 11 minggu dengan hasil tes kehamilan positif. Pasien langsung dirujuk ke rumah sakit dan dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil peningkatan titer beta HCG dan peningkatan T3 T4 (hipertiroid).
Riwayat trauma pada daerah perut disangkal oleh pasien, riwayat keluar darah sejak 2 hari lalu tidak disertai lendir. Riwayat keguguran pada kehamilan pertama dan kedua, Riwayat hamil diluar kandungan pada kehamilan ke empat. Pasien rajin memeriksakan kandungannya ke bidan setiap bulan. Riwayat hamil anggur sebelumnya tidak ada.
Tanggal 19 Desember 2013 Airway
: Bebas
Breathing
: Spontan ; Respiratory rate : 16 x/menit
Circulation
: TD : 120/80 mm Hg ; N : 86 x/menit, reguler, isi cukup
Disability
: No Alert
38
Diagnosis
: G5P1A3 hamil 11-12 minggu dengan mola hidatidosa +
Hipertiroid Planning
: Pasang infus RL gtt XX/menit Lab lengkap Rencana Kuretase dengan spinal anestesi Konsul penyakit dalam dan anestesi
Pre Op anestesi
B1
: Airway bebas, Nafas spontan 20-24 x/menit, retraksi-/-, SN ves/ves, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, SpO2 100%
B2
: TD : 120/80 mmHg , MAP : 93, Nadi : 85 x/menit
B3
: GCS : E4 V5 M6
B4
: Terpasang kateter urine
B5
: Bising Usus +
B6
: Edema kaki -/-
Laboratorium Tanggal 19 Desember 2013
Hb
: 11,2 g/dl
Leukosit
: 11.100 /ul
Hematocrit
: 30 %
Trombosit
: 234.000 /ul
BT
: 4’
CT
: 5’
GDS
: 137 mg/dL
SGOT
: 51 U/l
SGPT
: 55 U/l
Ureum
: 32 mg/dL
Kreatinin
: 0,6 mg/dL
UL
: Proteinuria +2
39
fT3
: 5,35 ng/dl ( N: 0,6-1,52)
fT4
: >24,86 µg/dl (N: 4,65-9,3)
TSHS
: 0,01 µIU/ml (N: 0,27-4,7 µIU/ml)
Tanggal 21 Desember 2013
Hb
: 9,5 g/dl
Leukosit
: 9.520 /ul
Hematocrit
: 25,5 %
Trombosit
: 230.000 /ul
Natrium
: 139 mg/dL
Kalium
: 4,0 mg/dL
Kalsium
: 2,5 mg/dL
Klorida
: 106 mg/dl
Konsul anestesi :
Saat ini dalam bidang anestesi kami dapatkan pasien ASA IV dengan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hipertiroid dan yang lain dalam batas normal. Saran : - Apabila kasus cito : setuju tindakan dengan resiko tinggi - Apabila tidak cito : terapi hipertiroid terlebih dahulu
Perjalanan Anestesi :
Pada pukul 10.00 WIB pasien tiba di OK dengan Airway bebas, Nafas spontan 20-24 x/menit, retraksi-/-, SN ves/ves, Ronkhi -/-, Wheezing -/-, SpO2 100% , Hemodinamik dengan TD : 120/80 mmHg , MAP : 93, Nadi : 85 x/menit. Tanpa Premedikasi : Pada Pukul 10.15 WIB pasien diberikan loading cairan kristaloid (Ringer laktat) 1000 ml dan dilanjutkan dengan spinal anestesi dengan Bunascan 20 mg. Pasien diberikan O2 dengan nasal kanul sebanyak 3 liter / menit selama proses kuretase.
40
Kuretase berlangsung kurang lebih selama 45 menit ( pukul 10.15-11.00 WIB ), Hemodinamik selama operasi TD sistolik 90-110 mmHg, TD diastolik 60-80 dan Nadi 70-85 x/menit. Perdarahan yang terjadi sekitar 300 cc.
41
PEMBAHASAN
Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
Mola adalah suatu kelainan di dalam kehamilan dimana jaringan plasenta berkembang dan membelah terus menerus dalam jumlah yang berlebihan dengan atau tanpa janin. Ada dua macam bentuk mola yaitu mola parsial dan komplit. Mola parsial jarang menyebabkan keganasan sedangkan mola komplit sering mengakibatkan
keganasan
yaitu
koriokarsinoma
atau
bahkan
bisa
pula
bermetastasis hingga ke organ lain. Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini menunjukkan gejala dan tanda mola hidatidosa. Hipertiroid juga didapatkan dari pemeriksaan laboratorium dengan hasil T3 dan T4 yang tinggi.
Diagnosis pada pasien ini sudah tepat.
Apakah tatalaksana anestesi pada kasus ini sudah tepat?
Teknik anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah teknik spinal anestesi. Teknik anestesi ini dipilih karena tidak memiliki efek tokolitik yang dapat memperburuk perdarahan dan lebih aman pula untuk pasien mola dengan hipertiroid. Namun, anestesi spinal tidak disarankan untuk pasien mola dengan gangguan hemodinamik dan gangguan pembekuan darah.
Jenis anestesi umum dianjurkan untuk pasien dengan gangguan hemodinamik, gangguan pembekuan darah di mana hal ini dikontraindikasikan pada spinal anestesi. Drug of Choice yang digunakan untuk menginduksi pasien ketika operasi berlangsung adalah thiopentone karena thiopentone memiliki efek anti thyroid sehingga dapat menstabilkan keadaan hemodinamiknya. Muscle relaxan yang digunakan adalah obat dengan mekanisme kerja sedikit meriliskan histamin seperti Recuronium dan Vecuroniu sehingga aman untuk digunakan. Konsentrasi obat – obatan anestesi inhalasi yang digunakan sebagai maintanance seperti
42
halothan, enfluran, dan dan isofluran harus dikurangj karena memiliki efek tokolitik yang dapat semakin memperparah perdarahan. Sehingga terapi tatalaksana anestesi untuk operasi pada pasien ini sudah tepat.
Post operasi, penderita dilanjutkan perawatannya diruangan dengan pemberian analgesik dan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Diruangan penderita juga dilakukan pemasangan kateter menetap selama 24 jam dan dilanjutkan dengan bladder training untuk menghindari terjadinya retensio urin.
43