BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
Ensefalitis Ensefalitis toksoplasma, m erupakan penyebab tersering lesi ota k fokal infeksi oportunistik oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika Amerika angka kej adiannya mencapai 30% 50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Berdasarkan penelitian di bagian neuroinfeksi neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan g ejala klinis, pemeriksaan penunjang penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Res onance Imaging (MRI). Diagnosis pasti pasti ditegakkan berdasarkan bak u emasnya dengan pemeriksaan histopatologi histopatologi dari biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dibedakan dengan lesi lainnya, lainnya, m eskipun demikian demikian gambara n yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multiperl multiperl yang m enyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal da n berdiameter 1 sampai 3 cm. Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara dramatis meningkat tajam. S ampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Se mbilan puluh puluh persen individu individu yang terinfeksi ini tinggal di negara berkembang, ter masuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun 2002 diestimasikan diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik ( Intravenous drug users ). Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV ak an berkembang menjadi kelainan 3
neurologis. Kelainan neurologis yang sering t erjadi pada penderita yang terinfeksi terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal , CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy.
Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis 5
toxoplasma.
6
Dari penelitian Terazawa dkk , didapatkan seroprevalens IgG antibody
Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk kota Jakarta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.
TOKSOPLASMOSIS A. Definisi Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan sela put otak.
B. Klasifikasi Terdapat 2 mac am bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler seperti bulan sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul. Ukuran parasit micron 4 -6 mikron, dengan inti terletak di ujung yang tumpul. Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi namun kista Toxopl asma yang ada dalam jaringan tetap msih hidup. Kista jaringan ini akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan. Infeksi yang terjadi pada orang dengan k ekebalan rendah baik infeksi primer maupun infeksi reaktivasi a kan menyebabkan terjadinya Cerebritis, Chorioretinitis, pneumonia, terserangnya seluruh jaringan otot, m yocarditis, ruam makulopapuler dan a tau dengan kema tian. Toxoplasmosis yang m enyerang otak sering terjadi pada penderita AIDS. Infeksi primer yang t erjadi pada awal kehamilan dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada bayi yang dapat menyebabkan kematian bayi atau dapat menyebabkab Chorioretinis, kerusakan otak disertai dengan klasifikasi intraserebral, hidrosefalus, mikrosefalus, demam, ikterus, ruam, hepatosplenomegasli, Xanthochromic CSF, kej ang beberapa saat s etelah lahir
C. Etiologi Toxoplasmosis. Toxoplasmosis sendiri ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun 1909 yang menyerang hew an pengerat di Tunisia, Afrika Utara. Selanjutnya setelah diselidiki maka penya kit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk famili babesiidae. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan s elsel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemu kan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ -organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
D. Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis. Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, clan Ookista. y
Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3- 7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama ma sa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit
y
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam ja ringan dengan jumlah ribuan berukuran 10 -100 um. Kista penting untuk tr ansmisi aan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.
y
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus ase ksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang m enghasilkan ookista dan clikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang m engandung toxoplasma gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan
ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelom pok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium isti rahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
E.Cara Penularan Toxoplasmosis
Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang m atang yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat, kecoa, tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke janin terjadi utero m elalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik dan alat laboratorium lainnya yang terkontamin asi
dengan toxoplasma gondii. Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena infeksi toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang m engandung ookista dan yang dimasak kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah melalui hewan pel iharaan. Hal ini terbutki bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara hewan peliharaan yang suka makan daging mentah mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan ter jadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan j aringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel -sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana p arasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya m enetap tanpa menimbulkan peradangan lokal. F. Patologi dan Gambaran klinik
Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepa titis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat mencapai berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru-paru, hati, limpa, sumsum ulang, kelenjar limfe dan otot jantung. Gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai deng an kelainan patologi yang terjadi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala -gejala klinik pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat. Gejala klinik toksoplasmosis congenital .
Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan bahkan bias fatal oleh karena parasi tersebar di berbagai organ-organ terutama pada system susunan
sarafnya. Kelainan yang terjadi sangat jel as terlihat dan yang patognomonik dan indikatif adalah kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus dan psikomotor. Kalsifikasi serebral dan korioretinitis merupakan gejala y ang paling penting untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis congenital.
Gejala klinik toksoplasmosis di dapat.
Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ da n jaringan dapat terjadi yaitu pada jaringan ser ebrospinal yang mengakibatkan ensef alomielopati, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis, kelainan limfatik berupa limfadenitis disertai dengan demam, kelainan pada kulit yang berupa ruam kulit makulopapuler yang mirip ruam kulit pada demam tifus, kelainan pada paru -paru yang berupa pneumonia interstisial, pada jantung terjadi miokarditid dan terjadi pula pembesaran hati dan limpa. Kelainan -kelainan pada jaringan serebrospinal umumnya menyerang bayi dan anak -anak sedangkan kelainan limfatik menyerang anak berumur antara 5-15 tahun. G.Diagnosis
Diagnosis untuk Toxoplasmosis sendiri dibagi menjadi 2 yaitu : Diagnosis Klinik Toksoplasmosis hendaknya w ajib dicurigai bila didapatkan klasifikasi serebral pada ventikulogram dan korioretinitis ditemukan pada pemeriksaan mata. Apalagi jika didapatkan kelainan-kelainan yang berupa hidrosefalus, mikrosefalus, mikroptalmus, pneumonitis, miokarditid, adenopati, hepatomegali atau splenomegali. Diagnosis Spesifik Diagnosis spesifik ditegakkan dengan mengadaka n pemeriksaan laboratorium untuk menemukan Toxoplasma gondii yang berasal dari hasil biopsy aau pengambilan cairan dari organ dan jaringan penderita. Inokulasi hewan -hewan percobaan (tikus, mamot atau hamster) dengan hasil biopsy organ dan jaringan dapat meningkatkan hasil pemeriksaan
H.Pencegahan Toxoplasmosis
Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit toxoplasmosis adalah sebagai berikut : 1. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau yang sudah dimasak pada suhu 150°F (66°C),sedangkan pada daging yang dibekukan mengu rangi infektivitas parasit teta pi tidak membunuh parasit. 2. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunya antibodi terhadap toxoplasma gondi, dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat sampah. Pakailah sarung tangan karet da n cucilah tangan selallu setelah bekerja dan sebelum m akan. 3. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan kering, mak anan kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan jangan biarkan membru mak anan sendiri. 4. Cucilah tangan baik-bai sebelum makan dan sesudah menjamah dagin mentah atau setelah memegang tanah ya ng terkontaminasi kotoran kucing. 5. Awasi kucing liar, jangan biarkan k ucing tersebut membuang kotoran ditempat bermain anak-anak
I.Pengobatan Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik a dalah kombinasi pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis a kan menghambat siklus p amino asam benzoat dan siklus asam foist. y
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 -6.000 mg sehari selama sebulan. efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selam a pengobatan. Trimetoprimn juga temyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil tr imester pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selam a seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang l ahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
II.
ENSEFALITIS TOKSOPLAMA
A.
Ensefalitis toksoplasma
Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit T oxoplasma gondii , yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia m enetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien m enunjukkan tanda infeksi. B.
Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah ataukurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi ataukontak langsung dengan feses k ucing. Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada m anusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksilaten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak .
C. Daur Hidup T oxoplasma
gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites ) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites ). Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites ,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
T issue
cyst ada
o
dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 C, didinginkan o
sampai 20 C atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan m enjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2 -3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun.
4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
T issue
cyst menjadi ruptur
dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
4,7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/m L kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii , CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex , sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis
dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
D. Tanda dan gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan,lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, m asalah penglihatan,pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini hampir selalumerupakan suatu kekam buhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita-penderita yang semasa m udanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnya cepat s ekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
E. Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosispada sel yang terinfeksiSelain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalantubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakanfungsi dan kesehatan sel saraf
Mekanisme
bagaimana
HIV
menginduksi
infeksi
oportunistik
seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFNgamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii .
Hal ini memainkan peranan y ang penting dari perkembangan toxoplasmosis
dihubungkan dengan infeksi HIV . Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), 9
nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%) . Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, 5
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/ mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sanga t tinggi.
F. Diagnosa y
Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti -T.gondii IgG dan IgM.
Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzym e linked immunosorbent assay (ELISA).Titer IgG mencapai puncak dalam 1 -2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup. y
Pemeriksaan cairan serebrospinal : menunjukkan adanya pleositosis ringan
dari mononuklear predominan dan elevasi p rotein. y
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA T.gondii.
PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dancairan vitreus atau aquos humor d ari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCRyang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak setelah infeksi akut. y
CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema va sogenik padajaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
y
Biopsi otak : untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
G. Penatalaksanaan y
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
y
Toxoplasma Gondii,membutuhkan vit amin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya.
y
kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
y
pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
y
pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang.
y
pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
y
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV .
BAB III KESIMPULAN Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika anda belum terinfeksi tokso, anda dapat m enghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak memakan daging at au ikan mentah, dan a mbil kewaspadaan lebih lanjut jika anda membersihkan kandang kucing. Anda dapat memakai obat anti-HIV yang manjur untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan diakibatkan tokso. Jika jumlah CD4 anda turun di bawah 100, anda sebaiknya bicara dengan dokter tentang pemakaian obat untuk mencegah penyakit tokso. Jika anda mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-k ejang, atau gejala tokso lain, anda harus langsung menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat diobati secara efektif. Jika anda mengalami penyakit tokso, sebaiknya anda terus memakai obat antitokso untuk mencegah penyakitnya ka mbuh. Infeksi oportunistik dapat terjadi a kibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah ter kena penyakit kegan asan.Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah lim fosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat AR T),infeksi opportunistik, kanker sekunder, status k ekebalan tu buh, simptomatis dan suportif
DAFTAR PUSTAKA Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 20062. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired ImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,20063. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 20064. Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.5. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw -Hill. 3 rd edition. New York. 2000 : 482 -90.6. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955 89.7. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Pra ctice Medicine. Januari 2003.8. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurolog i. Jakarta: EGC. 20019. HIV and Hepatitis. 2008. Di unduh dari http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html10. HIV insite. 2003. Di unduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb -04-01-011. Yayasan Spirita.2009. Neuropati Perifer. Diunduh dari http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf 12. Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke. Diunduh darihttp://www.spirita.or.id13. Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus