Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 17120040007 LAPORAN KASUS NEUROLOGI
N am a
: Tn. F
No. MR
: SHLK 0000411182
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 35 tahun
Kewargenaraan
: WNI
Agama
: Kristen
Pendidikan Terakhir
: SMU
Pekerjaan
: Karyawan Toko
Status Pernikahan
: Menikah
Status Sosial
: Baik
Status Ekonomi
: Menengah
A la m at
: Perum Aneka Elok
Cekat Tangan
: Kanan
Tanggal Tanggal Masuk Masuk Rumah Rumah Sakit : 24 Oktober Oktober 2010 Tanggal Pemeriksaan
: 26 Oktober 2010
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 1
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 17120040007 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis.
KELUHAN UTAMA
Cegukan terus menerus dan mengompol sejak 4 hari yang lalu.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluh cekukan terus menerus dan mengompol sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Cekukan tidak berhenti kecuali pasien tidur. Cekukan ini timbul sekitar 15 kali per menit. Selama 4 hari yang lalu, cekukan tidak berkurang atau pun bertambah dalam frekuensi. Pasien tidak merasa nyeri pada ulu hati, tidak ada batuk, nyeri pada saat menelan atau muntah. Pasien juga tidak sedang mengalami stres. Pasien tidak dapat menahan kencingnya sehingga selalu mengompol. Tidak ada nyeri pada saat buang air kecil. Pasien memiliki sedikit kelemahan pada anggota gerak kiri, khususnya pada tungkai. Hipertensi dan Diabetes Melitus disangkal. Saat pasien masuk rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam ini turun sebentar saat diberi obat penurun panas namun akan naik lagi. Selain itu, pasien mengeluh nyeri kepala dan keluarga pasien juga mengeluh bahwa pasien cenderung tertidur dan sulit dibangunkan. Pasi Pasien en belu belum m bero beroba batt sebe sebelu lumn mnya ya untu untuk k kelu keluha han-k n-kel eluh uhan an di atas atas dan dan hany hanyaa mengonsumsi obat penurun panas selama ini. Pasien menderita Hepatitis C dan HIV-1 yang baru diketahui sejak masuk rumah sakit.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 2
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti sekarang sebelumnya. Pasien tidak mempunyai riwayat trauma pada kepala.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ditanyakan.
RIWAYAT KEBIASAAN / POLA HIDUP
Pasien mempunyai riwayat penggunaan alkohol yang berlebihan dan penggunaan Narkoba (termasuk secara IV). Pasien mengaku sudah tidak menggunakan semua itu sejak 2 tahun yang lalu.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan Umum
: Sedang
Keadaan Gizi
: Sedang
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 80 x / menit
Pernapasan
: 18 x / menit
Suhu
: 36,3 oC
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 3
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Berat Badan
: Tidak ditimbang
Tinggi Badan
: Tidak diukur
Kepala
: Normosefali tanpa tanda trauma
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pupil bulat isokor 2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Telinga
: Tidak diperiksa
Hidung
: Tidak diperiksa
Mulut
: Tidak terdapat deviasi bibir. Mukosa rongga mulut merah tanpa massa atau lesi lain. Tampak leukoplakia pada lidah. Hygiene baik. Lidah tidak deviasi.
Leher
: Tidak diperiksa
Thoraks
: Tidak diperiksa
Abdomen
: Tidak diperiksa
Punggung
: Tidak diperiksa
Ekstremitas Atas
: Tidak ada nyeri atau perasaan baal/berat. Tidak ada deformitas, akral hangat.
Ekstremitas Bawah
: Tidak ada nyeri atau perasaan baal/berat. Tidak ada deformitas, akral hangat. Tungkai kiri sedikit melemah
STATUS NEUROLOGIS GCS
: 14 (E4 M6 V4)
Saraf Kranial
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 4
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
NI N II
HASIL PEMERIKSAAN Tidak didapatkan gangguan pada fungsi menghidu, bilateral dan simetris Visus: Tidak diperiksa
Lapang pandang: normal Pemeriksaan buta warna: tidak dilakukan Pupil bulat, isokor, ukuran 2 mm / 2 mm. N III, IV, VI NV
Refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+ Gerakan bola mata baik ke segala arah Sensorik : V1, V2, V3 sensasi raba wajah kanan dan kiri sama Motorik : inspeksi: tidak terlihat hipotrofi, dapat membuka rahang dengan baik. palpasi: saat menggigit keras, kontraksi otot masseter kiri dan
N VII
kanan sama kuat. Inspeksi: Wajah pasien kanan dan kiri simetris. Celah palpebra kanan dan kiri simetris. Plika nasolabialis kanan dan kiri simetris. Menaikkan alis dan menutup mata kuat
N VIII
simetris kanan dan kiri
Menggembungkan pipi dan menyeringai simetris Tes pendengaran dengan gesekan jari : normal. Tes Rinne, Weber, dan Schwabach tidak dilakukan.
N IX & X
Pemeriksaan keseimbangan: Baik Tidak ada disfoni dan disfagia.
N XI N XII*
Uvula terletak di tengah. Menoleh kanan-kiri dan menggerakkan bahu: baik, kiri dan kanan Inspeksi: tidak terdapat deviasi ke satu sisi, fasikulasi dan atrofi. Menjulurkan lidah tidak ada deviasi ke satu sisi
Sensorik
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 5
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Eksteroseptif
: Nyeri dan raba pada bagian kanan dan kiri lainnya simetris. Sensasi suhu tidak dilakukan.
Proprioseptif
: Baik.
Motorik
Inspeksi
: Posisi lengan dan tungkai simetris kanan dan kiri. Tidak terdapat atrofi ataupun fasikulasi.
Palpasi
: Tidak dilakukan.
Kekuatan Lengan atas Lengan bawah Tangan Jari tangan Tungkai atas Tungkai bawah Kaki Jari kaki
Kanan 5 5 5 5 5 5 5 5
Kiri 5 5 5 5 4 4 4 4
Kanan ++ ++ ++
Kiri ++ ++ ++
Refleks Fisiologis Refleks Fisiologis Refleks Tendon Biseps Refleks Tendon Triseps Refleks Tendon Lutut
Refleks Patologis Refleks Patologis Refleks Babinsky
Kanan +
Kiri +
Koordinasi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 6
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
Tes Koordinasi Tes Tunjuk Hidung
Dekstra Tidak dapat dinilai
Sinistra Baik
PEMERIKSAAN TAMBAHAN CD4 count
: 75 /µ L
T-helper CD4
: 3%
anti HIV
: reaktif
anti HCV
: reaktif
RESUME
Pasien, laki-laki, usia 35 tahun mengeluh cekukan terus menerus dan mengompol sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Cekukan tidak berhenti kecuali pasien tidur. Cekukan ini timbul sekitar 15 kali per menit. Selama 4 hari yang lalu, cekukan tidak berkurang atau pun bertambah dalam frekuensi. Pasien mengalami urinary incontinence . Tidak ada nyeri pada saat buang air kecil. Saat pasien masuk rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam ini turun sebentar saat diberi obat antipiretik namun akan naik lagi. Selain itu, pasien mengeluh nyeri kepala dan keluarga pasien juga mengeluh bahwa pasien cenderung tertidur dan sulit dibangunkan. Keluhan demam, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran sudah membaik. Pasien menderita Hepatitis C dan HIV-1 (CD4 count 75 / µ L). Pada pemeriksaan fisik, terdapat refleks Babinski positif.
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
: Hemiparese sinistra ringan, Hiccups (singultus) dan Inkontinensia
urin
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 7
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Diagnosis Topis
: Temporal lobe, Frontal lobe, Basal Ganglia
Diagnosis Etiologi
: Gangguan pada sistem Imun
Diagnosis Patologis
: Infeksi
Diagnosis Kerja
: Susp. Toxoplasmosis Ensefalitis
Diagnosis Banding
: Multiple Sklerosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG •
Magnetic resonance imaging (MRI)
•
CT Scan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 8
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
TATA LAKSANA
MEDIKAMENTOSA •
Pyrimethamine
•
Sulfadiazine
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia
Ad sanationam
: dubia ad malam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 9
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
DISKUSI DAN ANALISA KASUS CEGUKAN (HICCUPS)
Cegukan terlihat sepele, namun bila sudah berlangsung lama, menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuh. Karena tidak hanya menyangkut tenggorakan, tapi juga organ-organ lain. Termasuk di dalamnya otot-otot diagfragma, katup di tenggorokan, dan susunan saraf pusat (otak) serta saraf tepi. Cegukan, dalam bahasa medisnya disebut Hiccup, disebabkan oleh kontraksi sekat rongga
tubuh,
Kontraksi
ini
atau
kerap
disebut
menimbulkan
tarikan
diagfragma, napas
yang
yang
terjadi
diakhiri
secara
secara
mendadak.
refleks
oleh
tertutupnya lubang di antara kedua pita suara. Tarikan napas akibat tertutupnya lubang tersebut menimbulkan suara khas waktu cegukan. Kejadian ini dapat timbul satu kali, dapat pula berupa rangkaian yang tak dapat dikendalikan. Normalnya, saat kita menarik napas, otot-otot diafragma akan turun, dan saat itu pula katup tenggorokan membuka, sehingga udara yang menekan ke atas tidak akan berbunyi. Akan tetapi, pada cegukan, saat menarik napas, terjadi kontraksi atau bahasa
awamnya
Akibatnya,
kram
keduanya
pada
akan
otot
naik.
diafragma
Pada
saat
dan
otot-otot
bersamaan,
antara
epiglotis
tulang
(katup/klep
iga. di
tenggorokan) pun tertutup, sehingga udara dari diagfragma yang naik ke atas akan menekan klep ini. Akibatnya, terjadilah cegukan (Gambar 1). Tertutupnya katup atau epiglotis ini terjadi karena adanya gangguan di lengkung refleks, yaitu pada susunan saraf pusat dan saraf tepi. Kedua saraf ini mengatur jalur pernafasan dalam tubuh manusia agar berjalan lancar. Tertutupnya klep ini bukan merupakan kelainan susunan saraf pusat atau saraf tepi, namun merupakan respon dari keduanya yang terganggu.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 10
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
Mekanisme cegukan.
Gambar 1
Oleh karena saraf tepi berukuran panjang dan berhubungan dengan organ-organ di dalam tubuh, maka terkadang aktivitasnya terganggu oleh penyakit yang serius. Sehingga, cegukan dapat pula menjadi gejala adaya radang di perut, penyakit di ginjal, masalah hati atau tumbuhnya tumor di leher yang mengganggu saraf, yang kemudian mengirim respon sehingga muncullah cegukan. Pada dasarnya, cegukan itu ada 2 jenis. Jenis pertama disebut dengan cegukan ringan dan
hanya
berlangsung
1-2
jam, kemudian hilang sendiri. Penyebabnya
paling sering karena adanya regangan di lambung; perubahan cuaca yang mendadak, dari panas ke dingin atau sebaliknya; memakan makanan yang terlalu panas atau dingin; minum alkohol, merokok atau mengalami stres. Sedangkan jenis kedua, adalah cegukan permanen. Cegukan ini terjadi terus menerus,
tak
hanya
berhari-hari
atau
berbulan-bulan,
tapi
juga
bertahun-tahun.
Cegukan jenis merupakan tanda atau gejala adanya gangguan di otak seperti gejala tumor
di
batang
otak;
gejala
stroke,
pada
penderita
stroke
sering
timbul
cegukan; adanya infeksi di susunan saraf pusat; adanya herpes di dada sehingga mengganggu saraf tepi. Di samping itu, juga karena gangguan metabolik seperti pada penderita diabetes dan
hipertensi.
gangguan
Atau
elektrolit
penderita (kurang
kelainan
kalium),
ginjal,
termasuk
karena pengaruh
urenia.
Juga
karena
obat-obatan
seperti
steroid atau obat tidur.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 11
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 INKONTINENSIA URIN Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sistouretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
JENIS INKONTINENSIA URINE
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
B. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
C. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
D. Fistula urine
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 12
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Inkontinensia Stres Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme
penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Inkontinensia Desakan Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkan dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis. Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 13
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
Inkontinensia Luapan Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika
tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi. Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :
Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi sebenarnya lenyap.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 14
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.
Gambar 2
Persarafan Miksi.
Fistula urine Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir. Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 15
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 TOXOPLASMOSIS ENSEFALITIS
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung bradyzoites ) dan oocyst (yang mengandung sporozoites ). Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh
bradyzoites
atau sporozoites
secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi
tachyzoites , organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67 oC, didinginkan sampai –20 oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun (Gambar 3). Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 16
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
Gambar 3
Definitif host dari T. gondii ialah kucing. Unsporulated oocysts dikeluarkan di
kotoran kucing
. Walaupun oocysts biasanya dikeluarkan hanya selama 1-2 minggu,
jumlah yang banyak dapat dikeluarkan. Oocysts memerlukan waktu 1-5 hari untuk sporulate dalam lingkungan sebelum menjadi infektif. Host di lingkungan (termasuk burung dan tikus) menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, ait atau tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi oleh oocysts . Oocysts berubah menjadi tachyzoites setelah tertelan. Tachyzoites ini
tissue cyst bradyzoites
melekat pada jaringan neural dan otot dan menjadi
menjadi terinfeksi setelah menelan intermediate host yang membawa tissue cysts
. Kucing . Kucing
juga dapat terinfeksi secara langsung dengan menelan sporulated oocysts. Binatang yang dipelihara untuk konsumsi manusia dan untuk permainan juga dapat terinfeksi oleh tissue
cysts setelah menelan sporulated oocysts dalam lingkungan . Manusia dapat terinfeksi oleh berbagai cara: •
Memakan daging binatang yang membawa tissue cysts dan dimasak kurang matang .
•
Memakan makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau oleh sample kontaminasi lingkungan (seperti tanah yang terkontaminasi kotoran atau menukar kotak kotoran kucing peliharaan)
•
.
Transfusi darah atau transplantasi organ tubuh
.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 17
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007
•
Secara transplacental dari ibu ke janin
.
Dalam host manusia, parasit dari tissue cysts, terutama dalam otot rangka, miocadium, otak, dan mata; cysts ini menetap seumur hidup host tersebut. Diagnosis biasanya dapat ditegakkan oleh serologi, walaupun tissue cysts dapat ditemukan dalam spesimen biopsi yang diwarnai . Diagnosis dari infeksi kongenital dapat ditegakkan dengan deteksi DNA T. gondii dalam air ketuban melalui cara PCR
.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii , CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida
species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa Toxoplasma ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis. Dari ketiga manifestasi ini, ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS . Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari sitokin tipe 1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting dalam infeksi T gondii kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells seperti sel dendrit dan makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-gondii , tidak hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan IFN-gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada infeksi T.gondii pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja dengan diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 18
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit. Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test , tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 19
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan serebrospinal bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS. Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.
TERAPI Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Pada pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selama 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 20
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80% kasus. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma SSP dan criptococcus.
ANALISA KASUS Pada pasien ini ditemukan adanya nyeri kepala, demam dan penurunan kesadaran yang merupakan gejala kronik progresif dan menunjukkan adanya suatu lesi desak ruang pada otak. Adanya demam menunjukkan adanya infeksi. Sehingga penurunan kesadaran pada pasien ini diduga karena adanya lesi desak ruang intrakranial yang mungkin disebabkan oleh infeksi. Dengan ditemukan adanya riwayat penggunaan obat narkotika intravena yang didukung dengan adanya needle track , dapat dipikirkan kemungkinan penderita ini terinfeksi HIV, sehingga dilakukan pemeriksaan HIV dan pemeriksaan CT scan otak dengan kontras. Hasil pemeriksaan HIV, ditemukan pasien HIV positif dengan jumlah CD 4 75 sel/ml. Berdasarkan manifestasi klinis dan jumlah CD 4 yang < 100 sel/ml, maka presumptive diagnosis ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan dapat diberikan terapi empirik toxoplasmosis pada pasien ini. Ditemukan juga adanya movement disorder berupa hemiparese sinistra ringan pada pasien ini diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement
disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis. Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan adalah (Sulfadoxin 500 mg + Pyrimethamin 25 mg) tiap 6 jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg perhari. Terapi empirik yang diberikan pada pasien ini adalah kombinasi pirimetamin 50 mg tiap 6 jam dengan clindamisin 600 mg tiap 6 jam. Setelah pemberian selama 6 hari terdapat perbaikan klinis. Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang CT Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu ukuran lesi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 21
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini, evaluasi CT scan terdapat perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada pemberian kontras tidak tampak adanya penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan radiologis pada penderita ini setelah terapi empirik toxoplasmosis selama 2 minggu, maka diagnosis definitive ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan. Terapi toxoplasmosis ini direncanakan untuk dilanjutkan sampai 6 minggu. Flukonazol juga diberikan karena adanya infeksi opurtunistik berupa candidosis oral. Pada suatu penelitian di Tanzania (Fawzi et al) terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi HIV yang diberikan suplemen multivitamin berupa vitamin A, beta karoten, B, C dan E menunjukkan adanya peningkatan CD 4 secara bermakna dan penurunan viral load secara bermakna. Sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV dapat dipertimbangkan. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 75, sehingga diberikan ARV.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 22
Laporan Kasus Neurologi – Toxoplasmosis Encephalitis
Marco Handoko – 17120040007 DAFTAR PUSTAKA
1. Wood AJJ, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infections in patients with human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 2000; 342 : 1416-26. 2. Berger JR. Therapy of the neurological complications of HIV infection. CD room AAN 2004. 3FC-004-85. 3.
Adam and Victor’s. Toxoplasmosis inHIV Infection. 702-703. 2009
4. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67. 5. DaRosa IG, Toxoplasmosis in HIV/AIDS primary care guide, University of Florida, 2002, p.147-9. 6. Adam and Victor’s Clinical Effects of Frontal Lobe Lesions in Neurologic Disorder Caused by Lesions. 437-438.2009 7.
Sabauste CS. Toxoplasmosis and HIV in HIV insite knowledge base chapter. University of
Cincinati college
of
medicine. Jan 2004.
Availlable at :
http://HIVinsite.com 8. Patterson TF, Patterson JE, Barry M, Bia FJ.Parasitic infections of the central nervous system in infections of the nervous system. Springer Verlag.1990. p.234-37. 9. Wig Naveet, Wali JP. Central nervous system and HIV/AIDS. J Indian Academy Clin Med 5; 2: 163-68. 10. Berger JP, Fayssal NGA, Cohen BA, Conant K, Deangelis LM, Dirocco A,et all. The neurologic complication of AIDS.Continuum. 2000.p128-49. 11. Tebas P. Toxoplasmosis. theraupetic advances. HIV Newsline 1999; 5: 3.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UPH – Siloam Hospital Lippo Village Periode 11 Oktober – 14 Novermber 2010 23