1
2
3
4
5
6
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.KONSEP DASAR CEDERA KEPALA 2.1.1 Pengertian Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Daniel Tjen,Arif mutaqin, dan tarwoto,2007). Trauma kepala didefinisikan sebagai pukulan atau guncangan terhadap
kepala
atau
cedera
yang
menembus
kepala
yang
mengganggu fungsi otak (Ria agustana,2007). cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001). Cidera kepala dapat di klasifikasikan sbb : 1. Berdasarkan kerusakan jaringan otak a. Komosio serebri (gegar otak) : gangguam fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrograd, mual, muntah, nyeri kepala.
8
b. Kontusio serebri serebri (memar) (memar) : gangguan fungsi neurologik neurologik disertai disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit. c.
Laserasio serebri serebri : Gangguan fungsi neurologik neurologik disertai kerusakan
otak
yang
berat
dengan
fraktur
tengkorak
terbuka.Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial (Tarwoto, 2007). 2. Berdasarkan berat berat ringannya cedera kepala kepala a. Cedera Kepala Ringan (CKR) : Jika GCS antara 15-13 dapat kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom. b.
Cedera Kepala Sedang (CKS) : Jika nilai nilai GCS antara 9-12 , hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak,disorientasi tengkorak,disorientasi ringan.
c.
Cedera Kepala Berat (CKB) (CKB) : Jika GCS 3-8, 3-8, hilang hilang kesadaran kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral (Tarwoto, 2007).
9
2.1.2. Anatomi Fisiologi Kepala Kepala (tidak termasuk wajah dan struktur wajah) mencakup bagian : 1. Scalp 2. Tulang tengkorak 3. Selaput yang membungkus otak (meningenens ) Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
Gambar 2.1. meningen
a. Durameter Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat terdapat ruangan ruangan potensial disebut disebut ruang subdural subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins,
dapat
mengalami
robekan
serta
menyebabkan
perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2
10
sinus yang yang mengalirkan mengalirkan darah darah vena ke otak, yaitu :
sinus
sagitalis
sinus
superior
mengalirkan
darah
vena
ke
transverses transver ses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural. b. Arachnoid
Gambar 2.2. arachnoid
c. Piameter Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.
11
Gambar 2.3. piameter
4. Jaringan otak 5. Jaringan serebrospinal 6. Kompartemen vaskular Scalp memiliki vaskularisasi yang kaya dan menyebabkan pendarahan yang banyak jika luka, karena banyak pembuluh darah kecil yang terletak dalam matrik jaringan ikat elastis. Vasosmasme protektif normal yang seharusnya terjadi untuk mengurangi perdarahan tidak berfungsi. Menyebabkan perdarahan yang
terus
berlanjut
dankehilangan
darah
yang
bermakna.
Tengkorak kepala berfungsi sebagai kotak tertutup, satu-satunya pintu keluar dimana tekanan dapat belanjut melalui foramen magnum yang terletak pada dasar tengkoarak dimana terdapat perahlian antara batang otak dan spinal cord. Tengkorak yangkaku dan sempit memberikankontribusi dalam beberapa mekanisme cidera kepala. Karena letak otak dalam kepala sedemikian rupa sehingga gerakkan lebih banyak pada punak otak dibanding dasar. hal ini
12
faktor faktor penentu kerusakan yang terjadi. Tulang temporal lebih tipis
dan
lebih
mudah
mengalami
fraktur.
Selaput
yang
membungkus keseluruhan otak, lapisan lebih tipis berupa pia aracnoid yang terletak di bawah durameter dan merupakan tempat arteri dan vena, lapisan yang paling tipis piameter yang terletak di bawah arachnoid dan lansung melapisi permukaan otak.cairan cerebrospinal ditemukan di bawah lapisan piameter dan arachnoid. Otak
mengisi
keseluruhan
rongga
tengkorak,
yang
sesungguhnya tidak memiliki adaptasi terhadap bengkak otak. Hal ini penting dalam patofisiologi cedera kepala. Cairan cerebrospinal merupakan cairan nutrisi yang menyeliputi otak dan spinal cord. Cairan ini secara terus menerus di produksi dalam ventrikel otak dengan kecepatan 1/3 ml/menit. Cairan ini diserap kembali oleh membran arachnoid yang menyelimuti otak dan spinal cord. Segala sesuatu yang menghambat aliran CSF akan menyebabkan penumpukan cairan ini dalam otak dan akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Sukma nolo w, 2012).
13
1.1.3. Etiologi Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain : a. Benda tajam Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat. b. Benda tumpul Dapat
menyebabkan
cidera
seluruh
kerusakan
terjadi
ketika
energi/kekuatan energi/kekuatan diteruskan kepada otak. Penyebab lain: 1. kecelakaan kecelakaa n lalu lintas 2. pukulan 3. kecelakaan kerja / industri 4. luka tembak 5. Jatuh 6. kejatuhan kejatuha n benda 7. cedera lahir (Cholik dan Saiful, 2007).
2.1.4. Insiden Cidera kepala (cidera kraniosecebral) merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian. Di RSUPN Ciptomangun kusumo Jakarta tahun 1992 angka motarlitas 4,91 5 dan 9,44 % dari 1281 orang yang dirawat dengan kasus cidera kepala. Lebih dari 50 % cidera kepala disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya disebabkan karena faktor lain seperti, terjatuh, terpukul, kecelakaan industri, (wartona, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin tahun 2008 di
14
Instalasi Rawat Darurat RSUD Sleman terdapat 733 pasien trauma kepala yang terdiri dari (89%)CKR, (6%) CKS dan (5%) CKB. CKB. Hal ini dibuktikan oleh Jamaluddin dua pertiga korban dari kasus cedera kepala berusia di bawah 30 tahun,dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita.Lebih dari setengah jumlah klien cidera kepala berat mempunyai signifikansi
terhadap
cidera
bagian
tubuh
lainnya.
Adanya
syok
hipovolemik pada klien cidera kepala biasanya karena cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Ari Muttaqin, 2008).
2.1.5. Patofisologi Adanya cidera
kepala dapat mengakibatkan mengakibatkan
gangguan atau
kerusakan struktur misalnya kerusakan pada parenkim otak,kerusakan pembuluh darah,perdarahan,edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosin
tripospat
dalam
mitokondria,perubahan
permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cidera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cidera kepala otak primer dan cidera kepala otak sekunder.cidera kepala otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara lansung saat kepala terbentur dan memberi dampak cidera jaringan otak.pada cidera kepala sekunder terjadi akibat cidera primer misalnya adanya hipoksia,iskemia,perdarahan. hipoksia,iskemia,perdarahan. Perdarahan serebral
menimbulkan
hematom,misalnya
pada
hematom
yaitu
berkumpulnya darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan
15
durameter,subdural hematom diakibatkan berkumpulnya darah ruang antara dura mater dengan subahranoid dan intracerebral hematom adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral. Kematian pada cidera kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena gangguan outoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak, karena otak sangat sensitif terhadap oksigen dan glukosa (Tarwoto, 2007). Sebagian besar cidera otak tidak disebabkan oleh cidera lansung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada cidera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlansung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian dalam tengkorak tepat di bawah titik bentur kemudian terbalik arah membentur sisi yang berlawanan titik bentur awal.oleh sebab itu dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup). Sisi dalam otak tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata.gesekan jaringan otak terhadap daerah ini dapat menyebabkan berabgai kerusakan terhadap jaringan dan pembuluh darah. Respon awal otak yang mengalami cidera adalah “ swelling “ memar pada otak menyebabkan menyebabkan vasoliditasi dengan peningkata aliran darah ke daerah tersebut,menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap terhadapa jaringan sekitar ( widyawati, 2012).
16
2.1.6. Manifestasi Klinik Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera kembali bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan. Tetapi anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin saja baru timbul beberapa jam kemudian. Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari kerusakan otak. Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala semakin memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui apakah telah terjadi cedera kepala yang berat. Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan penanganan medis segera adalah : a. Penurunan kesadaran b. Perdarahan c. laju pernafasan pernafasan menjadi menjadi lambat d. linglung e. kejang f. patah tulang tengkorak g. memar di wajah atau patah tulang wajah h. keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun berwarna kemerahan)s i. sakit kepala (hebat) j. hipotensi (tekanan (tekanan darah rendah) rendah) k. tampak sangat sangat mengantuk. mengantuk.
17
l. Rewel m. penurunan kesadaran n. perubahan perilaku/kepribadian o. gelisah p. bicara ngawur q. kaku kuduk r. pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera s. penglihatan kabur t. luka pada kulit kepala u. perubahan pupil (bagian hitam mata).
2.1.7
Penunjang Diagnostik a. Foto tengkorak b. Foto servikal c. CT scan d. MRI e. Serum alkohol f.
Serum obat
g. Pemeriksaan obat dalam urine h. Serum human chorionic gonadotropin gonadotrop in : mendeteksi kehamilan.
18
2.1.8. Penatalaksanaan Medik 1. Penatalaksanaan umum : a. Monitor
respirasi
:
Bebaskan
jalan
nafas,monitor
keadaan
ventilasi,periksa ventilasi,periksa AGD,berikan oksigen jika perlu. b. tekanan intrakranial intrakranial (TIK). c. Atasi syok syok bila ada. d. Kontrol tanda tanda vital. e. Keseimbangan Keseimbanga n cairan dan elektrolit. elektroli t. 2. Operasi Dilakukan
untuk
mengeluarkan
darah
pada
intraserebral,
debridemen luka,kranioplasti, prosedur shuntingpada hidrocepalu, kraniotomi. 3. Pengobatan a. Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya monitol 20 %,furosemid (lasik) b. Antikonvulsan :
untuk menghentikan kejang misalnya dengan
dilatin,tegretol, dilatin,tegretol, valium. c. Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dexametason. d. Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan cemetidin, renitidin. e. Antibiotik jika terjadi terjadi luka yang besar.
19
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Keperawata n Asuhan
keperawatan keperawatan
adalah
pelayanan
keperawatan
yang
dilakukan oleh seorang perawat dengan pendekatan keperawatan. Proses keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
sistematis
dan
menggunakan
pemikiran,
pengetahuan
dan
pengalaman yang dipergunakan oleh perawat dalam membantu pemecahan masalah pasien. Kegiatan ini terdiri dari lima tahap yaitu tahap pengkajian, tahap
penyusunan
diagnosa
keperawatan,
perencanaan,
tahap
pelaksanaan dan tahap evaluasi (Nursalam, 2001).
2.2.1. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2009). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu, sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik keperwatan dari American Nursing Association (Nursalam, 2001). a. Data biografi Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, penanggung jawab, status perkawinan.
20
b. Riwayat keperawatan 1) Riwayat medis dan kejadian yang lalu 2) Riwayat kejadian kejadian cidera kepala 3) Penggunaan alkohol dan penggunaan obat terlarang. c. Pola fungsi kesehatan 1) Aktifitas istirahat/tidur istirahat/tidur subyektif : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. obyektif : perubahan perubahan kesadaran, latergi, himeparase. 2)
Sirkulasi Obyektif : perubahan tekanan darah, perubahan perkusi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardia, distrimia).
3)
Integritas ego Obyektif
: perubahan tingka laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
cemas,
mudah
tersinggung,
delirium,
binggung, depresi dan impulsive. 4)
Eliminasi Subyektif : mual, muntah dan mengalami perubahan selera. obyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi makanan/cairan. makanan/cairan.
5)
Neurosensori obyektif : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo,
kehilangan
kesadaran,
gangguan
pengecapan, kehilangan sebagian lapang pandang, perubahan kesadaran samapi koma.
21
6) Nyeri ketidaknyamanan ketidaknyamanan Obyektif : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah menyeringai, respon menarik pada ransang nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa istirahat, merintih. 7) Pernafasan Obyektif : perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stidor, tersedak, ronki, mengi positif. 8) Keamanan subyektif : trauma baru/trauma karena kecelakaan Obyektif : fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi, perubahan warna kulit. 9) Interaksi sosial obyektif : afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulangulang, disartria, anomia. d. Pemeriksaan fisik 1).
Fraktur
tengkorak
:
jenis
fraktur,luka
terbuka,
perdarahan
konjungtiva, rihinorrea, otorhea ,ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran. 2). Tingkat kesadaran : adanya perubahan mental seperti lebih sensitif, gelisah, stupor, koma. 3). Saraf kranial : adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot mata, vertigo. 4). Kognitif : amnesia postrauma, disorientasi, amnesia retrograt, gangguan bahasa dan kemampuan matematika.
22
5). Rangsangan maningeal : kaku k aku kuduk, kernig, brudzinskhi. 6). Jantung : disritmia jantung. jantung. 7). Respirasi : roles, rhonkhi, nafas cepat dan pendek, takhipnea, gangguan pola nafas. 8). Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia,gangguan persepsi, gangguan pendengaran dan gangguan sensasi raba.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (a Carpenito,2000).
Gordon
(1976)
mendefinisikan
bahwa
diagnosa
keperawatan keperawatan adalah “masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan
pendidikan
dan
pengalamannya,
dia
mampu
dan
mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan”. Kewenangan tersebut didasarkan pada standar praktek keperawatan dan etik keperawatan yang berlaku di Indonesia.NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah “keputusan klinik tentang respon individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat”. Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data, dimana menurut NANDA diartikan sebagai “definisi karakteristik”. Definisi karakteristik
23
tersebut dinamakan “tanda dan gejala”, tanda adalah se suatu yang dapat diobservasi dan gejala adalah sesuatu yang dirasakan oleh klien (Nursalam, 2001). Diagnosa Keperawatan yang timbul pada klien cidera kepala adalah : 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran otak sekunder edema serebri, hematom. 2.
Resiko tidak efektif berhubungan berhubungan dengan kerusakan neurovaskule neurovaskuler r (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). neurologis). 4. Kerusakan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
Penurunan
neuromuskuler dan immobilisasi. 5. Resiko defisit def isit volume cairan cair an berhubungan dengan terapi tera pi deuretik, pembatasan cairan 6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan kognitif, sensorik, kerusakan memori, paralisis, menurunya neuromuskular. 7. Resiko injuri berhubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik.
24
2.2.3. Intervensi Sebagai langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah perencanaan
yaitu
membantu.untuk
menentukan
memenuhi
apa
yang
kebutuhan
ingin
dilakukan
kesehatan
dan
untuk
mengatasi
masalah keperawatan. Secara tradisional, rencana keperawatan keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana keperawatan
merupakan
metode
komunikasi
tentang
asuhan
keperawatan kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan keperawatan perlu suatu perencanaan yang baik. Misalnya, semua klien pasca operasi memerlukan suatu pengamatan tentang pengelolaan cairan
dan
nyeri.
Sehingga
semua
tindakan
keperawatan
harus
distandarisasi. distandarisasi. Standar tindakan t ersebut dapat dibaca di Standar Asuhan Keperawatan (SAK)) atau Standar Operasional (SOP) (Nursalam, 2001). Rencana keperawatan untuk klien cidera kepala adalah :
1.
Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Tujuan: Mempertahankan Mempertahankan tingkat kesadaran Kriteria hasil: Tanda vital dalam batas normal (Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 60-100 60-100 x/mnt, x/mnt, suhu 36,5-37,5 °C, °C, respirasi respirasi 16-20x/mnt) 16-20x/mnt) tidak ada tanda-tanda peningkatan Tekanan intrakranial (TIK).
dan
25
Intervensi : a. Tentukan faktor-faktor yg
menyebabkan koma/penurunan koma/penurunan
perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan Tekanan intrakranial (TIK). Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya
menunjukkan
setelah
perlunya
serangan
pasien
awal,
dirawat
di
perawatan intensif. b. Pantau /catat /catat status neurologis neurologis secara teratur teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. Rasional
:
Mengkaji
tingkat
kesadaran
dan
potensial
peningkatan Tekanan Intracranial (TIK) dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. c. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. d. Pantau tanda-tanda vital: Tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, suhu. Rasional : mengetahui keadaan klien secara umum e. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi terintegr asi dengan perfusi jaringan.
26
f.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, kenyamanan, seperti seperti lingkungan yang tenang. Rasional : Memberikan ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan Tekanan Intracranial (TIK).
g. Bantu pasien untuk untuk menghindari menghindari /membatasi batuk, batuk, muntah, mengejan. Rasional
:
Aktivitas intrathorak
ini
akan
dan
meningkatkan
intraabdomen
tekanan
yang
dapat
meningkatkan Tekanan Intracranial (TIK). h. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang indikasi/ yang dapat ditoleransi. ditoleransi. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi oedema atau resiko terjadinya peningkatan Tekanan Intracranial (TIK). i.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral.
j.
Berikan oksigen oksigen tambahan sesuai sesuai indikasi. indikasi. Rasioanal : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan Tekanan Intacranial (TIK).
27
k. Berikan obat sesuai indikasi Rasional : mempercepat proses penyembuhan.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. trakeobronkhial. Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi : bebas sianosis, GDA dalam batas normal Intervensi : a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. pernapasan. b. Pantau dan catat kompetensi kompetensi reflek gag/menelan dan dan kemampuan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi. c. Angkat kepala tempat tidur sesuai sesuai aturannya, aturannya, posisi miirng miirng sesuai indikasi. d. Anjurkan pasien untuk untuk melakukan napas dalam dalam yang efektif bila pasien sadar. e. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. f.
Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi hipoventilasi dan dan adanya
g. Pantau analisa gas darah, darah, tekanan oksimetri h. Lakukan ronsen thoraks ulang. i.
suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
j.
Berikan oksigen. oksigen.
28
k. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi Rasional : a. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. b. Kemampuan memobilisasi memobilisasi atau atau membersihkan sekresi penting penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi. c. Untuk memudahkan memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru/ventilasi paru paru dan menurunkan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. d. Mencegah/menurunkan Mencegah/menurunkan atelektasis. e. Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan. f.
Untuk mengidentifikasi mengidentifikasi adanya adanya masalah masalah paru seperti atelektasis, atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
g. Menentukan kecukupan pernapasan, pernapasan, keseimbangan keseimbangan asam asam basa dan dan kebutuhan akan terapi. h. Melihat kembali keadaan keadaan ventilasi ventilasi dan tanda-tandakomplikasi tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
29
i.
Memaksimalkan Memaksimalk an oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
j.
Walaupun
merupakan
kontraindikasi
pada
pasien
dengan
peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Tujuan: Mempertahankan Mempertahankan normotermia, normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat pada waktu Intervensi : a. Berikan perawatan perawatan aseptik dan antiseptik, antiseptik, pertahankan pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. b. Observasi daerah kulit yang yang mengalami kerusakan, kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum. e. Berikan antibiotik sesuai indikasi
30
Rasional : untuk mencegah terjadinyanya infeksi nosokomial dan pencegahan terhadap komplikasi.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan Penurunan neuromuskuler dan immobilisasi. Tujuan : klien dapat mengerakkan kaki dan tangan Kriteria hasil : -
mempertahankan mempertaha nkan pergerakan sendi secara maksimal
-
Integritas kulit utuh
-
Kekuatan otat maksimal
Intervensi : a. Kaji kembali dan kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi b. Monitor fungsi motorik dan dan sensorik setiap hari c. Lakukan latihan ROM secara pasif setiam 4 jam d. Ganti posisi setiap 2 jam sekali e. Gunakan bed board, foot board f.
Koordinasika aktivitas dengan ahli fisioterapi
g. Observasi keadaan kulit kulit seperti adanya kemerahan,lecet kemerahan,lecet pada saat merubah posisi atau memandikan. h. Lakukan pemijatan / mesage pada bagian tulang yang menonjol seperti pada coksigis,skapula,tumit,dan coksigis,skapula,tumit,dan siku. Rasional : a. Mengidentifikasi Mengidentifikasi masalah masalah utama terjadinya gangguan mobilitas fisik. b. Menentukan kemampuan mobilisasi c. Mencegah terjadinya kontraktur
31
d. Penekanan yang teru menerus menimbulkan iritasi dan dekubitus e. Mencegah kontraktur f.
Kolaborasi penanganan penanganan fisioterapi
g. Mencegah secara dini terjadi dekubitus h. Mencegah terjadinya dekubitus.
5. Resiko defisit volume cairan b.d. terapi deuretik, pembatasan cairan Tujuan : volume cairan klien dapat seimbang Kriteria hasil : -
Berat badan stabil
-
Intake dan output cairan seimbang
-
Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
Intervensi : a. Monitor tanda-tanda vital b. Monitor intake dan output cairan c. Monitor hasil laboratorium, laboratorium, elektrolit, hemotokrit. d. Monitor tanda-tanda dehidrasi e. Berikan cairan pengganti melalui oral atau parenteral. Rasional : a. Mengetahui keseimbangan cairan, penanganan lebih. b. Hemotokrit yang meningkat berarti cairan lebih pekat. c. Indikator kekurangan cairan d. Mengganti cairan yang hilang.
32
6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kerusakan kognitif, sensorik, kerusakan memori, paralisis, menurunya neuromuskular. Tujuan : klien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri Kriteria hasil : -
Pasien mampu melakukan perawatan diri eperti mandi, sikat gigi, cuci rambut, berpakaian, ke toilet.
-
Kognitif baik, sensorik normal, tidak terjadi paralisis dan kekuatan otot normal.
Intervensi : a. Identifikasi kemampuan yang dapat dapat dilakukan dilakukan oleh oleh klien. b. Bantu klien klien secara bertahap kebutuhan perawatan perawatan diri klien. klien. c. Kolaborasi dengan fisioterapi fisioterapi untuk untuk menentukan aktivitas yang yang cocok cocok untuk klien. d. Anjurkan klien untuk mencoba kemampuan melakukan perawatan diri jika memungkinkan. memungkinkan. Rasional : a. mengetahui sampai mana kemampuan klien. b. Memenuhi kebutuhan perawatan diri klien. c. Menentukan kemampuan dan tehnik adaptasi. d. Melatih klien untuk mandiri.
7. Resiko injuri berhubungan dengan kerusakan persepsi sensori, gelisah, gangguan fungsi motorik, kejang. Tujuan : tidak terjadi injuri pada k lien
33
Kriteria hasil : -
injuri tidak terjadi
-
kejang dapat dikontrol
-
orientasi dan persepsi pasien baik.
Intervensi : a. sediakan alat-alat alat-alat untuk penanganan kejang. Misalnya Misalnya obat-obatan suction b. jaga kenyamanan lingkungan, lingkungan, tidak tidak berisik. berisik. c. Tempatkan barang-barang yang berbahaya seperti kaca, gelas, larutan antiseptik. d. Gunakan tempat tidur dengan penghalang penghalang dan roda tempat tempat tidur dalam keadaan terkunci. e. Jangan tinggalkan pasien sendiri dalam keadaan kejang. Rasional : a. Aktivitas kejang dapat menimbulkan injuri. b. Banyaknya stimulus meningkatkan rasa frustasi frustasi pasien. pasien. c. Menghindari trauma akibat benda-benda disekelilingnya. disekeliling nya. d. Mencegah terjadinya trauma. e. Penanganan lebih cepat cepat dan mencegah terjadihnya trauma.
34
2.2.4. Implementasi Tindakan keperawatan (implementasi) adalah deskripsi untuk perilaku positif yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan. (Nursalam, 2001). Komponen tahap implementasi yaitu : a. Tindakan keperawatan keperawatan mandiri (Independent) (Independent) Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya. b. Tindakan keperawatan saling saling ketergantungan (Interdependent) (Interdependent) Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama tim keperawatan keperawatan dengan tim kesehatan lainnya (dokter, f isioterapi, ahli gisi, dll). c. Rujukan atau ketergantungan ketergantungan (dependent). (dependent). Adalah tindakan keperawatan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lainnya (dokter, psikiater, ahli gisi, dll). Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan menfasilitasi koping. Pelaksanaan dari perencanaan asuhan keperawatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan kondisi pasien (Nursalam, 2001).
35
2.2.5. Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang ter jadi jadi selama
tahap
pengkajian,
analisa,
perencanaan,
dan
pelaksanaan
tindakan. evaluasi sebagai sesuatu yang direncanakan, dan perbandingan yang
sistematik
pada
status
kesehatan
klien.
Dengan
mengukur
perkembangan klien dalam mencapai suatu tujuan, maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu dievaluasi dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluasi adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat dicapai secar efektif (Nursalam, 2001). Adapun kriteria kriteria evaluasi yang yang diharapakan yaitu: 1. Pembersihan Pembersih an jalan nafas menjadi efektif 2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi 3. Klien dapat melakukan melakukan aktivitas sehari-hari sehari-hari secara mandiri 4. Rasa cemas dapat teratasi 5. Pengetahuan Pengetahu an klien tentang proses penyakit dan pengobatan menjadi bertambah.
36