LAPORAN FARMASI KLINIK
ANALISA DRP KASUS CEDERA KEPALA BERAT DAN FRACTUR CRURIS PASIEN CRURIS PASIEN IMC
Pembimbing : Dra. Inayati, M.Si., Apt
Oleh : KELOMPOK A Ndaru Setyaningrum
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PERIODE FEBRUARI-MARET PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER RS PKU MUHAMMADIYAH MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2010
Analisa DRP Kasus Cedera Kepala Berat dan Fraktur Cruris Pasien IMC
Pendahuluan
Cedera kepala merupakan keadaan pasien yang mengalami riwayat benturan di kepala atau adanya luka di kulit kepala atau menunjukkan perubahan kesadaran setelah cedera tertentu (Jennett dan MacMillan, 1981). Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi tetapi diseba disebabka bkann oleh oleh seran serangan gan/be /bentu nturan ran fisik fisik dari dari luar, luar, yang yang dapat dapat mengur mengurang angii atau atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada kepala (Anonim, 2006). Fraktur cruris
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai tekanan yang lebih besar dari yang dapat ditahannya (Smeltzer S., 1997). Klasifikasi
Secara umum cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu: 1. Berdasarkan mekanisme terbagi atas: •
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul.
•
Cedera tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasark Berdasarkan an morfologi morfologi •
Fraktur tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/linear, multiple dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
•
Lesi intrakranial Lesi intrakranial dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
3. Berdasarkan tingkat keparahan Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala yang tersaji dalam tabel berikut: Tingkat keparahan cedera kepala
GCS score
Ringan Sedang Berat
13-15 9-12 8 atau kurang
Etiologi
Penyebab cedera kepala diantaranya adalah: •
Kecelakaan sepeda motor
•
Jatuh
•
Pukulan keras
•
Luka tembakan
Patofisiologi
Cedera primer Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen stukrtur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer dapat diklasifikasikan secara umum sebagai concussive/compressive (misal pukulan benda tumpul, luka penetrasi peluru) dan akselerasi/deselerasi (misal pergerakan otak akibat kecelakaan bermotor). Luka primer terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka memar, hematoma) atau difusse. Cedera sekunder Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera otak primer dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen di CNS. Hipotensi selama periode awal pasca trauma merupakan penyumbang utama terhadap ketidakseimbangan yang terjadi dan faktor yang menentukan outcome. Hasil akhir dari ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder. Bagan berikut merupakan skema sederhana dari proses luka sekunder dan hubungan timbal baliknya.
Presentasi klinik •
Umum : derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak berespon sama sekali
•
Gejala : amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing yang bertambah, sakit kepala sedang sampai berat, kelemahan anggota badan, atau paresthesia mungkin mengindikasikan cedera yang lebih berat
•
Tanda : CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang mungkin mengindikasikan cedera yang lebih berat. Kemunduran status mental yang cepat sangat menandakan adanya lesi yang meluas dalam tengkorak
•
Tes laboratorium : ABG s (Arterial Blood Gas) mengindikasikan hipoksia (penurunan PaO2) atau hypercapnia yang menandakan gangguan ventilasi/pernafasan
•
Tes diagnosa lain : CT scan kepala merupakan alat diagnosa yang penting untuk mendeteksi adanya massa lesi
Untuk menentukan tingkat keparahan cedera kepala, digunakan Glasgow Coma Scale and Score (GCS)
Glasgow Coma Scale and Score Penampakan
Skala respon
Notasi score
Membuka mata
Spontan Untuk bicara Untuk nyeri Tidak ada Respon verbal Terorientasi Percakapan membingungkan Kata (tidak tepat) Suara (dapat dimengerti) Tidak ada Respon motorik Taat perintah Melokalisasi nyeri Pelenturan (normal) (abnormal) Mengulurkan Tidak ada Total score coma
4 3 2 1 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 3/15-15/15
Diagnosa
Kriteria diagnosa: Riwayat trauma kapitis
•
Sakit kepala/pusing, muntah, tidak sadar, amnesia, kesadaran menurun
•
Defisit neurologis fokal:
•
o
Lateralisasi : pupil anisokor, refleks cahaya menurun/hemiparesis/plegi, dll
o
Kejang
Gradasi cedera kepala:
•
o
Tingkat I : sadar penuh (dapat disertai sakit kepala, muntah, atau amnesia)
o
Tingkat II : tidak sadar tetapi masih dapat melaksanakan perintah sederhana, atau sadar penuh tetapi terdapat defisit neurologis
o
Tingkat III: tidak sadar dan tidak dapat melaksanakan perintah sederhana
o
Tingkat IV: mati otak
Pemeriksaan penunjang: Rontgen tengkorak; Angiografi karotis/vertebralis; CT scan; MRI; EEG Sasaran terapi 1.
Melancarkan jalan nafas (airway), menjaga pernafasan dan ventilasi (breathing) dan peredaran darah (circulation) selama periode awal resusitasi dan evaluasi
2.
Menjaga keseimbangan antara CD O 2 (cerebral oxygen delivery) dan CM O 2 (cerebral oxygen consumption)
3. Mencegah kejadian cedera neuronal sekunder 4. Mencegah dan atau mengobati komplikasi medis yang berhubungan Strategi terapi
1. Resusitasi awal (airway, perbaikan sirkulasi volume darah dan menjaga tekanan arteri sistolik) 2. Penanganan setelah resusitasi 3. Mengobati peningkatan tekanan intrakranial 4.
Mengobati dan profilaksis kejang pasca trauma
Penatalaksanaan terapi
Penatalaksanaan terapi untuk pasien yang tidak sadar (Standar Pelayanan Medik, 2009): 1. Suportif ABC a.
A airway (jalan nafas)
b.
B breathing (pernafasan)
c.
C circulation (sirkulasi/peredaran darah) i. Mengatasi syok hipovolemik ii. Infus dengan cairan kristaloid :
Ringer laktat
NaCl 0,9%; D5%; 0,45 saline
Infus dengan cairan koloid
Transfusi darah
2. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial a. Manitol 0,5-1 gr/kgBB, diberikan dalam waktu 20 menit diulangi tiap 4-6 jam b. Furosemid 1-2 mg/kgBB c.
Hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO 2 25-30 mmHg
3. Koreksi gangguan elektroleit asam basa 4. Antikonvulsan bila perlu 5. Antibiotik profilaksis 6. Nutrisi Algoritma manajemen TBI (Traumatic Brain Injury) akut (Dipiro, 2005)
Evaluasi dan monitoring
Umum •
GCS : Pemantauan setiap jam pada periode awal, kemudian frekuensi pemantauan diturunkan sesuai dengan tingkat stabilitas status neurologic
•
Tanda-tanda vital (TD; HR; RR; suhu). Catat setiap jam pada periode awal, frekuensi dapat diturunkan jika kondisi neurologic telah stabil
•
Output urine. Catat setiap jam pada periode awal, frekuensi dapat diturunkan jika kondisi neurologic telah stabil
Resiko peningkatan intracranial pressure (ICP) •
Saturasi oksigen arteri, monitoring terus selama masih di ruang intensif
•
ICP (intracranial pressure ) dicatat setiap jam, frekuensi diturunkan jika ICP telah stabil (<20mmHg)
•
CCP (central perfusion pressure ) dicatat setiap jam, frekuensi diturunkan jika CCP telah stabil (>60mmHg)
Tes laboratorium •
Konsentrasi etanol dan skrining obat dalam urin
•
ABG (arterial blood gas ) monitoring minimal setiap hari selama intubasi, diulangi jika perlu berdasarkan instabilitas paru-paru yang membutuhkan perubahan setting ventilator
•
CBC (complete blood count ) monitoring setiap hari selama di ruang intensif
•
Serum elektrolit (Na, K, Cl) monitoring setiap hati selama di ruang intensif
•
Mineral (Mg, Ca, P) monitoring setiap hari sampai konsentrasi stabil
Prosedur radiologi •
CT scan setelah resusitasi awal dilakukan scan ulang apabila perlu berdasarkan derajat instabilitas neurologic (misal penurunan Glasgow Coma Scale)
Form pemantauan pasien
1. Identitas Pasien Nama : Slamet Setiawan No RM: Ruang : IMC Arofah Dokter : dr. Andi dr. Kun
Umur : 38th BB : TB:Alergi obat : Tanggal masuk : 7 Feb 2010 Alasan keluar : pasien masih dirawat
2. Kondisi Pasien Keluhan utama : pasien tidak sadar Riwayat penyakit : Riwayat pengobatan : -
Diagnosa : CKB Riwayat penyakit keluarga : Pekerjaan/life style : pekerja lepas
3. Tanda Vital Tanda vital TD (mmHg)
Tanggal 07/02/10 136/72
08/02/10 105/72
Suhu (C) Nadi
37 102
367 102
4. Catatan Perkembangan Pasien
09/02/10 Tidak ada data 36 110
10/02/10 120/80 365 73
11/02/10 12/02/10 Tidak ada Tidak ada data data
Tanggal 07/02/10
Perkembangan pasien Di IGD
Pasca kecelakaan, nyeri kaki kanan Diagnosa : CKB Fr. Cruris
Tindak lanjut CT scan, thorax Inj Ceftriaxone 2gr; ATS 1500 UI; Ketorolac 30mg; Valium Infus RL; Cepezet 1 amp im Pasang spalk
Perawatan di IMC
pagi 14.40
17.30 23.30
Hb=15,5 ;Al=23,9; At=315; Hmt=45 Pernafasan normal; Kesadaran terpengaruh CPZ inj Pasien gelisah; TD=130/70; HR=120 CT scan:udem cerebri(+); fraktur os petrosum kanan&fossa cerebri; meda ham.paenocerebri Pasien masih gelisah dan teriak2 Pasien gelisah teriak2 TD=122/80 N=95x/menit T=36; N=102; TD=105/72 Pasien tersedasi CPZ dan valium Pernafasan normal Tersedasi CPS dan valium TD=117/76; HR=92
Inj Ceftriaxone dan Ketorolac 30mg CPZ terus im 1 amp dan Ketorolac 30mg Oksigenasi dilanjutkan
Valium 5mg iv pelan Ekstra inj CPZ 1 amp O2 3liter/menit 08/02/10 Terapi dilanjutkan (injeksi Pagi Ceftriaxone 1gr; ketorolac 30mg) Infus : D ½ 5; RL (3x1); Susu Sore (3x1); Sonde (3x1) Oksigenasi O 2 3liter/menit Kelola diet dan sonde Inj ketorolac 30mg; Ceftriaxone Malam Tersedasi CPZ Inj ketorolac 09/02/10 T=36; gelisah (-); afebris; hemodinamik Oksigenasi stabil Infus : RL; susu; jus Pasien sadar, mengeluh nyeri, hidung Obat : Ceftriaxone; Ketorolac buntu; pernafasan normal Sore pasien dipindahkan ke Arofah 10/02/10 Pasien di bangsal Arofah 10.00 Rencana ORIF (Fr.Cruris sin terbuka) Ceftriaxone 2x 1gram Pasien sadar; TD=120/80mmHg; T=36 5; Ketorolac 3x1 N=73; RR=18 Hb=11,2 PPt=16,9 Aptt=29,5 HbsAg=negatif 10.30 Cortidex 2amp; Narfoz 1amp; Di IBS ORIF infus FIMA; bupivacain; ketorolac 2amp;ceftriaxone 2amp 11/02/10 Pasien tidur Ceftriaxone 1gr (2xsehari); ketorolac 30mg (3xsehari) 12/02/10 Pasien tidur Ceftriaxone 1gr (2xsehari); Mengeluh nyeri perut ketorolac 30mg (3xsehari) Emosi tinggi, merasa lelah
5. Data Laboratorium Tanggal 07/02/10
Pemeriksaan WBC RBC Hb HCt PLT PPT APTT Imunologi (Hbs Ag) GDS
Hasil 23,9x10 3/mm3 3,11x106 /mm3 15,5 g/dL 44,7 % 315x103 /mm3 16,9 detik 29,5 detik Negatif 183 mg/dL
Nilai normal 4,5-11,0 x 10 3/mm3 4,5-5,5 x 10 6/mm3 12,0-17,0 g/dL 36-52 % 150-450 x 10 3/mm3 12-18 detik 20-40 detik <120 mg/dL
6. Pengobatan yang dilakukan Obat/infus/ lain Ceftriaxone ATS1500U I Ketorolac Cepezet im Valium5mg Infus RL Infus D ½ 5 Susu Jus Cortidex Narfoz Infus FIMA Bupivacain
07/02/10 08/02/10 09/02/10 10/02/10 11/02/10 12/0210 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √
√ √
√ √ √ √
√ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √
7. Monitoring Terapi Nama obat/ terapi Oksigenasi Infus RL Cefrtiaxone ATS Ketorolac Cepezet Valium
Indikasi
Aturan pakai
Suportif breathing individual Suportif circulation individual Antibiotik 1 gram 2x sehari Profilaksis tetanus im 1500 UI (di IGD) Analgetik 30 mg 3x sehari Gelisah/ansietas 25 mg (2x hari ke-1) Ansietas 5mg (2x hari ke-1)
Pemantauan yang diperlukan RR; saturasi O2 Keseimbangan cairan WBC; suhu
Hasil yang diharapkan Pernafasan normal
Gejala dan tanda tetanus
Homeostasis cairan WBC normal, infeksi sembuh Tidak terjadi tetanus
Skala nyeri (NRS)
Tidak nyeri
Kegelisahan pasien
Tidak gelisah
Ansietas pasien
Ansietas teratasi
Infus D5 ½ NS; susu, jus Cortidex Narfoz Bupivacain
Suportif nutrisi
individual
Inflamasi Profilaksis muntah Anestesi lokal
Keseimbangan cairan dan kalori pasien 10mg (ORIF) Inflamasi (fr.cruris) 2mg (ORIF) Muntah pasca bedah 0,25% Derajat nyeri selama dan (ORIF) pasca bedah
Cukup nutrisi; perbaikan kondisi Tidak inflamasi Tidak muntah Tidak nyeri
8. Hasil pemantauan terapi Nama obat/terapi
Pemantauan
7/2/10
8/2/10
Oksigenasi
RR; saturasi O2
RR;saturasi normal
RR;saturasi normal
O2 dihentikan, pernafasan normal
Infus RL
Keseimbangan cairan WBC; suhu Gejala dan tanda tetanus Skala nyeri (NRS) Kegelisahan; kesadaran Ansietas; kesadaran Keseimbangan cairan dan kalori Inflamasi (fr.cruris); antiemetik Muntah pasca bedah Derajat nyeri selama dan pasca bedah
Circulation
Circulation
Hemodinamik stabil
Ceftriaxone ATS Ketorolac Cepezet Valium Infus D5 ½ NS; susu, jus Cortidex Narfoz Bupivacain
terkendali Afebris
9/2/10
10/2/10
11/2
12/2
terkendali Afebris Afebris tetapi data WBC belum ada Tidak muncul gejala dan tanda tetanus
Belum sadar ( derajat nyeri tidak diketahui) Kesadaran Tersedasi terpengaruh Gelisah Tersedasi
Nyeri skala5-6 Sadar Sadar
Homeostasis cairan dan nutrisi cukup, kondisi membaik Terapi untuk bedah ORIF (tanggal 10/2/10)
Nyeri Nyeri Nyeri skala4-5 ↓ (-) Sejak tanggal 8/2/10 Cepezet dan valium tidak diberikan lagi Tidak diberikan lagi setelah keluar dari IMC Inflamasi/nyeri (-); Muntah (-) Mual(-); muntah (-) Tidur
Nyeri ↓
Nyeri (-)
Keterangan : ceftriaxone dan ketorolac diberikan sampai monitoring terakhir dilakukan (12/2)
Hasil pemantauan pemulihan neurologic pasien akibat cedera kepala (skala GCS) Penampakan
Skala respon 07/02
Membuka mata Respon
Spontan Untuk bicara Untuk nyeri Tidak ada Terorientasi
Pasien tidak sadar Buka
Keadaan pasien 08/02 09/02
Pasien Dapat membuka tersedasi mata spontan Cepezet dan valium Mampu bicara dan
verbal
Respon motorik/ gerak
Percakapan membingungkan mata(-) Kata (tidak tepat) Suara (dapat dimengerti) Respon Tidak ada verbal(-) Taat perintah Respon Melokalisasi nyeri gerak(-) Pelenturan (normal) (abnormal) Mengulurkan Tidak ada Keadaan pasien : telah sadar tgl 9/2/10 jam 07.00
mengutarakan maksudnya dengan jelas (terorientasi) Dapat duduk serta mampu melokalisasi nyeri
Profil obat
1. Ceftriaxone Indikasi
: terapi infeksi tulang dan joint; penggunaan profilaksis bedah
Mekanisme
: menghambat sintesis dinding sel bakteri
Peringatan
: berhubungan dengan peningkatan INR terutama pada pasien defisiensi nutrisi, penyakit hati atau renal
ES
: rash, diare, eosinophilia, trombositosis, leukopenia
IO
: warfarin, dikumarol, probenesid, sulfinpirazone
KI
: hipersensitif, hiperbilirubinemia pada neonatus
Dosis
: arthritis (septic) iv 1-2 gr 1x sehari ; profilaksis bedah 1gr 30menit sampai 2jam sebelum pembedahan
2.
Ketorolac Indikasi
: manajemen jangka pendek (≤5hari) nyeri sedang sampai berat
Mekanisme
: menghambat sintesis prostaglandin
Peringatan
: peningkatan resiko kejadian kardiovaskuler, memperlama waktu perdarahan, dapat meningkatkan resiko iritasi gastrointestinal, ulser, perdarahan dan perforasi, pasien gangguan fungsi hati
ES
: pusing, nyeri perut, dispepsiam, mual
IO
: lithium, metotrexate, probenesid, salisilat, antikoagulan, ACEI, bbloker, karbamazepin, fenitoin
KI
: hipersensitif, riwayat maupun PUD aktif, pasien terduga mengalami perdarahan cerebrovaskuler, hamil trimester ketiga
Dosis 3.
: iv 30mg setiap 6 jam
ATS (Anti Tetanus Serum) Indikasi
: profilaksis dan pengobatan tetanus
Mekanisme
: imunisasi pasif untuk tetanus
Peringatan
: hipersensitif, pasien trombositopenia atau gangguan koagulasi
ES
: nyeri (lokal), eritema, demam, urtikaria, angioedema, reaksi anafilaksis
4.
IO
:-
KI
: hipersensitif
Dosis
: im profilaksis 250 UI; terapi tetanus 5000-10.000 UI
Cepezet (Klorpromazin hidroklorida) Indikasi
: neurosis, gangguan SSP yang membutuhkan penenang, sedasi, membantu terapi tetanus
5.
Mekanisme
: mengeblok reseptor dopaminergik mesolimbik pada post sinaptik
Peringatan
: pasien kejang, supresi sumsum tulang, penyakit hati parah, hipotensi
ES
: hipotensi postural, takikardi, dizziness, drowsiness, akathisia, kejang
IO
: delavirdine, fluoxetin, miconazol, analgetik opiat, etanol, TCA
KI
: hipersensitif, depresi CNS parah, koma
Dosis
: inisial 25 mg, dapat diulang (25-50mg) dalam 1-4 jam
Valium (Diazepam) Indikasi
: manajemen ansietas, etanol withdrawal sindrom, relaksan otot skeletal, kejang
Mekanisme
: peningkatan penghambatan efek GABA pada exitabilitas neuronal
Peringatan
: pasien obes, alkoholik, gangguan liver, gangguan renal, hipotensi akut, kelemahan otot, apnea, sedasi, dizziness, confusi, ataxia, depresi
ES
: hipotensi, vasodilatasi, agitasi, amnesia, ansietas, depresi, drowsiness, pusing
IO
: analgetik opiat, barbiturat, etanol, phenotiazine, antihistamin, fenitoin, fenobarbital
6.
KI
: hipersensitif, glaukoma sudut sempit, hamil
Dosis
: iv 2-10mg, dapat diulang dalam 3-4 jam jika diperlukan
Cortidex (dexametason) Indikasi
: antiinflamasi, edema cerebral, antiemetik
Mekanisme
: mengurangi inflamasi dengan penghambatan migrasi neutrofil
Peringatan
: pasien gangguan thyroid, hati, renal, penyakit kardiovaskuler, diabetes, gangguan gastrointestinal
ES
: aritmia, bradikardi, CHF, edema, hipertensi, depresi, pusing, euphoria, peningkatan ICP, kejang
IO
: CCB, siklosporin, estrogen, NSAID, neuromuskular bloker, barbiturat, INH
7.
KI
: hipersensitif, infeksi fungi sistemik
Dosis
: 0,75-9mg/hari dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam
Narfoz (ondansetron) Indikasi
: mencegah mual dan muntah pasca operasi
Mekanisme
: antagonis reseptor 5HT-3 selektif
Peringatan
: tidak menstimulasi lambung atau peristaltik usus
ES
: pusing, fatigue, konstipasi, drowsiness, diziness, ansietas
IO
: apomorphin, karbamazepin, phenobarbital, fenitoin
KI
: hipersensitif
Dosis
: 4 mg dosis tunggal, 30menit sebelum akhir dari anestesi
8. Bupivacain Indikasi
: anestesi lokal
Mekanisme
: mengeblok inisiasi dan konduksi impuls saraf
Peringatan
: pasien gangguan hati, disfungsi kardiovaskuler, lansia
ES
: hipotensi, bradikardi, palpitasi, heart block, ansietas, gelisah
IO
:-
KI
: hipersensitif
Dosis
: 0,25% infiltrasi secara lokal, maksimum 175mg
9. Infus RL Komposisi
: Per 500ml NaCl 3g; KCl 0,15g; CaCl 2 dihidrat 0,1g; Na laktat 1,55g
Indikasi
: terapi untuk mengatasi deplesi volume berat saat tidak dapat diberikan rehidrasi oral
IO
: preparat K dan Ca
KI
: hipernatremia
Dosis
: individual
10. Dextrose
5 ½ NS
Komposisi
: Per 500ml Glukosa anhidrat 25g; NaCl 2,25g
Indikasi
: penggantian cairan dan kalori
Peringatan
: kecepatan infus yang lambat, monitor kadar glukosa darah dan urin. Hentikan terapi jika terjadi trombosis
ES
: demam, infeksi atau jaringan nekrosis pada tempat suntikan, trombosis vena atau phlebitis di lokasi suntikan, hipernatremia
IO
: kortikorsteroid atau kortikotropin, vit B kompleks
KI
: sindroma malabsorbsi glukosa-galaktosa, koma diabetikum
Dosis
: individual
11. Susu; jus, sonde Indikasi
: sebagai asupan nutrisi
Dosis
: individual
Pembahasan
Subjektif Pasien masuk rumah sakit tanggal 7 Februari 2010 akibat kecelakaan dalam kondisi tidak sadar. Kecelakaan merupakan penyebab utama kejadian cedera kepala, selain karena benturan keras, jatuh atau akibat luka tembakan. Pasien juga mengalami fraktur cruris (bagian kaki). Objektif •
Hasil pemeriksaan CT scan pasien mengalami EDH (perdarahan pada bagian epidural); udem cerebri (+); fraktur os petrosum kanan&fossa cerebri; meda ham.paenocerebri.
•
Pengukuran tanda vital pasien TD 136/72; T 37 0C; N 102x/menit dan RR 18x/menit.
•
Pemeriksaan laboratorium berupa CBC dan gula darah sewaktu (GDS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai WBC; nilai GDS tinggi tetapi masih dalam batas normal; nilai RBC rendah namun nilai Hb dan Hct normal. Hasil interpretasi klinik menyatakan bahwa pasien mengalami leukositosis, monositosis, eosinophilia, basophilia dan anisocytosis.
•
Diagnosa Pasien mengalami cedera kepala berat dan fraktur cruris. Penegakan diagnosa cedera kepala berat dapat dilakukan dengan GCS (Glasgow Coma Scale and Score ). Pasien
dinyatakan mengalami cedera kepala berat jika nilai GCS ≤ 8. Parameter yang diukur dalam skala ini adalah respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal dengan total score 15 poin. Selain cedera kepala, pasien juga didiagnosa mengalami fraktur cruris. Penegakan diagnosa terjadinya fraktur cruris berdasarkan hasil anamnesis dan pengamatan terhadap luka di kaki pasien. •
Terapi
Ketika di IGD, pasien mendapatkan terapi Inj Ceftriaxone 2gr; ATS 1500 UI; Ketorolac 30mg; Valium; Infus RL dan Cepezet 1 amp secara intramuskular di IGD. Ceftriaxone digunakan sebagai profilaksis sekaligus terapi infeksi. ATS digunakan sebagai terapi profilaksis tetanus yang disebabkan kecelakaan. Ketorolac untuk manajemen nyeri akut. Valium (diazepam) sebagai anti ansietas dan relaksan otot skeletal. Sedangkan Cepezet (Klorpromazin HCl) digunakan sebagai penenang dan sedasi pasien yang mengalami gangguan neuronal. Infus RL sebagai cairan rehidrasi parenteral untuk mendukung circulation
(peredaran darah) pasien. Sedangkan oksigenasi sebagai suportif airway dan
breathing dalam penatalaksanaan awal pasien cedera kepala yang
tidak sadar.
Selanjutnya pasien mendapatkan perawatan di ruang IMC. Jenis pengobatan yang diberikan adalah Ceftriaxone, ketorolac, cepezet dan valium. Selain terapi obat pasien juga mendapatkan suportif kristaloid berupa infus RL dan Dextrose 5 ½ NS serta terapi nutrisi berupa susu, dan jus. Oksigenasi terus diberikan untuk hiperventilasi dan mengendalikan saturasi karbondioksida jaringan. Ketika pasien telah sadar, dilakukan bedah ORIF untuk penanganan fraktur cruris pasien. Terapi yang diberikan untuk menunjang pembedahan yaitu Cortidex 2amp; Narfoz 1amp; infus FIMA; bupivacain; ketorolac 2amp; dan ceftriaxone 2amp. Cortidex sebagai antiinflamasi fraktur cruris dan akibat pembedahan. Narfoz (ondansetron) untuk profilaksis mual dan muntah pasca bedah. Infus FIMA sebagai suportif cairan selama dan setelah pembedahan. Bupivacain sebagai anestesi lokal. Ketorolac untuk manajemen nyeri pasca bedah dan ceftriaxone sebagai profilaksis infeksi akibat pembedahan. Selanjutnya setelah bedah ORIF, terapi ceftriaxone dan ketorolac dilanjutkan dengan frekuensi masing-masing 2xsehari dan 3xsehari melalui injeksi intravena.
Assessment Sesuai dengan SPM dalam penatalaksanaan cedera kepala akut, untuk pasien tidak sadar, tata laksana terapi yang dilakukan telah mendekati kesesuaian. 1.
Pasien telah mendapatkan terapi suportif ABC dalam resusitasi awal. Untuk suportif airway
dan breathing, pasien telah mendapat oksigenasi. Sedangkan untuk
circulation , pasien mendapat infus dengan cairan kristaloid 2.
Ringer Laktat.
Untuk mengendalikan tekanan intrakranial, dilakukan hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO 2 25-30mmHg. Namun pasien tidak mendapatkan manitol sebagai diuretik osmotik yang juga berfungsi dalam mengendalikan tekanan intrakranial. Pasien juga tidak memperoleh furosemid injeksi dalam penanganan udem cerebralnya. Tidak dilakukannya pemberian manitol tersebut diduga udem cerebral
tidak terlalu parah dan tekanan intrakranial tidak terlalu tinggi sehingga dapat dikendalikan hanya dengan melakukan hiperventilasi. Setelah perawatan selama 2 hari di IMC, pasien telah sadar dan menunjukkan tanda klinik yang membaik. Untuk perawatan pasien selanjutnya, dilakukan di bangsal Arofah sampai kondisi cedera mengalami pemulihan. 3.
Tidak dilakukan koreksi gangguan elektrolit asam basa pada pasien. Pemeriksaan lab yang telah terekam dalam RM pasien hanya pemeriksaan darah lengkap dan cek kadar glukosa darah. Namun hasil monitoring saturasi O 2 jaringan telah sesuai dengan rentang normal (90-95%). Nilai kecepatan respirasi (RR) juga menunjukkan nilai normal.
4.
Pada periode awal cedera kepala (hari pertama di IMC) pasien mengalami gelisah. Tidak ada indikasi terjadinya kejang akibat trauma kepala. Untuk mengatasi gelisah, dokter memberikan injeksi im Cepezet (Chlorpromazine hidrochloride 25mg). Setelah 3 jam pemberian obat tersebut, pasien kembali gelisah. Kemudian pasien mendapat terapi Valium (diazepam) 5mg iv pelan-pelan. Pemberian antikonvulsan dimaksudkan untuk mencegah kenaikan CMR O 2 (cerebral consumption oxygen) yang selanjutnya dapat terjadi kejang. Terapi insial untuk pasien dewasa adalah pemberian diazepam secara intravena dosis 5-40 mg (Dipiro, 2005). Hal yang harus diperhatikan dalam injeksi diazepam intravena adalah pemberian secara perlahan-lahan. Injeksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan resiko syncope, hipotensi dan apnoea. Pemberian diazepam secara infus tidak direkomendasikan sebab diazepam dapat mengalami presipitasi terhadap pelarut intravena (karena kelarutannya rendah) juga dapat teradsorbsi pada kemasan infus berbahan plastik (Injectable Drug Handbook, 1997).
5.
Terapi antibiotik digunakan ceftriaxone, golongan Cephalosporin. Indikasi infeksi pasien sesuai dengan pemilihan antibiotik. Pasien mengalami trauma akibat kecelakaan dengan dugaan infeksi di kulit, struktur kulit, tulang dan sendi, meningitis (pasien juga mengalami cedera kepala) dapat dipilih penggunaan ceftriaxone. Dosis yang diberikan di IGD sebesar 2 gram, selanjutnya pemberian dosis sebesar 1 gram selama masa perawatan. Ceftriaxone (golongan cephalosporin) merupakan antibiotik dengan model farmakokinetik-farmakodinamik tipe II. Bahwa antibiotik model ini untuk menghasilkan efek terapi yang optimal, diperlukan kadar obat di atas MIC dengan memaksimalkan durasi paparan antibiotik. Sehingga pemberian cephalosporin secara ideal adalah dengan infus intravena.
Pasien mendapatkan terapi Ceftriaxone (dalam profilaksis bedah) dosis 2 gram. Pemberian dosis besar untuk antibiotik model farmakokinetik-farmakodinamik model II dinilai kurang tepat (dosis terlalu besar). Pemberian dosis cukup di atas MIC secara infus intravena akan menghasilkan respon terapi yang lebih optimal. 6.
Pemberian nutrisi dilakukan pada hari kedua di IMC. Untuk hari pertama, nutrisi pasien hanya diberikan dextrose kadar 5% pada periode akhir resusitasi. Nutrisi yang berikan berupa susu, sonde dan jus. Bukti menunjukkan bahwa pemberian nutrisi tahap awal pada cedera kepala berhubungan dengan outcome yang lebih baik untuk survival dan disability.
Drug Related Problem
Jenis Drug Related Problem Problem (kategori DRP)
Penilaian
Membutuhkan obat tetapi tidak menerima Menerima obat yang tidak ada indikasi Menerima obat salah Dosis kurang (subterapi)
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Dosis berlebih Mengalami ADR
Ada Ada (efek samping potensial terjadi)
Non compliance
Tidak ada
a. DRP aktual Dosis berlebih •
Tujuan pemberian ATS bukan sebagai pengobatan tetapi sebagai profilaksis sebab pasien belum menunjukkan gejala dan tanda mengalami tetanus. Gejala tetanus yang paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trimus) karena yang pertama tersernag adalah otot rahang (Anonim, 2007). Dosis pemberian ATS pasien dewasa untuk profilaksis adalah 250 UI . Sedangkan pasien mendapatkan injeksi ATS sebanyak 15r00 UI (6x dosis lazim).
•
Dosis ceftriaxone 2gram melebihi anjuran dosis untuk profilaksis bedah yakni cukup 1gram (DIH hal.296).
Mengalami ADR •
Penggunaan ketorolac untuk manajemen nyeri jangka pendek (≤5hari). Pasien telah mendapatkan terapi ketorolac lebih dari 5 hari. Pada monitoring hari keenam, keluarga pasien menyatakan bahwa pasien mengeluh nyeri perut. Penggunaan ketorolac jangka panjang dapat meningkatkan resiko kejadian gastrointestinal yang
tidak dikehendaki. Informasi dari keluarga pasien, bahwa pasien sudah tidak mengeluh nyeri akibat fraktur maupun trauma. Sehingga penggunaan ketorolac sebaiknya dihentikan segera untuk menghindari perdarahan/ulser gastrointestinal. b. DRP potensial •
Penggunaan ketorolac menjadi peringatan untuk pasien yang terduga mengalami perdarahan cerebrovaskuler. Pasien berdasarkan hasil CT scan mengalami perdarahan epidural (EDH). Sehingga perlu dilakukan monitoring perdarahan cerebrovaskuler dengan melakukan CT scan kembali.
•
Penggunaan dexamethason bersama NSAID dan salisilat berpotensi meningkatkan kejadian gastrointestinal yang tidak diharapkan. Sehingga perlu dilakukan monitoring keadaan GI
Plan Rekomendasi berdasarkan problem terapi pasien: •
Penghentian terapi ketorolac, sebab ketorolac tidak dapat digunakan dalam manajemen nyeri jangka panjang ( ≤ 5hari). Informasi keluarga pasien menyatakan bahwa pasien juga mengeluh nyeri perut.
Monitoring yang perlu dilakukan: •
Dilakukan pemantauan terhadap efek samping obat yang potensial terjadi (>10% dengan sumber DIH) Nama obat Cefrtiaxone ATS
Efek samping potensial Nyeri, tenderness, eritema nyeri
Hasil Tidak ada Nyeri utama karena cedera (fraktur,
bukan akibat injeksi ATS) perut, Pasien mengeluhkan nyeri perut
Ketorolac
Pusing,
Cepezet Valium Cortidex Narfoz
dispepsia, mual Frekuensi tidak terdefinisi Frekuensi tidak terdefinisi Frekuensi tidak terdefinisi Pusing, kelelahan,
Tidak ada Tidak ada Emosi tidak stabil Pasien mengeluhkan kelelahan
Bupivacain
konstipasi Frekuensi tidak terdefinisi
Pasien mengeluh lemah (weakness)
Aturan pemakaian obat (pasca bedah)
Nama obat Ceftriaxone Ketorolac
Aturan pemakaian 2 x sehari 3 x sehari
I 08.00 08.00
Jam Pemberian II III 20.00 16.00
IV 24.00
Edukasi kepada pasien/keluarga pasien •
Penggunaan obat antibiotic ceftriaxone diminum sampai habis walaupun sudah merasakan kondisi yang lebih baik
•
Penggunaan obat pereda rasa sakit (ketorolac) diminum ketika merasa sakit saja. Apabila sudah tidak mengeluh sakit, pemakaian obat dapat dihentikan
•
Penggunaan obat ketorolac setelah makan, agar tidak timbul rasa perih di perut
•
Apabila merasakan nyeri di perut setelah penggunaan obat, harap menghubungi apoteker atau dokter yang bersangkutan
•
Apabila timbul infeksi/luka pada bekas operasi, harap memeriksakan diri ke dokter
•
Apabila rasa sakit tidak berkurang selama 3 hari mengkonsumsi obat, harap menghubungi apoteker atau dokter segera
•
Sebaiknya mengurangi pekerjaan yang terlalu berat untuk sementara waktu agar kondisi luka di kepala segera membaik
Daftar pustaka
Anonim, 1997, Australian Injectable Drugs Handbook , 1st Edition, p.126-127 Anonim, 2006, Types of Brain Injury, http://asramamedicafkunhas.blogspot.com/2009/05/cedera-kepala-traumacapitis.html, diakses tanggal 9 Februari 2010 Anonim, 2007, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, http://www.depkes.go.id/downloads/doen2008/puskesmas_2007.pdf, diakses tanggal 10 Februari 2010 Anonim, 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi , PT Infomaster, Jakarta Anonim, 2009, Standar Pelayanan Medik , RS PKU Muhammadiyah Yogyakarya
Dipiro, T. Joseph, et al., 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th Ed., Appleton and Lange : New York USA Jennett B., dan MacMillan R., 1981, Epidemiology of head injury cit Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2009, http://www.sign.ac.uk/pdf/sign110.pdf , diakses tanggal 9 Februari 2010 Lacy, C.F, et al., 2008, Drug Information Handbook , 17th Ed., Lexi-Comp : Ohio Smeltzer S., 1997, Buku Ajar Medikal Bedah, http://keperawatangun.blogspot.com/2007/07/fraktur-cruris.html, diakses tanggal 9 Februari 2010 Vanessa, D.A., 2009, Tetanus, http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-KasusTETANUS?secret_password=&autodown=pdf , diakses tanggal 10 Februari 2010