CEDERA KEPALA BERAT (CKB)
11:47 AM
KONSEP DASAR DAN PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT
usun Oleh : Warsono
NIP : 199001092012121002
RUMAH SAKIT PUSAT OTAK NASIONAL JAKARTA
2013
LANDASAN TEORI
A. DEFINISI CIDERA KEPALA
Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya.
Tindakan resusitasi (rangsang jantung), anamnesis (riwayat orang sakit dan penyakitnya pada masa lalu, atau mengenal sejarah suatu penyakit sampai ke titik dimana catatan itu diambil agar dapat ditegakkan diagnosa yang tepat untuk kepentingan terapi), dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cidera kepala menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.
Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cidera:
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter
Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)
2. Keparahan cidera
Ringan : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
Sedang : GCS 9 – 13
Berat : GCS 3 – 8
3. Morfologi
Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi, terbuka/tertutup.
Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral
Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.
B. KLASIFIKASI TINGKAT KESADARAN
Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.
a. Kompos metis (GCS 14-15)
Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal
b. Somnolen (GCS 13-11)
Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
c. Sopor atau Stupor (GCS 8-10)
Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
d. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.
e. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya. (Lumbatobing, 1998).
Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).
Glasgow Coma Scale (GCS) :
Respon
Nilai
a. Membuka mata
Spontan
Terhadap bicara
(Suruh pasien membuka mata)
Dengan rangsang nyeri
(Tekan pada saraf supraorbita atau kuku)
Tidak ada reaksi
(Dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)
4
3
2
1
b. Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi
(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia berada)
Kacau (confused)
(Dapat bicara dengan kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)
Tidak tepat
(Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak tepat)
Mengerang
(Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
Tidak ada jawaban
5
4
3
2
1
c. Respon motorik (gerakan)
Menurut perintah
(Misalnya : suruh pasien angkat tangan)
Mengetahui lokasi nyeri
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsang tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
Reaksi menghindar
Reaksi Fleksi (dekortikasi)
(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek keras, seperti bolpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak ada)
Reaksi ekstensi (deserebarsi)
(Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik pada pergelangan tangan)
Tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
Dalam banyak aspek, pengelolaan cidera kepala pada anak serupa dnegan dewasa. Namun dalam beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak terutama yang berusia 2 tahun ke bawah rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat setelah cidera kepala berat. Banyak dari komplikasi tersbut berkaitan dengan cidera sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia.
Mekanisme cidera kepala berat berupa dengan dewasa, namun anak yang tertabrak kendaraan 3 kali lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering, namun akibat jatuh tidak sesering dewasa. Walau begitu, derajat kerusakan yang diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.
C. TANDA DAN GEJALA CIDERA KEPALA BERAT
1. Gejala
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
2. Tanda
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
Perubahan kesadaran
Depresi
Latergi
Muntah (mungkin proyektif)
Ataksia atau cara berjalan tidak tetap
Gangguan menelan
Perubahan kesadaran sampai koma
Cidera orthopedic
Kehilangan tonus otot
Perubahan status mental
Cemas
Perubahan pupil
Mudah tersinggung
Kehilangan penginderaan
Delirium (suatu kondisi dimana kesadaran menjadi kabur dan disertai ilusi atau halusinasi)
Kejang
Kehilangan sensasi sebagian tubuh
Agitasi
Wajah menyeringai
Bingung
Respon menarik pada rangsang
Perubahan pola nafas
Nyeri yang hebat
Nafas bunyi rochi
Gelisah
Fraktur atau dislokasi
Gangguan rentang gerak
Gangguan penglihatan
Gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Gangguan kognitif
Afasia motoris atau sensoris
Bicara tanpa arti disartria anomia
D. ETIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
E. PATOFISIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT
Trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang.
Trauma Kepala
Gangguan auto regulasi
TIK meningkat Aliran darah otak menurun
Edema otak Gangguan metabolisme
O2 menurun.
CO2 meningkat.
Asam laktat meningkat
Metabolik anaerobik
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
CT-Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.
Foto tengkorak atau cranium
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.
Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
Cerebral Angiography:
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
G. KOMPLIKASI CIDERA KEPALA BERAT
Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
Diabetes Incipidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin (pitressin) 5 – 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 – 6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat ringannya hipernatremia.
Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.
Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.
Meningitis Ventrikulitis
Infeksi saluran kemih
Perdarahan gastrointestinal
Sepsis asam negatif
Kebocoran CSS
PENATALAKSANAAN
1. Konservatif:
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
d. Tindakan terhadap peningkatan TIK
Pemantauan TIK dengan ketat
Oksigenasi adekuat
Pemberian manitol
Penggunaan steroid
Peningkatan kepala tempat tidur.
Bedah neuro
e. Tindakan pendukung
Dukung ventilasi
Pencegahan kejang
Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
Terapi anti konvulsan
Klorpromazin : menenangkan pasien
Selang nasogastrik
2. Prioritas Perawatan:
a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
b. Mencegah komplikasi
c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
3. Tujuan:
a. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
b. Komplikasi tidak terjadi
c. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
d. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
e. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
5. Intervensi
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
b. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
c. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.
Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
d. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)
Tujuan :Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
e. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang
Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.
Rencana tindakan :
Bina hubungan saling percaya.
Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
f. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer
Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam
Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak, C.M dan Gallo, B.M. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Volume II. Jakarta: EGC
IOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Clasification (NOC).Secound Edition. Mosby Year Book, USA
IOWA Interventions Project. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). MOsby Year. USA
Long, C.B. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Bandung:Yayasan IAPK Padjajaran
NANDA.2005. Nursing Diagnosis : Deffinitions and Classification. Mosby Year Book. USA
Price, S.A dan Wilson, M.L. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta EGC
Saani, Syaiful. 2007. Cedera Kepala Pediatrik Berat Pertimbangan Khusus. Diambil pada: www.medilinux.glogspot.com
Smeltzer, Bare, 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Volume 3. Jakarta: EGC