Teknik budi daya
IKAN BAUNG
Dr. Ir. Usman Muhammad Tang, M.S.
PENERBIT KANISIUS
KATA PENGANTAR Keti Ketika ka pert pertam amba baha han n
pend pendud uduk uk bert bertam amba bah h
berd berdas asar arka kan n
dere derett ukur ukur,,
seda sedang ngka kan n
pertambahan bahan pangan (termasuk ikan) berdasarkan deret hitung, maka akan muncul berbag berbagai ai masala masalah h dalam dalam pengad pengadaan aan pangan pangan.. Pendud Penduduk uk bertam bertambah bah berart berartii kebutu kebutuhan han pangan bertambah, padahal di lain pihak tidak diiringi kemampuan reproduksi ikan di alam. Faktor-faktor penyebab terhambatnya reproduksi ikan adalah pencemaran domestik dan industri yang semakin marak. Pada kondisi demikian, budi daya perairan menjadi layak untuk dikembangkan. Di Indonesia, budi daya perairan yang berkembang adalah budi daya ikan introduksi seperti patin, bawal air tawar, nila gift, lele dumbo, dsb. Budi daya ikan lokal belum berkembang dengan baik. Sampai Sampai saat saat ini, ini, budi budi daya daya ikan ikan lokal lokal baru baru sebata sebatas s ikan ikan baung, baung, kelema kelemak, k, patin, patin, danjambal. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan segala daya upaya penulis mencoba mempublikasikan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek budi daya ikan baung. Buku ini sengaja dirancang dengan format ilmiah populer, agar bukan hanya kalangan praktisi saja yag dapat memanfaatkan, tetapi dapat juga dipakai oleh kalangan perguruan tinggi tinggi yang memang memang sangat sangat kekurangan kekurangan literatur literatur budi daya perairan perairan berbahasa berbahasa Indonesia, Indonesia, khususnya ikan lokal. Budi daya ikan baung ini dikaitkan dengan berbagai hasil penelitian, terutama penelitian penulis sendiri termasuk penulisan disertasi untuk meraih gelar Doktor di Institut Pertanian Bogor. Diterbitkannya buku ini berkat izin Tuhanjua, serta tidak terlepas dari bantuan berbagai piha pihak. k. Oleh Oleh kare karena na itu, itu, sudah sudah sepa sepant ntas asny nya a apab apabil ila a pada pada kese kesemp mpat atan an ini ini penul penulis is mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Kanisius yang bersedia menerbitkan, Mas Budi yang yang tela telah h memb memban antu tu dala dalam m peng penget etik ikan an,, dan dan Dr. Dr. Ridw Ridwan an Affa Affandi ndi yang yang senan senanti tias asa a memotivasi penulis. Dan yang paling utama adalah istriku Amnah Mahmud dan anakku Marwah Nabillah yang menjadi inspirator dan motivator penulis dalam rentak perjalanan berkarya. Semoga buku ini dapat menjadi pelipur lara serta mengobati rindu yang hilang akibat kesibukan kami. Disadari Disadari sepenuhnya sepenuhnya bahwa buku ini tentu masih jauh dari sempurna, sempurna, namun semoga semoga dapat diraih manfaat atas keberadaannya. Akhirnya, kata orang melayu :
Ikan baung digoreng empuk
Ikan malung dibuat kerupuk
Orang perikanan malu makan tak berlauk
Apakah lagi hidup terpuruk terpuruk Penulis
KATA PENGANTAR Keti Ketika ka pert pertam amba baha han n
pend pendud uduk uk bert bertam amba bah h
berd berdas asar arka kan n
dere derett ukur ukur,,
seda sedang ngka kan n
pertambahan bahan pangan (termasuk ikan) berdasarkan deret hitung, maka akan muncul berbag berbagai ai masala masalah h dalam dalam pengad pengadaan aan pangan pangan.. Pendud Penduduk uk bertam bertambah bah berart berartii kebutu kebutuhan han pangan bertambah, padahal di lain pihak tidak diiringi kemampuan reproduksi ikan di alam. Faktor-faktor penyebab terhambatnya reproduksi ikan adalah pencemaran domestik dan industri yang semakin marak. Pada kondisi demikian, budi daya perairan menjadi layak untuk dikembangkan. Di Indonesia, budi daya perairan yang berkembang adalah budi daya ikan introduksi seperti patin, bawal air tawar, nila gift, lele dumbo, dsb. Budi daya ikan lokal belum berkembang dengan baik. Sampai Sampai saat saat ini, ini, budi budi daya daya ikan ikan lokal lokal baru baru sebata sebatas s ikan ikan baung, baung, kelema kelemak, k, patin, patin, danjambal. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan segala daya upaya penulis mencoba mempublikasikan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek budi daya ikan baung. Buku ini sengaja dirancang dengan format ilmiah populer, agar bukan hanya kalangan praktisi saja yag dapat memanfaatkan, tetapi dapat juga dipakai oleh kalangan perguruan tinggi tinggi yang memang memang sangat sangat kekurangan kekurangan literatur literatur budi daya perairan perairan berbahasa berbahasa Indonesia, Indonesia, khususnya ikan lokal. Budi daya ikan baung ini dikaitkan dengan berbagai hasil penelitian, terutama penelitian penulis sendiri termasuk penulisan disertasi untuk meraih gelar Doktor di Institut Pertanian Bogor. Diterbitkannya buku ini berkat izin Tuhanjua, serta tidak terlepas dari bantuan berbagai piha pihak. k. Oleh Oleh kare karena na itu, itu, sudah sudah sepa sepant ntas asny nya a apab apabil ila a pada pada kese kesemp mpat atan an ini ini penul penulis is mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Kanisius yang bersedia menerbitkan, Mas Budi yang yang tela telah h memb memban antu tu dala dalam m peng penget etik ikan an,, dan dan Dr. Dr. Ridw Ridwan an Affa Affandi ndi yang yang senan senanti tias asa a memotivasi penulis. Dan yang paling utama adalah istriku Amnah Mahmud dan anakku Marwah Nabillah yang menjadi inspirator dan motivator penulis dalam rentak perjalanan berkarya. Semoga buku ini dapat menjadi pelipur lara serta mengobati rindu yang hilang akibat kesibukan kami. Disadari Disadari sepenuhnya sepenuhnya bahwa buku ini tentu masih jauh dari sempurna, sempurna, namun semoga semoga dapat diraih manfaat atas keberadaannya. Akhirnya, kata orang melayu :
Ikan baung digoreng empuk
Ikan malung dibuat kerupuk
Orang perikanan malu makan tak berlauk
Apakah lagi hidup terpuruk terpuruk Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................ DAFTARISI................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .............................. ............... ............................... ..................... ..... BAB II MENGENAL IKAN BAUNG ................... .............. ..... A. Taksonomi................................................................ B.
Morfologi......'...........................................................
C. Distribusi Dis tribusi ............................. ............. ............................... ............................... ....................... ....... D. Pola Pertumbuhan .......................................... E. Tingkat Kematangan Kematangan Gonad ............. ............. F. Indeks Kematangan Gonad Gonad ................. ................. G. Fekunditas (Jumlah Telur)........ Telur).................. ............ H. Jenis Kelamin ...................................................... I.
Pakan dan Kebiasaan Makan ........... ...........
BAB III PEMBENIHAN.......................... PEMBENIHAN.......... ............................... ............................. ................... ..... A. Rancang Bangun .............................................. B.
Peralatan.....................................................................
C. Penyediaan Induk............................................. D. Penyediaan Pakan Alami.............. Alami........................ .......... 1.
Artemia..............................................................
2. Moina/Daphnia........................................ 3. Cacing Rambut Rambut (Tubifex sp.) sp.) .. E. Metode Pemijahan ......................................................................................................33 F. Perkembangan Larva ...............................................................................................35 G. Wadah Pemeliharaan Larva ............................................................................39 H. Kualitas Air ............... ......................... .................... .................... .................... .................... .................... ................... .................... .................... .................... .................40 ......40 I.
Penebaran
Larva.........................................................................................................41 J. Pemberian Pakan .....................................................................................................41 K. Penyiponan dan Penggantian Air .............................................................42
L. Transportasi Benin .....................................................................................................43 M. Analisis Usaha .................................................................................................................46 BAB IV PEMBESARAN IKAN BAUNG........................................................................49 A. Pembesaran Ikan dalam Keramba...........................................................49 1. Bentuk Karamba ................................................................................................49 2. Penempatan Karamba ................................................................................50 3. Penebaran Benih ................................................................................................52 4. Perawatan Karamba.......................................................................................53 5. Analisis Usaha ....................................................................^.................................53 B. Pembesaran Ikan di Kolam ..............................................................................55 1. Persyaratan Lokasi.........................................................................................55 2. Konstruksi Kolam ........................................................................................56 3. Persiapan Kolam................................................................................................56 4. Penebaran Benih ...........................................................................................56 5. Analisis Usaha......................................................................................................56 BAB V PENGELOLAAN PAKAN BUATAN..........................................................58 A. Kebutuhan Nutrien.................................................................................................58 1. Kebutuhan Protein........................................................................................58 2. Kebutuhan Karbohidrat...........................................................................59 3. Kebutuhan Lemak............................................................................................59
4. Kebutuhan Vitamin ........................................................................................59 5. Kebutuhan Mineral ........................................................................................60 B. Bentuk Pakan ....................................................................................................................60 C. Jumlah Pakan .............................................................................................................62 D. Waktu Pemberian Pakan E. Cara Pembesaran ............;.............................................„.„.„........................................63 F. Formulas! Pakan ............................................................................................................64 1. Cara Pembuatan Pellet...............................................................................66 2. Cara Pembuatan Pakan Lempengan ..........................................67 3. Cara Pembuatan Pakan Emuisi .......................................................68 4. Cara Pembuatan Pakan Larutan Suspensi .........................68 BAB VI PENYAKIT DAN PENGENDALIANNYA ..........................................69 A. Penyakit Parasit.............................................................................................................69 1. Penyakit yang Diakibatkan oleh Bakteri ............................69 2. Penyakit yang Diakibatkan oleh Jamur ................................70 3. Penyakit yang Diakibatkan oleh Protozoa ........................70 4. Penyakit yang Diakibatkan oleh Leamea...........................71 5. Penyakit yang Diakibatkan oleh Kutu Ikan
(Argulus)
......................................................................................................................71 6. Penyakit yang Diakibatkan oleh Gyrodactylus dan
Dactylogyrus ..............................................................................................72 B. Penyakit NonParasit...............................................................................................73 BAB VII PANEN DAN PASCAPANEN ...............................................................................74 A. Panen .74
.........................................................................................................................................
1. Cara Panen di Karamba ............................................................................74 2. Cara Panen di Kolam ...................................................................................75 B. Penanganan Pascaparien ......................................................................................75 1. Ikan Segar...................................................................................................................76 2. Ikan Asap.....................................................................................................................76 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................82
BAB I PENDAHULUAN Dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya petani/nelayan, kegiatan budi daya ikan merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Kegiatan budi daya beberapa jenis ikan, seperti ikan mas, nila, mujair, gurame, lele, dan patin sudah umum dikembangkan di masyarakat. Salah satu jenis ikan yang sangat potensial untuk dibudidayakan adalah ikan baung. Ikan baung adalah sejenis lele (catfish) yang hidup di perairan umum, seperti sungai (dari hulu sampai ke muara) dan danau. Di Indonesia, ikan baung cukup populer dan amat digemari oleh konsumen, khususnya di Sumatra dan Kalimantan karena berdaging tebal dan memiliki rasa yang khas. Harga satu kilogram ikan baung ukuran konsumsi (1/4 kg - 1 kg) adalah Rp 15.000,00 sampai Rp 40.000,00 sedangkan dalam bentuk ikan salai (asap) dapat mencapai Rp 90.000,00/kg. Karena nilai ekonomisnya tinggi, ikan baung senantiasa diburu dan ditangkap. Sampai saat ini, penyediaan ikan baung untuk konsumsi masih diperoleh dari penangkapan di alam. Ekploitasi alam tanpa memperhatikan kelestarian tentu akan menurunkan populasi ikan baung, bahkan dapat mengakibatkan kepunahan. Gejala kepunahan ikan baung sudah dirasakan oleh masyarakat Sumatra Tengah (Riau, Jambi, dan Bengkulu), Sumatra Selatan, dan Kalimatan. Untuk mencegah kepunahan ikan baung di alam bebas dan untuk meningkatkan pendapatan petani ikan, kegiatan budi daya merupakan alternatif yang dapat ditempuh oleh para petani ikan. Kegiatan budi daya ikan baung dapat menggunakan karamba ataupun di kolam tadah hujan. Usaha budi daya ikan baung tentu saja membutuhkan benih yang cukup dan bermutu. Ketersediaan benih yang cukup, selain untuk keperluan budi daya, dapat juga untuk cadangan benih di perairan umum, sehingga keberadaan ikan tersebut tetap lestari. Untuk itu, periu diupayakan usaha pembenihan antara lain melalui teknik pemijahan ikan dengan sistem rangsang hormon. Sub-Balai Penelitian Perikanan
Air Tawar (BEAT) Palembang
telah mencoba
memijahkan ikan baung secara buatan sejak tahun 1983 yang dilanjutkan pada tahun 1991. Tahun 1999 BBAT Sukabumi dan BBI Rumbai (Riau) juga telah berhasil memijahkan ikan baung dengan rata-rata produksi 20.000 - 40.000 benih setiap pemijahan. Hasil ini menunjukan adanya titik terang yang dapat diterapkan oleh para petani ikan secara luas. Kegiatan pembesaran ikan baung di karamba, terutama di Sumatra, Semenanjung Malaysia, dan Kalimantan, telah mulai dikembangkan. Hasil benih dari pembenihan buatan
tersebut tersebut temyata temyata belum juga memenuhi memenuhi kebutuhan, sehingga sehingga sebagian sebagian benih ditangkap ditangkap di alam yang kemudian diadaptasi dan dibudidayakan di karamba. Usaha pembenihan dan pembesaran ikan baung masih mengalami berbagai kendala, sehingga informasi tentang teknologi budi daya sangat diperlukan.
BAB II MENGENAL IKAN BAUNG Di Indonesia terdapat 9 famili ikan lele yang terdiri atas 142 spesies ikan. Tujuh famili di antaranya mempakan kelompok famili ikan yang hidup di air tawar, yaitu Aridae, Bagridae, Clariidae, Doiichthydae, Silluridae, dan Sisoridae. A. Taksonomi Ikan Ikan baung baung diklas diklasif ifika ikasik sikan an ke dalam dalam Phylu Phylum m Chord Chordata ata,, Kelas Kelas Pisces Pisces,, Sub-ke Sub-kelas las Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub-ordo Siluroidea, Famili Bagridae, Genus Macrones, Macrones, dan Spesies Macrones nemurus CV . (Saanin, 1968). Menurut Imaki et al. (1978), ikan baung dimasukkan dalam Genus Mystus dengan spesies Mystus nemurus CV. Sinonim Mystus nemurus adalah Bagrus nemurus CV., Bagrus hoevenii Blkr ., ., Bagrus sieboldi Bikr., Hemibagrus nemurus Bikr., Macrones nemurus Gunther., Macrones bleekeri Volza., Macrones howony Popla., Popla., dan Macrones borga Popla (Weber (Weber and de Beaufort, Beaufort, 1965). Di daera daerah h Karawa Karawang, ng, ikan ikan baung baung dikenal dikenal dengan dengan nama nama ikan ikan tagih tagih atau atau sengga senggal, l, sedangkan di Jakarta dan Malaysia dikenal sebagai ikan bawon, senggal, singgah, dan singah (Sunda/Jawa Barat); tageh (Jawa); boon (Serawak); niken, siken, tiken, tiken-bato, baungputih, dan kendinya (Kalimantan Tengah); baong (Sumatra) (Weber and de Beaufort, 1965; Djajadiredja et al., 1977). B. Morfologi Ikan baung mempunyai bentuk tubuh panjang, licin, dan tidak bersisik, kepalanya kasar dan depres dengan tiga pasang sungut di sekeliling mulut
Gambar 1. Ikan Baung (Mystus nemurus).
dan sepasa sepasang ng di lubang lubang pemafa pemafasan san;; sedang sedangkan kan panjan panjang g sungut sungut rahan rahang g atas atas hampir hampir mencapai sirip dubur. Pada sirip dada dan sirip punggung, masing-masing terdapat duri patil. Ikan baung mempunyai mempunyai sirip lemak (adipose fin) di belakang belakang sirip punggung punggung yang kira-kira kira-kira
sama sama dengan dengan sirip sirip dubur. dubur. Sirip Sirip ekor ekor berpin berpinggi ggiran ran tegak tegak dan ujung ujung ekor ekor bagian bagian atas atas memanjang memanjang menyerupai menyerupai bentuk bentuk sungut. sungut. Bagian Bagian atas kepala dan badan berwama berwama coklat coklat kehita kehitam-h m-hit itama aman n sampai sampai perten pertengah gahan an sisi sisi badan badan dan memuti memutih h ke arah arah bagia bagian n bawah bawah (Gambar 1). C. Distribusi Distribusi ekologis ikan baung, selain di perairan tawar, sungai, dan danau, juga terdapat di perairan payau muara sungai dan pada umumnya ditemukan di daerah banjir. Ikan baung berhasil hidup dalam kolam yang dasarnya berupa pasir dan batuan (Madsuly, 1977). Di Jawa Barat, ikan baung banyak ditemukan di su ngai Cidurian dan Jasinga Bogor yang airnya cukup dangkal (45 cm) dengan kecerahan 100 %. Ikan baung suka menggerombol di dasar perairan dan membuat sarang berupa lubang di dasar perairan yang lunak dengan aliran air yang tenang. Ikan baung menyukai tempat-tempat yang tersembunyi dan tidak aktif keluar sarang sebelum hari petang. Setelah hari gelap, ikan baung akan keluar dengan cepat untuk mencari mangsa, tetapi tetap berada di sekitar sarang dan segera akan masuk ke sarang bila ada gangguan. Distribusi geografis ikan baung, selain di perairan Indonesia, juga terdapat di Hindia Timur, Malaya, Indocina, dan Thailand. D. Pola Pertumbuhan Pola pertumbuhan ikan baung adalah allometrik (b > 3). Pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang badan. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, pertumbuhan ikan baung jantan berpola isometrik (b = 3), di mana pertambahan berat sebanding dengan pertambahan panjang badan. Ukuran Ukuran ikan baung berhubungan berhubungan dengan agresivit agresivitasnya asnya dalam mencari mencari makan dan kemata kematanga ngan n gonad. gonad. Karena Karena harga harga b di atas atas 3, maka maka pertum pertumbuh buhan an berat berat ikan ikan baung baung cendemng cendemng lebih cepat daripada daripada pertumbuh pertumbuhan an panjang panjang badan. Dengan demikian, demikian, faktor makana makanan n memega memegang ng perana peranan n yang yang sangat sangat penti penting. ng. Jika Jika ikan ikan baung baung semaki semakin n banyak banyak mendapat makanan, maka pertumbuhan beratnya semakin tinggi. Karena itu, ikan baung berukuran besar cenderung lebih agresif mencari makan sehingga pertumbuhannya berpola allometrik. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ikan baung adalah kematangan gonad. Ikan baung betina memiliki pola pertumbuhan allometrik. Hampir 77 % ikan baung betina mengandung telur sehingga berat telur tersebut mempengaruhi pola pertumbuhannya. Hal ini juga menyebabkan pola pertumbuhan ikan baung (jantan dan betina) berpola allometrik. Pada waktu musim memijah, pola pertumbuhan ikan baung betina bisa berbeda dengan ikan baung jantan.
E. Tingkat Kematangan Gonad Ikan baung jantan dan betina memiliki perkembangan gonad mulai ketika beratnya mencapai 90 g atau panjang badan total lebih dari 200 mm. Matang gonad ikan baung betina diperkirakan pada berat lebih dari 100 g. Pada umur berapa ikan baung mencapai ukuran tersebut belum dapat dipastikan.
Gambar 2. Morfologi Gonad Ikan Baung (A) TKG I, (B) TKG IV.
Berdasarkan laporan Madsuly (1977) yang memelihara ikan baung di kolam, ukuran 90 g dapat dicapai selama 4 - 6 bulan. Perbandingan antara gonad yang belum matang (TKG I) dan gonad yang matang (TKG IV) diperlihatkan pada Gambar 2. Bila kita membandingkan beberapa jenis ikan lain yang umum dipelihara di Indonesia, maka ukuran matang gonad (size at maturity) ikan baung termasuk cepat. Ikan lele (Glorias batrachus) mencapai matang gonad setelah berukuran 100 g atau lebih (Suyanto, 1982). Ikan mas mencapai matang gonad pada ukuran 60 - 150 g. Ikan patin (Pangasius sp.) mencapai matang gonad pada ukuran besar atau di atas 1.000 g (Bardach et ai, 1972). Demikian juga, jenis baung asli Amerika (Channel catfish: Ictalurus sp.) baru mencapai matang gonad pada ukuran 340 g. Ikan Mystus (Osteobagrus) aor mulai matang gonad pada ukuran panjang 840 mm dan semua ikan betina telah matang gonad pada ukuran 940 mm. Ikan baung yang hidup di danau Sipin dan danau Kenali mulai matang gonad pada ukuran panjang 205 mm dengan bobot 675 g. Untuk ikan baung betina dan ikan baung jantan mulai matang gonad pada
ukuran panjang 215 mm dengan bobot 68,5 g. Djajadiredja et al. (1977) mengemukakan bahwa ikan baung matang gonad pada ukuran panjang ± 320 mm. Di danau Sipin dan Kenali, ikan baung betina dengan tingkat kematangan gonad IV (matang) didapatkan pada bulan Oktober-Maret, sedangkan untuk ikan baung jantan dengan TKG IV hanya terdapat pada bulan Oktober-Desember. Bersamaan dengan tidak terdapatnya ikan baung jantan dan berkurangnya ikan baung betina yang matang gonad setelah bulan Desember, maka anak-anak ikan baung baru didapatkan pada bulan Januari. Ikan baung di Waduk Juanda dengan TKG IV ditemukan dalam bulan Oktober-Maret, sehingga anaknya baru didapatkan pada bulan Januari-Maret dengan ukuran panjang total 3,5 - 9,5 cm dan bobot 0,33 - 6,46 g. Berdasarkan laporan Alawi et al. (1990), ikan baung di perairan sungai Kampar (Riau) memijah pada sekitar bulan Oktober sampai bulan Desember. Hal ini merupakan fenomena umum karena pada saat itu biasanya musim hujan dan sebagian besar ikan di perairan umum memijah pada awal atau sepanjang musim hujan. Hal ini terjadi karena ikan yang akan memijah umumnya mencari kawasan yang aman dan banyak makanan. Kawasan seperti ini didapatkan pada kawasan rerumputan yang digenangi air pada saat musim hujan tiba. Demikaian juga jenis ikan baung dan jenis ikan catfish (dari Famili Siluridae, Clariidae, Pangasidae, Bagridae, Aridae, Ictaluridae) mencari tempat perlindungan dan membuat sarang bila melakukan pemijahan (Bardach et al., 1972). F. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Indeks Kematangan Gonad (IKG) bertambah besar bila TKG meningkat. Diperkirakan bahwa ikan baung sudah dapat mengeluarkan telur dengan nilai IKG antara 6 sampai 12. Nilai ini agak lebih rendah dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh Effendie (1979), yakni nilai IKG 19 ke atas ikan baru matang gonad. Karena ikan yang h idup di perairan tropis pada umumnya memijah sepanjang tahun, maka nilai IKG sering ditemukan lebih rendah pada saat ikan tersebut matang gonad. Hal ini sejalan dengan pendapat Nikolsky, dalam Effendie (1979), bahwa ikan yang hidup di daerah tropis pada umumnya dapat memijah sepanjang tahun dengan tipe pemijahan partial (tidak mengeluarkan telur seluruhnya pada saat pemijahan) sehingga IKG kecil. IKG ikan baung yang dipelihara di sungai dan di kolam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks Kematangan Gonad Ikan Baung yang Dipelihara di Sungai dan di Kolam dengan Pemberian Pakan yang Berbeda Kolam Sungai Pakan I kg (%) I kg (%) Pellet + Vit E (10 mg/100 g pakan) 3,24 – 5,04 3,39 – 4,07 Pellet + kerang (1 : 1) 5,32 – 7,12 5,17 – 5,85 Pellet + Teri (1 : 1) 3,13 – 4,93 4,57 – 5,25 Kerang + teri (1 : 1) 4,21 – 6,01 11,15 – 11,83 Sumber : Tang et al. (2000).
G. Fekunditas (Jumlah Telur) Fekunditas ikan baung berada pada rentangan 1.365 - 160.235 butir. Seperti yang dikatakan oleh Snyder (1983) bahwa fekunditas dipengaruhi oleh ukuran ikan (panjang dan berat) dan umur. Ikan yang berukuran besar cenderung memiliki fekunditas lebih besar daripada ikan yang berukuran kecil. Fekunditas yang terbesar adalah 160.235 butir yang terdapat pada ikan baung yang memiliki berat tubuh 2.752 g dan berat gonad 224 g. Fekunditas juga dapat dipengaruhi oleh fekunditas telur (Woynarovich and Horvarth, 1980). Pada umumnya, ikan yang berdiameter telur 0,8 - 1,1 mempunyai fekunditas 100.000 - 300.000 butir/kg berat ikan. Ikan baung mempunyai fekunditas lebih kecil daripada jumlah tersebut, yakni sekitar 60.000 butir/kg berat tubuh. Jika dibandingkan dengan fekunditas ikan channel catfish, fekunditas ikan baung jauh lebih besar. Fekunditas ikan catfish (baung putih asli Amerika) adalah sekitar 7.000 butir/kg berat tubuh (Busch, 1985). H. Jenis Kelamin Jenis kelamin ikan baung dapat diketahui dengan dua cara, yaitu dengan membelah perut dan memeriksa gonadnya dan dengan mengamati ciri-ciri morfologis. Gonad ikan baung betina dan ikan baung jantan terletak di rongga
Gambar 3. Alat kelamin ikan baung jantan (A) dan Betina (B)
perut bagian dorsal intestin. Gonad ikan baung barn dapat diperiksa setelah ikan baung tersebut berukuran 90 g atau kira-kira panjangnya 20 cm. Oleh karena itu, ikan baung yang lebih kecil dari ukuran tersebut dapat dibedakan dengan mengamati lobang genital (genital pore) (Gambar 3).
Pada ikan baung jantan, lobang genital agak memanjang dan terdapat bagian yang meruncing ke arah caudal. Alat ini merupakan alat bantu untuk mentransfer sperma. Sedangkan pada ikan betina, lobang genitalnya berbentuk bulat. Lobang genital ini akan berwama kemerah-merahanjika ikan baung betina tersebut telah mengandung telur pada TKG V. Kromosom berjumlah 23 pasang yang terdiri atas 2 pasang kromosom metasentrik, 6 pasang kromosom akrosentrik, dan 15 pasang kromosom telosentrik.
I. Pakan dan Kebiasaan Makan Ikan pada umumnya mempunyai kemampuan beradaptasi tinggi terhadap makanan dan pemanfaatan makanan yang tersedia di suatu perairan. Dengan mengetahui kebiasaan makan ikan, maka kita dapat mengetahui hubungan ekologi organisme dalam suatu perairan, misalnya bentuk-bentuk pemangsaan persaingan makanan dan rantai makanan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ikan baung termasukjenis ikan karnivora dengan susunan makanan yang terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematoda, detritus, sisa-sisa tumbuhan, atau organik lainnya. Susunan makanan ikan baung dewasa berbeda dengan susunan makanan ikan baung anakan. Makanan utama ikan baung dewasa terdiri atas ikan dan insekta, sedangkan makanan utama anakan ikan baung hanya berupa insekta. Tetapi, Djajadiredja et al. (1977) mengemukakan bahwa ikan baung termasuk jenis ikan omnivora dengan makanan terdiri atas anak ikan, udang, remis, insekta, moluska, dan rumput. Makanan utama ikan baung yang hidup di Waduk Juanda terdiri atas udang dan makanan pelengkapnya berupa ikan dan serangga air, sehingga digolongkan dalam jenis ikan kamivora. Berdasarkan hasil penelitian Alawi et al. (1990), terdapat 4 kategori organisme yang ditemui dalam lambung ikan baung, yaitu insekta air, ikan, udang, dan detritus. Detritus ditemukan 41,4 %, insekta 36,4 %, ikan 31,3 %, dan udang terdapat 5,1 % dari jumlah sampel ikan baung. Jika dirinci berdasarkan famili dari organisme yang dijumpai, maka akan terlihat bahwa famili Gyrinidae menempati urutan yang teratas. Gyrinidae adalah insekta air sejenis kumbang yang hidup di perairan tenang atau mengalir, suka berenang di permukaan dan menyelam ke dasar perairan terutama yang banyak akar kayu dan atau rerumputan sehingga dapat bersembunyi dan mencari makan (Menit and Cumming, 1978). Jika dilihat di perairan Sungai Kampar (Riau), banyak sekali dijumpai rerumputan dan pohon kayu di sepanjang pinggir sungai yang merupakan habitat yang baik bagi insekta air. Famili kedua setelah Gyrinidae yang banyak terdapat dalam isi lambung ikan baung adalah Cyprinidae, yaitu jenis ikan cyprinid yang sangat disukai oleh ikan baung, yaitu ikan motan (Thimchthys sp.), kapiek (Puntius sp.), dan ikan pawas (Osteochilus sp.). Ketiga jenis ikan ini banyak terdapat di perairan Sungai Kampar, terutama jenis ikan motan yang suka hidup di perairan yang agak tenang (Alawi et al., 1988). Di tempat-tempat tersebut juga banyak dijumpai ikan baung. Di samping kedua jenis organisme yang dominan terdapat juga organisme lain, seperti udang (Macrobranchium sp.), ikan selais (Cryptopterus sp.), lipas air (Salidae), dan cacing air (Chironomidae). Detritus yang ditemukan dalam isi lambung ikan baung pada umumnya terdiri atas potongan dedaunan, akar kayu, hancuran ikan, dan kumbang yang tidak diidentifikasi.
Dari komposisi organisme yang dijumpai dalam isi lambung ikan baung ternyata bahwa ikan ini tergolong jenis ikan pemakan segala (omnivora) dengan kecenderungan pada jenis insekta air dan ikan atau mengarah ke pemakan daging (karnivora), Hal ini dapat dilihat dari besamya mulut yang merupakan ciri dari sub-ordo Siluroidea. Jenis ikan dari sub-ordo Siluroidea pada umumnya adalah ikan yang bersifat pemangsa (karnivora), seperti dari famili Pangasidae (ikan patin), Siluridae (ikan selais), dan Clariidae. (ikan lele) (Bardach et al., 1972).
BAB III PEMBENIHAN IKAN BAUNG Pemilihan lokasi untuk pembenihan ikan perlu memperhatikan kemudahan-kemudahan dalam hal pemasaran dan aspek-aspek teknis lainnya seperti kondisi lingkungan, prasarana, bangunan, dan peralatan.
A. Rancang Bangun Usaha pembenihan ikan baung sebaiknya menggunakan akuarium, sehingga dapat dilakukan di lokasi yang relatif sempit, tanpa aliran sungai, asalkan di lokasi tersebut terdapat sumber air yang cukup (misalnya sumur) dan memiliki kualitas yang memenuhi syarat untuk pemeliharaan larva. Jika kualitas air tidak memenuhi syarat, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus dengan pendekatan biologis ataupun kimiawi. Skala usaha pembenihan ikan baung dapat berskala rumah tangga ataupun skala besar. Usaha pembenihan ikan baung skala rumah tangga paling banyak memerlukan 80 akuarium dengan seluruh peralatan pendukungnya. Usaha pembenihan skala rumah tangga ini tidak memerlukan bangunan yang besar dan rumit, tetapi cukup dengan areal bemkuran 10 m x 5 m. Areal tersebut dapat dibuat bangunan dari barn, kayu, ataupun dari bambu. Atap bangunan dapat terbuat dari seng, genteng, ataupun daun rumbia (Gambar 4 dan 5). Usaha pembenihan ikan baung skala rumah tangga memerlukan satu bak penampungan air, satu bak pemijahan, dan satu bak kecil untuk pemeliharaan pakan alami. Selain itu, juga memerlukan rak akuarium bertingkat untuk menempatkan akuarium sebanyak sekitar 80 akuarium.
Gambar 4. skema pembenihan skalam rumah tangga
Gambar 5. Skema pembenihan skala menengah
B. Peralatan Peralatan utama usaha pembenihan ikan baung adalah pompa air, pompa udara (blower), instalasi air, instalasi udara, dan sumber arus listrik. Pompa air digunakan untuk mendistribusikan air dari sumur ke bak penampungan dan dari bak penampungan menuju bak pemeliharaan. Pompa air yang dibutuhkan minimal 2 buah yang berukuran kecil (Gambar 6). Pompa udara (blower) dibutuhkan untuk menambah oksigen dalam media dan penyebaran makanan (Gambar 6). Bahan-bahan untuk kebutuhan instalasi air meliputi: pipa pralon ukuran 0,75 inci (untuk saluran air masuk dari sumur/penampungan ke akuarium), pipa pralon ukuran 2,5 inci (untuk saluran pembuangan), selang taman, klep saringan, kran air, dan klem pipa. Sedangkan bahan-bahan untuk kebutuhan instalasi udara meliputi: pipa pralon ukuran 0,5 inci (untuk saluran udara dari blower ke akuarium), selang aerasi, klem pipa, kawat, batu aerasi, dan klem selang aerasi. Bahan-bahan lain yang dibutuhkan adalah busa karet (1 m x 6 m x 6 mm), kain kasa, tabung gas, plastik cor, serok, termometer, ember, dan plastik packing (Gambar 6).
Gambar 6. beberapa peralatan untuk pembenihan ikan baung
C. Penyediaan Induk Penyediaan induk ikan baung dapat diperoleh dengan dua cara, yakni memelihara dari kecil hingga mencapai matang gonad (calon induk) dan menangkap calon induk dari alam bebas yang ditampung di kolam atau karamba. Penyediaan induk melalui pemeliharaan dari kecil perlu diberi pakan secara teratur dan pemeliharaan induk ini membutuhkan waktu sekitar 10 - 12 bulan. Penyediaan induk melalui penangkapan dari alam butuh waktu lebih singkat. Proses penangkapan dalam dan adaptasi induk ikan baung yang ditangkap dari alam bebas harus dilakukan dengan hati-hati. Biasanya, calon induk dari alam bebas membutuhkan waktu 1 - 2 minggu untuk dapat memanfaatkan pakan yang diberikan. Karena calon induk yang dipelihara ataupun yang ditangkap dari alam bebas tidak dapat langsung digunakan/dipijahkan, maka perkembangan gonad calon induk tersebut dipacu. Upaya untuk memacu perkembangan gonad telah umum dilakukan di dalam kegiatan budi daya. Bahkan, upaya memacu perkembangan gonad tersebut juga mengarah pada perbaikan mum telur. Dengan demikian, telur yang dihasilkan bermutu baik, memiliki derajat penetasan yang tinggi, dan larva yang dihasilkan memiliki ketahanan yang prima. Namun, upaya-upaya tersebut sering dilakukan secara parsial dan tidak bersifat menyeluruh. Pendekatan
yang
akan
menghasilkan
pematangan
gonad
yang
cepat
adalah
mengkombinasikan antara pendekatan lingkungan, nutrisi, dan hormonal. Pematangan gonad terjadi karena adanya masukan nutrien lewat pakan yang diakumulasikan di dalam oosit . Proses akumulasi itu sendiri dikendalikan oleh hormon reproduksi. Hormon ini bekerja karena adanya rangsangan luar (faktor lingkungan). Interaksi antar komponen yang terlibat dalam proses reproduksi tersebut perlu dikelola dengan baik. Upaya memanipulasi pematangan gonad relative jarang dilakukan di Indonesia, namun di negara-negara yang memiliki empat iklim telah banyak dicoba, terutama yang berkaitan dengan suhu, lama penyinaran, dan salinitas. Pemacuan pematangan gonad dengan menggunakan hormon pun masih sangat terbatas dan kebanyakan masih pada tahap uji coba. Kalaupun telah diterapkan secara rutin, pemacuan gonad dengan hormon baru terbatas pada ikan-ikan tertentu yang memang mutlak yang harus ada intervensi hormon dari luar seperti pada ikan bandeng dan beberapa jenis ikan laut lainnya. Untuk ikan-ikan air tawar yang frekuensi pemijahannya satu kali dalam satu tahun (misalnya baung), implantasi hormon ke dalam otot punggung dengan bantuan alat implanter yang dilakukan kurang lebih satu bulan setelah pemijahan (ovulasi) diharapkan dapat memacu perkembangan gonad sehingga pemijahannya tidak lagi hanya satu kali dalam satu tahun. Hormon yang diimplantasikan ke dalam tubuh induk yang telah memijah diharapkan dapat memacu terjadinya proses perkembangan gonad berikutnya karena tersedianya hormon yang cukup di dalam darah untuk merangsang hypophysa mengeluarkan hormon
gonadotropin yang akan memacu proses pematangan gonad, (Gambar 7). Jadi, implantasi hormon dalam proses reproduksi pada dasamya adalah memotongjalur pengamh lingkungan terhadap produksi hormon hypophysa yang di alam bebas pengamh lingkungan terhadap kerja hormon tersebut kemungkinan bersifat siklik. Pellet
Implasi intra muscular Muscuar Perembesan LH-RH analog ke dalam darah Darah Pengangkutan LH-RH analog oleh darah ke organ target Kelenjar Hypophysa Sekresi LH Ovarium Pematang folikel Pembentukan ostogen Vitelogenesis
Telur Matang
Ovulasi Gambar 7. Mekanisme pengaruh implantasi hormon LH-RH Analog terhadap pematangan gonad (Affandi, 1998).
Proses pematangan gonad ikan sering dilakukan dengan pendekatan nutrisi. Pemberian pakan yang baik pada induk ikan, terutama jenis-jenis ikan yang dapat memijah sepanjang tahun, selain dapat mempercepat proses pematangan gonad, juga dapat meningkatkan fekunditas dan memperbaiki mutu telur. Peran pakan sebagai bahan dasar untuk sintesis vitelogenin, sintesis hormon, dan penyedia energi dalam proses metabolisme berkaitan dengan proses pematangan gonad. Walaupun demikian, pendekatan nutrisi tidak mutlak dapat menjamin terjadinya proses pematangan gonad, terutama pada ikan tertentu. Oleh karena itu, pada ikan ikan tersebut, kombinasi pendekatan dalam memacu pematangan gonad sangat dibutuhkan Pada ikan baung. Tang (1998) melaporkan bahwa protein 35 % ditambah kerang dalam pakan dapat mematangkan calon induk ukuran 19,15 - 53,29 cm dalam dua bulan pemeliharaan di kolam dan di sungai. Demikian juga, Gaffar (1998) melaporkan bahwa pematangan calon induk ikan 300 - 700 g ditebar dengan kepadatan 1 ekor/m2 dapat
dilakukan di kolam atau karamba dengan pemberian pakan 30 % - 35 % protein ditambah ikan rucah. Komponen nutrien lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan gonad dan kualitas telur adalah lemak yang amemiliki kandungan HUFA. Pada ikan mas diketahui adanya hubungan antara derajat penetasan dengan distribusi asam lemak dalam telur (22 : 6w 3). Daya tetas telur sangat rendah ketika kandungan 22 : 6w 3 sebesar 10 % dari berat total lemak pakan dan untuk penetasan yang normal dibutuhkan kira-kira 20 % 22 : 6w 3. Ikan trout yang diberi pakan yang berkadar protein rendah (33 % - 35 % protein) tetapi kandungan energinya tinggi (390 kkal/100 g pakan) menghasilkan fekunditas yang lebih besar dibandingkan dengan pakan yang berprotein tinggi (43 % - 47 % protein). Pakan yang defesiensi asam lemak esensial menghasilkan fekunditas dan daya tetas yang rendah. Komponen nutrisi lain yang tampaknya sangat berpengaruh pada proses pematangan gonad dan perbaikan mutu telur adalah vitamin E (a-tocoferol). Vitamin E memainkan peranan yang yang sangat penting dalam fisiologi reproduksi ikan seperti halnya pada burung dan mamalia. Pakan yang mengandung vitamin E berpengaruh terhadap kandungan vitamin E dalam tubuh, pemijahan, daya tetas telur, dan mortalitas larva yang menetas. Dari hasil penelitian temngkap bahwa ikan yang diberi pakan dengan kandungan vitamin E rendah sebanyak 1/3 dari jumlah induk ikan betina tidak memijah sedangkan yang lainnya memijah secara keseluruhan. Demikian pula, daya tetas dan kelangsungan hidup larva pada pemberian pakan berkadar vitamin E rendah juga lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa vitamin E yang berasal dari pakan dibawa dan diakumulasikan dalam telur dan vitamin E ini sangat membantu kelangsungan hidup larva. Pengaruh vitamin E terhadap kecepatan pematangan gonad, fekunditas, dan daya tetas telur juga telah diteliti pada ikan baung oleh Tang (1999). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penambahan vitamin E ke dalam pakan induk ikan baung sebesar 10 mg/100 g pakan memberikan pengaruh terhadap kecepatan pencapaian matang gonad selama empat bulan pemeliharaan. Penambahan unsur mineral langka (trace metal) pada pakan induk ikan sangat penting untuk proses reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan tiap kilogram induk adalah 1.975 ± 342 dan nilai derajat penetasan telur adalah 0,4 % ± 0,9 % pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan unsur mineral langka. Hal ini jauh di bawah nilai yang diperoleh pada induk ikan yang diberi pakan komersial yang mengandung trace metal (berturut-turut: 3.631 ± 836 untuk fekunditas dan derajat penetasan telurnya 87,2 % ± 3,7 %). Kadar mangan (Mn) pada telur yang dihasilkan induk yang diberi pakan komersial (4,1 ug/g telur) jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar mangan pada telur yang diberi pakan yang tidak mengandung unsur mineral langka (1,6 ug/g telur). Penambahan pigmen (Carotin dan Cathaxanthin) pada pakan induk sedikit menurunkan jumlah telur yang dihasilkan, tetapi persentase jumlah telur yang mengapung meningkat dari 49,1 % menjadi 56,4 %. Demikian pula, abnormalitas dalam hal jumlah globul lemak dalam telur secara efektif berkurang dengan penggunaan pigmen. Penambahan canthaxanthin dalam pakan dapat memperbaiki produksi telur dan tingkat fertilisasi telur pada ikan trout. Ikan Salmoid memobilisir pigmen carotin, asthaxanthin, dan canthaxanthin yang ada dalam otot (daging) dan menyimpannya dalam telur dan kulit selama pematangan kelamin. Metabolisme carotin yang aktif ini diduga sebagai fungsi khusus selama pematangan kelamin. Metabolisme carotin yang aktif ini diduga sebagai fungsi khusus selama reproduksi dan awal kehidupan atau kedua-duanya. Penambahan asthaxanthin dan canthaxanthin sintesis pada pakan dapatjuga memacu pertumbuhan selama periode awal makan. D. Penyediaan Pakan Alami Pakan alami dalam usaha pembenihan ikan sangat diperlukan karena pada masa benih/larva perkembangan morfologi dan fisiologi baru dimulai. Misalnya, bukaan mulut yang kecil, enzim pencemaan belum sempurna, dan pergerakan larva yang lambat. Agar dapat memenuhi kebutuhan energinya, maka larva memerlukan jenis pakan yang dapat merangsang untuk makan. Pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) merupakan pakan yang terbaik bagi larva karena ukurannya kecil, pergerakannya lambat, komposisi gizinya yang relatif lengkap, dan enzim yang dikandung oleh pakan alami tersebut dapat membantu larva untuk menghancurkan pakan alami itu sendiri (autolisis). Untuk mencukupi kebutuhan makanan larva, beberapa jenis pakan alami dan jenis fitoplankton yang sudah urnum dibudidayakan antara lain : Diatom, Chlorella, dan Tertaselmis. Sedangkan dari jenis zooplankton ialah Rotifera. Moina, Daphnia, Artemia, dan cacing sutera (Tubifex sp.). Larva ikan baung yang bersifat kamivora (pemakan daging) dan bukaan mulutnya agak besar memerlukan pakan alami jenis zooplanktonlah yang dimanfaatkan pada saat pertama kali makan. Pakan alami yang digunakan dalam pembenihan ikan baung adalah Artemia, Moina sp., Daphnia sp, dan cacing rambut (Tubifex sp.). 1. Artemia Artemia dikenaljuga sebagai udang renik air asin dan dijual di pasaran berupa telur (kiste) yang dikemas dalam kaleng. Kiste tersebut ditaskan menjadi nauplii untuk diberikan pada larva ikan. Penetasan kiste artemia menggunakan wadah dari botol (gallon) air minum
bekas atau dari fiber yang berbentuk corong (Gambar 8). Wadah penetasan tersebut diisi air sebanyak 5 - 10 liter yang dicampur dengan garam dapur sebanyak 150 - 300 g (30 ppt). Setelah garam larut, kiste Artemia ditebarkan secukupnya. Untuk mempercepat penetasan, wadah penetasan dilengkapi dengan aerator agar sirkulasi udara dalam wadah dapat berjalan dengan lancar. Penetasan kiste Artemia dapat juga dilakukan dengan proses dekapsulasi, yakni menipiskan cangkang kiste sebelum ditetaskan sehingga kualitas dan kuantitas nauplii akan lebih tinggi. Dekapsulasi dilakukan dengan cara merendam kiste dalam larutan klorin (NaOCI) 40 % atau kaporit (Ca(Ocl 2)) dan NaOH sebanyak 15 g/liter air. Selama perendaman, kiste terus-menerus diaduk hingga terjadi perubahan wama menjadi merah oranye dan tidak licin. Selanjutnya, kiste disaring dengan saringan halus dan dibilas dengan air tawar kemudian dilanjutkan dengan proses penetasan seperti biasa. Dalam waktu 24 jam, kiste Artemia akan menetas menjadi nauplii dan dapat diberikan pada larva ikan, tetapi air penetasan jangan terlalu banyak yang terambil. Agar air garam tidak banyak yang terambil, beberapa menit sebelum dilakukan pemanenan, aerasi dimatikan sehingga nauplii akan berkumpul di dasar wadah dan bisa disipon keluar kemudian disaring dan dicuci dengan air bersih. Kiste yang tidak menetas sebaiknya tidak tercampur dengan larva karena tidak dapat dicema o leh larva.
Gambar 8. Wadah Penetasan artemia dari gallom air mineral (A) dan Ember + Corong (B).
2. Moina dan Daphnia (Kutu Air) Budi daya kutu air dapat dilakukan di dalam bak atau di dalam kolam. Bak atau kolam yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu selama 1 - 2 hari. Kemudian, bak atau kolam diisi air sampai dengan ketinggian 7 - 100 cm. Pupuk kandang (kotoran ayam) dimasukkan ke dalam bak/kolam dengan dosis 2 - 4 g/liter air. Ekstrak kotoran ayam dapat disiapkan dengan dengan melarutkan kotoran ayam dalam ember. Selanjutnya, larutan kotoran ayam tersebut dimasukkan ke dalam media kultur menggunakan saringan agar ampas(bagian yang kasar) tersaring. Cara lain, kotoran ayam dikeringkan, kemudian dimasukkan ke dalam karung pupuk dan digantung di dalam bak.
Kutu air biasanya diambil dari genangan air atau danau pada pagi hari ketika kutu air tersebut berkumpul di permukaan air. Sebelum disebar ke dalam bak/kolam, kutu air tersebut harus dicuci dahulu dengan air bersih untuk menghindari bibit penyakit yang terbawa olehnya. Pencucian kutu air dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam bak atau akuarium besar dan diberi aerasi, kemudian disaring dengan serokan. Induk Daphnia atau Moina sebanyak 20 - 30 ekor/liter media dimasukkan ke bak/kolam setelah 2 - 3 hari pemupukan (Gambar 9). Pada hari ke 7, bak/kolam biasanya sudah dipenuhi oleh kutu air. Kutu air berkembang biak setiap 2 minggu dan tiap ekor dapat menghasilkan 20 - 40 butir telur. Jika populasi kutu air sudah mulai berkurang, dapat dilakukan pemupukan tambahan. Pemanenan dilakukan kutu air dapat dilakukan dengan menggunakan serok/saringan pada pagi hari. Kutu air yang tersaring dicuci, kemudian diberikan pada ikan sesuai dengan kebutuhan.
Gambar 9. Kutu air Daphina sp. (A) dan Kutu Air Moina sp (B)
3. Cacing rambut (Tubifex sp.) Cacing rambut sering ditemukan di selokan-selokan atau sungai-sungai yang airnya banyak mangandung bahan organik. Sebelum diberikan pada ikan, cacing rambut tersebut perlu dicuci bersih dan ditampung sementara selama 1 - 2 hari. Salah satu bentuk wadah penampungan cacing rambut dapat dilihat pada Gambar 10. Bak penampungan cacing diberi air mengalir dan diaerasi. Bilajumlah cacing rambut terlalu banyak, maka sisanya dapat dimasukkan dalam kantong plastik dan dibekukan di freezer. Cacing yang dibekukan harus diberikan pada ikan pada kondisi masih beku.
Gambar 10. Bak penampungan cacing rambut
E. Metode Pemijahan Ikan baung termasukjenis ikan yang relatifbaru untuk dapat dipijahkan. Sub-Balai Perikanan Air Tawar Palembang telah mencoba sejak tahun 1983, 1991. dan barn berhasil diperoleh larva yang cukup memuaskan pada tahun 1992. Sejak itu menyusul UPPU Jambi, Fakultas Perikanan Universitas Riau, dan BBI Rumbai Pekanbaru pada tahun 1996 telah berhasil memijahkan ikan baung. Pada tahun 1997, BBAT Sukabumi dengan modal induk 100 pasang berhasil memijahkan ikan baung secara buatan. Namun, sampai sekarang ikan baung belum dapat dipijahkan secara alami. Untuk memijahkan ikan baung secara buatan (penyuntikan), calon induk sebaiknya dipelihara di kolam atau karamba dan sudah berukuran 200 - 1000 g. Kepadatan ikan pada keramba sebaiknya sebanyak 50 ekor atau kurang lebih 30 kg/100 m2. Ikan baung jantan dan ikan baung betina sebaiknya dipelihara secara terpisah. Pemberian pakan pada calon induk sebaiknya berkadar protein 35 % ditambah kerang atau teri (1:1) dan diberikan sebanyak 3 % - 5 % dari bobot badan per hari yang diberikan 2-3 kali, yaitu pagi hari, siang hari, dan sore hari. Bulan September sampai Maret merupakan musim pemijahan bagi ikan baung, maka sebaiknya pemijahan dilakukan pada musim tersebut. Induk jantan dan induk betina diseleksi dan disimpan dalam bak tangki fibreglass. Induk betina yang telah matang gonad dapat dilihat dari bentuk perutnya yang relatif membesar dan permukaan kulit sangat lembut, atau dilihat dengan menggunakan kateter. Bila telur berbentuk bulat utuh, berwarna agak kecoklatan, atau berukuran 1 mm, atau jika intinya dilihat dengan mikroskop sudah tampak menepi, maka induk ikan baung tersebut sudah siap untuk dipijahkan. Sedangkan ikan baung jantan yang siap dipijahkan ditandai dengan alat kelamin atau papilanya yang terletak di belakang anus dan bagian ujungnya berwama merah serta menyebar ke arah pangkal. Induk ikan baung betina matang gonad dibius, kemudian disuntik dengan ekstrak kelenjar hipophysa pada bagian belakang sirip punggung ke arah perut (ventral). Suntikan pertama menggunakan ekstrak kelenjar hipophysa ikan mas sebanyak 1 dosis (berat ikan resipien sama dengan berat donor yang diambil hipophysanya), kemudian setelah 6 - 7 jam disuntik lagi dengan kombinasi ekstrak hipophysa dan hCG masing-masing sebanyak 3 dosis dan 200 IU. Induk ikan baung yang telah disuntik disimpan secara terpisah. Hormon lain yang kini populer untuk penyuntikan ikan dalam pemijahan buatan adalah ovaprim (0,9 ml/kg ikan resipien) dan PGF 2a (3000 mg/kg ikan). Penyuntikan dilakukan 2 kali, yakni penyuntikan pertama 1/4 bagian dan suntikan kedua 3/4 bagian. Pengeluaran telur dilakukan dengan mengurut induk betina yang telah siap memijah. Telur-telur yang keluar ditampung dalam nampan plastik dan dicampur dengan sperma ikan
baung jantan untuk pembuahan. Induk betina yang berbobot sekitar 250 - 634 akan diperoleh telur 50.000 - 150.000 butir. Untuk mendapatkan sperma, ikan jantan dibedah, kemudian testis dicuci/dibersihkan dari darah dan lemak yang melekat. Selanjutnya, sperma dilarutkan dalam larutan garam 0,9 % sebanyak lebih kurang 3 ml. Telur yang telah dicampur dengan sperma diaduk secara merata dengan bulu ayam, diberi air, dan kemudian ditebarkan dalam hapa di akuarium atau bak/tangki yang berisi air bersih dan diaerasi. Telur yang telah dicampur dengan sperma dapat juga disebar langsung ke dalam bak atau akuarium. Suhu air dalam akuarium atau bak minimal 26°C - 30°C. Telur yang terbuahi akan menetas setelah 20 - 30 jam (proses perkembangan embrio disajikan pada Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan Embrio Ikan Baung Waktu antara (jam setelah pembuahan) 0,30 0,45 2,45 3,45 5,05 8,05 19,00 21,45 22,15 27,30 30,45
Fase Pembentukan blastolik 2sel Morula Blastula Gastrula Penutupan blastopor Pembentukan tunas kepala Pembentukan ekor Pergerakan ekor Siap menetas Menetas Sumber: Yunita, 1996.
F. Perkembangan Larva Perkembangan larva dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pralarva dan pascalarva. Pralarva merupakan tahap dari mulai menetas hingga habisnya kuning telur, sedangkan pascalava adalah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempumaan organ-organ yang telah ada. Pada masa akhir pasca larva tersebut, maka secara morfologi sudah mempunyai bentuk menyerupai individu dewasa (definitif). Pada stadia larva, baik morfologi, anatomi, maupun fisiologi ikan masih sangat sederhana. Tubuh larva tampak transparan, sirip dada dan ekor sudah ada tetapi bentuknya belum sempurna. Sirip hanya berbentuk tonjolan. Mulut dan rahang belum berkembang dan usus masih merupakan lambung lurus. Sistem pernafasan dan peredaran darah belum sempurna. Pakan diperoleh dari sisa kuning telur yang belum habis terserap. Pergerakan larva yang baru menetas hanya terjadi sewaktu-waktu saja dengan jalan menggerakan bagian ekor ke kiri dan ke kanan. Mengingat perlengkapan hidup bagi larva untuk menjalani kehidupannya masih sangat minim, maka untuk
sementara
larva
tersebut harus
segera beradaptasi
dengan
lingkungannya dan pakan dari luar yang seringkali tidak selalu berhasil. Stadia larva ini merupakan stadia yang paling kritis dari siklus hidup ikan. Larva yang berhasil melewati fase larva dengan sukses akan terus hidup hingga menjadi ikan dewasa, sedangkan larva yang gagal melewati fase ini akan mati. Oleh karena itu, kegiatan pemeliharaan larva dalam pembenihan ikan merupakan kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan pembenihan, terutama bagi ikan yang memiliki larva dengan ukuran tubuh yang sangat kecil (2 - 5 mm). Selain perkembangan morfologis, anatomis, dan fisiologis, selama stadia larva juga terjadi perkembangan tingkah laku sebagai konsekuensi ketiga perkembangan tersebut di atas. Perkembangan tingkah laku selama stadia larva antara lain meliputi : pergerakan (berenang), pemangsaan, respon terhadap cahaya dan gangguan. Pergerakan larva dalam berenang umumnya tidak seperti ikan dewasa. Sebab, gelembung renang larva belum terisi udara dan berfungsi normal sebagai organ hidrostatik yang membuat ikan mampu berenang naik turun di bawah permukaan air. Pengisian gelembung renang dengan udara berlangsung saat larva mulai memangsa makanan dari luar. Pada saat tersebut larva seringkali berenang di dekat permukaan air dan dinding akuarium untuk mengisi gelembung renang dengan udara sehingga memiliki fungsi hidrostatik agar bisa bergerak (berenang) seperti ikan dewasa untuk mencari makan. Kegagalan larva mengisi gelembung renang merupakan salah satu faktor kegagalan larva untuk melewati fase kritis dalam hidupnya. Untuk menjamin tetap kelangsungan metabolisme di dalam tubuh larva bagi kelangsungan hidupnya, larva terpaksa mengambil sumber energi yang terdapat di dalam jaringan tubuh. Larva mengalami retardasi pertumbuhan sehingga ukuran dan bobotnya menyusut, menjadi bengkok, dan larva menjadi pasifserta lemah karena fungsi organ (morfologis, anatomis dan fisiologis) menjadi rusak. Kondisi tersebut tidak bisa diperbaiki ke kondisi normal lagi meskipun larva telah dapat mengkonsumsi makanan dan proses perusak anjaringan serta organ terus berlangsung. Kejadian ini dikenal dengan istilah point of no return (titik tidak bisa balik). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen ketika sistem pernafasannya belum berkembang, larva
memanfaatkan sistem kapiler pada permukaan kantung
kuning telur untuk
mendapatkan oksigen dari air. Masuknya oksigen ke dalam tubuh larva berlangsung melalui proses difusi.
Gambar 11. Perkembangan panjang tubuh larva ikan baung
Gambar 12. Hubungan antara umur dan bobot tubuh
Gambar 13. Hubungan antara panjang ikan dan bukaan mulut.
Gambar 14. Perkembangan morfologi larva ikan baung
Oksigen merupakan faktor lingkungan yang bersifat akut, dampaknya bersifat cepat dan masal. Kematian larva pada pembenihan seringkali disebabkan oleh kekurangan oksigen lokal. Di sudut akuarium, biasanya larva kekurangan oksigen meskipun aliran aerasi dan air terns berlangsung. Daerah demikian disebut death point area (daerah titik mati air). Larva yang memiliki tingkah laku pasif dan terbatas sebaiknya tidak dipelihara dalam wadah berbentuk persegi. Larva ikan baung yang baru menetas langsung mengalami pigmentasi mata, sirip dada, sirip ekor, dan sungut sudah terbentuk. Setelah 26 jam, mulut mulai membuka dan umur 52 jam larva mulai makan, dan pada saat tersebut bukaan mulut mencapai 0,55 mm. Ketika bernmur 63.15 - 72 jam, kuning telur telah habis sehingga pergerakan larva makin aktif berenang di dasar dan dinding akuarium. Perkembangan morfologi, panjang, bobot, dan bukaan mulut larva disajikan pada Gambar 11 dan 12. G. Wadah Pemeliharaan Pemeliharan larva dapat dilakuakan antara lain dalam wadah dalam wadah pemijahan yang sekaligus sebagai tempat penetasan dengan mengangkat induk yang telah memijah, dalam wadah penetasan, atau dalam wadah khusus.
Gambar 15. wadah pemeliharaan larva
Pemeliharaan larva ikan baung sebaiknya dilakukan dalam wadah khusus dengan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk yang baik untuk wadah pemeliharaan larva ikan baung adalah yang berbentuk sirkular dan memiliki dasar berbentuk kerucut, di mana inlet air terletak di tengah dasar sehingga akumulasi bahan organik dapat dihindari (Gambar 15). Debit air yang diperlukan sebesar 0,5 - 1,0 liter/menit untuk setiap wadah yang bervolume 10 liter. Selain berbentuk sirkular, wadah pemeliharaan larva dapat juga berbentuk persegi. Bahan untuk wadah larva ikan baung dapat berupa fiber, plastik, bak beton, kaca (akuarium), kain saringan (hapa), atau papan yang dilapisi lembaran plastik. Bahan wadah dari fiber dan plastik relatiflebih ringan sehingga mudah dipindah-pindahkan dalam pelaksanaan pembenihan.
H. Kualitas Air Aspek penting dalam pemeliharaan larva ikan adalah kualitas air. Beberapa kualitas air yang telah diteliti secara khusus dalam pemeliharaan ikan baung disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa Nilai Kualitas Air bagi L arva Ikan Baung Parameter Suhu (oC) Salinitas (ppt) Cahaya Tinggi air Media Alkalinitas 1) Tang, 2000. 2) Muflikah, 1993.
Nilai Optimal 270 – 33oC 0 – 3 ppt gelap-terang 35 cm green water 20 - 70
Suhu 27°C (suhu kamar) memberikan hasil terbaik bagi kelangsungan hidup larva ikan baung. Hasil ini memberikan harapan bagi kegiatan pembenihan skala mmah tangga karena tidak memerlukan alat khusus untuk meningkatkan suhu air. Salinitas kisaran optimal adalah 0 - 3 ppt, namun untuk mencegah berbagai bibit penyakit, sebaiknya larva dipelihara pada media air yang bersalinitas 1 ppt. Untuk mendapatkan salinitas 1 ppt dilakukan dengan cara melarutkan 1 g garam dalam 1 liter air. Media yang dibutuhkan dapat berupa air jernih maupun air hijau. Namun, hasilnya akan lebih baik jika larva ikan baung tersebut dipelihara pada media air hijau. I. Penebaran Larva Faktor penting dalam penebaran larva adalah padat penebaran. Padat penebaran untuk larva ikan baung berkisar 10 - 20 ekor/liter air. Penebaran larva dilakukan 1 - 5 hari setelah pengisian air secara penuh pada tangki pemeliharaan, atau bergantung pada ketersediaan larva. Hal ini dimaksudkan untuk menginkubasi air sehingga dapat memotong siklus hidup organisme patogen yang mungkin terdapat pada media ini. Larva yang ditebar berumur 2 hari atau masih memiliki kuning telur sebanyak kurang lebih 75 %, mata sudah berpigmen, dan mulut sudah terbuka. Penghitungan larva dilakukan secara volumetrik dengan mengambil contoh larva dari akuarium penetasan menggunakan gelas piala bervolume 250 ml sebanyak 5 kali ulangan. Jumlah rata-rata larva tiap 250 ml ini dikonversikan menjadijumlah larva tiap liter dan nilai terakhir tersebut digunakan untuk penentuan volume air media penetasan. Sebelum ditebar, larva diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi media air pemeliharaan. Akiimatisasi larva dilakukan dengan cara membiarkan beberapa saat larva yang diangkut dari akuarium mengapung di permukaan air tangki. Kemudian, air di dalam tangki tersebut dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam waskom dengan menggunakan tangan. Selanjutnya, isi baskom dituangkan ke dalam tangki secara pelan-pelan.
J. Pemberian Pakan Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeliharaan larva adalah pemberian pakan yang cocok dan waktu pemberian makanan yang tepat, sebab bukaan mulut larva sangat kecil; sistem pencemaannya masih hangat sederhana (secara anatomis dan fisiologis); dan pergerakan larva masih terbatas. Pengetahuan mehgenai perkembangan bukaan mulut dan sistem pencernaan larva dapat membantu kita untuk menentukan makanan (pakan) yang cocok bagi larva ikan baung. Namun, dewasa ini pakan yang lazim diberikan pada larva stadia awal yang bukaan mulutnya besar adalah kutu air (Daphnia sp. dan Moina sp.); makanan untuk larva yang bukaan mulutnya sedang adalah Artemia; sedangkan larva yang bukaan mulutnya kecil adalah Rotifera. Menentukan bukaan mulut larva dapat dilakukan berdasarkan panjang tubuh larva, sebab terdapat korelasi positif antara lebar bukaan mulut dan panjang tubuh larva. Korelasi antara panjang dan bukaan mulut larva ikan baung mengikuti persamaan Y = 2,1506 + 0,3933 X. Umumnya, makanan yang diberikan pada larva stadia awal adalah pakan alami (bukan pakan buatan). Pakan alami mengandung enzim yang berperan sebagai enzim pencemaan pada larva. Keberadaan enzim tersebut dalam makanan alami dapat mengantisipasi perkembangan sistem pencemaan larva stadia awal, termasuk produksi enzim pencernaan. Mengingat kondisi morfologi, anatomi, dan fisiologi larva yang telah diuraikan di atas, maka kemampuan larva untuk mencari, memangsa, dan mencerna makanan masih sangat terbatas. Padahal, makanan merupakan sumber nutrien dan energi yang dibutuhkan oleh larva untuk mempertahankan hidupnya. Pada saat kemampuan larva masih sangat terbatas tersebut, ternyata kuning telur merupakan sumber nutrien dan energi utama bagi larva selama periode endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi dan berakhir saat larva mulai memperoleh pakan dari luar. Oleh karena itu, volume kuning telur, selain ukuran tubuh, dapat menentukan keberhasilan larva melewati fase kritis dalam siklus hidupnya. Larva ikan baung mempunyai volume kuning telur yang besar (498 mm3) sehingga cadangan makanan tersebut cukup untuk membangun organ tubuh. Dengan demikian, larva ikan baung telah siap beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar (exogenous feeding). Larva ikan ikan baung tersebut sudah mampu memangsa dan mencema makanan pada saat kuning telur masih tersisa, sehingga di dalam tubuh larva terdapat dua sumber energi, yaitu kuning telur (endogenous energy) dan pakan dari luar (exogenous energy). Hal ini sangat mendukung kondisi larva untuk melewati fase kritis. Sebaliknya, jika saat kuning telur sudah habis dan larva belum dapat
Gambar 16. Jadwal Pemberian pakan benih ikan baung.
beradaptasi dengan lingkungan dan pakan dari luar atau kemampuan memangsa dan mencema makanan belum berkembang, maka larva ikan tersebut dalam kondisi berbahaya untuk melewati fase kritis. Pada saat tersebut, terjadi kekosongan sumber energi. Larva ikan baung berumur 1 - 5 hari dapat diberi pakan alami berupa Artemia salina atau Moina sp. dengan kepadatan 1 – 2 ekor/ml. Pada saat berumur 4 - 8 hari, larva ikan baung sudah dapat diberi cincangan cacing Tubifex sp. dan Daphnia sp. Ketika berumur 7 hari, larva ikan baung dapat diberi pakan berupa cacing Tubifex sp. sebanyak 10 mg/ekor. Skema pemberian pakan larva ikan baung dapat dilihat pada Gambar 16. K. Penyiponan dan Penggantian Air Satu minggu pertama, kolam pemeliharaan larva tidak perlu dilakukan penggantian air. Namun, setelah larva diberi cacing (cincangan cacing ataupun cacing utuh) perlu dilakukan penyiponan dan penggantian air sebanyak 10 % setiap pagi sebelum pemberian pakan. Jika larva ikan baung berenang di dasar atau di dinding akuarium atau bak, penyiponan harus dilakukan dengan hati-hati. Agar larva tidak ikut tersedot, ujung alat penyiponan dapat dilapisi saringan (Gambar 17).
Gambar 17. Cara Penyiponan.
L. Transportasi Benih Pengiriman benih dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan system terbuka dan sistem terutup. Pengiriman benih dengan sistem terbuka biasanya dilakukan untuk pengirimanjarak pendek yang prasaranajalannya baik dan lancar. Pengiriman abenihjarak pendek dengan waktu tempuh kurang dari
Gambar 18. Pengangkutan benih system terbuka
5 jam dapat menggunakan alat-alat sederhana dengan sistem terbuka. Peralatan atau wadah untuk pengiriman sistem terbuka dapat menggunakan ember atau drum plastik yang dipotong setengah (Gambar 18). Kepadatan benih pada pengiriman sistem terbuka bisa lebih padat (100 - 150 ekor/liter) karena ikan baung senang berkumpul membentuk farmasi seperti bola. Selama dalam pengiriman benih, kestabilan suhu air harus diperhatikan dan jika perlu di samping wadah transportasi diberi es balok. Pengiriman benih sistem tertutup biasanya dilakukan untuk pengiriman jarak jauh. Halhal yang perlu diperhatikan pada sistem pengiriman benih secara tertutup adalah ketersediaan oksigen, sisa metabolisme (CO 2 dan NH3), dan suhu air. Benih yang diangkut senantiasa
melakukan
metabolisme.
Metabolisme
yang
memerlukan
oksigen
dan
mengeluarkan sisa (feces) dapat membahayakan benih ikan. Oleh karena itu, benih ikan yang akan dikirim jarak jauh dengan sistem tertutup ini harus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam sebelum pengangkutan supaya saluran pencemaan kosong. Dengan demikian, kerja metabolisme minimal dan membutuhkan oksigen minimal pula, Selain itu, jumlah kotoran (buangan sisa metabolisme) berkurang. Biasanya, kebutuhan oksigen dalam wadah pengangkutan sistem tertutup mudah untuk diatasi, tetapi sisa metabolisme berupa NH3 sering sulit diatasi.
Gambar 19. Proses pengemasan benih system tertutup.
Peralatan dan wadah yang diperlukan untuk pengiriman benih ikan sistem tertutup adalah kantong plastik, kardus, gas, dan tali untuk mengikat kantong plastik ataupun kardus. Untuk mencegah kebocoran pada kantong plastik, maka kantong tersebut sebaiknya dipasang rangkap. Kantong diisi air tawar seperlunya, kemudian benih dimasukkan dengan kepadatan 400 - 500 ekor/liter. Oksigen dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan perbandingan 1 : 5, kemudian plastik diikat erat dan dikemas dalam kardus (Gambar 19). Jika pengangkutan benih ikan menggunakan mobil khusus kadang-kadang tidak memerlukan kardus, tetapi kantong-kantong plastik berisi benih ikan tersebut cukup disusun yang baik dan rapi. M. Analisis Usaha Usaha pembenihan ikan baung memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini ditandai dengan makin meningkatnya permintaan benih di beberapa wilayah terutama Sumatra dan Kalimantan. Gambaran analisis usaha pembenihan ikan baung disajikan di bawah ini. 1.
Biaya Investasi a. Akuarium 80 buah @ 100.000 (usia ekonomis 5 tahun) RP 8.000.000,00 b. Bak akuarium (usia ekonomis 5 tahun)
Rp 1.000.000,00
c.
Rp 3.000.000,00
Blower 1 buah (usia ekonomis 3 tahun)
d. Pompa air 2 buah (usia ekonomis 3 tahun)
Rp
600.000,00
e. Perlengkapan aerasi (usia ekonomis 3 tahun)
Rp
750.000,00
f.
RP
750.000,00
Perlengkapan instalasi air (usia ekonomis 3 tahun)
g. Lain-lain (tong kultur artemia, ember, tabung gas) (usia ekonomis 5 tahun)
Rp
Total investasi
Rp 15.000.000,00
2. Biaya Tetap (FC) a. Penyusutan/musim (2 bulan)
900.000,00
1) Akuarium (Rp 8.000.000,00 : 5 : 2)
Rp 800.000,00
2) Rak akuarium (Rp 1.000.000,00 : 5 : 2)
Rp 100.000,00,00
3) Blower (Rp 3.000.000,00 : 3 : 2)
Rp 500.000,
4) Pompa air (Rp 600.000,00 3 : 2)
Rp 100.000,00
5) Perlengkapan aerasi (Rp 750.000,00 : 3 : 2)
Rp 125.000,00
6) Perlengkapan instalasi air (Rp 750.000,00 : 3 : 2) 7) Lain-lain (Rp 500.000,00)
Rp 125.000,00 Rp
50.000,00
a.
Tenaga operator 3 orang
Rp 900.000,00
b.
Bayar listrik
Rp 150.000,00
c.
Bunga modal Total biaya tetap
Rp Rp 2.750.000,00
3. Biaya Tidak Tetap (VC)
4.
a.
Induk betina (8 x Rp 50.000,00)
Rp 400.000,00
b.
Induk jantan (10 x Rp 20.000,00)
Rp 200.000,00
c.
hCG(lOml)
Rp 250.000,00
d.
Donor ikan mas (20 x Rp 7.000,00)
Rp 140.000,00
e.
Moina/Daphnia (umur 1 - 5 hari)
Rp
f.
Cacing rambut (umur 6 - 30 hari 3 x 3 x Rp 2.500,00
Rp 225.000,00
g.
Obat-obatan
Rp 100.000,00
h.
Lain-lain
Rp 100.000,00
Total Biaya Tidak Tetap
Rp 1.465.000,00
Hasil usaha per siklus (GI)
68.000 ekor x Rp 200,00 5.
50.000,00
Rp 13.000.000,00
Keuntungan total per siklus GI - (FC + VC) = Rp 13.600. 000 - (Rp 2.750.000 + Rp 1.465.000)
Rp 9.385.000,00
6. Hasil bersih per siklus (NI) Keuntungan total - pajak (20 %)
Rp 7.508.000,00
GI 13.600.000 7. BC Ratio = FC + VC = 2.750.000 + 465.000 = 3,2 (Layak) Artinya, dengan mengeluarkan biaya 1 satuan akan diperoleh penerimaan sebesar 3,2 kali satuan.
GI 2.750.000 8. Titik impas (BEP) = VC = 1.465.000 =3.089.887 1 - GI 1 -13.600.000 Artinya, jika harga benih Rp 200,00/ekor, usaha pembenihan ini sudah mencapai titik impas ketika produksi benih barn 15.449 ekor.
BAB IV PEMBESARAN IKAN BAUNG Usaha pembesaran ikan baung dapat dilakukan di dalam keramba ataupun di kolam air tenang. A. Pembesaran Ikan dalam Karamba Pembesaran ikan baung di dalam karamba sudah lama dikenal di Indonesia. Cara pembesaran ikan baung di dalam karamba ini timbul karena di daerah tersebut banyak tinggal pedagang-pedagang ikan yang menjual ikannya di pasar-pasar terdekat. Ikan yang tidak laku dijual disimpan di dalam keranjang-keranjang kecil dan diletakkan di sungai atau parit-parit dekat rumah mereka. Dari model penyimpanan ikan seperti inilah kemudian muncul usaha pembesaran ikan di dalam karamba dengan berbagai bentuk dan cara penempatannya. Di beberapa daerah di Indonesia pembesaran ikan di dalam karamba telah menjadi mata pencaharian dan dapat memberikan penghasilan yang cukup besar. 1. Bentuk Karamba Berdasarkan bentuknya, karamba di Indonesia mempunyai dua bentuk, yaitu karamba berbentuk empat persegi panjang dan karamba berbentuk bundar panjang. Karamba yang berbentuk empat persegi panjang ada yang memanjang dan ada pula yang berbentuk kotak. Karamba berbentuk empat persegi panjang umumnya terbuat dari papan, bilah bambu, atau bambu bulat, sedangkan karamba yang berbentuk kotak terbuat dari kawat ayam atau jaring. Karamba bundar panjang terbuat dari bilah bambu yang diayam seperti hampang (Gambar 20).
Gambar 20. Karamba Bentuk Empat Persegi Panjang dan Bentuk Bulat.
2. Penempatan Karamba Penempatan karamba dapat dilakukan di sungai, di danau, di rawa-rawa, dan di saluran irigasi. Untuk menentukan lokasi yang baik bagi penempatan karamba, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut. a. Lokasi penempatan karamba cukup aman dan tidak mengganggu masyarakat yang biasa menggunakan air, dimana karamba ditempatkan.
b. Lokasi penempatan keramba terhindar dari segala macam gangguan baik dari manusia, binatang, maupun lalu lintas. c.
Perairan
tempat pemasangan
karamba hams cukup
medapatkan oksigen.
Kebutuhan oksigen bagi ikan memang tidak perlu terlalu tinggi, tetapi yang paling penting adalah kontinuitas oksigen tersebut. d. Suhu dan kualitas air di mana karamba kita tempatkan harus sesuai dengan kebutuhan ikanjuga perlu diperhatikan dalam penentuan penempatan karamba. Suhu optimal bagi ikan baung adalah 27°C - 33°C. Perbedaan suhu pada siang dan malam hari yang ideal bagi kehidupan ikan baung adalah tidak lebih besar dari 5°C. e. Air di lingkungan karamba tidak begitu banyak mengalami guncangan suhu. Guncangan suhu pada perairan yang dangkal biasanya cukup besar, maka penempatan karamba perlu mempertimbangkan kedalaman air. Ikan baung termasuk jenis ikan yang mempunyai toleransi kisaran kualitas air yang luas, sehingga ikan ini sangat potensial dan mudah untuk dibudidayakan. Kisaran kualitas air bagi ikan baung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kisaran Toleransi Kualitas Air bagi Ikan Baung Parameter Suhu pH Salinitas Oksigen terlarut Alkalinitas
Nilai Kisaran 20oC – 40oC 4 – 11 0 – 12 ppt 1 – 9 ppm > 16 ppm
Gambar 21. Karamba di Sungai
Gambar 22. Karamba di Danau
Selain unsur-unsur tersebut di atas, ada beberapa faktor teknis yang juga penting untuk diperhatikan, misalnya tempat karamba bukan merupakan jalur lalu lintas, terhadang dari terjangan ombak, tidak kering waktu air surut atau tidak sering dilanda banjir, bebas dari bahan pencemaran, cukup jauh dari pusat kegiatan, tidak mempunyai lumpur yang tebal, lokasi tidak jauh dari rumah pe milik dan tempat penjualan ikan. 3. Penebaran Benih Salah satu faktor penentu keberhasilan pembesaran ikan baung adalah kualitas benih yang ditebarkan. Oleh karena itu, benih yang akan ditebar harus dipilih/diseleksi yang memenuhi syarat sebagai berikut : benih berwarna terang, lincah, sehat, tidak ditemukan luka di tubuh maupun di siripnya. Penebaran benih dilakukan pada waktu pagi hari dan sore hari pada saat udara dan air masih sejuk sehingga air karamba sama sejuknya dengan air dalam wadah pengangkutan. Penebaran benih ikan memeriukan kesabaran dan teknik tersendiri agar benih dapat segera beradaptasi dengan lingkungan air kolam.
Gambar 23. Cara penebaran benih
Penebaran benih ikan dapat dilakukan dengan cara merendam terlebih dahulu kantong plastik yang berisi benih di karamba yang akan digunakan selama 5 menit. Air dalam karamba ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam kantong plastik atau wadah pengangkutan benih. Kemudian, kantong benih dilepaskan/dibalikkan hingga seluruh benih ikan di dalamnya keluar dengan sendirinya (Gambar 23). Jumlah benih yang ditebarkan untuk ikan baung berukuran 5 - 8 cm adalah 200 - 300 ekor/m3 dan untuk benih berukuran 10 - 15 cm sebanyak 150 - 200 ekor/m3. 4. Perawatan Karamba Karamba untuk pembesaran ikan harus dipelihara dengan baik agar terhindar dari kerusakan sebelum habis masa operasinya. Perawatan karamba harus dilakukan selama
pemeliharaan ikan dan setelah panen ikan. Perawatan karamba selama pemeliharaan terutama membersihkan sampah pada dinding karamba. Dinding karamba bagian luar harus selalu dibersihkan dari lumut-lumut yang menempel dan kebocoran-kebocoran pada dinding dan lantai karamba harus diperbaiki. Perawatan karamba setelah panen dilakukan dengan cara membersihkan dinding karamba bagian luar dan dalam dari segala kotoran yang menempel seperti lumut dan lumpur. Bagian karamba yang msak diperbaiki. Pelampung yang bocor atau rusak ditambal atau diganti dengan pelampung yang baru. 5. Analisis Usaha a. Biaya Investasi 1) Rangka bambu yang dapat diisi empat buah karamba jaring (3 m x 3 m x 3 m) = 36 x Rp 10.000,00
Rp
360.000,00
2) Drum plastik bekas (10 x Rp 150.000,00)
Rp 1.500.000,00
3) Tambang
Rp
300.000,00
4) Rumahjaga
Rp
500.000,00
5) Jaring (3 m x 3 m x 3 m) = 108 x Rp 3.000.00
Rp 3.240.000,00 +
Total investasi (dipindahkan)
Rp 5.900.000,00
b. Biaya Tetap (FC) 1) Penyusutan bambu (Rp 360.000,00 : 1 : 4)
Rp
90.000,00
2) Penyusutan dmm plastik bekas (Rp 1.500.000,00 : 5 : 4)
Rp
75.000,00
3) Penyusutan tambang (Rp 300.000,00 : 1 : 4)
Rp
75.000,00
4) Penyusutan jaring (Rp 3.240.000,00 : 4 : 4)
Rp
202.000,00
5) Penyusutan rumah jaga (Rp 500.000,00 : 3 : 4)
Rp
41.166,00
6) Tenaga operator 2 orang
Rp
600.000,00
7) Bunga modal
Rp
390.000,00 +
Total biaya tetap
Rp 1.474.166,00
c. Biaya Tidak Tetap (VC) 1) Benih (200 ekor/m3) = 21.600ekor x Rp 400.00
Rp 8.640.000,00
2) Pakan (2203.2 kg x Rp 2.500)
Rp 5.508.000,00
3) Obat-obatan
Rp
200.000,00
4) Lain-lain
Rp
100.000,00 +
Total Biaya Tidak Tetap
Rp 14.448.000,00
d. Hasil Usaha per Siklus (GI) Ikan ukuran 100 gr = 1.836 kg x Rp 20.000,00
Rp 36.720.000,00
e. Keuntungan Total per Siklus GI - (FC + VC) = Rp 36.720.000,00 – (Rp 1.474.166,00 + Rp 14.448.000,00)
Rp 20.797.834,00
f. Hasil Bersih per Giklus (NI) Keuntungan total - pajak (20 %)
Rp
19.411.311
GI 36.720.000 g. BC Ratio = FC + VC = 1.474.166+14.448.000 =2,3 (Layak) Artinya, dengan mengeluarkan biaya 1 satuan akan diperoleh penerimaan sebesar 2,3 kali satuan. FC 1.474.166 h. Titik impas (BEP) = VC = 14.448.000 = 2.416.665 1 - GI 1 - 36.720.000 Jika harga ikan Rp 20.000/ekor, usaha ini sudah mencapai titik impas ketika produksi baru mencapai 120,8 kg. B. Pembesaran di Kolam Air Tenang Pembesaran ikan baung di dalam kolam air tenang juga telah lama di kenal dan dilakukan oleh petani di Indonesia. Namun, ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam usaha pembesaran ikan baung di kolam air tenang sebagai berikut. 1. Pemilihan Lokasi Lokasi untuk pembuatan kolam pembesaran ikan baung tidak berbeda jauh dengan kolam untuk jenis ikan yang lain. Tanah yang baik untuk kolam adalah tanah yang berstruktur kuat, dapat menahan air, subur, tidak berbatu-batu, dan mempunyai sumber air sepanjang tahun serta tidak tercemar oleh bahan-bahan beracun. Sifat fisika kimia air, seperti suhu air sebaiknya berkisar antara 26 - 30°C, pH berkisar antara 4 - 9, kandungan oksigen terlarut minimal 1 mg/liter dan optimal adalah 5-6 ppm, dan kandungan NH3 kurang dari 1,5 ppm. 2. Konstruksi Kolam Bentuk kolam sebaiknya empat persegi panjang, bentuk pematang trapesium dengan kemiringan 1 : 1, dan bagian atas pematang ditanami tanaman air untuk menghindari erosi.
Tinggi pematang berkisar antara 1,5 - 2 m yang dapat dapat dibuat tanah atau tembok (Gambar 24) .
Gambar 24. kolam pembesaran ikan
3. Persiapan Kolam Sebelum dimanfaatkan untuk pembesaran ikan, kolam sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu kemudian diberi kapur CaCO3 dengan dosis 180 - 370 kg/ha/tahun untuk memusnahkan pemangsa dan binatang. lain yang membahayakan ikan dan untuk mengurangi keasaman tanah dan air kolam. Kolam dapat juga dpupuk dengan pupuk organik 1 kg/m2/periode atau pupuk anorganik 1 gram/m2/periode. Tinggi air pemeliharaan minimal 0,5 m dan debit air berkisar 10 - 15 liter/detik/ha. Sebelum air dimasukkan ke kolam pemeliharaan, pintu pemasukkan air diberi saringan untuk menghindari hama atau kotoran yang masuk ke dalam kolam. 4. Penebaran Benih Penebaran benih dilakukan setelah air dibiarkan menggenang di kolam selama beberapa hari. Kedalaman air sebaiknya 50 - 80 cm. Benih yang ditebar berukuran 2-3 gram dengan kepadatan 60 - 100 ekor/m2. 5. Analisis Usaha a. Biaya Investasi 1) Biaya konstruksi 200 m2 kolam tanah
Rp 7.500.000,00
2) Rumah jaga dan peralatan
Rp 2.000.000,00 +
Total investasi
Rp 9.500.000,00
b. Biaya Tetap (FC) 1) Penyusutan kolam (Rp 7.500.000,00 : 5 : 4)
Rp 375.000,00
2) Penyusutan fasilitas (Rp 2.000.000,00 : 5 : 4)
Rp 100.000,00 +
Jumlah
Rp 475.000,00
Jumlah dipindahkan
Rp 9.975.000,00
3) Tenaga operator 2 orang
Rp
600.000,00
4) Bayarlistrik
Rp
100.000,00
5) Bunga modal
Rp
120.000,00 +
Total biaya tetap
Rp 1.295.000,00
c. Biaya Tidak Tetap (VC) 1) Benih (100 ekor/m3) = 12.000 ekor x Rp 400,00
Rp 4.800.000,00
2) Pakan(l. 224 kg/4 bulan x Rp 2.500,00)
Rp 3.060.000,00
3) Kapur (7,4 kg x Rp 2.000,00)
Rp
14.800,00
4) Pupuk organik (200 kg x Rp 1000,00)
Rp
200.000,00
5) Obat-obatan
Rp
200.000,00
6) Lain-lain
Rp
100.000,00 +
Total Biaya Tidak Tetap
Rp 8.274.800,00
d. Has Usahaper Siklus (GI) Ikan ukuran 100 gr = 1.020 kg x Rp 20.000,00
Rp 20.400.000,00
e. Keuntungan Total per Siklus (4 bulan) GI - (FC + VC) = Rp 20.400.000,00 – (Rp 1.295.000,00 + Rp 8.274.800,00)
Rp 10.830.200,00
f. Hasil Bersih per Siklus (NI) Keuntungan total - pajak (20 %)
Rp 10.180.388,00
GI 20.400.000 g. BC Ratio = FC + VC = 1.295.000 + 8 .274.800 = 2,1 (Layak) Artinya, dengan mengeluarkan biaya 1 satuan akan diperoleh penerimaan sebesar 2,1 kali satuan. FC 1.295.000 h. Titik lmpas (BEP) = VC = 8.274.800 = 2.194.915,3 1 – GI 1 - 20.400.000 Artinya, jika harga ikan Rp 20.000/kg maka usaha ini sudah mencapai titik impas ketika produksi baru mencapai 109,7 kg.
BAB V PENGELOLAAN PEMBERIAN PAKAN A. Kebutuhan Nutrien Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Untuk dapat tumbuh dengan baik, ikan pada umumnya membutuhkan nutrien/gizi yang lengkap. Aspek kebutuhan gizi pada ikan sama dengan mahluk hidup lain, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral agar dapat melakukan proses fisiologi dan biokimia selama hidupnya. Penelitian tentang kebutuhan gizi pada ikan baung masih terbatas, sehingga untuk pendekatan kebutuhan pakan yang sesuai dibatasi dari ikan lele yang relatif lebih lengkap. 1. Kebutuhan Protein Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan oleh ikan untuk memelihara sel-sel tubuh, pembentukanjaringan, penggantianjaringan tubuh yang rusak, dan penambahan protein tubuh dalam proses pertumbuhan. Protein juga digunakan sebagai sumber energijika kebutuhan energi dari lemak dan karbohidrat tidak terpenuhi. Karena protein memiliki peranan penting bagi pertumbuhan, maka penyediaan protein dalam pakan perlu diberikan dalam jumlah yang cukup dan bermutu baik. Kebutuhan protein dalam pakan berhubungan erat dengan pola asam amino essensial. Oleh karena itu, untuk mencegah pakan kekurangan asam amino, maka pembuatan ransum pakan ikan dianjurkan menggunakan berbagai sumber protein. Ikan baung mebutuhkan protein dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan penelitian Gaffar (1993), kebutuhan protein bagi ikan baung berukuran 37,7 g sebanyak 28 %. Hasil penelitian Khan et al. (1993) justru menganjurkan agar pertumbuhan juvenil ikan baung dapat optimal sebaiknya diberikan pakan dengan protein 40 %. 2. Kebutuhan Karbohidrat Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi. Kandungan karbohidrat dalam pakan menjadi sangat penting karena kelebihan energi dan kekurangan energi dapat berakibat negative bagi pertumbuhan ikan. Jika kelebihan energi dalam pakan, ikan akan berhenti makan. Sebaliknya jika kekurangan energi dalam pakan, ikan akan menggunakan energi da ri protein untuk memenuhi kebutuhan energinya. Padahal, penggunaan protein sebagai sumber energi sangat tidak efisien. Kebutuhan karbohidrat pada ikan baung belum ada data yang tersedia. Oleh karena itu, kebutuhan karbohidrat kita dapat menggunakan patokan kebutuhan karbohidrat pada ikan lele (Glorias batrachus), yaitu sebesar 10 % - 15 %.
3. Kebutuhan Lemak Seperti halnya karbohidrat, lemak merupakan sumber energi, di samping berfungsi memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak, mempertahankan daya apung tubuh, dan sebagai antioksidan. Kebutuhan lemak ikan baung belum diteliti, maka kebutuhan lemak dapat menggunakan patokan kebutuhan lemak pada ikan lele (Glorias batrachus), yaitu lebih kecil dari 20 %. 4. Kebutuhan Vitamin Ikan membutuhkan vitamin dalam pakan untuk pertumbuhan yang normal, perawatan tubuh, dan reproduksi. Kekurangan vitamin dapat menimbulkan penyakit, nafsu makan menurun, pertumbuhan lambat, dan perdarahan pada sirip. Pada umumnya, ikan membutuhkan 1 % vitamin dari total komponen pakan. 5. Kebutuhan Mineral Kebutuhan mineral pada ikan dapat diperoleh sebagian dari air melalui insang, ginjal, lapisan mukosa di rongga mulut serta kulit, dan sebagian lagi diperoleh dari makanannya. Kebutuhan nutrisi ikan baung dan ikan lele disajikan pada Tabel 5. Fungsi utama mineral dalam tubuh ikan adalah untuk pembentukan struktur rangka, memelihara sistem koloid (tekanan osmosis, viskositas, difusi), dan regulasi keseimbangan asam basa. Mineral juga merupakan komponen penting dari hormon-hormon dan enzimenzim serta aktivitas enzim (NRC, 1993). Walaupun ikan mampu mengambil mineral dari lingkungannya, penambahan mineral pada pakan tetap dibutuhkan. Pakan yang tidak mengandung mineral dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, pertumbuhan lambat, dan pembentukan tulang tidak sempuma. Kebutuhan mineral ikan baung belum didapatkan, tetapi untuk kebanyakan ikan mineral sebaiknya lebih kecil dari 1%. B. Bentuk Pakan Bentuk pakan buatan tergantung pada kebiasaan makan dan ukuran benih (ukuran bukaan mulut). Benih ukuran 30 - 60 hari dapat diberi pakan berbentuk tepung kasar dan benih berumur 60 - 120 hari dapat diberi pakan berbentuk remahan. Sedangkan ikan yang berumur 120 ke atas sudah dapat diberi pakan berupa pellet. Ukuran-ukuran pellet yang disarankan untuk setiap kelompok ukuran ikan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan bentuknya, pakan buatan dapat berbentuk larutan, tepung halus, tepung kasar, remahan, dan lembaran (waver). Pakan bentuk pellet terdiri atas duajenis, yaitu pellet tenggelam dan pellet terapung. Pellet tenggelam cocok untuk digunakan bagi ikan baung
karena kebiasaan makannya di dasar wadah budi daya. Pellet terapung cocok untuk ikan yang kebiasaan makannya di permukaan perairan. Namun, biaya pembuatan untuk jenis pellet mengapung lebih mahal daripada pellet tengg&lam karena memerlukan mesin pellet khusus untuk pembuatannya. Tabel 5. Kebutuhan Nutrisi Ikan Baung dan Lele Unsur Protein (%)
Ikan Baung 28 1) 40 2)
Karbohidrat (%) Lemak (%) Vitamin: A D E C B1 Niacin Chlorin Fokte Thiamine B6 Asam pantothemine Asam amino: Arg His I so Leu Lys Met Phe Thr Try Val Asam Lemak (%): Linoleat EPAdanDHA Macromineral (%): Mg P Micromineral (mg/kg): Cu I Fe Mn Zn Se Sumber : 1) Gaffar (1993) 2) Khan et al. (1993) 3) NRC (1993)
Ikan Lele 25-35 10-15 < 20 % 1% 1000 – 2000 IU/kg 500 IU/kg 50 IU/kg 25 – 50 mg/kg 3 mg/kg 14 mg/kg 400 mg/kg 1,5 mg/kg 1 mg/kg 3 mg/kg 15 mg/kg 1,2 0,42 0,73 0,98 0,43 0,64 1,40 0,56 0,14 0,84 1–2 5,5 – 0,75 0,04 0,45 5 1,1 30 2,4 20 0,25
Tabel 6. Ukuran Pellet Berdasarkan Ukuran Ikan Ukuran ikan (gram) 1 – 10 10 – 100 100 – 500 500 ke atas
Diameter Pakan (mm) 1,0 2,0 4,0 7,0
Panjang Pakan (mm) 1,5 3,0 6,0 9,0
C. Jumlah Pakan Jumlah pakan yang diberikan per hari biasanya dihitung berdasarkan bobot badan (% bobot badan). Jumlah pakan disarankan 20 % - 50 % untuk benih : 36 % - 60 % untuk ikan ukuran 3 - 50 g, 30 % - 34 % untuk ikan ukuran 50 - 200 g, dan 2 % - 3 % untuk ikan lebih besar dari 200 g (lihat Tabel 7). Makin besar ukuran ikan, maka makin berkurang persentase pemberian pakan. Sebab, ikan yang telah besar memiliki laju metabolisme yang makin lambat, sehingga memerlukan sedikit pakan per unit bobot badan. Jumlah pakan (ransum) harian dihitung berdasarkan bobot rata-rata ikan yang disampling, kemudian dikalikan denganjumlah ikan secara keseluruhan. Tabel 7. Jumlah Pemberian Pakan untuk Ikan Baung Bobot Ikan (gram) 3 – 10 10 – 30 30 – 50 50 – 75 75 – 125 125 – 200 200 – 225 225 – 240 240 – 280
Pemberian pakan (%) 5,0 3,8 3,6 3,4 3,2 3,0 2,8 2,7 24
Contoh perhitungannya : Bobot rata-rata ikan
= 125 gram
Jumlah ikan keseluruhan
= 1000 ekor
Pemberian pakan untuk ukuran 125 gram (Tabel 7) = 3,0 % Ransum harian
= 125 x 1000 x 3,0 % = 125.000 x 3,0 % = 3.750 gram = 3,75 kg
D. Waktu Pemberian Pakan Pemberian pakan yang sering dengan jumlah yang sedikit untuk setiap kali pemberian lebih menguntungkan bagi ikan daripada pemberian pakan dalam jumlah banyak tetapijarang. Pemberian pakan sebaiknyajuga mempertimbangkan laju pengosongan lambung. Bagi ikan baung pengosongan lambungnya pada umur 1 bulan adalah selama 5 - 6 jam. Ikan baung akan makan jika jumlah pakan dalam lambungnya kira-kira tinggal ¼ bagian. Berdasarkan hal tersebut, bagi ikan baung sebaiknya diberi pakan sebanyak 4 - 5 kali sehari. Namun, pada budi daya yang sederhana, pemberian pakan malam hari sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, pemberian pakan pada ikan baung dianjurkan 3 kali sehari, yakni pagi hari, siang hari, dan sore hari.
E. Cara Pemberian Pakan Pemberian pakan pada ikan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni pemberian pakan menggunakan tangan dan pemberian pakan menggunakan alat. Pemberian pakan menggunakan tangan lebih praktis dan ekonomis karena pakan cukup ditebarkan secara merata ke seluruh permukaan kolam. Pemberian pakan tersebut disarankan untuk ditebarkan pada tempat-tempat tertentu sesuai dengan kebiasaan makan ikan. Pemberian pakan pada pemeliharaan ikan di karamba sebaiknya diletakkan dalam wadah pakan yang diletakkan di dasar karamba untuk mencegah terbuangnya pakan keluar dari karamba. Pemberian pakan di kolam air tenang d ilakukan di dekat pintu pengeluaran air, agar sisa-sisa pakan yang tidak habis termakan mudah terbuang bersama air melalui pintu air. Sedangkan pemberian pakan di kolam air deras sebaiknya dilakukan di tempat yang arusnya paling lemah danjauh dari pintu pengeluaran untuk menghindari hanyutnya pakan oleh arus. Pemberian pakan dengan alat dapat dilakukan dengan alat otomatis ataupun alat yang sederhana. Pemberian pakan dengan alat otomatis biasanya dilakukan di negara-negara maju yang menggunakan panel-panel khusus dengan sistem komputer. Pemberian pakan dengan alat sederhana dapat digunakan pada pembesaran ikan di karamba ataupun di kolam. Pakan yang berbentuk bungkil, biji-bijian, dan bentuk pellet dapat diberikan dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti keranjang yang dianyam jarang-jarang dan alat yang bemama "demand feeder" yang dapat dibuat dari corong plastik dan benda lain seperti ember plastik (Gambar 25).
Gambar 25. "Demand Feeder" Sederhana yang Terbuat dari Keranjang (A) dan Ember + Corong (B).
F. Formulasi Pakan Dalam pembuatan pellet terlebih dahulu dilakukan penyusunan ramuan, Berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyusunan ramuan, namun yang paling praktis adalah dengan menggunakan sistem segiempat pearson.
Contoh : Akan dibuat ransum dengan kadar protein 30 % sebanyak 250 kg dengan bahan-bahan yang sudah diketahui komposisi proteinnya, yaitu :
Tepung ikan (45 % protein)
Tepung kedelai (41% protein)
Dedak halus (12 % protein)
Tepung jagung (9 % protein)
Langkah awal ialah: kelompokkan terlebih dahulu dari bahan-bahan di atas kedalam kelompok energi sumber protein dan sumber energi. Sumber protein yang kandungan protein bahannya di atas 20 % dan sebaliknya di bawah 20 % dikelompokkan sumber energi.
Tepung ikan + tepung kedelai = 45 + 41 = 86/2 = 43 % protein
Dedak halus + tepung jagung = 12 + 9 = 21/2 = 10,5 % protein
Sumber protein : 43
19,5 = 19/32,5 = 0,58 = 58 % 30
Sumber energi : 10,5
13/32,5 = 13/32,5 = 0,42 = 42 %
Sumber protein 58 % = 58/2 = 29 % tepung ikan + 29 % tepung kedelai
Sumber energi 42 % =42/2 = 21 % dedak halus + 21 % tepung jagung
Jumlah masing-masing bahan yang dibutuhkan :
Tepung ikan
Tepung kedelai 29 % x 250 kg
= 72,5 kg
Dedak halus 21 % x 250 kg
= 52,5 kg
Tepung jagung 21 % x 250 kg
= 52,5 kg +
29 % x 250 kg
= 72,5 kg
250 kg Untuk membuktikan ramuan yang dibikin :
Tepung ikan 72,5 kg x 45 % protein
= 32,63
Tepung kedelai 72,5 kg x 41% protein
= 29,73
Dedak halus 52,5 kg x 12 % protein
= 6,30
Tepung jagung 52,5 kg x 9 % protein
= 4,73 + 73,39
73,39/250
= 0,29 = 29%
Jika harga tepung ikan Rp 6.000/kg, tepung kedelai Rp 4.500,00/kg, tepung jagung Rp 1.500,00/kg dan dedak halus Rp 700,00/kg, maka biaya yang diperlukan adalah :
Tepung ikan 72,5 kg x Rp 6.000,00
= Rp 435.000,00
Tepung kedelai 72,5 kg x Rp 4.500,00
= Rp 326.250,00
Dedak halus 52,5 kg x Rp 1.500,00
= Rp 78.750,00
Tepung jagung 52,5 kg x Rp 700,00
= Rp 36.750,00 = Rp 876.750,00
Biaya yang dibutuhkan untuk membuat pakan protein 30 % sebanyak 250 kg ialah Rp 876.750,00. Biaya setiap kilogram adalah Rp 3.507,00. 1. Cara Pembuatan Pellet Langkah-langkah pembuatan pellet untuk makanan ikan adalah sebagai Berikut : a. Bahan-bahan yang telah tersedia dihaluskan terlebih dahulu menjadi tepung. b. Tiap bahan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. c.
Bahan-bahan tersebut dicampur secara bertahap, dimulai darijumlah atau bobot bahan yang terendah dan terakhir yang paling banyak/berat. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan alat pengaduk atau mengaduk seperti campuran bahan bangunan. Usahakan campuran merata.
d. Campuran tersebut ditambah air sedikit demi sedikit hingga mencapai 1/3 – ½ dari bobot total bahan yang akan dibuat pellet, kemudian diaduk lagi supaya kelembapannya merata. e. Hasil adukan dimasukkan ke dalam alat pencetak pellet. f.
Setelah keluar dari alat pencetak, pellet dipotong-potong sepanjang 1 - 2 cm, kemudian dijemur.
g. Setelah kering, pellet dapat disimpan dalam kantung plastik sebelum diberikan pada ikan. 2. Cara Pembuatan Pakan Lempengan Langkah-langkah pembuatan pellet untuk makanan ikan adalah sebagai berikut : a. Adonan yang sudah diaduk dan ditambahkan air dibentuk seperti lempengan. b. Adonan yang sudah dibentuk lempengan langsung diberikan pada ikan
A
B
C
D
Tepung ikan
Tepung kedelai
Dedak
Tepung jagung
Dihaluskan
Diayak
Dicampur rata
Ditambah air 1/3 – ½ dari bobot total
Dicetak
Dipotong 1 – 2 cm
Dibuat lempeng
Diberikan pada ikan Ukuran 0,5 – 3 gram
Dikeringkan
PELLET Gambar 26. Skema Pembuatan Pellet dan Lempengan
3. Pembuatan Pakan Emulsi Langkah-langkah pembuatan pakan emuisi untuk makanan ikan dapat dilihat pada Gambar 27 berikut ini : Telur direbus Sampai masak
Kuningnya dilarutkan dalam 1 liter air
Diaduk sambil ditambahkan Sagu dan 5 g vitamin
Dipanaskan sambil diaduk
EMULSI
Gambar 27. Skema Pembuatan Pakan Emulsi.
4. Pembuatan Pakan Larutan Suspensi Langkah-langkah pembuatan pakan larutan suspensi untuk makanan ikan dapat dilihat pada Gambar 28 berikut ini : Telur direbus Sampai masak
Kedelai direbus sampai masak
Kuningnya digerus Sambil ditambah air dan disaring
Digerus dan Di saring
Dicampur dan Diaduk merata
Siap diberikan Gambar 28. Skema pembuatan larutan suspensi
BAB VI PENYAKIT DAN PENGENDALIANNYA Ikan yang dibudidayakan seringkali mengalami serangan penyakit. Tanda-tanda ikan yang terserang penyakit secara umum adalah ikan sering tampak berenang di permukaan air (bukan pada waktu makan), ikan memisahkan diri dari kelompoknya, ikan berenang secara pasif di permukaan air, ikan seringkali menjauh dari pemasukan air, ikan bergerak lambat, mulut ikan megap-megap di permukaan air, nafsu makan berkurang, insang ikan berwarna pucat sampai kebiru-biruan. A. Penyakit Parasit Parasit merupakan hewan atau tumbuh-tumbuhan yang menggantungkan hidupnya pada inangnya. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat berasal dari bakteri, jamur, protozoa, ataupun cacing.. 1. Penyakit yang Diakibatkan oleh Bakteri Penyakit yang diakibatkan oleh bakteri disebut penyakit bakterial. Penyakit ini secara umum ditandai dengan adanya luka berwarna kemerah-merahan atau bercak-bercak merah pada bagian tubuh luar ikan, seperti bisul berisi cairan, sirip mengalami pembusukan sehingga rusak, insang pucat dan rusak, perut mengalami pembengkakan, dan kadangkadang ekor ikan putus. Jenis bakteri yang menyerang ikan air tawar, terutama lele dan baung, adalah bakteri Aeromonas hydrophyla. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit jika kondisi lingkungan ataupun kondisi ikan itu sendiri menjadi buruk. Pencegahan penyakit bakterial dapat dilakukan dengan digunakan obat-obatan seperti Malacheet Green (MG). Malacheet Green berupa serbuk hijau yang bisa dibeli di apotik atau toko-toko obat. Dosis yang digunakan adalah 1 - 15 mg/liter. Ikan yang sakit direndam dalam larutan Malacheet Green selama kira-kira 10 - 15 menit. Pengobatan dilakukan 3 kali berturut-turut dengan jarak waktu 2 - 3 hari. 2. Penyakit yang Diakibatkan oleh Jamur Tanda-tanda ikan yang terserangjamur adalah pada kulit ikan ditumbuhi benang-benang halus seperti kapas berwarna putih atau putih kecokelat-cokelatan. Jenis jamur yang sering menyerang ikan air tawar (seperti catfish) adalah jamur Aphanomyces (menyerang bagian dalam tubuh) dan Saprolegmia (menyerang bagian luar tubuh).
Pencegahan dan pengobatan penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kolam atau karamba dan menghindari perlakuan yang dapat menimbulkan luka pada ikan. Ikan yang terserang penyakit jamur dicelupkan ke dalam larutan Malacheet Green dosis 60 g/m3 selama 15 menit, atau dengan dosis 2 - 3 gram/m3 air selama 1 jam atau dicelupkan dalam larutan formalin (kadar 10 %) dengan dosis 1,5 - 2 cc/liter air selama 15 menit. 3. Penyakit yang Diakibatkan oleh Protozoa Penyakit yang paling sering dijumpai pada larva ikan adalah penyakit bintik putih (white spot). Penyakit ini disebabkan oleh parasit protozoa dari jenis Ichthyopthirius multifilis sehingga sering juga disebut penyakit " Ich". Ichthyopthirius multifilis ini merusak sel-sel lendir ikan dan dapat menyebabkan pendarahan yang sering terlihat pada sirip dan insang ikan. Pencegahan penyakit Ichthyopthirius multifilis dapat dilakukan dengan menciptakan suasana kesegaran dan kesehatan bagi ikan dengan mengusahakan kualitas air tetap dalam kondisi optimal yang disertai pemberian pakan yang baik. Pengobatan atau pemberantasan penyakit dapat dilakukan dengan : a. Ikan yang sakit direndam dalam larutan garam dapur (NaCl) dosis 10 - 15 g/liter air selama 20 menit atau 25 g/liter selama 10 - 15 menit. b. Ikan yang sakit direndam dalam larutan Malacheet Green dosis 0,05 mg/liter selama 3 - 4 hari atau 0,15 mg/liter. c.
Suhu air pemeliharaan ditingkatkan menjadi 30°C dan setiap hari air diganti 50 %.
d. Ikan yang sakit direndam dalam Acriflavine (hydrochlorida) dosis 10 mg/liter. 4. Penyakit yang Diakibatkan oleh Learnea Parasit Leamea merupakan parasit yang menempel pada bagian luar tubuh ikan. Parasit ini dapat menyebabkan terjadinya luka-luka sehingga menjadi jalan masuk bagi bakterijamur, dan virus (Gambar 29). Timbulnya Learnea ini disebabkan oleh banyakya bahan organik berupa sampah, sisa pemupukan dan sisa-sisa makanan, pengairan kolam yang tidak mengalir, suhu yang relatif tinggi, atau padat penebaran yang tinggi. Gejala-gejala pada ikan yang terserang penyakit Learnea adalah pada bagian badan, sirip, dan mata ditemukan parasit yang menempel. Ikan yang terserang penyakit ini juga sering mengalami luka-luka atau radang pada tempat melekatnya parasit. Pencegahan penyakit Lesmea dapat dilakukan dengan menyaring air terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke kolam. Ikan yang sakit direndam dalam larutan PK (Kalium Permanganat = KMnO2) dosis 20 - 25 mg/liter selama 2 - 3 jam. Pengendalian penyakit dapat juga dilakukan dengan merendam ikan dalam larutan formalin 10 % dengan dosis 250 ml/m 3 air selama 10 - 15 menit dan diulangi 2 - 3 kali dalam selang waktu 2 - 3 hari. Pencegahan
penyakit ini dapat juga dilakukan dengan merendam ikan yang terserang dengan menggunakan Dipterex Bromex dosis 0,25 mg/liter. 5. Penyakit yang Diakibatkan oleh Kutu Ikan (Argulus) Kutu ikan (Argulus) hidup dengan cara mengisap darah ikan. Kutu ikan ini dapat berpindah-pindah dari satu ekor ikan ke ikan yang lain (Gambar 29). Tanda-tanda ikan yang terserang kutu ikan adalah ikan menjadi kurus, bahkan ikan yang terserang sering mati karena disengat dan dihisap darahnya. Gerakan ikan menjadi lamban dan pada badan/tubuh kadang-kadang terdapat bintik merah. Pencegahan kutu ikan dapat dilakukan dengan pengeringan kolam secara berkala, sambil mengolah tanah, memupuk, mengapur kolam u ntuk memusnahkan telur-telur Argulus, serta pergantian air kolam sesering mungkin. Pemberantasan atau pengobatan terhadap ikan yang terserang penyakit ini dapat ditempuh dengan merendam ikan dalam larutan garam dapur (NaCl) 20 g/liter selama 5 menit atau dapat juga merendam ikan yang sakit dalam Insektisida Malathin dan Dipterex dengan dosis 0,25 mg/liter. 6. Penyakit yang Diakibatkan oleh Gyrodactylus dan Dactylogyrus Gyrodactylus dan Dactylogyrus adalah sejenis cacing sangat kecil yang hidup sebagai parasit ikan dan merusak insang serta kulit luar ikan. Insang yang diserang Gyrodactylus dan Dactylogyrus menjadi luka-luka, kemudain timbul pendarahan akibat pernafasan ikan terganggu. Kulit ikan yang terserang menjadi berlendir banyak (Gambar 29 ). Pengobatan terhadap ikan yang terserang Gyrodactylus dan Dactylogyrus dapat dilakukan dengan menggunakan larutan fomalin 25 mg/liter air.
Gambar 29. Jenis parasit penyebab penyakit ikan
B. Penyakit Non-Parasit Penyakit non-parasit adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti fisika-kimia air yang tidak sesuai dengan kebutuhan ikan dan faktor makanan/gizi yang tidak terpenuhi. Penyakit akibat fisika-kimia air misalnya perubahan suhu, pH, kekurangan oksigen, adanya gas-gas beracun (NH3, H2S), dan zat beracun. Penyakit akibat makanan yang tidak baik (malnutrien), misalnya kekurangan vitamin atau bahan makanan yang busuk dan mengandung racun. Gejala penyakit yang diakibatkan oleh
kekurangan makanan adalah timbulnya gejala usus pecah yang banyak ditemukan pada ikan dari kelompok catfish. Penyakit tulang bengkok pada catfish diduga karena kekurangan vitamin C. Penyakit sejenis tumor yang disebabkan oleh racun jamur (Aflatoxin) melalui bahan kacang-kacangan yang digunakan untuk menyusuh komposisi pakan buatan. Untuk menanggulangi penyakit non-parasit tersebut di atas dapat dilakukan dengan mengusahakan kondisi lingkungan dan makanan yang sesuai dengan kebutuhan ikan.
BAB VII PANEN DAN PENANGANAN PASCAAPANEN Panen ikan baung biasanya dilakukan setelah pemeliharaan selama 3 - 3,5 bulan atau ikan telah berukuran 250 - 500 g dan panjang 20 - 25 cm. Panen dapat dilakukan secara bertahap atau secara total, tergantung pada keperluan. A. Panen Panen ikan baung yang dibelihara di karamba dan ikan baung yang dipelihara di kolam adalah sebagai berikut. 1. Cara Panen di Karamba Sebelum panen dilakukan, kita harus menyiapkan terlebih dahulu alat-alat seperti tangguk, keranjang atau ember, kantung plastik, tabung gas oksigen, dan timbangan. Panen ikan baung di karamba yang terbuat dari jaring plastik dapat dilakukan dengan cara mengangkat karamba tersebut. Setelah karamba diangkat sebagian, kemudian ditangguk berulang kali sampai ikan dalam karamba tersebut habis. Sehabis ikan-ikan dalam karamba tersebut dipanen, seluruh kotoran dalam karamba dibersihkan karamba kemudian dijemur beberapa hari hingga kering. Jika karamba untuk pemeliharaan ikan terbuat dari kayu atau bambu yang cukup berat, cara pemanenan ikan dilakukan dengan menggunakan tangguk. Ikan-ikan yang akan dipanen diciduk dari atas melalui pintu karamba. Cara panen ikan di karamba yang terbuat dari kayu atau bambu memang agak sukar dan memerlukan waktu yang cukup lama. Di samping itu, kita sukar mengetahui apakah ikan sudah habis atau masih ada dalam karamba. Karamba yang terbuat dari kayu atau bambu tidak dapat dikeringkan dan dibersihkan bagian dalamnya. 2. Cara Panen di Kolam Panen ikan baung di kolam dilakukan setelah pemeliharaan 3 - 4 bulan dan ukuran ikan telah mencapai 20 - 25 cm dengan bobot 250 - 500 g. Panen ikan di kolam dapat dilakukan secara bertahap jika ukuran ikan tidak seragam. Jika ukuran ikan relative seragam, pemanenan dapat dilakukan secara total. Sebelum panen dilaksanakan, segala peralatan dan sarana penunjang harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghindari penurunan mutu ikan.
Panen ikan di kolam sebaiknya dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 6.00 - 7.00 supaya ikan tetap segar dan tenaga kerjanya pun masih kuat sehingga panen dapat selesai sebelum hari panas. Panen dilakukan dengan terlebih dahulu membuang air kolam. Jika konstruksi kolam baik, panen dapat dilakukan di dekat pintu air. Sebaliknya, jika konstruksi kolam sederhana dan berlumpur, panen sebaiknya dilakukan dengan menelusuri seluruh bagian kolam dengan menggunakan jaring atau menggunakan tangan langsung karena ikan baung senang membenamkan diri di dalam lumpur. Jika menginginkan ikan hidup sampai pada konsumen, pada waktu panen sebaiknya disisipkan hapa yang diikat dekat pintu air agar ikan yang dipanen tertampung terlebih dahulu di hapa. Kemudian, ikan diangkut dengan wadah yang berisi air, misalnya tong plastik ataujerigen yang dipotong tengahnya. B. Penanganan Pascapanen Seperti halnya komoditas ikan yang lain, ikan baung termasuk komoditas yang cepat rusak (mutunya menurun) karena proses pembusukan. Proses pembusukan terjadi sejak ikan mati dengan terjadinya proses autolysis oleh enzim dan bakteri menyebabkan terjadinya penurunan mutu dan pembusukan pada tubuh ikan. Agar penurunan mutu dapat dihambat, penanganan ikan ketika panen dan setelah dipanen (pascapanen) harus ditangani dengan baik dan benar. 1. Ikan Segar Kebanyakan ikan baung dijual dalam bentuk ikan segar yang mati. Namun, jika menginginkan ikan hidup sampai ke konsumen, maka dapat ditempuh dengan cara seperti pada pengangkutan benih. Wadah yang digunakan untuk mengangkut ikan hidup dapat dibuat lebih besar atau lebih b anyak, baik dalam kantong plastik maupun dalam tong plastik. Ikan segar yang mati yang diangkut ke konsumen memerlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya pembusukan. kebersihan ikan harus diperhatikan dengan cara dicuci sebelum dimasukkan ke dalam wadah pengangkutan. Demikianjuga, penyusunan ikan dalam wadah tidak boleh terlalu tinggi agar ikan yang berada di bawah tidak rusak. Pengangkutan ikan dapat menggunakan es dalam jumlah yang cukup agar bakteri atau mikroorganisme lain tidak aktif berkembang. 2. Ikan Asap Selain dikonsumsi segar, ikan baung juga telah populer untuk dijadikan ikan asap. Di pasar-pasar di Kotamadya Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan daerah lainnya di Riau selalu dijumpai ikan baung asap. Namun, produk ikan baung asap belum dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsumen ikan baung asap di propinsi Riau umumnya masyarakat
golongan ekonomi menengah ke atas karena harga jualnya relatif mahal, yaitu Rp 90.000,00 - Rp 95.000,00 per kilogram.
Gambar 30. Ikan Baung Asap
Di propinsi Riau ikan baung yang dihasilkan dari perairan umum. Biasanya, pengasapan dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan rumah asap yang terbuat dari drum dengan sumber asap adalah sabut kelapa dan kayu. Pengasapan berlangsung antara 12 - 20 jam. Ikan asap yang belum terjual atau dikonsumsi biasanya dimasukkan ke dalam rumah asap lagi. Ukuran ikan baung yang diasap biasanya berkisar 100 - 250 g. Pengolahan dan pengawetan ikan baung secara tradisional pada prinsipnya adalah mengurangi kadar air untuk menghindari proses kemunduran mutu dan pembusukan, baik secara kimiawi, biologis, maupun fisik. Cara pengawetan ikan dengan pengasapan sudah dikenal manusia sejak zaman dahulu, yaitu sejak ditemukannya cara membuat api dan ikan menjadi masak karena panasnya api. Setelah menjadi masak, ikan tersebut akan berbau asap yang berasal dari kayu yang terbakar yang dapat menimbulkan bau dan aroma yang khas. Dengan kemajuan tingkat pemikiran dan pengetahuan, manusia makin tahu bahwa dengan pengasapan ikan bisa disimpan lebih lama dalam keadaan.enak untuk d imakan. Pengasapan merupakan salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk memperpanjang daya awet ikan dengan menggunakan bahan bakar kayu sebagai bahan yang menghasilkan asap. Pengasapan akan menghasilkan panas yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar air ikan dan mengakibatkan terhambatnya aktivitas mikroba. Daya awet produk ikan yang diasap tidak hanya disebabkan oleh proses pemanasan, pengeringan, dan penggaraman, tetapi juga asap yang dihasilkan mempunyai senyawa-senyawa tertentu yang bersifat bakterisidal. Proses pengasapan ikan sebenamya terjadi serangkaian proses penggaraman, pengeringan, pemanasan dan pengasapan. Asap yang dihasilkan membuat ikan yang diasap
menjadi mengkilat. Sifat mengkilat ini dihasilkan oleh reaksi-reaksi kimia dari senyawasenyawa dalam asap, yaitu formaldehid dengan fenol yang menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan ikan sehingga menjadi mengkilat. Komposisi kimia asap kayu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi kimia sap kayu Komposisi kimia
Kandungan Berat serbuk kayu (%) 0,06
Asap (mg/m3) 30-50
0,19 0,13 0,43 1,80 1,04 5,28 -
180-830 190-200 115-160 600 1.295 23-40
Formaldehid Aldehid lain (termasuk furfural) Keton Asam Format Asam Asetat Metil Alkohol Terpen Phenol Sumber: Zaitsev et al. dalam Loekman (1993).
Bahan bakar untuk pengasapan ikan dapat menggunakan sabut kelapa atau tempurung kelapa, bonggol jagung, potongan-potongan kayu, atau serbuk gergajian kayu yang tidak mengandung resin. Kayu mengandung bahan yang dapat terbakar. Bau yang dihasilkan dari kayu yang terbakar merupakan persenyawaan organik kompleks, yaitu selulosa, lignin, pentosan, asam laurat, senyawaan protein, resin, dan terpen. Berdasarkan suhu pengasapan dikenal dua jenis pengasapan, yaitu pengasapan panas dan pengasapan dingin. Pengasapan panas dilakukan dengan suhu yang mencapai 100°C dan suhu dalam daging ikan mencapai 60°C. Sedangkan pengasapan dingin dilakukan dengan suhu maksimum 30°C. Secara skematis, cara pengasapan ikan baung dapat dilihat pada Gambar 31. Hasil penelitian terhadap komposisi asam-asam amino ikan baung segar dan yang diasap disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi asam amino ikan baung segar dan diasap Jenis Asam Amino Essensial: Treonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Lisin Tirosin Fenilalanin Non-Essensial: Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Glisin Alanin Histidin
Tanpa diasap (g/100 g protein)
Pengasapan 16 jam (g/100 g protein)
4,9 4,9 3,9 4,5 5,7 6,1 4.8 4.9
4,3 4,6 3,6 4.3 4.4 5,6 4,3 4,7
7,1 7,4 4,5 4,4 5,0 13,6
6,4 7,0 4,3 2,8 4,7 12,1
Arqinin
6,0
5,4
IKAN BAUNG
DISIANGI
DICUCI
DIRENDAM DALAM LARUTAN GARAM 10 % (30 MENIT)
DITIRISKAN (5 MENIT)
DISUSUN DIATAS PARA-PARA
DIASAP DENGAN PENGASAPAN PANAS (SUHU 65 – 80OC) SELAMA 16 JAM
IKAN BAUNG ASAP
DIDINGINKAN
DIKEMAS Gambar 31. Skema proses pengasapan ikan baung
Dari setiap proses pengasapan dengan menggunakan 8,5 kg ikan baung segar diperoleh 4,8 kg ikan baung asap. Lama pengasapan untuk proses tersebut selama 16 jam. Biaya pengasapan (arang, batok kelapa, sabut kelapa, garam, dan tenaga kerja) adalah sebesar Rp 40.800,00. Jika harga ikan baung segar sebesar Rp 40.000,00/kg dan ikan baung asap sebesar Rp 90.000,00/kg.makakeuntungan yang diperoleh setiap kali pengasapan adalah sebesar Rp 51.200,00. Untuk lebihjelasnya, rincian biaya dan pendapatan pengasapan ikan baung dapat dilihat pada Tabel 10.
Gambar 32. Rumah asap Hashimito Canning. Tabel 10. Biaya dan pendapatan pengasapan ikan baung No 1.
2.
Uraian a. Biaya ikan baung segar 8,5kg b. Biaya pengasapan : 1) Arang 2) Batok kelapa 3) Sabut kelapa 4) Garam 5) Tenaga kerja Pendapatan (Penjualan ikan baung as. Pendapatan bersih (2 - 1)
Jumlah Rp 340.000,00 Rp8.500,00 Rp5.100,00 Rp1.200,00 Rp1.000,00 Rp26.000,00
Rp 40.800,00
Rp432.000,00 Rp 51.200,00
DAFTAR PUSTAKA Affandi, R. 1998. Proses Pematangan Gonadpada Ikon Betina (Teleostei). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Alawi, H. 1990. Memelihara Ikan Dalam Karamba. Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Alawi, H., M. Ahmad, Rusliadi dan Pardinan. 1992. "Some Biological Aspect of Macrones Catfish (Macrones nemurus) from Kampar River." Dalam : Terubuk 18 (52) : 33 - 47. Amomsakun, A., and A. Hassan. 1997. "Some Aspect in Early Life Stages in Larval Green Catfish Mystus nemurus." Dalam: IFR Journal 3 : 64 - 70. Asmawi, S. 1984. Pemeliharaan Ikan Dalam Karamba. Gramedia. Jakarta. Bardach, J.E., J.H. Ryther and W.O. McLamey. 1972. Aquaculture: The Farming and Husbandry of Fresh Water and Marine Organisme. 2nd Edition. John Wiley and Sons. New York. Busch, R.L. 1985. "Channel Catfish Culture in Ponds." p. 13 - 18. Dalam: C.S. Tucker (Ed.) Channel Catfish Culture. Elsevier. New York. Carman, 0., Alimuddin, H. Arfah, S. Nuryati dan L. Mulyani. 1999. "Buku Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Air Tawar." Dalam: Proyek Semi-Que. Institut Pertanian Bogor. Cruz, E.M. 1986. Buku Pegangan Latihan Makanan Ikan. Proyek Pengembangan Perikanan Skala Kecil. USAID Jakarta. Dirjen Perikanan. Pemerintah Indonesia. Djajadiredja, R., S. Hatimah dan Z. Arifin. 1972. Buku Pengenalan Sumber Perikanan Darat. Bagian I. Dirien Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Effendi, I. 1999. "Pemeliharaan Larva." Dalam: Makalah Pelatihan Pembenihan Ikan. Proyek Semi-Que. Institut Pertanian Bogor. Gaffar, A.K. 1982. "Pertumbuhan Ikan Baung (Macrones nemurus) yang Diberi Makan Pellet dengan Formulasi Berbeda di Sangkar Terapung." Dalam: Bulletin Penelitian Perikanan Darat 3 (2) : 8 - 12. Gaffar A.K. 1998. "Ikan Baung (Mystus nemurus) Si Kumis dan Perairan Tawar." Dalam: Loka Penelitian Perikanan A ir Tawar. Palembang. Hadikoesworo, H. 1986. Penelitian Ekonomi Budi Daya Perairan di Asia. Gramedia. Jakarta. Imaki, A., Kawamoto and A. Suzuki. 1978. A History of Freshwater Fishes Collected from the Kapuas Rivers, Kalimantan Indonesia. The Institute for Breeding. Tokay University of Agriculture. Loekman, S. 1993. "Pengamh Lama Pengasapan Terhadap Kandungan Zat Gizi Ikan Baung." Dalam: Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.