MASTERPLAN MINAPOLITAN
KABUPATEN BOGOR
Tim Penyusun nyusun : La la M . Kolop Kolopa a king ing Ka da rwan wa n Soe Soewa warrdi Linawati Hardjito Erna Ernan n Rusti Rustia a di Ta ryono Kodira Kodira n Siti Nursyiah Nursyiah Prastowo Od ang C arm arman Yoyoh Indar nda rya nti nti
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kehadirat
Allah Allah SWT SWT karena atas limpahan limpahan rahmat rahmat dan
karunia-Nya “Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ” ini dapat diselesaikan. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara PSP3 - LPPM IPB dengan BAPPEDA Kabupaten Bogor berdasarkan Surat Kuasa Melaksanakan Pekerjaan Swakelola Kajian Akademis oleh Pergur P erguruan uan Tinggi. Dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ini merupakan bentuk Laporan Akhir dari
pertan pertanggun ggungjawaban gjawaban P S P 3-IP B
dalam pelaksanaan
kegiat kegiatan an
Penyusunan Penyusunan
Masterplan Minapolitan di di Kabupaten Bogor. Laporan ini ini dibuat berdasarkan data data dan
informasi yang diperoleh melalui beragam pendekatan dari wawancara mendalam, observasi langsung, survey terhadap stakeholder terkait maupun diskusi kelompok terarah pada beragam tingkatan. tingkatan. Selain elain itu, laporan ini dilengkapi dengan masukanmasukan yang diterima oleh Tim pada saat kegiatan ekspose Laporan Pendahuluan dan
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kehadirat
Allah Allah SWT SWT karena atas limpahan limpahan rahmat rahmat dan
karunia-Nya “Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ” ini dapat diselesaikan. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara PSP3 - LPPM IPB dengan BAPPEDA Kabupaten Bogor berdasarkan Surat Kuasa Melaksanakan Pekerjaan Swakelola Kajian Akademis oleh Pergur P erguruan uan Tinggi. Dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ini merupakan bentuk Laporan Akhir dari
pertan pertanggun ggungjawaban gjawaban P S P 3-IP B
dalam pelaksanaan
kegiat kegiatan an
Penyusunan Penyusunan
Masterplan Minapolitan di di Kabupaten Bogor. Laporan ini ini dibuat berdasarkan data data dan
informasi yang diperoleh melalui beragam pendekatan dari wawancara mendalam, observasi langsung, survey terhadap stakeholder terkait maupun diskusi kelompok terarah pada beragam tingkatan. tingkatan. Selain elain itu, laporan ini dilengkapi dengan masukanmasukan yang diterima oleh Tim pada saat kegiatan ekspose Laporan Pendahuluan dan
DAFTAR ISI
Kata P engantar engantar
iii
Daftar Isi Isi
iv
Daftar Tabel
v
Daftar Gambar
v
I.
PENDAHULUAN
I-1
1.1. Latar Belakang
I-1 I-1
1.2. Tujuan dan Sasaran
I-2
1.2.1. 1.2.1. Tujuan
I-3
Bogor: Perda No. 19 Tahun 2008
IV.
3.3. Kebijakan Rencana Pembangunan J angka Memengah Daerah (RPJ M-D) Kabupaten Bogor 2008-2013: Perda No. 7 Tahun 2009
III-11
3.4. Peraturan Terkait Minapolitan
III-13
WAKTU DAN LOKA SI KEGIATAN
4-1
4.1. Lokasi Kegiatan di Empat Kecamatan
4-1
4.2.1. Kerangka Pendekatan Studi
IV-2
4.2.1. Pendekatan Penyusunan Master Plan
IV-2
4.2.2. Pendekatan Pengembangan Minapolitan
IV-4
4.2.3. P endekatan Agribisnis dalam Pengembangan Minapolitan
IV-5
4.3. Pendekatan Keilmuan Terkait
IV-7
4.3.1. Pendekatan Peerikanan Budidaya
IV-7
4.3.2. Pendekatan Pengolahan Perikanan
IV-8
4.3.3. Pendekatan Hidrologi
IV-9
4.3.4. Pendekatan Kelembagaan dan Sosial Ekonomi Perikanan
IV-9
6.4.2. Permasalahan Pengolahan
VI-7
6.4.3. Potensi Calon Sentra Pengolahan
VI-7
6.5. Pemasaran
VII.
VI-8
6.5.1. Pemasaran Ikan Segar
VI-8
6.5.2. Pemasaran Ikan Olahan
VI-9
6.6. Sistim Tata Air
VI-11
6.7. Kebijakan Terkait Minapolitan
VI-15
6.8. Isu dan Permasalahan Kelembagaan
VI-17
6.9. Potensi Minawisata
VI-18
6.9.1. Infrastruktur Wilayah
VI-18
6.9.2. Identifikasi dan Analisis Potensi Lanskap Kawasan Minapolitan
VI-18
6.9.3. Analisis Kelayakan Lanskap untuk Minawisata
VI-24
STRATEGI DAN RENCANA PENGEMBANGAN
VII-1
7.1. Penetapan Kawasan Pengembangan
VII-1
7.2. Penetapan Produk Unggulan
VII-1
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Hal
4.1.
Lokasi Kegiatan di 4 Kecamatan
IV-1
4.2.
Kerangka Pendekatan Penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan
IV-3
4.3.
Alat Perencanaan
IV-11
4.4.
Kriteria Penilaian Kelayakan Kawasan untuk Wisata
IV-14
4.5.
Penilaian Akseptibilitas Masyarakat
IV-16
5.1.
Present
J enis Mata Pencaharian Masyarakat P
Kecamata di Zon
V-2
7.1.
Skor Penentuan Komoditas Unggulan Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor
VII-2
7.2.
Parameter Penilaian Pengolahan
VII-2
7.3.
Daftar Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Filet dan Pemanfaatan Hasil Samping
7.4.
Fasilitas dan Peralatan untuk Pembuatan Lele Asap
VII-6
7.5.
Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Surimi
VII-7
7.6.
Fasilitas yang Diperlukan untuk Proses Produksi Surimi
VII-7
7.7.
Pilihan Bentuk Kelembagaan Pengelola Kawasan Minpolitan Bogor
VII-20
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Hal
2.1.
Konsepsi Pengembangan Minapolitan
II-6
2.2.
Keterkaitan Pusat Kawasan Minapolitan
II-7
2.3.
Deskripsi Kawasan Minapolitan
II-9
2.4.
Keterkaitan Usaha dan Pelakunya di Wilayah Studi
II-10
4.1.
Peta Lokasi Kegiatan
IV-2
4.2.
Sistem Agribisnis Perikanan
IV-6
4.3.
Tahapan Studi
IV-13
6.13.
Peta Kecamatan Ciseeng
VI-20
6.14.
Kondisi Desa Babakan
VI-20
6.15.
Kondisi Pasar Ciseeng
VI-20
6.16
Kondisi Kawasan Budidaya Ikan Hias
VI-21
6.17.
Kondisi Kawasan BP3K
VI-21
6.18
Pembesaran Lele
VI-21
6.19
Peta Kecamatan Parung
VI-22
6.20
Kawasan Wisata Tirta Sanita
VI-22
6.21.
Kawasan Budidaya Lobster
VI-22
6.22.
Pengolahan Lele Asap
VI-23
6.23.
Peta Kecamatan Gunung Sindur
VI-23
6.24
Beberapa Area Pemancingan
VI-24
7.16.
Tahapan Substantif Pembentukan Kelembagaan Operasional Pengelolaan Kawasan Minapolitan
VII-19
DAFTAR LA MPIRAN
Lampiran 1. Peta Produksi Perikanan
Dapus & Lamp-3
Lampiran 2. Peta Rumah Tangga Perikanan
Dapus & Lamp-4
Lampiran 3. Peta Sarana dan Prasarana
Dapus & Lamp-5
Lampiran 4. Peta Lokasi Obyek Wisata Minapolitan
Dapus & Lamp-6
Lampiran 5. Tabel Indikasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan
Dapus & Lamp-7
PENDAHULUAN
1.1.
1
Latar Belakang
Bogor merupakan salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI) sebagai lokasi Pengembangan Minapolitan. Kebijakan tersebut seirama dengan Kebijakan Revitalisi P etanian dan Pedesaan (RP3) Kabupaten Bogor yang menerapkan pendekatan pengembangan pertanian berdasarkan zonasi. Prinsip Zonasi Pengembangan RP3 ditujukan agar di Kabupaten Bogor ada percepatan pembangunan pertanian dalam arti luas melalui pengembangan komoditas unggulan di masing-masing zona. Selaras dengan RP 3 tersebut, prinsip pangembangan minapolitan oleh KKP juga menekankan pengembangan komoditas perikanan unggulan di masing-masing wilayah berdasarkan kluster wilayah. Program minapolitan merupakan upaya untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan
Kabupaten Bogor adalah salah satu wilayah dengan ekologi dan geografis yang memiliki potensi usaha perikanan budidaya air tawar
yang sangat memadai dan layak
dikembangkan dalam kerangka program pengembangan minapolitan budidaya. Kabupaten Bogor yang menjadi hinterland Daerah Khusus Ibukota J akarta merupakan wilayah pemasok pasar produk perikanan baik nasional maupun internasional. Hingga saat ini, beberapa komoditas perikanan budidaya sudah berkembang di Kabupaten Bogor, diantaranya ikan nila dan ikan Lele, Gurame, dan lain-lain. Namun demikian, dalam kerangka minapolitan budidaya, tidak semua komoditas perikanan budidaya tersebut harus menjadi komoditas pengembangan budidaya perikanan. Oleh karena itu, dalam kerangka minapolitan budidaya, di mana satu bentuk/jenis kegiatan budidaya perikanan satu komoditas unggulan, maka harus ada prioritas komoditas perikanan budidaya yang akan dikembangkan untuk masing-masing jenis kegiatan budidaya perikanan. Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan minapolitan budidaya tersebut adalah bahwasannya pengembangan minapolitan budidaya harus terintegrasi dan memperhatikan kebijakan-kebijakan terkait yang sudah ada di Kabupaten
secara cermat sehingga masterplan yang terbentuk dapat mendukung segala kegiatan dan kepentingan minapolitan secara efektif dan efisien. 1.2.2. Sasaran
Merujuk tujuan kegiatan yang diuraikan sebelumnya, maka sasaran dari kegiatan ini adalah tersusunnya dokumen rencana induk atau masterplan pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor. Masterplan tersebut haruslah mempertimbangan dan mewakili seluruh pihak terkait agar dapat menjadi cetak biru dalam pembangunan minapolitan.
1.3. Ruang Ling kup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan penyusunan masterplan
pengembangan minapolitan di
Kabupaten Bogor sebagai berikut: 1. Identifikasi potensi sumberdaya alam (lahan, lingkungan perairan dan perikanan), sumberdaya manusia, dan kelembagaan perikanan. 2. Identifikasi isu dan permasalahan dalam pengembangan perikanan budidaya
KONSEP DAN KERANGKA TEORI PENGEMBANGAN KAWASAN
2
MINAPOLITAN
2.1.
Pengerti an dan Ciri Kawasan Minapolit an
2.1.1. Pengert ian Umum
Secara bahasa, minapolitan berasal dari kata “Mina” (perikanan) dan “politan” (poli (multi) dan – tan (kegiatan)) yang dapat diartikan sebagai kluster kegiatan perikanan yang meliputi kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran dalam sistem agribisnis terpadu di suatu wilayah atau lintas wilayah perikanan dengan kelengkapan sarana prasarana serta pelayanan seperti di perkotaaan (kelembagaan, sistem permodalan, transportasi, dan lain-lain). Lengkapnya adalah kluster perikanan yang tumbuh dan berkembang seiring berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang mampu melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan perikanan di wilayah tersebut dan
2.1.2. Kri teria dan Persyaratan Kawasan Minapoli tan a. Kri teria Kawasan Minapoli tan
Kriteria dan persyaratan kawasan minapolitan yang akan dikembangkan, disesuaikan dengan kondisi geografis dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing kawasan yang akan dikembangkan. Kriteria umum pengembangan kawasan minapolitan harus memenuhi kriteria di bawah ini, yaitu: 1.
Penggunaan lahan untuk kegiatan perikanan harus memanfaatkan potensi yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi dan wajib memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup serta mencegah kerusakannya;
2.
Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang untuk dialih fungsikan;
3.
Kegiatan perikanan skala besar, baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki kajian Amdal sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku;
4.
Kegiatan perikanan skala besar, harus diupayakan menyerap sebesar mungkin
1.
Memiliki sumberdaya lahan/perairan yang sesuai untuk pengembangan komoditas perikanan yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (komoditas unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha komoditas unggulanya. Pengembangan kawasan tersebut tidak hanya menyangkut kegiatan perikanan saja (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai dari pengadadaan nsarana dan prasarana perikanan, kegiatan pengolahan hasil perikanan sampai dengan pemasaran hasil perikanan serta kegiatan penunjang.
2.
Memiliki berbabgai sarana dan prasarana minabisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistsem dan usaha minabisnis tersebut adalah: a. Pasar, (pasar hasil-hasil perikanan, pasar sarana dan prasarana, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, cold storagge dan processing hasil perikanan sebelum dipasarkan. b. Lembaga keuangan (perbankan maupun non perbankan). c. Memiliki kelembagaan perikanan (kelompok, UPP). d. Balai Beni Ikan. e. Penyuluhan dan bimbingan teknologi.
3.
Memiliki sarana dan Prasaran penunjang yanga memadai seperti jalan, listrik, air
Untuk mendapatkan model-model pengembangan minapolitan pada kawasan pertanian yang berbasiskan: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan maka diperlukan susunan tipologi sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh masingmasing kawasan minapolitan. Di daerah-daerah yang akan dikembangkan sebagai kawasan minapolitan, membangun industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan menjadi sangat penting untuk dilakukan agar produk tersebut tidak menjadi komoditi yang dipermainkan pasar. Dengan demikian selain petani akan mendapatkan jaminan pembelian bagi produk pertanian yang dihasilkan, harga jual produk pertanian juga akan memberikan kontribusi yang baik kepada petani. Akan terjadi kerjasama yang baik antara petani dengan industri, di mana petani akan mengembangkan tanaman atau komoditi yang dibutuhkan oleh industri; sedangkan industri akan mendapatkan jaminan suplai dari para petani pengembang komoditi yang dibutuhkan. 2.2.2. Prins ip, Tujuan dan Perencanaan Pengembangan Kawasan Minapol itan a. Prins ip Pengembangan Kawasan Minapoli tan
b. Perencanaan Pengembang an Kawasan Minapoli tan
Proses perencanaan kawasan minapolitan memerlukan fasilitasi kegiatan berupa sosialisasi program untuk seluruh stakeholders dalam rangka menyamakan persepsi, mendapatkan masukan bagi proses pengembangan, dan mensiasati persaingan pasar (domestik dan global). Langkah berikutnya adalah penetapan kawasan di daerah kabupaten/kota sebagai kawasan pengembangan minapolitan melalui studi kelayakan (ekonomi, teknis, dan lingkungan) yang cermat. Inventarisasi dan identifikasi permasalahan yang terkait dengan proses perencanaan perlu dilakukan dengan kerja sama antara instansi terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Penyusunan rencana/program pengembangan kawasan minapolitan jangka panjang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan dan perkembangan kawasan. Strategi pengembangan kawasan minapolitan meliputi pembangunan sistem dan usaha agribisnis berorientasi kekuatan pasar (market driven) yang diarahkan untuk menembus batas kawasan (bahkan mencapai pasar global); pengembangan sarana-
2) Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages ) yang bersifat timbal balik dan saling membutuhkan, dimana kawasan perikanan budidaya di pedesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumahtangga
(off
farm),
sebaliknya
kota
menyediakan
fasilitas
untuk
berkembangnya usaha budidaya dan minabisnis seperti penyediaan sarana perikanan antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan perikanan dan lain sebagainya; 3) Kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan perikanan budidaya, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) produk perikanan, perdagangan hasil-hasil perikanan (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan permodalan), minawisata dan jasa pelayanan; dan 4) Infrastruktur yang ada dikawasan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Desa Minapolitan
b. Memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha perikanan, seperti misalnya: jalan, sarana irigasi/pengairan, sumber air baku, pasar, terminal, jaringan telekomunikasi, fasilitas perbankan, sarana produksi pengolahan hasil perikanan, dan fasilitasumumserta fasilitas sosial lainnya; dan c. Memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan perikanan budidaya secara mandiri. 2.2.3. Konsep Rencana Tata Ruang K awasan Minapoli tan
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Minapolitan adalah dokumen formal rencana induk pengembangan kawasan yang digunakan sebagai arahan para stakeholder dalam melaksanakan pembangunan kawasan. Rencana tata ruang Kawasan Minapolitan merupakan rencana pengembangan kawasan yang bersifat komprehensif dan multisektor yang memuat terutama rencana struktur kawasan dengan pusat kegiatan dan hinterlandnya, pengembangan sistem infrastruktur, pengembangan sistem usaha agribisnis, dan juga memuat ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
koordinasi lintas sektoral dan lintas kelembagaan. Pengembangan kawasan minapolitan tidak hanya melibatkan departemen dan dinas teknis terkait saja, tetapi juga berbagai pihak yang berkepentingan. 2.2.4. Kedudu kan Rencana Tata Ruang Kawasan Minapo lit an dalam Sist em Pengembangan Wilayah Kabupaten IKota
Penataan ruang diklasifikasi berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Berdasar kegiatan kawasan maka diketahui adanya rencana tata ruang kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk kawasan minapolitan.
masyarakat serta aturan yang memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar elemen organisasi atau masyarakat untuk mencapai pengelolaan efektif. Penataan kelembagaan (institutional arrangement ) pengelolaan sumberdaya adalah penataan hubungan antar unit-unit elemen masyarakat atau organisasi, sehingga pengelolaan menjadi efektif untuk mencapai tujuan dan fungsi-fungsinya. Secara ringkas, berdasarkan
pemahaman
terdapat
konsep-konsep
kelembagaan,
kelembagaan
pengelolaan sumberdaya setidaknya mencakup dua hal pokok yaitu (a) organisasi atau institusi pengelola (player of the game) dan (2) aturan-aturan (rules of the game) yang dapat menjamin organisasi/institusi pengelola dapat bekerja secara efektif melaksanakan aktivitas pengelolaannya.
Kawasan Minapolitan Dalam Sistem Pemasaran
Sketsa Jaringan Jalan Dalam Kawasan Minapol itan Sketsan jaringan jalan agar terjadi efisiensi desa-kota sebagai satu kesatuan dalam meningkatkan SDA, infrastruktur buatan,& SDM
Ibukota Propinsi Kota Kawasan Mina olita
Jalan
Bila dari sisi pelaku baik organisasi maupun individual, di wilayah studi terdapat beberapa kelompok atau pelaku usaha perikanan yang meliputi kelompok atau pelaku usaha : (a) pembenihan baik berupa unit pembenihan rakyat (UP R) atau rumahtangga, (b) budidaya pembesaran, (c) pemasaran dan (d) pengolahan. Selain itu, di wilayah tersebut juga telah berkembang usaha-usaha sarana produksi perikanan budidaya seperti penjualan pakan dan obat-obatan, jasa transportasi. Pada faktanya di lapang, juga terdapat pedagang benih ikan baik yang membeli dari petani pembenih setempat atau mendatangkan dari wilayah lain. Dalam konsepsi sistem agribisnis, maka keterkaitan antar usaha dan pelakunya dapat dilihat dalam Gambar 2.4.
tertentu dapat bersifat patronase, dimana agen perwakilan pabrik pakan menjadi patron dan
klien adalah petani yang menggunakan. Hal ini terjadi karena sebagian pola
pemasaran (pakan) tidak bersifat cash and carry. P ola ini juga terjadi pada pola hubungan hubungan antara petani dengan pemasok obat-obatan. Dalam proses on farm pola keeratan relas relasii juga terjadi antara antara petani dengan pembenih pembenih atau pemasok
benih walaupun dengan intesitas yang berbeda.Demikian berbeda.Demikian selanjutnya selanjutnya
antara pembenih atau pemasok benih dengan pembesar. Relasi yang berkembang biasanya didasarkan pada kebiasaan setempat mulai dari pola pembayaran, distribusi barang sampai kesepakatan lain termasuk resiko kematian benih. Relasi berikutnya terjadi antara sisi on-farm dengan off-farm pemasaran. Dimana biasanya sudah terjadi relasi yang cukup erat antara produsen pembesaran dengan pembeii. Dalam transaksi ini disepakati harga, pola pembayaran, distribusi dan resikoresiko yang ditang ditanggung gung kedua kedua belah pihak. Pola P ola relasi relasi antara on-farm dengan dengan off-farm pengolahan sekarang ini belum terjadi. Mengingat bahwa pengolah hasil perikanan di Kecamatan P arung sekarang ini justru mengolah mengolah ikan laut.
b. P Pelaku elaku usaha transport transportasi asi C. P endukung endukung meliputi eliputi a. P emasok emasok pakan dan obat-obatan obat-obatan b. Pemasok benih c. Pemasok modal d. Penyuluh
2.3. 2.3.
Tujuan Minapolit an
Tuju Tujuan an dari ari pener enerap apan an progr ogram minap inapol olit itan an ini ini adal adalah ah:: 1. Untuk meningkatkan meningkatkan pendapatan pendapatan dan kesejahteraan mas masyarakat yarakat serta pendapatan asli daerah. 2. Untuk memfasilitasi pembangunan kawasan melalui pembentukan titik tumbuh agribisnis agribisnis perikanan berkelanjutan berbasis berbasis masyarakat. asyarakat. 3. Untuk meningkatkan meningkatkan keterkaitan keterkaitan desa dengan kota melalui elalui jaringan usaha.
2.5.
Pariwisata
Yoeti Yoeti (20 (2008) meng engemu emukakan akan,, dalam alam per perkemb embang angan ind industr stri seb sebuah kawas awasan an wisat isata, a, sebuah perencanaan yang baik sangat penting dibutuhkan agar pengembangan wisata tersebut sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. P ariwisata ariwisata menurut menurut Damanik dan Weber (2006) adalah kegiatan kegiatan rekreasi di luar domis domisili ili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik. Sebagai suatu aktifitas manusia, pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangat kompleks. Yoeti Yoeti (20 (2008) meny enyatak atakan an bahw ahwa pariw ariwis isat ata a meru erupakan akan seb sebuah perja erjala lan nan untuk bersenang-senang. P erjalanan tersebut baru dapat dikatak dikatakan an sebagai perjalan wisata jika telah memenuhi empat kriteria di bawah ini, yaitu: 1. P erjalanan erjalanan dilakukan dari suatu tempat tempat ke tempat tempat yang yang lain, dan dilakukan di luar tempat kediaman dimana orang itu biasanya tinggal.
TINJAUAN KEBIJAKAN
3.1.
3
Kebijakan Nasion al Minapolit an
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, pengesahan Undangundang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah menciptakan paradigma baru dalam pembangunan daerah.
Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi terdesentralistik
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah. Salah satu implikasi perubahan kebijakan tersebut adalah P emerintah Daerah harus mampu mengelola sumber dana untuk membiayai pembangunan daerahnya. Peran Pemerintah Pusat yang semula bersifat sektoral secara bertahap beralih ke P emerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota, sehingga kelembagaan lokal dalam pembangunan ekonomi daerah akan semakin penting dan diakui keberadaannya.
c)
Menetapkan
persetujuan
kerjasama
regional
di
bidang
perdagangan
yang
berlandaskan pada produksi lokal yang dihasilkan oleh sentra-sentra komoditas tertentu; d) Melakukan berbagai macam negosiasi yang bertujuan mewujudkan konsepsi pertumbuhan ekonomi regional; e) Menetapkan institusi pendukung kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi regional; dan f) Mengembangkan sistem informasi untuk promosi kegiatan-kegiatan ekonomi regional. Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan perikanan dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui produk yaitu perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya (Minapolitan). Konsepsi mengenai pengembangan kawasan perikanan budidaya dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata ruang suatu wilayah perikanan, khususnya kawasan sentra produksi perikanan nasional dan daerah. Perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya (minapolitan) merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan lahan/potensi yang ada dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang perikanan di
7)
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasioanal;
8)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah,
9)
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
10) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2009 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan; 11) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah; dan 12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan.
3.2.
Kebij akan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor : Perda No.19 tahun 2008
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025
meliputi
kebijakan
pengembangan
struktur
ruang;
dan
kebijakan
pengembangan pola ruang. Kebijakan pengembangan struktur ruang Kabupaten Bogor, meliputi : 1) Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan; 2) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumberdaya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah daerah. Sedangkan kebijakan pengembangan pola ruang, meliputi : a. kebijakan pengembangan kawasan lindung, meliputi : 1) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 2) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Pengembangan struktur wilayah terdiri dari: a. Sistem pusat permukiman perdesaan, dilakukan melalui pembangunan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), meliputi 80 Desa di 40 Kecamatan; b. Sistem pusat permukiman perkotaan, meliputi : (1) Orde I, yaitu Cibinong yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap PKN lainnya (PKN J ABODETABEKJ UR); (2) Orde II, yaitu Cileungsi dan Leuwiliang yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap Cibinong; (3) Orde III, yaitu J asinga, Parung Panjang, Parung, Ciawi, Cigombong, dan Cariu. c. Sistem prasarana wilayah, meliputi : (1) sistem prasarana transportasi; (2) sistem prasarana telekomunikasi; (3) sistem prasarana sumberdaya energi; (4) sistem prasarana sumberdaya air; (5) sistem prasarana gas; dan (6) sistem prasarana lingkungan. d. Klaster di 5 (lima) wilayah sebagai strategi ruang wilayah. Pengembangan Pola Ruang Wilayah menggambarkan rencana sebaran Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Dalam hal ini terdiri dari :
Ruang lingkup dari rencana pola ruang kawasan budidaya, terdiri dari: 1) Kawasan Budidaya di dalam kawasan hutan, meliputi : (1) Kawasan hutan produksi terbatas (HPT); dan (2) Kawasan hutan produksi tetap (HP); 2) Kawasan pertanian, meliputi : (1) pertanian lahan basah (LB); (2) pertanian lahan kering (LK); (3) tanaman tahunan (TT); (4) perkebunan (PB); (5) peternakan; dan (6) perikanan; 3) Pemanfaatan kawasan pertambangan, meliputi : (1) pertambangan bahan galian golongan strategis; (2) golongan bahan galian vital; (3) golongan bahan galian di luar bahan; galian strategis dan bahan galian vital (golongan C); (4) Dalam hal terdapat potensi tambang di luar lokasi tambang, maka pemanfaatan potensi tambang harus memenuhi kelayakan secara teknis, ekonomis dan lingkungan, serta dapat menunjang kegiatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4) Pemanfaatan kawasan industri, meliputi : (1) Kawasan Industri Estate (KIE); (2) Zona Industri (ZI); dan (3) Sentra Industri Kecil; 5) Kawasan pariwisata meliputi kawasan wisata alam, kawasan wisata budaya dan kawasan wisata minat khusus;
-
Pengelolaan kawasan pertanian lahan basah.
-
Pengelolaan kawasan pertanian lahan kering.
-
Pengelolaan kawasan tanaman tahunan/perkebunan.
-
Pengelolaan kawasan peternakan.
-
Pengelolaan kawasan perikanan.
-
Pengelolaan kawasan pertambangan.
-
Pengelolaan kawasan industri.
-
Pengelolaan kawasan pariwisata.
-
Pengelolaan kawasan permukiman.
2) Pengelolaan Kawasan Budidaya di Luar Kawasan Lindung, meliputi: -
Pengelolaan kawasan perdesaan.
-
Pengelolaan kawasan perkotaan.
-
Pengelolaan kawasan strategis.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga mewadahi pengembangan sistem prasarana wilayah yang terdiri dari :
-
Rencana pengembangan jaringan jalan baru Nasional (8 jaringan jalan).
-
Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi kolektor primer II, yang merupakan jalan tembus antar wilayah kabupaten/kota perbatasan (11 jaringan jalan).
-
Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi kolektor primer III, yang merupakan jalan lingkar kabupaten dan jalan tembus antar wilayah kabupaten/kota perbatasan (12 jaringan jalan).
-
Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi lokal primer I (26 jaringan jalan).
3) Rencana pengembangan terminal, terdiri dari : -
4 Terminal angkutan penumpang.
-
3 Terminal untuk tujuan wisata
-
2 Terminal barang/peti kemas.
B. Pengembangan sistem transportasi perkeretaapian Rencana pengembangan sistem transportasi perkeretaapian meliputi pengelolaan
Penataan dan pengembangan ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan dan keberlanjutan pengoperasian lapangan udara, dimana penataan ruang di sekitar dan di kawasan lapangan udara harus memperhatikan kegiatan kebandaraan sesuai dengan rencana induk bandar udara dan ketentuan kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP). D. Pengembangan sistem prasarana telekomunikasi Pengembangan sistem jaringan telekomunikasi dilakukan berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut : (1) meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan
masyarakat
serta
keselamatan
penerbangan;
(2)
mendukung
perwujudan struktur ruang kawasan; dan (3) kriteria teknis lainnya sebagaimana diatur dalam
peraturan
perundang-undangan.
Pengembangan
sistem
jaringan
telekomunikasi dapat juga dilakukan melalui kerjasama antar daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha. E. Pengembangan sistem prasarana sumberdaya energi
pengembangan sumber migas, meliputi wilayah Kecamatan J onggol dan Kecamatan Cariu, sedangkan rencana pengembangan prasarana migas dilakukan pada seluruh wilayah kabupaten. H. Pengembangan sistem prasarana lingkungan Prasarana lingkungan meliputi, sarana Tempat Pengelolaan Sampah (TP S), sarana Tempat Pemakaman Umum dan Bukan Umum (TPU/TPBU), sarana Pendidikan dan Balai Latihan Kerja, Sarana Olahraga, sarana Kesehatan, sarana Kebudayaan dan Peribadatan; dan sarana Perdagangan, dengan arahan pengembangan sebagai berikut : 1) Pengembangan sarana tempat pengolahan sampah. 2) Pengembangan tempat pemakaman umum (TPU) dan tempat pemakaman bukan umum (TP BU). 3) Pengembangan sarana pendidikan dan balai latihan kerja. 4) Pengembangan sarana olahraga. 5) Pengembangan sarana kesehatan.
J . Pemanfaatan jasa lingkungan Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan acuan dalam pengenaan kompensasi bagi pengguna jasa lingkungan. J asa lingkungan dimaksud berupa jasa lingkungan air, udara bersih dan penyerapan karbon, serta wisata alam, meliputi : 1) Kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dikelola secara berkelanjutan dapat memberikan jasa lingkungan yang penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidupnya. 2) Kawasan yang menghasilkan jasa lingkungan harus dilindungi dari kegiatan yang dapat merusak fungsinya sebagai penyedia jasa lingkungan. 3) Upaya perlindungan kawasan penyedia jasa lingkungan harus diapresiasi oleh pengguna jasa lingkungan yang selama ini menggunakannya. 4) Pengguna jasa lingkungan memberikan sejumlah kompensasi sebagai bentuk apresiasi dan tanggung jawab bersama untuk melindungi dan melestarikan kawasan penyedia jasa lingkungan. 5) Pemilik lahan perorangan yang lahannya berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan dapat menerima dana kompensasi konservasi dari pengguna jasa
tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan program dan kegiatan pembangunan, dengan kata lain Kebijakan Pembangunan adalah untuk mengarahkan pencapaian tujuan dan sasaran Misi yang ditetapkan dan dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan program dan kegiatan pembangunan.
Rumusan Kebijakan Pembangunan dapat
dikelompokkan ke dalam Urusan Pemerintahan maupun menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). a. Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bogor
Kebijakan Pembangunan urusan pemerintahan yang termuat dalam okumen RPJ M Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 adalah : - Kebijakan pembangunan urusan pendidikan - Kebijakan pembangunan urusan kesehatan - Kebijakan pembangunan urusan pekerjaan umum - Kebijakan pembangunan urusan perumahan dan permukiman - Kebijakan pembangunan urusan penataan ruang - Kebijakan pembangunan urusan perencanaan pembangunan
- Kebijakan pembangunan urusan pariwisata - Kebijakan pembangunan urusan industri dan perdaganga
b. Kebijakan pembangunan urusan pertanian
Berikut ini adalah Kebijakan pembangunan urusan pertanian : 1.
Peningkatan ketersediaan pangan secara berkelanjutan melalui peningkatan produksi pertanian dan peternakan khususnya untuk memenuhi karbohidrat dan protein;
2.
Pemberian pola insentif dalam rangka peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan dalam rangka ketersediaan pangan maupun agribisnis;
3.
Peningkatan produksi hasil perikanan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan;
4.
Peningkatan produksi hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta rehabilitasi lahan kritis;
5.
Pelaksanaan revitalisasi pertanian dalam arti luas melalui penguatan sistem agribisnis dan penerapan hasil inovasi serta teknologi terkini dalam lingkup
secara garis besar berisikan : (1) ketentuan umum, (2) Ruang lingkup, (3) asas, tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah, (4) rencana strukur dan pola ruang wilayah, (5) rencana pemanfaatan wlayah, (6) arahan pengendalian pemanfaatan ruang dan (7) hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dan kelembagaan. Hal yang paling penting dari peraturan ini adalah bahwa lokasi pengembangan minapolitan yang akan ditetapkan harus sesuai dengan rencana pemanfaatan wilayah sesuai dengan peraturan daerah ini. Peraturan yang terkait dengan kebijakan dan komoditas setidaknya terdapat dua peraturan pokok yaitu Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009 tentang Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan (RP3) dan Keputusan Bupati Bogor nomor 523.31/227/Kpts/Huk/2010
tentang
P enetapan
Lokasi
Pengembangan
Kawasan
Minapolitan di Kabupaten Bogor. Dalam Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009, menyebutkan bahwa ruang lingkup revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi unggulan yaitu usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Program direncanakan baik pada sisi on-farm, off-farm maupun yang tidak didasarkan
merupakan lokasi pengembangan minapolitan yaitu kecamatan Gunung Sindur. Sementara sebagian wilayah kecamatan Gunung Sindur dan Parung juga menjadi sentra industri kecil. Berdasarkan pada telaah tersebut, terlihat bahwa peraturan tentang lokasi minapolitan selaras dengan peraturan tentang RP 3, walaupun terdapat potensi tumpang tindih terutama pada kegiatan-kegiatan perikanan dan peternakan yang berbasis lahan yang sama. Hal perlu untuk menjadi catatan adalah adanya pemanfaatan wilayah sesuai RTRW sebagai zona indutri. Hal ini perlu untuk diperhitungkan secara cermat mengingat bahwa bukan hanya persaingan pemanfaatan lahan tetapi potensi eksternal negatif dari aktivitas perikanan dan zona industri yang bisa saling meniadakan. Rencana pengelolaan kawasan (Pasal 51 Perda No.19/2008) kawasan perikanan dilakukan dengan (a) menjaga kelestarian sumberdaya air terhadap pencemaran limbah industry maupun limbah lainnya, (b) pengendalian melalui sarana kualitas air dan memperhatikan habitat alami ikan dan (c) meningkatkan produksi dengan memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana perikanan.
J angka Menengah Daerah (RPIJ MD) yang telah ditetapkan. Sedangkan bila sudah memenuhi criteria dan persyaratan yang ada, maka Bupati/Walikota mempunyai otoritas untuk menyusun Rencana Induk (Master plan), yang diimplementasikan melalui Rencana Pengusahaan dan Rencana Tindak. Penetapan lokasi Minapolitan dilakukan oleh Bupati/Walikota dan disampaikan pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Pada sisi pembiayaan, maka pengembangan dan pembinaan kawasan minapolitan didasarkan pada AP BN dan atau APBD serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.
METODOLOGI
4.1.
4
Waktu dan Lokasi Kegiatan
Perencanaan kawasan minapolitan sebagai salah satu tujuan wisata edukasi dan rekreasi ini direncanakan dilakukan pada empat wilayah pengembangan yaitu di empat (4) kecamatan yang terdiri dari 27 desa yaitu : Tabel 4.1. Lokasi K egiatan di Empat Kecamatan No.
1
Kecamat an Ciseeng
Desa
Babakan
Luas (ha)
283.00
Parigi Mekar
63.20
Putat Nutug
245.00
Ciseeng
80.30
Cibentang
105.00
Gambar 4.1. Peta Lokasi Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan P
Masterplan Minapolitan di Kabupaten Bogor
partisipatif melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) atau Rembug Warga di lokasi pengembangan minapolitan budidaya. Suatu calon Kawasan Minapolitan masing-masing memiliki potensi sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya infrastruktur dan sumberdaya sosial
dan
kelembagaan)
dimana
dalam
perkembangan
pengelolaan
dan
pemanfaatannya juga menimbulkan berbagai isu dan permasalahan. Untuk mewujudkan suatu lokasi sebagai sebuah kawasan minapolitan, maka perlu disusun kebijakankebijakan yang mampu memberikan arahan dan ketetapan pengembangan kawasan serta mendapat legitimasi dari seluruh stakeholder melalui proses pembuatan kebijakan yang partisipatif. Kebijakan-kebijakan itu dituangkan dalam bentuk konsepsi, visi, misi dan strategi pengembangan kawasan yang kemudian menjadi arahan bagi rencana induk masing-masing sub kawasan pengembangan. Hasil akhir yang diharapkan adalah terciptanya kawasan minapolitan sebagai kawasan pertumbuhan baru berbasis sumberdaya perikanan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Secara skematis, kerangka pendekatan penyusunan masterplan ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
4.2.2. Pendekatan Pengembangan Minapoli tan
Prinsip utama dalam pengembangan Minapolitan adalah untuk mensinergiskan kegiatan produksi bahan baku, pengolahan dan pemasaran dalam satu rangkaian kegiatan besar dalam satu kawasan atau wilayah dengan penekanan pada peningkatan nilai tambah produk perikanan. Keuntungan yang diperoleh melalui peningkatan nilai tambah harus dapat dinikmat oleh seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses agribisnis perikanan tersebut sehingga akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan minapolitan mengacu kepada prinsip-prinsip : 1) Prinsip
Kerakyatan :
pembangunan
diutamakan
sebesar-besarnya
bagi
kesejahteraan rakyat banyak (bukan kesejahteraan individu atau kelompok) berdasarkan keadilan. 2) Prinsip swadaya : bimbingan dan dukungan kemudahan (fasilitas) yang diberikan harus mampu menumbuhkan sikap keswadayaan dan kemandirian (bukan menciptakan ketergantungan). 3) Prinsip Kemit raan : peran pelaku agribisnis perikanan diperlakukan sebagai mitra
baik pembenih, pembudidaya maupun pengolah yang pada gilirannya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lain secara keseluruhan. 3.
Untuk menjamin terciptanya kondisi seperti yang diuraikan dalam butir 2, maka pengaturan maupun perijinan investasi harus dilakukan secara hati-hati dan selektif. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi distorsi ekonomi, dimana keuntungan yang terjadi dari investasi tersebut dinikmati oleh masyarakat diluar kawasan tersebut. Oleh karena dalam pengembangan Minapolitan
diperlukan kelembagaan yang
berfungsi pengawasan atau pendampingan terhadap semua proses pengembangan bisnis di kawasan minapolitan. 4.2.3. Pendekatan Agr ibi sni s dalam Pengembangan Minapoli tan
Kawasan minapolitan merupakan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis perikanan serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan lainnya di wilayah sekitarnya. Kawasan minapolitan terdiri dari pusat kawasan perikanan dan desa-desa sentra produksi perikanan yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala
antara sumberdaya alam beserta ekosistemnya dengan sumberdaya manusia, mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil kepada masyarakat konsumen. Oleh karena itu, tahapan pengembangan minapolitan harus dimulai dari identifikasi potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk kemudian dicari solusi optimalnya berdasarkan pendekatan sistem agribisnis perikanan yang terpadu dan holistik seperti diperlihatkan pada
Gambar 4.3.
Suatu sistem agribisnis perikanan (baik usaha
penangkapan maupun budidaya) meliputi empat subsistem utama, yaitu: (1) sumberdaya ikan dan habitat/lingkungannya, (2) produksi, (3) pengolahan (teknologi pasca panen), dan (4) pemasaran termasuk konsumennya; dan empat sub-sistem pendukung, yaitu: (1) prasarana dan sarana, (2) keuangan, (3) hukum dan kelembagaan, dan (4) sumberdaya manusia beserta iptek.
SEKTOR PRIMER
SEKTOR SEKUNDER
SEKTOR TERSIER
KON SUMEN
Sementara itu, model pemasaran hasil perikanan yang dikembangkan selama ini langsung dipasarkan ke pihak konsumen dalam bentuk segar dan biasanya dipasarkan sendiri-sendiri. Model pemasaran seperti ini secara umum hanya memberikan nilai tambah yang rendah, dan itupun biasanya hanya pada sedikit produk perikanan yang memang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dicari oleh para konsumen dalam keadaan masih hidup. Oleh karena itu, melalui program minapolitan, pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah produk-produk perikanan sehingga dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan, pembudidaya, dan pengolah produk perikanan. Pengembangan program minapolitan juga harus didukung dengan sistem kelembagaan yang kuat, salah satunya adalah kelembgaan pemasaran. Pemasaran produk-produk perikanan, baik ikan-ikan segar atau hidup maupun produk perikanan hasil olahan, akan diorganisasi oleh lembaga pengelola suatu kawasan minapolitan. Hal tersebut dimaksudkan agar pemasaran produk-produk perikanan lebih mudah dilakukan, lebih terkendali, lebih mempunyai posisi tawar, dan selalu mendapatkan harga yang stabil dan baik, minimal sesuai dengan harga pasar.
6. J umlam pembudidaya dan pembenih ikan lele dan rata-rata produksinya; 7. Proporsi hasil produksi menurut ukuran; 8. Output produksi (jumlah panen, ukuran panen, kualitas hasil panen dan keuntungan usaha); 9. Potensi dan kondisi existing Pemasaran di J abodetabek (harga jual, rantai pemasaran, dan lain-lain); 10. Permasalahan dan kendala baik dalam proses pembenihan, pembesaran mapun pemasannya; dan 11. Analisis finansial usaha budidaya dan pembenihan. 4.3.2. Pendekatan Pengolahan Perikanan
Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan model pengembangan pengolahan perikanan adalah: a) Lokasi pengolahan; l okasi pegolahan ditentukan berdasarkan survey lapang potensial area dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, kemudahan akses bahan baku, akses pasar, sarana(listrik, air) dan prasarana (jalan).
e) Kelayakan Ekonomi; kelayakan ekonomi dianalisa dengan perhitungan standar seperti investasi, IRR, BEP, waktu kembali modal dan Cash-Flow . 4.3.3. Pendekatan Hidro log i
Data hidrobiologi yang diperlukan untuk menunjang kegiatan Minapolitan adalah menghitung ketersediaan air di kawasan minapolitan baik untuk kebutuhan pembenihan, pembesaran, pengolahan maupun kegiatan wisata. Serta kebutuhan air lainnya. Untuk dapat menghitung ketersediaan air akan dulakukan survai untuk mengidentifikasi sumbersumber air yang merupakan suplai air bagi kawasan
minapolitan yang meliputi air
sungai, saluran irigasi dan air tanah khususnya untuk pemebenihan dan pengolahan. Untuk sungai dan saluran irigasi akan dihitung debit air baik pada musim kemarau maupun hujan dengan demikian dapat diketahui fluktuasi antara kedua musim tersebut. Sedangkan untuk air tanah akan dilakukan pengukuran dengan metode tersendiri. Data ketersediaan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan data kebutuhan air untuk setiap unit dari setiap kegiatan pembenihan, pembesaran maupun pengolahan. Oleh karena itu akan dilakukan juga perhitungan kebutuhan air untuk setiap unit kegiatan
Secara ringkas, kelembagaan menyangkut aspek pemain (baik individu atau organisasi) (player of the game) dan aturan yang menjamin fungsi-fungsi peran individu/organisasi berjalan dengan baik (rules of the game) (Ostorm, 1985; Ostorm 1986; Doward, 1997; Doward et.all, 1998 dalam Kartodiharjo dan J amhani, 2006) Dengan demikian analisis tentang kelembagaan dalam kegiatan ini akan mencakup analisis individu atau organisasi sebagai stakeholder dan
peraturan-peraturan yang mendasari (rules of the game).
Aturan yang mendasari meliputi aturan pemerintah (pusat dan daerah), aturan antar pelaku (stakeholder langsung) terkait dengan hal-hal yang menyangkut implementasi minapolitan. Metode pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka pada dokumen yang mendukung. Dari aspek sosio-ekonomi perikanan data yang akan amati meliputi jaringan pemasaran ikan baik yang segar maupun olahan, potensi pasar khususnya ikan olahan. Disampingpemasaran ikan segar olahan, system jaringan pemasaran input produksi khususnya benih merupakan hal penting untuk dikaji. Baik usaha ikan pembenihan, pembesaran maupun olahan semuanya akan dilakukan analisis finansialnya. Sedang peluang pengembangan pasar baik segar maupun olahan
4.3.6. Pendekat an Lans kap a) Alat dan Data
Kegiatan ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware )
maupun
perangkat lunak (software) dengan spesifikasi pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Alat Perencanaan Hardware dan Software Hardware Kamera Notebook Software Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint)
AutoCad 2008 Adobe Photoshop CS3
Fungsi
Survei Pengolahan data Analisis data tabular, pelaporan, presentasi Pengolahan peta tematik Pengolahan peta tematik
b) Data Penelit ian
Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah telihat pada Tabel 4.3
c) Pendekan stu di
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu melakukan analisis tabulasi dan spasial. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian wilayah kecamatan
untuk
dikembangkan
sebagai
kawasan
wisata
minapolitan
yang
berkelanjutan. Pendekatan wisata dilakukan melalui penentuan kawasan yang berpotensi memiliki obyek dan atraksi wisata. Sedangkan, pendekatan masyarakat (stakeholder) dilakukan melalui analisis stakeholder yang bersumber dari data kuisioner, wawancara dan studi pustaka. d) Prosedur Pelaksanaan
Proses yang dilakukan dalam melaksanakan studi lanskap, terdiri dari empat tahapan yaitu tahap pengumpulan dan klasifikasi data (persiapan), analisis dan sintesis, konsep disain perencanaan serta tahap perancangan. Keempat tahap tersebut diuraikan sebagai berikut: Tahap 1. Pengumpu lan dan Klasi fik asi Data
Tahapan pengumpulan dan klasifikasi data
Kawasan Perencanaan Wisata Minapolitan
Peta Digital
Survey Lapangan
Tahapan analisis dan Sintesis
Potensi Kawasan
•
Identifikasi
Pembobotan dan Skoring
Stakeholder
Potensi Pengembangan Pariwisata
Produksi Perikanan
Analisis kesesuaian kawasan minapolitan
Studi Pustaka
•
•
Ketersediaan Obyek dan Atraksi untuk Wisata
• • •
Masyarakat Pemda Swasta
Analisis Obyek dan Atraksi Wisata
Analisis Stakeholder
Pembobotan dan Skoring
Pembobotan dan Skoring
Tabel 4.4. Kriteria Penilaian Kelayakan Kawasan untuk Wisata Nilai No
Faktor
1.
Letak dari J alan Raya
Bobot
4 (sangat baik)
3 (Baik)
2 (Buruk)
1 (Sangat Buruk)
10
<1 km
1-2 km
2-3 km
>3 km
2.
Estetika dan keaslian
25
Asli
3.
Atraksi
25
Hanya terdapat di tapak
4.
Fasilitas Pendukung
15
Tersedia dalam kondisi sangat baik
5.
Ketersediaan Air bersih
15
<0.5 km
0.5-1 km
1-2 km
>2km
10
J alan aspal, ada kendaraan umum
J alan aspal berbatu, ada kendaraan umum
J alan aspal berbatu, tanpa kendaraan
J alan berbatu /tanah, tanpa kendaraan umum
6.
Transportasi dan Aksesibilitas
Asimilasi, dominan bentuk asli
Asimilasi, dominan bentuk baru
Sudah berubah sama sekali
Terdapat <3 Terdapat 3-5 Terdapat >5 di di tempat di tempat tempat lain lain lain Tersedia dalam kondisi baik
Tersedia dalam kondisi kurang baik
Tidak tersedia
Dari penghitungan skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan dan dikategorikan dalam kelas kesesuaian, sehingga hasil Penilaian kawasan wisata di klasifikasikan menjadi : •
SP (Sangat potensial) dengan nilai 325 – 400. Artinya, bahwa obyek dan
atraksi wisata sangat potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlakukan yang dilakukan hanya untuk menjaga kualitas obyek dan atraksi agar tetap terjaga •
CP (Cukup Potensial) dengan nilai 249 – 324. Artinya, bahwa obyek dan
atraksi wisata cukup potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial •
KP (Kurang Potensial) dengan nilai 173 – 248. Artinya, bahwa bahwa obyek
dan atraksi wisata kurang potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan lebih banyak untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial
c.2 Metod e Anali sis
Tahap penentuan zona akseptibilitas masyarakat lokal ditunjukkan dengan tingkat kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi kawasan wisata (Tabel 4.5). P enilaian dilakukan oleh responden, masing-masing kecamatan diambil n=10, sehingga jumlah dari responden seluruh kecamatan yang diteliti adalah 40 responden. Tabel 4.5. Penilaian Ak septib ili tas Masyarakat Peringkat No
Faktor
4 (Bersedia)
3 (Kurang Bersedia)
2 (Tidak Bersedia)
1 (Tidak tahu)
1.
Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata
Setuju
Kurang setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
2.
Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat
Setuju
Kurang setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
3.
Peran aktif masyarakat dalam pariwisata
Ya
Kurang
Tidak
Tidak Tahu
4.
Keuntungan kegiatan wisata
Ya
Kurang
Tidak
Tidak Tahu
Pkkw =Keuntungan kegiatan wisata Pkw =Keberadaan wisatawan
Setelah dihitung skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan dan dikategorikan dalam kelas kesesuaian : S1 (Sangat Sesuai)
= Nilai
163 – 200
S2 (Cukup Sesuai)
= Nilai
125 – 162
S3 (Sesuai Marginal)
= Nilai
87 – 124
N (Tidak Sesuai)
= Nilai
49 – 86
d. Penentuan Zona Potensial untuk Pengembangan Wisata Minapolitan
Pembuatan zonasi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan AutoCad dan Adobe P hotoshop untuk tehnik overlay sehingga hasil analisis tapak/wilayah dan potensi wilayah serta hasil peta akseptibilitas masyarakat dapat dispasialkan. e. Peraturan
bentuk
model
pengembangan
dan
penataan
ruang
wisata
yang
mempertimbangkan karakter lanskap dan potensi obyek atraksi wisata yang ada. b.
Program pengembangan dan penataan kawasan sesuai dengan konsep pengembangan kawasan. Perencanaan program ini dilakukan berdasarkan nilainilai potensi wisata kawasan, hasilnya berupa arahan pengembangan kawasan yang diilustrasikan secara grafis sebagai panduan penataan kawasan wisata minapolitan.
c.
4.4.
Rencana pengembangan dan penataan infrastruktur pendukung wisata.
Pelaporan
Laporan yang dibuat sebagai pertanggung jawaban kegiatan ini terdiri dari: 1. Laporan Pendahuluan , antara lain berisi pemahaman dan tanggapan dalam Penyusunan Masterplan Minapolitan beserta metodologi Masterplan Minapolitan.
pengerjaan Penyusunan
Laporan ini dilengkapi daftar mobilisasi tenaga ahli dan
KONDISI UMUM KAWASAN MINAPOLITAN
5.1.
5
Batas Admi nis trasi dan Geogr afis Wilayah
Kabupaten Bogor yang merupkan bagian dari Provinsi J awa Barat beribukota Cibinong. Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6.19o-6.47o Lintang Selatan dan 106o1’107o103’ Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten), sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi.
Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Bandung dan Ciamis. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dengan jumlah total desa paling banyak se-Provinsi J awa Barat, yaitu 428 desa (dimana 200 desa termasuk dalam klasifikasi perkotaan, sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan) (BP S, 2008). Kabupaten Bogor mengalami peningkatan populasi penduduk yang cukup pesat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak 3.711.996 jiwa. Dan berdasarkan hasil Sensus P enduduk 2010, penduduk Kabupaten Bogor menjadi 4.763.209 J iwa terdiri dari laki-laki sebanyak 2.446.251 jiwa dan perempuan sebanyak 2.316.958 jiwa (http://bogorkab.go.id). Ditinjau dari segi mata pencaharian masyarakatnya , pada umumnya yang didominasi oleh buruh (25.54 %), buruh perusahaan industri dan pegawai/karyawan (25.17 %), dan pedagang (20.33 %). Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani/peternak sangat sedikit (6,51%). Sedangkan secara rinci distribusi mata pencaharian masyarakat di wilayah calon Kawasan Minapolitan disajkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Persent ase Jenis Mata Pencahari an Masyarakat Per Kecamat an di Zona IV
sebesar 18.226.545 juta rupiah (tahun 2000), menjadi 44.792.698 juta rupiah (tahun 2006) (BPS, 2007). Dan sektor industri pengolahan merupakan pemberi kontribusi paling besar terhadap total PDRB dengan persentase sebesar 59.85% (tahun 2000) dan 64.30% (tahun 2006). Sedangkan urutan kedua dan ketiga ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (dengan persentase sekitar 15%), dan sektor pertanian (dengan persentase 7.74% pada tahun 2000, dan menurun menjadi 4.69% pada tahun 2006). Apabila dibandingkan dengan wilayah J abodetabek (J akarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan sekitarnya (Sukabumi, Cianjur dan Lebak), Kabupaten Bogor menempati urutan kelima setelah J akarta, Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi dalam hal PDRB per kapita tahun 2000 maupun 2006 (Tabel 5.2.). Tabel 5.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di K awasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2000 dan 2006 KABUPATEN/KOTA
PDRB PER KAPITA (Rp/Jiwa) 2000
2006
KOTA J AKARTA
27,011,027
55,361,136
KAB. BEKASI
17,297,753
33,265,824
KOTA TANGERANG
12,310,363
24,031,381
Tabel 5.3. Total PDRB, Jumlah Penduduk dan PDRB per Kapit a Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2006 KABUPATEN/KOTA
KOTA J AKARTA
TOTAL PDRB (JUTA RP)
JUMLAH PENDUDUK (JIWA)
PDRB PER KAPITA (RP/JIWA)
495,056,882
8,942,318
55,361,136
KAB. BEKASI
66,239,907
1,991,230
33,265,824
KOTA TANGERANG
35,604,678
1,481,591
24,031,381
KOTA BEKASI
22,855,154
2,040,258
11,202,090
KAB. BOGOR
44,792,698
4,216,186
10,623,985
2,863,432
294,646
9,718,210
27,571,753
3,366,423
8,190,222
KOTA BOGOR
6,357,742
855,846
7,428,605
KOTA DEPOK
8,967,779
1,393,568
6,435,121
KAB. CIANJ UR
12,500,528
2,125,023
5,882,538
KAB. SUKABUMI
13,163,816
2,240,901
5,874,341
5,437,900
1,183,184
4,595,988
KOTA SUKABUMI KAB. TANGERANG
KAB. LEBAK
Sumber: Data PDRB dan J umlah Penduduk Tahun 2006 (diolah)
5.4.
Biof isi k dan Tata guna lahan
Tabel 5.4. Jumlah dan Luas Daerah Irig asi Se-Kabupaten B ogor NO 1 1
2
3
UPTD/KEC. DAERAH IRIGASI 2 J asinga
KECAMATAN 4
J asinga Parung Panjang Tenjo Nanggung Sukajaya Cigudeg J umlah UPTD wilayah J asinga Leuwiliang Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Pamijahan Leuwisadeng Tenjolaya Taman Sari J umlah UPTD teknis Leuwiliang Ciawi Ciomas Dramaga Cijeruk Ciawi
LUAS HA 5
KONDISI Sedang Rusak 7 8
Baik 6
1.699 461 733 2.365 948 1.373 7.579
7 3 11 4 7 32
8 2 1 30 24 22 87
39 11 10 19 17 20 116
1.645 1.294 1.696 2.881 1.388 1.567 1.386 11.857
10 10 14 26 10 11 5 86
18 4 8 9 18 12 11 80
22 3 15 22 11 5 11 89
523 1.459 743 873
2 3 8 5
7 3 1 8
3 5 5 9
2.
DAS Ciliwung, dengan Sub-DAS : Ciesek, Ciliwung Hulu, Cibogo, Cisarua, Ciseuseupan, Cisukaribas. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS Ciliwung ini adalah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Cibinong, Cimanggis, Bojong Gede, Sawangan, dan Limo.
3.
DAS Cidurian, dengan wilayah-wilayah yang tercakup meliputi Kecamatan Parung Panjang, Tenjo bagian timur, Tenjo bagian barat, Rumpin bagian utara, Cigudeg bagian selatan.
4.
DAS Cimanceuri, dengan wilayah-wilayah yang tercakup meliputi kecamatan Parung Panjang, Tenjo bagian timur, Rumpin bagian utara, Cigudeg bagian utara.
5.
DAS
Angke,
dengan Sub-DAS
:
Cikeas,
Citeureup, Cileungsi, Cikarang
(Cibarengkok, Cibodas, Cipajutah). Wilayah-wilayah yang terdapat dalam DAS ini adalah Kecamatan Citeureup, Cileungsi, Gunung Putri, dan sebagian kecamatan J onggol bagian barat. 6.
DAS Citarum, dengan Sub-DAS : Cipamingkis, Cibeet. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS ini adalah Kecamatan J onggol dan Cariu.
Ketersediaan air dari mata air di Kabupaten Bogor cukup banyak dan hampir semuanya
Tabel 5.5. Luasan Masing -masing Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogo r Tahun 2006 Jenis Penggunaan Lahan
Pemukiman
Luas (ha)
Persentase (%)
26,025.70
8.73
524.20
0.18
27,045.60
9.07
1,590.00
0.53
Sawah Irigasi
53,499.30
17.94
Sawah Tadah Hujan
11,805.90
3.96
Kebun Campuran
85,001.70
28.50
Perkebunan
19,001.80
6.37
Hutan
62,306.40
20.89
43.10
0.01
17.00
0.01
1,217.90
0.41
Semak/alang2
4,936.10
1.65
Lain-lain
5,263.20
1.76
298,277.90
100.00
J asa Tegal Industri
Perairan Tambak/Kolam Tanah Rusak/Kosong/ Pasir Galian
Total Sumber: Badan Pertanahan Nasional (BPN), 2007
harga pakan semakin tinggi dan berkembangnya budidaya ikan mas di keramba jaring apung (KJ A) di waduk Saguling, J atiluhur, dan Cirata, sistem budidaya ini secara berangsur berhenti. (2)
Di tahun 80-an sampai tahun 90-an, daerah Bogor (khususnya Parung) dikenal sebagai pusat produsen benih dan ikan gurame ukuran konsumsi. Diduga karena persaingan
harga,
kegiatan
budidaya
gurame
baik
pembenihan
maupun
pembesaraanya akhirnya tersisihkan oleh daerah lain seperti P urwokerto, Blitar dan Tasikmalaya. (3)
Pada kurun waktu dua dekade terakhir Bogor dikenal sebagai sentra produksi berbagai spesien ikan hias.
Tidak kurang dari 30 spesies ikan hias baik lokal
maupun yang berasal negara lain, banyak dihasilkan oleh pembudidaya ikan di daerah Cibuntu dan sekitarnya, Ciseeng dan Parung. (4)
Di tahun 90-an hingga sekarang, kegiatan perikanan budidaya yang secara lokal maupun nasional masih dianggap memegang peran penting adalah bahwa Bogor sebagai produsen benih ikan patin, bawal, dan gurame serta produsen ikan lele ukuran konsumsi dengan produksi sekitar 40 ton per hari.
Pendukung pengembangan perikanan yang lain adalah ketersediaan sarana prasarana transportasi yang cukup baik yang memperlancar distribusi hasil budidaya dan pengolahan meskipun masih diperlukan peningkatan kualitas. Salah satu kawasan yang cocok untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan budidaya ikan air tawar di Kabupaten Bogor adalah Zona 4. Zona 4 dalam revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan terletak di bagian tengah utara kawasan Kabupaten Bogor. Wilayah ini berbatasan dengan Kota Bogor dan Kota Depok. Secara administratif wilayah ini terdiri dari enam kecamatan, yaitu: Kecamatan Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Gunung Sindur.
Kecamatan Parung dan Gunung Sindur dengan produksi sebesar 7.650,80 ton dan 6.071,64 ton.
Sedangkan kecamatan dengan jumlah produksi paling kecil adalah
kecataman Tenjo dengan produksi mencapau 15,43 ton. Sementara itu jumlah Rumah Tangga P erikanan (RTP) di Kabupaten Bogor berjumlah 6.605 orang yang tersebar ke 40 kecamatan. J umlah RTP terbanyak terdapat di Gunung Sindur yaitu sebanyak orang 493, jumlah RTP yang kedua adalah Kecamatan Ciseeng dengan jumlah 463 orang RTP dan Kecamatan Parung dengan jumlah RTP 449 orang. Luas areal total Kolam air tenang yang terdapat di di Kabupaten Bogor seluas 1.075,94. Kecamatan paling luas adalah Kecamatan kemaang dengan luas areal budidaya seluas 145 ha sedangkan luas paling kecil adalah Kecamatan Tenjo dengan luas areal kolam seluas 0,71 ha.
ANALISIS POTENSI DAN PERMASALAHAN
6.1.
6
Potensi Perik anan Budi daya Air Tawar
Potensi produksi ikan air tawar di Kabupaten Bogor cukup tinggi, untuk seluruh jenis ikan yang dibudiyakan mencapai 24.072.98 ton per tahun pada tahun 2009 (Tabel 6.1.) atau sekitar 66.85 ton per hari. J umlah jenis ikan air tawar yang dibudidayakan ada 10 jenis ikan antara lain mas, gurame, nila, lele, tawes, tambakan, mujair, nilem, patin dan bawal (Lampiran 1). J enis lain yang jumlahnya cukup banyak adalah ikan hias dan lobster air tawar. Kedua jenis ikan yang terakhir tersebut tidak diikutkan dalam pembahasan karena dalam pengembangan produk tersebut tetap harus mendapat perhatian khusus karena memiliki prospek yang baik. Sedangkan ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, produk perikanan menyerap tenaga kerja cukup besar mencapai sekitar 6.605.00 RTP (rumahtangga perikanan) (Tabel 6.1.).
Zona 3 : Ciampea, Tenjolaya, Dramaga, Ciomason Zona 4 : Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Rancabungur, Parung , Ciseeng, Gunung Sindur (Peta RTP Kemang, Parung, Ciseeng, dan Gunung Sindur dapat dilihat di Lampiran 2). Sedangkan untuk jenis komoditi, satu dari sepuluh jenis komoditi perikanan yang dibudidayakan produksi terbanyak adalah ikan lele. Ikan lele merupakan jenis yang produksinya paling tinggi (18312.86 ton/tahun), diikuti dengan ikan
Mas (1966.17
ton/tahon), ikan Nila (1946.43 ton/tahun) dan Gurame (1092.59 ton/tahun) (lihat Tabel 6.2.). Sedangkan jenis yang lain produkdsinya masih jauh lebih rendah.
Tabel 6.2. Produk si Perik anan Per-kecamatan menurut Jenis Ikan Komoditas Zona
zona
I
Mas
112.7
Nila
78.8
Gurame
27.3
Lele
71.6
Tawes
3.7
Tambakan
1.2
Mujair
4.4
Nilem
0.1
Patin
10.2
Bawal
0.0
Tabel 6.3. Kapasitas Pro duks i Lele Menurut Petani/Penampung di K awasan Minapolitan Tahun 2010
No
Nama
Kapasitas (ton/bulan ) Daging
Bs (besar)
Total
Keterangan
1
Siu eng
90
10
100
Petani/penampung
2
Bun yan
90
10
100
Petani/penampung
3
Yana
90
10
100
Petani/penampung
4
Em bin
70
10
80
Petani
5
Ahan
90
10
100
Petani/penampung
6
Ong tan
40
5
45
Petani
7
Asnawi
100
20
120
Penampung/bandar
8
Bun yok
100
10
110
Petani/penampung
9
M.nooh
100
10
110
Petani
10
Khoerudin
100
10
110
Petani
11
Rudy
90
10
100
Petani/penampung
12
Abdul ghani
70
5
75
Petani/penampung
13
Neran
40
5
45
Petani
14
Peng un
70
5
75
Petani
6.2.
Pemasaran
Potensi pasar ikan air tawar cukup besar, di samping dipasarkan di Bogor, pemasaran terbesar adalah di J akarta dan Tangerang. Khususnya untuk komoditas ikan lele. Potensi pasar Lele di J akarta dan Tangerang mencapai sekitar 80-100 ton per hari (diprediksi dai jumlah pakan yang terjual). Dari potensi pasar tersebut Kabupaten Bogor memasok sekitar 40-50 ton per hari, sisanya dipasok utama dari Indramayu. Pasar ikan Lele tersebut adalah warung tenda (pecel lele), sedangkan Gurame, Mas dan Nila umumnya dipasarkan ke restoran. Dengan berkembangnya produksi ikan lele dari tahun ke tahun maka perlu diantisipasi akan terjadinya kejenuhan pasar. Untuk mengantisipasi kejenuhan pasar, program minapolitan diharapkan dapat memberikan solusi dengan adanya pengolahan produk ikan Lele. Dengan adanya program pengolahan yang dikembangkan di Minapolitan, paling tidak dapat menyerap produk ikan Lele BS (ukuran besar > 6 ekor/kg) dengan harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan keuntungan pembudidaya dapat lebih ditingkatkan.
mencapai skala ekonomis. J umlah cacing sutera dari sungai-sungai ini dipengaruhi oleh curah hujan dan banjir. Disamping itu pencemaran lingkungan sungai oleh logam berat menimbulkan resiko, karena akibat
benih ikan dapat terserang penyakit
sumber pakan alami terkontaminasi logam berat
sehigga penggunaan
cacing sungai menjadi ancaman serius bagi petani lele, sedangkan sumber cacing lain dari sawah dan selokan tidak mencukupi kebutuhan cacing untuk budidaya lele. Strategi yang digunakan petani pembenih saat ini ialah mempersingkat pemeliharaan benih di bak yang menggunakan pakan cacing menjadi
hanya
selama 3-10 hari yang sebelumnya 15 hari, kemudian dipindahkan ke kolam yang telah dipupuk, hal ini cukup efektif dalam mengatasi kekurangan cacing, namun hal ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup (SR) benih lele yang ditebar. c)
Kurangnya pengetahuan khususnya terkait penanganan terhadap penyakit juga merupakan permasalahan bagi pembenih ikan. P enyakit yang paling umum menyerang pembenih lele ialah “lele gantung” dan “ moncong putih”
d)
Permasalahan yang lain yang dihadapi pembenih adalah lemahnya pengetahuan tentang pengelolaan keuangan sehingga masih terjadi pemborosan atau kurang
b) Harga lele BS (over & undersize) yang rendah (Rp 2000,- dibawah harga normal). c) Persaingan pasar dengan lele dari daerah lain (Indramayu) bahkan dari Boyolali. d) Tingginya harga pakan. e) Kualitas dan kuantitas benih yang tidak stabil yang disebabkan oleh teknologi pembenihan yang kurang tepat atau disebabkan karena tidak tersedianya induk yang berkualitas. f) Kurangnya pengetahuan sumberdaya manusia khususnya terkait penanganan terhadap penyakit dan manajemen keuangan usaha. Penyakit yang sering menyerang antara lain aeromonas, badan kuning, perut kembung, dan lain-lain. g) Kualitas produk hasil budidaya kualitasnya masih beragam belum dapat mencapai kualitas yang
memenuhi standar higienis karena masih digunakannya pakan
tambahan seperti limbah pabrik maupun budidaya ayam. Sehinga sebagian masyarakat masih memandang bahwa ikan lele merupakan produk yang kurang bersih. h) Permodalan usaha dan kesulitan memperoleh input produksi. i)
Kurangnya informasi khususnya mengenai teknologi budidaya, penangan penyakit bahkan harga ikan.
Untuk pengembangan sentra produksi olahan dan pemasaran perlu dicari lokasi yang tepat dengan sarana dan prasarana yang memadai, jenis produk olahan yang digemari masyarakat, kapasitas produksi sesuai dengan ketersediaan bahan baku dan daya serap pasar, serta penerapan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan. Selain itu kegiatan pengolahan dan pemasaran harus layak secara ekonomi supaya hasilnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahan baku yang digunakan untuk produk olahan adalah filet dari lele segar. Untuk produk siap saji seperti bakso, sosis, nugget, kaki naga (VegiFish) dibuat surimi terlebih dahulu. Kapasitas bahan baku ditentukan dari kapasitas produk lele segar BS yaitu 6 ton lele segar/hari. Dari jumlah tersebut sekitar 15 % ( 1 ton) diolah menjadi lele asap. 15% (1 ton/hari) diolah menjadi berbagai produk turunan. Dibandingkan dengan produk sejenis yang ada di pasaran saat ini (CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah), produk olahan bakso, nugget, kaki naga diyakini tidak dapat berkompetisi bila memasuki pasar yang sama. Produk yang mungkin dikembangkan adalah perluasan lele asap dengan mencari pasar baru, sosis, filet lele asap, filet segar, burger, makanan ringan chiki/crackers. Produk olahan bakso, nugget, kaki naga masih bisa diproduksi dengan menciptakan
terletak di Gunung Sindur, Kelompok Usaha Lele Asap “Citra Dumbo” yang di miliki oleh Bapak Suaep dengan kapasitas produksi per hari antara 150-200 kg lele segar ukuran 10-12 ekor/kg. Dengan pengasapan menggunakan kayu bakar selama 2 hari dihasilkan produk lele asap 37.5-50 kg. Selanjutnya produk dipasarkan di Pasar Senen J akarta dengan harga Rp. 65.000/kg. Selain itu terdapat industri olahan lele asap di Citayam. Terdapat 2 industri rumah tangga di kecamatan Parung CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah. Keduanya memproduksi olahan ikan seperti bakso, nugget, lumpia, ekado, kaki naga. CV. Bening menggunakan bahan baku tetelan kakap, tuna marlin dengan kapasitas produksi 150-200 kg/hari bahan baku. CV. Bintang Anugerah menggunakan bahan baku tetelan tuna dengan kapasitas produksi 700 kg bahan baku/hari. Harga bahan baku berkisar antara Rp. 12.00015.000/kg. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya saing produk Lele , maka diperlukan inovasi dalam pengolahan produk agar dapat menjangkau konsumen yang memiliki daya beli lebih tinggi. Konsumen yang memiliki daya beli yang lebih tinggi biasanya menuntut kualitas produk yang lenih tinggi.
3. Belum diterapkannya Good Manufacturing Practices di industri pengolah. 4. Belum dimilikinya ijin BP OM, kehalalan MUI sehingga membatasi penetrasi pasar khususnya ke supermarket. Untuk mengolah lele perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut : a) Inovasi produk olahan yang belum ada di pasaran antara lain steak, burger, sosis, filet segar, filet asap dan produk kering seperti crackers, abon stick, dan chiki. b) Inovasi produk yang sudah ada dengan penambahan bahan yang meningkatkan nilai kesehatan seperti rumput laut, chitosan, protein ikan hidrolisat, dengan target pasar golongan menegah keatas. c) Penerapan teknologi zero waste dengan memanfaatkan limbah (produk samping) untuk meningkatkan margin. d) Sosialisasi dan kampanye intensif tentang manfaat dan keunggulan lele sebagai sumber protein dan nutrisi lainnya. e) Sertifikasi industri olahan dari BPOM, MUI f) Penciptaan pasar baru seperti sekolah, pesantren, café & resto, dan supermarket.
tersebut, pembudidaya dapat memperoleh keuntungan sekitar Rp 1.000 - 2 000 per kilogramnya tergantung tingkat efisiensi teknologi yang diterapkan dan proporsi ukuran lele lele yang dipanen. J ika proporsi ukuran konsumsinya lebih banyak kentungan bisa lebih besar. Ukuran konsumsi berkisar dari ukuran 12 ekor per kg sampai dengan 6 ekor per kg. J ika ukurannya lebih besar dari 6 ekorper kg yakni mulai 5 ekor per kg sampai dengan 2 ekor atau 1 ekor per kg harganya lebih rendah Rp 2.990,- dari ikan ukuran konsumsi. Sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari 12 ekor per kg biasanya tidak dibeli dan harus dipelihara lagi sampai mencapai ukuran konsumsi sehingga memerlukan waktu pemeliharaan lebih lama dan tentunya akan menambah biaya produksi.
Oleh
karena itu keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan ditentukan berapa besar proporsi
ukuran konsumsi yang dipanen pertama kali dan berapa lama total
pemeliharaan sisanya sapai mencapai ukuran konsumsi. Hal tersebut sangat ditentukan oleh pemehaman pembudidaya dalam hal teknolgi, strategi pemeliharaan, sumber induk atau benih dan strategi pemberian pakan. 6.5.2. Pemasaran Ikan Olahan
Hasil survey, diperoleh informasi industri rumahtangga produk olahan ada empat. Produk
Gambar 6.7. CV. Bening dan CV. Bint ang An ugerah Tabel 6.3. Jenis dan harga produ k olahan ikan di CV Bening dan CV Bintang Anugerah di PIH Cibinong No.
Jenis prod uk
Harga
Lokasi
1.
Filet kakap
35.000/kg
PIH Cibinong
2.
Filet tuna
45.000/kg
PIH Cibinong
3.
Filet dori
38.000/kg
PIH Cibinong
4.
Filet tenggiri
35.000/kg
PIH Cibinong
5
Cucut
18.000/kg
PIH Cibinong
gambar tersebut dapat dilihat bahwa kondisi surplus neraca air terjadi pada periode Bulan November hingga Mei, sedangkan kondisi defisit terjadi pada Bulan J uni hingga Bulan Oktober. Defisit neraca air berkisar antara 15-67 mm/bulan atau 0,5-3,3 mm/hari atau setara dengan 5-33 m3/hari/hektar. Dalam kondisi pengaliran air secara kontinyu, nilai ini setara dengan 0,06-0,38 lt/det/ha. Dalam kondisi defisit neraca air, diperlukan suplai air irigasi dan atau pengaturan pola tanam, untuk menghindari terjadinya kekeringan pada lahan sawah dengan sistem budidaya pertanian tanaman pangan maupun perikanan. Table 6.4. Hasil Analis is Neraca Air unt uk Bu didaya Perikanan
Bulan
J anuari
CH rata-rata
CH andalan
1)
Kebutuhan 2) air
Surplus/defisit neraca air
334,1
183,0
80,6
102,4
Februari
428,7
305,5
72,5
233,0
Maret
270,5
154,7
95,8
58,9
April
240,7
125,8
98,7
27,1
Mei
293,3
161,7
108,5
53,2
J uni
203,9
80,0
102,0
-22,0
Gambar 6.5. Grafik Curah Hujan Andalan dan Kebutuh an Air un tuk B udid aya Perikanan
Tabel 6.5. Hasil Analis is Debit Saluran Bulanan (Lt/Det) Bulan
DI Cibeuteung-1
DI Sasak (BSK3)
DI Cogrek
DI Curug Serpon g
4447,2
3923,2
3144,1
13069,0
Pebruari
5666,1
4973,7
3154,4
11550,4
Maret
3086,1
2849,1
3267,2
4260,2
April
4226,6
3213,2
3148,3
9988,6
Mei
3971,7
5512,6
3142,4
13405,8
J uni
2922,2
2917,5
3136,6
14616,5
J uli
4292,3
1755,2
2925,0
5579,9
Agustus
1641,8
1611,0
3061,2
3785,6
September
1680,3
1123,0
3018,9
3836,9
Oktober
2287,7
1699,4
3101,6
4915,7
Nopember
6078,1
2956,4
3325,3
13425,9
Desember
4675,0
2794,6
3047,2
6970,1
J anuari
Catatan : Dihitung dari data debit harian
Kolam ikan dengan aliran air kecepatan rendah dan pengembangbiakan di sawah tidak membutuhkan prasarana bangunan air secara khusus. Pembiakan ikan dalam keramba
kolam (2 – 3 kolam), sedangkan pada kolam pembesaran aliran air kolam ke kolam (4 – 5 kolam). Kerusakan infrastruktur irigasi telah terjadi pada beberapa bangunan air seperti kerusakan tanggul yang mengakibatkan terjadi rembesan dan kebocoran, pintu bangunan pengambilan rusak/hilang, pendangkalan
saluran, tanggul kurang tinggi, kerusakan
bangunan talang, serta tidak terdapat bangunan box bagi tersier. Selain itu juga terjadi pengendapan lumpur di saluran tersier, serta tertutupnya saluran di bagian hilir oleh sampah dan rumput. Sebagian bangunan sadap atau pengambilan umumnya masih berfungsi untuk pengaturan air, namun saluran di bagian hilir tidak berfungsi dengan baik karena tertutup oleh rumput dan terjadi pendangkalan. Pada lokasi tertentu, bangunan pengambilan kurang berfungsi terutama pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan saluran tersier masih befungsi untuk penyaluran air namun pada musim kemarau terdapat hambatan dalam pengaturan air. Ditinjau dari kecukupan airnya, pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah kolam ikan sepanjang tahun ; pada lahan dekat sumber air (saluran atau bangunan
sadap), atau yang mendapat suplesi dari areal di bagian atas seperti dari
pengelolaan air di tingkat usahatani yang telah ada di lokasi observasi tertera pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Kelembagaan Pengelolaan Air di Tingkat Usahatani Daerah irig asi
Kelompo k tani
P3A
Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I; Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang
o
o
Petak Tersier TP5 ki , Desa Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng
o
Kelompok petani ikan : Perwatin (jumlah anggota 35 orang, Ketua: Bambang Purwanto
o
P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
o
Petak Tersier SK 8 ki , Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
o
Kelompok petani ikan : Tirta Makmur
o
P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
o
Petak Tersier TP1 ka, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng:
o
Kelompok petani ikan : Perikanan J aya (jumlah anggota 100 orang, Ketua: Hudori , merangkap sebagai bendahara P3A Gabungan)
o
P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
o
o
Kelompok tani tanaman pertanian : Solidaritas I (Ketua : Aja ) Kelompok tani ikan : Solidaritas II (Ketua : Arifin)
Tabel 6.7. Usulan Rehabilitasi dan Peningkatan Jarin gan Irigasi No.
1.
Daerah Irigasi
D.I. Cibeuteung I :
o o
o
2.
Usulan rehabilit asi/peningkatan
Sal Tersier BCTS 7ki
D.I. Sasak :
o o o
a. Sal Sek Tembok Panjang o
b. Sal Tersier BTP 1 ka
o o o o
c. Saluran Tersier BTP5 ki
o o o o
d. Sal Sekunder Cogrek
o o o o
e. Sal Tersier BSK 4
o o
f. Sal Tersier BSK 8 D.I. Curug Serpong :
o o
Galian Lumpur, 1800 m Pasangan lining, 500 m Box tersier, 3 bh Bangunan Pelimpah, 1 bh Perbaikan Bang Air, 4 bh (B TP1; BTP 5; BTP 8 dan BTP 10) Box tersier, 1 bh Talang, 1 bh Pembabatan rumput , 800 m Box tersier, 1 bh Galian lumpur,1500 m Pasangan lining, 200 m Pintu pengambilan Perb bang pengambilan, 2 bh Pemb bang pengambilan, 1 bh Galian lumpur, 2000 m Pasangan lining, 500 m Galian lumpur, 500 m Pasangan lining, 500 m Box tersier, 3 bh Perbaikan lantai bangunan pengambilan Pasangan lining ki dan ka, 100 m Box tersier, 1 buah Galian lumpur, 5600 m
akan ditetapkan harus sesuai dengan rencana pemanfaatan wilayah sesuai dengan peraturan daerah ini. P eraturan yang terkait terkait dengan kebijakan kebijakan dan komoditas komoditas setidaknya setidaknya terdapat dua peraturan pokok yaitu Peraturan Peraturan Bupati (Perbub) (P erbub) nomor nomor 84/2009 tentang tentang revitalisasi revitalisasi pertanian pertanian dan pembangu pembangunan nan perdesaan (RP (R P 3) dan Keput K eputusan usan Bupat B upatii Bogor B ogor nomor nomor 523.31/227/Kpts/Huk/2010
tentang
penetapan
lokasi
pengembangan
kawasan
minapolitan inapolitan di Kabupat K abupaten en Bogor. Bogor. P ada Peratu P eraturan ran Bupaten No.84/2009 secara umum umum berisikan program revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Isi pokok dari peraturan bupati ini adalah usaha untuk memberdayakan kembali sektor-sektor pertanian serta fungsi kawasan perdesaan. Secara garis besar, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi dalam 8 zona. Ruang lingkup revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi unggulan yaitu usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. perikanan. Program P rogram direncanakan baik pada sisi sis i on-farm, off-farm maupun yang tidak didasarkan usaha pertanian (non-farm) serta infrastrukturnya.Terkait dengan minapolitan, bahwa peraturan bupati ini menyebutkan bahwa perikanan termasuk
wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan pendukung lainnya. Secara umum, disampingg berisikan tentang ketentuan umum, peraturan ini juga meliputi : (1) azas, tujuan dan sasaran, (2) konsep pengembangan kawasan minapolitan, (3) pemantauan, evaluasi dan pelaporan, (4) pembinaan dan (5) pembiayaan. Secara spesifik, peraturan ini menyebutkan bahwa karakteristik kawasan minapolitan merupakan kawasan ekonomi yang terdiri atas sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya seperti jasa dan perdagangan. Salah satu persyaratan mendasar adalah bahwa kawasan minapolitan harus sesuai dengan rencana tata tata ruang ruang wilayah wilayah (RTR (RTRW) W) dan Rencana R encana Pengem P engembangan bangan Investasi J ang angka Men Meneng engah Daer Daerah ah (RPIJ MD) MD) yang ang telah elah ditet itetap apk kan. an. Sedan Sedang gkan bila ila sud sudah memenuhi criteria dan persyaratan yang ada, maka Bupati/Walikota mempunyai otoritas untuk menyusun Rencana Induk (Master plan), yang diimplementasikan melalui Rencana Pengusahaan dan Rencana Tindak. Penetapan lokasi Minapolitan dilakukan oleh Bupati/Walikota Bupati/Walikota dan disampaikan disampaikan pada Menteri Menteri Kelaut Kelautan an dan Perikanan. P erikanan. Pada P ada sisi sisi pembiayaan, maka pengembangan dan pembinaan kawasan minapolitan didasarkan
c. K Kepastian Kepas epastian epastian peraturan
tentang tentang pengelolaan pengelolaan dan pemanfaatan sarana sarana dan
prasarana.
6.9. 6.9.
Potensi Minawisata
Pen P Pe engembangan ngembangan minawista iinawis nawista ta m melip elip eliputi perencanaan yang yang m mengakomodasikan engakomodasikan sseluruh eluruh aktifitas yang direncanakan dalam suatu kawasan minapolitan. Perencanaan tersebut didasari oleh konsep utama, yaitu untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang berkelanjutan dengan mengembangkan wisata edukasi yang didasarkan pada potensi lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. 6.9.1. 6.9.1. Infr astru kt ur Wilayah
Kondisi infrastruktur yang ada di sekitar kawasan perencanaan cukup baik. Beberapa data infrastruksur tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.8. dan Lampiran 5.
Gambar 6.7 . Kondisi p otensi w isata Situ Kemang Kecamatan Kemang
Disamping situ Kemang, di kecamatan ini juga terdapat potensi wisata Situ Cilaya yang terletak didesa J ampang. Lokasi situ Cilaya terletak diperbatasan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Ciseeng. Lokasi wisiata ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi kerena akses yang mudah dan dekat dengan jalan raya Ciseeng (150 m) dan tidak jauh dengan jalan raya Bogor Parung. Situ ini sekarang telah ada akvtivitas wisata pemancingan. Namun jika diberdayakan dengan sarana dan prasarana yang cukup maka kondisi Situ Cillala ini sangat potensial untuk menjadi obyek wisata unggulan. Kondis Situ Cilalal disajikan dalam gambar berikut ini:
6. Terdapat kios penyedia sarana produksi perikanan
Gambar 6.11. Kondis i Pasar Cis eeng
Ikan hias juga merupakan salah satu komoditas unggulan selain ikan lele, pada Kecamatan Ciseeng ini terdapat suatu kawasan budidaya yang cukup luas yaitu adanya danau buatan yang digunakan sebagai keramba ikan hias berbagai jenis sehingga menarik untuk dijadikan potensi minawisata.
jalan yang baik. Namun kondisi Situ ini saat ini belum diberdayakan sebagai obyek wisata. Gambaran umum kondisi Situ Iwul disajikan dalam gambar dibawah ini.
Gambar 6.14. Kond isi Sit u Iwul- Desa Iwul
C. Kecamatan Parung
Gambar 6.169. Pembesaran L ele
Obyek wisata yang terdapat di kecamatan ini dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat adalah wisata Tirta Sanita. P ada hari-hari libur wisata yang merupakan pemandian air panas ini banyak dikunjungi oleh pengunjung.
Gambar 6.17. Kawasan Wisata Tirta Sanita
D. Kecamatan Gunung Sindu r
Meskipun dalam RTRW Kecamatan Gunung Sindur dialokasikan sebagai kawasan industri, namun masih ada sebagian desa yang memiliki kolam-kolam pembesaran baik penampungan ikan lele.
6.9.3. Analisis Kelayakan Lanskap untuk Minawisata
Berdasarkan analisis kelayakan kawasan yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan minapolitan dilihat dari Tabel 6.9.
dibawah menunjukkan bahwa seluruh
kecamatan yang ada cukup potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan minawisata. Kecamatan Ciseeng memiliki nilai paling besar untuk menjadi potensial dikarenakan kondisinya yang masih alami dengan kolam-kolam pembenihan yang menjadi objek menarik untuk dikunjungi. Selain itu, keragaman objek yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata juga merupakan faktor pendukung untuk menjadikan Ciseeng sebagai kawasan sentra dari minapolitan. Obyek dan atraksi yang terdapat pada tapak memperkuat komponen untuk melakukan wisata, seperti yang dinyatakan oleh Gunn (1994), alasan sebuah kawasan yang dikembangkan untuk wisata karena terdapat atraksi sebagai komponen dan suplay. Atraksi dapat berbentuk ekosistem, landmark atau satwa.
Tabel 6.9. Penilaian Kelayakan Kawasan Bog or s ebagai Minawisata
RENCANA PENGUSAHAAN KAWASAN MINAPOLITAN
7.1.
7
Penetapan Kawasan Pengembangan Minapolitan
Berdasarkan Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (RP3P) di Kabupaten Bogor yang sudah disinkronkan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi delapan
zona
pengembangan
pertanian
dan
perdesaan.
Kedelapan
zona
pengembangan pertanian dan perdesaan tersebut dapat dilihat pada pada Gambar 7.1 dan Tabel 7.1 Kecamatan-kecamatan yang masuk ke dalam zona yang sama lokasinya
saling berdekatan antara satu dengan lainnya, sehingga diharapkan dapat mencerminkan kondisi agroekosistem yang sama.
Pengelompokkan berdasarkan agroekosistem
tersebut penting karena suatu kondisi agroekosistem tertentu cocok bagi pengembangan komodit
anian t
pula.
Dengan demikian, di
but dapat
Tabel 7.1. Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogo r Zona
1
2
3
Kecamatan
Juml ah Desa
Pewi layahan RTRW
Rumpin
13
Barat
Cigudeg
15
Barat
Parung Panjang
11
Barat
J asinga
16
Barat
Tenjo
9
Barat
Sukajaya
9
Barat
Nanggung
10
Barat
Leuwiliang
11
Barat
Leuwisadeng
8
Barat
Cibungbulang
15
Barat
Pamijahan
15
Barat
Ciampea
13
Barat
Tenjojaya
6
Barat
Dramaga
10
Barat
Ciomas
11
Barat
7
Tengah
Kemang
9
Tengah
Rancabungur
7
Tengah
Tajurhalang
4
Dari Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor, berdasarkan kriteria pengembangan kegiatan minapolitan, maka Zona (IV) empat yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng,
Kemang ,Tajurhalang,
Rancabungur
merupakan kawasan yang layak menjadi kawasan kegiatan Minapolitan di Kabupaten Bogor.
Setelah dianalisis lebih mendalam berdasarkan (i) aspek potensi lahan/area
untuk kegiatan perikanan budidaya, (ii) produktvitas dan (iii) jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP), hanya empat kecamatan dan 27 desa yang layak menjadi kawasan Minapolitan di Kabupaten Bogor, yaitu
Kecamatan Gunung Sindur dengan 6 desa,
Kecamatan Parung dengan 7 desa, Kecamatan Ciseeng dengan 8 desa,
dan
Kecamatan Kemang dengan 6 desa. Potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan minapolitan Kabupaten Bogor adalah seluas 2.592,5 Ha yang tersebar di empat kecamatan kawasan pengembangan yaitu Kecamatan Ciseeng seluas 1.309,5 Ha, Kecamatan Parung seluas 607 Ha, Kecamatan Gunung Sindur seluas 192 Ha dan Kecamatan Kemang 484 Ha. Selengkapnya luas potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan minapolitan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.2. dan Lampiran 7.
Tabel 7.2. Potensi Lu as lahan untuk kegiatan perikanan di K awasan Minapolitan Kabupaten Bogo r No.
1
Kecamat an
Ciseeng
Desa
Babakan Parigi Mekar Putat Nutug Ciseeng
2
Parung
Gunung Sindur
283.00 63.20 245.00 80.30
Cibentang
105.00
Cibeuteung Udik
203.00
Cibeuteung Muara
225.00
Cihoe
105.00
Bj. Indah Cogreg
3
Luas (ha)
90.00 280.00
Bj. Sempu
76.00
Waru J aya
45.00
Waru
36.00
Pamegar Sari
24.00
Iwu
56.00
Pangasinan
35.00
Cibinong
56.00
Tabel 7.4. Produks i perik anan budidaya di Wil ayah Studi, Tahun 2008 (Dalam Satuan Ton/Tahun) Kecamat an
Lele
Gurame
Ikan hias(RE)
Jenis Ikan Lain
Ciseeng
2.895,67
424.85
594,45
2.464
Parung
7.357,60
222.47
647,95
899
Gunung Sindur
5.820,44
192.08
0
1426
698.43
108.30
258,59
211
16.772,14
947,7
1.500,99
2538.464
Kemang Jumlah (Ton) Rata-rat a (Ton)
7.2.
4.193,04
236.93
375,25
1015.386
Penetapan Komo dit i Unggulan
Seperti telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa pengembangan kawasan minapolitan pada prinsipnya adalah membangun industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan. Komoditi unggulan adalah produk pilihan yang dihasilkan oleh sektor perikanan dan atau pariwisata berbasis perikanan yang mempunyai nilai jual dan jaminan
Analisis penentuan komoditi unggulan dengan menggunakan skoring. Untuk paramater yang berkaitan dengan aspek budidaya (aspek pembenihan, pembesaran dan pemasaran) masing-masing parameter yang telah ditetapkan diberikan skor 1-5, dimana untuk parameter skor 1 (sangat rendah), skor 2 (rendah), skor 3 (sedang ), skor 4 (Tinggi) dan skor 5 (sangat tinggi). Sedangkan skoring untuk parameter yang berkaitan dengan aspek P engolahan penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 7.5. Selengkapnya hasil analisis skoring penentuan komoditi Unggulan untuk kegiatan Minapolitan di Kabupaten Bogor dapat di lihat pada Tabel.7.6 Tabel 7.5. Parameter Penilaian Pengolahan NILAI RATING
KETERANGAN Rendemen
Keragaman
1=sangat rendah
5 =>40%
jika bisa diolah (4) =5
2=rendah
4 =30-35%
(3) =4
3=sedang
3 =25-30%
(2) =3
4=tinggi
2 =20-25%
(1) =2
5=sangat tinggi
1 =<20%
jika tidak bisa diolah =1
Lele mempunyai jumlah skor yang tertinggi yaitu 51, diikuti dengan Nila dan Bawal yang memiliki skor sama (38) dan kemudian ikan Mas (33) dan Gurame (31). Dengan demikian maka berdasarkaan analisis tersebut maka komoditi unggulan untuk kegiatan Minapolitan di Kabupaten Bogor adalah Ikan Lele. Ikan Lele merupakan komoditi perikanan yang mempunyai keunggulan lebih dibandingkan dengan jenis komiditi perikanan lainnya. Produktivitas Lele cukup tinggi dibandingkan dengan komoditi lainya sehingga masyakarat hampir tidak ada kesulitan yang berarti dalam mengembangkan kegiatan budidaya Lele. Persayaratan kualitas air yang menjadi prasyarat utama bagi kegiatan budidaya ikan secara umum tidak terlalu ketat, karena Ikan Lele bisa hidup pada perairan yang masih dibawah standar rata-rata. Sementara itu pasar lele saat ini juga masih cukup menjajikan, permintaan lele dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya daya konsumsi ikan serta masih banyak keunggulan lainnya dari Ikan Lele. Salah satu kelemahan Ikan Lele adalah masih ada image di sebagian masyarakat yang mengangaga Ikan Lele jorok, tetapi kelemahan itu dapat bisa diatasi dengan melakukan deversifikasi produk olahan dari bahan baku Ikan Lele.
keitan pengolahan, dan disamping itu juga
berfungsi sebagai pusat informasi dan
kegiatan minapolitan secara keseluruhan. Mengingat bahwa dalam Sentra Minapolitan terdapat berbagai fungsi dan kegiatan, maka sentra kawasan minapolitan Kabupaten Bogor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Terletak relatif di tengah dari empat kota kecamatan wilayah minapolitan, 2. Akses jalan menuju ke sentra produksi cukup memadai, akses jalan menuju J akarta sebagai pusat pemasaran cukup memadai, 3. J aringan listrik dan telekomunikasi cukup tersedia, 4. Terdapat pasar ikan dan pasar yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, 5. Terdapat kios penyedia sarana produksi 6. Luas area minimal 1 hektar 7. Ketersediaan air bersih untuk pengolahan dan air untuk budidaya 8. Ada saluran pengairan untuk budidaya. Arahan pengembangan sentra kawasan minapolitan adalah selain sebagai pusat industri
Tabel 7.7 Hasil Analisis Skoring 4 Lokasi Calon Sentra Minapolitan LOKASI Parameter
Situ Cilala
Pasar Ciseeng
BP3K
Situ Iwul
(A)
(B)
(C)
(D)
1. Teknis
Total Skor
Bobot (%) (A)
(B)
(C)
(D)
60
Kecukupan lahan (HA)
9
1
7
3
20
1,8
0,2
1,4
0,6
Ketersediaan air
7
3
5
3
20
1,4
0,6
1
0,6
Akses ke lokasi dari jalan raya
7
7
7
7
5
0,35
0,35
0,35
0,35
Ketersediaan Listrik
9
9
9
7
15
1,35
1,35
1,35
1,05
4,9
2,5
4,1
2,6
Sub to tal 1
15
2. Estetika
Aksesibilitas oleh calon pengunjung
9
9
7
7
8
0,72
0,72
0,56
0,56
Nilai jual wisata
9
5
5
7
7
0,63
0,35
0,35
0,49
1,35
1,07
0,91
1,05
0,25
0,45
0,45
0,25
Sub Total 2 3. Aspek Legal dan Otoritas
Otoritas Pengelolaan
25
5
9
9
5
5
A. Str uk tu r K eter kai tan An tar a Sentra K awas an dengan Kawasan Pengem bangan Lainnya
Salah satu arahan pengembangan kawasan minapolitan Kabupaten Bogor adalah mengembangkan kawasan sentra Ciseeng menjadi pusat pengolahan hasil perikanan, pusat informasi dan pusat pendidikan & pelatihan serta pusat pemasaran hasil pengolahan komoditi Ikan Lele.
Sehingga pola keterkaitan antara sentra
kawasan Ciseeng dengan kecamatan- kecamatan lainya didasari oleh pola hubungan sistem pengolahan komoditi hasil perikanan, sistem informasi dan pendidikan dan pelatihan serta sistem pemasaran. Dalam sistem pengolahan hasil perikanan, Kecamatan Ciseeng menjadi pusat atau sentra pengolahan bagi kawasan-kawasan lainnya. Dengan demikian bahan baku yang digunakan dalam pengolahan produk perikanan yang dilakukan di Sentra Ciseeng diperoleh dari kawasan-kawasan minapolitan lainnya, yaitu dari Kecamatan Parung, Kecamatan Kemang dan Kecamatan Gunung Sindur. Ikan lele,yang berukuran besar (>5 ekor per kg) tidak dipasarkan sebagai ikan
kecamatan Ciseeeng.
Kegiatan tersebut bermanfaat bagi pengembangan usaha
perikanan, baik dari dalam kawasan minapolitan maupun dari luar wilayah pengembangan di Kabupaten Bogor bahkan bisa dari masyarakat luar daerah. Struktur
hubungan keterkaitan antara sentra
kawasan
dengan kawasan
pengembangan lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
B. Struk tur Keterkaitan antar Kawasan Pengembang an
Struktur hubungan keterkaitan antar kawasan pengembangan minapolitan yang satu dengan yang lainya didasarkan pada kegiatan pembenihan. Suatu desa di kawasan minapolitan yang diarahkan sebagai kawasan pembenihan berfungsi sebagai suplier benih ke beberapa pendederan dan pembesaran ikan Lele pada beberapa desa baik dalam satu kecamatan maupun di luar kecamatan.
Keterkaitan antar kawasan
pengembangan ini bersifat dinamik, artinya bahwa pola keterkaitan/hubungan antara desa satu dengan yang lainya tidak bersifat tetap, tetapi bisa berubah-rubah sesuai dengan mekanisme pasar perbenihan. Pola hubungan keterkaitan antar kawasan pengembangan dapat dilihat pada Lampiran 8.
mempertimbangkan kondisi pasar. Kondisi pasar sangat dipengaruhi oleh persaingan dengan daerah lain dengan komoditas yang sama dan memiliki tujuan pasar yang sama. Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka arahan pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan akan lebih di fokuskan pada peningkatan penyediaan benih baik dalam jumlah maupun kualitasnya, perbaikan teknologi budidaya antara lain penggunaan probiotik dan multi vitamin dalam pakan untuk perbaikan kualitas air dan peningkatan efisiensi pakan serta peningkatan kualitas produk dengan teknologi budidaya yang lebih hiegenis dan ramah lingkungan.
7.6.
Arahan pengembangan Kegiatan Perbenih an
Kegiatan perbenihan di wilayah minapolitan di arahkan pada peningkatan kualitas dan kuantitas input produksi dan perbaikan teknologi produksi benih, yang diharapkan berujung pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan para pembenih lele. Peningkatan kualitas input dan kuantitas input produksi dapat dilakukan dengan
hanya dapat menjangkau pasar untuk kalangan masyarakat biasa,namun juga dapat menjangkau kalangan masyarakat mengah keatas, P ada akhirnya strategi pengelolaan dan pengembangan produk olahan minapolitan Bogor diharapkan dapat memenuhi syarat untuk dapat diekspor keluar negeri. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut pengembangan pengolahan produk perikanan diperlukan proses pruduksi pengolahan secara terpusat dalam suatu sentra industri pengolahan produk perikanan dan dikelola dengan sistem manajemen
industri. Hal ini diperlukan agar proses produksi dapat
terkontrol kualitasnya dan dapat mengatur output produksi tepat waktu dan jumlah serta mutu yang terjamin. Disamping sentra produksi pengolahan produk perikanan, produksi pengolahan rumah tangga juga perlu dikembangkan bersinergi dengan industri pengolahan. Industri rumah tangga perlu dikembangkan dan dibina agar dapat manghasilkan produl olahan sesuai dengan stAndar indusri. Untuk itu sentra indusri pengolahan juga harus melakukan program pelatihan dan penyuluhan terhadapa masyarakat. 7.7.1
Pengembangan Produ k Olahan
Tabel 7.8. Jenis ol ahan produk lele atau ikan lainnya ( kapasitas 5 ton i kan segar/hari)
No
J enis olahan
Ukuran (ekor/kg)
Kapasitas bahan baku ( kg/hari)
Kapasitas olahan (kg/hari)
Potensi pasar
1
Lele tanpa kepala
8-12
500 lele segar
300
Pesantren, lembaga pemasyarakatn
2
Filet lele ( skinless) atau filet patin, nila, bawal
2 ekor/kg
4500 (total dari semua jenis ikan),
1260 ( 260 kg untuk filet segar)
Supermarket, jasaboga, hotel, restoran dan bahan baku produk olahan
3
Filet asap
100 filet
50
Supermarket, restoran
3
Surimi
900 filet
720
Bahan baku produk turunan bakso, dll
3
Bakso
100 surimi
150
Restoran, jasaboga, supermaket
4
Sosis
100
150
Restoran, supermarket
5
Nuget
100
150
Restoran, supermarket
6
Vegifish (kaki naga
200
300
Restoran, supermaket
7
Krupuk
60
120
supermaket
8
Makanan ringan
60
120
Supermaket
4. Produk olahan bakso, sosis, nugget, burger, crackers, chiki, abon, dll
7.7.2 .7.2 PengembanganTeknolo PengembanganTeknologi gi Pengolahan Pengol ahan
Bahan baku lele akan difilet kemudian dibuat surimi untuk selanjutnya selanjutnya dipakai dipakai sebagai sebagai bahan baku produk bakso, nugget, dll. Kulit dikeringkan untuk bahan baku kolagen yang dapat diapliaksikan di produk kosmetik. Tulang dan sisa daging dikeringkan, dibubuk kemudian difermentasi untuk menghasilkan pupuk organik berkulitas tinggi dengan kandungan asam amino (growth factor ), mineral, dll. Pupuk organik akan dipakai untuk budidaya hortikultura seperti caisin, kaIlan, parkcoi, selada, timun, tomat, cabe, bayam, kangkung, dan lain-lain. Skema proses masing-masing kegiatan pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7.3.
Sementara itu, fasilitas dan peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 7.9.
Lele hidup
Tabel 7.9. Daftar Fasil itas d an Peralatan untu k Produ ksi Filet dan Pemanfaatan Hasil Samping No.
Fasil itas dan Nama Alat
1.
Bak Penampungan lele
2.
Meja pemotongan lele (SS)
3.
Pisau potong dan pisua filet (SS)
4.
Bak pencucian (SS)
5.
Kerannjang penampungan (Plastik)
6.
Wadah penyiapan filet (SS)
7.
Freezer penampung filet (-20 C)
8.
Bak pencician hasil samping
10.
Pengering produk samping
11.
Grinder
12.
Vakum sealer
13.
Sealer karung
14.
Bak fermentasi
Tabel 7.10. Fasil itas d an Peralatan yang u ntuk Pembuatan Lele Asap No
Fasil itas dan Nama Alat
1
Wadah pencampuran bumbu (SS)
2
Alat pengasap
3
ALat pendingin
4
Vakum sealer
Filet lele
Grinding
Pencucian
P
bahan cryoprotectant
Air bekas cucian untuk u uk
Surimi
Bumbu2 +
pencampuran
ektrak rumput
Pencetakan
pemasakan
Bakso, sosis, nugget, vegifish, crackers, abon,chiki, dll
7.7.3. Rencana Pegembangan Pemasaran Produk Olahan Lele
Pengembangan pemasaran produksi lele diarahkan pada peningkatan daya saing produk, peningkatan nilai jual/nilai tambah produk, dan peningkatan pangsa pasar baru. Peningkatan daya saing produk minapolitan bogor dilakukan dengan penurunan biaya produksi lele (dengan perbaikan teknologi budidaya, efisiensi komponen biaya produksi, dan peningkatan produktivitas pelaku usaha) dan pembentukan image lele bogor yang berbeda dengan lele wilayah lain (bebas antibiotik, tanpa menggunakan pakan limbah, higienis, kontinyu, dll). Peningkatan nilai jual produk dilakukan dengan diferensiansi produk dengan pengolahan hasil produksi lele sehingga memiliki nilai tambah. Peningkatan pangsa pasar baru dilakukan dengan pencarian pasar lele segar ataupun olahan keluar daerah/luar negeri dan peningkatan konsumsi pasar yang sudah ada (dengan gerakan makan ikan dan perbaikan pencitraan ikan khususnya lele). Pemasaran produk olahan lele perlu diciptakan pasar tersendiri dengan trade mark makanan kesehatan. Produk olahan difortifikasi dengan serat alami dari rumput laut dan bahan alam alut lainnya (seperti citosan). Untuk memasarkan produk harus dilakukan kerjasama dengan pihak terkait seperti : rumah sakit, catering, sekolah-sekolah, P IH
7.7.4. Anali sa Ekonom i Pengolahan Lele
Biaya investasi untuk pengolahan lele tanpa kepala dan filet lele adalah Rp. 75.500.000 (Lampiran 9 ). Harga pokok produksi (belum termasuk keuntungan) untuk bahan baku lele segar 5 ton/hari ( harga Rp. 8000/kg) dengan produk lele tanpa kepala 300 kg/hari dan filet lele 1260 kg/hari adalah Rp. 21,576.68 /kg ( lele tanpa kepala) dan
Rp.
31,750.22/kg ( filet lele). Bila harga bahan baku naik menajdi Rp. 10,000/kg, maka harga pokok filet lele akan menjadi Rp. 39,289 /kg. Tabel 7.13. Perhitungan HPP Lele Tanpa Kepala dan Filet Lele
Komponen Biaya
Keterangan
Harga lele Rp. 8000/kg
Investasi alat dan fasiltas (diluar gedung) Biaya penyusutan/hari Bahan baku
5000 kg
Tenaga kerja
1000/kg headless 1500/kg filet
sub-total
harga lele 10000/kg
275,500,000 115,463
115,463
40,000,000
50,000,000
300,000
300,000
1,890,000
1,890,000
42,305,463
52,305,463
Tabel 7.14. Perhit ungan Harga Pokok Produk si (HPP) Produk Olahan Bakso, Sosis, Nugget dan Lainnya Komponen
Jumlah
Jumlah
Investasi alat dan fasiltas (Rp)
400,000,000
Biaya penyusutan/hari (Rp) Biaya Bahan baku (Rp)
Total
6,666,667 1260 kg
39,060,000
Biaya bahan pembantu (10%)
3,906,000
Biaya Tenaga kerja (20%)
7,812,000
Sub-total
57,444,667
Utilities ( listrik, air)
10%
5,744,467
Pemeliharaan
10%
5,744,467
TOTAL P roduk olahan (kg)
68,933,600 130%
1638
Harga pokok produksi (Rp/kg)
7.8.
Arahan Pengembangan Lanskap Minawisata
42,084.00
kondisi keempat kecamatan yang memiliki lingkungan yang masih cukup alami, ditengah kehidupan masyarakatnya yang ramah dan suasana perdesaan yang masih kental. C.
Wisatawan/Pengunjung
Masalah yang cukup penting untuk diperhatikan adalah sasaran wisatawan atau pengunjung yang ditargetkan untuk datang ke kawasan minapolitan. Hal ini dilihat dari jenis minawisata yang ditawarkan yaitu wisata edukasi, rekreasi dan wisata produksi. Pelajar atau mahasiswa adalah target untuk wisata edukasi, kalangan masyarakat umum terutama keluarga akan menjadi target wisatawan yang diharapkan datang untuk rekreasi di kawasan ini. Selain itu pengunjung untuk wisata produksi juga umum khususnya investor lokal maupun mancanegara. D.
Asp ek Masyarakat
Masyarakat setuju dan mendukung adanya program minapolitan ini, karena dengan adanya pembangunan tersebut masyarakat dapat berperan aktif serta lapangan pekerjaan untuk mereka juga akan bertabah.
Ruang Transisi merupakan area perantara dari ruang penerimaan dan ruang wisata
utama. Area ini berupa fasilitas pelayanan rest area (peristirahatan), homestay dan display area. Ruang Wisata Utama merupakan area minawisata yang ditawarkan untuk dikunjungi
oleh wisatawan. 1.
Wisata Edukasi, wisata ini dibagi berdasarkan komoditas unggulan yang terdapat pada kawasan minapolitan, yaitu lele, ikan hias, dan lobster.
2.
Rekreasi
3.
Wisata Produksi, wisata ini berdasarkan objek pengolahan ikan yang terdapat pada kawasan minapolitan.
A.
Ko ns ep Ruang dan Sir ku las i Mi nawis ata A lt ern ati f 1
Konsep ruang dan sirkulasi minawisata pada alternatif 1 ini pusat atau sentra minapolitannya terletak di BP 3K (Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan). Lokasi ini cukup strategis dilihat dari letaknya yang mudah dijangkau dan akses yang cukup baik serta lingkungan disekitar yang mendukung.
penampungan, pengolahan hingga pasca panennya yang dilengkapi dengan pengolahan limbahnya sehingga ramah lingkungan.
B. Konsep Ruang Ruang dan dan Sirkulasi Minawisata Minawisata Alternatif 2
Konsep ruang dan sirkulasi minawisata pada alternatif 2 ini pusat atau sentra minapolitannya terletak di Desa Babakan. Lokasi ini dilihat cukup strategis dilihat karena akses yang berada di jalur utama masuk kawasan Minapolitan. Selain itu jalur yang mudah dijangkau dengan kondisi lingkungan perdesaannya yang masih terasa menjadikan sesuai untuk minawisata. P ada diagram ruang dibawah ini terdapat terdapat sirkulasi sirkulas i dimana dari sentra minapoli minapolitan, tan, dapat langsung berwisata edukasi menuju ke perkampungan warga sekitar untuk menyaksikan secara langsung budidaya lele baik skala kecil (rumahtangga) hingga skala industri. Kuldesak yang terdapat di akhir bertujuan agar wisatawan dapat menikmati perjalanan dengan nyaman dan berputar balik untuk menuju ke paket wisata selanjutnya. Diupayakan pada paket ini wisatawan menggunakan jalur sepeda atau berjalan kaki.
Gambar Gambar 7.12. 7.12. Lokasi Eksis tin g dan Desain Alternatif 2 Sentra Sentra Minapoli tan (Desa (Desa Babakan)
Gambar 7.15. Gambar Exist ing dan Pengembangan Jalan Obyek Wis ata Lele (Desa Babakan)
7.10. Arahan Pengembangan Kelembagaan Arahan pengembangan kelembagaan mencakup dua kegiatan pokok yaitu : (a)
Pembentukan/penguatan
kelembagaan
masyarakat
dan
(b)
Penyusunan
kelembagaan pengelola kawasan minapolitan, Arahan pengembangan kelembagaan diuraikan sebagai berikut. A.
Pembent uk an/Pengu atan Kelemb agaan Masyarakat
Sesuai dengan konsep tentang minapolitan, maka pembentukan dan atau penguatan
kelembagaan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan jaminan
distribusi manfaat adanya kawasan minapolitan secara adil bagi seluruh stakeholder. Hal ini secara eksplisit dituangkan dalam Permen No.12/MEN/2010 tentang minapolitan, mempunyai tujuan salah satunya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Seementara itu, salah satu sasarannya adalah meningkatkan sector kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi regioanal dan nasional diantaranya
berupa
pengembangan
sistem
ekonomi
berbasis
wilayah,
pengembangan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan sebagai pusat
Kelembagaan yang ada di masyarakat sekarang, sebenarnya sudah terjadi pengelompokan (grouping) dari masing-masing segmen budidaya tersebut. Pada segmen usaha perbenihan, terdapat kelompok pembenih, demikian pula pada segmen pembesaran juga terdapat kelompok. Namun demikian, faktanya motif pembentukan kelompok ini cukup beragam. Sebagian besar berdasarkan asesmen lapang, didapatkan bahwa kelompok ini masih dalam bentuk relasi “patron-klien”. Sebagian besar bahwa sistem patronase ini terjadi berdasar pada jaminan kepastian pasar, jaminan input maupun kapital. Misalnya, kelompok pembenih, terjadi karena adanya ketua kelompok merupakan penjamin pasar (pedagang pengumpul). Sehingga anggota kelompok mempunyai jaminan pasar, terutama ketika terjadi oversupply. Demikian juga pada kelompok pembesaran, pola ini juga terjadi. P ola lain, adalah bahwa ketua kelompok juga menjadi pemasok input utama seperti pakan atau benih. Ketua kelompok ini menjadi pembeli produk lele yang dihasilkan. Mengingat pola organisasi kelompok seperti tersebut diatas, maka pembentukan dan atau penguatan kelompok diarahkan pada kelompok masing-masing segmen
“kesejahteraannya”. Unsur kesejahteraan perlu untuk digarisbawahi mengingat bahwa persepsi antar satu individu dengan individu yang yang terhadap konsepsi kesejahteraan berbeda-beda, sehingga ekspektasinya juga berbeda. Hubungan antar manusia tidak selamanya cukup direfleksikan dalam konteks hubungan antar manusia (person to person), tetapi seringkali melalui lembagalembaga yang merefleksikan atribut kumpulan individu (kelompok) dan kepentingan bagi
individu-individu yang mempunyai nilai-nilai atau kepentingan yang sama
dalam satu kelompok. Secara umum lembaga ini dapat disebut sebagai bentuk kelompok social (social groups). Lembaga-lembaga tersebut dapat meliputi lembaga-lembaga formal maupun informal. Masing-masing lembaga tersebut berinteraksi, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Kelompok-kelompok yang melakukan kesepakatan tersebut sebenarnya membawa misi
untuk
Sehingga
mengimplementasikan
ketika
ekspektasi-ekspektasi
kesepakatan-kesepakatan
tersebut
antar
diambil,
anggotanya. hal
ini
juga
menunjukan pemenuhan terhadap harapan setiap anggotan dalam memanfaatkan
aturan-aturan kelompok. Mekanisme ini juga dikembangkan pada relasi antar kelompok, sehingga masing-masing kelompok yang terlibat dalam kesepakatan dapat menjaga pelaksanaan kesepakatan. Penjagaan kesepakatan kelompok baik melalui aspek kognitif maupun struktural adalah usaha-usaha esensial yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan minapolitan, sebagai turunan konsepsi bahwa pengelolaan kawasan minaploitan adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya oleh manusia. Usaha-usaha ini dilakukan baik pada tataran kelompok informal maupun formal. Kelompok-kelompok informal sering dipahami dan diaktualisasikan sebagai kelompok pada level masyarakat. Sedangkan pada kelompok formal mencakup pemerintahan (baik pusat maupun daerah) maupun kelompok-kelompok yang berbasis legal yang nyata. Berdasarkan
uraian
diatas,
terlihat
bahwa
pengelolaan
kawasan
minapolitan
mensyaratkan adanya pembangunan lembaga (institution) baik formal maupun informal yang kuat serta pengembangan aturan main (baik kognitif maupun structural) yang secara efektif dapat diimplementasikan.
Kelembagaan, merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan antara elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi, kelembagaan menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka tetap terakokmodasi. J adi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya. Konsepsi kelembagaan secara teoritis sangat bervariasi tergantung pada tinjauannya. Tinjauan konsepsi kelembagaan bekembang mulai dari pendekatan sosiologis, organisasi ekonomis sampai dengan politik/kebijakan. North (1990) menyatakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya.
Uphoff (1986) menyatakan kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma– norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani
menyangkut seperangkat aturan (rules of the game) yang harus dan atau dapat dipatuhi oleh anggotanya, sehingga institusi tersebut dapat berperan secara efektif. Secara akademis, kelembagaan tidak bersifat uni-elemen, tetapi terkonstruksi atas sejumlah elemen yang mendukung performa kelembegaan. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah : (a) Institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku social masyaraka, (b) Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur, (c) Peraturan dan penegakan aturan/hukum, (d) Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota, (e) Kode etik, (f) Kontrak, (g) Pasar, (h) Hak milik (property rights atau tenureship) , (i) Organisasi dan (j) Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan Tinjauan teoritis seperti disebutkan diatas memberikan arahan tujuan pembentukan kelembagaan pengelolaan kawasan minapolitan Bogor. Tujuan-tujuan itu adalah : a. Menjamin adanya organisasi/lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
tertinggi di daerah sepanjang tidak menyalahi undang-undang pada tingkat yang lebih tinggi. Pada keputusan constitutional ini dipengaruhi oleh kultur baik formal maupun informal dari pihak-pihak yang berinteraksi.
Gambar 7.18. Hirarki Pengambil an Keputusan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Minapolitan Bogor (Sumber : Modifikasi Ostrom, 1999)
Pada tingkat dibawahnya adalah keputusan yang bersifat kolektif. Representasi kolektifitas ini ditunjukan keputusan yang bisa mengikat seluruh elemen stakeholder pengelolaan kawasan minapolitan. Bentuk kelembagaan juga mengikuti pola ini, dimana kelembagaan yang menghasilkan keputusan ini juga merupakan lembaga yang bisa
eksektif dan legislative tingkat pemerintah daerah, maka tahap berikutnya adalah memformulasikan memformulasikan
keputusan-keputusan
dibawahnya
sam sampai
pada
keputusan
operasional. Sebaliknya proses-proses yang terjadi pada tingkat konstitutional juga harus melihat dinamika pada tataran masyarakat yang nantinya akan member masukan pada keputusan politik yang yang akan diputuskan. diputuskan.
Hubungan antara antara keputusan keputusan dan proses proses
pembentukan kelembagaan pengelola kawasan minapolitan dapat dilhat dalam Gambar 7.19.
Gambar Gambar 7.19. 7.19. Proses Pembentukan Kelembagaan Pengelola Kawasan Minapoli tan
P ada sisi sisi substantive, substantive, pembentu pembentukan kan kelembagaan kelembagaan melewati melewati proses-proses proses- proses pemahasan pemahasan tentang hal-hal elementer tentang kelembagaan seperti kewenangan dan kewajiban (Gambar 7.20) Kewenangan dan kewajiban kelembagaan ini ditentukan setelah
P ada proses pembent pembentukan ukan kelembagaan kelembagaan akan berakhir ketika ketika proses-proses proses-proses tesebut diatas telah berhasil mengidentifikasi bentuk kelembagaan yang bisa diterima oleh seluruh seluruh stakeholder. Piliha P ilihan n bentuk bentuk kelembagaan dapat dilakukan dengan merujuk merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga lembaga yang terbentuk akan berfungsi optimal. Kelembagaan minapolitan meliputi beberapa jenis kelembagaan yaitu (a) kelembagaan menyeluruh kawasan minapolitan, (b) kelembagaan pusat (sentra minaploitan) dan (c) kelembagaan
periferi
atau
masyarakat.
Kelembagaan
menyeluruh
merupakan
kelembagaan pada tingkat pengarah (steering) yang merupakan kelembagaan koordinasi antar
stakeholder
terutama
antara
satuan
kerja
pemerintah
daerah
(SKPD).
Kelembagaan sentra minaploitan, merupakan kelembagaan yang mengelola aset-aset yang terdapat pada sentra minapolitan. Sedangkan kelembagaan periferi atau masyarakat
merupakan
kelembagaan
tingkat
masyarakat
baik
pada
tingkat
pembudidaya, pengolah maupun pemasaran. Hal yang krusial untuk dibahas adalah kelembagaan pada tingkat sentra minapolitan, karena terkait dengan pengelolaan aset-aset yang dibangun, baik aset bergerak (alat
Tabel 7.15. Pilihan Daftar Panjang ( long list) list ) Bentuk Kelembagaan Kelembagaan Pengelola Kawasan Minapolitan Minapolitan Bo gor Basis
Pilihan Bentuk Organisasi
Keterangan/catatan
1.P emerint emerintah ah
a. Unit P elaksana Tek Teknis nis Dae Daerrah (UPTD) pada Dinas Tek Teknis nis
Didasarkan pada keputusan pemimpin daerah tentang pendelagasian tugas dan kewenangan. Budget berbasis pada pagu pagu dan arahan arahan AP BD
2.P emerintah emerintah
b. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Didasarkan pada rujukan undang-undang dan keputusan pemimpin daerah. Budget dan bentuk program lebih fleksibel.
3.P emerintah emerintah
c. Perusahaan Perusahaan Daerah (PD)
P emerintah emerintah daerah daerah sebagai pengelola seperti seperti swasta dan mempunyai saham berupa berupa aset-aset m milik ilik PE P EMDA
4.P emerintah emerintah
d. P erseroan Terbatas (PT)
P emerintah daerah menyerahkan aset aset untuk membant membantuk uk unit usaha komersial yang dikelola secara terpisah dari pengelolaan pemerintah pemerintah daerah, dengan kepemilikan kepemilikan bisa bisa menjadi milik public dimana pemerintah menjadi salah satu bagiannya.
5.Masyarakat Masyarakat
e. Pengelola Berbasis Masyarakat Masyarakat (CBM) (CBM)
Otoritas pengelolaan berada di masyarakat. Efektivitas pengelolaan sangat sangat ditentukan ditentukan oleh kapasitas masyarakat.. Salah satu bentuknya adalah koperasi.
6.Interaksi Pemerintah
f. Ko-manajemen o-manajemen
Otoritas pengelolaan berbasis pada “kesepakatan” masyarakat dengan pemerintah. Bentuk riil sangat
subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Berdasar struktur kepegawaian, maka kepala unit pelaksana teknis dinas di Kabupaten/Kota merupakan jabatan struktural eselon IVa. Secara hirarkis, UPTD akan bertanggung jawab kepada kepala dinas yang membidanginya. Bila dilihat dari sisi struktur organisasi UP TD dan eselonisasi, menggambarkan kewengan/otoritas kelembagaan yang jauh lebih sempit dibanding dengan dinas teknisnya. Sehingga bila pengelolaan kawasan sentra diserahkan kepada UPTD diduga akan sulit untuk dilaksanakan secara optimal.Pada sisi lain, pada kawasan minapolitan ini juga memerlukan dukungan stakeholder lintas sektoral atau kedinasan. Sehingga bila pengelolaan diserahkan pada tingkat UPTD akan berpotensi menimbulkan overlaping dan konflik kepentingan antar beberapa dinas terkait. Sehingga pilihan ini menjadi pilihan yang sulit untuk dilakukan. 2. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Konsep Badan Layanan Umum (BLU) disebutkan dalam UU No.1/2004 tentang
Contoh dari SKPD dengan status BLUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Unit kerja seperti puskesmas atau tempat rekreasi tidak tertutup kemungkinan ditingkatkan statusnya sebagai BLUD. Unit organisasi BLUD dibawah kendali seorang pimpinan, yang merupakan tugas perbantuan dari pimpinan daerah. Merujuk pada peraturan yang ada, maka sumber pendanaan BLUD meliputi :a. AP BD, b. Pungutan J asa dan c. Hibah yang tidak mengikat. Sementara
berdasar
Permendagri
No.61/2007, sumber pendanaan BLUD juga mencakup (d) hasil kerjasama dengan pihak lain, (e) APBN dan (f) lain-lain pendapatan yang syah. Menurut Permendagri No.61/2007, pendapatan selain dari pendapatan hibah yang tidak mengikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai pengeluaran BLUD sesuai dengan RBA. Pertanggungjawaban dari pemanfaatan sumber pendanaan berbedabeda menurut sumbernya.Pemanfaatan sumber pendanaan dari APBD dan AP BN, maka pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pemanfaatan dana AP BD. Sedangkan pungutan jasa dan hasil kerjasama dengan pihak lain akan masuk menjadi
penerimaan
daerah
yang
mengikuti
pola
yang
ada.
pertanggungjawaban yang bersifat hibah sesuai dengan peruntukannya.
Sementara
3. Perus ahaan Daerah
Perusahaan Daerah (PD) merupakan salah satu bentuk badan hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (Permendagri No.3/1998). P ermendagri tersebut menyatakan bahwa BUMD yang berbadan hukum PD tunfuk pada undang-undang yang berlaku, sedangkan yang berbentuk perseroan terbatas (PT) tunduk pada undang-undangnya. Rujukan undang-undang tentang PD adalah UU No.5/1962 tentang Perusahaan Daerah. Sebenarnya UU No. 5/1962 telah dicabut dengan dikeluarkannya UU No.6/1969 tentang pencabutan UU No.5/1962. Tetapi dalam salah satu klausul UU No.6/1969 dinyatakan bahwa undang-undang yang lama tetap berlaku bila belum terdapat undang-undang pengganti. Sehingga UU No.5/1962 tetap berlaku. Berdasarkan UU No.5/1962 ini yang dimaksud Perusahaan Daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang. Tujuan Perusahaan Daerah ialah untuk turut serta melaksanakan pembangunan Daerah
dialihkan kepada penggunaan lain dengan keputusan Pemerintah Daerah yang mendirikan. Demikian pula cara mengurus dan penggunaan dana penyusutan dan cadangan tujuan ditentukan oleh kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritet. Secara spesifik bahkan dinyatakan bahwa pada perusahaan daerah yang tidak menghasilkan laba seperti tersebut diatas disebabkan karena pertimbangan dan kebijaksanaan Pemerintah Daerah dapat juga diberi jasa produksi yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah. Artinya bila memang kelembagaan kawasan sentra minapolitan diharapkan untuk dapat melakukan rekapitulasi diperlukan peraturan khusus tentang kepala daerah tentang pemanfaatan keuntungan ini. Pada awalnya sesuai dengan
Permendagri No.4/1990 mengijinkan adanya
kerjasama perusahaan daerah dengan pihak ketiga. Kerjasama ini diantaranya dalam bentuk kerjasama manajemen, kontrak, pembelian saham, obligasi dari PT, keagenan, pemakaian dan penyaluran, penjualan saham dan obligasi (go public) maupun bentuk-bentuk kombinasinya. Tetapi dengan diterbitkannya
Permendagri
No.4/2000
P ermendagri
yang
mencabut
Permendagri
No.4/1990,
termasuk
besar dari saham yang dimiliki oleh pemerintah maka kendali kebijakan perusahaan tidak lagi berada pada pemerintah. Kondisi ini menunjukan perlunya tambahan saham dari pemerintah. Namun demikian persoalan ini menjadi lebih rumit, sebab peraturan ini tidak memuat pasal yang memberikan penjelasan secara jelas apakah penambahan penyertaan modal dapat dilakukan melalui pengadaan dana dari APBD setempat. Merunut kembali pada tujuan pengembangan minapolitan yang diarahkan pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya, bila pengendali saham adalah swasta, maka dalam jangka panjang bisa menabrak rambu-rambu ini. Sebab orientasi pengelolaan kawasan sentra minapolitan tidak menjadi bagian service yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan minapolitan tetapi
meningkatkan keuntungan yang sebesar-sebesarnya bagi PT pengelola kawasan sentra minapolitan. B.
Pengelolaan Berbasi s Masyarakat (PBM)
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) adalah suatu kelembagaan yang dibentuk dan
kunci harus dimaknai secara hati-hati karena berpotensi untuk melihat permasalah secara seragam sehingga kurang bisa mengenali perubahan ekologis, karakteristik masyarakat. Hal ini bisa berdampak pada dominannya salah satu individu atau sekelompok kecil individu dalam membentuk opini, pengambilan keputusan dan aksi yang diperlukan. Pada tataran praktis, adanya penyertaan aset dari pemerintah dalam kawasan minapolitan, juga memerlukan administrasi pertanggungjawaban yang akuntabel sehingga tidak menimbulkan permasalahan legal di kemudian hari. Apabila akan dikelola secara PBM, bentuk penyertaan ini harus tertuang secara jelas kemudian pengelolaanya juga harus dipertanggungjawabkan secara jelas. Pada sisi lain, dari sisi pendanaan operasional, P BM akan berjalan efisien ketika mendapat dukungan kualitas pengelolaan yang kuat, mengakar dan efisien. Sehingga lembaga dalam pengertian organisasi pengelola akan mampu mengoperasikan fungsi-fungsi pengelolaan dengan baik. Baik dalam aspek pemeliharaan aset, pemanfaatan maupun distribusi benefit baik untuk biaya pengelolaan maupun keuntungan pengelolaan. Pada praktisnya, walaupun secara filosofis dan ideologis pengelolaan PBM adalah
C.
Pengelolaan Ko-Manajemen (Co-Management)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutub pengelolaan sumberdaya dapat bergerak pada dua titik ekstrim, yaitu masyarakat secara penuh pada satu sisi dan pemerintah secara penuh pada sisi yang lain. Implementasi pola pengelolaan seperti telah disebutkan diatas membutuhkan dukungan dan kapasitas kelembagaan (perangkat peraturan dan organisasi) yang sangat kuat. Bila prasyarat ini tidak dipenuhi, biasanya sulit mendapatkan hasil maksimal. Interaksi antar dua kutub tersebut menghasilkan pola kelembagaan interaktif masyarakat dan pemerintah yang disebut ko-manajemen. Bentuk interaksi ini menghasilkan tingkat sharing (kekuatan dan dukungan) yang bervariasi seperti diuraikan oleh beberapa ahli
seperti Pomeroy (1995), Berkes et.al. (1991), Carlson and Berkes (2005). Pada faktanya, konsepsi tentang co-management pun bervariasi tergantung pada posisi tawar serta kapabilitas masing-masing stakeholder yang beinteraksi yaitu pemerintah dan masyarakat. Bentuk-bentuk ini bervariasi dari mulai sekedar informatif, konsultatif yang condong pada kutub government base, kemudian komunikasi, kerjasama, sampai bentuk
kelembagaan secara keseluruhan menjaadi penting yang menguatkan kapasitas baik pada tingkat komunitas maupun pemerintah.
Gambar 7.21. Hirarki Co-Management (Setelah Berkes)
kompensasi ataspelaksanaan fungsi tersebut, baik secara langsungmaupun tidak langsung, c) pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi tersebut, dan d) fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak swastas selama masa kontrak. Waktu kontrak bisa mencapai 30 tahun berdasarkan kebutuhan. Berdasarkan cara ini, maka kegiatan atau proses pembangunan dapat tercapai, dengan keterlibatan pihak swasta untuk jangka waktu tertentu. Tujuan dari penerapan kerjasama pemerintah-swasta sangat beragam mulai dari mendapatkan dana investasi, efisiensi, transparansi, sampai dengan pembukaan lapangan kerja. Secara teoritis, kontrak kerjasama ini sangat beragam, mulai jasa, operasi aset sampai pengadaan infrastruktur. Namun pada faktanya di Indonesia, bentuk-bentuk kerjasama ini masih didominasi pada pengadaan dan operasionalisasi aset infrastruktur misalnya jalan tol. Sehingga pengoperasian pengelolaan
KLM P amurbaya dengan pola seperti ini memerlukan
banyak penelaahan terutama dari sisi legal. Misalnya bentuk-bentuk penyertaan aset pada pengelolaan, pertanggung jawaban, monitoring dan evaluasi sampai pada bentuk kelembagaan operasionalnya.
5. Procurement yang transparan, netral dan tidak diskriminatif. 6. Meletakan (kepentingan) Masyarakat sebagai hal pertama (Putting people first ) dalam bentuk pemberian informasi, akuntabilitas dan digalangnya dukungan. 7. Berorientasi lingkungan yang bersifat ramah (green case), adanya peran pemerintah (government role) dan distribusi manfaat (belivery of benefit ) yang baik dan adil. Walaupun secara teoritis cukup menguntungkan, tapi implementasi di Indonesia masih terkendala dengan kebijakan pemerintah. Sampai sekarang, pola PPP di Indonesia baru diaplikasikan untuk infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan. Diluar infrastruktur tersebut masih belum diaplikasikan konsep ini. Berdasarkan uraian diatas dapat disusun tabel yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan bentuk organisasi pengelola, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 7.16. Potensi Kelebihan dan Kekurangan Pili han Bentuk Organis asi Pengelola KLM Pamurbaya. No.
Bentuk Badan Hukum Organisasi
1.
UPTD
Kelebihan
1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas
Kekurangan
1. Adanya potensi overlap dan konflik kepentingan antar SKPD yang terkait.
No.
Bentuk Badan Hukum Organisasi (PT)
Kelebihan
Kekurangan
pemanfaatan anggaran lebih baik dari SKPD/UPTD 2. Sumber pembiayaan tidak hanya tergantung dari pemerintah 3. Memungkinkan untuk mendapatkan dana penyertaan dari masyarakat dan swasta
operasional perseroan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ketika pemerintah tidak menjadi pemegang saham pengendali. 2. Agar tetap menjadi pemegang saham pengendali terdapat potensi haru meningkatkan saham penyertaa setiap waktu tertentu. 3. Sumber pembiayaan untuk mempertahankan saham pengendali apakah memungkinkan dari APBD
5.
PBM (Koperasi)
1. Dukungan masyarakat dan stakeholder tinggi. 2. Keterjangkauan program berdasar kebutuhan pengelolaan dan masyarakat sekitar 3. Pengambilan keputusan bisa lebih cepat bila kapasitas masyarakat (koperasi) cukup.
1. Akuntabilitas penyertaan aset daerah pada pengelola 2. Kurangnya kapasitas masyarakat dalam proses pengelolaan secara umum 3. Sulitnya mendapatkan dukungan dan akuntabilitas anggaran 4. Pengambilan keputusan berlarut-larut bila kapasitas masyarakat tidak cukup. 5. Kontrol dan arah pengelolaan bisa salah bila kapasitas masyarakat tidak cukup.
6.
Co-management
1. Dukungan stakeholder tinggi (baik pemerintah maupun masyarakat) 2. Arahan pengelolaan bisa menjadi lebih baik bila ada sumber atau
1. Disyaratkan kesiapan dan kecukupan kapasitas masyarakat dan pemerintah 2. Range hirarki tingkat Co-management pengelolaan luas, sehingga memerlukan asesmen yang tepat.
mengamankan tujuan pembentukan kawasan minapolitan seperti tertuang dalam tabel berikut. Tabel 7.17. Alternatif Daftar Pendek Pilih an Kelembagaan Pengelola K awasan Sentra Minapolitan No.
1.
2.
3.
4.
Bentuk Badan Hukum Organisasi
Catatan
Perusahaan Daerah (PD)
Perlu adanya komitmen yang tertuang dalam kebijakan pimpinan daerah bahwa keuntungan digunakan untuk rekapitulasi pengembangan fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum
Koperasi
Perlu asistensi manajerial dan sistem pengawasan yang kuat serta pembentukan AD/ART yang menjamin arah kebijakan organisasi untuk pengembangan fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum
BLUD
Bila tidak menimbulkan permasalahan yang terkait dengan profesionalisme manajerial, etos kerja dan sistem merit pengelola serta potensi overlaping SKP D sesuai peraturan yang ada.
Perseroan Terbatas (PT)
Bisa diterapkan bila pemerintah (langsung maupun melalui PD) dan masyarakat budidaya di daerah bisa menjadi pengendali kebijakan perusahaan yang berorientasi pada fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum.
STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN
8.1.
8
Visi dan Misi
Visi merupakan ungkapan keinginan atau harapan atau pandangan masa depan yang ingin dicapai semua pihak yang terkait (stakeholders ) terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor. Dengan visi ini diharapkan kawasan minapolitan dapat bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penggalian aspirasi dan hasil agregasi potensi, isu dan permasalahan dari data sekunder dan penelitian lapang, maka pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor adalah :
2) Mengembangkan J aringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi 3) Mengembangkan Kawasan Minapolitan Sebagai Kawasan Minaeduwisata 4) Mengembangkan Pengolahan Produk Ikan Lele 5) Mengembangkan Pusat Pelayanan Kawasan (Sentra Minapolitan) 6) Mengembangkan Infrastruktur Dasar, Infrastruktur Perikanan, dan Wisata 7) Mengembangkan Sistem Kelembagaan minapolitan 8) Mengembangkan Pembiayaan minapolitan
8.2. Strategi dan Arah Kebijakan Pengembangan Minapolit an Dengan memperhatikan isu dan permasalahan dan harapan, serta untuk mencapai visi dan misi pengembangan kawasan Minapolitan di Kabupaten Bogor, maka berikut ini adalah beberapa strategi dan arah kebijakan yang akan ditempuh dalam pengembangan kawasan minapolitan. 8.2.1. Strategi Pengembangan Sentr a Produ ksi Komod iti Ungg ulan
dalam kegiatan budidaya masih sangat rendah, sehingga perlu peningkatan kapasitasnya dengan melakukan pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan budidaya perikanan. d. Pembentukan pusat informasi budidaya yang didalamnya terdapat laboratorium kualitas air, penyakit ikan, dan analisis proksimat pakan. Pusat pelatihan budidaya dan pengolahan ikan, dan pusat data hasil perikanan minapolitan, pusat riset/test farm budidaya untuk demplot teknologi dan komoditas terbaru budidaya. 8.2.2. Strategi Pengembangan Jaringan Pemasaran Berbasi s Teknolo gi Info rmasi
Hasil identifikasi isu dan permasalahan aspek pemasaran adalah antara lain pasar persaingan antar daerah, harga tidak bisa bersaing serta kurangnya diversifikasi pasar. Persaingan harga dengan daerah lain merupakan permasalahan utama bagi para pelaku usaha kegiatan budidaya lele, mereka harus bersaing dengan daerah-daerah lain untuk menjual produk mereka ke J akarta. Akar permasalahan dari persaingan harga ini adalah tidak adanya pusat informasi yang akurat yang memberikan informasi harga di pasaran kepada para petani ikan, sehingga petani ikan bisa melakukan strategi kapan mereka memanen, dan kemana mereka akan menjual produksinya.
Dengan melihat latar
a. Pembangunan dan peningkatan fasilitas umum pendukung kegiatan minawisata b. Perencanaan dan pengembangan atraksi paket minawisata c. Pembangunan dan pemeliharaan jalan wisata dan jalan produksi d. Promosi paket minawisata e. Pengembangan home industry pendukung kegiatan minawisata
8.2.4. Strategi Pengembang an Pengolahan Prod uk Ikan Lele
Strategi pengembangan pengolahan produk Ikan Lele diarahkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas serta deversifikasi produk komoditi unggulan yaitu Ikan Lele. Strategi lainya adalah peningkatan daya saing produk lele minapolitan dengan peningkatan kualitas produksi dan pembentukan merk/branding lele bogor dengan kualitas sebagai berikut: (i) bebas antibiotik; (ii) bebas bau lumpur; (iii) dipelihara tanpa menggunakan pakan limbah, dan lain-lain. Dengan demikian daya saing lele Bogor dapat meningkat dan mempermudah pemasaran Lele Bogor. Program-program yang dapat dilakukan dalam rangka untuk menjawab strategi pengembangan pengolahan hasil budidaya lele adalah sebagai berikut
8.2.6. Strategi Pengembangan Infrast ruk tur Dasar Dan Infr astru ktu r Perikanan
Strategi pengembangan infrastuktur dasar dan infrastuktur perikanan adalah salah strategi yang penting dalam pengembangan kegiatan minapolitan. Strategi ini adalah strategi yang dapat mendukung strategi strategi lainnya, sehingga pengembangan strategi ini tidak terlepas dengan strategi lainnya dalam pengembangan kawasan minapolitan. Beberapa program yang dapat dilakukan dalam rangka Pengembangan Infrastruktur Dasar Dan Infrastruktur Perikanan adalah sebagai berikut: a. Peningkatan kualitas dan pelayanan sarana dan prasarana transportasi, b. Peningkatan kualitas pelayanan jaringan irigasi, dan c. Peningkatan Sarana Pelayanan Pendukung Kegiatan bisnis Perikanan. 8.2.7. Strategi Pengembangan Sist em Kelembagaan
Program pengembangan kelembagaan ditujukan sebagai pendukung pengembangan kawasan minapolitan yang ditujukan baik pada penyusunan kelembagaan pengelola
konvensional) atau bagi hasil (bank syariah). Untuk pembentukan bank ini dapat bekerjasama dengan bank yang sudah ada.
8.3.
Indikasi Program
Berdasarkan arahan dan strategi pengembangan program minapolitan, maka dapat disusun table indikasi program yang perlu dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan. Indikasi program tersebut dapat terlihat pada Tabel 8.1.
Tabel 8.1. Indikasi Program Dalam Waktu 5 (lima) Tahunan No. 1
Jenis Kegiatan Program Pengembangan Budi daya Ikan Lele
a. b.
Pengembangan bank induk (broodstock Center ) Pembangunan fisik laboratorium terpadu untuk analisis air, penyakit dan pakan
c.
Penyediaan peralatan dan perlengkapan laboratorium terpadu
d. Pembangunan Test farm 2
3
4
Program Pengembangan Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi
a.
Program Pengembangan Pusat Informasi Pasar
b.
Program Pengembangan Sumberdaya manusia
Program Pengembangan Minawisata Lele
a.
Pembangunan dan peningkatan fasilitas umum pendukung kegiatan minawisata
b.
Perencanaan dan pengembangan atraksi paket minawisata
c.
Pembangunan dan pemeliharaan jalan wisata dan jalan produksi
d.
Promosi paket minawisata
e.
Pengembangan home industry pendukung kegiatan minawisata
Program Pengembangan Pengolahan Hasil Budi daya Lele
Tahun Kerja
I
II
III
IV
V
LAMPIRAN
Lampir an 1. Peta Potensi Bu didaya
Lamp- 1
Lampir an 2. Peta Produ ksi
Lamp- 2
Lampir an 3. Sketsa Aliran Irigasi di L okasi Irigasi
Aliran ke D I 2) Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I
1) Petak Tersier TP 5 ki; DI Sasak
Kolam
Kolam
Sawah
4) Petak Tersier SK 8 ki; DI Sasak
3) Petak Tersier TP 1 ka; DI Sasak
Lamp- 3
Lampiran 4. Skema Daerah Irigasi
Keterangan : Luas areal : 228 Haluran
I K
Panjang saluran: 1700 m
7 S T a B H C 0 9
SALURAN
A K
A K
A K
A K
A K
A K
1
2
3
4
6
7
S a T H B C 1 2
S a T H B C 5 1
S a T B H C 6
S a T H B C 0 7
S T a B H C 7
S a T H B C 3 1
a H 6
Skema Daerah Irigasi Cibeut eung-1
Lamp-4
BTP 5 Ki
BTP 8 Ki
BTP 10 Ki
7 Ha
10 Ha
SALURAN SEKUNDER
BSK 3
BTP 12 TG 24 Ha 6 Ha a K P T B
a H 8 3
a K 2 P T B
a K 3 P T B
BTP 4 Ka
BTP 6 Ka
6 Ha
10 Ha
a K a 7 H P 4 T B
Skema Daerah Irig asi Sasak, BSK3
a K 9 P T B
a H 0 1
a K 2 1 P T B
Keterangan : Luas areal
: 1088 Ha
Panjang saluran : 16991 m
Lamp-5
BSK 4 Ki
BSK 5 Ki
BSK 6 Ki
BKP 1 Ki
BKP 2 Ki
BKP 3 Ki
BKP 6 Ki
BKP 8
23 Ha
32 Ha
11 Ha
45 Ha
57 Ha
4 Ha
7 Ha
7 Ha
BSK 4
BSK 5
BSK 6
BSK 7
BKP 1
BKP 2
BKP 3
BKP 5
BKP 4
A
SALURAN INDUK SASAK BSK 8
BKP 4 Ka
BKP 5 Ka
BKP 7 Ka
BKP 9 Ka
158 Ha
3 Ha
4 Ha
5 Ha
5 Ha
BSKP 9
SALURAN SEKUNDER KURIPAN
162 Ha KEC. CISEENG
BSK 10 Keterangan : Luas areal: 1088 Ha Panjang saluran: 16991 m
8 Ha BSK 11
BCG 3 Ki
BCG 3 Ka
9 Ha
13 Ha KEC. PARUNG
6 Ha BCG 1 Ki
BCG 2 Ka
6 Ha
2 Ha
BSK 12 16 Ha
SALURAN SEKUNDER COGREG BSK 14 40 Ha Skema Daerah Irigasi Sasak B SK4
Lamp-6
i K 0 1 P K B
i K 2 1 P K B
a H 4 1
a H 5
i K 3 1 P K B
a H 4
i K 4 1 P K B
i K 6 1 P K B
a H 5 1
i K 9 1 P K B
a H 9 2
a H 0 5
BKP 19 TG A
77 Ha
a K 0 1 P K B
a H 7 3
a K 1 1 P K B
a H 0 1
a K 5 1 P K B
a H 5 2
a K 7 1 P K B
a H 0 2
a K 8 1 P K B
a H 5 2
Skema Daerah Irigasi Sasak BSK4 (lanjutan) Lamp-7
KECAMATA N GUNUNG SINDUR
Ds. Rw. KALONG
PROPINSI BANTEN
Ds. PENGASINAN
Ds. CURUG
d i K L 4 S C a B H 5 2
i K 5 S C B
t d / L
a H 5 1
d i K L 6 S C a B H 6 2
i K 7 S C B
t d / L
a H 2 3
i K 9 S C B
t d / L
a H 0 1
U T I S
SAL INDUK CURUG SERPONG
E K G N A I L A K
a K
t d / L
Ds. CURUG
Ds. RAWA KALONG
8
1 S C B
K
t d / L
S C B
a H 2
a H 7 1
a K
t d / L
0 1
0 1
S C B
S C B
Keterangan : Luas areal : 1550 Ha Skema Daerah Irigasi Curug Serpong
e t
Panjang saluran : 5800 m Lamp-8
t d / L
Lampiran 5. Peta Sarana Prasarana
Lampi ran 6. Peta Obyek Wisata
Alternatif 1
Alternatif 2
Lampiran 7. Peta Potensi Bu didaya
Lampiran 8. Peta Pola Keterkaitan K awasan