BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) A. Definisi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit yang muncul ketika pertumbuhan prostat tidak semestinya menghambat aliran urine sehingga mengakibatkan gejala traktus urinaria, infeksi dan hematuria (Black & Hawks, 2005). BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi pada pria dengan usia di atas 50 tahun, dimana kelenjer prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. ( Smeltzer,2001). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, 2000). Menurut Nursalam (2006) pada usia lanjut, beberapa pria menagalami pembesaran prostate benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjer prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi.
B. Etiologi BPH Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, beberapa hipotesis menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostate adalah:
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT). Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostate mengalami hiperplasia. 2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron. Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma. 3. Interaksi stroma – epitel. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel. 4. Penurunan sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5. Teori stem cell. Teori ini menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjer prostat menjadi berlebihan. Namun menurut Black & Hawks walaupun androgen, khususnya testosterone tidak secara langsung menyebabkan BPH, adanya hormone tersebut merupakan perkembangan yang normal dari prostat itu sendiri. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihydrotestosterone (DHT) melalui pengaruh dari enzim 5- alpha reductase. DHT adalah bentuk aktif lokal testosterone yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan prostat dan prostat menjadi sensitive terhadap produksi androgen dalam hidup untuk mempertahankan bentuk dan ukuran prostat. Ketika usia pria meningkat, begitu juga pembesaran prostate muncul, 5-alpha reductase dan level DHT menjadi sama seperti terlihat pada pria yang lebih muda. Akan tetapi menurut bukti telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara 2 bentuk enzim ini dapat menjadi bekerjasama sehingga terjadi pembesaran prostat. Faktor-faktor tambahan yang dihubungkan dengan BPH melingkupi defek kandungan lokal yang mengatur pemprograman kematian sel (apoptosis) pada banyak jaringan dalam tubuh,, termasuk kulit dan traktus gastrointestinal.
Ketidakseimbangan faktor pertumbuhan local, inflamasi local,dan faktor genetic juga dapat mempengaruhi faktor resiko dan waktu serangan penyakit tersebut. Multiple faktor resiko BPH telah dipelajari. Sebagai contoh, faktor makanan telah diteliti, seperti lycopene pada tomat, sayur-sayuran berwarna hijau atau kuning dapat mencegah terjadinya BPH. Obesitas dapat meningkatkan faktor resiko BPH. Merokok juga dapat meningkatkan resiko terjadinya BPH karena merokok dapat mengurangi serum kadar testosterone. Alkohol dan riwayat sirosis juga dapat meningkatkan terjadinya resiko (Black & Hawks, 2005). C. Patofisiologi Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersentivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Disebabkan produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). Infeksi traktus urinaria dan hematuria juga dapat dikaitkan dengan benigna prostat hiperplasia. Obstruksi kandung kemih dan retensi urin dapat meningkatkan UTI. Resiko ini sangat besar ketika dilakukan pemasangan kateter, sistokopi, atau pembedahan transuretral yang memungkinkan bakteri di dalam acini prostat mencapai kandung kemih. Retensi urin dan obstruksi juga mempersulit penanganan UTI karena ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih, bakteri, dan zat-zat yang berbahaya dalam kandung kemih. Terjadinya hematuria disebabkan oleh benigna prostat hiperplasia secara keseluruhan belum dapat dimengerti. Akan tetapi hal itu diduga karena terjadinya angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah) yang merupakan bagian dari hiperplasia dan dapat pembuluh darah ini dapat menjadi pecah dan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan yang lebih lanjut juga dapat muncul setelah dilakukan pemasangan kateter, sistokopi, atau pembedahan transuretral prostat (Black & Hawks, 2005).
Peningkatan Sel Sterm
Peningkatan 5 Alfa reduktase dan reseptor endogen
Proses Menua
Interaksi Sel Epitel dan Stroma
Ketidakseimbangan hormon ( Estrogen dan testoteron
Berkurangnya sel yang mati
)
Hiperplasia pada epitel dan stroma pada kelenjar prostat
Penyempitan Lumen Ureter Protatika
Menghambat Aliran Urin Peningkatan tekanan intra vesikal
retensi Urine hidroureter
Hiperirritable pada bladder hidronefritis Peningkatan Kontraksi Otot detrusor dari buli-buli penurunan f. ginjal Hipertropi Otot detrusor,trabekulasi Terbentuknya Sekula-sekula dan difertikel buli-buli
Frekuensi
Intermiten
Disuria
Urgensi
Hesistensi
Terminal dribbling
D. Manifestasi Klinis Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow yaitu: 1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika. 2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi. 3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing. 4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra. 5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000). 1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan. 2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari. 3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Gejala generalisata atau gejala secara umumnya meliputi: 1. Keletihan
2. Anoreksia 3. Mual dan muntah 4. Rasa tidak nyaman pada epigastrik E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus di perhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya di lakukan biopsi prostat. Demikian pula bila nilai PSAD > 10 ng/ml (Mansjoer, 2000). 2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG
dan
sistoskopi.
Tujuan
pemeriksaan
pencintraan
ini
adalah
untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yag berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos ndapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius , pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga di lihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berbelokbelok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin atau filling defect di vesika. USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli. (Mansjoer, 2000).
F.
Penatalaksanaan Medis Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis 1. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
dan
Sedikitpun kekurangannya
pemakaian lama.
2. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra) 3. Stadium III Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. melalui trans vesika, retropubik dan
diperkirakan
selesai dalam 1 jam.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan
perineal.
4. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi
definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
obat penghambat
dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH. Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat
dilakukan dengan: 1. Observasi Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa a. Mengharnbat adrenoreseptor α b. Obat anti androgen c. Penghambat enzim α -2 reduktase d. Fisioterapi 3. Terapi Bedah Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis, jenis pembedahan: a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy) Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra. b. Prostatektomi Suprapubis c. Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih. d. Prostatektomi retropubis Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. e. Prostatektomi Peritoneal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum. f. Prostatektomi retropubis radikal Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat. 4. Terapi Invasif Minimal a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP) c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) G. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul 1. Preoperasi a. Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor). b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih). c. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter). d. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi. e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan. 2. Pascaoperasi a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. b. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik. c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan). d. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif) (Doengoes, 2000).
H. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan
Tujuan:
Kriteria Hasil:
Intervensi keperawatan:
PREOPERATIF: Retensi urine
Setelah dilakukan
Preopera1. Bebas dari kebocoran 1) Pantau asupan dalam haluaran urine.
berhubungan dengan
tindakan
urine diantara berkemih.
2) Pantau derajat distensi kandung kemih
tekanan uretral tinggi
keperawatan
2. Kandung kemih kosong
dengan palpasi dan perkusi.
karena kelemahan
diharapkan
sempurna
3) Instrusikan pasien dan keluarga untuk
detrusor (dekompensasi pengeluaran urine
3. Tidak ada sisa setelah buang
mencatat haluran urine bila diperlukan..
otot detrusor).
air > 100-200cc.
4) Rujuk pada spesialis kontinensia urine jika
4. Asupan cairan dalam rentang
diperlukan..
lancar.
yang diharapkan.
Nyeri akut
Setelah dilakukan
1. Laporkan frekuensi nyeri
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri
berhubungan dengan
tindakan
2. Kaji frekuensi nyeri
termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas,
agen cidera ( iritasi
keperawatan
3. Lamanya nyeri berlangsung
dan faktor penyebab.
kandung kemih, spame,
diharapkan nyeri
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
2) Observasi isyarat non verbal dari
sesuai dengan prosedur
berkurang atau
5. Perubahan TTV
ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat
bedah atau tekanan dari
hilang.
balon kandung kemih)
berkomunikasi secara efektif. 3) Berikan analgetik dengan tepat.
4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. 5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
Resiko infeksi
Setelah dilakukan
1. Mengukur tanda dan gejala
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
berhubungan dengan
tindakan
yang mengindikasikan infeksi
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
peningkaran paparan
keperawatan
2. Berpartisipasi dalam
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
lingkungan terhadap
diharapkan infeksi
perawatan kesehatan
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit
patogen (pemasangan
tidak terjadi
3. Mampu mengidentifikasi
5) Instruksikan pasien untuk melaporkan
potensial resiko
kepada perawat untuk melaporkan tentang
kateter).
tanda dan gejala yang dirasakan.
Cemas berhubungan
Setelah dilakukan
1. Monitor Intensitas kecemasan
1) Tenangkan Klien
dengan akan
tindakan
2. Menurunkanstimulasi
2) Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada
dilakukannya tindakan
keperawatan
lingkungan ketika cemas
klien dan perasaan yang mungkin muncul pada
operasi
diharapkan pasien
3. Menggunakan strategi koping
saat melakukan tindakan
dan keluarga tidak
efektif
3) Berikan informasi tentang diagnosa,
mengalami
4. Mencari informasi untuk
prognosis, dan tindakan.
kecemasan.
menurunkan cemas
4) Temani pasien untuk mendukung keamanan
5. Menggunakan teknik relaksasi dan menurunkan rasa sakit. untuk menurunkan cemas
5) Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.
PASCAOPERATIF: Resiko kekurangan
Setelah dilakukan
1. Mempertahankan urine output
1. Pertahankan catatan intake dan output yang
volume cairan
tindakan
sesuai dengan usia
akurat.
berhubungan dengan
keperawatan selama
2. Tekanan darah, nadi, suhu
2. Monitor status hidrasi (kelemahan membran
pasca obstruksi dengan
proses keperawatan
tubuh dalam batas normal
mukosa, nadi adekuat)
diuresis dari drainase
diharapkan
3. Tidak ada tanda-tanda
3. Monitor vital sign
cepat kandung kemih
kebutuhan cairan
dehidrasi, elastisitas turgor kulit
4. Monitor cairan/makanan dan hitung intake
yang terlalu distensi
dan elektrolit
baik.
kalon harian
secara kronis.
terpenuhi
4. Membran mukosa lembab,
5. Kolaborasikan pemberian cairan IV
tidak ada rasa haus yang
6. Masukkan oral
berlebihan.
Nyeri akut
Setelah dilakukan
1. Laporkan frekuensi nyeri
1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri
berhubungan dengan
tindakan
2. Kaji frekuensi nyeri
termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas,
agen cidera biologi (
keperawatan
3. Lamanya nyeri berlangsung
dan faktor penyebab.
terputusnya kontinuitas
diharapkan nyeri
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
2) Observasi isyarat non verbal dari
jaringan akibat
berkurang atau
5. Perubahan TTV
ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat
pembedahan).
hilang.
berkomunikasi secara efektif.
3) Berikan analgetik dengan tepat. 4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur. 5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
Resiko kerusakan
Setelah dilakukan
1. Sensasi normal
1) Observasi ekstremitas oedema, ulserasi,
integritas kulit
tindakan
2. Elastisitas normal
kelembaban
berhubungan dengan
keperawatan
3. Warna
2) Monitor warna kulit
imobilisasi fisik.
diharapkan
4. Tekstur
3) Monitor temperatur kulit
kerusakan integritas
5. Jaringan bebas lesi
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa
kulit tidak terjadi.
6. Adanya pertumbuhan rambut
5) Inspeksi kondisi insisi bedah
dikulit
6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan
7. Kulit utuh
kemerahan 7) Monitor infeksi dan oedema
Resiko infeksi
Setelah dilakukan
1. Mengukur tanda dan gejala
1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
berhubungan dengan
tindakan
yang mengindikasikan infeksi
2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien
peningkaran paparan
keperawatan
2. Berpartisipasi dalam
3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
lingkungan terhadap
diharapkan infeksi
perawatan kesehatan
4) Gambaran tanda dan gejala penyakit
patogen (adanya media
tidak terjadi.
3. Mampu mengidentifikasi
4) Instruksikan pasien untuk melaporkan
masuknya kuman
NOC 1: Deteksi
potensial resiko
kepada perawat untuk melaporkan tentang
akibat prosedur
Infeksi
invasif).
tanda dan gejala yang dirasakan.
I. Study Kasus 1. Kasus Tn.Y berumur 58 tahun mengeluh susah buang air kecil . Setiap buang air kecil merasa tidak puas keluarnya, selalu tersendat-sendat . Dilakukan colok dubur teraba masa dan melakukan pemeriksaan PSA nilai tinggi. Setelah dilakukan pemeriksaan EKG, photo thoraks dan laboratorium Tn.Ydilakukan tindakan TURP dan dilakukan dengan menggunakan anastesia spinal. 2. Pengkajian a. Riwayat kesehatan masa lalu b. Riwayat kesehatan keluarga c. Sirkulasi : Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal ) d. Eliminasi : 1) Penurunan kekuatan / kateter berkemih. 2) Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih. 3) Nokturia, disuria, hematuria. 4) Duduk dalam mengosongkan kandung kemih. 5) Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis). 6) Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum) 7) Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat 8) peningkatan tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih) e. Makanan / cairan: 1) Anoreksia, nausea, vomiting. 2) Kehilangan BB mendadak. f. Nyeri / nyaman : Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada prostatitis akut). g. Rasa nyaman : demam h. Seksualitas : 1) Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual. 2) Takut beser kencing selama kegiatan intim.
3) Penurunan kontraksi ejakulasi. 4) Pembesaran prostat. i. Pengetahuan / pendidikan : Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula. Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotikaantibakterial untuk saluran kencing, obat alergi j. Pemeriksaan fisik 1) Distensi kandung kemih a) Inspeksi: penonjolan pada daerah supra pubis retensi urin b) Palpasi: akan terasa adanya ballottement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil, retensi urin c) Perkusi: dullness, residual urin 2) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra atau femosis. 3) Pola urin: frekuensi, nokturia, disuria 4) Pemeriksaan rectal toucher(colok dubur) 5) Perhatikan khusus abdomen: defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echimosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama 3. Analisa Data
Data
Analisa
Masalah Keperawatan
DS:
BPH
Gangguan eliminasi
a. Klien mengeluh susah buang air kecil
urin:retensi urin Kompresi uretra
b. Klien mengatakan setiap buang air kecil merasa tidak puas
Peningkatan resistensi leher VU dan daerah VU
keluarnya Peningkatan ketebalan otot dekstrusor
Terbentuknya sakula atau trabekula
Kelemahan/dekompensasi otot dekstrusor
Penurunan kemampuan fungsi VU
Residu urin berlebih
Retensi urin
DO:
BPH
a. Dilakukan colok dubur dan teraba massa
Gangguan rasa nyaman: nyeri
Obstruksi uretra
Penumpukan urin dalam VU
Kontraksi VU lebih kuat dan terus-menerus
Distensi VU
Terjadi peregangan dinding mukosa saluran kemih
Iritasi mukosa saluran kemih Respon kimia (Bradikinin,
histamine, prostaglandin, serotonin)
Medulla spinalis Thalamus
Korteks serebri
Persepsi nyeri saat berkemih DO:
BPH
Ansietas
a. Klien dilakukan tindakan TURP dan
Pengobatan/tindakan
anestesi spinal
pembedahan(TURP)
Kurang terpajan dengan informasi, kurang pengetahuan
Respon psikologis
ansietas
4. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan eliminasi urin: retensi urin berhubungan dengan pembesaran prostat b. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter. c. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan dan kurang terpajannya dengan informasi mengenai penyakit dan pengobatan.
5. Rencana Asuhan Keperawatan NO.
1.
DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan eliminasi urin: retensi urin berhubungan dengan dengan pembesaran prostat
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam eliminasi urin klien normal Kriteria hasil: Klien mengatakan mudah buang air kecil Klien mengatakan tidak nyeri ketika BAK Klien terlihat mampu BAK tanpa menggunakan kateter
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri: 1.Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 2.Perhatikan aliran dan kekuatan urine 3.Dorong masukan cairan sampai 3000 ml perhari dalam toleransi jantung bila diindikasikan 4.Awasi TTV. Observasi hipertensi, edema perifer, perubahan mental. 5.Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal.
1. Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih 2.Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi. 3.Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri. 4.Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut pada penurunan ginjal total. 5.Menurunkan resiko infeksi asenden.
6.Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
Kolaborasi:
6.Meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
Berikan antispasmodic, contoh oksibutinin klorida (ditropan).. Menghilangkan spasme kandung
kemih sehubungan dengan iritasi kateter. 2.
Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa saluran kemih
Tujuan: Mandiri: Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam nyeri klien berkurang atau hilang
1. Kajinyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10).
1.Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan intervensi.
2. Fiksasi selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen..
2.Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
Kriteria hasil: Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang Pasien dapat beristirahat dengan
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 4. Berikan tindakan kenyaman, contoh pijatan punggung membantu pasien melakukan posisi yang nyaman. 5. Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum..
3.Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
4.Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
5.Meningkatkan relaksasi otot.
tenang
Kolaborasi: Berikan obat sesuai indikasi seperti narkotik, contoh eperidin
Diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memberikan relaksasi mental dan fisik. 1. Selalu ada untuk pasien. Bina Menunjukkan perhatian dan keinginan hubungan saling percaya dengan untuk membantu. pasien/orang terdekat.
(Demerol).
3.
Ansietas berhubungan dnegan kurangnya informasi tentang pengobatan dan penyakit
Tujuan: Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam masalah ansietas klien dapat teratasi. Kriteria hasil: - Klien tampak rileks. Klien dapat menyatakan ansietas menurun sampai tingkat yang dapat ditangani
2. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan klien.
Membantu pasien memahami tujuan dan apa yang akan dilakukan, dan mengurangi masalah karena ketidaktahuan, termasuk ansietas.
Menyatakan penerimaaan dan 3. Pertahankan perilaku nyata menghilangkan rasa malu pasien dalam melakukan prosedur. Jaga . privasi pasien Mendefinisikan masalah, memberikan 4. Dorong pasien atau orang kesempatan untuk menjawab terdekat untuk menyatakan pertanyaan, dan solusi pemecahan masalah/perasaan masalah Memungkinkan pasien untuk 5. Beri penguatan informasi pasien menerima kenyataan dan menguatkan yang telah diberikan kepercayaan dan pemberian informasi. sebelumnya