BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia 10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO,2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt ) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja, seseorang dapat mencapai 15% dari tinggi badan dan 50 persen dari berat badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan pengeluaran energi (UNSSCN, 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45 persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio, 2000). Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun (ADB/SCN,2001 diacu dalam Briawan,2008). Selama periode remaja, kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan ter jadinya menstruasi pada remaja putri (Beard ,2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman,2002). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe per hari menjadi 2.2 mg Fe per hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan pria (Beard, 2000). Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya. Definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah
suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak- kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono,2006). Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal tersebut dapat menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw,2007). Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif, sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997), menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu. Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19% dari populasi total remaja di dunia menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja serta kehidupan mereka saat dewasa nanti. Namun tetap saja sebagian besar permasalahan remaja, terutama pada remaja putri sering terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang penting dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami perkembangan fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat. Peningkatan kebutuhan zat gizi pada masa remaja berkaitan dengan percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan berat badan dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan ukuran jaringan sel tubuh (WHO,2002). Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia daripada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada remaja putri mengalami menstruasi. Seorang wanita yang mengalami menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga hari
dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting seperti besi (Utamadi,2002). Penelitian menunjukkan bahwa remaja makan dengan persentase total kalori yang sama dari karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah waktu makan yang ditunda dan makan diluar rumah meningkat mulai awal remaja sampai remaja akhir. Terdapat peningkatan asupan makan siap saji yang cenderung mengandung tinggi lemak, kalori, natrium dan rendah asam folat, serat dan vitamin A. Karakteristik pertumbuhan dan implikasi nutrisi untuk remaja adalah periode maturasi yang cepat pada fisik, emosi, sosial dan seksual, pertumbuhan yang cepat pada remaja putri pada usia 10-11 tahun, puncaknya pada usia 12 tahun dan selesai pada usia 15 t ahun (Paath, Rumdasih dan Heryati,2005). 2.2 Kebutuhan zat besi pada remaja
Kebutuhan zat besi pada remaja dipengaruhi oleh : a. Pertumbuhan Fisik
Pada usia remaja tumbuh kembang tubuh berlangsung lambat bahkan akan berhenti menjelang usia 18 tahun, tidak berarti faktor gizi pada usia ini tidak memerlukan perhatian lagi. Selain itu keterlambatan tumbuh kembang tubuh pada usia sebelumnya akan dikejar pada usia ini. Ini berarti pemenuhan kecukupan gizi sangat penting agar tumbuh kembang tubuh berlangsung dengan sempurna. Taraf gizi seseorang, dimana makin tinggi kebutuhan akan zat besi, misalnya pada masa pertumbuhan, kehamilan dan penderita anemia (Moeji, 2003). b. Aktivitas Fisik
Sifat energik pada usia remaja menyebabkan aktivitas tubuh meningkat sehingga kebutuhan zat gizinya juga meningkat (Moeji, 2003).
2.3 Anemia 2.3.1 Pengertian Anemia
Anemia merupakan penyakit yang masih sering terjadi di negara berkembang khususnya di Indonesia. Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar zat merah darah atau hemoglobin (Hb) lebih rendah dari nilai normal (Mary,2000). Anemia merupakan kekurangan sel darah merah, yang dapat
disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah oleh karena kebutuhan yang meningkat dan kehilangan darah. (Guyton dan Hall,1997). Anemia gizi adalah keadaan kadar hemoglobin dalam darah dibawah normal akibat kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial yang diperlukan dalam pembentukan serta produksi sel-sel darah merah (Stoltzfus,2001). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anemia gizi antara lain : defisiensi besi, defisiensi vitaman A, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin C, defisiensi vitamin B12, defisiensi vitman B6 dan defisiensi protein. Diantaranya Anemia yang paling sering terjadi adalah anemia defisiensi besi. (Wirakusumah, 1999). Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja, kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan (Gleason & Scrimshaw,2007). Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan yang mengacu pada ACC/SCN, anemia dapat digolongkan menjadi tiga.
2.3.2 Patofisiologi Anemia
Anemia defisiensi besi adalah salah satu jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia. Keadaan ini merupakan serangkaian proses yang diawali dengan terjadinya deplesi pada cadangan besi, defisiensi besi dan akhirnya anemia defisiensi besi. Seorang anak yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu: (1)
stadium I: Ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot. Keadaan ini dinamakan 11 stadium deplesi besi, pada stadium ini baik kadar besi di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Kadar feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam depot. (2) stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi. (3) stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar besi di dalam serum. (Allen & Sabel, 2001). 2.3.3. Faktor Resiko Penyebab Anemia
Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin (vitamin B6) yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis heme di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jaringan tubuh, dan vitamin E yang mempengaruhi membran sel darah merah (Almatsier, 2009). Anemia terjadi karena produksi sel-sel darah merah tidak mencukupi, yang disebabkan oleh faktor konsumsi zat gizi, khususnya zat besi. Pada daerahdaerah tertentu, anemia dapat dipengaruhi oleh investasi cacing tambang. Cacing tambang yang menempel pada dinding usus dan memakan makanan membuat zat gizi tidak dapat diserap dengan sempurna. Akibatnya, seseorang menderita kurang gizi, khususnya zat besi. Gigitan cacing tambang pada dinding usus juga menyebabkan terjadinya pendarahan sehingga akan kehilangan banyak sel darah merah. Pendarahan dapat terjadi pada kondisi eksternal maupun internal, misalnya pada waktu kecelakaan atau menstruasi yang banyak bagi perempuan remaja (Supariasa, 2001). Salah satu penyebab kurangnya asupan zat besi adalah karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi (non heme iron). Sedangkan daging dan protein hewani lain (ayam dan ikan) yang diketahui sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron), jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat di pedesaan sehingga hal ini menyebabkan rendahnya penggunaan dan penyerapan zat besi (Sediaoetama, 2003). Selain itu penyebab anemia defisiensi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis, kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit(cacing). Di Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan
masalah yang besar untuk kasus anemia defisiensi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2100 cc setiap harinya (Proverawati & Asfuah (2009).
2.3.4 Tanda-tanda Anemia
Menurut Proverawati & Asfuah (2009), tanda-tanda anemia pada remaja putri adalah : a.
Lesu, lemah, letih, lelah dan lunglai (5L)
b. Sering mengeluh pusing dan m ata berkunang-kunang. c.
Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi pucat.
2.3.5 Dampak Anemia Bagi Remaja
Menurut Sediaoetama (2003), dampak anemia bagi remaja putri adalah : a.
Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan t idak mencapai optimal. c.
Menurunkan kemampuan fisik olahraga.
d. Mengakibatkan muka pucat.
Proses kekurangan zat besi hingga seseorang menderita anemia melalui beberapa tahapan. Pada awalnya terjadi penurunan cadangan besi, dan bila belum dicukupi dengan asupan zat besi maka lamakelamaan akan timbul gejala anemia yang disertai penurunan kadar Hb dalam darah. Penelitian imunologi yang dilakukan menunjukkan bahwa kekurangan besi dalam tubuh dapat meningkatkan kerawanan terhadp penyakit infeksi. Dimana seseorang yang menderita defisiensi besi lebih mudah terserang penyakit infeksi, karena kekurangan besi berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang sangat penting untuk mencegah masuknya kuman penyakit atau infeksi (Ray,1997). Anemia pada remaja akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang optimal dan tingkat kecerdasan yang menurun (Depkes RI,1996). Remaja putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah (Almatsier,1989). Akibat jangka panjang dari anemia pada remaja putri adalah apabila remaja putri hamil, maka ia tidak akan mampu meme nuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia (Depkes RI,1998).
REFERENSI:
Adriani, M., 2002. Prevalensi Anemia Gizi dan Infeksi Cacing pada Remaja Putri . Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair, Surabaya
Almatsier, S., 1989. Pengaruh Anemia Gizi Besi Terhadap Perilaku dan Prestasi Belajar Anak Sekolah serta Peranan Zat Besi . Makalah disampaikan dalam Kursus Penyegar Ilmu Gizi dan Konggres VIII Persatuan Ahli
Gizi Indonesia (Persagi), Jakarta
Almatsier,S., 1990. Pengaruh Pendekatan Belajar, Status Anemia Gizi & Tambahan Zat Besi Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar . Info Pangan dan Gizi, Jakarta
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi . EGC, Jakarta. p: 100-185
Saraswati, E., 1997. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Anemia Remaja Putri SMU Anemia dan Non Anemia di Enam Dati II Propinsi Jawa Barat . Penelitian Gizi dan Makanan, Puslitbang Gizi, Bogor
Ida Farida, 2006, Determinan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Skripsi: Universitas Diponegoro Semarang. S.A Nugraheni, dkk. 2000. Info Anemia Gizi. Semarang: FKM Undip.