BAB VII IJTIHAD Metodologi Penetapan Hukum Karakter yang mau dibangun dengan “ Ijtihad “ Ijtihad : Metodologi Penetapan Hukum” adalah (1). Kesadaran yang tinggi tentang perlunya kerja keras akademis dalam merespons semua persoalan diniyah diniyah yang belum terakomodir atau belum dijelaskan secara eksplisit di dalam Alqur’an dan Sunnah Rasul (2). Memiliki sikap lapang dada dan sikap toleransi ketika berhadapan dengan kenyataan banyaknya perbedaan pendapat di lapangan (3). Bersikap toleransi dalam persoalan khilafiyah tetapi bersikap tegas dan bijaksana dalam menangani amalan bid’ah yang tumbuh berkembang di kalangan masyarakat. (4). Memiliki pemahaman yang cukup tentang metodologi penetapan hukum yang telah dirintis oleh para ulama Salafi dan telah dikembangkan oleh ulama Khalafi. (5). Memiliki sikap amat menghargai para ulama/ilmuwan yang telah menghabiskan seluruh usianya untuk melakukan penelitian tentang semua persoalan agama yang insya Allah amat bermanfaat bagi umat.
1. Hakikat, kedudukan kedudukan dan Fungsi Ijtihad 1
Ijtihad yang berasal dari akar kata jahada adalah “mengerahkan “mengerahkan segenap kemampuan intelektual untuk menetapkan hukum hukum sesuatu yang yang belum dijelaskan secara secara detail-ekplisit di dalam Al-Qur’an dan hadits, melalui serangkaian kegiatan menganalisis semua dalil yang memiliki hubungan tak langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas sehingga sampai 2
kepada penetapan hukum yang dicari” . Prosesnya adalah semua dalil yang implisit dikumpulkan,
diklasifikasikan,
ditafsirkan,
dianalisis
dengan
menggunakan
teknik
pendekatan tertentu, dan disimpulkan. disimpulkan. Jadi ijtihad harus melalui analisis terhadap seluruh ayat Al-Qur’an dan hadits, yang mempunyai hubungan tak langsung (implisit) dengan persoalan yang dibahas, bukan berijtihad dengan menggunakan rasio semata-mata semata-mata tanpa menoleh kepada teks Al-Qur’an dan hadits. Ijtihad demikian berarti mengada-ada, secara akademis sangat tertolak.
1
Kata ijtihad dan Jihad berasal dari akar kata yang sama yakni jahada (bersungguh-sungguh atau mengerahkan segenap kemampaun). Selanjutnya dalam perkembangan makna, jihad bermakna pengerahan kemampuan yang lebih bersifat fisikal sedangkan ijtihad menegarkan kemampaun yang bersifat pemikiran ilmiah. 2 Rumusan ijtihad ini adalah rumusan penulis sendiri sebagai sebuah kesimpulan dari seluruh sumber bacaan yang berkenaan dengan dengan ijtihad.
Mengapa perlu Ijtihad, apa urgensinya ? Nabi Muhammad saw wafat pada tahun
10 hijriyah, dalam usia 63 tahun, setelah beliau memperjuangkan tegaknya tawhid dan syari’ah Islam selama 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekah, dan 10 tahun di Medinah. Pada tahun 10 hijriyah itu, tepatnya 80 hari sebelum nabi saw wafat, turunlah ayat Alqur’an yang kemudian dicantumkan dalam surat al-Maidah ayat 3 yang isi pokoknya adalah pernyataan Allah Swt bahwa Islam adalah agama yang diridai Allah, Islam adalah kenikmatan terbesar dari Allah Swt, prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai Islam telah sempurna, bahkan dalam beberapa perkara detailnya, dan Islam adalah agama yang sempurna, perfect. Jika menggunakan bahasa hukum yang sekarang berkembangan mungkin dikatakan :” Hal-hal yang belum diatur secara jelas dalam peraturan ini, akan diatur kemudian dalam peraturan lainnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Al-Qur’an dan hadits”. Aturan yang dimaksud adalah Ijtihad. Setelah nabi Muhammad saw wafat, persoalan syar’i terus bermunculan, baik dalam kaitannya dengan ibadah mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Akan tetapi AL-Qur’an dan hadits belum menjelaskan secara detail-eksplisit hukum tersebut, padahal tetap memerlukan solusi, agar segenap perilaku manusia tidak keluar dari syari’at Islam. Jalan keluar adalah ijtihad. Jadi ijtihad sangat perlu sebagai langkah penetapan hukum yang masih belum jelas.
Jadi ijtihad diperlukan karena Nabi saw telah wafat, Alqur’an dan Sunnah Rasul telah berhenti msedangkan persoalan agama terus bermunculan yang memerlukan penanganan secara hukum. Apakah Objek Ijtihad itu ? Objek material ijtihad adalah hukum Islam, sedangkan
objek formalnya adalah hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit di dalam Alqur’an dan Hadits, misalnya tentang hukum donor mata, bayi clonning, pasar bebas dll. Oleh karena itu hukum-hukum yang sudah jelas seperti hukum zina, judi, shalat lima waktu, bukan objek kajian ijtihad. Salah satu kaidah ijtihad adalah “la masagha li alijtihadi fi maurdhin nash” tidak ada tempat bagi ijtihad dalam persoalan yang sudah jelas nashnya. Keharaman arak, babi, zina, riba, judi, dan menikah dengan nonmuslim, semuanya telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an. Tafsirannya pun jelas, para ulama terdahulu pun tidak berbeda pendapat atas keharamannya. Adapun soal-soal rinciannya, misalnya bagaimana bunga bank, apakah riba atau bukan, itulah yang menjadi objek kajian ijtihad. Contoh lain, agama Allah hanya satu, Islam, tawhid, agama para nabi. Adapun agama, ajaran, isme yang menduakan Tuhan adalah batil, Allah tidak akan menerimanya. Ini telah diterangkan di dalam QS. 3 : 19 dan 85. Ditafsirkan oleh para ulama dengan seragam.
Adapun persoalan, tentang seseorang yang mati ketika berbuat maksiat, apakah ke neraka atau ke syurga, itulah objek ijtihad. Apa ruang lingkup Ijtihad ?
Ruang lingkup kajian ijtihad adalah semua persoalan diniyah, baik menyangkut aqidah, syari’ah maupun akhlak. Ijtihad dalam persoalan akidah misalnya bagaimana nasib orang-orang yang sudah mendengar dakwah Islam tapi hanya selintas sehingga tidak sempat meresponnya sehingga dia mati dalam keadaan tidak memeluk Islam, akankah Allah mengampuninya, atau dia harus masuk neraka ?. Bagaimana hukum pengobatan dengan menggunakan hipnotis (hipboterafi) ?. Persoalan ibadah misalnya hukum menghajikan orang yang sudah wafat (badal haji) ? Bagaimana hukum zakat profesi ?. Persoalan akhlak misalnya bagaimana hukum menyewakan rahim (rental rahim) ? bagaimana hukum merokok, makruh atau haram ? .Bolehkah seseorang menonton film porno agar dia bisa bergairah kepada isterinya ?. Singkatnya, ruang lingkup ijtihad adalah seluruh persoalan diniyah yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
2.
Metodologi Ijtihad Ijtihad bisa dilakukan melalui beberapa teknik pendekatan istihsan, qiyas, mashalaihul
mursalah maupun ijmak. Metode pendekatan ini dirumuskan oleh para imam Mujtahidin yang
sampai saat ini diakui akurasinya. Penjelasannya sbb : a.
Qiyas (analogi) adalah menentukan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara
membandingkan hukum sesuatu yang telah ada dengan hukum yang akan dicari dengan melihat ciri-ciri persamaamnya (‘illat ). Contoh : bagaimana hukumnya apabila seorang anak mengatakan “ gila luh” kepada orangtuanya. Apakah ia berdosa ? Perbuatan yang diharamkan dilakukan seorang anak kepada orangtua yang secara ekplisit disebutkan di dalam Al-Qur’an surat 17 ayat 23 adalah mengatakan “ah” (wala taqul lahuma uff =
janganlah kami
mengatakan ah kepada kedua orangtuamu !” ). Mengapa kepada orangtua dilarang mengatakan “ah” ? karena kata-kata itu menyakitkan hati, itulah illatnya. Selanjutnya katakata “gila luh”, itu lebih menyakitkan lagi daripada kata-kata “ah”, maka mengatakan “gila luh” kepada orangtua, hukumnya lebih haram lagi. b.
Istihsan (stihsan = minta yang terbaik) ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas
dengan cara memilih satu di antara alternatif yang ada dengan pertimbangan mana yang paling ringan keburukannya. Contoh : Seorang anak perempuan dipaksa menikah d engan pria pilihan ibunya yang sama sekali tidak dicintainya, padahal ia sudah mempunyai calon suami pilihannya sendiri. Ibunya mengancam :”Kalau kamu tidak mau ikut pilihan mamah, jangan
panggil aku mamah. Jika aku mati, aku tak sudi kamu mengantarkan jenazahku !”. Anak perempuan itu, bisa meminta hasil ijtihad seorang ulama. Melalui analisis terhadap sejumlah ayat Al-Qir’an dan hadits, serta dengan mengingat, menimbang, memperhatikan, dan memutuskan. Semuanya dievaluasi mana baiknya dan apa buruknya. Mana yang paling sedikit buruknya itulah yang akan dipilih sebagai keputusan akhir. Contoh lain soal donor mata. c.
Mashalihul mursalah : ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, dengan dasar
penetapannya adalah dampak baik dan buruk bagi orang banyak, akibat perbuatannya itu. Misalnya : Larangan mendirikan bangunan / rumah di kawasan hutan serapan air. Pihak Pemerintah Daerah berhak melarang pembuatan rumah tersebut, dengan pertimbangan bahwa, kalau wilayah itu dijadikan lahan pembangunan, maka akan mengakibatkan kekeringan ke wilayah kota yang datar. d.
Ijmak, yaitu menetapkan hukum yang belum jelas melalui musyawarah guna mencapai
kesepakatan pemikiran para ulama. Misalnya,
dengan melihat eksistensi PBB yang
didominasi oleh Amerika Serikat, apakah negara kita masih perlu menjadi anggota PBB atau lebih baik keluar ? Keputusannya segenap ulama ini dinamakan ijmak. Jadi Ijmak merupakan ijtihad kolektif. Ada dua macam ijmak, yakni keputusannya dihasilkan melalui adu pendapat dan penjelasan penjelasan (bayan) para ulama dalam suatu forum musyawarah terbuka. Inilah yang disebut dengan Ijmak Bayany, ijmak qauly atau ijmak hakiki . Bisa jadi kesepakatan ini hanya bersikap no coment terhadap lontaran ide, gagasan, hukum yang diketengahkan oleh seorang ulama. Dalam hal ini para ulama tidak menerima dan tidak menolak dengan jelas melainkan hanya diam sukut). ( Ini disebut Ijmak Sukuti (bersikap diam dianggap setuju). Akan tetapi diamnya seseorang bisa saja bukan
sebagai tanda setuju melainkan karena rasa takut bicara. Jika demikian, diam sebagai tanda setuju dianggap kebenaran relatif atau ijmak nisbi.
3. Faktor Penyebab Perbedaan Pendapat Sumber hukum Islam hanya dua, yakni Alqur’an dan Sunnah Rasul. Dari kedua sumber inilah para ulama dengan segala kepakarannya di bidang diniyah mengutif ayat dan hadits yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan permasalahan yang ingin diputuskan. Mereka mengumpulkan ayat dan hadits, terus diklasifikasi, selanjutnya ditafsirkan, lantas terakhir disimpulkan. Dalam proses analisis ayat Alqur’an dan hadits guna menetapkan suatu hukum, mereka menggunakan seperangkat ilmu alat, yakni (1). Ulum al-Qur’an dengan berbagai macam cabang keilmuannya seperti
ilmu tafsir, ilmu nasakh – mansukh, ilmu asbabul
Wurud, ilmu gharibil Qur’an dll), (2). Ulum al-hadits dengan segala cabangnya yakni ilmu
mushtalah hadits, ilmu asbabul wurud hadits, ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu gharibil hadits, ilmu naqd al-hadits, ilmu nasakh wal mansukh, dll. (3). Ulum al-Fiqh dengan segala cabang keilmuannya seperti ilmu ushul fiqih, qawaid al-fiqh, ilmu tarikh tasyri’ dan sebagainya (4). Bahasa Arab yang terdiri dari ilmu Nahwiyah, ilmu Sharaf, balaghah, Bayan, Mani, Badi’ dll. Jadi tidak sembarangan orang melakukan ijtihad. Seorang ulama yang mau berijtihad perlu memiliki seperangkat ilmu yang diperlukan untuk ijtihad, kecuali Ijtihad yang mau dipakai sendiri dan dalam keadaan terdesak. Hal lainnya yang diperlukan seorang mujtahid (pakar ijtihad) selain ilmu adalah niat yang ikhlas karena Allah untuk mencari kebenaran tanpa harus terikat dengan pendapat nenek moyang, kesabaran yang amat kuat, ketelitian yang tinggi, sikap kerendahan hati, sikap istiqamah (konsisten), dan goal oriented. Dengan syarat keilmuan dan psikologis yang begitu berat, ternyata hasil ijtihad ulama berbeda-beda. Mengapa masih berbeda ? Ada beberapa faktor penyebabnya antara lain (1). Kemampuan berpikir setiap ulama berbeda sehingga berbeda dalam menyimpulkan. (2). Jumlah reference yang digunakan berbeda, sangat mungkin ulama ini menguasai 20 hadits dalam satu persoalan sementara ulama yang lain mengetahui 30 hadits (3). Berbeda latar belakang kehidupan dan budaya (4). Berbedanya paradigma berpikir, yang satu musyaddid amat ketat dalam menyeleksi hadits sementara yang lain agak longgar. Ulama ini menolak hadits lemah walaupun lemahnya hanya sedikit, sementara ulama yang lain masih toleran terhadap hadits dhaif. Di samping itu, karena mereka tidak hidup dalam periode yang sama dan tidak bertempat tinggal di wilayah atau negara yang sama, akibatnya mereka tidak bisa saling mengkomunikasikan masalah yang sedang diijtihadinya. Sebenarnya perbedaan pendapat itu biasa dan dimaklumi oleh semua ulama, baik Imam Hanafi, Maliki, Syafii maupun Hambali. Bahkan mereka juga berlapang dada untuk membuang pendapatnya yang salah lantas mengambil pendapat siapapun yang dianggap benar. Imam Syarfi’i dengan tegas mengatakan : “ Apabila pendapatku salah maka buanglah ke luar pagar. Apabila kamu menemukan hadits yang shahih maka ambillah karena itulah pendapatku”. Jadi semua ulama besar telah bersikap profesional akademis dalam menyikapi hasil ijtihad. Pada perkembangan berikitutnya, setelah para imam Mujtahid itu wafat, muncullah para muridnya yang mempromosikan ajaran gurunya dengan sedikit berlebihan, yakni fanatik guru. Pendapat gurunya dianggap the best of all. Bahkan lama kelamaan muncul ta’asub guru (kultus individu), sehingga persaingan ini lebih meruncing. Untuk membela fatwa gurunya kadang sebahagian murid membuat fatwa berlebihan misalnya, siapa pun yang pindah
madzhab dari Syafi’i ke Hanafi maka bunuhlah. Pihak murid Hanafi pun membalas dengan fatwa yang kurang lebih sama. Muncul pula fatwa tentang haramnya yanqul yakni mengambil satu bagian dari pendapat ulama A dan mengambil sebagian pendapat ulama B. Mereka pun berfatwa mewajibkan semua muslim memiliki satu madzhab yang jelas agar di akhirat nanti jelas siapa imamnya dan apa benderanya. Akibatnya sampai hari ini, seakanakan bermadzhab itu wajib, sedangkan nonsektarian dianggap plin-plan. Pertanyaannya, betulkah kita wajib bermadzhab ? Bermadzab tidak wajib, bahkan itu lebih baik. Mengapa ? Ada beberapa alasan sbb : (1). Tidak ada satu ayat Alqur’an pun yang menyuruh kita bermadzhab. (2). Tidak ada satu hadits pun yang melarang kita nonsektarian. (3). Tidak ada seorang ulama besar besar Salafi manapun yang mewajibkan kita untuk bermadzhab. (4). Logika kita pun mengatakan bahwa yang lebih baik bukan bermadzhab tetapi kita mengambil metodologi hukumnya bukan mengambil hukum jadi. (5). Jika terikat dengan suatu madzhab maka kita tidak mungkin bisa berIslam secara baik karena persoalan agama akan terus bermunculan setelah para ulama besar itu wafat, padahal kitab harus menjawab setiap permasalahan yang muncul. (6). Dalam persoalan sains pun kita tidak boleh bermadzhab, misalnya madzhab Rene Descartes, Aristotels, Aguste Comte, modernisme, posmodernisme, atau madzhab kontemporer, karena itu akan mengekang kebebasan berfikir, dan sains tidak akan maju. Penulis mengajak, marilah kita mempelajari semua pendapat dan metode semua ulama yang tersebar di banyak kitab, lalu kita klasifikasi, kita gunakan metodologi yang telah dikembangkan para ulama tersebut ditambah dengan metodologi baru, kemudian kita terus kaji sampai menemukan hukum yang dicari, misalnya hukum bayi tabung, inseminasi, bayi cloning, bayi titipan, rental rahim, euthanasia, shaum di bulan, dll.
4. Memilah dan Menyikapi Khilafiyah dan Bid’ah Khilafiyah adalah suatu masalah yang memiliki dasar hukum, baik Alqur’an maupun alhadits tetapi ada masalah, antara lain (1). Terjadi ketidaksepakatan dalam memahami ayat Alqur’an (2). Tidak sepakat terhadap kedhaifan hadits (3). Sepakat atas kesahihan hadits tetapi berbeda dalam menarik kesimpulan. Contoh :
Turun untuk sujud, kaki dahulu atau tangan dahulu ?
Isyarah ketika tasyahud, telunjukknya digoyang-goyang atau diam saja ?
Posisi tangan ketika setelah i’tidal ba’da ruku, sidekap atau tangan menjuntai ke bawah?
Itu semua adalah khilafiyah. Dalam hal ini para ulama memiliki kewajiban untuk membahas persoalan khilafiyah secara intensif, baik dalam musyawarah, seminar, diskusi bahkan dalam debat terbuka. Akan tetapi apabila tidak ada titik temu setelaha melalui sejumlah diskusi, maka masing-masing pihak boleh berpegang dan mengamalkan pendirian masing-masing. Adapun bid’ah ialah amal ibadah yang (1). Memiliki dasar hadits yang disepakati kedhaifannya tetapi tetap digunakan untuk penambahan amal (2). Tidak memiliki landasan Alqur’an maupun hadits. (3). Benar-benar amalan baru yang semata-mata hasil pemikiran manusia. Contoh bid’ah :
Adzan di kuburan ketika hendak menguburkan jenazah. Amal ini sama sekali tidak memiliki dasar hukum ayat Alqur’an maupun hadits tetapi semata-mata karena hasil olah pikir manusia.
Membaca lafadz niat ketika hendak shalat. Itu sama sekali tanpa dasar hukum tetapi semata-mata kreasi baru, itu disebut bid’ah. Dalam hal ini sebaiknya para ulama memberi tahu kepada jemaahnya masing-masing
bahwa perbuatan itu benar-benar tanpa dalil yang sah, jadi katagorinya sebagai amal bid’ah yang harus dijauhi.
5. Sifat-sifat Hasil Ijtihad Hasil ijtihad sebenarnya adalah produk nalar yang dilandasai hasil analisis terhadap sejumlah dalil implisit berkenaan dengan hukum sesuatu yang dicari. Hasil ijtihad seseorang bisa berbeda dengan hasil ijtihad orang lain. Hasil ijtihad kelompok A bisa berbeda dengan hasil ijtihad kelompok B. Oleh karena itu, hasil ijtihad pihak satu hanya mengikat kepada kelompok itu tetapi tidak mengikat kepada pihak lain.
Hasil ijtihad pribadi seorang ulama bisa dibantah oleh hasil ijtihad ulama lain.
Hasil ijtihad pribadi seorang ulama mengikat sikap hukum ulama itu, tetapi tidak mengikat sikap hukum ulama lainnya.
Hasil Ijtihad terikat dengan waktu dan keadaan setempat. bisa jadi dengan pergantian waktu, hukumnya pun berubah.
Hasil ijtihad bisa mengubah hukum yang telah establish tetapi hanya dalam hukum yang bersifat furu’iyah (ranting) bukan hukum dasar.
Hasil ijtihad ulama secara kolektif, komprehensif, yang mengakomodir semua unsur, selayaknya mengikat semua umat Islam yang diwakili oleh ulama di wilayah itu, bahkan umat dalam wilayah yang lebih luas.
6.
Wajibkah bermadzhab ?
Para ulama mujtahidin, semuanya tanpa kecuali memiliki ketawadluan intelektual. Mengapresiasi perbedaan hasil ijtihad, mereka semua berpesan, agar apabila ia
keliru,
hendaklah pendapatnya itu dibuang jauh-jauh. Lebih tegas lagi, mereka semua sepakat mengharamkan umat Islam bersikap taqlid kepadanya. Namun sayangnya, umat Islam banyak sekali yang taklid buta sehingga fanatik madzhab. Bermadzhab tidak wajib, tidak ada satu ayat pun atau satu hadits pun bahkan tak ada satu fatwa pun dari ulama manapun, yang menghukum wajib untuk memilih salah satu madzhab. Kita bandingkan dengan dunia sains di perguruan tinggi umum, adakah keharusan memilih salah satu madzhab dari profesornya ? Tidak ada. Semua mahasiswa dianjurkan mempelajari semua teori dari banyak profesor untuk selanjutnya dipilih teori mana yang paling tepat. Jika ada pendapat profesor senior yang ternyata salah, mahasiswa harus meningggalkan pendapat tersebut. Tak ada masalah, itulah objektivitas ilmu. Demikian pula dalam berislam, carilah ilmu dengan bebas, ambillah hukum yang paling kuat argumentasinya tanpa harus terikat figur. Nabi menegaskan :” Undhur ma qala wala tandhur man qala “ yang artinya lihatlah apa yang diucapkannya dan jangan melihat siapa yang mengucapkannya. Jika ragu-ragu untuk memilih pendapat imam mana yang paling tepat, sebaiknya digunakan rumus di bawah ini.
Wajib atau sunnat ? anggaplah wajib seperti hukum mandi sebelum jum’atan.
Bid’ah atau sunnat ? anggaplah bid’ah seperti bacaan qunut dalam shalat Subuh
Sunnat atau haram ? anggaplah haram seperti kue yang mengandung rum.
Haram atau makruh ? Pilihlah haram, seperti hukum merokok.
Haram atau halal ? Pilihlah haram seperti menikahkan perempuan yang hamil karena berzina..
7. Kritik terhadap Ijtihad Kelompok Islam Liberal Kini, para tokoh Islam liberal berijtihad dengan mengabaikan ayat-ayat Al-Qur’an yang secera tekstual tidak mendukung ide-idenya, bahkan kelompok Islam liberal benar benar mengabaikan 100 % hadits Ahad. Karena mereka mendewakan akal, maka
akal
manusia dianggap lebih baik daripada hadits Ahad. Mereka hanya mau menerima hadits
Ahad apabila tidak bertentangan dengan kesimpulan rasionya. Kelompok ini dikatagorikan sebagai kelompok Inkar al-Sunnah. Cara seperti ini oleh mereka dianggap Islam modern, reformis, Islam rasional, Islam Masa Depan, atau Islam futuristik. Bagaimana mungkin sunnah nabi dinilai lebih rendah daripada nalar manusia. Padahal apa yang benar-benar dikatakan dan dilakukan nabi adalah bimbingan wahyu. Seluruh hadits tanpa kecuali, dan bukan uji petik, telah melalui serangkaian uji sanad (uji sumber berita) , uji rawy (uji personality) dan uji matan (uji material) sehingga validasi dan akurasinya benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Pada hakikatnya uji hadits adalah uji sejarah, padahal tidak ada satu sisi sejarah di mana pun di belahan dunia ini, tentang sejarah apapun, yang diterima keabsahannya setelah melalui serangkaian uji seperti uji hadits. Tidak pernah ada ahli yang spesial menguji kecerdasan dan kejujuran penulis sejarah. Siapakah yang menguji kebenaran sejarah secara komprehensif ? Tidak ada, paling paling hanya uji material. Sejarah dunia, misalnya, tidak pernah melalui serangkain uji sumber berita, uji kecerdasaran dan kejujuran penulisnya. Justeru, sejarahlah yang paling banyak kemungkinan salah dari pada hadits. Warna sejarah sangat tergantung kepada siapa penulisnya, apa niatnya, di bawah tekanan siapa ketika dia menulis, siapa yang berkuasa waktu itu, menulis untuk kepentingan siapa, siapa yang mengontrolnya, bahkan mungkin siapa pula yang membayarnya. Setiap muslim seharusnya, jauh lebih percaya kepada ulama ahli hadits yang sudah teruji kesalehannya, teruji kecerdasannya, teruji kejujurannya, teruji kehati-hatiannya, bahkan teruji keikhlasannya dalam membela agama Allah, dari pada orang-orang yang sekadar mengaku reformis tetapi tidak teruji sebagaimana terujinya ahli hadits. Belum lagi jika meneropong niat yang terkandung di balik ide-ide yang dibawanya.
MUKHTASHAR SEPUTAR IJTIHAD 1. HAKIKAT : Hakikat ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan akademis untuk menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, melalui serangkaian analisis terhadap ayat Alqur’an dan hadits yang implisit, sehingga mendapatkan kesimpulan tentang hukum sesuatu yang dicari. 2. KEDUDUKAN : Kedudukan Ijtihad dapat dikatakan sebagai sumber hukum tambahan setelah Alqur’an dan Sunnah.
3. FUNGSI : Fungsi Ijtihad adalah sebagai ilmu bantu yang berisi metodologi dalam penetapan hukum yang belum dijelaskan secara ekplisit, baik di dalam Alqur’an maupun hadits. 4. URGENSI : Keberadaan Ijtihad sangat urgen, karena tanpa ijtihad akan banyak persoalan keagamaan yang terus menerus tidak jelas hukumnya sehingga umat bisa menjadi bingung. 5. OBJEK : Objek kajian ijtihad adalah seluruh persoalan agama yang belum jelas hukumnya. Ijtihad tidak boleh mengambil objek tentang hal-hal yang sudah jelas hukumnya tertera di dalam Alqur’an maupun hadits. 6. RUANG LINGKUP: Ruang lingkup kajian ijtihad adalah semua persoalan agama, baik dalam lingkup akidah, syari’ah maupun akhlak. 7. METODE : Metode penetapan hukum melalui ijtihad menggunakan metode Qiyas, ijmak, Istihsan dan metode mashalihur mursalah. 8. SIFAT HASIL IJTIHAD : Hasil ijtihad mengandung kebenaran relatif, terikat tempat dan waktu. Ulama yang menetapkan hukum dengan ijtihad terikat dengan hasil ijtihadnya. 9. FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN PENDAPAT : Hasil ijtihad seseorang atau sekelompok ulama bisa berbeda dengan hasil ijtihad ulama lain atau kelompok lain. Ini karena perbedaan jumlah reference yang dibaca, perbedaan latar belakang kehidupan, pendidikan dan culture, serta perbedaan kemampuan dalam menganalisis dan menyimpulkan, 10. MADZHAB : Secara bahasa madzhab adalah pendirian, dalam makna sosiologis, madzhab adalah perbedaan pendapat para ulama yang dipertajam dan diikuti dengan para pengikut yang fanatik. Dalam hal ini tidak sedikit ulama yang mewajibkan umat Islam untuk bermadzhab (memilih antara madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syaf’i atau Hambali), padahal tidak ada satu ayat Alqur’an dan satu hadits pun yang mewajibkan kita bermadzhab. 11. KHILAFIYAH DAN BID’AH : Apabila ada satu atau beberapa hadits shahih melahirkan banyak tafsiran dan pilihan, harus didiskusikan sampai diperdebatkan mana yang paling akurat. Apabila telah melalui serangkaian perdebatan ternyata tidak ada titik temu, maka itu disebut masalah Khilafiyah (perbedaan pendapat). Dalam hal ini kita harus tasammuh (toleransi). Tetapi apabila amal ibadah itu tidak memiliki landasan hadits, hadits dhaif sekalipun, tapi semata-mata hasil kreativitas seorang ulama, maka amal ibadah itu disebut bid’ah. Termasuk ke dalam bid’ah juga adalah amal ibadah yang ada landasan haditsnya tetapi para ulama hampir sepakat atas kedhaifannya.
---- selesai--------