BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan Bipolar
Gangguan Bipolar adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya episode klinis berupafluktuasi ekstrem dalam suasana perasaan (mood) dengan manifestasi berulangnya episode manik, depresi atau episode campuran. Gangguan bersifat kronis, memiliki episode kekambuhan dengan kesembuhan (recovery) sempurna di antara episodenya.Tingkat kekronisan yang tinggi berdampak padaperkembangan sosial, fungsi pekerjaan, prognosis yang buruk serta tingkat borbiditas dan mortalitas yang tinggi (Angst & Sellaro, 2007). Gangguan Bipolar terjadi pada 1% populasi. Prevalensi mungkin meningkat sesuai kriteria diagnosis yang digunakan dalam masing-masing studi. Studi akhir-akhir ini memiliki kriteria yang lebih luas untuk mengenali spektrum Bipolar dalam populasi (Amir, 2012). Penderita mengalami disabilitas sedang sampai berat yang dinilai berdasarkan kemampuan penderita dalam pekerjaan, frekuensi penggunaan layanan kesehatan, kebutuhan penderita akan tunjangan bagi penyandang disabilitas disabil itas dan adanya risiko perilaku bunuh diri (Judd & Akiskal, 2008). Kualitas hidup penderita juga mengalami penurunan yang ditandai dengan gangguan dalam fungsikehidupan, kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan maupun mempertahankan pekerjaan yang telah dimilikinya serta kesulitan dalam interaksi sosial (Dean, et al., 2009). Farmakoterapi adalah pengobatan pertama untuk menstabilkan episode gangguan Bipolar. Namun demikian pemberian farmakoterapi saja tidak cukup dalam managemen gangguan Bipolar. Intervensi psikososial bersama-sama dengan pemberian farmakoterapi memberikan hasil outcomeyang lebih baik(Vieta et all, 2009). Menurut Miklowitz (2008) menunjukkan bahwa intervensi psikoterapi sebagai tambahan pada pengobatan Bipolar dapat memenuhi kebutuhan yang belum didapatkan pasien dalam tatalaksana pasien jangka panjang dibanding hanya dengan pemberian farmakoterapi saja. Namun demikian hanya <30% psikiater yang menganggap bahwa psikoterapi memainkan peran penting dalam tatalaksana gangguan Bipolar. Hal ini disebabkan karena psikoterapi dianggap sebagai terapi alternatif, bukan sebagai terapi komplementer yang harus diberikan bersama dengan farmakoterapi (Collom, 2011). The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) and the British
Association of Psychopharmacology (National Collaborating Centre for Mental Health (NCCMH )merekomendasikan intervensi psikologis dalam managemen Gangguan Bipolar. Diantara beberapa jenis pendekatan intervensi psikososial yang paling sering dilakukan adalah psikoedukasi (Collom, 2011). Menurut Depkes RI (2012) Ada empat tipe dasar dari gangguan bipolar: 1. Bipolar Disorder I : didefinisikan oleh episode manik atau campuran yang berlangsung setidaknya tujuh hari, atau dengan gejala manik yang begitu parah sehingga orang perlu perawatan di rumah sakit segera. Biasanya, episode depresi terjadi juga, biasanya berlangsung minimal 2 minggu. 2. Bipolar Disorder II : didefinisikan oleh pola episode depresi dan episode hypomanic, tapi tidak ada manik full-blown atau episode campuran. 3. Bipolar Disorder Not Otherwise Specified (BP-NOS) : didiagnosis bila gejala penyakit yang ada tetapi tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk baik bipolar I atau II. Namun, gejala yang jelas di luar jangkauan normal seseorang perilaku. 4. Disorder cyclothymic, atau Cyclothymia : bentuk ringan dari gangguan bipolar. Orang dengan cyclothymia memiliki episode hypomania serta depresi ringan selama minimal 2 tahun.Namun, gejala tidak memenuhi persyaratan diagnostik untuk semua jenis lain dari gangguan bipolar. 2.2 Faktor Penyebab Gangguan Bipolar
Menurut teori stress-vulnerability model, ada beberapa resiko atau factor penyebab gangguan jiwa bipolar, yaitu: 1. Genetika dan riwayat keluarga. Penderita bipolar lebih sering dijumpai pada penderita yang mempunyai saudara atau orang tua dengan gangguan bipolar. Riwayat pada keluarga dengan penyakit bipolar bukan berarti anak atau saudara akan pasti menderita gangguan bipolar. Penelitian menunjukkan bahwa pada orang o rang dengan riwayat keluarga penderita bipolar maka kemungkinannya terkena bipolar akan sedikit lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya. Artinya ada factor predisposisi terhadap gangguan bipolar. Hanya saja, tanpa adanya factor pemicu, maka yang bersangkutan tidak akan terkena gangguan bipolar. Faktor predisposisi gangguan bipolar bisa terjadi juga karena anak meniru cara bereaksi yang salah dari orang tuanya yang menderita gangguan bipolar.
2. Kerentanana psikologis(psychological vulnerability). Kepribadian dan cara seseorang menghadapi masalah hidup kemungkinan juga berperanan dalam mendorong munculnya gangguan bipolar.. 3. Lingkungan yang menekan (stressful) dan kejadian dalam hidup (live events). Riwayat pelecehan, pengalaman hidup yang menekan. 4. Gangguan neurotransmitter di otak 5. Gangguan keseimbangan hormonal . 6. Factor biologis. Ada beberapa perubahan kimia di otak yang diduga terkait dengan gangguan bipolar. Hal ini menunjukkan adanya factor biologis dalam masalah gangguan bipolar. 2.3 Tanda dan Gejala Gangguan Bipolar
Menurut Depkes RI (2012) tanda-tanda dan gejala bipolar disorder dapat terlihat sangat berbeda pada orang yang berbeda. Hal ini tergantung dalam jenis mood episodes (episode-episode suasana hati) yang ia derita yaitu mania dan depresi. Adakalanya, episode suasana hati penderita mencakup gejala-gejala dari keduanya. Ini disebut keadaan campuran (mixed state). Saat mengalami episode mania, penderita merasakan sensasi bahagia,optimis berlebihan, melakukan aktivitas lebih dari biasa, sangat bertenaga, kurang kebutuhan untuk tidur, banyak ide, cerewet tak terkendali dan sulit diinterupsi. Namun pada episode depresi, penderita mengalami gangguan tidur (insomnia), gangguan selera makan, perasaan cemas yang berkepanjangan, sering menangis atau ingin menangis tanpa alasan yang jelas, merasa sunyi dan hampa serta muncul keinginan bunuh diri. Seringkali penderita jadi tidak rapi penampilannya, kurang peduli kebersihan, berbicara lambat, hampir tak punya inisiatif dan tak lagi berminat pada sesuatu yang tadinya disukai. Namun ada juga saat tertentu, penderita mengalami episode campuran (mania dan depresi). Suatu saat mungkin ia merasakan energi yang berlebihan, tidak bisa tidur, banyak ide-ide yang berlalu-lalang di kepala, agresif (mania). Akan tetapi, beberapa jam kemudian, keadaan itu berubah menjadi sebaliknya (depresi). Hal itu terjadi bergantian dan berulang- ulang dalam waktu yang relatif cepat.
2.4 Psikoedukasi Pada Gangguan Bipolar
Psikoedukasi menjadi intervensi kunci dalam peningkatan kepatuhan pengobatan dan perbaikan hasil jangka panjang dalam beberapa kondisi medis. Pengetahuan dan keterampilan yang baik akan membuat individu mampu secara proaktif mengelola masalah psikososial yang dihadapinya (Colom, 2011). Menurut Dixon et al (2013) psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang yang mengalami gangguan psikiatri sebagai bagian dariproses terapi dan rehabilitasi. Fokus psikoedukasi adalah : 1). Mendidik partisipan mengenai tantangan penting dalam hidup. 2). Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan
dalam
menghadapi tantangan hidup 3).
Mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. Psikoedukasi merupakan modalitas terapi yang dilakukan oleh professional kesehatan jiwa dengan integrasi dan sinergi antara psikoterapi dan edukasi, dengan tujuan meningkatkan keterampilan individu atau kelompok dalam mengatasi gejala-gejala gangguan jiwa yang dialaminya.
Menurut Fatma & Sirin (2012) beberapa manfaat efektifitas psikoedukasi dalam tatalaksana gangguan bipolar yaitu:
1). meningkatkan daya tahan terhadap protokol pengobatan medis 2). meningkatkan kemampuan deteksi dini gejala kekambuhan 3). meningkatkan kemampuan dalam mengatasi penyakit 4). menurunkan risiko bunuh diri 5). meningkatkan kualitas hidup 6). meningkatkan kepatuhan minum obat (kepatuhan minum obatmeningkat dari 40% menjadi 86,7%), 7). menurunkan rehospitalisasi 8). meningkatkan pengetahuan tentang penyakit 9). menjaga stabilitas level serum lithium dalam darah 10). meningkatkan fungsi dalam pekerjaan dan adaptasi sosial 11). meningkatkan kualitas hidup caregiver (pengetahuan meningkat, beban keluarga menurun, strategi sosial meningkat) 12).menurunkan angka kekambuhan.
stres turun,
13). menurunkan durasi perawatan di Rumah Sakit 14). menurunkan multi episode dari gangguan 15). menurunkan stigma (psikoedukasi memiliki efek positif dalam menurunkan stigma bagi pasien
. 2.6 Kekambuhan Pada Gangguan Bipolar
Menurut Tarciso et al (2011) frekuensi kekambuhan berhubungan dengan memburuknya prognosis dan kualitas hidup penderita sehingga upaya pencegahan kekambuhan harus dilakukan, salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan adalah ketidak patuhan minum obat yang merupakan masalah yang sering terjadi pada penderita Bipolar. Angka ketidakpatuhan minum obat pada pasien Bipolar berkisar antara 20-60%. Ketidakpatuhan merupakan alasan penting dalam kegagalan pengobatan Bipolar (Tarciso et al., 2011). Ketidakpatuhan minum obat berdampak terhadap perjalanan penyakit pasien, meningkatkan beban ekonomi, menurunkan kualitas hiduppasien, meningkatkan angka kekambuhan, meningkatkan angka perawatan di Rumah Sakit dan meningkatkan risiko bunuh diri (Collom, 2011). Mengingat angka ketidakpatuhan minum obat yang cukup besar dan dampaknya yang buruk maka penting untuk melakukan upaya-upaya meningkatkan kepatuhan minum obat salah satunya adalah dengan memberikan Psikoedukasi.