ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LABIOPALATOSCHIZIS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak
OLEH: FERONIKA KURNIAWATI 162310101308
UNIVERSITAS JEMBER PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN KEPERAWATAN 2016
1
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan ridho-Nyapenulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Asuhan “Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoschizis” Labiopalatoschizis ” Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak menemui kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya sumber-sumber yang penulis peroleh dari perpustakaan dan kurangnya pengetahuan penulis tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoschizis. Namun berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar mata kuliah Keperawatan Anak dan seluruh teman kelas alih jenis 2016 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.
Jember, Oktober 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1 KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2 DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ...................................................................................... 4
1.2
Tujuan ................................................................................................... 5
1.3
Metode Penulisan ................................................................................... 6
1.4
Ruang Lingkup....................................................................................... 6
1.5
Sistematika Penulisan ............................................................................ 6
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian................................................................................................ 7 2.2 Etiologi. ................................................................................................... 8 2.3 Manifestasi Klinis . ................................................................................. 9 2.4 Patofisiologi. ........................................................................................... 10 2.5 Pathway ................................................................................................... 12 2.6 Komplikasi. ............................................................................................. 13 2.7 Penatalaksanaan. ..................................................................................... 14 BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian ............................................................................................... 16 3.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 16 3.2.1 NOC Pre Operatif................................................................... 17 3.2.2 NIC Pre Operatif....................................................................18 3.2.3 NIC Post Operatif...................................................................19 3.3 Evaluasi......................................................................................... 21 BAB IV PENUTUP 3.1 Kesimpulan ................................................................................. 22 3.2 Saran .......................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 23
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Proses pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses mutlak yang mesti dilalui setiap individu dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun individu yang menginginkan mengalami gangguan dalam kedua proses penting tersebut. Namun, akibat faktor genetik, ras, lingkungan dan gaya hidup telah menyebabkan sejumlah masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Seorang wanita hamil perokok misalnya, ia dapat mengakibatkan sejumlah kecacatan hingga kematian bayinya. Shaw, dkk. (1996, dikutip Wong, 2003: 455) menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok selama kehamilan dan meningkatnya resiko pembelahan orofasial atau yang biasa kita dengar sebagai bibir sumbing. Sumbing bibir dan sumbing palatum (cleft lip dan cleft palate) atau disebut labiopalatoskisis
merupakan
salah
satu
kelainan
fisik
pada
saluran
gastrointestinal. Kelainan ini terjadi pada masa perkembangan embrio. Insiden celah bibir (sumbing) dengan atau tanpa adanya celah palatum kira-kira terdapat pada 1:600 kelahiran (Nelson, 2000:1282). Mitchell & Wood (2000, dikutip Ball, 2003: 586) menyebutkan bahwa kejadian sumbing bibir terjadi dalam 1 dari setiap 700 kelahiran yang ada. Dan kejadian sumbing palatum sedikitnya 1: 2000 kelahiran (Balasubrahmanyam,dkk. 1998, dikutip Ball, 2003: 587). Insidens kejadian penyakit ini pun lebih sering pada penduduk pribumi Amerika dan Asia. Celah bibir dan palatum nyata sekali berhubungan erat secara embriologis, fungsionil, dan genetik. Celah bibir muncul akibat adanya hipoplasia lapisan mesenkim, menyebabkan kegagalan penyatuan prosesus nasalis media dan prosesus maksilaris. Celah palatum muncul akibat terjadinya kegagalan dalam mendekatkan atau memfusikan lempeng palatum. (Nelson, 2000: 1282) Cleft lip and cleft palatum dapat mengarah ke beberapa komplikasi yang akan memperlambat perkembangan dan pertumbuhan bayi hingga dewasa. Seperti terjadinya gangguan bicara dan pendengaran, otitis
4
media, distress pernafasan, resiko infeksi saluran nafas (Suriadi & Yuliani, 2010: 154). Untuk itu sangat diperlukan pemahaman para perawat akan penyakit ini guna
mengurangi
kemungkinan
terjadinya
komplikasi
yang
akan
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi dengan pemberian asuhan keperawatan yang tepat. Penatalaksanaan yang tepat juga diperlukan guna memperbaiki kelainan ini. Penanganan dengan pendekatan multidisipliner dan tindakan pembedahan akan diperlukan untuk memperbaiki anomali guna menghindari komplikasi lebih lanjut. Oleh karena itu penulis tertarik mengangkat
judul
“Asuhan
Keperawatan
pada
Anak
dengan
Labiopalatoschizis”.
1.2 Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum Penulis membuat makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Labiopalatoschizis” bertujuan untuk memberi pengetahuan tentang Labiopalatoschizis sebagai bahan pembelajaran Keperawatan Anak, serta memenuhi syarat penyelesaian tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak.
2. Tujuan khusus Selesainya tugas makalah Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Labiopalatoschizis, penulis diharapkan mampu:
Memahami isi materi mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Labiopalatoschizis yang meliputi Definisi, Patofisiologi dan Etilogi Labiopalatoschizis.
Dapat memahami Manifestasi Klinik, Pemeriksaan Penunjang dan Komplikasi dari Labiopalatoschizis.
Dapat mengetahui Asuhan Keperawatan yang harus dilakukan pada kasus anak dengan Labiopalatoschizis.
Dapat
membagi
ilmu
kepada
pembaca
mengenai
Keperawatan pada Anak dengan Labiopalatoschizis.
5
Asuhan
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini adalah metode deskripstif untuk mendapatkan gambaran mengenai Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoschizis.
1.4 Ruang Lingkup
Penulis hanya membahas Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Labiopalatoschizis.
1.5 Sistematika Penulisan
Penyusunan
makalah
Asuhan
Keperawatan
pada
Anak
dengan
Labiopalatoschizis terdiri dari empat Bab, pada Bab I yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, ruang lingkup, dan sistematika penulisan. Bab II yaitu tinjauan pustaka mengenai pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, dan penatalaksanaan medis. Bab III yaitu asuhan keperawatan mengenai Pengkajian, diagnose keperawatan, tujuan pre operatif, intervensi pre operatif dan evaluasi. Bab IV penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
6
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Labiopalatoschizis merupakan kelainan pada daerah mulut berupa labioskisis (sumbing pada bibir), dan palatoskisis (sumbing pada palatum) yang diakibatkan oleh kegagalan penyatuan jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio. (Hidayat, 2008: 22). Cleft lip and cleft palate atau labiopalatoskisis merupakan kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trisemester pertama. Sumbing bibir adalah terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan 6-8 minggu. Palato skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu. Bibir sumbing (cleft lip) merupakan suatu bentuk kelainan pada mulut ditandai dengan celah pada bibir atas yang biasanya terjadipada seseoragn sejak dilahirkan. Sedangkan cleft palatum adalah kelainan dimana terjadi celah pada langitlangit rongga mulut. Pada cleft palate ini celah menghubungkan langit rongga mulut dengan rongga hidung (dalam www.infokesehatan.com). Jenis kelai nan cleft (sumbing), berdasarkan organ yang terlibat yaitu: a. Celah di bibir (labioskisis) b. Celah di gusi (gnatoskisis) c. Celah di langit mulut (palatoskisis) d. Celah terjadi pada lebih dari organ. Misal ,terjadi di bibir dan langitlangit
(labiopalatoskisis) atau terjadi pada bibir, palatum hingga
mengenai gusi bagian atas (labio gnatopalatoskisis).
Beberapa jenis bibir sumbing :
Unilateral Incomplete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
Unilateral complete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke hidung.
7
Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
2.2 Etiologi
Bibir sumbing disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus maksilaris dan frontonasalis selama minggu ke enam usia gestasi. Pada kasus bilateral, premaksila mengalami anteversi. Masalah ini selalu berkaitan dengan deformitas nasal. Sumbing palatum dapat berdiri sendiri bersama dengan sumbing bibir. Ini disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus palatinum dan septum nasi. Sumbing juga menyebabkan regurgitas nasal makanan, dan kemudian suara sumbing palatum karena kebocoran nasal. Kelainan kongenital seperti tracheoesophalangeal fistula, omphalocele, trisomi 13, dan displasia skeletal dihubungkan dengan kejadian cleft lip dan cleft palate sekitar 20-30% dari kasus. Terdapat kasus yang meningkat pada keluarga dengan riwayat sumbing bibir atau sumbing palatum (Meadow & Newell, 2005: 174). Penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi gabungan antara faktor lingkungan dan genetik.
Diantaranya abnormalitas kromosom, faktor
lingkungan atau teratogen, obat-obatan, nutrisi saat kehamilan, dan ibu hamil yang merokok (Wong, 2003: 587).
F aktor G enetika Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat ditentukan dengan pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua. Diseluruh dunia ditemukan hampir 25 – 30 % penderita labio palatoscizhis terjadi karena faktor herediter. Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi genetik yang menyebabkan terjadinya labio palatoschizis. Faktor genetik yang menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan manifestasi yang kurang potensial dalam penyatuan beberapa bagian kontak.
F aktor Lingkungan Beberapa
Faktor
Lingkungan
Labiopalatoschizis yaitu :
8
yang
dapat
menyebabkan
Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa embrional.
Gangguan metabolik (DM). Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetes sangat rentan terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat berpengaruh pada tumbuh kembang organ selama masa embrional.
Penyinaran radioaktif. Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.
Secara garis besar penyebab sumbing bibir dan palatum adalah sebagai berikut: 1.
Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui
2.
Faktor herediter
3.
Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom (sindrom patau/ trisomi 13), mutasi gen, dan teratogen (agen atau faktor yang menimbulkan cacat pada masa embrio)
4.
Obat-obatan, seperti phenytoin, asam valproat, thalidomine, dan dioxin pestisida.
5. Nutrisi saat kehamilan, contohnya pada keadaan kekurangan atau defisiensi asam folat, mengkonsumsi alkohol dan rokok selama hamil.
2.3 Manifestasi Klinis
Tanda yang paling jelas adalah tampak celah pada bibir atas. Bayi akan kesulitan menghisap ASI dan kesulitan dalam berbicara. Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengarannya. Biasanya cleft palate
9
dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi geliginya (menjadi berjajal). (dalam www.infokesehatan.com). Manifestasi klinis lainnya yang terlihat pada cleft lip dan cleft palatum sebagai berikut: 1.
Pada Labioskisis
Distorsi pada hidung (kelainan bentuk pada hidung, seperti asimetris cuping hidung atau nostril, adanya celah hidung pada palatum).
2.
Tampak sebagian atau keduanya
Adanya celah pada bibir
Pada Palatoskisis
Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau foramen incisive
Adanya rongga pada hidung
Distorsi hidung
Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
Kesukaran dalam menghisap atau makan (Suriadi & Yuliani, 2001: 154-155)
2.4 Patofisiologi
Tahap penting dalam pembentukan bibir, palatum, hidung dan rahang, terjadi pada 9 minggu pertama kehidupan embrio. Mulai sekitar minggu kelima umur kehamilan, prosesus maksilaris tubuh kearah anterior dan medial, dan menyatu dengan pembentukan prosesus fronto nasal pada dua titik tepat dibawah lubang hidung dan membentuk bibir atas. Sementara itu palatum dibentuk oleh proses prosesus palatal dari prosesus maksilaris yang tumbuh kearah medial untuk bergabung dengan septum nasalis pada garis tengah, kira – kira pada umur kehamilan 9 minggu. Kegagalan pada proses yang kompleks ini dapat terjadi dimanapun pada tahap pembentukannya, yang akan menghasilkan celah kecil samapai kelainan hiper dari bentuk wajah. Ada kemungkunan yang terkena bibir saja atau dapat meluas sampai kelubang hidung, atau mengenai maksila dan gigi. Kelainan celah palatum yang paling ringan hanya melibatkan uvula atau
10
bagian lunak palatum. Celah bibir dan palatum bisa terjadi secara terpisah atau bersama- sama bercampurnya jenis kelainan bibir, maksila dan palatum akan menyebabkan kesulitan pembedahan. Dewasa ini malformasi palatum dan bibir tengah telah dipelajari secara mendalam, sebagai model dari tahap morfogenesis normal dan abnormal pada system perkembangan yang kompleks. Hal ini terlihat secara relative, dari tingginya angka kejadian kelainan ini, bahwa pengaturan morfogenesis palatum sangat sensitive terhadap gangguan genetic dan lingkungan: Genetic : Trysomi13 atau sindroma patau dihubungkan dengan pembentukan celah yang lebar dari bibir dan maksila. Linkungan : efek tetratogen menyebabkan celah bibir atau celah palatum. Ada beberapa faktor selular yang terlibat dalam penyatuan prosesus fronto nasal dan maksilar. Diferensiasi sel epitel pada prosesus palatal mempunyai peranan penting pada proses penyatuan. Mekanisme terpenting diperantarai sel mesenkim dan prosesus palat al yang menginduksi diferensiasi sel epitel untuk membentuk baik sel epitel nasal bersilia maupun sel epitel sekuamosa bucal. Pada tikus telah ditemukan bahwa konsentrasi glukortikoid yang fisiologis, factor tubuh epidermal diperlukan untuk mencapai bentuk normal yang perubahan konsenyrasinya dapat menebabkan celah pada palatum.
11
2.5 Pathway
12
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labiopalatoschizis adalah:
Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar menjadi sengau
Maloklusi – pola erupsi gigi abnormal . Jika celah melibatkan tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah celah sering terjadi erupsi.
Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder . Dengan adanya celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.
Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan.
Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, sehingga kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
Pertumbuhan dan perkembangan terlambat . Dengan adanya celah pada bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu.
Akibatnya
bayi
menjadi
kekurangan
nutrisi
sehingga
menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris wajah.
Penyakit peri odontal . Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
13
Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan terjadinya crosbite.
Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra tubuh.
2.7 Penatalakanaan
Cara operasi yang umum dipakai adalah cara millard. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutupi bagian langitan ( palatoplasti ), dikerjakan sedini mungkin ( 15 – 24 bulan ) sebelum anak mampu berbicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, seringkali hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal ( tidak sengau ) sulit dicapai. Bila Ini telah dilakukan tetapi suara yang keluar masih sengau dapat dilakukan laringoplasti. Operasi ini adalah membuat bendungan pada faring untuk memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada umur 6 tahun keatas. Pada umur 8 -9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah alveolus atau maksila untuk memungkinkan ahli ortodonti mengatur pertumbuhan gigi di kanan kiri celah supaya normal. Graft tulang diambil dari bagian spongius kista iliaca. Tindakan operasi terakhir yang mungkin perlu dikerjakan setelah pertumbuhan tulang – tulang muka mendekati selesai, pada umur 15 – 17 tahun. Sering ditemukan hiperplasi pertumbuhan maksila sehingga gigi geligi depan atas atau rahang atas kurang maju pertumbuhannya. Dapat dilakukan bedah ortognatik memotong bagian tulang yang tertinggal pertumbuhannya dan mengubah posisinya maju ke depan. Dalam menangani masalah Labiopalatoskisis ini,pembedahan dilakukan untuk penutupan bibir dan palatum. Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah anak berumur 2 bulan, ketika anak telah menunjukkan kenaikan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi
14
oral, saluran napas, atau sistemik. Perbaikan pertama dapat direvisi saat berumur 4-5 tahun. Operasi hidung untuk mengatasi distorsi hidung sering dilakukan pada saat perbaikan bibir (Nelson, 2000). Namun rinoplasti atau operasi hidung bisa juga dilakukan saat berumur 3-6 bulan. Sedangkan untuk sumbing palatum, pembedahan dilakukan pada usia 18 bulan sampai 2,5 tahun ketika anak belum aktif berbicara. Satu bulan setelah palatoplasti (operasi palatum) dilakukan terapi wicara oleh terapis (Utama, 2012). Bila gusi juga terbelah (gnatoskisis) kelainannya menjadi labiognatopalatoskisis, perbaikan untuk gusi dilakukan pada saat usia 8-9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi (Nawasasi, 2005). Adapun kondisi yang perlu diperhatikan pada bayi untuk dapat dilakukan operasi antara lain:
Bayi harus dalam keadaan umum yang baik,
Tidak sakit ,
Tidak sedang infeksi,
Ketahanan tubuh bayi stabil dalam menerima tindakan operasi,
Asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan dan umur bayi.
Pembedahan pada bayi harus memperhatikan syarat yang dikenal dengan “Formula Ten” atau “Rule Of Ten” , yaitu : 1. Berat badan bayi sekurang-kurangnya 4,5 kg 2. Umur bayi minimal 10 minggu (3 bulan) 3. Hb lebih dari 10 gr %. 4. Leukosit < 10.000 mm3.
15
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan sebaiknya meliputi pengkajian fisiologis dan psikososial. Pada pengkajian fisiologis kelainan pada bibir dapat terobservasi pada saat kelahiran. Kelainan sumbing palatum terkaji selama fase neonatus pada saat pengkajian dengan palpasi palatum menggunakan jari. Pengkajian respon keluarga juga merupakan bagian yang penting karena kelainan, terutama pada wajah, dapat mengecewakan orang tua. Penatalaksanaan yang salah terhadap kelainan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan diri pada anak. Selain itu kaji tumbuh kembang anak dan interaksi sosial dengan lingkungannya. (Ball & Bindler, 2003: 589) Selain itu pada pengkajian didapatkan:
Terjadi kesukaran dalam menghisap, menelan, makan.
Terjadi penurunan bernafas, mudah tersedak, distres pernafasan dan aspirasi, dan dispneu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distorsi hidung, adanya celah
pada bibir apabila terjadi bibir sumbing (labioskisis), adanya rongga pada hidung, celah atau terbukanya langit-langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi sumbing palatum (palatoskisis). (Hidayat, 2006: 23-24)
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul terbagi dua, yaitu pada fase pre operatif dan post operatif.
1. Pre Operatif a.
Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan kelainan anatomi
b.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan
16
c.
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi dari kelahiran dengan cacat
2. Post Operatif a.
Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan
b.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik, insisi pembedahan
c.
Ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan
dengan
tindakan
pembedahan / perbaikan cacat d.
Defisit pengetahuan (keluarga) berhubungan dengan kurangnya pemaparan dan tidak lazim dengan sumber
e.
Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan makan
3.2.1
NOC Pre Operatif
1.
Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan kelainan anatomi Tujuan: bayi tidak mengalami penyumbatan / aspirasi NOC: Jalan nafas terpelihara: Terjadinya toleransi masukan enteral tanpa adanya aspirasi (Bayi tidak menunjukkan tanda distres respirasi).
2.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan Tujuan: Berat badan bayi akan bertambah NOC: Status nutrisi: jumlah makanan dan cairan yang masuk ke dalam tubuh selama 24 jam. Bayi mendapatkan nutrisi yang adekuat dan penambahan berat badan yang sesuai. Sukses dalam menyusui/meneteki jika ingin. Pemberian makan dengan nutrisi yang sesuai adalah pengalaman yang positif bagi orang tua dan bayi.
17
3.2.2
NIC Pre Operatif
1.
Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan
dengan kelainan anatomi. NIC: Tindakan pencegahan aspirasi Pencegahan/pengurangan faktor resiko pada pasien dengan resiko aspirasi. Intervensi : a.
Kaji status respiratori dan tanda-tanda vital minimal setiap dua jam.
b.
Posisikan tubuh miring setelah pemberian makan.
c.
Beri makanan secara perlahan dan gunakan alat yang sesuai. Misalnya: penggunaan dot yang lebih besar.
d.
Sendawakan
dengan
menepuk
punggung
bayi
setiap
pemberian cairan 15-30ml. e.
Angkat kepala saat pemberian makan.
f.
Dekatkan peralatan suction disamping tempat tidur.
Rasional: a.
Memungkinkan untuk identifikasi masalah lebih awal
b.
Mencegah aspirasi saat pemberian makan
c.
Memfasilitasi intake bersamaan dengan meminimalkan resiko aspirasi
d.
Membantu mencegah regurgitasi dan aspirasi
e.
Meminimalkan jalan makan melalui cleft
f.
Suction mungkin diperlukan untuk memindahkan susu atau mukus
2.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan NIC: Manajemen nutrisi: Penetapan intake makanan dan cairan yang seimbang. Intervensi:
18
a.
Kaji intake cairan dan kalori serta berat badan setiap hari (waktu dan penimbangan sama dengan bayi ditimbang tanpa menggunakan pakaian).
b.
Observasi kelemahan respirasi.
c.
Sediakan nutrisi 100-150 kalori/kg/hari dan cairan 100-130 ml/kg/hari. Jika bayi membutuhkan jumlah kalori tambahan untuk pertumbuhannya maka disarankan untuk konsultasi pada ahli gizi
d.
Fasilitasi pemberian ASI.
e.
Pertahankan posisi bayi dengan posisi semi duduk selama makan.
f.
Jelaskan
pada
Ibu
cara
menyusui
bayi
dengan
labiopalatoskisis.Seperti menutup celah bibir dan rangsang pengeluaran ASI. g.
Jika ibu tidak bisa atau tidak mau menyusui, maka anjurkan penggunaan botol susu.
h.
Tempatkan dot pada samping bibirr mulut bayi dan usahakan lidah mendorong makanan atau minuman kedalam. Gunakan dot yang lunak dan besar.
i.
Beri makan dalam jumlah yang sedikit secara perlahan.
j.
Tepuk punggung setiap 15-30 ml setelah minuman atau makanan diberikan.
k.
Berikan makanan lewat NGT bila bayi tidak dapat makan lewat mulut.
3.2.3 NIC Post Operatif :
1.
Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan
NIC: kontrol infeksi Meminimalkan akuisisi dan transmisi agen infeksius. Intervensi: a.
Kaji tanda-tanda vital setiap 2 jam
19
b.
Kaji rongga mulut setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, meliputi area yang lunak dan kemerahan, lesi, atau penampilan sekresi
c.
Bersihkan daerah jahitan dengan normal saline atau ar steril jika diperlukan
d.
Bersihkan daerah yang sumbing dengan memberikan 5-15ml air setelah makan
e.
Bila terbentuk kerak, gunakan cotton swab yang sudah diberi larutan peroksida
f.
Berikan krim antibiotik pada luka jahitan sesuai kebutuhan
g.
Selalu mencuci tangan dan menggunakan teknik sterilitas ketika melakukan tindakan pada luka jahitan.
2.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanika/
insisi pembedahan NIC:
Perawatan
luka:
pencegahan
komplikasi
luka
dan
mempercepat penyembuhan luka. Intervensi: a.
Posisikan bayi dengan perbaikan sumbing pada posisi satu (miring) atau belakang saja
b.
Gunakan penahan siku yang lembut. Lepaskan setiap 2 jam lalu pindahkan. Jangan meninggalkan bayi tanpa pengawasan ketika penahan dilepaskan
c.
Pertahankan metal bar (logan bow) atau steri-strips diatas sumbing bibir yang diperbaiki
d.
Jauhkan peralatan metal setelah perbaikan sumbing palatum
e.
Manajemen nyeri yang baik pada periode post operatif. Dorong keluarga untuk menjaga dan membuat nyaman anak.
f.
Berikan aktivitas perkembangan yang sesua seperti bergerak, musik, dll.
3.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan tindakan
pembedahan perbaikan cacat
20
NIC: manajemen jalan nafas: fasilitasi kepatenan jalan nafas Intervensi: a.
Kaji status respirasi dan monitor tanda vital setiap 2 jam
b.
Monitor kardiorespirator
c.
Pertahankan alat suction dan spuit makan di samping tempat tidur.
Lakukan
suction
orofaring
dan
nasofaring
bila
diperlukan d.
Sediakan cool mist selama 24 jam pertama postoperasi bila diperlukan
e.
Ubah posisi setiap 2 jam
f.
Perhatikan kemungkinan identifikasi masalah secepatnya
3.3 Evaluasi
1.
Kriteria evaluasi fase pre operatif, yaitu: a.
Tidak ada distres pernafasan dan respirasi normal dan adekuat
b.
Bonding orangtua-anak positif
c.
Ekspresi orangtua yang mendukung dan nyaman dalam keluarga dan komunitas
2.
d.
Pertumbuhan berat badan bayi normal
e.
Pengetahuan tentang kelainan, tatalaksana, dan kebutuhan bayi
Kriteria evaluasi fase post operatif, yaitu: a.
Tidak ada infeksi
b.
Area pembedahan sembuh dengan baik
c.
Tidak ada distres pernafasan
d.
Manajemen nyeri efektif
21
BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Bibir sumbing (cleft lip) merupakan suatu bentuk kelainan pada mulut ditandai dengan celah pada bibir atas yang biasanya terjadi pada seseorang sejak dilahirkan. Sedangkan cleft palatum adalah kelainan dimana terjadi celah pada langit-langit rongga mulut. Pada cleft palate ini celah menghubungkan langit rongga mulut dengan rongga hidung. Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi cukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkat kerusakan sesuai organ yang mengalami kecacatannya. Bila hanya dibibir disebut labioschizis, tapi bisa juga mengenai
gusi dan palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan
ini mempengaruhi keberhasilan operasi. Cacat bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena tidak terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu pembelahan sel pada masa kehamilan bisa menyebabkan kelainan tersebut, misal kekurangan zat besi, obat-obat tertentu, radiasi. Cleft lip and cleft palatum dapat mengarah ke beberapa
komplikasi
yang akan memperlambat
perkembangan dan
pertumbuhan bayi hingga dewasa. Seperti terjadinya gangguan bicara dan pendengaran, otitis media, distress pernafasan, resiko infeksi saluran nafas. Penanganan
labiopalatoskisis
harus
bersifat
komprehensif,
dengan
melakukan pendekatan multidisipiner yaitu spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog.
4.2
Saran
Bagi masyarakat khusunya ibu hamil dapat sesering mungkin untuk memeriksakan kehamilannya dan menghindari seminimal mungkin hal – hal yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada janin atau organ yang dikandungnya.
22
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu kedepannya, bagi para pembaca diharapkan dapat menyempurnakan isi dan materi makalah ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah (2003), Perawatan Anak Sakit, EGC. NIC-NOC (2015), Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA, MediAction. NIC (2016), Nursing Interventions Classification, Mocoedia. NOC (2016), Nursing Outcomes Classification, Mocomedia.
24