BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Proses pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses mutlak yang mesti dilalui setiap individu dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun individu yang menginginkan mengalami gangguan dalam kedua proses penting tersebut. Namun, akibat faktor genetik, ras, lingkungan dan gaya hidup telah menyebabkan sejumlah masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Seorang wanita hamil perokok misalnya, ia dapat mengakibatkan sejumlah kecacatan hingga kematian bayinya. Shaw,dkk. (1996, dikutip Wong, 2003: 455) menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok selama kehamilan dan meningkatnya resiko pembelahan orofasial atau yang biasa kita dengar sebagai bibir sumbing. Sumbing bibir dan sumbing palatum (cleft lip dan cleft palate) palate) atau disebut labiopalatoskisis merupakan salah satu kelainan fisik pada saluran gastrointestinal. Kelainan ini terjadi pada masa perkembangan embrio. Insiden celah bibir (sumbing) dengan atau tanpa adanya celah palatum kira-kira terdapat pada 1:600 kelahiran (Nelson, 2000:1282). 2000:1282). Mitchell & Wood (2000, dikutip dikutip Ball, 2003: 586) menyebutkan bahwa kejadian sumbing bibir terjadi dalam 1 dari setiap 700 kelahiran yang ada. Dan kejadian sumbing palatum sedikitnya 1: 2000 kelahiran (Balasubrahmanyam,dkk. 1998, dikutip Ball, 2003: 587). Insidens kejadian penyakit ini pun lebih sering pada penduduk pribumi pribumi Amerika dan Asia. Celah bibir dan palatum nyata sekali berhubungan erat secara embriologis, fungsionil, dan genetik. Celah bibir muncul akibat adanya hipoplasia lapisan mesenkim, menyebabkan kegagalan penyatuan prosesus nasalis media dan prosesus maksilaris. Celah palatum muncul akibat terjadinya kegagalan dalam mendekatkan atau memfusikan lempeng palatum. (Nelson, 2000: 1282) Cleft lip and cleft palatum dapat palatum dapat mengarah ke beberapa komplikasi yang akan memperlambat perkembangan dan pertumbuhan bayi hingga dewasa. Seperti terjadinya gangguan bicara dan pendengaran, otitis media, distress pernafasan, resiko infeksi saluran nafas (Suriadi & Yuliani, 2010: 154). Untuk itu sangat diperlukan pemahaman para perawat akan penyakit ini guna mengurangi kemungkinan terjadinya 1
komplikasi yang akan mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi dengan pemberian asuhan keperawatan yang tepat. Penatalaksanaan yang tepat juga diperlukan guna memperbaiki kelainan ini. Penanganan dengan pendekatan multidisipliner dan tindakan pembedahan akan diperlukan untuk memperbaiki anomali guna menghindari komplikasi lebih lanjut.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah 1. Untuk mengetahui definisi, patofisiologi dan etiologi labiopalatoskisis. 2. Untuk memahami manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang dan komplikasi dari labiopalatoskisis. 3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada kasus anak dengan labiopalatoskisis.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Labiopalatoschizis merupakan kelainan pada daerah mulut berupa labiosisis (sumbing pada bibir), dan palatosisis (sumbing pada palatum) yang diakibatkan oleh kegagalan penyatuan jaringan lunak atau struktur tulang selama masa perkembangan embrio. (Hidayat, 2008: 22). Cleft lip and cleft palate atau labiopalatoskisis merupakan kegagalan penyatuanatau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trisemester pertama. Sumbing bibir adalah terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan 6-8 minggu. Palato skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu. Bibir sumbing (cleft lip) merupakan suatu bentuk kelainan pada mulut ditandai dengan celah pada bibir atas yang biasanya terjadipada seseoragn sejak dilahirkan. Sedangkan cleft palatum adalah kelainan dimana terjadi celah pada langit-langit rongga mulut. Pada cleft palate ini celah menghubungkan langit rongga mulut dengan rongga hidung. (dalam www.infokesehatan.com) Jenis kelainan cleft (sumbing), berdasarkan organ yang terlibat yaitu: a. Celah di bibir (labioskisis) b. Celah di gusi (gnatoskisis) c. Celah di langit mulut (palatoskisis) d. Celah terjadi pada lebih dari organ. Misal ,terjadi di bibir dan langit-langit (labiopalatoskisis) atau terjadi pada bibir, palatum hingga mengenai gusi bagian atas (labio gnatopalatoskisis).
3
Beberapa jenis bibir sumbing : a. Unilateral Incomplete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung. b. Unilateral complete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan memanjang hingga ke hidung. c. Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
4
B. Patofisiologi Genetik
Lingkungan:
Perubahan konsentrasi
Fraktur herediter
teratogen
glukokortikoid &perubahan faktor epidermal
Minggu ke 5 kehamilan
Prosesus maksilaris tumbuh kedua arah
Anterior
Penyatuan dengan
Medial
Sel mesenkim sebagai penginduksi
Diferensiasi sel epitel
Gagal menyatu
pembentukan prosesus
pada prosesus palatal
frontonasal (pada 2 titik dibawah lubang hidung untuk membentuk bibir
Celah kecil s/d
atas)
kelainan hebat
Bergabung dengan sepptum nasalis di
pada wajah
garis tengah
Bibir saja/meluas; lubang hidung,
Gagal bergabung
tulang maxila, gigi
Gangguan bicara, gangguan
Celah pada tekak, palato labioskisis
menghisap, dll
Komplikasi: - Gangguan pendengaran - Otitis media - Distres pernafasan - Resiko infeksi saluran pernafasan - Tumbang terhambat
lunak dan keras, distorsi hidung
Palatoskisis (kehamilan Terjadi bersama:
9 minggu)
labiopalatoskisis
5 pembedahan
-
Gangguan bicara
-
Aspirasi, dll.
C. Etiologi
Sumbing bibir disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus maksilaris dan frontonasalis selama minggu ke enam usia gestasi. Pada kasus bilateral, premaksila mengalami anteversi. Masalah ini selalu berkaitan dengan deformitas nasal. Sumbing palatum dapat berdiri sendiri tau bersama dengan sumbing bibir. Ini disebabkan oleh kegagalan fusi prosesus palatinum dan septum nasi. Sumbing data menyebabkan regurgitas nasal makanan, dan kemudian “suara sumbing palatum” karena kebocoran nasal. (Meadow & Newell, 2005: 174). Kelainan kongenital seperti tracheoesophalangeal fistula, omphalocele, trisomi 13, dan displasia skeletal dihubungkan dengan kejadian cleft lip dan cleft palate sekitar 20-30% dari kasus. Terdapat kasus yang meningkat pada keluarga dengan riwayat sumbing bibir atau sumbing palatum. (Wong, 2003: 587) Penyebabnya
bersifat
multifaktorial,
meliputi
gabungan
antara
faktor
lingkungan dan genetik. Diantaranya abnormalitas kromosom, faktor lingkungan atau teratogen, obat-obatan, nutrisi saat kehamilan, dan ibu hamil yang merokok.
Secara garis besar penyebab sumbing bibir dan palatum adalah sebagai berikut: 1. Kegagalan fase embrio penyebabnya belum diketahui 2. Fraktur herediter 3. Dapat dikaitkan dengan abnormal kromosom (sindrom patau/ trisomi 13), mutasi gen, dan teratogen (agen atau faktor yang menimbulkan cacat pada masa embrio) 4. Obat-obatan, seperti phenytoin, asam valproat, thalidomine, dan dioxin pestisida. 5. Nutrisi saat kehamilan, contohnya pada keadaan kekurangan atau defisiensi asam folat, mengkonsumsi alkohol dan rokok selama hamil.
D. Manifestasi Klinik
Tanda yang paling jelas adalah tampak celah pada bibir atas. Bayi akan kesulitan menghisap ASI dan kesulitan dalam berbicara. Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengarannya. Biasanya cleft palate dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigi geliginya (menjadi berjajal). (dalam www.infokesehatan.com) 6
Manifestasi klinis lainnya yang terlihat pada cleft lip dan cleft palatum sebagai berikut: 1. Pada Labio skisis 1) Distorsi pada hidung (kelainan bentuk pada hidung, seperti asimetris cuping hidung atau nostril, adanya celah hidung pada palatum). 2) Tampak sebagian atau keduanya 3) Adanya celah pada bibir
2. Pada Palatoskisis 1) Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, dan keras dan atau foramen incisive 2) Adanya rongga pada hidung 3) Distorsi hidung 4) Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari 5) Kesukaran dalam menghisap atau makan (Suriadi & Yuliani, 2001: 154-155)
E. Pemeriksaan Penunjang
`Pemeriksaan diagnostik meliputi: 1. Foto rotgen 2. Pemeriksaan fisik 3. MRI( Magnetic Resonance Imaging) untuk elevasi abnormal (Suriadi & Yuliani, 2001: 155).
F. Komplikasi
Otitis media berulang dan ketulian sering terjadi. Jarang dijumpai kasus karies gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik diperlukan apabila terdapat kesalahan dalam penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi. Cacat wicara bisa ada tau menetap meskipun penutupan palatum secara anatomik telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara yang demikian ditandai dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualita hipernasal bila membuat suara tertentu. `baik sebelum maupun setelah operasi palatum, cacat wicara disebabkan oleh fungsi otot palatum dan faring yang tidak adekuat. Selama 7
proses menelan dan pada saat mengeluarkan suara tertentu, otot-otot palatum molle dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu katup yang memisahkan nasofaring dengan orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi secara adekuat, anak sukar menciptakan tekanan yang cukup didalam mulutnya dan membuat suara ledakan seperti p,b, d, t, h, y atau bunyi berdesis s, sh, ch. Kemungkinan terapi bicara ( speech theraphy) diperlukan setelah tindakan pembedahan. (Nelson,2000: 256)
G. Penatalaksanaan
Dalam menangani masalah Labiopalatoskisis ini, pembedahan dilakukan untuk penutupan bibir dan palatum. Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah anak berumur 2 bulan, ketika anak telah menunjukkan kenaikan berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran napas, atau sistemik. Perbaikan pertama dapat direvisi saat berumur 4-5 tahun. Operasi hidung untuk mengatasi distorsi hidung sering dilakukan pada saat perbaikan bibir (Nelson, 2000). Namun rinoplasti atau operasi hidung bisa juga dilakukan saat berumur 3-6 bulan. Sedangkan untuk sumbing palatum, pembedahan dilakukan pada usia 18 bulan sampai 2,5 tahun ketika anak belum aktif berbicara. Satu bulan setelah palatoplasti (operasi palatum) dilakukan terapi wicara oleh terapis (Utama, 2012). Bila
gusi
juga
terbelah
(gnatoskisis)
kelainannya
menjadi
labiognatopalatoskisis, perbaikan untuk gusi dilakukan pada saat usia 8-9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi (Nawasasi, 2005). Adapun kondisi yang perlu diperhatikan pada bayi untuk dapat dilakukan operasi antara lain, bayi harus dalam keadaan umum yang baik, tidak sakit , tidak sedang infeksi, ketahanan tubuh bayi stabil dalam menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan dan umur bayi. Pembedahan pada bayi harus memperhatikan syarat yang dikenal dengan Formula Ten atau Rule of Ten , yaitu : “
”
1. Berat badan bayi sekurang-kurangnya 10 pon (4,5 kg). 2. Umur bayi minimal 10 minggu. 3. Hb lebih dari 10 gr %. 4. Leukosit < 10.000 mm3
8
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan sebaiknya meliputi pengkajian fisiologis dan psikososial. Pada pengkajian fisiologis kelainan pada bibir dapat terobservasi pada saat kelahiran. Kelainan sumbing palatum terkaji selama fase neonatus pada saat pengkajian dengan palpasi palatum menggunakan jari. Pengkajian respon keluarga juga merupakan bagian yang penting karena kelainan, terutama pada wajah, dapat mengecewakan orang tua. Penatalaksanaan yang salah terhadap kelainan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan diri pada anak. Selain itu kaji tumbuh kembang anak dan interaksi sosial dengan lingkungannya. (Ball & Bindler, 2003: 589) Selain itu pada pengkajian didapatkan :terjadi kesukaran dalam menghisap, menelan, makan, terjadi penurunan bernafas, mudah tersedak, distres pernafasan dan aspirasi, dan dispneu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distorsi hidung, adanya celah pada bibir apabila terjadi bibir sumbing (labiosisis), adanya rongga pada hidung, celah atau terbukanya langit-langit, adanya celah pada uvula apabila terjadi sumbing palatum (palatosisis). (Hidayat, 2006: 23-24)
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul terbagi dua, yaitu pada fase preoperatif dan postoperatif. 1.
Preoperatif a.
Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan kelainan anatomi
b.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan
9
c.
Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi dari kelahiran dengan cacat
2. Postoperatif a. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik, insisi pembedahan c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan tindakan pembedahan / perbaikan cacat d. Defisit pengetahuan (keluarga) berhubungan dengan kurangnya pemaparan dan tidak lazim dengan sumber e. Gangguan
nutrisi:
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
ketidakmampuan makan
C. Tujuan Preoperatif
1. Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan kelainan anatomi Tujuan: bayi tidak mengalami penyumbatan / aspirasi NOC : Jalan nafas terpelihara: Terjadinya toleransi masukan enteral tanpa adanya aspirasi (Bayi tidak menunjukkan tanda distres respirasi). 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan Tujuan : Berat badan bayi akan bertambah NOC: Status nutrisi: jumlah makanan dan cairan yang masuk ke dalam tubuh selama 24 jam. o
Bayi mendapatkan nutrisi yang adekuat dan penambahan berat badan yang sesuai
o
Sukses dalam menyusui/meneteki jika ingin
o
Pemberian makan dengann nutrisi yang sesuai adalah pengalaman yang positif bagi orang tua dan bayi
10
D. Intervensi Preoperatif
1.
Resiko aspirasi (air susu, formula makanan, sekret) berhubungan dengan kelainan anatomi NIC : Tindakan pencegahan aspirasi Pencegahan/pengurangan faktor resiko pada pasien dengan resiko aspirasi. Intervensi : a. Kaji status respiratori dan tanda-tanda vital minimal setiap dua jam. b. Posisikan tubuh miring setelah pemberian makan. c. Beri makanan secara perlahan dan gunakan alat yang sesuai. Misalnya: penggunaan dot yang lebih besar. d. Sendawakan dengan menepuk punggung bayi setiap pemberian cairan 15-30ml. e. Angkat kepala saat pemberian makan. f. Dekatkan peralatan suction disamping tempat tidur. Rasional: a. Memungkinkan untuk identifikasi masalah lebih awal
b. Mencegah aspirasi saat pemberian makan c. Memfasilitasi intake bersamaan dengan meminimalkan resiko aspirasi d. Membantu mencegah regurgitasi dan aspirasi e. Meminimalkan jalan makan melalui cleft f. Suction mungkin diperlukan untuk memindahkan susu atau mukus
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan bayi menelan makanan NIC : Manajemen nutrisi: Penetapan intake makanan dan cairan yang seimbang. Intervensi : a. Kaji intake cairan dan kalori serta berat badan setiap hari (waktu dan penimbangan sama dengan bayi ditimbang tanpa menggunakan pakaian). b. Observasi kelemahan respirasi. c. Sediakan nutrisi 100-150 kalori/kg/hari dan cairan 100-130 ml/kg/hari. Jika bayi membutuhkan jumlah kalori tambahan untuk pertumbuhannya maka disarankan untuk konsultasi pada ahli gizi. 11
d. Fasilitasi pemberian ASI. e. Pertahankan posisi bayi dengan posisi semi duduk selama makan. f. Jelaskan pada Ibu cara menyusui bayi dengan labiopalatoskisis.Seperti menutup celah bibir dan rangsang pengeluaran ASI. g. Jika ibu tidak bisa atau tidak mau menyusui, maka anjurkan penggunaan botol susu. h. Tempatkan dot pada samping bibirr mulut bayi dan usahakan lidah mendorong makanan atau minuman kedalam. Gunakan dot yang lunak dan besar. i.
Beri makan dalam jumlah yang sedikit secara perlahan.
j.
Tepuk punggung setiap 15-30 ml setelah minuman ata u makanan diberikan.
k. Berikan makanan lewat NGT bila bayi tidak dapat makan lewat mulut.
Post Operatif
1. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan NIC: kontrol infeksi Meminimalkan akuisisi dan transmisi agen infeksius Intervensi: a.
Kaji tanda-tanda vital setiap 2 jam
b.
Kaji rongga mulut setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan, meliputi area yang lunak dan kemerahan, lesi, atau penampilan sekresi
c.
Bersihkan daerah jahitan dengan normal saline atau ar steril jika diperlukan
d.
Bersihkan daerah yang sumbing dengan memberikan 5-15ml air setelah makan
e.
Bila terbentuk kerak, gunakan cotton swab yang sudah diberi larutan peroksida
f.
Berikan krim antibiotik pada luka jahitan sesuai kebutuhan
g.
Selalu mencuci tangan dan menggunakan teknik sterilitas ketika melakukan tindakan pada luka jahitan.
2.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanika/ insisi pembedahan NIC: perawatan luka: pencegahan komplikasi luka dan mempercepat penyembuhan luka a.
Posisikan bayi dengan perbaikan sumbing pada posisi satu (miring) atau belakang saja
b.
Gunakan penahan siku yang lembut. Lepaskan setiap 2 jam lalu pindahkan. Jangan meninggalkan bayi tanpa pengawasan ketika penahan dilepaskan 12
c.
Pertahankan metal bar (logan bow) atau steri-strips diatas sumbing bibir yang diperbaiki
d.
Jauhkan peralatan metal setelah perbaikan sumbing palatum
e.
Manajemen nyeri yang baik pada periode postoperatif. Dorong keluarga untuk menjaga dan membuat nyaman anak.
f.
Berikan aktivitas perkembangan yang sesua seperti bergerak, musik, dll.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan tindakan pembedahan / perbaikan cacat NIC: manajemen jalan nafas: fasilitasi kepatenan jalan nafas Intervensi: a. Kaji status respirasi dan monitor tanda vital setiap 2 jam b. Monitor kardiorespirator c. Pertahankan alat suction dan spuit makan di samping tempat tidur. Lakukan suction orofaring dan nasofaring bila diperlukan d. Sediakan cool mist selama 24 jam pertama postoperasi bila diperlukan e. Ubah posisi setiap 2 jam f.
Perhatikan kemungkinan identifikasi masalah secepatnya
E. Evaluasi
1.
Preoperatif Kriteria evaluasi fase preoperatif, yaitu:
2.
a.
Tidak ada distres pernafasan dan respirasi normal dan adekuat
b.
Bonding orangtua-anak positif
c.
Ekspresi orangtua yang mendukung dan nyaman dalam keluarga dan komunitas
d.
Pertumbuhan berat badan bayi normal
e.
Pengetahuan tentang kelainan, tatalaksana, dan kebutuhan bayi
Postoperatif Kriteria evaluasi fase postoperatif, yaitu: a.
Tidak ada infeksi
b.
Area pembedahan sembuh dengan baik
c.
Tidak ada distres pernafasan 13
d.
Manajemen nyeri efektif
e.
Keseimbangan cairan dan elektrolit dan peningkatan berat badan yang adekuat
f.
Orang tua dapat menjelaskan prinsip perawatan bayi dan cara pemberian makan.
14
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Bibir sumbing (cleft lip) merupakan suatu bentuk kelainan pada mulut ditandai dengan celah pada bibir atas yang biasanya terjadipada seseoragn sejak dilahirkan. Sedangkan cleft palatum adalah kelainan dimana terjadi celah pada langit-langit rongga mulut. Pada cleft palate ini celah menghubungkan langit rongga mulut dengan rongga hidung. Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensicukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkant kerusakan sesuaiorgan yang mengalami kecacatannya. Bila hanya dibibir disebut labioschizis, tapi bisa juga mengenai gusi dan palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan ini mempengaruhi keberhasilan operasi. Cacat bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena tidak terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu pembelahan sel pada masa kehamilan bisa menyebabkan kelainan tersebut, misal kekurangan zat besi, obat-obat tertentu, radiasi. Cleft lip and cleft palatum dapat mengarah ke beberapa komplikasi yang akan memperlambat perkembangan dan pertumbuhan bayi hingga dewasa. Seperti terjadinya gangguan bicara dan pendengaran, otitis media, distress pernafasan, resiko infeksi saluran nafas. Penanganan labiopalatoskisis harus bersifat komprehensif, dengan melakukan pendekatan multidisipiner yaitu spesialis bidang kesehatan anak, bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi dan audiolog.
B. Saran
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu kedepannya, bagi para pembaca diharapkan dapat menyempurnakan isi dan materi makalah ini.
15
LAMPIRAN Gambar 1. Contoh Labioskisis Unilateral (Incomplete)
Gamba 2. Contoh Palatoskisis
Gambar 3. Contoh Labiognatopalatoskisis
16
Gambar 4. Dot khusus digunakan pada anak dengan labiopalatoskisis
Gambar 5. Posisi memberi makan pada bayi dengan gangguan cleft
Gambar 6. Posisi dot saat dimasukkan ke dalam mulut anak
17
DAFTAR PUSTAKA
Ball, Jane W., & Bindler, Ruth. (2003). Pediatric nursing:caring for children, Ed.3. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc. Hidayat, Aziz Alimul A. (2008). Pengantar ilmu keperawatan anak . Jakarta: Salemba Medika. Nelson, Waldo E. (2000). Ilmu kesehatan anak Nelson, Ed. 15. Jakarta: EGC. Suriadi, & Yuliani, Rita. (2010). Asuhan keperawatan pada anak, Ed.2. Jakarta: CV. Sagung Seto. Wong, D.L. (2003). Wong’s nursing care of infants and children. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc. Penatalaksanaan pada cleft lip, (2013, http: www.infokesehatan.com, diperoleh 27 Oktober, 2013).
18
LAMPIRAN
KEPERAWATAN ANAK FORMAT PENILAIAN SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN (Penilaian Kelompok) Judul : Labiopalatoschizis
No
Kriteria
Skor 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
3
Persiapan kelompok Latar belakang Tinjauan pustaka Pembahasan Kesimpulan dan saran Kedalaman materi Teknik penulisan makalah Daftar pustaka Kemampuan menjawab pertanyaan Kemampuan presentasi Penggunaan media Pemanfaatan waktu Kekompakan kelompok Total Nilai: Total Skor x 10% 13
Angt
2
Nilai Individu: 1. .............................................. 2. .............................................. 3. .............................................. 4. .............................................. 5. .............................................. 19
=
4
Indralaya, Pembimbing
(
20
)