51
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat adanya nekrosis hepatoselular.
Sirosis hati mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di Amerika. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.
Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau C. Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen.
Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Walaupun sampai saat ini belum ada bukti bahwa penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini diharapkan dapat memperpanjang status kompensasi dalam jangka panjang dan mencegah timbulnya komplikasi.
Asites merupakan komplikasi utama dari sirosis, terjadi pada 50% pasien yang diikuti selama lebih dari 10 tahun. Perkembangan asites penting dalam perjalanan alamiah sirosis karena dikaitkan dengan mortalitas 50% lebih dari dua tahun dan menandakan kebutuhan untuk mempertimbangkan transplantasi hati sebagai terapi pilihan. Sebagian besar (75%) dari pasien yang hadir dengan asites yang mendasarinya adalah sirosis, dengan sisanya karena keganasan (10%), gagal jantung (3%), TBC (2%), pankreatitis (1%), dan penyebab langka lainnya. Di UK kematian karena sirosis telah meningkat dari 6 per 100.000 penduduk di 1993- menjadi 12,7 per 100.000 penduduk di tahun 2000. Sekitar 4% dari populasi memiliki fungsi hati yang abnormal atau penyakit hati, dan sekitar 10-20% dari mereka dengan salah satu dari tiga penyakit hati kronis yang paling umum (perlemakan hati non-alkoholik, penyakit hati alkoholik, dan hepatitis C kronis). Dengan meningkatnya frekuensi penyakit perlemakan hati alkoholik dan non-alkoholik, akan terjadi peningkatanbesar dalam beban penyakit hati yang diperkirakan selama beberapa tahun mendatang dengan peningkatan komplikasi sirosis.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana proses anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosa banding, pemeriksaan penunjang, diagnosa kerja, dan penatalaksanaan pasien Ny.S dengan diagnosa Sirosis Hepatis?
I.3 Tujuan
Mengetahui proses anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosa banding, pemeriksaan penunjang, diagnosa kerja, dan penatalaksanaan pasien T Ny.S dengan diagnosa Sirosis Hepatis.
I.4 Manfaat
Menambah wawasan mengenai ilmu penyakit dalam khususnya infark miokard akut.
Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam.
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Tidar 125 C Kauman RT 02/RW 04 Blitar
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal MRS : Jum'at, 13 Februari 2015
II.2 Anamnesa
Keluhan utama : Muntah bercampur darah
Keluhan Penyerta : Mual, BAB hitam, lemas, nafsu makan menurun
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Mardi Waluyo Blitar pukul 04.30 WIB dengan keluhan muntah bercampur darah berwarna merah kehitaman 2 kali sejam yang lalu. Sebelum muntah darah, diawali dengan rasa mual. Buang air besar berwarna hitam. Badan terasa lemas, nafsu makan menurun, berat badan merasa menurun.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa : pernah mengalami muntah darah sebelumnya
Riwayat sakit gula : -
Riwayat darah tinggi : -
Riwayat sakit jantung : -
Riwayat alergi obat : -
Riwayat alergi makanan : -
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa : -
Riwayat darah tinggi : -
Riwayat jantung : -
Riwayat sakit gula : -
Riwayat pengobatan : -
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : -
Riwayat minum kopi : -
Riwayat minum alkohol : -
Riwayat olahraga : jarang olahraga
Riwayat pengisian waktu luang : istirahat di rumah
Riwayat Sosial Ekonomi : cukup
Riwayat Gizi : makan tidak teratur, 2-3 kali sehari dengan lauk daging, ikan, telur dan sayur.
II.3 Anamnesis Sistem
Kulit
Kulit kering (-), Gatal (-), pucat (+), keringat (-)
Kepala
Sakit kepala (-), Pusing (-), rambut mudah rontok (-), luka pada kepala (-)
Mata
Pandangan mata berkunang-kunang (-/-), Penglihatan Kabur (-/-), ketajaman penglihatan berkurang (-/-)
Hidung
Tersumbat (-/-), mimisan (-/-)
Telinga
Pendengaran berkurang (-), berdengung (-/-), keluar cairan (-/-), nyeri (-/-)
Mulut
Sariawan (-), mulut kering (-), lidah pahit (-)
Tenggorokan
Sakit menelan (-), serak (-)
Leher
Kaku (-), nyeri tengkuk (-), benjolan (-), leher terasa berat
Pernafasan
Sesak nafas (-), batuk (-)
Kardiovaskuler
Berdebar – debar (-), nyeri dada (-)
Gastrointestinal
Mual (+), muntah darah (+), nyeri perut (-), melena (+), konstipasi (-)
Perkemihan
Warna (kuning keruh), BAK lancar, nyeri (-)
Neurologis
Kejang (-), lumpuh (-), kesemutan dan rasa tebal kedua kaki dan tangan (-)
Muskuloskeletal
Kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (-), lemah otot (-)
Ekstremitas
Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-), terasa berat
Bawah kanan : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), luka (-)
II.4 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum :
Kesan : lemas
Kesadaran : compos mentis
GCS : 456
Vital sign :
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 84x/mnt, reguler
RR : 20x/mnt
Suhu : 36,20C
Kulit
Warna coklat, sianosis (-), jaundice (-), turgor normal, makula (-), papula (-), pustula (-), tumor (-)
Kepala
Bentuk normocephal, tumor (-), mudah dicabut (-), warna putih, makula (-), papula (-).
Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+)
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas hidung (-)
Mulut
Bibir pucat (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), Sianosis (-)
Telinga
Pendengaran berkurang (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), serumen (- /-)
Tenggorokan
Tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-)
Leher
Trakea ditengah (-), pembesaran KGB (-), pembesaran kelajar tiroid (-), JVP tidak meningkat
Thoraks
Bentuk normochest, simetris (+), tipe pernafasan thorakoabdominal, retraksi intercostal (-), retraksi subpraklavicular (-)
Jantung : I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis kuat angkat di ICS V MCL
P : batas kiri atas : ICS II 1 cm lateral PSL line
batas kanan atas : ICS II PSL dekstra
batas kiri bawah : ICS V 1 cm lateral MCL sinistra
batas kanan bawah : ICS IV PSL dekstra
kesan batas jantung : normal
A : BJ I-II tunggal, intensitas normal, regular, bunyi jantung III-IV (-), murmur (-), gallop (-)
Paru : I : bentuk dada simetris, pengembangan dada simetris P : taktil fremitus simetris D/S
P : sonor/sonor
sonor/sonor
sonor/sonor
A : vesiculer D/S (+/+)
vesiculer D/S (+/+)
vesiculer D/S (+/+)
rhonchi D/S (-/-)
rhonchi D/S (-/-)
rhonchi D/S (-/-)
wheezing (-/-) semua lapangan paru
Abdomen
Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
A : peristaltik normal
P : timpani bagian medial dan redup dibagian lateral
P : distended, nyeri tekan (+)
Genitourinari
I: warna urin kuning keruh, hematuri (-), tumor (-)
P: distensi vesica urinaria (-), ginjal D/S tidak teraba, nyeri tekan (-), tumor (-)
P: nyeri ketok ginjal (-)
Sistem Collumna Vertebralis
I: deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
P: nyeri tekan (-)
P: nyeri ketok collumna vertebralis (-/-).
Ekstremitas
Palmar eritema (-/-), capilari refil time 2 detik
Akral dingin oedem ulkus
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
Neurologi
Fungsi vegetatif : defekasi normal
Fungsi sensorik
N
N
N
N
Fungsi Motorik
+
+
-
-
+
+
-
-
RF RP
II.5 Diagnosis Banding
Hematemesis melena
Ascites
Sirosis Hepatis
Anemia
II.6 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 13 Februari 2015
Jenis Tes
Hasil Tes
Hasil Tes normal
Interprestasi hasil
Hemoglobin
7.82
11,5-16 g/dL
Menurun
Hitung leukosit
9.510
4000-11000/cmm
Normal
LED/BBS
52-103
0-20/jam
Meningkat
Hitung jenis
1/-/-/76/12/11
1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7
Shift to right
Hitung erytrosite
2.630.000
3.0-6.0 Jt/cmm
Menurun
Hitung trombosite
94.000
150.000-450.000/cmm
Menurun
Hematokrit
24.0
35-47%
Menurun
MCV/MCH/MCHC
91.3/29.8/32.6
80-97fl/ 27-31pg/ 32-36%
Normal
Serum creatinin
1.4
0.5-1.2 mg/dl
Meningkat
Ureum
51
15-45 mg/dl
Meningkat
SGOT
41
< 31`u/L
Meningkat
SGPT
40
< 31 u/L
Meningkat
Albumin
2.15
3.8-5.1 g/dL
Menurun
Hasil USG Abdomen: Parenchymal liver disease dengan splenomegali dan ascites
II.7 Diagnosa Kerja
Hematemesis melena
Ascites
Sirosis Hepatis
Anemia
Hypoalbuminemia
II.8 Penatalaksanaan
Norepinephrine (vascon 0,35γ sampai 12 jam kemudian tappering down 0,1 γ tiap 2 jam)
Farmakologi
Norepinephrine adalah suatu amin simpatomimetik, yang terutama bekerja melalui efek langsung pada reseptor α dan reseptor β di jantung. Itulah yang menyebabkan vasokonstriksi perifer (aksi α-adrenergik), dan efek inotropik positif pada jantung serta dilatasi arteri koroner (aksi β-adrenergik). Aksi ini mengakibatkan peningkatan tekanan darah sistemik dan aliran darah arteri koroner.
Pada infark miokard yang disertai dengan hipotensi, norepinephrine biasanya meningkatkan tekanan darah aorta, aliran darah arteri koroner, dan oksigenasi miokard, sehingga akan membantu membatasi area iskemia dan infark miokard. Venous return meningkat dan jantung cenderung kembali ke kecepatan dan ritme yang lebih normal dibandingkan saat keadaan hipotensi.
Pada hipotensi yang menetap setelah dilakukan koreksi terhadap kekurangan volume darah, norepinephrine membantu meningkatkan tekanan darah ke tingkat optimal dan menghasilkan sirkulasi yang lebih adekuat. Namun, efek norepinephrine pada reseptor β1 kurang bila dibandingkan dengan epinephrine atau isoproterenol. Diyakini bahwa efek α-adrenergik dihasilkan dari hambatan terhadap produksi cyclic adenosine-3',5'-monophosphate (AMP) dengan cara menghambat enzim adenil siklase, di mana efek β-adrenergik dihasilkan dari stimulasi aktivitas adenil siklase.
Farmakokinetik
Absorpsi
Norepinephrine per oral dirusak pada saluran cerna, dan absorpsinya rendah setelah injeksi subkutan. Setelah pemberian secara IV, terjadi respon pressor secara cepat. Obat ini mempunyai lama kerja yang pendek, dan kerja sebagai pressor berhenti dalam waktu 1-2 menit setelah infus dihentikan.
Distribusi
Norepinephrine terutama terletak pada susunan saraf simpatis. Obat ini dapat melewati plasenta tetapi tidak dapat melewati sawar darah otak.
Eliminasi
Aksi farmakologi norepinephrine terutama berakhir dengan ambilan dan metabolisme pada ujung saraf simpatis. Obat ini dimetabolisme di hati dan jaringan lain dengan kombinasi reaksi-reaksi yang melibatkan enzim catechol-O-methyltransferase (COMT) dan monoamine oxidase (MAO). Metabolit utamanya adalah normetanephrine and 3-methoxy-4-hydroxy mandelic acid (vanillylmandelic acid, VMA), keduanya merupakan metabolit yang inaktif. Metabolit inaktif lainnya adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol, 3,4-dihydroxymandelic acid, and 3,4-dihydroxyphenylglycol. Metabolit norepinephrine diekskresi di urin, terutama sebagai konjugat sulfat dan dengan jumlah yang lebih sedikit sebagai konjugat glukuronida. Hanya dalam jumlah kecil norepinephrine yang diekskresikan dalam bentuk utuh.
Indikasi
Untuk mengontrol tekanan darah pada keadaan hipotensi akut (seperti, pheochromocytomectomy, sympathectomy, poliomyelitis, spinal anesthesia, infark miokard, septikemia, transfusi darah, dan reaksi obat). Sebagai terapi tambahan pada henti jantung dan hipotensi berat. Untuk memperbaiki dan mempertahankan tekanan darah yang adekuat setelah denyut jantung dan ventilasi jantung efektif telah dicapai dengan cara lain.
kontraindikasi
Norepinephrine tidak boleh diberikan pada pasien hipotensi karena kekurangan volume darah, kecuali dalam keadaan emergensi untuk mempertahankan perfusi arteri koroner dan serebral sampai terapi penggantian volume darah dapat diberikan. Jika norepinephrine diberikan secara kontinyu untuk mempertahankan tekanan darah tetapi penggantian kekurangan volume darah tidak dilakukan, dapat terjadi hal-hal berikut: vasokonstriksi perifer dan viseral yang berat, penurunan perfusi ginjal dan pengeluaran urin, gangguan aliran darah sistemik meskipun tekanan darah "normal", hipoksia jaringan, dan asidosis laktat.
Norepinephrine juga tidak boleh diberikan kepada pasien dengan trombosis pembuluh darah mesenterium atau pembuluh darah perifer (karena risiko peningkatan iskemia dan perluasan area infark) kecuali, jika dokter yang menangani berpendapat bahwa pemberian injeksi norepinephrine perlu untuk prosedur menyelamatkan hidup pasien.
Anestetik siklopropana dan halotan meningkatkan iritabilitas otonom jantung, sehingga menimbulkan sensitisasi myocardium terhadap kerja norepinephrine atau epinephrine yang diberikan secara intravena. Karena itu, penggunaan norepinephrine selama pemberian siklopropana dan anestesi halotan umumnya dikontraindikasikan, karena risiko terjadinya takikardia atau fibrilasi ventrikular. Aritmia jantung dengan tipe yang sama dapat terjadi akibat penggunaan norepinephrine pada pasien dengan hipoksia atau hypercarbia yang berat
Dosis
Encerkan 4 mL dalam 1000mL larutan dekstrosa 5% lalu berikan secara infus intravena dengan kecepatan awal 2-3 mL/mnt dan dosis pemeliharaan 0,5-1 mL/mnt.
Pemberian obat
Melalui infus intravena
Perhatian
Hipertensi
harus diberikan pada vena besar terutaa vena antecubiti
Hindari pemberian pada vena tungkai pada pasien lansia, Hamil, menyusui, pasien anak.
Efek Samping
Hipoksia jaringan (cedera iskemik)
Bradikardia
Aritmia
Anxietas (kecemasan)
Sakit kepala
Dispnea (sulit bernafas)
Nekrosis pada tempat injeksi
Deplesi volume plasma pada pemakaian lama
Interaksi Obat
Siklopropan
Digitalis
Halotan
MAOI (anti depresan trisiklik)
Triptilin
Imipramin
Furosemid
Diuretik lain
Transfusi PRC 2 kolf
PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3) dari plasma dibuang.(1) Satu unit PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml dengan kadar hematokrit 70-80%, volume plasma 15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya pembawa oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu penyimpanan sama dengan darah lengkap.
Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda "oksigen need" (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oksigen need hilang. Biasanya pada Hb 8-10 gr/dl.
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 %.
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap :
Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal
Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.
Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.
Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal.
Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat dibuat menjadi komponen-komponen yang lain.
Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah donor. Sehingga pada pasien yang memerlukan transfusi berulang, misalnya pasien talasemia, paroksismal nocturnal hemoglobinuria, anemia hemolitik karena proses imunologik, dsb serta pasien yang pernah mengalami reaksi febrile sebelumnya (reaksi terhadap lekosit donor) Untuk mengurangi efek samping komponen non eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline sebanyak tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat disimpan selama 4 jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera diberikan
Transfusi albumin 20% 100 cc
Albumin memainkan peran penting dalam mempertahankan homeostasis dalam tubuh dan tergantung pada membran sel dan mekanisme transportasi, termasuk difusi, osmosis, filtrasi, dan transpor aktif. Protein terlarut, yang merupakan satu-satunya zat yang tidak menembus pori-pori membran kapiler, bertanggung jawab untuk tekanan osmotik membran kapiler. Sekitar 75 % dari total tekanan osmotik koloid adalah terkait dengan albumin.
Albumin diproduksi oleh hati. Di antara banyak fungsi yang kemampuannya untuk mempertahankan tekanan onkotik intravaskular, memfasilitasi transportasi zat, dan bertindak sebagai scavenger radikal bebas. Tingkat albumin tergantung pada kesehatan atau keadaan penyakit dari tubuh. Ketika tingkat jatuh di bawah normal, penilaian dan pengobatan pasien yang diperlukan. Terapi penggantian kontroversial, dan pemberian albumin tidak lagi jawaban langsung terhadap defisit cairan dan albumin. Umumnya, data yang tersedia menyimpulkan bahwa hasil dari koloid dan kristaloid mirip dalam banyak kasus. Jelas bahwa penelitian tambahan diperlukan.
Tubuh terdiri dari sekitar 100 triliun sel 1 yang tidak terlihat sama dan tidak berfungsi dengan cara yang sama. Sel-sel yang membentuk tubuh kita adalah " sel desainer, " dengan setiap sel diciptakan untuk melakukan fungsi tertentu. Setiap sel harus melakukan tugasnya untuk menjaga lingkungan yang kompleks di mana ia dapat berfungsi – yang, pada gilirannya, memungkinkan tubuh untuk berfungsi. Keseimbangan ini dalam tubuh kita disebut homeostasis.
Homeostasis dipertahankan oleh cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa dan dipengaruhi oleh air tubuh, permeabilitas kapiler, dan Cairan drainage.1 limfatik terdiri dari air, elektrolit, mineral, dan sel-sel dan perjalanan ke seluruh tubuh. Mereka dibagi ke dalam cairan intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstraselular dibagi lagi menjadi interstitial, transelular, dan intravaskular, dengan darah yang mengandung kedua 2 karena mengandung plasma dan sel. Volume darah rata-rata adalah sekitar 5 sampai 6 L, dimana L adalah 3 plasma.
Cairan tubuh bergerak di antara organ-organ dan sel-sel dan tergantung pada kemampuan membran sel dan transportasi mekanisme untuk memungkinkan pergerakan komponen cairan dalam sistem vaskular. Proses transportasi ini meliputi difusi, osmosis, filtrasi, dan transpor aktif.
Osmosis adalah suatu proses dimana pelarut cenderung untuk bergerak melalui membran semipermeabel dari larutan konsentrasi rendah ke larutan konsentrasi yang lebih tinggi. Tekanan osmotik yang diberikan oleh partikel dalam larutan ditentukan oleh jumlah partikel per volume cairan versus massa / ukuran partikel.
Tekanan kapiler cenderung memaksa zat cairan dan terlarut melalui pori-pori kapiler ke dalam ruang interstitial. Tekanan osmotik, disebabkan oleh protein plasma ( disebut tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik ), cenderung menyebabkan cairan bergerak melalui osmosis dari ruang interstitial ke dalam darah, sehingga mencegah kerugian yang signifikan dari volume cairan. Namun, ada sejumlah kecil protein dan cairan yang bocor ke dalam ruang interstitial namun dikembalikan ke sirkulasi oleh sistem limfatik melalui duct.
Tekanan osmotik koloid dipengaruhi oleh protein. Hal ini disebabkan protein menjadi satu-satunya zat terlarut dalam plasma dan cairan interstitial yang tidak mudah menyebar melalui membrane.5 kapiler Oleh karena itu, konsentrasi protein dalam plasma adalah 2 sampai 3 kali lebih besar dari protein yang ditemukan dalam cairan interstitial ( yaitu, plasma, 7,3 g / dL, dan cairan interstitial, 2 sampai 3 g / dL ).
Hanya orang-zat yang tidak melewati membran semipermeabel mengerahkan tekanan osmotik, dan protein adalah satu-satunya zat yang tidak mudah menembus pori-pori membran kapiler. Dengan demikian, protein terlarut dari plasma dan cairan interstitial bertanggung jawab atas tekanan osmotik pada membran kapiler.
Tekanan osmotik berbeda pada membran sel dan membran kapiler. Oleh karena itu, istilah yang berbeda : pada membran kapiler, terminologi tekanan osmotik koloid, atau tekanan onkotik, sementara total tekanan osmotik merupakan membran sel tekanan osmotik.
Salah satu fungsi dari albumin adalah untuk mempertahankan intravaskular onkotik ( koloid osmotik ) tekanan. Untuk memudahkan pergerakan cairan di seluruh tubuh, tekanan kapiler rata-rata adalah 15 sampai 25 mm Hg lebih besar pada ujung arteri dari pada ujung vena. Hukum Starling menjelaskan kekuatan yang menentukan pergerakan cairan melintasi membran kapiler. Keseimbangan antara tekanan pada setiap sisi membran kapiler berhubungan dengan tekanan hidrostatik mendorong cairan keluar dari beberapa kapiler dan tekanan osmotik menarik cairan kembali ke kapiler lainnya. Ada juga sejumlah kecil cairan yang tidak mengikuti jalan ini, tapi kebocoran melalui dan dikembalikan dengan cara limfatik.
Selain menjaga tekanan onkotik koloid, albumin juga memfasilitasi transportasi zat. Kehadiran banyak kelompok permukaan bermuatan dan banyak situs pengikatan spesifik, baik ionik dan hidrofobik, memungkinkan albumin untuk mengikat dan mengangkut sejumlah besar senyawa. Zat-zat ini termasuk bilirubin, logam, ion, enzim, asam amino, hormon, asam lemak bebas, obat-obatan, dan fosfolipid. Albumin sangat penting untuk metabolisme dan detoksifikasi banyak zat-zat ini. Tidak hanya dapat albumin asam amino ke jaringan transportasi tapi pinocytosed ( ditelan cair ) albumin juga dapat berfungsi sebagai sumber asam amino
Kumbah lambung
Kumbah lambung adalah membersihkan lambung dengan cara memasukan dan mengeluarkan air ke/dari lambung dengan menggunakan NGT ( Naso Gastric Tube ). Kumbah lambung merupakan metode alternatife yang umum pengosongan lambung,dimana cairan dimasukkan kedalam lambung melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung toksik.
Tujuan kumbah lambung
1. Membuang racun yang tidak terabsorbsi setelah racun masuk sal pencernaan
2. Mendiagnosa perdarahan lambung
3. Membersihkan lambung sebelum prosedur endoscopy
4. Membuang cairan atau partikel dari lambung
Indikasi
1. Pasien yang keracunan makanan atau obat tertentu
2. Persiapan operasi lambung
3. Persiapan tindakan pemeriksaan lambung
4. Tidak ada refleks muntah
5. Gagal dengan terapi emesis
6. Pasien dalam keadaan sadar
Kontra Indikasi
Kumbah lambung tidak dilakukan secara rutin dalam penatalaksanaan pasien dengan keracunan.Kumbah lambung dilakukan ketika pasien menelan subtansi toksik yang dapat mengancam nyawa,dan prosedur dilakukan selama 60 menit setelah tertelan.
Pasien kejang
Kumbah lambung dapat mendorong tablet ke dalam duodenum selain mengeluarkan tablet tersebut.
Kumbah lambung dikontraindikasikan untuk bahan-bahan toksik yang tajam dan terasa membakar (resiko perforasi esophageal).Kumbah lambung tidak dilakukan untuk bahan toksik hidrokarbon (resiko aspirasi),misalnya : camphor,hidrokarbon,halogen,hidrokarbon aromatic,pestisida
Kumbah lambung dikontraindikasikan untuk pasien yang menelan benda asing yang tajam dan besar
Pasien tanpa gag reflex atau pasien dengan pingsan (tidak sadar) membutuhkan intubasi sebelum kumbah lambung untuk mencegah inspirasi.
Persiapan alat
1. Baki berisi NGT lengkap dengan corong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan
2. Ukuran NGT :
a. no. 14-20 untuk ukuran dewasa
b. no. 8-16 untuk anak-anak
c. no.5-7 untuk bayi
3. 2 buah baskom
4. Perlak dan handuk sebagai pengalas
5. Stetoskop
6. Spuit 10 cc
7. plester
8. Piala ginjal dan kom penampung
9. Air hangat 1 sampai 2 liter
10. Kassa/tissue,
11. Jelly
12. Susu hangat
Persiapan pasien
Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan,mengadakan pendekatan kepada anak atau keluarga dengan memberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan berkomunikasi.
Langkah-langkah
1. Mencuci tangan
2. Perawat memakai skort
3. Perlak dan alas dipasang disamping pasien
4. NGT di ukur dari epigastrium sampai pertengahan dahi kemudian diberi tanda
5. Ujung atas NGT diolesi jelly,bagian ujung bawah diklem
6. NGT dimasukkan perlahan-lahan melalui hidung pasien sambil disuruh
menelannya ( bila pasien sadar )
7. Periksa apakah NGT betul-betul masuk lambung dengan cara ;
a. Masukan ujung NGT kedalambaskom yang berisi air,jika tidak ada gelembung Maka NGT sudah masuk kedalam lambung.
b. Masukan Udara dengan spuit 10cc dan didengarkan pada daerah lambung dengan menggunakan stetoskop. Setelah yakin pasang plester pada hidung untuk memfiksasi NGT.
8. Setelah NGT masuk pasien diatur dengan posisi miring tanpa bantal atau kepala lebih rendah selanjutnya klem dibuka.
9. Corong dipasang diujung bawah NGT,air/susu dituangkan kedalam corong jumlah cairan sesuai kebutuhan.cairan yang masuk tadi dikeluarkan dan ditampung dalam baskom.
10. Pembilasan lambung dilakukan berulang kali sampai air yang keluar dari lambung sudah jernih.
11. Jika air yang keluar sudah jernih Selang NGT dicabut secara pelan-pelan dan diletakan dalam baki.
12. Setelah selesai pasien dirapikan,mulut dan sekitarnya dibersihkan dengan tissue jelaskan pada pasien bahwa prosedur yang dilakukan telah selesai.
13. Alat-alat dikemas dan dibersihkan
14. Perawat mencuci tangan
15. Mencatat semua tidakan yang telah dilakukan pada status pasien
Lavage Lambung
Lavage lambung adalah metoda alternatif yang umum untuk pengosongan lambung, di mana cairan seperti normal saline dimasukkan ke dalam lambung melalui selang orogastrik atau nasogastrik dengan diameter yang besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian dari agen yang teringesti sebelum diabsorpsi. Selama lavage, isi lambung dapat dikumpulkan untuk mengidentifikasi toksin atau obat. Lavage lambung dianjurkan untuk pasien dengan depresi status mental atau tidak ada refleks muntah, atau bagi mereka yang dengan pemberian SOI telah gagal untuk menghasilkan emesis.
Untuk mengeluarkan bahan-bahan khusus secara efektif, termasuk seluruh kapsul atau tablet, harus digunakan selang orogastrik yang besar. Ukuran selang orogastrik untuk orang dewasa atau anak remaja adalah 36 sampai 40 FR, sedangkan untuk anak-anak adalah sampai 16 sampai 28 Fr. Selang nasograstrik standard kurang disukai karena ukurannya yang kecil, namun bisa menyebabkan trauma mukosal dan epistaksis.
Untuk tindakan lavage pasien dibaringkan dalam posisi dekubitus lateral sebelah kiri, dengan bagian kepala lebih rendah dari pada bagian kaki. Prosedur ini memerlukan corong yang dipasang (atau kateter dengan kateter berujung spuit) pada ujung selang orogastrik dan memasukan 150 sampai 200 ml air atau larutan saline (50-100 ml pada anak-anak) ke dalam lambung. Dengan meletakkan corong dan selang lebih rendah di bawah pasien akan memungkinkan cairan untuk mengalir gravitasi. Prosedur ini diulang samapi keluar cairan yang jernih atau sedikitnya menggunakan cairan sebanyak 2 liter. Intubasi nasotrakeal atau endotrakheal akan diperlukan untuk melindungi jalan udara.
Komplikasi-komplikasi lavage lambung termasuk perforasi esofagus, aspirasi pulmonal, ketidakseimbangan elektrolit, tensi pneumatoraks, dan hipotermia pada anak-anak kecil bila menggunakan larutan lavage yang dingin.
Lavage menjadi kontraindikasi pada ingestasi kaustik karena adanya risiko terhadap perforasi esofagus, dan pada kejang yang tidak terkontrol karena risiko trauma dan aspirasi.
Ceftriaxon 2x1gram
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik cephalosporin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi akibat infeksi bakteri, seperti pneumonia, sepsis, meningitis, infeksi kulit, gonore atau kencing nanah, dan infeksi pada pasien dengan sel darah putih yang rendah. Selain itu, ceftriaxone juga bisa diberikan kepada pasien yang akan menjalani operasi-operasi tertentu untuk mencegah terjadinya infeksi.
Karena obat ini masuk dalam golongan antibiotik, maka ceftriaxone tidak dapat digunakan untuk mengobati infeksi akibat virus, seperti pilek atau flu.
Jenis obat
Antibiotik cephalosporin
Golongan
Obat resep
Manfaat
Mengobati dan mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Dikonsumsi oleh
Dewasa dan anak-anak
Bentuk obat
Obat suntik
Peringatan:
Penggunaan ceftriaxone selama masa kehamilan dan menyusui sebenarnya tidak disarankan, kecuali jika dirasa perlu oleh dokter
Tanyakan dosis ceftriaxone untuk anak-anak kepada dokter.
Harap berhati-hati jika menderita gangguan hati, ginjal, serta gangguan pencernaan seperti kolitis.
Harap waspada bagi pasien yang sedang menjalani diet rendah
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Ceftriaxone
Dosis akan disesuaikan dengan jenis dan tingkat keparahan infeksi serta kondisi kesehatan pasien. Berikut ini adalah dosis penggunaan ceftriaxone:
Untuk anak-anak di atas 12 tahun hingga dewasa, standar dosis yang diberikan adalah 1 gram per hari. Sedangkan untuk infeksi parah, dosis dapat diberikan antara 2 hingga 4 gram per hari.
Khususnya untuk infeksi gonore, satu dosis 250 mg ceftriaxone cukup untuk mengatasinya.
Untuk anak-anak di bawah 12 tahun, konsultasikan dosis kepada dokter. Dosis yang diberikan juga akan disesuaikan dengan berat badan mereka, yaitu sekitar 20 hingga 50 mg/kg.
Kenali Efek Samping dan Bahaya Ceftriaxone
Sama seperti obat-obat lain, ceftriaxone juga berpotensi menyebabkan efek samping. Beberapa efek samping yang biasa terjadi setelah mengonsumsi antibiotik ini adalah:
Lelah
Sariawan
Nyeri tenggorokan
Diare
Omeprazole intravena 1x1
Omeprazole adalah obat yang mampu menurunkan kadar asam yang diproduksi di dalam lambung. Obat yang masuk ke dalam jenis penghambat pompa proton ini mengobati beberapa kondisi, yaitu nyeri ulu hati, penyakit asam lambung atau gastroesophageal reflux disease (GERD), dan infeksi H. Pylori yang menyebabkan tukak lambung. Selain itu, omeprazole juga dapat digunakan untuk mengobati sindrom Zollinger-Elision.
Jenis obat
Penghambat pompa proton
Golongan
Obat resep
Manfaat
Mengurangi produksi asam lambung
Mencegah dan mengobati gangguan pencernaan atau nyeri ulu hati, tukak lambung, sindrom Zollinger-Ellison, penyakit asam lambung atau GERD
Salah satu langkah pengobatan infeksi bakteri H. Pylori
Mengurangi asam lambung selama operasi
Dikonsumsi oleh
Dewasa dan anak-anak
Bentuk obat
Tablet, kapsul, obat larut dan suntik
Beberapa tablet dan kapsul omeprazole harus ditelan utuh-utuh dan beberapa lainnya bisa dicampur dengan air untuk mempermudah proses konsumsi. Bacalah aturan penggunaan omeprazole pada petunjuk yang tertera di dalam kemasan.
Peringatan:
Bagi anak-anak, wanita hamil dan yang sedang menyusui, sesuaikan dengan anjuran dokter.
Harap berhati-hati menggunakan omeprazole jika menderita penyakit hati, mempunyai kadar kalsium tubuh yang rendah atau gangguan tulang.
Tanyakan pada dokter sebelum mengonsumsi omeprazole jika mengalami kesulitan menelan, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, mual, dan pendarahan.
Jika terjadi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
Dosis Omeprazole
Dosis omeprazole akan disesuaikan dengan kondisi dan respons pasien terhadap pengobatan. Berikut adalah dosis omeprazole secara umum menurut kondisi yang diobati.
Kondisi
Dosis per hari (sebelum makan)
Gangguan pencernaan/nyeri ulu hati
20mg
Tukak lambung
40 mg
Tukak usus halus
20 mg
Penyakit asam lambung atau GERD
10-40 mg
Infeksi H. Pylori
20-40 mg
Sindrom Zollinger Ellison
60-120 mg
Esofagitis atau radang kerongkongan
20 mg
Bagi pasien anak-anak, selain kondisi, akan mempertimbangkan usia serta berat badan mereka dalam menentukan dosis omeprazole.
Efek Samping dan Bahaya Omeprazole
Omeprazole jarang menyebabkan efek samping pada penggunanya. Jika pun ada, biasanya efek samping akan membaik setelah penyesuaian tubuh terhadap obat ini. Efek samping omeprazole yang berpotensi terjadi:
Sakit kepala
Konstipasi
Diare
Sakit perut
Nyeri sendi
Sakit tenggorokan
Kram otot
Hilang selera makan
Asam tranexamat 3x50 mg intravena
Sediaan
Asam Traneksamat 500 mg, 250 mg, 100 mg/ml atau 50 mg/ml
Farmakologi
Aktivitas antiplasminik:
Asam Traneksamat menghambat aktivitas dari aktivator plasminogen dan plasmin. Aktivitas plasminik dari Asam Traneksamat telah dibuktikan dengan berbagai percobaan 'In vitro' penentuan aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas plasma setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia.
Aktivitas hemostatis :
Asam Traneksamat mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi. Efek ini terlihat secara klinis dengan berkurangnya jumlah perdarahan, berkurangnya waktu perdarahan dan lama perdarahan.
Aktivitas anti alergi dan anti peradangan :
Asam Traneksamat bekerja dengan cara menghambat produksi Kinin dan senyawa peptida aktif lainnya yang berperan dalam proses inflamasi dan reaksi-reaksi alergi.
Indikasi
Untuk fibrinolisis lokal seperti : epistaksis, prostatektomi, konisasi serviks.
Edema angioneurotik herediter.
Perdarahan abnormal sesudah operasi.
Perdarahan sesudah operasi gigi pada penderita hemofilia.
Kontraindikasi
Penderita subarachnoid hemorrhage dan penderita dengan riwayat tromboembolik.
Penderita dengan kelainan pada penglihatan warna.
Penderita yang hipersensitif terhadap Asam Traneksamat.
Dosis
Fibrinolisis lokal :
Oral : 1-1,5 gram 2-3 x sehari.
Parenteral : Dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg (iv) dengan injeksi lambat (1ml/menit) 3 x sehari. Untuk pengobatan lebih dari 3 hari dapat dipertimbangkan pemberian secara oral.
Edema angioneuritik herediter :
Oral : 1-1,5 gram 2-3 x sehari.
Perdarahan abdominal setelah operasi :
1 gram 3 x sehari (injeksi iv pelan-pelan) pada 3 hari pertama, kemudian dilanjutkan oral 1 gram 3-4 x sehari (dimulai pada hari ke 4 setelah operasi sampai tidak tampak hematuris secara makrokopis). Untuk mencegah perdarahan ulang dapat diberikan per oral 1 gram 3-4 kali sehari selama 7 hari.
Khusus untuk perdarahan setelah operasi gigi pada penderita hemofilia :
Segera sebelum operasi : 10 mg/kg BB (iv)
Setelah operasi : 25 mg/kg BB (oral) 3-4 x sehari selama 6-8 hari. (pada penderita yang tidak dapat diberikan secara oral dapat dilakukan terapi pareteral 10 mg/kg BB/hari dalam dosis bagi 3-4 kali).
Khusus untuk penderita gangguan fungsi ginjal :
Serum kreatinin
Dosis oral
Dosis i.v.
120-250 (1,36-2,83 mg/dL)
15 mg/kg BB 2 x sehari
10 mg/kg BB 2 x sehari
250-500 (2,83-5,66 mg/dL)
15 mg/kg BB 1 x sehari
10 mg/kg BB 1 x sehari
> 500 (>5,66 mg/dL)
7,5 mg/kg BB 1 x sehari
5 mg/kg BB 1 x sehari
Efek samping
Gangguan-gangguan gastrointestinal : mual, muntah-muntah, anorexia, eksantema dan sakit kepala dapat timbul pada pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatannya.
Dengan injeksi intravena yang cepat dapat menyebabkan pusing dan hipotensi. Untuk menghindari hal tersebut maka pemberian dapat dilakukan dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml/menit.
Interaksi obat
Larutan injeksi Asam Traneksamat jangan ditambahkan pada transfusi atau injeksi yang mengandung Penisilin.
Peringatan dan perhatian
Bila diberikan secara intravena, dianjurkan untuk menyuntikkannya perlahan-lahan seperti halnya pemberian/penyuntikan dengan sediaan Kalsium (10 ml/1-2 menit).
Hati-hati digunakan pada penderita insufisiensi ginjal karena resiko akumulasi.
Asam traneksamat tidak diindikasikan pada hematuria yang disebabkan oleh parenkim renal, pada kondisi ini sering terjadi presipitasi fibrin dan mungkin memperburuk penyakit.
Asam traneksamat digunakan pada wanita hamil hanya jika secara jelas diperlukan.
Hati-hati diberikan pada ibu menyusui untuk menghindari resiko pada bayi.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 SIROSIS HEPATIS
III.1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat adanya nekrosis hepatoseluler.1
Epidemiologi
Sirosis hati mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di Amerika. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40% pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.2
III.1.2 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak diketahui(10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara lain:
Virus hepatitis (B,C,dan D)
Alkohol (alcoholic cirrhosis)
Kelainan metabolik :
Hemokromatosis (kelebihan beban besi)
Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
Defisiensi Alpha l-antitripsin
Glikonosis type-IV
Galaktosemia
Tirosinemia
Kolestasis
Gangguan imunitas ( hepatitis lupoid )
Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-lain)
Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
Kriptogenik
Sumbatan saluran vena hepatika
III.1.3 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-,1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks5. Hepar menempati daerah hipokondrium kanan tetapi lobus kiri dari hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar berbatasan dengan diafragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti bentuk dari batas kosta kanan. Hepar secara anatomis terdiri dari lobus kanan yang berukuran lebih besar dan lobus kiri yang berukuran lebih kecil. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiforme6. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar7. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus kuadratus dan lobus kaudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior6. Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika.
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebut vena interlobular7.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari saluran cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina hepatika. Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-prmbuluh ini menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi. Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis. Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis7.
Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar, sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium, sel Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang5.
Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen vena hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri hepatica dan vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubungan dan desmosom yang saling bertautan dengan disebelahnya5.
Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting dalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan aliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan kerusakan hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor kunci pembentukan fibrosis di hepar5.
III.1.4 Fisiologi Hepar
Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Selain itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain.6 Fungsi metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :
Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan fungsi sebagai berikut :
Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
Glukoneogenesis
Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Penyimpanan glikogen memungkinkan hepar mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah rendah. Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa hepar.
Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme lemak antara lain :
Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain
Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi garam empedu yang kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut dalam lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid juga disintesis di hepar dan ditranspor dalam lipoprotein. Keduanya digunakan oleh sel untuk membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam zat kimia yang penting untuk fungsi sel.
Metabolisme protein. Fungsi hepar yang paling penting dalam metabolisme protein adalah sebagai berikut :
Deaminasi asam amino
Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan tubuh
Pembentukan protein plasma
Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino
Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan hepar untuk membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk senyawa kimia lain yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-mula dibentuk asam keto yang mempunyai komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang akan dibentuk. Kemudian suatu radikal amino ditransfer melalui beberapa tahap transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan oksigen keto.
Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama diketahui sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan secara normal
Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hepar sampai diperlukan.
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid hepar setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari arteri hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen dari sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam hepar adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid hepar normalnya sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi. Namun, jika sel-sel parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat menghambat darah porta melalui hepar. Proses penyakit ini disebut sirosis hepatis, Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar yang berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran darah porta hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan hipertensi portal. 10
II.1.5 Patofisiologi
Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat. Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi. Tahap akhir penyakit kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :11
Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar yang menggantikan lobulus.
Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga besar (garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).
Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.11,12
II.1.6 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.
II.1.7 Diagnosis
Gambaran Klinik
Stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis hepatis meliputi4 :
Perasaan mudah lelah dan lemah
Selera makan berkurang
Perasaaan perut kembung
Mual
Berat badan menurun
Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, dan hilangnya dorongan seksualitas.
Stadium lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal, meliputi4 :
Hilangnya rambut badan
Gangguan tidur
Demam tidak begitu tinggi
Adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis hepatis antara lain4 :
SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak mengeyampingkan adanya sirosis
Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor koagulan akibat sirosis
Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi porta
USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
II.1.8 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut berbagai macam komplikasi sirosis hati4 :
Hipertensi Portal4
Asites4
Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam4.
Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan4.
Ensefalopati Hepatik. Rnsefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai gangguan kesadaran dan koma4. Ensefalopati hepatic terjadi karena kegagalan hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan sejenisnya). NH3 berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh karena itu, peningkatan kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan asupan protein, konstipasi, infeksi, gagal hepar, dan alkalosis13. Berikut pembagian stadium ensefalopati hepatikum :
Stadium
Manifestasi Klinis
0
Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya ingat, konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.
1
Gangguan pola tidur
2
Letargi
3
Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
4
Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang nyeri.
Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.
III.1.9 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan hati.
Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat menghambat kolagenik
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah terjadinya sirosis
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon, kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian.
Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
Asites
Tirah baring
Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti dengan pemberian albumin.
Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
Varises Esofagus
Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta (propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
Ensefalopati Hepatik
Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang
Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.
III.1.10 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,B, dan C berturut-turut 100%,80%, 60%
III.2 ASCITES
III.2.1 definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
III.2.2 Etiologi
Asites cenderung terjadi pada penyakit menahun (kronik). Paling sering terjadi pada sirosis, terutama yang diisebabkan oleh alkoholisme. Asites juga bisa terjadi pada penyakit non-hati, seperti kanker, gagal jantung, gagal ginjal dan tuberkulosis. Pada penderita penyakit hati, cairan merembes dari permukaan hati dan usus. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
hipertensi portal
menurunnya kemampuan pembuluh darah untuk menahan cairan
tertahannya cairan oleh ginjal
perubahan dalam berbagai hormon dan bahan kimia yang mengatur cairan tubuh.
Penyebab asites:
Kelainan di hati :
Sirosis, terutama yang disebabkan oleh alkoholisme
Hepatitis alkoholik tanpa sirosis
Hepatitis menahun
Penyumbatan vena hepatik
Kelainan diluar hati :
Gagal jantung
Gagal ginjal, terutama sindroma nefrotik
Perikarditis konstriktiva
Karsinomatosis, dimana kanker menyebar ke rongga perut
Berkurangnya aktivitas tiroid
Peradangan pankreas.
III.2.3 klasifikasi
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal.
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang.
Tingkatan 4 : asites permagna.
Klasifikasi asites berdasarkan penyebabnya:
Asites Tanpa Komplikasi
Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan sindrom hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut:
Grade 1 (mild), asites hanya terdeteksi oleh USG pemeriksaan.
Grade 2 (moderate), ascites yang menyebabkan distensi perut simetris moderat.
Grade 3 (large), ascites ditandai distensi abdomen.
Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal (yaitu, setelah terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites ini termasuk dua subkelompok yang berbeda.
Diuretic resistant ascites -- asites refrakter terhadap retriksi diet sodium dan pengobatan diuretik intensif (spironolakton 400 mg / hari dan frusemid 160 mg / hari selama setidaknya satu minggu, dan diet retriksi garam kurang dari 90 mmol / hari (5,2 g garam) / hari).
Diuretic intractable ascites -- asites refrakter terhadap terapi karena perkembangan komplikasi yang diinduksi diuretik yang menghalangi penggunaan diuretik dosis efektif.
III.2.4 Patogenesis Pembentukan Asites
Ada dua faktor kunci yang terlibat dalam patogenesis pembentukan asites-yaitu: retensi natrium dan air, dan portal (sinusoidal) hipertensi.
a. Peran hipertensi portal
Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik dalam sinusoid hati dan menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga peritoneum. Namun, pasien dengan hipertensi portal presinusoidal tanpa sirosis jarang berkembang menjadi asites. Dengan demikian pasien tidak berkembang menjadi asites pada oklusi vena portal ekstrahepatik kronis terisolasi atau non-penyebab sirosis hipertensi portal seperti fibrosis hepatik kongenital, kecuali bila diikuti kerusakan fungsi hati seperti pada perdarahan gastrointestinal. Sebaliknya, trombosis vena hepatik akut, menyebabkan hipertensi portal postsinusoidal, biasanya berhubungan dengan asites. Hipertensi portal terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan struktural dalam hati pada sirosis dan peningkatan aliran darah splanknikus. Deposisi kolagen progresif dan pembentukan nodul mengubah arsitektur normal vaskular hati dan meningkatkan resistensi terhadap aliran portal.
Sinusoid mungkin menjadi kurang dapat berdistensi dengan pembentukan kolagen dalam ruang Disse. Meskipun hal ini mungkin memberikan impresi sistem statik portal, studi terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel stellata hepatik secara dinamis dapat mengatur nada sinusoidal hingga tekanan portal.
Sel endotel sinusoidal membentuk pori-pori membran ekstrim yang hampir sepenuhnya permeabel terhadap makromolekul, termasuk protein plasma. Sebaliknya, kapiler splanknikus memiliki ukuran pori 50-100 kali lebih rendah dari sinusoid hepatik. Akibatnya, gradien tekanan onkotik trans-sinusoidal dalam hati hampir nol ketika dalam sirkulasi splanknikus yaitu 0,8-0,9 (80% -90% dari maksimum). Gradien tekanan onkotik seperti ujung ekstrim pada efek spektrum minimal terhadap perubahan konsentrasi albumin plasma tersebut terhadap pertukaran cairan transmicrovascular. Oleh karena itu, konsep lama yang menyatakan asites dibentuk sekunder terhadap penurunan tekanan onkotik adalah palsu, dan konsentrasi albumin plasma memiliki pengaruh kecil pada laju pembentukan ascites. Hipertensi portal sangat penting terhadap perkembangan asites, dan asites jarang terjadi pada pasien dengan gradien vena portal hepatik <12 mmHg. Sebaliknya, insersi dari samping ke sisi portacaval shunt menurunkan tekanan portal sering menyebabkan resolusi dari ascites.
b. Patofisiologi retensi natrium dan air
Penjelasan klasik retensi natrium dan air terjadi karena 'underfill' atau 'overfill' yang disederhanakan. Pasien mungkin menunjukkan fitur baik 'underfill' atau' overfill' tergantung pada postur atau keparahan penyakit hati. Salah satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal dan retensi natrium pada sirosis adalah berkembangnya vasodilatasi sistemik, yang menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif dan hiperdinamik circulation. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan sintesis nitrit oksida vaskular, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi plasma glukagon, substansi P, atau gen kalsitonin terkait peptide.
Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan postur, dan studi telah menunjukkan perubahan yang nyata dalam sekresi peptida natriuretik atrium dengan postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik. Selain itu, data menunjukkan penurunan volume arterial efektif pada sirosis telah diperdebatkan. Hal ini telah disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi terlentang dan pada hewan percobaan, terdapat peningkatan curah jantung dan vasodilatasi. Perkembangan vasokonstriksi renal pada sirosis adalah sebagian respon homeostatis yang melibatkan peningkatan aktivitas simpatik ginjal dan aktivasi sistem renin-angiotensin untuk menjaga tekanan darah selama vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal menurunkan laju filtrasi glomerulus sehingga pengiriman dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis dikaitkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus proksimal dan tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal adalah karena peningkatan konsentrasi aldosteron di sirkulasi. Namun, beberapa pasien dengan asites memiliki konsentrasi aldosteron plasma normal, yang mengarah ke saran bahwa reabsorpsi natrium di tubulus distal mungkin berhubungan dengan sensitivitas ginjal yang meningkat tehadap aldosteron atau mekanisme lain yang tidak diketahui.
Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium dapat terjadi pada tidak adanya vasodilatasi dan hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal dapat mengurangi aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya perubahan hemodinamik dalam sirkulasi sistemik, menunjukkan adanya hepatorenal reflex. Demikian pula, selain vasodilatasi sistemik, keparahan penyakit hati dan tekanan portal juga berkontribusi terhadap abnormalitas penanganan natrium dalam sirosis.
III.2.5 Diagnosis
1. Investigasi awal
Penyebab asites sering terlihat jelas dari histori dan pemeriksaan fisik. Namun, penting untuk mengecualikan penyebab lain dari asites. Seharusnya tidak diasumsikan bahwa pasien alkoholik memiliki penyakit hati alkoholik. Oleh karena itu, tes harus diarahkan pada diagnosa penyebab asites. Investigasi ini penting untuk menegakkan diagnostik termasuk diagnostik paracentesis dengan pengukuran albumin cairan asites atau protein, jumlah neutrofil, kultur cairan asites, dan amilase cairan asites. Sitologi cairan asites harus diminta ketika ada kecurigaan klinis kearah keganasan. Investigasi lain harus mencakup USG abdomen untuk mengevaluasi penampakan dari pankreas, hati, dan kelenjar getah bening serta adanya splenomegali yang mungkin menandakan hipertensi portal. Tes darah harus diambil untuk pengukuran urea dan elektrolit, tes fungsi hati, waktu protrombin, dan hitung darah lengkap.
2. Paracentesis abdomen
Daerah yang paling umum untuk pungsi asites adalah sekitar 15 cm lateral umbilikus, dengan perawatan yang diambil untuk menghindari pembesaran hati atau limpa, dan biasanya dilakukan di kiri atau kanan quadrant perut bawah. Arteri epigastrium inferior dan superior berjalan dilateral umbilikus terhadap titik tengah inguinalis dan harus dihindari. Untuk tujuan diagnostik, 10-20 ml cairan asites harus ditarik (Idealnya menggunakan jarum suntik dengan jarum biru atau hijau) untuk inokulasi asites menjadi dua botol kultur darah dan Tabung EDTA, dan tes. Komplikasi pungsi asites terjadi pada sampai 1% dari pasien (hematoma abdomen) tapi jarang serius ataumengancam nyawa. Komplikasi lebih serius seperti haemoperitoneum atau perforasi usus jarang terjadi (<1/1000 prosedur). Paracentesis tidak kontraindikasi pada pasien dengan profil koagulasi yang abnormal. Sebagian besar pasien dengan asites karena sirosis memiliki perpanjangan waktu protrombin dan beberapa tingkat trombositopenia. Tidak ada data yang mendukung penggunaan fresh frozen plasma sebelum paracentesis meskipun jika trombositopenia hebat (< 40.000) paling dokter akan memberikan trombosit untuk mengurangi risiko perdarahan.
3. Investigasi cairan asites
Jumlah neutrofil dan kultur cairan asites
Semua pasien harus diskrining untuk mengetahui spontaneous bacterial peritonitis (SBP), yang terapat dalam sekitar 15% pasien dengan sirosis dan asites yang dirawat di rumah sakit. Jumlah neutrofil asites >250 sel/mm3 (0,25x109 / l) adalah diagnostik SBP dengan adanya diketahui perforasi viskus atau inflamasi organ intrabdominal. Konsentrasi sel darah merah dalam asites sirosis biasanya, 1.000 sel/mm3 dan cairan asites berdarah (>50.000 sel/mm3) terjadi pada sekitar 2% dari sirosis. Pada sekitar 30% sirosis dengan asites berdarah, terdapat karsinoma hepatoseluler yang mendasari. Namun, pada 50% pasien dengan asites berdarah, penyebabnya tidak dapatditemukan. Pewarnaan gram cairan asites tidak diindikasikan, karena jarang membantu. Kepekaan hapusan untuk mikobakteri sangat buruk, sementara kultur cairan untuk mikobakteri memiliki sensitivitas 50%. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa inokulasi cairan asites ke dalam botol kultur darah akan mengidentifikasi organisme pada sekitar 72-90% kasus sedangkan mengirim cairan asites dalam wadah steril ke laboratorium hanya akan mengidentifikasi organisme di sekitar 40% dari kasus SBP.
Protein cairan asites dan amilase cairan asites
Secara konvensional, jenis asites dibagi menjadi eksudat dan transudat, di mana konsentrasi protein asites masing-masing >25 g/l atau <25 g / l. Tujuan dari pembagian seperti ini adalah untuk membantu mengidentifikasi penyebab asites. Jadi, pada keganasan secara klasik menyebabkan asites eksudatif dan sirosis menyebabkan asites transudat. Namun, ada banyak kesalah pahaman di praktek klinis. Misalnya, sering dianggap bahwa asites jantung adalah transudat meskipun kasusnyajarang terjadi, protein asites >25 g/l pada 30% pasien dengan sirosis tanpa komplikasi, dan pasien dengan sirosis dan asites TB mungkin memiliki asites rendah protein. Gradien serum asites-albumin (SA-AG) jauh unggul dalam kategorisasi asites dengan akurasi 97% (Tabel 1). Hal ini dihitung sebagai:
SA-AG = konsentrasi albumin serum - konsentrasi albumin cairan asites
Amilase asites tinggi adalah diagnostik untuk asites pankreas, amilase cairan asites harus ditentukan dalam pasien dimana ada kecurigaan klinis penyakit pankreas.
Sitologi cairan asites
Hanya 7% dari sitologi cairan asites positif, pemeriksaan sitologi memiliki akurasi 60-90% dalam diagnosis asites keganasan, terutama ketika beberapa ratus mililiter cairan yang diuji dan teknik konsentrasi yang digunakan. Dokter harus bekerja sama dengan departemen sitologi lokal mereka untuk mendiskusikan kebutuhan cairan sebelum parasentesis. Tetapi investigasi sitologi cairan asites bukan merupakan pilihan untuk diagnosis karsinoma hepatoseluler primer.
III.2.6 Penatalaksanaan
1. Bed rest
Istirahat Pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak dikaitkan dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik, pengurangan di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon menurun terhadap diuretik. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat. Data ini sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat. Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan istirahat atau durasi penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan atrofi otot, dan komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, tirah baring umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites tanpa komplikasi.
2. Retriksi diet garam
Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada 10% pasien. Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah, resolusi asites lebih cepat , dan masa di RS lebih pendek. Di masa lalu, makanan garam sering dibatasi sampai 22 atau 50 mmol / hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan. Diet khas Inggris berisi sekitar 150 mmol natrium per hari, dimana 15% dari penambahan garam dan 70% dari makanan kemasan. Diet garam harus dibatasi, 90 mmol/hari (5,2 g) garam dengan menerapkan pola makan tidak tambah garam dan menghindari bahan makanan yang telah disiapkan (misalnya, kue). Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam mendidik pasien dan kerabat tentang retrriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam bentuk tablet effervescent, memiliki kandungan natrium yang tinggi.
Antibiotik intravena umumnya mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gram dengan pengecualian siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400 mg) untuk infus intravena. Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus cairan yang mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti berkembang menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia berat, jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume dengan kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International Ascites club merekomendasikan infus garam normal.
3. Peran retriksi air
Tidak ada studi tentang manfaat atau bahaya pembatasan air pada resolusi asites. Kebanyakan ahli setuju bahwa tidak ada peran pembatasan air pada pasien dengan asites tampa komplikasi. Namun, pembatasan air untuk pasien dengan asites dan hiponatremia telah menjadi standar praktek klinis di banyak pusat-pusat. Namun, terdapat kontroversi nyata tentang pengelolaan terbaik pasien, dan saat ini kami tidak tahu pendekatan yang terbaik. Kebanyakan hepatologis mengobati pasien dengan pembatasan air yang parah. Namun, berdasarkan pemahaman kita tentang patogenesis hiponatremia, pengobatan ini mungkin tidak logis dan dapat memperburuk tingkat keparahan pusat hipovolemia efektif yang mendorong sekresi non-osmotik hormon antidiuretik (ADH). Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan ADH sirkulasi lebih lanjut, dan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Gangguan klirens air bebas diamati pada 25 - 60% pasien dengan asites akibat sirosis, dan banyak berkembang menjadi hiponatremia spontan. karena itu, beberapa hepatologists, termasuk penulis,menganjurkan ekspansi plasma lebih lanjut untuk menormalkan dan menghambat rangsangan pelepasan ADH. Studi diperlukan untuk menentukan pendekatan terbaik. Terdapat data yang muncul mendukung bahwa penggunaan antagonis reseptor vasopresin 2 tertentu dalam pengobatan dilusi hiponatremia, tetapi apakah ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan belum diketahui. Hal ini penting untuk menghindari hiponatremia berat pada pasien yang menunggu transplantasi hati karena dapat meningkatkan risiko mielinolisis pontine pusat selama resusitasi cairan dalam operasi.
4. Manajemen hiponatremia pada pasien dengan terapi diuretik
Natrium serum 126 mmo/l
Untuk pasien dengan asites yang memiliki natrium serum 126 mmol/l, seharusnya tidak ada pembatasan air, dan diuretik dapat dengan aman dilanjutkan, menunjukan bahwa fungsi ginjal ini tidak memburuk atau belum secara signifikan memburuk selama terapi diuretik.
Natrium serum 125 mmol/l
Untuk pasien dengan hiponatremia sedang (natrium serum 121-125 mmol/l), terbagi pendapat pada tindakan apa yang terbaik berikutnya. Pendapat internasional, di mana konsensus para ahli internasional dicari dan dilaporkan, bahwa diuretik harus dilanjutkan. Namun, tidak ada atau sedikit data yang mendukung tindakan yang terbaik, dan pandangan pribadi kami adalah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih hati-hati. Kita percaya bahwa diuretic harus dihentikan sekali natrium serum 125 mmol/l dan pasien diobservasi. Semua ahli dilapangan merekomendasikan diuretik dihentikan jika natrium serum 120 mmol/l. Jika ada peningkatan yang signifikan kreatinin serum atau kreatinin serum >150 µmol/ l, kita akan merekomendasikan ekspansi volume. Gelofusine, Haemaccel, dan Solusi albumin 4,5% mengandung konsentrasi natrium setara dengan salin normal (154 mmol/l). Hal ini akan memperburuk retensi garam tetapi kita mengambil pandangan bahwa lebih baik untuk memiliki asites dengan fungsi ginjal normal dari pada berkembang dan berpotensi menjadi gagal ginjal ireversibel. Pembatasan air harus disediakan untuk mereka yang secara klinis euvolaemic dengan hiponatremia parah, klirens air bebas menurun, dan yang tidak sedang terapi diuretik, dan di antaranya kreatinin serum normal.
5. Diuretik
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940 ketika pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi selama bertahun-tahun tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris telah membatasi terutama spironolactone, amilorid, furosemid, dan bumetanide.
Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada tubulus distal untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium. Spironolactone adalah obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis. Dosis harian inisial 100 mg bisa ditingkatkan sampai 400 mg untuk mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5 hari antara awal pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol natriuretik telah menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan diuresis dari loop diuretic seperti furosemide. Efek samping paling sering spironolakton pada sirosis adalah yang berkaitan dengan ativitas antiandrogenik nya, seperti penurunan libido, impotensi, dan ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan menstruasi pada wanita (meskipun sebagian besar wanita dengan asites tidak menstruasi saja). Ginekomastia dapat secara signifikan berkurang ketika canrenoate kalium hidrofilik derivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di Inggris. Tamoxifen pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam pengelolaan gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan yang sering membatasi penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.
Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan diuresis pada subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan untuk pengobatan spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan sendirian pada sirosis. Dosis awal frusemid adalah 40 mg/hari dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan elektrolit berat dan alkalosis metabolik, dan harus digunakan hatihati. Furosemid dan spironolactone bekerja simultan meningkatkan efek natriuretik.
Diuretik lain
Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis pada 80% pasien dengan dosis 15-30 mg/hari. Hal ini kurang efektif dibandingkan dengan spironolakton atau kalium canrenoate. Bumetanide mirip dengan frusemid dalam kerja dan efikasi. Secara umum, pendekatan '' stepped care'' yang digunakan dalam pengelolaan ascites dimulai dengan diet pembatasan garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis spironolactone. Furosemid hanya ditambahkan bila 400 mg spironolakton sendiri telah terbukti inefektif. Pada pasien dengan edema berat tidak perlu untuk memperlambat laju harian penurunan berat badan. Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites berlanjut, maka tingkat penurunan berat badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama diuresis dikaitkan dengan deplesi volume intravaskular (25%) yang mengarah ke ginjal, hati penurunan ensefalopati (26%), dan hiponatremia (28% . Sekitar 10% pasien dengan sirosis dan asites memiliki asites refrakter. Pada pasien yang gagal merespons pengobatan, riwayat diet dan obat-hati harus diperoleh. Penting untuk memastikan bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau obat yang menghambat garam dan ekskresi air seperti obat-obatan antiinflamasi non-steroid. Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan pengukuran ekskresi natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodium yang direkomendasikan, dan pasien tidak menanggapi pengobatan, maka dapat diasumsikan bahwa pasien non-compliant.
6. Terapi paracentesis
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh paracentesis ulanagan dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis dengan penggantian koloid cepat, aman, dan effective. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar paracentesis (4-6 l/hari) dengan infus albumin (8 g/liter asites yang hilang) lebih efektif dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat inap yang lebih singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini diikuti oleh penelitian lain yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan paracentesis, perubahan hemodinamik setelah paracentesis, dan kebutuhan terapi penggantian koloid. Paracentesis total umumnya lebih aman dari paracentesis berulang, jika ekspansi volume diberikan pasca-paracentesis. Jika ekspansi volume pascaparacentesis gagal memberikan volume ekspansi dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit.
Setelah paracentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi diuretik tidak dihidupkan kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati dengan spironolactone. Memperkenalkan kembali diuretik setelah paracentesis (biasanya dalam 1-2 hari) tampaknya tidak meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi postparacentesis.
7. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
Peningkatan tekanan portal adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap patogenesis asites, tidak mengherankan bahwa TIPS adalah perawatan yang sangat efektif untuk asites refrakter. Ini berfungsi sebagai sisi pada sisi portocaval shunt yang dipasang dengan anestesi lokal dan sedasi intravena, dan menggantikan penggunaan pembedahan yang ditempatkan di portocaval atau mesocaval shunts. Sejumlah studi uncontrolled telah diterbitkan menilai efektivitas TIPS pada pasien dengan asites refrakter. Dalam kebanyakan studi keberhasilan teknis dicapai pada 93-100% kasus, dengan kontrol dari asites dicapai dalam 27-92% dan resolusi lengkap sampai dengan 75% kasus. TIPS menghasilkan penurunan sekunder aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan meningkatkan ekskresi natrium.
Percobaan acak prospektif telah menunjukkan TIPS lebih efektif dalam mengendalikan asites dibandingkan dengan paracentesis volume besar. Namun, tidak ada konsensus mengenai dampak TIPS pada kelangsungan hidup bebas transplantasi pada pasien dengan asites refraktori. Dalam satu studi TIPS tidak berpengaruh pada survival sementara yang lain telah melaporkan peningkatan survival baik dibandingkan dengan terapeutik paracentesis.
III.2.7 Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua tahun diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam waktu enam bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan, pasien hidup sambil menunggu transplantasi hati, perawatan seperti terapi paracentesis dan TIPS tidak memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang tanpa transplantasi untuk pasien. paling karena itu, ketika setiap pasien dengan sirosis berkembang menjadi asites, kesesuaian untuk transplantasi hati harus dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan untuk fungsi ginjal pada pasien dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal menyebabkan morbiditas lebih besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati dan berhubungan dengan tinggal lama di ICU dan rumah sakit.
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien datang ke IGD RS Mardi Waluyo Blitar pukul 04.30 WIB dengan keluhan muntah bercampur darah berwarna merah kehitaman 2 kali sejam yang lalu. Sebelum muntah darah, diawali dengan rasa mual. Buang air besar berwarna hitam. Badan terasa lemas, nafsu makan menurun, berat badan merasa menurun.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak lemas dengn TD 90/60 mmHg, nadi 84x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,2 derajat celcius. Pasien tampak lemas dengan konjungtiva anemis dan abdomen distended.
Perkembangan asites merupakan tonggak penting dalam perjalanan alamiah sirosis. Pengelolaan asites memadai penting, tidak hanya karena meningkatkan kualitas hidup pasien dengan sirosis, tetapi juga mencegah komplikasi serius seperti SBP. Namun, pengobatan asites tidak secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, perkembangan asites harus dipertimbangkan sebagai indikasi untuk transplantasi. Transplantasi hati merupakan pengobatan utama asites dan komplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011 February 23rd]. Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789 /3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf
Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis hepatis di RSUD Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2011 February 23rd]. Available from : URL : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/09_150_Sonografisirosishepatis.html
Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In : Kasper DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.
Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.
Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 415-6.
Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a glance. USA: Blackwell Publishing Company; 2002. p. 44-5.
Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam : Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2006. Hal.472-5.
Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy. 4th Edition. USA : Saunders Elsevier; 2006. p. 287.
Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology. 4th Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35
Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 902-6.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7th Edition. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2011 February 23rd]. Available from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview
Marc S. Sabatine, Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine, 2004, p.106-10
David C. Dale, Daniel D.Fedeman, AMP Medicine 2007 Edition, Washington D.C., 2007,p.IX : 1-26