ARAHANMITIGASIBENCANA PERKOTAANDIINDONESIA
Editedby....
Igun’z
[email protected] 0274-9194045
ARAHAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA PERKOTAAN DI INDONESIA
SEKRETARIAT BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGGULANGAN PENANGGULANGAN BENCANA DAN PENANGANAN PENGUNGSI ( BAKORNAS PBP ) JAKARTA, 2002
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………. ii
BAB I
BENCANA PERKOTAAN DI INDONESIA …………………………………………. 1
1.1 Potensi Bencana ………………………………………………… …………………………………………………………………. ………………. 2 1.2 Tingkat Kerentanan ………………………………………………… ……………………………………………………………… …………… 2 1.3 Resiko Bencana ………………………………………………… ………………………………………………………………….. ……………….. 3 1.4 Mitigasi Bencana Perkotaan Perkotaan dan Peran Peran Pemerintah Daerah di Era Desentralisasi ……………………………………………………………………. 4 1.5 Pentingnya Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan ……………………… ………………………
BAB II
5
PENYUSUNAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA PERKOTAAN …………… 7
2.1 Visi Untuk Komunitas Lingkungan Perkotaan yang Aman …………………. 7 2.2 Tujuan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan ………………………………. ………………………………. 8 2.3 Asas dan Prinsip Prinsip Dasar ……………………………………………...... ……………………………………………...... 9
BAB III
ARAHAN KEBIJAKAN ……………………………………………………………… 11
i
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
KATA PENGANTAR
Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia dan lempeng Dasar Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor. Wilayah kota sebagai daerah hunian merupakan kawasan yang sangat rawan bencana, oleh karena itu perlu diupayakan langkah-langkah strategis untuk melindungi setiap warga negara dengan langkah-langkah penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi.
Salah satu upaya yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana adalah pencegahan dan mitigasi, yang merupakan upaya untuk mengurangi atau memperkecil dampak kerugian atau kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana. Salah satu upaya pencegahan dan mitigasi ini adalah melalui penetapan kebijakan penanggulangan bencana. Khusus untuk mitigasi bencana perkotaan ini, Sekretariat BAKORNAS PBP bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung melalui Indonesian Urban Disaster Mitigation Project ( IUDMP ), untuk menyiapkan Arahan Kebijakan Nasional Mitigasi Bencana Perkotaan. Arahan kebijakan tersebut telah dibahas dalam seminar dan
lokakarya, sehingga telah diperoleh masukan yang cukup dari stakeholders perkotaan. Semoga Arahan Kebijakan Nasional Mitigasi Bencana Perkotaan ini dapat menjadi bahan/acuan bagi penyusunan kebijakan pembangunan kota-kota di Indonesia. Jakarta, 10 Desember 2002 An. Sekretaris BAKORNAS PBP Wakil, ttd Budi Atmadi Adiputro
ii
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
BAB I BENCANA PERKOTAAN DI INDONESIA Indonesia merupakan Negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh faktor alam (gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah longsor, angin ribut, dll), maupun oleh faktor non alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia. Umumnya bencana yang terjadi tersebut mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Bencana banjir Jakarta di awal tahun 2002 menunjukkan betapa besarnya kerugaian yang ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setelah kejadian banjir di Jakarta, diperkirakan akanmenghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Kerugian ini belum termasuk kerugian yang diderita oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi percepatan program pembangunan kota serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Khusus dalam hal bencana yang disebabkan oleh gempa bumi, misalnya, sebagai gambaran hasil penelitian dan kajian beberapa pakar, menunjukkan bahwa selama 25 tahun kejadian gampa di Indonesia, korban bencana lebih diakibatkan oleh kerusakan bangunan rumah sederhana seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding, dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa bumi melalui pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya berhasil. Selain gempa bumi, sejak tahun 1987 sampai sekarang telah terjadi lebih dari 800 kejadian bencana tanah longsor yang menimbulkan korban lebih dari 700 jiwa, dimana setengah dari kejadian tanah longsor tersebut terjadi di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi daerah Jawa Barat dan Banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan memiliki curah hujan yang tinggi. Disamping bencana gempa bumi dan tanah longsor, gejala anomali iklim global El Nino telah menyebabkan terjadinya bencana kekeringan yang menyebabkan menurunnya hasil produksi pertanian secara signifikan dan kebakaran yang menyebabkan kerugian lebih dari US$ 0,88 Juta dan kerugian negara-negara ASEAN sedikitnya US$ 9 Milyar. Sementara itu gejala La Nina, yang memperbanyak curah hujan, telah banyak menimbulkan bencana banjir dan beberapa diantaranya diikuti dengan tanah longsor. Kerugian dari gejala anomali iklim
1
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
tersebut meliputi bidang pertanian, transportasi, pariwisata, dan beberapa aktivitas ekonomi, dan belum termasuk biaya kesehatan, kehilangan keanekaragaman hayati, kerusakan akibat kebakaran, dan degradasi lingkungan yang tidak terukur. Kerugian-kerugian baik jiwa maupun materi yang timbul akibat berbagai bencana bukanlah suatu jumlah yang kecil. Hal ini harus mulai menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah Indonesia. 1.1 POTENSI BENCANA
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bencana (hazard potency ) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama ( main hazard ) dan potensi bahaya ikutan (collateral ). Potensi bahaya utama ( main hazard potency ) ini dapat dilihat antara lain pada peta hazard ). potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya utama ( main hazard potency ) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi negara Indonesia. Disamping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency ) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan ( collateral hazard potency ) ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan indikator diatas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana yang sangat tinggi.
1.2 TINGKAT KERENTANAN
Tingkat kerentanan (vulnerability ) perkotaan di Indonesia adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ‘bencana alami’, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya alam’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2): “....... Natural disasters are the interaction berween natural hazards and vulnerable condition” .
2
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
Tingkat kerentanan kota-kota di Indonesia dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya ( hazard ) tertentu. Melihat darib erbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka perkotaan Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan tinggi sementara di lain pihak persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA rendah. Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam ( man), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya made disaster ), angka pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin. Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya resiko terjadinya bencana di wilayah perkotaan Indonesia. 1.3 RESIKO BENCANA
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan resiko ‘bencana’ yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Resiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya resiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan
3
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. 1.4 MITIGASI BENCANA PERKOTAAN PERKOTAAN DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DI ERA DESENTRALISASI
Dari latar belakang tentang bencana alam di perkotaan Indonesia, mitigasi bencana perkotaan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam( natural disaster ) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster ). ). UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, serta PP No. 25 tahun 2000 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Pemerintah Kota (dan Kabupaten) untuk mengelola pembangunan kotanya, khususnya dalam administrasi pemerintahan dan keuangan. Oleh karena itu sekarang ini pemerintah kota mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan pembangunan di segala bidang, yang tertujuan meningkatkan peran kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah, penggerak pembangunan, pusat jasa pelayanan dalam segala bidang, serta pusat informasi dan inovasi – termasuk dalam hal teknologi mitigasi bencana. Akan tetapi, konsentrasi peran yang besar di kota-kota tersebut, tidak lepas dari kenyataan bahwa kota-kota di Indonesia terletak pada lokasi-lokasi yang rawan terhadap bencana alam, dan karena sangat heterogen dan pluralnya sistem sosial dan perekonomian yang terjadi juga sekaligus rawan terhadap bencana sosial, bencana teknologi, atau bencana buatan manusia lainnya. Dalam konteks Indonesia, perbedaan antara bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh manusia cenderung tidak jelas. Banyak kejadian alam dan bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia dalam penggunaan sumber daya dan tindakan yang tidak memadai serta kurangnya pandangan jauh ke depan. Oleh karena itu sudah saatnya para pemerintah kota, yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), maupun pemerintah kabupaten (yang juga mempunyai kawasan perkotaan), yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), berinisiatif dan secara lebih proaktif mengembangkan sistem perencanaan pembangunan kota yang berkelanjutan dan berwawasan mitigasi bencana.
4
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
1.5 PENTINGNYA KEBIJAKAN KEBIJAKAN MITIGASI MITIGASI BENCANA PERKOTAAN PERKOTAAN
Selama ini, di dalam praktek, penanggulangan bencana masih ditekankan pada ‘saat’ serta ‘setelah (pasca)’ terjadinya bencana. Sementara itu, pada tahap ‘sebelum (pra)’ bencana yang telah diakomodasikan masih terbatas pada tahapan pencegahan (prevention), yaitu dengan menghindari pemanfaatan kawasan yang ‘rawan bencana’ untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya. Kebiijaksanaan yang ada juga belum memadukan berbagai program pembangunan perkotaan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga kota dari bencana yang mungkin terjadi. Selain itu juga disadari bahwa kebijakan nasional penanggulangan bencana yang ada masih mengandung beberapa kelemahan yang cukup esensial, selain dalam hal substansinya (yang masih sangat umum, tidak khusus untuk perkotaan yang jauh lebih rentan), juga pada tingkat kemungkinan ‘applicability ’ dari kebijaksanaan tersebut di dalam tataranpraktik sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada. Oleh karenanya, sejak diterapkannya UU No. 22 tahun 1999 peran pemerintah pusat di era desentralisasi baru yang lebih terbatas pada penyusunan pedoman, standard, atau aturan kebijakan pokok. Hal tersebut berimplikasi pada tuntutan penyusunan kebijakan nasional mitigasi bencana yang lebih baik, dalam artian kebijakan nasional yang lebih layak secara teknik (efektif dan cukup), ekonomi dan finansial (efisien, keefektifan biaya), politis (diterima masyarakat, responsif, legal), dan secara administratif dapat dilaksanakan (otoritas, komitmen, kapasitas, dan prasarana & sarana pendukung). Khusus dalam kebijakan penanggulangan bencana alam, kebijakan yang telah ada saat ini umumnya juga lebih menekankan pada pencegahan/penghindaran dalam menyikapi kawasan yang rentan terhadap bencana. Hal ini khususnya berlaku untuk kawasan yang belum terbangun, yaitu dengan menjadikannya sebagai kawasan lindung/preservasi, yang tidak boleh sama sekali dibangun. Dalam hal tertentu, kebijaksanaan tersebut kadangkadang dapat menimbulkan persoalan dalam pembangunan, khususnya terkait dengan hilangnya kesempatan sosial ekonomi atas lokasi-lokasi yang strategis di perkotaan. Kepadatan penduduk yang terpusat di perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan penduduknya yang cukup tinggi (proses itensifikasi), menyebabkan daerah perkotaan tersebut menjadi rawan/rentan terhadap bencana baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia. Permintaan lahan untuk perumahan dan industri (proses ekstensifikasi) juga menyebabkan bertambahnya area yang potensial terhadap bencana. Mengingat bahwa mitigasi ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko akibat bencana terhadap manusia dan harta bendanya, maka prioritas perlu diberikan untuk kawasan-kawasan perkotaan yang secara inherent mengandung potensi resiko yang tinggi jika terjadi bencana sebagai akibat akumulasi dari tingkat kerentanan (vulnerability level ),), yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah yang secara umum kurang terbangun, dengan potensi bahaya (hazard potency ) yang dimilikinya.
5
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
Setiap pemerintah kabupaten/kota perlu mempunyai suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengikuti pedoman atau Arahan Kebijaksanaan Mitigasi Bencana Perkotaan yang diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program pembangunan perkotaan yang berwawasan keamanan dan keselamatan warga kota dari bencana yang mungkin terjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Salah satu sebab pentingnya penyusunan kebijaksanaan mitigasi perkotaan ini, disamping mengurangi dampak dari bencana itu sendiri adalah juga untuk menyiapkan masyarakat ‘membiasakan diri’ hidup bersama dengan bencana, khususnya untuk lingkungan yang sudah (terlanjur) terbangun, yaitu dengan mengembangkan sistem peringatan dini dan memberikan pedoman bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yang biasa terjadi, sehingga masyarakat dapat merasakan keamanan serta kenyamanan dalam kehidupannya. Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement ) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerahdaerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.
6
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
BAB II PENYUSUNAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA PERKOTAAN
2.1 VISI UNTUK KOMUNITAS KOMUNITAS LINGKUNGAN LINGKUNGAN PERKOTAAN YANG AMAN
Tingkat percepatan peningkatan jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia terutama terjadi di daerah perkotaan, selain disebabkan pertumbuhan alamiah juga dipercepat dengan tingginya tingkat urbanisasi. Proses urbanisasi ini pada umumnya tidak diiringi dengan persiapan yang matang di kota-kota untuk dapat menampung “tekanan”penduduk tersebut, baik dari segi fisik, ekonomi, sosial maupun budaya. Hal ini menimbulkan berbagai masalah dan dampak negatif. Dari segi ekonomi, urbanisasi menyebabkan pengangguran, yang menimbulkan berbagai masalah sosial seperti kemiskinan dan/atau rendahnya tingkat kesejahteraan yang berimplikasi pada menurunnya daya dukung tanah, sehingga meningkatkan kerentanan (vulnerability ) terhadap bencana. Disamping itu karena luas lahan yang cocok (suitable) untuk pembangunan terbatas, ekstensifikasi kadang-kadang menggunakan wilayah yang rentan terhadap bencana (disaster prone area) Dari uraian di atas jelas bahwa peningkatan jumlah penduduk, khususnya urbanisasi menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan “rasa tidak aman” ( feeling of insecurity ), ), terutama bagi masyarakat perkotaan yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah (kelas bawah). Karena itu dirasakan adanya suatu kebutuhan akan komunitas serta lingkungan perkotaan yang lebih “aman” baik terhadap bencana alam dan bencana lain akibat ulah manusia, sehingga secara umum dapat meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life) penduduk perkotaan. Secara umum, langkah-langkah untuk mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Safer City Process) adalah 1 : a. Memperkirakan kebutuhan yang harus dikembangkan untuk “keselamatan perkotaan” b. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat c. Memformulasi Memformulasikan kan dan mengimple mengimplementas mentasikan ikan rencana rencana tindak tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan.
1
World Habitat Day 1998
7
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
Berbagai langkah yang ditempuh untuk mengurangi resiko/dampak dari suatu bencana di perkotaan, biasanya juga merupakan langkah untuk mengurangi dampak dari bencana ikutannya. Oleh karena itu ‘visi’ harus dibangun secara komprehensif, sehingga harus didasarkan pada semua jenis bencana alam dan/atau juga mencakup bencana-bencana lainnya yang mengancam perkotaan di Indonesia. Maka, Visi Komunitas dan Lingkungan Perkotaan yang Aman adalah : Komunitas dan lingkungan perkotaan di Indonesia akan menjadi suatu entitas fisik, sosial, ekonomi dan budaya yang layak huni, bersahabat, sehat dan berkelanjutan, lengkap dengan semua prasarana dan sarana kehidupan, penghidupan dan keselamatan terhadap bencana alam maupun buatan secara terpadu.
2.2 TUJUAN KEBIJAKAN KEBIJAKAN MITIGASI BENCANA BENCANA PERKOTAAN PERKOTAAN
Kebijaksanaan Mitigasi Perkotaan merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di daerah perkotaan. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang, baik terhadap kehidupan manusia maupun harta benda. Tujuan utama (ultimate goal ) dari Penyusunan Kebijaksanaan Mitigasi Bencana Perkotaan ini adalah sebagai berikut : a. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk perkotaan, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi (economy costs) dan kerusakan sumber daya alam. b. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan perkotaan. c. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mas yarakat perkotaan (public awareness) dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe). Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, beberapa sasaran perlu ditetapkan sebagai berikut : a. Mengidentifikasi bencana dan perhitungan/perkiraan dampak/resiko yang ditimbulkan b. Menerapkan Menerapkan hasil penelitian penelitian dan dan transfer transfer teknologi teknologi c. Meningkatkan Meningkatkan pengetahuan pengetahuan masyarakat masyarakat (public awareness) melalui sosialisasi, pelatihan dan pembinaan d. Menerapkan Menerapkan sistem insentif insentif e. Meningkatkan Meningkatkan kualitas kualitas kepemimpi kepemimpinan nan dan koordinasi koordinasi
8
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
Kelima sasaran tersebut nantinya harus dijabarkan lagi menjadi Program Tindak (Action Plan) berdasarkan fungsi, tugas dan kewajiban masing-masing aktor/pelaku/pihak-pihak yang terlibat dalam proses mitigasi. 2.3 ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
Secara umum, Kebijaksanaan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada asas-asas sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g.
Kebersamaan Kebersamaan dan kesukarelaan kesukarelaan Koordinasi Koordinasi dan Intergrasi Intergrasi Kema Kemand ndiri irian an Cepat Cepat dan tepat tepat Prio Priorit ritas as Kesi Kesiap apsia siaga gaan an Kese Keseme mest staa aann
Dalam penyusunan strategi nasional mengenai mitigasi bencana terdapat beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan untuk dijadikan dasar penyusunan kebijaksanaan. Sebagai contoh beberapa prinsip yang digunakan Federal Emergency Management Agency (FEMA) yang dalam konteks Indonesia dapat digunakan, yaitu : Langkah/kegiatan untuk mengurangi dampak/resiko dari bencana : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Diutamakan Diutamakan untuk keberha keberhasilan silan ekonomi ekonomi jangka jangka panjang panjang secara secara keseluruhan keseluruhan Seja Sejala lann (compatible) dengan bencana lain Dievaluasi Dievaluasi agar diperoleh diperoleh hasil terbaik terbaik Sejalan Sejalan dengan bencana bencana teknologi teknologi Bersif Bersifat at lokal lokal Penekanan Penekanan pada mitigasi mitigasi pro-akt pro-aktif, if, sebelum tanggap-dar tanggap-darurat urat Identi Identifika fikasi si bahaya bahaya (Hazard Identification) dan penilaian resiko (Risk Assesment ) Kerjasama Kerjasama pemerintah pemerintah,, baik pusat pusat maupun maupun daerah, daerah, dengan dengan pihak pihak swasta swasta Sejalan Sejalan dengan dengan perlindungan/p perlindungan/pelesta elestarian rian sumberdaya sumberdaya alam/lingkunga alam/lingkungann Pihak yang memilih untuk untuk memperkirakan memperkirakan resiko yang lebih besar besar harus bertanggungjawab atas pilihan tersebut
Beberapa pertimbangan dalam menyusun program mitigasi, khususnya di Indonesia adalah : a. Mitigasi Mitigasi bencana bencana harus harus diintegrasi diintegrasikan kan dengan dengan proses proses pembanguna pembangunann b. Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan, tenaga kerja, perumahan dan kebutuhan dasar lainnya
9
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
c. Sinkron Sinkron terhadap terhadap kondisi kondisi sosial, sosial, budaya serta ekonomi setempat setempat d. Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan membangun sendiri e. Menggunakan sumber sumber daya dan dana lokal (sesuai prinsip prinsip desentralisasi) f. Mempelajari Mempelajari pengemban pengembangan gan konstruksi konstruksi rumah rumah yang yang aman bagi bagi golongan golongan masyaraka masyarakatt tidak mampu, dan pilihan subsidi biaya tambahan membangun rumah g. Mempelajari Mempelajari teknik teknik merombak merombak (pola (pola dan struktur) struktur) pemukim pemukiman an h. Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah yang rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial, ekonomi, maupun implikasi politik i. Mudah dimengerti dimengerti dan diikuti oleh masyarakat masyarakat
10
Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia
BAB III ARAHAN KEBIJAKAN
Kebiksanaan/kebijakan (policies) merupakan implementasi strategi, yang menggambarkan alternatif pencapaian tujuan. Kebijaksanaan ini merupakan prinsip dari mitigasi bencana yang disusun berdasarkan tujuan dan strategi yang ingin dicapai dan memiliki target yang lebih langsung dalam mencapai tujuan. Untuk lebih mengoperasionalkan kebijakan/kebijaksanaan tersebut, program-program pokok harus dilaksanakan sehingga operasionalisasi kebijakan menjadi suatu rencana tindak di tingkat pelaksana di lapangan (sektoral maupun regional) menjadi suatu hal yang nyata, dan hasilnya menjadi manfaat sesuai dengan tujuan semula. Program-program yang diindikasikan disini merupakan kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai asas subsidiaritas, bahwa pengambilan keputusan dan/atau pelaksanaan diselenggarakan di tingkat terendah yang memungkinkan. Berikut ini adalah usulan kebijakan dan program untuk mitigasi bencana perkotaan di Indonesia yang perlu dilakukan sesuai dengan kondisi kekuatan, kelemahan internal, maupun peluang, dan ancaman/tantangan eksternal yang ada di Indonesia saat ini.
11
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
n a a t o k r e P a n a c n e B i s a g tii M m a r g ro P n a d n a a n a s k a ji b e K n a h a r A l e b a T
ik a b , a n a c n e b i s a g tii m n a g n e d ti a k r te g n a y k a h i /p i s a is n a g r o h u r u l e s i s a ifk ti n e : d i m g n a r e g M
ro P
ti a k r e t g n a y i s a is n a i g r s o a /k n i a d i r h o p o h k g u r n u l e e M s ) n u p im h g n e m (
:
1 n a a n a s k a ji b e K
i s a g tii m i a n e g n e . m a t s n a a w h s e s n a r u a p s u a n m u p n u a a g m n a r a y o r r e a p k , a k n o a /l h p ta o n ir h s e rk m o e w p - a n p o u n r , e n b a ik h a ta b n ir m e u r m o e f p k i s tu a n is e n b a m g r e o M
g n i s a m g n i s a m n e tim m o k ta r e s n a u p m a m e k t a h il e m k tu n u h a y a li w h u r u l e s i d a n a c n e b
ta r e s , a n a c n e b i s a g tii . m a n s a c e n s e o r b p is a m tg i a l i a m d ir fi a t d k a g n t ta a a b il d r n e t a k k a tu g n n u a y t n u a b h e tu s r u te b e k k n a a h i k /p r i a s i r a k is e n p a m g r e o m
a r ta n a n a k u k a li d
. a n a c n e b g i n s a a y g tii a m m a a h s a a s j r u e k m a l k a d tu t n a e b i b - lr k e tu t n g e n b a y i s n a a s k i a n ir a k r g r e /o p k m a e h i M p t a p a d
,) n a g n a r a n , o r a h e c ta p n n e ir n b e u p m u i e a s a p m g tii n a m i h s ta a ir n is n a n e g a n g m e r e d o p ik a b (
i a g a b r e b
n o n
n a d fi t k a a r a c e s n a tk a b il i d k tu n u
i s a g tii m s e s o r p
ro P
. a n a c n e b
n a d ir n i d r o o k g n e p i a g a b e s P B . P n a K ta A o L k r T e A p S a n n a a d c n e P b B e P p K ti A g L n i s R a O K m - T g A n i S s a n m a n i s a r a e g it p i m n a k k tu p n ta u e a n d e a M
i d
p a ti ir a d i) s a n i d r o o k n a d i s a . s i g n n i s a a g r o m - ( g j a n r i s e a k m ta h a a r k e u a ta d a i / d n a a n d a p c n ta e te b r i s u a d g e s tii o r m p s e n s a o r k p g n il a a b d m n e e g g n n e e p M
a h a s u n a g n e d ti a k r te g n a y . is a a n s a i c n n a e g r b o i / s k a a g h i tii p m ) a g h in a ld s i u u n b a y g it n c e a d p ti a a c ( k r s e t ta g is n a a p y a k k a n h i a /p tk i s a a k is g n n i a n g r e o M
,i n s a n i d a p n o a r c n P ta e b h o /K r n n a e e e a ta m : n e D p a j ( u 2 d a n n l b a a a a K ) a m k t n o a l a i a s k s s m a k a a ti t h a r a a ji m s s a a y r a a k e s b ti j r p g a a e p e a n K O k k ti D m n a i s a is n a g r o g n e p
m a l a d h u r u l e y n e m
g n a y l a k o l a y a d r e b m u s n a h a m e l e k n a d n ta a u k e k a tr e s s ta fii t k a h u r u l e s i s a ifk ti n e : d i m g n a r e g M
n ta a k g n i n e p
2 1
. a n a c n e b i s a g tii m
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
h a r e a d p a ti i d P B P K A L T A S n a d P B P K A L R O K T A S n a k u d u d e k n a r tu k u tr s n e p n a k : u k m a l a r e g M
ro P
n a r e p
:
3 n a a n a s k a ji b e K
i s a r e p O n a d n a il a d n e g . n a e d r P e ta p s m u P a l a g d n e a k u a R y i n p n a k a g k n g n e l a e u m n e n m a n d a n d a k ta g o n /k a n b m te e a g p n u e b a m k , n n a a d k i p s a i n i y p n o e r p M
. ta o /k n te a p u b a k n a d i s n i p o r p p a ti e s i d ) S P O L A D S U P U R (
a n a c n ir e n i b d r is n o a a o ti d k i g m P n e s i B p e s P s a i o r a p ils g a K A a i m L b l ti R e a p s d n o O e g K n T P g e A B n e M S P p K A L T A S
n a d
n a a n a s k a j i b e k
P B P
m a r g o r K p A L T a A d S a p n a a d y n P n B a k P a tr K e A s L tu R ik O g K n T e A m S i n d a g s n a e g d tu r ) e a b is g u n n a a y m a y a d r e b m u s
n a d i g e t a tr s n a k g n a b m e g n e m P B P K A L T A S
a y a d
n a d
r e b m u s
P B P
.t a l ik n d a k a /n p m a a i ta h y ti n u a r l e e e t M ( p
K A L R O K T A S
r a s a d s ta a g n i s a m g n i s a m h a r e a d i d
/i s ta l u s n o k , /n h 9 a a 9 r g 9 e n /1 a u k 2 D u 2 d n n a a . h tk o a a N ta f n ir n e a m m U e e U P m g n ta n te
n a g n e d
g n i s a m a y n h a y a il w i d ) a n a d r e b m u s i s a k fii t n e d i g n e m k u s a m r te ( i s a g tii m l a n o i s a r e p o
.t a b il r te g n a y i s a is n a g r /o k a h i p i a g a b r e b ir a d r to a ils i s a f i a g a b e s n a r e p r e b n a g n e d g n i s a m
k tu n u i s a tr is n i m d a
a r a c e s a n a c n e b
m te is s n a k n a b m e g n e m P B P K A L T A S n a d P B P K A L R O K T A S
k u s a m r e t , k a h i p i a g a b r e b a m a s a j r e k
h i b e l
n a w a r .i s a g tii m s a ti r o ir p ta r e s m a r g o r p i s ta n e m e l p im g n u k u d n e m
n a ta o k r e p n a s a w a k n a ta e m e p n a d i e v r u s n a k : u k m a l a r e g M
ro P
: .l a n o i s a n r te n i
4 n a a n a s k a ji b e K
) ik n o tr k e l e a r a c e s n a k n i k g n u m e m a ik j ( a n a c n e b ta e /p ta a d
g n a y
, a n a c n e b ta e p n a d ta a d i p a k g n e l e M
i d
h ta n ir e k m a e h p i p k n e a a k h k t i . a u p a d b y . e n k n a s g a n r tr i u a n t a e te a t l e n ti s u o m i k a r g k i e n o l r a p a o k te g d a a k n n n to m a ta i a e e d e i h c l n i p , m e p e r k n b n a e a a e i k f p r h a a s i a g n n p p a u a b g ta i tr r i r d a n e g e d e b s o a l g m l p o n n a a a e k d n k k o to ta y a l e i d b n a , a m ik g y o l a d a n i o t g t n o d n a irn a k k s g k e r n n t a a u /i a h p a b k a y g p s h g a e r l e n ta n o o y k o a n n a i b i d r b s d e e o r e m e m r t b e f m e /k e s e g a m u n . n n p i ta a n a p d a rt is e m s a k n /m a a li h n l tu a n d u t a u k s u /n a a ta tu u v s s i e b k n e i u a r y g g h d n m a l a n u a l r n e e e tn e e e a m m M a M k M s
g n a y o ik s e /r k a p m a d n a k a ir k r e p m e m
. a y n n a lk u b m tii d
n a k a ir k r e p m e m
3 1
t s e t t lio p
. h a r e a d
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
h a y a li w . m h a l u a r u l a y e a s d i r d e b o m k i u s s e /r n k a a d p ,i m m a o d n o n k a e ,l a ir a i k r s e o p s n g a n d a d i a b i n d a c n n a i e g b u r g e k n ta is n n e te j n n a a r a r o ik p r a l e p t k a u u s b a m e m r M te
fi t k fe e g n il a p g n a y i s a g tii m h a k g n a lh a k g n a l
a d a p t u b e s r e t i s a m r o f n i n a k r a b e y n e m a tr e s , n h a a d r e a a n d a n c n a e u b p i m g a o l m o e n k k te n a n g a n k e g d n n a a b k i m a : e u s m g n e a r e is g M d
n a k a ir i d n a k p a i s r e p m e .a m n a c m n a l e a b d t o a ik s k e a r ir a g y n s a a r m u g n n a e a m n i / b n m a e lk p a n im a n d i m n e a h m ti n a l a e d p a n n a a c k n e .t g n a a b k b a a r m y i a e n y g d s n j a a e r m M te
ro P
i s a ils a i s o s
:
5 n a a n a s k a ji b e K
a m ta u r ,t e t a k , a r a a n a a y y a c d n s n a k a e p a p m b i s m n a a d / a g tii tk a n m r e , a b a g n k n n a tii a u ta c k i n n g e e g n e M b il k p a d a h r te
n a d
g n a y i s k u tr s n o k n a d n a g n u k g n il n a g n e d n u g n a b m e m r a g a t a k a r a y s a m n a ik is d n o k g n e M
i d l a g g n ti g n a y k u d u d n e p a d a p
a n a c n e b n a w a r g n a y h a r e a d
a l a p e k n a ta a y n r e p . a n a c n e b is n e j i a g a b r e b k tu n u n ta a m a l e s e k r a d n ta s n a g n e d i a u s e s
p a ti e s m a l a d e k a n a c n e b i s a g it i m h a k g n a /l a h a s u n a k k u s a m e M
. a n a c n e b n a h il u m e p a h a s u g n ta n te h a r e a D a l a p e K a g u j n a d P B P S A N R O K A B
tir e p e s ( fi t k fe e g n a y m a r g o r p i a g a b r e b i u l a l e m t a k a r a y s a m n a u h ta e g n e p n a tk a k g n i n e M
i is d n o k a tr e s l a b o l g a c a u /ic is d n o k h u r a g n e p i s a s li a i s o s k u s a m r te ll) d t a l ik d , n a h u l u y n e p
i g n a r u g n e m k tu n u )
. a n a c n e b a y n i d a j r te a d a p ta i k a r a g e n is g o l o i s fi
m e t s y s g in rn a w y lr a e ( i n i d n ta a g n ir e p i g o l o n k te n a k g n a b m e g n e M
a n u g t a p te i g o l o n k te ig o l o n k te n a k a n u g g n e m n a g n e d m a l a n o n n a d m a l a a n a c n e b k a p m a d
, h i g g n a c g n a y u r a b r te i g o l o n k te ta r e s ll) d ,i p a g n u n u g ,r i j n a b n ta a m a g n e p s o p s o p tir e p e s (
a tir C ,t a s d n a L a tir C , X M G a rt i C , A A O N a tir C ( h u a j k a r a j n a a r e d n i g n e p i g o l o n k te n i a l a r ta n a
,r i a p a u n a g n u d n a k n a w a n a r a b e s , s a n a p k tii t i s k e t e d n e m t a p a d g n a y r a d a R a tir C , T O P S
,r a k a b r te h a r e a d n a s a u l , n a r a k a b e k k tii t , n a h a l n ta a fa n a m e p ,i s ta e g e v is n e j , p a s a n a r a b e s
4 1
.) ll d
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
:
m a r g ro P
:
6 n a a n a s k a ji b e K
g n a u r ta ta r tu k u tr s n a d a l o p i is v e r e m n a d i s a u l a v e g n e m : n u g n a b r te h a d u s g n a y h a r e a d k tu n U
h u : m n . u a a k g n n n a a e c s d n a w a e y b a k n p l a a n d s a i a s m h r a e w t tu i a a n k y ta il , n a a e b n r a t m c e n a k e g n b a n a n s n a g u g n g n a n e y a d a b b to m a r k e p k a n a u a s ta g a a g w / n a n i a h k - d e n s a ta o s o ik a k s w n e r a a a t k j a e a k k g s m n e e r ti s e k p n a a k n n n ta a a u r a n u k a n g s k e n i l m n a e k e P P tu n u
i is v e r e m
a m ta u r te (
n a g n e d ,) ta g o K n n a a g u d n R a u R a i ta a t s a T a T u l a a a v n e n a g a c c n n n e e e M R R
n a n a h ta e k
a k g n a r
s ta il i s a fs ta il i s a f
m a l a d a d a g n a y )
n a d a n a r a s , a n a r a s a r p i p a k g n e l e m s u g il a k e s
k e p s a
a n a c n e b
n a g n o l o g
g n a u R n a h a b m a n e P
a y n k tu n e b r te
e c a p S n e p O (
.i a d a m e m g n a y a n a c n e b
s u g il a k e s t a k a r a y s a m
a r ta n a l a i s o s i s a r g e t n i i s g n fu is g n fu
a k u b r e T
i s a g tii m
n a k g n a b m tir e p m e m
i s a ti li s fa m e m
p a d a h r te
a y a h a b i s n e .) t a o n p a r c n e e b b m i u d s -r a j r e te b m a li u . b ( s n i a s n h a a a u a m k d u a a r v r e e e p t b n a e p k a s m i a s w te a i k a a o k g l n a e b r a g e s u n ) a e n ta td a / a k n k g a e n d d a d il u l a a a c b lr n e m te e m ( k g n n a a n y a k j i i g p a a o i l y k o n g n e n e k m P te
a d a g n a y g n a u r ta ta a n a c n e r i s a u l a v e g n e m :
: n a u lr e p e k k u t n n u u g a n d a a b r g te n a y m a u l y e a b h a b g i n s a n y te o h p a r n e a a k r d a s k a tu d r n e U b
g n a y a y a h a b is n e j p a d a h r te n a h ta g n a y n a n u g m n e t a is b s n i ta s a a r r g a y te s r n i e n p a n d a n d a r n tu a a h a g l n n e a p g n n a ta b a t m e e g g n n e e P p
r a s a D
m a l a d e s a n i a r d n a d n a l a j tir e p e s r u t k u tr s a fr n i
. a y n r ta i k e is d a d a
g n a y n n a s e i a s w fi a o k e K n a s it a r w e a p k e s k tu n n a u n ) u B g L n a K b ( n n a a n g u n g u n k a g B n il i ta n n a a L tu n n e te is e fi k e o n K a r n tu a a d g ,) n e B p D K ( n a n t a ta n e u g g n n e a P B
. n a r a k a b e k tir e p e s n ta a u b n u p u a m ,r o s g n o l & a p m e g tir e p e s , m a l a a y a h a b i s n e t o p r e b
i s n te o p p a d a h r te n a n a h ta e k s ta lii s fa s ta il i s a f n a d a n a r a s , a n a r a s a r p n a a i d e y n e p i s a m ti p O
5 1
. a d a g n a y a y a h a b
.) a n a c n e b i d a j r te a li b ( i s a u k a v e t a p m te ta p m te n o l a c n a g n a d a c n e p n a d n a i s a k o l a g n e P
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
,) s o s fa ( l a i s n o a t s n s e r ta il i a .i s e a r s f a a , g ) tii m m m u a s l s a a a f( d ti r m ir u k o u p m s a ta u r s m r e a te s tili a s g n fa n a c , a n n y e a r n n n u g a a k ta tu n o n a b k r e s e n a p e ti l m a h k u a r tu k e n n a u a d i) d i i g s s g g a tn i n is r ty fu a t ili n n b a e a ta : iv r e a m g n d n l n a r e u e g M v ( P a n a c n e b
ro P
n a n ta n e r e k
:
7 n a a n a s k a ji b e K
.) i g g n ti
y ilt i b ra e ln u v ( a n a c n e b n ta n e r a e r a i d k ta e lr te g n a y a m ta u r te ,r tu k u tr s a fr n i ta r e s
, a n a c n e b
t a k g n ti
p a d a h r te
i g n a r u g n e M
y ilt i b ra e ln u v (
)
n a ta o k r e p h a r e a d k tu n u a y n s u s u h k
ta r e s , s o s fa , m u s fa , n a n u g n a b n a a l o l e g n e p n a r tu a r e /p n a m o d e p n a k g n a b m e g n e M
u r a b n a n u g n a b h u r u l e s k tu n u a n a c n e b p a d a h r te n a h ta n a d n a m a fi t a l e r g n a y r tu k u tr s a fr n i
n a k u u k ta a l a / e n m a d k . ,i tu m s n a a u l a tg i n a i e n m tm a a i c m n h o e a s k b u r p i e a r b d a g a d n h r is u d te s y e l n a g a n k w a ili a r it m f e g e n n p a e n y b a n -t d a s r s o a c e p w n o l a a e k d v i d n e d a a k a m a r y a ta a p l u r e r te k a , i g h d a a tu is y s s a li n ly w a a k n h a a u d r a if u g l e e g n s n e i e d M b
n a r tu a r e p t a u b m e m n a g n e d
n ta a r a y s r e p tir e p e s , n a r tu a r e p
k irs
n a m o d e . p n i ln a a n i n a u l s n u a y n d e , p n a , n n u a g n n u a g b n m a e b p
k tu n u (
n a n u g n a b k tu n u )
p e s n o k i u r s a a b d n i a li s k d u tr g n s a n in g o itt n k f e o d rt ta n r re a e ( s i b i t r t s k e a u n h tr e e s p s n o n n k a a d d n a n i n a a a u n i j ir m s a e e y /p n n e n a p a g r n n tu u a a k k r g u e n p il k a l n r e a m ta d a r n n a ta a y s d s r e ) n u p a r g a n n b a e tk d n a k i a n g s a u . n g g a i tii n m n e a m b a l M
m a l a d ta o k g n . a r a u n a n c a n ta e a b f p n a a d m a e h r p te k n tu ta n n u e r fti g n n e s a n y i n is a d s a fti w n a e k s k n i tu t n a u k a g n m a r a t e u p r te n a a k n a a g c n n e a b b i s m a e g g n tii e m M
. a n a c n e b o ik s e r n a n u r u n e p a k g n a r
n a u k a lr e b m e p p a d a h r te n a h u n e m e p /
n a r tu a r e p n a r tu a r e p ta r e s n a a n a s k a j i b e k n a i s ta n e m e l p im g n e p
. a n a c n e b i s a g tii m g n u m k u a r d g n o r e p m n g a n k a g y n is a a b r m tis : e n i m g n m a r e d g M a
ro P
n a tu n te e k
:
8 n a a n a s k a ji b e K
e c n a il p m o c s ta a l o tr n o k e m is n a k e m n a k g n a b m e g n e M
n a k a n a s k a l e m n a d i s k n a s n a k u k a lr e b m e m n a g n e d a y n l a is m ,t u b e s r te n a r tu a r e p n a r tu a r e p
6 1
. n te is s n o k a r a c e s n a g n a p a l i d n a b tir e n e p
g n a u R
n a r tu a r e p ta n a a T r u t a ta n n r e a e m c p e n rc e o f R n n a E n d a tu n w te ta a e o L k K
r a d n ta s ta r e s , a y n n a a n a s k a l e p
n ta a m a l e s e k u k a b r a d n ta s u k a b
. a y n i ta r e y n e m g n a y n a g n u k g n il
a i s e n o d In i d n a ta o k r e P a n a c n e B i s a g tii M n a k a j i b e K n a h a r A
m a l a d is n k te a g a n te n a a i d e y n e p e m is n a k e m n a ik s a t n e m e l p im g n e m n a d n a k g n a b m : e m g n a r e g M
ro P
9 n a a n a s k a ji b e K
n a ik s ta n e m e l p im g n e m k tu n u h a r e a d g n i s a .) m ta g n o i s /k a n te m a D p A u P b a ir k a n d a a d i m s a t n i p u r o r te p ( a h n a a y d a li n il w a g a g n i s g a n e m P
n a a n u g g n e p :
g n i s a m a y a d r e b m u s n a d n a h tu u b e k n a g n e d i a u s e s i s a g tii m i g te a tr s n a k g n a b m e g n e m
i s a ils a m ti p o g n e M
g n a y fi t n m e s u l n e is b i e d s n ik a a d b fi n tn a e k s g n n i a b a m d e a ik d h .t t a k a u a p b a p e d a s r tii te g l n e h a n a r y e e fi m a t d n e n i d s a i d a n n is a d a n c n n a e a c b d n e i s f b a ti g n is e tii s a m n i i tg i a h m m a u s k h u - g a a n d h a r u s a e s e u M s n u p u a m
a p u r e b ik a b ,i ilk i im d g n a y l a d o m
n u p u a m
, a g a n te
, s ta il i s fa
k tu n u , a n a c n e b
i d a n a c n e b
k a p m a i d s a i g m r n o r f a n u /i g ta n a e d m
. n a k h u t u b i d
n a g n e d a n a c n e b i s a g tii m a h a s u g n u k u d n e m t a p a d g n a y s ta lii s fa i a g a b r e b n a k a n u g g n e M
e m ils a n o i s e f o r p r a d n ta s k tu n e b m e m
n ta a i g e k
. a n a k c u t n n e u b i s ) a a g d tii a m a n k i a j ( g n ir e e d g n e a n g n r u a b m u a l u l h r a d n e b a l a tu g n . n n a o a u i n s b g s a fe c n a a o r n n l p e a g b d n i i . s s a a n a i n y k is tg i a m g n i a u n a m n u g u m r n g u m o i g s a fi n a t n s e ti k a e p il e d g f n s e e n n fa e d a a s d k n n a n s a a m a n ta d a a ir u n s n o g e a a : ir n i j c r n p a s e b m fi e m m k r a e e e r e e e s B p g M p
ro P
e n ro p r e t s a is d ( a n a c n e b n a w a r a e r a
:
.)
a re a
0 1 n a a n a s k a ji b e K
a m ta u r te ( n a g n u k u d n a tk a fa n a m e M
, a n a c n e b
7 1
i s a g tii m a n a d n a a n u g g n e p m a l a d
.i r e g e n r a u l ir a d l a s a r e b g n a n y a a k y p n a r s e u s n u e h M k
i s a r a p s n a t/r n a a k u b r te e k
a m a s a j r e k ta r e s ) n a a n a d n e p
, n i k g n u m l a m ti p o e s
l a n o i s a m n r a l e a tn d i
a h a s u a d a p t a r e b k tii t n a g n e d
k tu n u
s ta il i s fa
g n a y ) a a n m n a a r ta a a s u r d a r a e r t e p b n a e a n k d a d n a a n a r n tk a a il a s k a g ( g n i m g n n e u e m p m u
n a g n e d g n u s g n a l n a g n u b u h r e b
s ta il i s fa tir e p e s , a n a c n e b i s a g tii m
, n ta a h e s e k a g a n te , n ta a h e s e k
.l l d ,i s a u k a v e t a p m te , n ta u k g n a