ANALISA KUANTITATIF AKTIVITAS ENZIM
Jumlah enzim dalam ekstrak suatu jaringan, ditentukan secara kuantitatif berdasarkan efek katalisisnya. Untuk penentuan ini perlu diketahui beberapa faktor yaitu: 1) pH Menurut Lehninger (1982), aktivitas katalitik enzim di dalam sel mungkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan. pH lingkungan juga berpengaruh terhadap kecepatan aktivitas enzim dalam mengkatalisis suatu reaksi. Hal ini disebabkan konsentrasi ion hidrogen mempengaruhi struktur 3 dimensi enzim dan aktivitasnya. Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. pH optimum enzim tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit di atas ataudi bawah pH optimum. Pada pH optimum struktur tiga dimensi enzim paling kondusif untuk mengikat substrat. Bila konsentrasi ion hidrogen berubah dari konsentrasi optimal, aktivitas enzim secara progresif hilang sampai akhirnya enzim menjadi tidak fungsional. Seperti halnya yang berlaku pada protein umumnya, enzim mempunyai titik isoelektrik dengan muatan bebas bersihnya adalah nol. pH pada titik isoelektrik, sebagai patokan, berbeda dengan pH pada waktu aktivitas maksimal. pH optimal yang diperlihatkan oleh enzim berbeda-beda; pepsin yang ada dalam lingkungan asam dalam lambung, mempunyai pH optimum kurang lebih 1,5 , sedangkan arginase, suatu enzim yang memecah asam amino arginin, optimum pada pH 9,7. Kebanyakan enzim mempunyai pH optimal antara pH 4 dan 8. Beberapa enzim menunjukkan keluwesan terhadap perubahan pH, tapi yang lainnya bekerja dengan baik hanya daerah yang sempit. Jika suatu enzim biberi pH ekstrim, maka akan terdenaturasi. Kepekaan enzim terhadap perubahan pH merupakan salah satu sebab mengapa pengaturan pH tubuh dilakukan dilak ukan dengan sangat hati-hati dan mengapa penyimpangan terhadap pH normal akan membawa akibat buruk (Montgomery, 1993).
pH optimum beberapa enzim (Wirahadikusumah, 1997)
Enzim
Substrat
pH optimum
Albumin telur
1,5
Hemoglobin
2,2
Piruvat
4,8
Fumarat
6,5
Malasa
8,0
H2O2
7,6
Benzoilargininamida
7,7
Benzoilarginina etil-ester
7,0
Alkalinfosfatase
Gliserol-3-fosfat
9,5
Arginase
Arginin
9,7
Pepsin Piruvat karboksilase Fumarase Katalase Tripsin
Banyak enzim ada dalam tubuh pad pH yang agak berbeda dari pH optimumnya. Hal ini
sebagian disebabkan karena adanya perbedaan dalam
ketepatan in vivo, dibandingkan dengan in vitro. Ditekankan pula bahwa pengendalian pH merupakan cara yang penting untuk mengatur aktivitas enzim. Misalnya enzim lisosom, sebagai suatu kelompok mempunyai pH optimal yang cukup asam, yang sering tidak tercapai di luar lisosom pada keadaan kesehatan seluler. Apabila sel rusak, maka sel mungkin akan menjadi asidotik, dengan akibat sobeknya membran lisosom dan lepasnya enzim yang dikandung. Dalam kondisi asidotik, enzim ada dalam lingkungan yang lebih untuk dapat berfungsi sebagai pembersih
material-material dari
sel-sel yang rusak berat atau mati
(Montgomery, 1993). Fruktose bisfosfatase dan fosfofruktokinase adalah enzim-enzim dengan pengaruh bolak-balik pada perubahan antara fruktose 1,6-bisfosfat dan fruktose-6fosfat. Dalam kesamaan kondisi-kondisi lain, fosfofrukinase lebih terganggu bila pH turun di bawah 7,5, sehingga asidosis ringan lebih mendorong terbentuknya gllukosa dan mengurangi pembentukan piruvat dan laktat (Montgomery, 1993).
Apabila aktivitas sebagian besar enzim digambarkan sebagai suatu fungsi dari pH reaksi, biasanya akan tampak penigkatan kecepatan reaksi seiring dengan pergeseran pH dari tingkat yang sangat asam menuju rentang fisiologis dan penurunan kecepatan reaksi sewaktu pH bergerak dari rentang fisiologis ke rentang yang sangat basa. Bentuk kurva di daerah asam mencerminkan kondisi gugus fungsional spesifik di tempat aktif (atau di substrat) akibat peningkatan pH, dan pembentukan ikatan hidrogen lebih umum yang penting bagi konformasi keseluruhan enzim. Hilangnya aktivitas pada sisi basa biasanya mencerminkan ionisasi residu asam amino pada enzim yang tidak sesuai (Marks, 1996).
Gambar 2.1 Hubungan antara pH dengan aktivitas enzim
2) Suhu Suhu bepengaruh besar terhadap aktivitas enzim. Semua enzim bekerja dalam rentang suhu tertentu pada tiap jenis organisme. Secara umum, setiap peningkatan sebesar 10°C di atas suhu minimum, aktivitas enzim akan meningkat sebanyak dua kali lipat hingga mencapai kondisi optimum. Peningkatan suhu eksternal secara umum akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia enzim, tetapi kenaikan suhu yang terlalu tinggi atau setelah melebihi suhu optimumnya akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yaitu kerusakan struktur enzim,
terutama kerusakan pada ikatan ion dan ikatan hidrogennya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim tersebut. Denaturasi enzim di atas suhu optimum akan menyebabkan terjadinya kematian pada sel organisme, tetapi beberapa organisme mampu bertahan hidup dan tetap aktif pada suhu yang sangat tinggi, dimana organisme lain sudah tidak mampu hidup seperti bakteri dan alga yang ditemukan pada sumber-sumber air panas ditaman Nasional Yellow Stone Amerika, suhu optimum untuk hidupnya sebesar 70°C. Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi. Koefisien suhu suatu reaksi diartikan sebagai kenaikan kecepatan reaksi sebagai akibat kenaikan suhu 10°C. Koefisien suhu ini diberi simbol Q10. Untuk reaksi yang menggunakan enzim, Q10 ini berkisar antara 1,1 hingga 3,0 artinya setiap kenaikan suhu 10°C, kecepatan reaksi mengalami kenaikan 1,1 hingga 3,0 kali. Kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Karena ada dua pengaruh yang berlawanan, maka terjadi suatu titik optimum, yaitu suhu yang paling tepat bagi suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu (Anna Poedjiadi, 2009). Karena struktur protein menentukan aktivitas enzim, maka jika struktur ini terganggu aktifitas akan berubah. Enzim sering memperlihatkan kerapuhan akibat suhu. Jika dipanaskan kurang lebih di atas 50°C, kebanyakan tapi tidak semua enzim akan terdenaturasi. Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversibel karena gaaya-gaya ikatan lemah yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal komponan atom-atomnya, suatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi. Pada kondisi yang tidak menyebabkan denaturasi, kebanyakan enzim menunjukkan adanya suhu optimum, dengan keadaan lainnya sama, untuk mencapai aktivitas optimal. Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa perubahan aktivitas di bawah suhu ini tidak selalu simetris. Beberapa enzim memperlihatkan penurunan aktivitas secara tajam dalam kisaran sangat kecil setelah melewati titik mulainya denaturasi. Ini sering dikatakan sebagai suatu “pelelehan” protein, dengan hilangnya gaya-gaya ikatan lemah yang penting secara cepat, analog dengan titik leleh dari senyawa organik sederhana (Montgomery, 1993).
Beberapa enzim juga sangat sensitif terhadap suhu rendah. ATPase mitokondria, misalnya, dengan cepat menjadi tidak aktif jika didinginkan hingga 5°C, tapi cukup stabil dalam suhu ruangan. Salah satu penjelasannya ialah pada suhu yang lebih rendah gaya-gaya lemah antara berbagai bagian dari suatu subunit. Ini menyebabkan gangguan pada bentuk polimerik, yang sangat penting untuk aktivitas enzim. Akhirnya harus diperhatikan bahwa beberapa enzim sangat tidak terpengaruh oleh panas. Beberapa protease dan fosfolipase dapat bertahan dalam suhu air mendidih tanpa atau hanya sedikit kehilangan aktifitasnya. (Montgomery, 1993).. Penting untuk dicatat bahwa jika suatu enzim dari suatu jenis tertentu diisolasi dari berbagai jaringan badan yang berlainan, misalnya, dehidrogenase laktat dari jantung, hati, paru-paru, dan ginjal. Seperti yang akan ditunjukkkan kemudian, kenyataan ini sangat bermanfaat dalam diagnosis yang berbeda-beda terhadap beberapa penyakit dari organ-organ tertentu. Penggunaan lain dari denaturasi panas ialah pada sterilisasi pangan dan alat-alat bedah atau pasteurisasi susu, yang semua bergantung pada perusakan oleh panas secara cepat terhadap enzim yang esensial untuk mikroorganisme kontaminan (Montgomery, 1993).
Gambar 2.2 Hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim
3) Konsentrasi Enzim Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut sebagai katalisator. Kecepatan reaksi bertambah seiring
dengan
bertambahnya
konsentrasi
enzim
hingga
batas
tertentu
(Anna Poedjiadi, 2009). Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi makin cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Gambar 2.3 Hubungan antara konsentrasi enzim dengan kecepatan reaksi enzim
4) Konsentrasi Substrat . Aktivitas enzim dipengaruhi pula oleh konsentrasi substrat. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka penambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan tetapi pada batas konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi walaupun konsentrasi substrat diperbesar (Anna Poedjiadi, 2009). Pada konsentrasi substrat yang amat rendah, kecepatan reaksipun amat sangat rendah, tetapi kecepatan ini akan meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi substrat. Jika diuji pengaruh konsentrasi substrat yang terus meningkat setiap saat, kita mengukur kecepatan awal reaksi yang dikatalisis ini, kita akan menemukan bahwa kecepatan ini meningkat dengan nikai yang semakin kecil. Pada akhirnya akan tercapai titik batas, dan setelah titik ini dilampaui, kecepatan reaksi hanya akan meningkat sedemikian kecil dengan bertambahnya konsentasi substrat (gambar 2.4). Bagaimanapun tingginya konsentrasi substrat setelah titik ini tercapai, kecepatan reaksi akan mendekati, tetapi tidak akan pernah mencapai garis maksimum. Pada batas ini, yang disebut kecepatan maksimum (V maks), enzim menjadi jenuh oleh substratnya, dantidak dapat berfungsi lebih cepat (Marks, 1996). Pengaruh kejenuhan ini diperlihatkan oleh hampir semua enzim. Hal inilah yang membawa Victor Henri pada tahun 1903, menyatakan bahwa enzim bergabung dengan molekul substrat, untuk membentuk suatu kompleks enzim substrat sebagai tahap yang harus dilalui dalam katalis oleh enzim. Pemikiran ini diperluas menjadi suatu teori umum kerja enzim, terutama oleh Leonor Michaelis dan Maud Menten pada tahun 1993. Mereka mengemukakan bahwa enzim E pertama-tama bergabung dengan substratnya S dalam reaksi balik, membentuk kompleks enzim-substrat ES. Reaksi ini berlangsung relatif cepat (Marks, 1996).
Gambar 2.4 Hubungan antara konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi
enzim
5) Aktivator Aktivitas enzim diperbesar dengan adanya aktivator yang mengaktifkan enzim. Aktivator dapat berupa logam atau non logam yang merupakan zat-zat non spesifik yang menguatkan proses enzimatis. Umumnya aktivator merupakan bahan tahan panas dan berberat molekul relatif rendah (Lehninger, 1982).
6) Inhibitor Inhibitor merupakan faktor penghambat kerja enzim. Inhibitor kompetitif bersaing dengan substrat dalam berikatan dengan enzim, sehingga menghalangi substrat terikat pada sisi aktif enzim.Inhibitor nonkompetitif berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik (Lehninger, 1982).
Terdapat dua jenis penghambat dapat balik, Kompetitif dan nonkompetitif a. Penghambat kompetitif Penghambat enzim dapat balik juga telah memberikan banyak informasi penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Suatu penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi, sekali terikat tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Ciri penghambat kompetitif adalah penghambatan ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Sebagai contoh jika suatu enzim 50% dihambat pada konsentrasi tertentu dari substrat dan penghambat kompetitif, kita dapat mengurangi persen penghambat dengan meningkatkan konsentrasi substrat (Marks, 1996). Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada struktur tiga dimensinya. Karena persamaan ini, penghambat kompetitif “menipu” enzim untuk berukatan dengannya. Sebenarnya, penghambatan kompetitif dapat dianalisa secara kuantitatif oleh teori Michaels-Menten. Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim, membentuk suatu kompleks EI
E + I ↔ EI Akan tetapi penghambat I tidak dapat dikatalisis oleh enzim untuk menghasilkan produk reaksi yang baru (Marks, 1996). Contoh klasik jenis ini adalah penghambatan kompetitif dehidrogenase suksinat oleh anion malonat. Dehidrogenase suksinat adalah anggota golongan enzim yang mengkatalisis siklus asam sitrat, lintas akhir metabolik bagi degradasi oksidatif karbohidrat dan lemak di dalam mitikondria. Enzim ini mengkatalisa pembebasan dua atom hidrogen dari suksinat, satu dari masing-masing dari kedua gugus metilen (-CH 2-). Dehidrogenase suksinat dihambat oleh malonat, yang menyerupai suksinat karena sama-sama memiliki dua gugus karboksil yang mengion pada pH 7,0 tetapi hanya berbeda dalam tiga atom karbonnya. Akan tetapi, malonat tidak terdehidrogenasi oleh dehidrigenasi suksinat; malonat hanya menempati sisi aktif enzim dan menguncinya sehingga tidak dapat bekerja pada substrat normalnya. Sifat dapat balik penghambatan oleh malonat diperlihatkan oleh kenyataan bahwa
peningkatan konsentrasi suksinat akan menurunkan
tingkat penghambatan oleh konsebtrasi malonat tertentu (Marks, 1996). Senyawa lain dengan jarak yang sesuai di antara dua gugus anion dapat bekerja sebagai penghambat kompetitif dehidrogenase suksinat; diantaranya terdapat oksaloasetat, suatu senyawa antara, dalam siklus asam sitrat. Dari hubungan struktural ini, telah disimpulkan bahwa sisi katalitik dehidrogenase suksinat dilengkapi dengan dua gugus bermuatan positif yang berjarak tertentu dari masing-masing, yang dapat menarik dua gugus karboksilat bermuatan negatif dari anion suksinat. Sisi katalitik dehidrogenase suksinat, oleh karenanya memperlihatkan sifat komplementer terhadap struktur substrat nya (Marks, 1996). Penghambatan kompetitif paling mudah dikenal di dalam percobaanpercobaan dengan menentukan pengaruh konsentrasi penghambat terhadap hubungan di antara konsentrasi substrat dan kecepatan awal. Transformasi kebalikan ganda dari persamaan Michaels-Menten amat bermanfaat dalam menentukan apakah penghambatan enzim yang dapat balik itu bersifat kompetitif
atau nonkompetitif. Pemetaan kebalikan ganda juga menghasilkan tetapan disosiadi K 1 kompleks enzim penghambat (Marks, 1996). b) Penghambatan nonkompetitif juga bersifat dapat balik tetapi bukan oleh substrat Pada penghambatan nonkompetitif, penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim, sehingga
mengakibatkan
inaktifasi
dapat
balik
sisi
katalitik.
Penghambat
nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks ES, membentuk kompleks EI dan ESI yang tidak aktif (Marks, 1996): E + I ↔ EI ES + I ↔ ESI Penghambatan enzim secara nonkompetitif deibedakan dari penghambatan kompetitif oleh pemetaan kebalikan ganda terhadap data kecepatan reaksi. Penghambat nonkompetitif yang paling penting adalah senyawa antara metabolik yang terdapat di alam, yang dapat berikatan secara dapat balik dengan sisi spesifik pada enzim pengatur tertentu, dan karenanya, mengubah aktivitas sisi katalitiknya. Contohnya adalah penghambatan dehidratase L-treonin oleh Lisoleusin (Marks, 1996).
Gambar 2.6 Ihibitor kompetitif dan nonkompetitif
Daftar pustaka
Lehninger, Albert L., 1982, Dasar-dasar Biokimia, Erlangga, Jakarta Montgomery, R., Dryer, Robert L., Conway, Thomas W., Spector, Arthur A., 1993, Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi-Kasus Jilid 1 , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wirahadikusumah, M., 1997, Biokimia Protein Enzim dan Asam Nukleat , ITB, Bandung. Poedjaji, A., Supriyanti, F.M. Titin., Dasar-dasar Biokimia, UI-Press, Jakarta. Soewoto, Hafiz., dkk. 2000, Biokimia Eksperimen Laboratorium, Widya Medika, Jakarta.
.
.