I. PENDAHULUAN Kesehatan Ibu dan Anak telah dijalankan oleh pemerintah, namun berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, angka kematian ibu, dan bayi masih tinggi. Walaupun pencapaian telah begitu menggembirakan, tingkat kematian bayi di Indonesia masih tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Angka kematian ibu di Indonesia bahkan lebih buruk dari negara Vietnam. Angka kematian ibu di negara tetangga itu tahun 2003 tercatat 95 per 100.000 kelahiran hidup. Negara anggota ASEAN lainnya, Malaysia tercatat 30 per 100.000 dan Singapura 9 per 100.000 (Roeshadi, 2006). Program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi. Salah satu tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang terletak di wilayah Indonesia bagian barat. Data tentang persalinan oleh tenaga kesehatan menurut SDKI 2007 berkisar diantara 73% hingga 80.36%. Di tingkat desa, sebagian besar persalinan masih terjadi di rumah, dengan proporsi sekitar 64% - 78%. Dengan kondisi tersebut diatas maka Indonesia masih menempati peringkat pertama untuk kematian
maternal
dan
neonatal
di
lingkup
negara-negara
Asean
(ww.menegpp.go.id). Menurut data terkini (2008) rasio kematian maternal adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup dan rasio kematian bayi adalah 34/1000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Kalimantan Barat ini masih cukup tinggi begitu juga dengan angka kematian bayi (KDA, 2008)
II. DEFINISI ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) DAN ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dll (Budi, Utomo. 1985). Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup (www.datastatistik-indonesia.com) Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya kematian bayi
berusia dibawah satu tahun, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu (www.datastatistik-indonesia.com). III. PENYEBAB KEMATIAN IBU DAN KEMATIAN BAYI
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain Kurang Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%) (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
Menurut RISKESDAS 2007, penyebab kematian neonatal 0 – 6 hari adalah gangguan pernafasan (37%), prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), kelainan darah/ikterus (6%), postmatur (3%) dan kelainan kongenital (1%). Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%), pneumonia (17%), Respiratori Distress Syndrome/RDS (14%), prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%), defisiensi nutrisi (3%) dan Suddenly Infant Death Syndrome/SIDS (3%). Penyebab kematian bayi
(29
hari
–
1
tahun)
adalah
diare
(42%),
pneumonia
(24%),
meningitis/ensefalitis (9%), kelainan saluran cerna (7%), kelainan jantung kongenital dan hidrosefalus (6%), sepsis (4%), tetanus (3%) dan lain-lain (5%) (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
IV. CARA
MENGHITUNG
ANGKA
KEMATIN
IBU
DAN
ANGKA
KEMATIAN BAYI
Kemudian kematian ibu dapat diubah menjadi rasio kematian ibu dan dinyatakan per 100.000 kelahiran hidup, dengan membagi angka kematian dengan angka fertilitas umum (www.datastatistik-indonesia.com).
Dimana: Jumlah Kematian Ibu yang dimaksud adalah banyaknya kematian ibu yang disebabkan karena kehamilan, persalinan sampai 42 hari setelah melahirkan, pada tahun tertentu, di daerah tertentu. Jumlah kelahiran Hidup adalah banyaknya bayi yang lahir hidup pada tahun tertentu, di daerah tertentu. Konstanta =100.000 bayi lahir hidup.
Dimana: AKB = Angka Kematian Bayi / Infant Mortality Rate (IMR); D 0-<1th =Jumlah Kematian Bayi (berumur kurang 1 tahun) pada satu tahun tertentu di daerah tertentu. ∑lahir hidup = Jumlah Kelahiran Hidup pada satu tahun tertentu di daerah tertentu (lihat modul fertilitas untuk definisi kelahiran hidup). K = 1000 V. ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANGKA KEMATIAN BAYI DI KALIMANTAN BARAT
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (Budi, Utomo. 1985). Di Kalimantan Barat untuk tahun 2007, Angka Kematian Ibu masih merujuk pada Laporan Indikator Data Base 2005. Dengan asumsi 15% dari kematian wanita, Angka Kematian Ibu adalah sebesar 403,15 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan angka nasional sebesar 307 per 100.000 kelahiran pada periode 1998 – 2002, dan 228 pada tahun 2007, maka kematian ibu di Kalimantan Barat masih tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010 yaitu menurunkan angka kematian ibu sampai 150 per 100.000 kelahiran hidup, serta target yang ingin dicapai pada Millenium Development Goal (MDG), yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Kalimantan Barat Tahun 2007). Informasi mengenai tingginya Angka Kematian Ibu bermanfaat untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi (making pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi. Berdasarkan konsep diatas, masih
tingginya AKI di Kalimantan Barat ini kemungkinan bisa disebabkan oleh karena masih rendahnya kesadaran Ibu hamil untuk memeriksakan kesehatan pada saat kehamilannya atau tidak teraksesnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Hal ini terlihat dengan kunjungan K4 bumil yang baru mencapai 82,24%. Selain itu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah (73,72%) juga dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu di Kalimantan Barat. Rendahnya cakupan K4 dan persalinan oleh tenaga terdeteksi proses kehamilannya, sehingga jika ada kelainan pada janin yang dikandungnya tidak segera dapat diatasi, yang pada akhirnya dapat mempunyai andil dalam memperbesar kasus kematian ibu maupun bayi pada proses kelahirannya. Selain itu pemberian tablet Fe bumil yang masih rendah (72,8%) juga salah satu kemungkinan yang mempunyai andil dalam terjadinya kematian ibu di Kalimantan Barat. Masih rendahnya cakupan pemberian tablet Fe kemungkinan mengakibatkan masih adanya ibu hamil yang menderita anemia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan pada waktu persalinan yang berujung pada kematian (Profil Kesehatan Kalimantan Barat Tahun 2007). Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal : adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Dan eksogen atau kematian post neo-natal : adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2007 berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar dalam angka tahun 2008) masih mengacu pada AKB tahun 2005 yaitu sebesar 38,41 per seribu kelahiran hidup. Angka tersebut jika dipisahkan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan, 33,34 perseribu kelahiran hidup untuk AKB perempuan dan 43,73 per
seribu kelahiran hidup untuk AKB laki-laki. Berdasarkan data SDKI, berturutturut AKB di Kalimantan Barat mulai tahun 1994 sebesar 97 per 1.000 Kelahiran Hidup, Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000 KH. Pada tahun 2004 berdasarkan Laporan Indikator data base 2005 yang dikeluarkan oleh BPS, AKB Kalimantan Barat adalah 44,12 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian meskipun terlihat adanya penurunan AKB pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih lebih tinggi dari angka nasional yaitu sebesar 34 per 1.000 KH pada tahun 2007 (SDKI 2007). Sedang target Indonesia sehat 2010 adalah sebesar 40 per 1.000 Kelahiran Hidup. Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi dan suntikan anti tetanus (Profil Kesehatan Kalimantan Barat Tahun 2007).
VI. PERANAN
PUSKESMAS
DALAM
MENURUNKAN
ANGKA
KEMATIAN IBU DAN ANGKA KEMATIAN BAYI DI KALIMANTAN BARAT
Pada tahun 1985 telah dilakukan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) di Indonesia, pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat memberikan data yang cepat sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau tindakan yang cepat dalam wilayah kerjanya. PWS dimulai dengan program Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child Immunization (UCI) di
Indonesia pada tahun 1990. Dengan dicapainya cakupan program imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan. Namun pelaksanaan PWS dengan indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara bermakna walaupun cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor lain sebagai penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb) (Dirjenkes ibu dan anak, 2009). Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun 1980-an. Pada akhir tahun 1990-an secara konseptual telah diperkenalkan lagi upaya untuk menajamkan strategi dan intervensi dalam menurunkan AKI melalui Making Pregnancy Safer (MPS) yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2000. Sejak tahun 1985 pemerintah merancang Child Survival (CS) untuk penurunan AKB. Kedua Strategi tersebut diatas telah sejalan dengan strategi DEPKES tahun 2004. Rencana Strategi Making Pregnancy Safer (MPS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi. Tiga pesan kunci MPS adalah : 1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. 2. Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat. 3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Empat strategi MPS adalah : 1. Peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi dan Balita di tingkat dasar dan rujukan. 2. Membangun kemitraan yang efektif. 3. Mendorong pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat. 4. Meningkatkan Sistem Surveilans, Pembiayaan, Monitoring dan informasi KIA.
Rencana Strategi Child Survival (CS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi. Tiga pesan kunci CS adalah: 1. Setiap bayi dan balita memperoleh pelayanan kesehatan dasar paripurna. 2. Setiap bayi dan balita sakit ditangani secara adekuat. 3. Setiap bayi dan balita tumbuh dan berkembang secara optimal.
Empat strategi CS adalah: 1. Peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita yang berkualitas berdasarkan bukti ilmiah 2. Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta memantapkan koordinasi perencanaan kegiatan MPS dan child survival. 3. Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui kegiatan peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku yang menunjang kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia. 4. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita.
Peningkatan mutu program KIA juga dinilai dari besarnya cakupan program di masing-masing wilayah kerja puskesmas. Untuk itu, besarnya cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja puskesmas perlu dipantau secara terus menerus, agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam wilayah kerja tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan anak, maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan pemecahan masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut dikembangkan sistem Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk tindak lanjut. Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh sasaran maka diharapkan seluruh
kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat ditemukan sedini mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai.
Pengelolaan program pelayanan KIA dewasa ini diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut : 1. Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil di semua fasilitas kesehatan. 2. Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten diarahkan ke fasilitas kesehatan. 3. Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 4. Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 5. Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. 6. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara adekuat dan pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan. 7. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 8. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 9. Peningkatan pelayanan KB sesuai standar.
1). Pelayanan Antenatal Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas:
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan. 2. Ukur tekanan darah. 3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas). 4. Ukur tinggi fundus uteri. 5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ). 6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan. 7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan. 8. Test laboratorium (rutin dan khusus). 9. Tatalaksana kasus 10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan. Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut : - Minimal 1 kali pada triwulan pertama. - Minimal 1 kali pada triwulan kedua. - Minimal 2 kali pada triwulan ketiga. Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan komplikasi (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
2). Pertolongan Persalinan Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan
ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Pencegahan infeksi 2. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar. 3. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. 4. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). 5. Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.
3). Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan waktu : • Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah persalinan. • Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8 – 14 hari). • Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan (36 – 42 hari). Pelayanan yang diberikan adalah : 1. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. 2. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus). 3. Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya. 4. Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan. 5. Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali , pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian kapsul Vitamin A pertama. 6. Pelayanan KB pasca salin
4). Pelayanan Kesehatan Neonatus Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus : 1. Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 – 48 Jam setelah lahir. 2. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir. 3. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah lahir. Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
5). Deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal , tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
6). Penanganan Komplikasi Kebidanan dan Neonatus Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh tenaga kesehatan 12 kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera dideteksi dan ditangani. Pelayanan Neonatus dengan komplikasi adalah penanganan neonatus dengan penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian oleh dokter/bidan/perawat terlatih di polindes, puskesmas, rumah bersalin dan rumah sakit pemerintah/swasta. Diperkirakan sekitar 15% dari bayi lahir hidup akan mengalami komplikasi neonatal. Hari Pertama kelahiran bayi sangat penting, oleh karena banyak perubahan yang terjadi pada bayi dalam menyesuaikan diri dari kehidupan di dalam rahim kepada kehidupan di luar rahim. Bayi baru lahir yang mengalami gejala sakit dapat cepat memburuk, sehingga bila tidak ditangani dengan adekuat dapat terjadi kematian. Kematian bayi sebagian besar terjadi pada hari pertama, minggu pertama kemudian bulan pertama kehidupannya (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
7). Pelayanan Kesehatan Bayi Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan setelah lahir. Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat pertolongan, pemeliharaan
kesehatan
dan
pencegahan
penyakit
melalui
pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi tumbuh kembang (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
8). Pelayanan Kesehatan Anak Balita Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang pesat. Masa ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
9). Pelayanan KB Berkualitas Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar dengan menghormati hak individu dalam merencanakan kehamilan sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam menurunkan angka kematian Ibu dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) bagi pasangan yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih baik) serta meningkatkan fertilitas bagi pasangan yang ingin mempunyai anak. Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi Pasangan Usia Subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan metode kontrasepsi. Sampai saat ini di Indonesia cakupan peserta KB aktif mencapai 61,4% (SDKI 2007) dan angka ini merupakan pencapaian yang cukup tinggi diantara negara-negara ASEAN. Namun demikian metode yang dipakai lebih banyak menggunakan metode jangka pendek seperti pil dan suntik. Menurut data SDKI 2007 akseptor KB yang menggunakan suntik sebesar 31,6%, pil 13,2 %, AKDR 4,8%, susuk 2,8%, tubektomi 3,1%, vasektomi 0,2% dan kondom 1,3%. Hal ini terkait dengan tingginya angka putus pemakaian (DO) pada metode jangka pendek sehingga perlu pemantauan yang terus menerus. Disamping itu pengelola program KB perlu memfokuskan sasaran pada kategori PUS dengan “4 terlalu” (terlalu muda, tua, sering dan banyak) (Dirjenkes ibu dan anak, 2009).
Daftar Pustaka
1. Badan pusat statistik Kalimantan Barat. Kalimantan Barat Dalam Angka. 2008 2. Budi Utomo, 1985. Mortalitas:pengertian dan Contoh kasus di Indonesia. Proyek Penelitian Morbiditas dan Mortalitas. Universitas Indonesia, Jakarta, 1985 3. Departemen Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Profil Kesehatan Kalimantan Barat Tahun 2007. 4. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak. Edisi Tahun 2009. 5. Datastatistik Indonesia. Angka kematian ibu dan angak kematian bayi. Diunduh dari: http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/450/450/1/2 6. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di Asia. Diunduh dari: http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=145:angka-kematian-ibu-di-indonesia-tertinggi-di-asia&Itemid=87 7. Roeshadi R.H. Upaya menurunkan angka kesakitan dan angka kematian ibu pada penderita preeklampsia dan eklampsia. 2006.