Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I'lam (Beirut: Dar al – Masyriq, 1989), cet. Ke 28, hlm. 164.
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI UMY), 2011), hlm. 1.
Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 98.
Yunahar, Op. Cit., hlm. 2
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya' 'Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Jilid III, hlm.58
Ibrahim Anis, Al-Mu'jam al-Wasith, (Kairo: Dar al ma'arif, 1972), hlm. 202.
Abdul Karim Zaidan, Ushul ad- Da'wah (Baghdad: Jam'iyyah al-Amani, 1976), hlm. 75.
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 9.
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam Sebagai Aqidah dan Syari'ah (2), (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 102
Muhammad Ali al-Hasyimi, Musli Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm. 150.
Ibid., hlm. 152.
Yunahar, Loc. Cit. hlm. 163.
Ibid., hlm. 165.
Djatnika Racmat, Sistem etika Islami (Akhlak Mulia), tt. Hlm. 226
Muhammad Alwi al-Maliki, Etika Islam tentang Sistem Keluarga, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 26
Ibid., hlm. 28
Yunahar., Loc. Cit, hlm 173
Tugas Individu (Makalah) :
"AKHLAK DALAM KELUARGA"
Disusun Oleh :
Deko Apriyanto (12531043)
Pendidikan Agama Islam (PAI II A)
Dosen Pengampu :
Drs. Murni Yanto, M.Pd
Mata Kuliah :
Akhlak Tasawuf
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) CURUP
2013
"Akhlaq Dalam Keluarga"
Oleh : Deko Apriyanto
Latar Belakang
Tidak perlu diragukan lagi bahwa keluarga itu adalah sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu akan kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya.
Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina diatasnya mehligai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya.
Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan selanjutnya bertumbuh dan berkembang.
Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu.
Tidak ada satu agama pun daripada agama-agama yang di turunkan dari langit yang kita ketahui yang tidak menempatkan persoalan perkawinan itu pada tempat yang pertam-tama serta memperoleh perhatian dan penghormatan yang utama daripadanya. Demikian pula tidak ada suatu bangsa daripada bangsa mana pun juga yang mengerti nilai-nilai kehidupan, yang tidak mementingkan atau memperhatikan soal-soal perkawinan tersebut. Sebabnya bukan saja karena perkawinan itu adalah hal yang dituntun oleh fithrah manusia dan dituntut oleh hajat alamiah seseorang.
Adapun perkawinan itu pada hakikatnya adalah merupakan suatu kenyataan daripada kenyataan-kenyataan pengaturan bagi fitrah yang terdapat pada ummat manusia, sebagaimana fitrah itu pun terdapat pula pada bermacam-macam binatang. Dan kalau bukanlah karena perkawinan yang berupa pengaturan terhadap fitrah yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang ini, tentulah tidak akan berbeda keadaan manusia itu daripada binatang-binatang lain yang bermacam-macam itu di dalam cara mencarikan kepuasan terhadap fitrah tersebut, yang dilakukan dengan jalan anarkis dan semau-maunya saja.
Kalau demikianlah keadaanya tentulah manusia itu bukanlah manusia yang dimaksud sebagai makhluk yang selaraskan segala sesuatunya oleh Allah dan dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian diberikan-Nya pula kepadanya akal dan pikiran dan dilebihkan-Nya derajat manusia itu dari makhluk yang lain-lainnya. Seterusnya manusia itu pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan ditundukkan-Nya seluruh alam kepadanya. Selanjutnya dipersiapkan-Nya pula untuk manusia itu prinsip-prinsip hubungan yang tinggi yang dapt meningkatkan derajatnya dari lingkungan sifat-sifat kebintangannya semata-mata dan diseru-Nya pula manuisa itu supaya bertolong-tolongan dengan sesama putera bangsanya untuk menciptakan kemakmuran dunia, mengatur kepentingan-kepentingan serta tukar menukar kemanfaatan.
Landasan Teori
Pengertian Akhlak
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (pencipta).
kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan prilaku makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau prilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq. Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Secara terminologis ada beberapa defenisi tentang akhlaq :
Imam al-Ghazali:
"Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."
Ibrahim Anis:
"Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan."
Abdul Karim Zaidan:
"Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotsn dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya."
Ketiga defenisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Disamping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq standarnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum maupun berlaku dimasyarakat.
Keluarga
Keluarga itu adalah sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu akan kuat dan hebat pulalah keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya.
Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina diatasnya mehligai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya.
Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan selanjutnya bertumbuh dan berkembang.
Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu.
Pandangan Islam tentang ikatan keluarga
Islam telah memperkenalkan ikatan keluarga (tali sillaturrahim) dengan cara yang tidak ada bandingannya dalam agama-agama atau paham-paham lain. Islam menuntun umatnya untuk menjunjung tinggi ikatan keluarga dan menghukum siapa saja yang memutuskan ikatan ini.
Tidak ada bukti yang lebih kuat mengenai perhatian Islam terhadap ikatan keluarga daripada gambaran yang sangat jelas yang dilukiskan oleh Nabi saw, yang memandang ikatan keluarga (Rahim) sebagai tonggak dalam arena ciptaan yang luas dan sebagai upaya mencari perlindungan Allah dari putusnya sillaturahim: Allah mengabulkan doa, memelihara orang-orang yang memegang sillaturahim ini.
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mengulang dan menegaskan posisi "arham" dalam Islam, mendorong orang untuk menegakkan sillaturahim dan menanamkan perasaan yang kuat serta menghindarkan pengabaian terhadap ini semua dan memberikan peringatan terhadap penyalahgunaan hal-hal tersebut. Salah satu ayat ini adalah :
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu." (QS. An-Nisa 4: 1)
Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk pertama-tama dan terutama, bertakwa kepada Allah, kemudian yang kedua, memberikan hormat kepada "arham" dalam rangka menekankan arti pentingnya.
Bagi seseorang musli, sejati, kenyataan bahwa "rahm" sering disebutkan dalam hubungannya dengan iman kepada Allah dan perlakuan baik kepada orang tua, cukup menegaskan mengenai arti pentingnya.
Menegakkan tali sillaturahim merupakan salah satu prinsip pokok Islam, salah satu dasar yang telah dikembangkan agama ini sejak pertama kali Nabi saw menyebarkannya. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari sifat-sifat hukum Islam yang paling khas.
Hak, Kewajiban dan Kasih sayang Suami Isteri
Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah bentuk mencari ketentraman atau sakinah. Allah SWT berfirman :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar-Rum 30: 21)
Dalam ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa yang berperan membuat keluarga sakinah ada dua faktor, pertama, mawaddah, kedua rahmah. Dalam bahasa Indonesia padanan kedua kata itu adalah kasih sayangi sebagaimana terlihat dalam terjemahan ayat diatas. Tapi kalau ada yang bertanya apa beda antara kasih dan sayang, mungkin tidak semua kita bisa dengan tepat dan cepat bisa menjelaskannya.
Hak-hak Bersama Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga hak bersam yaitu (1) hak tamattu' badani (menikmati hubungan sebadan dan segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak.
Hak Tamattu' Badani
Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama lain dapat saling menikmati hubungan seksual yang halal, bahkan berpahala. Islam memang mengakui bahwa setiap manusia normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi terhadap lawan jenisnya. Islam tidak memerangi nafsu tersebut tetapi juga tidak membiarkannya lepas tanpa kendali. Islam mengatur penyalurannya secara halal dan baik melalui ikatan perkawinan.
Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi kewajiban bersama. Artinya hubungan seksual bukanlah semata kewajiban suami kepada isteri, tetapi juga merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami tiodak boleh mengabaikan kewajiban ini sebagaimana isteri tidak boleh menolak keinginan suami.
Hak Saling Mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab : Pertama, karena hubungan darah; Kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat warisan hanyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi suami. Dalam surat An-Nisa' ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat ½ (setengah) dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan ¼ (seperempat) bila isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat ¼ (seperempat) bila suami tidak punya anak, dan 1/8 (seperdelapan) bila suami punya anak.
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun."(QS. An-Nisa' :12)
Hubungan aling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syari'at islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah, atau salah seorang tidak Muslim baik dari awalnya atau ditengah-tengah perkawinan maka haknya batal.
Hak Nasab Nak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua, walupun secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau Fulanah Bintu Fulan, bukan fulan ibn fulanah atau fulanah bintu fulanah. Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak tetap berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut, walaupun pengadilan dapat meilih dengan siapa anak ikut. Perlu juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknya secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan setelah menikah. Anak perempuan kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana yang tradisi sebagian masyarakat kita.
Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat : (1) membayar mahar, (2) memberikan nafkah, (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.
Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak boleh memaafkannya kecuali seizin dan serela isteri. (QS. An-Nisa' : 20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh Syara'. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan isteri. Yang penting ada nilainya. Bahkan boleh dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an, atau masuk Islam seperti yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw.
Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman, pakaian, rumah, pembantu, obatobat dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'.
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah :233)
Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding dengan kewajiban isteri mematuhi dan meladeni suami, menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik anak. Kewajiban memberi nafkah gugur bila aqad nikahnya tidak sah, bila isteri tidak bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau tidak bersedia mengikuti kepentingan suami ke suatu tempat.
Berapa jumlah nafakah yang wajib dibayar suami dengan isteri ditentukan oleh 'urf (sesuatu yang sudah dikenal baik secara luas oleh masyarakat), maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman dan kemampuan suami.
Ihsan al-Asyarah
Ihsan al- Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya. Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami. Misalnya : membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri pada orang lain, mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya, membvantu isteri apabila ia memerlukan bantuan sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain.
Membimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena dia adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya terutama syariah, seperti masalah thaharah, whudu', haidh, nifas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Qur'an, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat. Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal lainnya.
Kewajiban Kepada Anak
Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah SWT. anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua harus memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.
Memberi nama anaknya dengan nama yang baik
Borang tua jangan sampai memberi nama anaknya dengan nama yang mengandung arti yang tidak baik. Anak akan malu apabila dipanggil oleh temannya atau orang lain dengan nama yang mempunyai arti jelek. Umpamanya si "Si Ribut", si "Bandel", si "Keset", "Khusrin" (artinya rugi), "Hasidin" (artinya orang yang penghasut) dan sebagainya. Maka nama yang diberikan orang tua harus nama yang mengandung optimisme, yang merupakan doa dari ibu dan bapaknya.
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan.
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan adalah mutlak wajib. Anak harus dididik untuk selalu taat pada ajaran agama dengan sebagus pengalamannya, sebijak penerapannya, dan seluruh pendidikannya. Ia diharuskan menjalankan perintah-perintah agama dengan semampu mungkin. Rasulullah bersabda, "Allah pasti merahmati seorang ayah yang menolong anaknya berada di jalan kebaikan." (HR. Abu Syaikh dengan sanad yang lemah).
Larangan bagi orang tua mendoakan kejelekan terhadap putra-putrinya
Sebab ini merupakan perkara buruk yang membahayakan dan saat ini sudah banyak yang tersebar di tengah-tengah kehidupan kita. Kebanyakan hal tersebut banyak dilakukan para ibu. Jika seorang ibu marah pada anaknya, ia tumpahkan kemarahannya pada anaknya dalam ujud pelaknatan dan caci makian: ia doakan dengan doa kesialan, kecelakaan dan kehancuran. Ini termasuk perkataan yang tidak patut dilakukan menurut ajaran agama Islam.
Hubungan Kasih sayang
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang. Setiap manusia yang normal secara fitri pasti mendambakan kehadiran anak-anak dirumahnya. Kehidupan rumah tangga sekalipun bergelimang harta benda-belum lagi lengkap kalau belum mendapatkan anak. Al-Qur'an menyatakan anak adalah perhiasan hidup dunia :
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al-Kahfi :46)
Hubungan Masa Depan
Anak adalah investasi masa depan di akhirat bagi orang tua. Karena anak yang saleh akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya, sebagaimana yang dinyatakan oelh Nabi Muhammad saw:
"jika seseorang meninggal dunia putuslah (pahala) amalannya kecuali salah satu dari tiga hal; Shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat yang dapat di ambil manfaat darinya, dan anak shaleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Dengan tiga alasan diataslah seorang muslim didorong untuk dapat berfungsi sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya. Apalagi kalau dia pikirkan betapa pentingnya pembinaan dan pen didikan anak-anak untuk menjaga eksitensi dan kualitas umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya pada masa yang akan datang.
Simpulan
Dari pembahsan di atas, dapat lah di tarik kesimpulan :
Hak, Kewajiban dan Kasih sayang Suami Isteri
Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah bentuk mencari ketentraman atau sakinah.
Hak-hak Bersama Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga hak bersam yaitu (1) hak tamattu' badani (menikmati hubungan sebadan dan segala kesenangan badani lainnya), (2) hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak.
Hak Tamattu' Badani
Hak Saling Mewarisi
Hak Nasab Nak
Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat : (1) membayar mahar, (2) memberikan nafkah, (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsan al-asyarah), dan (4) membimbing dan membina keagamaan isteri.
Kewajiban Kepada Anak
Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah SWT. anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua harus memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.
Memberi nama anaknya dengan nama yang baik
Bantuan bapak kepada anak untuk mengajarkan ketaatan.
Larangan bagi orang tua mendoakan kejelekan terhadap putra-putrinya
Hubungan Kasih sayang
Hubungan Masa Depan
Kritik dan Saran
Saya menyadari bahwasannya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan kebenaran, maka dari itu peran saudara-saudara sangat saya harapkan untuk memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan makalah ini menjadi makalah yang baik dan benar.
Daftar Pustaka
Al-Hasyimi, Muhammad Ali. Muslim Ideal, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.
Al-Maliki, Muhammad Alwi. Etika Islam tentang Sistem Keluarga, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI UMY), 2011.
Racmat, Djatnika. Sistem etika Islami (Akhlak Mulia), tt.
Syaltout, Syaikh Mahmoud. Islam Sebagai Aqidah dan Syari'ah (2), Jakarta: Bulan Bintang, 1985.