MAKALAH AKHLAK DALAM KELUARGA Disusun untuk Memenuhi Tugas AIK IV Dosen : Bapak Lukman Hakim, S.H.I., M.Pd.I.
Disusun Oleh Kelompok 2 : Fatmawati Shinta Dewi
(201410160311476)
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaykum wr.wb. Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Akhlak dalam Keluarga “ ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, beserta sahabat dan para pengikutnya. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, baik moril maupun materil dalam proses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Pepatah mengatakan, Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, saran ataupun kritik yang membangun, sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wassalamu’alaykum wr.wb.
Malang, Februari 2017
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar........................................................................................
i
Daftar Isi..................................................................................................
ii
BAB I (Pendahuluan)..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang.................................................................................
1
1.2 Tujuan...............................................................................................
2
BAB II (Landasan Teori).........................................................................
2
2.1 Pengertian Akhlak............................................................................
2
2.2 Pengertian Keluarga.........................................................................
3
2.2 Pandangan Islam tentang Ikatan Keluarga.......................................
3
BAB III (Pembahasan) ...........................................................................
5
3.1 Memilih Pasangan Hidup.................................................................
5
3.2 Melakukan Pernikahan.....................................................................
7
3.2 Hak dan Kewajiban Suami Istri.......................................................
8
3.2 Tanggungjawab Orangtua Terhadap Anak.......................................
10
3.2 Birrul Walidain.................................................................................
11
3.2 Silaturahim dengan Karib Kerabat...................................................
12
3.2 Persoalan Seputar Pernikahan..........................................................
13
BAB IV (Penutup)...................................................................................
14
4.1 Kesimpulan......................................................................................
14
4.2 Saran.................................................................................................
14
Daftar Pustaka.........................................................................................
15
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sikap hidup dan perilaku Nabi Muhammad SAW senantiasa “hidup“ dan terus menjadi panutan setiap muslim untuk membangun akhlak mulia. Akhlak ataupun budi pekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak merupakan suatu perbuatan yang bertujuan jelas yaitu : untuk memperbaiki pribadi muslim sehingga bisa melaksanakan Islam dengan sebaikbaiknya, adapun perbaikan yang dimaksud di sini adalah : segala sesuatu yang sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Disamping itu akhlak merupakan corak batin bagi rohaniah manusia. Bila corak yang dibina atau dibentuk dalam rohani itu baik, maka tindakan – tindakannya juga akan baik. Demikian sebaliknya. Di dalam islam, terdapat tiga aspek yang menjadi ajaran dasar agama islam, yaitu aqidah, ibadah, dan akhlaq. Akhlaq itu sendiri dibagi lagi menjadi berbagai aspek diantaranya akhlaq pribadi, akhlaq dalam keluarga, akhlaq dalam bermasyarakat dan akhlaq dalam bernegara. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka penulis akan mencoba menguraikan sedikit tentang akhlaq dalam keluarga. Apa saja yang harus dipahami dalam aspek akhlaq dalam keluarga. Tujuan a. Membantu mahasiswa mengetahui cara memilih pasangan hidup b. Membantu mahasiswa mengetahui cara melakukan pernikahan c. Membantu mahasiswa mengetahui hak dan kewajiban suami istri d. Membantu mahasiswa mengetahui tanggungjawab orangtua terhadap anak e. Membantu mahasiswa memahami birrul walidain f. Membantu mahasiswa mengetahui pentingnya silaturahim terhadap kerabat g. Membantu mahasiswa mengetahui persoalan seputar pernikahan
1.2.
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Akhlak Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (pencipta).
1
Kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan prilaku makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau prilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq. Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun. Secara terminologis ada beberapa defenisi tentang akhlaq :
Imam al-Ghazali: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Ibrahim Anis: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macammacam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”
Abdul Karim Zaidan: “Akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatanya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.” Ketiga defenisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Disamping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Bagi akhlaq standarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum maupun berlaku di masyarakat.
2.2 Pengertian Keluarga Keluarga itu adalah sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa yang terdiri dari sekumpulan keluarga besar, yang mana satu sama lain mempunyai hubungan yang erat sekali. Dan sudah tentulah bahwa sesuatu bangunan yang terdiri dari sekian banyak batu-batu, akan menjadi kuat atau lemah sesuai dengan kuat atau lemahnya batu-batu itu sendiri. Apabila batu-batu itu kuat dan saling kuat menguatkan serta memiliki pula daya tahan yang hebat, tentulah bangsa yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang seperti batu-batu demikian itu akan kuat dan hebat pulalah
2
keadaannya. Dan sebaliknya, seandainya batu-batu yang membentuk bangunan bangsa itu lemah dan bercerai-berai, pastilah bangsa itu akan menjadi lemah dan tiada berdaya. Oleh karena itu usaha-usaha untuk menguatkan keluarga itu adalah suatu hal terpenting yang wajib diperhatikan oleh pemimpin dan merupakan jalan yang wajib ditempuh dengan segala daya dan upaya. Hal yang demikian itu mungkin dapat dicapai melainkan dengan mengadakan prinsip-prinsip yang kuat di mana dibina diatasnya mehligai kekeluargaan itu, yang akan menjamin hidup serta pertumbuhannya, hingga menjadi suatu keluarga yang kuat dan jaya. Setelah itu harus pula diadakan pengawasan yang kuat atas prinsip-prinsip tersebut dan diawasi pula pelaksanaannya. Apabila keluarga itu dipandang sebagai sebuah batu daripada batu-batu bangunan sesuatu bangsa, maka perkawinan dapat dipandang sebagai asal usul dari suatu keluarga, karena dari perkawinan itulah kekeluargaan terbentuk dan selanjutnya bertumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu pula maka perkawinan harus mendapat perhatian yang sungguhsungguh, yang sama dengan perhatian yang harus dicurahkan kepada kekeluargaan, kalau bukanlah harus melebihi perhatian terhadap kekeluargaan itu. 2.3 Pandangan Islam tentang Ikatan Keluarga Islam telah memperkenalkan ikatan keluarga (tali sillaturrahim) dengan cara yang tidak ada bandingannya dalam agama-agama atau paham-paham lain. Islam menuntun umatnya untuk menjunjung tinggi ikatan keluarga dan menghukum siapa saja yang memutuskan ikatan ini. Tidak ada bukti yang lebih kuat mengenai perhatian Islam terhadap ikatan keluarga daripada gambaran yang sangat jelas yang dilukiskan oleh Nabi saw, yang memandang ikatan keluarga (Rahim) sebagai tonggak dalam arena ciptaan yang luas dan sebagai upaya mencari perlindungan Allah dari putusnya sillaturahim: Allah mengabulkan doa, memelihara orang-orang yang memegang sillaturahim ini. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mengulang dan menegaskan posisi “arham” dalam Islam, mendorong orang untuk menegakkan sillaturahim dan menanamkan perasaan yang kuat serta menghindarkan pengabaian terhadap ini semua dan memberikan peringatan terhadap penyalahgunaan hal-hal tersebut. Salah satu ayat ini adalah :
د نو ن د ف خل د د سو حات ل ك ة ذ يو د وحا ح حححدد ة مو ح مو حال ل ح ديُساو أي ي د م ف قك ك ف قاوحاو درب لك ك ك هُساو حاللنُسا ك سو د فحح ة وحات ل ك قححاوحا وب د ل و د سُسا ر ثو ح قو ح ر د و د ون ح د من ف ك ج د من ف د ه د خل د د ءو د جُسارلو ك دحثريررحاو د هُساو د هُساو دز ف د مُساو ح د د ل ف ك ل ل ك د قريربُسا نو د مو در ح نو ب ح ح هو حال ح هو كُسا د مو إ ح ل سُساءدلاو د وحالفر د حُسا د ذ يو ت د د علري فك ف نو حالل د حالل د هو د (1)
3
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa 4: 1) Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk pertama-tama dan terutama, bertakwa kepada Allah, kemudian yang kedua, memberikan hormat kepada “arham” dalam rangka menekankan arti pentingnya. Bagi seseorang musli, sejati, kenyataan bahwa “rahm” sering disebutkan dalam hubungannya dengan iman kepada Allah dan perlakuan baik kepada orang tua, cukup menegaskan mengenai arti pentingnya. Menegakkan tali sillaturahim merupakan salah satu prinsip pokok Islam, salah satu dasar yang telah dikembangkan agama ini sejak pertama kali Nabi saw menyebarkannya. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari sifat-sifat hukum Islam yang paling khas.
4
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Memilih Pasangan Hidup Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita. Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. A. Kriteria Memilih Calon Istri Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya : 1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. 2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda : Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ” Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban). 3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
B. Kriteria Memilih Calon Suami
5
1. Islam Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221) 2. Berilmu dan Baik Akhlaknya Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32). Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah. 3.2 Melakukan Pernikahan Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalanjalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta’ala yang artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
6
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30). A. Islam Menganjurkan Nikah Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim). B.
Tujuan Pernikahan Dalam Islam
Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi Untuk membentengi ahlak yang luhur Untuk menegakkan rumah tangga yang islami Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Untuk mencari keturunan yang shalih
C. Tata Cara Pernikahan Dalam Islam Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.
Khitbah (Peminangan) Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi: a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai. b. Adanya Ijab Qabul. c. Adanya Mahar. d. Adanya Wali.
7
e. Adanya Saksi-saksi. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Walimah
3.3 Hak dan Kewajiban Suami-Istri A. Hak Bersama Suami Istri
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (ArRum: 21)
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 & Al-Hujuraat: 10)
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19) Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
C. Adab Suami Kepada Istri Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (Q.S At-Taubah: 24) Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. (QS. At-Taghabun: 14) Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah(QS.AIFurqan: 74) Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali) Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (QS. An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(QS. Ath-Thalaq: 7) Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi) Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (QS. An-Nisa’: 19) Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud). Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS. AI-Ahzab: 34, QS. At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
8
Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali) Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (QS. An-Nisa’: 3) Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i) Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali) Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (QS. AI-Baqarah: 40)
C. Adab Istri Kepada Suami Hendaknya istri menyadari dan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (QS. An-Nisa’: 34) Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (QS. Al-Baqarah: 228) Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (QS. An-Nisa’: 39) Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: Menyerahkan dirinya,Mentaati suami, Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali) Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih) Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim) Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi) Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi) Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Tirmidzi) Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani) Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani) Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (QS. An-Nisa’: 34) Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri) Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih) Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (QS. An-Nur: 30-31).
9
3.4 Tanggungjawab Orangtua Terhadap Anak
Memilih istri/suami yang baik, minimalnya harus memenuhi 4 syarat, yaitu: rupawan, hartawan, bangsawan dan taat beragama. Taat beragama yang lebih utama dari keempat syarat yang telah disebutkan (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Mengazankan/mengiqamatkan pada telinga kanan/kiri bayi, langsung setelah lahir dan dimandikan (H.R. Bukhari dan Muslim dari Asmaa binti Abu Bakar). Memberikan nama yang baik untuk anak, karena di hari akhirat seorang akan dipanggil sesuai dengan nama yang diberikan orang tuanya. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Jabir). Menyembelih ‘aqiqah, karena, karena Rasulullah SAW bersabda : Anakanak yang baru lahir masih tersandra dengan ‘aqiqah. Sebaiknya ‘aqiqah disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran dan pada hari itu juga dicukur rambut serta diberi nama (H.R. Bukhari dan Muslim dll dari Salmaan bin Aamir). Melakukan penyunatan. Hukum penyunatan adalah wajib bagi anak laki-laki dan kemuliaan bagi anak perempuan (H.R. Ahmad dan Baihaqy dari Syaddaad bin Aus). Menyediakan pengasuh, pendidik dan/atau guru yang baik dan kuat beragama dan berakhlak mulia, kalau orang tuanya kurang mampu. Akan tetapi yang terafdhal bagi yang mampu adalah orang tuanya , disamping guru di sekolah dan Ustadz di pengajian. (Alghazaaly, Ihyaau ‘Uluumiddin, Al-Halaby, Cairo, Jld 8, Hal 627). Mengajarnya membaca dan memahami Al-Qur’an; memberikan pendidikan Jasmani (H.R. baihaqi dari Ibnu Umar). Memberikan makanan yang halal untuk anaknya Melatih mereka shalat selambat-lambatnya pada usia tujuh tahun dan sedikit lebih keras dikala sudah berusia sepuluh tahun. (Ahmad dan Abu Daud dari ‘Amru bin Syu’ib). Memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dengan anak perempuan, juga antara mereka dengan orang tuanya, bila usianya telah mencapai sepuluh tahun (H.R. Bazzaar). Membiasakan berakhlak Islami dalam bersikap, berbicara, bertingkah laku dan sebagainya, sehingga semua kelakuannya menjadi terpuji menurut Islam (H.R. Turmuzy, dari Jaabir bin Samrah). Menanamkan etika malu pada tempatnya dan membiasakan minta izin keluar/masuk rumah, terutama ke kamar orang tuanya, teristimewa lagi saat-saat zhahiirah dan selepas shalat Isya. (QS. Annuur :59). Berlaku kontinuitas dalam mendidik, membimbing dan membina mereka. Demikian juga dalam penyandangan dana dalam batas kemampuan, sehingga sang anak mampu berdikari (H.R. Abu Daud dari abu Qalaabah). Berlaku adil dalam memberi perhatian, washiyat, biaya dan cinta kasih kepada mereka (HR. Muslim dari Anas bin Maalik).
3.5 Birrul Walidain
10
Birrul Wlidain terdiri dari kata birrul dan al-walidain. Birrul artinya kebajikan. Al-walidain artinya dua orang tua atau ibu dan bapak. Birrul Walidain berarti berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Semakna dengan birrul walidain, Al-Qur’an AlKarim menggunakan istilah ihsan (wa bi al-walidaini ihsana), seperti yang terdapat dalam (QS. Bani Isra”il: 23),“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya...” Allah SWT juga meletakan perintah berterima kasih kepada kedua orang tua langsung sesudah perintah berterima kasih kepada Allah SWT. Allah berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. ”(QS. Luqman: 14). Rasulullah juga mengaitkan bahwa keridhaan dan kemarahan Allah SWT berhubungan dengan keridhaan dan kemarahan kedua orang tua. Rasulullah bersabda: “Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarahan orang tua.”(HR. Tirmidzi) Bentuk-bentuk Birrul Waldain :
Mengikuti keinginan dan saran orang tua. Seorang anak wajib mengikuti segala keinginan kedua orang tua, dengan catatan keinginan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Allah berfirman : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”(QS.Luqman 15).
Menghormati dan Memuliakan kedua orang tua Banyak cara yang bisa dilakukan seorang anak untuk menunjukkan rasa hormat kepada kedua orang tua, antara lain memanggilnya dengan panggilan yang menunjukan rasa hormat, berbicara kepadanya lemah lembut, tidak mengucapkan kata-kata yang kasar, pamit jika ingin keluar rumah(bila tinggal serumah), dan lain sebagainya. Allah berfirman : “…Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”(QS. Bani Isra’il : 23)
Membantu kedua orang tua secara fisik dan materiil. Seseorang dapat membantu kedua orang tua baik sebelum berkeluarga dan belum berpenghasilan maupun apabila anak tersebut sudah berkeluarga dan berpenghasilan. Rasulullah bersabda : “Siapakah yang paling berhak aku Bantu dengan sebaik-baiknya? jawab Nabi;”ibumu”. Kemudian siapa; jawab Nabi; “ibumu”. Lalu siapa lagi? jawab Nabi;”bapakmu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Mendo’akan kedua orang tua
11
Seorang anak yang berbakti adalah anak yang selalu mendo’akan kedua orang tua baik selama mereka masih hidup walaupun mereka telah menghadap sang Khaliq. Allah berfirman : Seorang anak yang berbakti adalah anak yang selalu mendo’akan kedua orang tua baik selama mereka masih hidup walaupun mereka telah menghadap sang Khaliq. Allah berfirman : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS. Bani Isra’il :24)
3.6 Silaturrahim Dengan Karib Kerabat Istilah silaturrahmi terdiri dari dua kata: Shillah (hubungan atau sambungan) dan rahim (peranakan). Istilah ini merupakan sebuah istilah dari hubungan baik penuh kasih sayang antar sesama karib kerabat yang asal – usulnya berasal dari satu rahim(keluarga). Keluarga dalam kosep Islam bukanlah keluarga kecil yang hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak. Tetapi adalah keluarga besar yang bisa terdiri dari seluruh aspek dalam suatu keluarga yang sambung-menyambung, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan lain seterusnya. A. Silaturrahim secara kongkrit dapat ditunjukkan dalam bentuk antara lain : Berbuat Baik (ihsan) Berbuat baik atau saling tolong-menolong antar sanak keluarga dapat mempererat tali sillaturrahmi antar sanak keluarga. Allah SWT meletakkan ihsan kepada dzawi al-qurba nomor dua setelah ihsan kepada ibu bapak. Allah berfirman : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36).
Membagi sebagian dari harta warisan Kita dapat membagi sebagian dari harta warisan kepada karib kerabat yang hadir pada waktu pembagian, tetapi tidak mendapat bagian jika terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak. Allah berfirman : ”Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.”(QS. An-Nisaa’ :8).
Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat dengan cara antara lain : Saling hormat-menghormati, bertukar salam, Saling kunjung-mengunjungi, Menyelenggarakan walimahan, dll. A. Manfaat Silaturrahmi Selain meningkatkan hubungan persaudaraan antar kerabat, silaturrahmi juga memberi manfaat lain yang lebih besar baik di dunia maupun di akhirat. Antara lain :
12
Mendapatkan Rahmat, Nikmat dan Ihsan dari Allah SWT Masuk Surga dan Jauh Dari Neraka Lapang Rezeki dan Panjang Umur
Rasulullah bersabda : “Siapa yang ingin di lapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, hendaklah ia melakukan silaturrahmi.” (H. Muttafaqun ‘Alaihi). 3.6 Persoalan Seputar Pernikahan Menurut Drs. M. Thalib beberapa persoalan seputar pernikahan yang dapat menyebabkan perceraian adalah sebagai berikut: 1. Suami atau istri tidak senang lagi 2. Istri tidak dibelanjai oleh suami 3. Lemah syahwat 4. Penganiayaan 5. Perintah orangtua 6. Tergoda lelaki atau perempuan lain 7. Pengecap rasa 8. Menuntut kemewahan 9. Mengidap penyakit 10. Suami mengebiri diri 11. Melanggar persyaratan 12. Suami atau istri ghaib (tidak diketahui keberadaannya) 13. Mula’anah 14. Dhihar 15. Murtad
13
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh dengan nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Islam telah memberikan solusi atas kehidupan di dunia ini. Salah satunya yaitu Akhlaq dalam keluarga yang begitu luas penjabarannya. Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup, melakukan pernikahan, kewajiban dan hak – suami istri, tanggung jawab orangtua terhadap anak, birrul walidain, dan silaturahmi karib kerabat. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. 4.2 Saran Dengan adanya uraian tentang akhlaq dalam keluarga ini, diharapkan seorang muslim / muslimah dapat bertambah iman dan taqwanya kepada Allah. Dengan mengikuti Al – Qur’an dan Al – Hadist sebagai pedoman hidup, insya Allah akan mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Semoga hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
14
DAFTAR PUSTAKA Thalib, Muhammad. 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangnannya. Bandung: Irsyad Baitus Salam (IBS), 1997. Amini, Ibrahim. Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri. Bandung: Al-Bayan, 1994. Latif, HSM Nasaruddin. Biografi dan Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Millah, S., Meringankan Beban Pendidikan Rakyat Miskin, Mereka Tak Cuma Butuh Bantuan SPP. www.Google.co.id. Diakses pada tanggal 10 Nopember 2010. Attar, Ummu. Akhlak dalam Keluarga. https://sartikahinata.wordpress.com/2013/ 02/17/akhlak-terhadap-keluarga. Diakses pada tanggal 20 Februari 2017. Yusuf, M. Kewajiban Istri Terhadap Suami. http://keluarga.kawansejati. org/kewajibanistri-terhadap-suami. Diakses pada tanggal 20 Februari 2017. Widiasnantia,
Ayu.
Akhlak
dalam
Berkeluarga.
https://ayudwiasnantia.
files.wordpress.com/2012. Diakses pada tanggal 20 Februari 2017.
15