BAHAN AJAR DISEMINASI DAN SOSIALISA SOSIALISASI SI KETEKNIKAN BIDANG PLP SEKTOR PERSAMPAHAN
MODUL 02 KELEMBAGAAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PRASARANA DAN SARANA BIDANG PLP
K E M E N T E R I A N D I R E K T O R A T
P E K E R J A A N
J E N D E R A L
DIREKTORAT DIREKTORAT PENGEMBANGAN PENYEHATAN
U M U M
C I P T A
K A R Y A
LINGKUNGAN
PERMUKIMAN
DAFTAR ISI
1 2
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 71 KELEMBAGAAN PENGELOLA PS PLP ........................................................................ 72 2.1 Penataan Sistem Pengelolaan ...................................................................................... 73 2.2 Penataan Organisasi Pengelola.................................................................................... 74 2.2.1 Pilihan Bentuk Lembaga ..................................................................................... 80 2.2.1.1 Lembaga Pengelola di Satu Provinsi/Kota/Kabupaten.................................... 80 2.2.1.2 Kelembagaan Kerjasama Regional ................................................................. 86 2.2.2 Perumusan dan Penataan Stuktur Organisasi ...................................................... 94 2.2.3 Penentuan Kebutuhan Pengembangan Organisasi PLP .................................... 101 2.3 Penataan Sumber Daya Manusia (SDM) Organisasi Pengelola ................................ 101 2.3.1 Aspek-Aspek Pengembangan SDM .................................................................. 103 2.3.2 Strategi Pendekatan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia .................. 104 2.3.3 Pendekatan Pembelajaran Partisipatif ............................................................... 106 3 PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN PS PLP ............................................................... 107 3.1 Aspek fiskal ............................................................................................................... 107 3.2 Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah................................................................... 110 3.3 Komponen Pendanaan dan Pembiayaan Lembaga Pengelola PS PLP ...................... 113 4 PERAN MASYARAKAT DI BIDANG PLP ................................................................... 114 4.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Prasarana dan Sarana PLP.............. 114 4.2 Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) dalam Pengembangan Prasarana dan Sarana 115 4.2.1 Beberapa Peraturan Terkait KPS ....................................................................... 117 4.2.2 Tahapan Kemitraan Pengembangan Infrastruktur ............................................. 120 4.2.3 Pemanfaatan Program Corporate Social Responsibility ................................... Responsibility ................................... 121 4.3 Fungsi Pemerintah Daerah atas Peran Masyarakat ................................................... 125
i
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Peran pemerintah daerah dalam subbidang air limbah ............................................... 75 Tabel 2.2. Peran pemerintah daerah dalam subbidang persampahan .......................................... 77 Tabel 2.3. Peran pemerintah daerah dalam subbidang drainase .................................................. 78 Tabel 2.4. Kompilasi tugas organisasi daerah bidang PLP ......................................................... 79 Tabel 4.1. Peraturan terkait KPS ............................................................................................... 118 DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Konteks pengelolaan PS PLP ................................................................................. 71 Gambar 2.1. Karakteristik alternatif lembaga pengelola ............................................................. 82 Gambar 2.2. Hubungan pilihan bentuk lembaga dengan permasalahan PLP.............................. 83 Gambar 2.3. Hubungan pilihan bentuk lembaga dengan potensi finansial ................................. 84 Gambar 2.4. Ilustrasi pengaruh potensi finansial atas pilihan bentuk lembaga .......................... 85 Gambar 2.5. Ragam pilihan bentuk lembaga berdasarkan analisis kriteria ................................ 86 Gambar 2.6. Tahapan kerjasama TPA regional .......................................................................... 87 Gambar 2.7. Contoh struktur minimal unit kerja TPA regional .................................................. 89 Gambar 2.8. Contoh struktur dinas yang menangangani satu bidang PLP ................................. 94 Gambar 2.9. Contoh struktur dinas yang menangani bidang PLP .............................................. 95 Gambar 2.10. Contoh struktur dengan PLP sebagai bidang........................................................ 95 Gambar 2.11. Contoh struktur dengan pembedaan posisi sektor PLP sebagai bidang dan seksi 96 Gambar 2.12. Contoh struktur dengan PLP sebagai Seksi .......................................................... 96 Gambar 2.13. Posisi UPTD dalam dinas daerah ......................................................................... 97 Gambar 2.14. Form D perhitungan beban kerja .......................................................................... 99 Gambar 2.15. Alur penataan kelembagaan ............................................................................... 101 Gambar 2.16. Model gunung es dan lingkaran terpusat kompetensi ........................................ 102 Gambar 2.17. Model perencanaan SDM ................................................................................... 105 Gambar 3.1. Skema dekonsentrasi dan tugas pembantuan ....................................................... 110 Gambar 3.2. Komponen pengelolaan keuangan pemda ............................................................ 111 Gambar 3.3. Komponen pendapatan lembaga pengelola .......................................................... 113 Gambar 4.1. Ilustrasi percepatan transformasi ekonomi indonesia ........................................... 116 Gambar 4.2. Para pihak dalam kemitraan pemerintah-swasta .................................................. 117 Gambar 4.3. Tahapan kerjasama pemerintah-swasta ................................................................ 120 Gambar 4.4. Bagi peran para pihak dalam konteks CSR .......................................................... 123
ii
KELEMBAGAAN PENGELOLA PRASARANA DAN SARANA BIDANG PLP 1 PENDAHULUAN Ketersediaan prasarana dan sarana bidang PLP (selanjutnya disingkat PS PLP, termasuk di dalamnya adalah subbidang persampahan, air limbah, dan drainase) membutuhkan pengelolaan yang baik, agar prasarana dan sarana yang telah terbangun dapat memberikan manfaat sebesar besarnya secara berkesinambungan.
Pengelolaan yang dimaksud pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan amanat dari Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara khusus, prasarana dan sarana bidang PLP membantu mengurangi dampak lingkungan berupa polusi (tanah, air, udara) dari aktivitas permukiman, serta berperan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana seperti banjir. Selain itu, pengelolaan yang dimaksud juga merupakan bagian dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merupakan amanat dari Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman; yang mencakup kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
Gambar 1.1. Konteks pengelolaan PS PLP
Perihal manajamen seperti perencanaan, pembangunan, pemanfaatan dan pengendalian PS PLP akan dijelaskan pada Bab-bab terpisah. Pada bagian ini, yang dijelaskan lebih rinci adalah hal kelembagaan, pendanaan dan pembiayaan, serta peran masyarakat yang merupakan prasyarat bagi keberhasilan proses manajemen tersebut.
71
2 KELEMBAGAAN PENGELOLA PS PLP Lembaga pengelola PS PLP di daerah bisa dilakukan langsung oleh Pemda, atau oleh (komponen) masyarakat. Bagian awal dari Subbab ini menjelaskan mengenai penataan lembaga pengelola yang ada di bawah kendali pemerintah daerah. Sedangkan untuk lembaga pengelola yang merupakan komponen masyarakat, dijelaskan tersendiri. Penguatan kapasitas kelembagaan pemda dilakukan untuk memastikan agar aparat pemerintah mampu menyediakan pelayanan kepada pihak pengguna. Hal ini terutama terkait dengan tuntutan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Proses penguatan kapasitas kelembagaan pemda dapat dilakukan berdasarkan tiga tingkatan: level sistem, level organisasi, dan level individu. Pada tataran “sistem”, penataan diarahkan untuk memberikan kerangka hukum bagi dasar kebijakan dan strategi yang tepat, hingga penetapan program dan sasaran kinerja sebagai turunan kebijakan, di samping pembiayaan dan penganggaran. Pada tataran “organisasi”, penguatan dilakukan terhadap bentuk, struktur, dan kewenangan lembaga; disertai penyediaan standar-standar prosedur operasi, perangkat kerja, dan perangkat manajemen lain seperti sistem informasi. Pada tataran “individu”, penataan terutama diarahkan pada kecukupan sumber daya manusia dan pengembangan kecakapan sumber daya manusia antara lain melalui pendidikan dan pelatihan.
Dengan memastikan bahwa ketiga tataran tersebut dikembangkan kapasitasnya secara berkelanjutan, diharapkan lembaga pengelola PS PLP di daerah akan memiliki ciri-ciri pemerintahan di masa datang (B.Guy Peters, The Future of Governing), seperti: 1. Pemerintahan yang menyentuh realitas yang dihadapi publik, memiliki kebijakan yang dapat mempertahankan akuntabilitas demokratik; 2. Memiliki berbagai sumber kekuasaan dan kewenangan; 3. Mengembangkan organisasi virtual sebagai suatu cara untuk menghubungkan antara individu, kebutuhan institusi lintas organisasi pemerintahan yang tidak terbatas ruang dan waktu; 4. Melakukan kontrak kerja sama serta konsultansi dengan pihak lain; 5. Memiliki aparatur yang memiliki komitmen tinggi terhadap peningkatan kinerja organisasi serta aktif dalam berbagai penyelenggaraan pemerintahan; 6. Menanamkan jiwa kewirausahaan dan keterampilan yang tepat kepada aparatur sehingga mereka mampu menunjukkan kinerja yang efektif dan efisien. 72
2.1 Penataan Sistem Pengelolaan Proses penyelenggaraan layanan umum Bidang PLP tidak bisa dilepaskan dari peraturan yang terkait. Mulai dari aturan tertinggi, yakni konstitusi negara, yang menyebutkan pada pasal 28H Undang-undang Dasar 1945, ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan1. Hak tersebut adalah hak warga negara, dan menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Karena itu, amanat konstitusi tersebut merupakan tujuan akhir pencapaian pembangunan bidang PLP.
Terkait dengan cakupan layanan Bidang PLP, beberapa Undang-undang yang perlu diperhatikan adalah:
Sementara itu, untuk aspek pemerintahan daerah, Undang-undang yang paling utama adalah UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahan-perubahannya. Pemerintah telah menindaklanjuti Undang-undang tersebut dengan peraturan-peraturan turunan yang mengatur lebih lanjut. Ketentuan-ketentuan ini mengikat juga bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kelembagaannya, yang dalam hal ini adalah lembaga pengelola PS PLP. Demi efektivitas dalam pelaksanaan urusan wajibnya di bidang ke-PU-an (khususnya Subbidang PLP), pemerintah daerah juga perlu melengkapi peraturan daerah yang terkait dengan PLP. Materi yang diatur bisa berupa: cakupan dan pola pengelolaan (limbah, drainase), besaran retribusi, kelembagaan pengelola, peran masyarakat, dll. Akan lebih baik bila setiap subbidang dibuatkan peraturan yang terpisah, mengingat kompleksitas masalah dan ragam penanganannya berbeda-beda, baik antar subbidang maupun antar daerah. Adanya peraturan daerah yang spesifik mengenai persampahan, air limbah, dan drainase akan memberikan landasan hukum yang jelas bagi lembaga pengelola PS PLP di daerah dalam 1
Perubahan kedua UUD 1945
73
menjalankan tugas dan fungsinya. Selain kerangka pengelolaan, lembaga pengelola juga perlu dijustifikasi dengan menerbitkan peraturan daerah atau peraturan/keputusan kepala daerah yang menegaskan bentuk, struktur, beserta tugas dan fungsinya. Pembentukan Perangkat Daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, yang memuat nama atau nomenklatur, tugas pokok dan susunan organisasi masing-masing SKPD. Peraturan Daerah (Perda) tentang perangkat daerah secara prinsip dituangkan dalam 1 (satu) Perda. Namun apabila lebih dari (satu) Perda dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan daerah yang terdiri atas: 1. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah termasuk Staf Ahli. 2. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah. 3. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah termasuk inspektorat, badan perencanaan pembangunan daerah, serta rumah sakit daerah. 4. Peraturan Daerah tentang kecamatan dan Kelurahan. 5. Peraturan Daerah tentang Organisasi dan Tatakerja lembaga lain yang telah mendapat persetujuan pemerintah. Penjabaran tugas pokok dan fungsi masing-masing perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Begitu pula dengan pengaturan tentang UPT Dinas mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsinya. 2.2 Penataan Organisasi Pengelola Idealnya, pengelolaan PS PLP dilakukan secara profesional oleh suatu lembaga pengelola. Pengelolaan ini perlu memperhatikan keterpisahan fungsi regulator dan operator seperti yang diamanatkan peraturan (antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum).
Dalam konteks tugas pemerintahan, yang dimaksud dengan regulator adalah pihak yang mengembangkan kebijakan, norma, dan standar, bagi pelaksanaan pelayanan publik. Regulator kemudian juga melakukan fungsi pengawasan dan pengendalian agar pelaksanaan pelayanan publik bisa berjalan sesuai koridor yang telah ditetapkan. Operator, di lain pihak, merupakan pelaksana pelayanan publik yang melakukan perencanaan dan implementasi kegiatan sesuai arahan dari regulator. Pembedaan fungsi ini dapat membantu menghindarkan terjadinya konflik kepentingan bagi para pelaksana pelayanan publik. Dengan demikian, diharapkan timbul mekanisme check and balance yang memastikan proses pelayanan publik berjalan berkesinambungan dan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. 74
Agar pengelolaan PS PLP berjalan dengan lancar, kelembagaan pengelola perlu telah siap saat PS PLP telah terbangun. Khususnya terhadap PS PLP yang investasinya dibantu oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah wajib berkontribusi menyiapkan perangkat penyelenggaranya agar PS PLP yang terbangun dapat beroperasi dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hal ini umumnya menjadi bagian dari kesepakatan tertulis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mendapatkan bantuan. Organisasi pengelola perlu ditetapkan tugas dan fungsinya (sebagai organisasi), penetapan ini setidaknya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai kewajiban layanan bidang PLP yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Berikut ini adalah tabel peran pemerintah daerah (untuk pemerintah provinsi, dan kota/kabupaten) berdasarkan Lampiran C Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota: Tabel 2.1. Peran pemerintah daerah dalam subbidang air limbah Sub-sub Bidang
Pengaturan
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi. 3. Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi. 4. Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
75
Sub-sub Bidang
Pemerintah Daerah Provinsi
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pembinaan
1. Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
1. Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota. 2. Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.
Pembangunan
1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi. 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi.
1. Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM. 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan
1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya. 2. Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
1. Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota. 2. Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM.
76
Tabel 2.2. Peran pemerintah daerah dalam subbidang persampahan Sub-sub Bidang Pengaturan
Pembinaan
Pembangunan
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional. 2. Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi. 3. Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah. 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota. 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota. 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota. 1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi. 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 3. Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
4. Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota. 1. – 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota. 3. Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota. 1. Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota. 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
77
Sub-sub Bidang Pengawasan
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota. 2. Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Tabel 2.3. Peran pemerintah daerah dalam subbidang drainase Sub-sub Bidang Pengaturan
Pembinaan
78
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
1. Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi. 2. Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.
1. – 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota.
Sub-sub Bidang Pembangunan
Pengawasan
Pemerintah Daerah Provinsi
1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota. 2. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah. 1. Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya. 2. Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota. 3. Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota.
1. Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota. 2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota. 3. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Selain penetapan tugas dan fungsi organisasi, masing-masing posisi yang ada di dalam struktur organisasi juga perlu dijelaskan tugas dan wewenangnya. Sebagai panduan umum, berikut ini disertakan daftar tugas yang perlu ada di dalam struktur organisasi pengelola PS PLP: Tabel 2.4. Kompilasi tugas organisasi daerah bidang PLP Subbidang Ragam Tugas
AL
Sp
Dr
Perumusan kebijakan teknis dan pengaturan
Pembentukan lembaga penyelenggara layanan
Pelayanan perizinan dan penertiban
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara
79
Subbidang Ragam Tugas
AL
Sp
Dr
Pembinaan dan penyuluhan masyarakat
Penyusunan rencana program dan petunjuk teknis
Pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
Pengadaan dan pembangunan
Pencegahan pencemaran dan pemulihan
Pemungutan retribusi
Pendataan, pemantauan, dan evaluasi kinerja penyelenggaraan
Pengoperasian dan pemeliharaan
2.2.1
2
Pilihan Bentuk Lembaga
2.2.1.1 L embaga Pengel ola di Satu Provi nsi/Kota/Kabupaten
Beberapa unit PS PLP yang memiliki lahan dan spesifikasi teknis tertentu yang cukup kompleks sebaiknya dikelola secara khusus. Misalnya: TPA, IPAL, IPLT, dan Kolam Retensi. Pilihan bentuk kelembagaan bagi pengelola PS PLP semacam itu yang beroperasi di dalam satu wilayah pemerintahan provinsi/kota/kabupaten adalah: 1. Struktur di dalam SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) 2. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD, di bawah struktur Dinas daerah yang terkait) 3. SKPD atau Unit Kerja SKPD (UPTD) yang menerapkan PPK-BLUD (Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah; selanjutnya akan dirujuk sebagai BLUD) 4. Perusahaan Daerah/Badan Usaha Milik Daerah (Perusda/BUMD) Untuk pilihan pertama, sebenarnya pengelolaan masih belum spesifik menjadi tugas dari unit kerja tersendiri. Fungsi pengelolaan dilekatkan pada struktur jabatan/posisi yang ada pada SKPD. Kepala Daerah bisa menetapkan urusan pengelolaan TPA (sebagai contoh) kepada Kepala Bidang, atau lebih rendah: seperti Kepala Subbidang atau Seksi. Lebih buruk lagi bila pengelolaan TPA tidak spesifik ditugaskan kepada subbidang/seksi tertentu, melainkan merupakan bagian dari seluruh tugasnya saja (misalnya kepala seksi persampahan, yang antara lain mengurus TPA selain mengurus penyapuan jalan dan transportasi sampah domestik). Tiga pilihan lainnya umumnya sudah mendapatkan tugas pengelolaan yang lebih spesifik. Untuk pilihan bentuk lembaga ke-2 hingga ke-4, penjelasan ringkasnya adalah sebagai berikut: o Dalam ketentuan PP No.41 Tahun 2007, setiap organisasi daerah yang berbentuk dinas dapat memiliki unit teknis di bawahnya sesuai kebutuhan; untuk melaksanakan sebagian 2
Bisa juga dirinci lebih lanjut, seperti: pembersihan, pengangkutan, pengolahan, dll.
80
o
o
3
kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang. Yang dimaksud dengan kegiatan teknis operasional yang dilaksanakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat, sedangkan teknis penunjang adalah melaksanakan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya. Pada tingkatan pemerintah provinsi, Kepala UPTD adalah pejabat eselon III, sedangkan Kepala UPTD di kabupaten/kota adalah pejabat eselon IV dengan struktur lebih sederhana (diisi oleh jabatan fungsional). Proses pembentukan UPTD bisa dilakukan dalam waktu relatif cepat, mengingat hanya membutuhkan penetapan dari Kepala Daerah. BLUD merupakan lembaga yang menjalankan fungsi layanan publik, dengan pengelolaan keuangan dan SDM yang lebih leluasa/fleksibel. Bentukan asal bisa saja setingkat SKPD atau unit kerja SKPD. Keleluasaan yang dimiliki oleh BLUD pada dasarnya dirancang untuk memenuhi tuntutan layanan publik yang lebih profesional dan lebih adaptif-responsif. Keleluasaan ini termasuk: kewenangan untuk menggunakan pemasukan dari jasa layanan/produk secara langsung untuk kegiatan operasional tanpa 3 harus diserahkan lebih dahulu kepada kas daerah , boleh merekrut tenaga profesional non-PNS, serta menetapkan struktur remunerasi sendiri. Namun keleluasaan tersebut juga diimbangi dengan tanggung gugat yang lebih besar; seperti audit keuangan oleh auditor independen, dan pengawasan kinerja yang lebih ketat oleh Dewan Pengawas. Proses pembentukan BLUD lebih rumit, karena membutuhkan kajian kepatutan dan kelayakan yang tercantum dalam rencana strategi bisnis, dan lolos persyaratan yang ditentukan. Namun penetapannya cukup oleh Kepala Daerah. Proses perencanaan dan penganggaran masih terintegrasi dan terkonsolidasi dengan SKPD induknya. Perusda/BUMD pada dasarnya merupakan badan usaha yang modalnya sebagian terbesar atau seluruhnya menjadi milik pemerintah daerah. Secara umum dikenal sebagai bentuk quasi-governmental corporation (dikenal juga dengan istilah yang lebih singkat: quasi-government ), yang merupakan badan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan namun juga menjalankan fungsi l ayanan publik tertentu. Meski ada juga pendapat bahwa perusda yang berbentuk PT (Perusahaan Terbuka) sudah mendekati bentuk perusahaan swasta, dan bukan lagi tergolong quasi-government . Bentukan ini sudah lazim untuk pengelola Bidang Air Minum, dan sudah digunakan juga oleh beberapa daerah untuk mengelola IPAL dan persampahan. Aset BUMD, seperti juga BUMN, merupakan perbendaharaan negara yang administrasinya terpisahkan. Dengan demikian proses perencanaan dan penganggaran dari BUMD lebih
Seluruh pendapatan BLUD yang bukan berasal dari APBN/APBD dilaksanakan melalui rekening kas
BLUD dan dicatat dalam kode rekening kelompok pendapatan asli daerah pada jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dengan obyek pendapatan BLUD (Peraturan Menteri Dalam Negeri No.61 Tahun 2007).
81
independen dibanding bentukan lembaga lainnya. Pemerintah daerah dapat memberikan penyertaan modal, sebagai investasi bagi BUMD, dan dapat memperoleh dividen bila operasionalnya menghasilkan laba. Yang dicatat dalam anggaran daerah hanyalah kedua hal tersebut. Kondisi semacam ini tentu memungkinkan Perusda/BUMD bergerak lebih gesit, namun konsekuensinya juga menjadi lebih berat. Sebagai badan usaha, mereka diharuskan untuk bisa menghidupi dirinya sendiri, dan mampu berkompetisi dengan usaha swasta lainnya. Di sisi lain pemerintah daerah menjadi lebih terbatas dalam mengendalikan BUMD. Selain melalui penetapan peraturan, yang dapat dilakukan pemerintah daerah (selaku pemegang saham terbesar) adalah mengganti direksi Perusda/BUMD yang gagal menunjukkan kinerja yang diharapkan. Proses pembentukan Perusda/BUMD merupakan yang tersulit, karena menyangkut pemisahan aset daerah, maka harus melibatkan persetujuan DPRD.
Gambar 2.1. Karakteristik alternatif lembaga pengelola
Kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk kelembagaan yang paling sesuai bagi suatu daerah antara lain: o Kompleksitas permasalahan dan penanganan subbidang PLP di daerah o Besaran/volume PS PLP yang (akan) dikelola o Kemampuan dan potensi finansial Sebenarnya kriteria kompleksitas permasalahan dan besaran/volume PS PLP yang dikelola tidaklah sepenuhnya terpisah. Dapat dikatakan bahwa volume PS PLP selayaknya merupakan fungsi dari kompleksitas permasalahan/penanganan di daerah. Namun pada buku ini, keduanya dinyatakan terpisah untuk mengantisipasi kondisi dimana ada pembangunan/pengadaan PS PLP dalam skala yang lebih besar dari kebutuhan saat ini, antara lain sebagai bentuk antisipasi atas eskalasi permasalahan di masa mendatang. Karena itu, sifat keduanya sebenarnya mirip:
82
semakin besar kompleksitas permasalahan dan atau volume PS PLP yang ditangani, maka dibutuhkan bentuk lembaga yang lebih spesifik dan mapan dalam mengelolanya. Kompleksitas permasalahan umumnya terjadi karena karakteristik daerah dan atau masyarakatnya. Pada beberapa kota, permasalahan polusi akibat sampah/air limbah dan permasalahan genangan sudah menjadi permasalahan yang dapat mempengaruhi kenyamanan warga dan kelayakan huni kawasan permukimannya. Ada juga kota-kota tertentu yang penanganan permasalahan di atas membutuhkan perhatian lebih; misalnya karena kota tersebut t ersebut tergolong dalam tujuan utama pariwisata nasional, atau karena kepadatan penduduknya yang lebih tinggi sehingga menimbulkan limbah lebih besar per rumah tangga, atau kondisi geografi dan geomorfologinya mengakibatkan kawasannya lebih rawan atas bencana banjir dan erosi. Terhadap kota-kota semacam itu, dapat dikatakan bahwa permasalahan subbidang PLP-nya lebih kompleks daripada daerah yang lain. Semakin kompleks, semakin perlu adanya lembaga pengelola dalam bentuk yang lebih mapan.
Semakin kekanan problem semakinkompleksdanatau volume PS PLP yang dikelola semakinbesar, sehingga butuh bentuk organisasi yang lebih mapan
Gambar 2.2. Hubungan pilihan bentuk lembaga dengan permasalahan PLP
Pada kasus dimana pilihan pemerintah daerah terhadap lembaga pengelola PS PLP hanya di dalam struktur SKPD terkait yang ada, maka semakin kompleks kebutuhan penanganan, akan berarti juga semakin tinggi tingkatan jabatan/posisi yang perlu diberikan kepada pelaksana urusan PS PLP tersebut. Hal ini dibutuhkan terutama agar pengelola PS PLP mendapatkan kepastian pengalokasian anggaran yang lebih patut, dan juga kewenangan yang lebih besar dalam koordinasi pengelolaan. Meski demikian, jika suatu daerah teridentifikasi memiliki kompleksitas penanganan yang tinggi, sangat disarankan untuk memilih bentukan lembaga
83
pengelola yang lebih spesifik, tidak hanya dilekatkan fungsinya kepada jabatan di dalam struktur SKPD semata. Sementara itu, kriteria potensi dan kapasitas finansial cenderung menjadi pembatas.
Pilihan bentuk semakin kekananmembutuhkan potensi/kapasitas finansial yang semakin besar
Gambar 2.3. Hubungan pilihan bentuk lembaga dengan potensi finansial
Yang dimaksud dengan kapasitas finansial disini adalah kemampuan daerah dalam mendanai pembentukan/pengembangan lembaga pengelola PS PLP. Semakin besar kapasitasnya, semakin terbuka pilihan bentuk dan struktur lembaga pengelola. Pembentukan badan usaha, umumnya membutuhkan dana investasi awal yang lebih besar, mengingat proses pendiriannya harus juga mempertimbangkan modal kerja (working capital), yaitu cadangan dana bagi badan usaha sebelum proses usahanya stabil dan berjalan lancar. Pilihan bentuk BLUD memungkinkan perekrutan tenaga profesional, yang bisa juga berkonsekuensi biaya operasional yang lebih tinggi. Meski begitu, apabila proses operasional berjalan lancar sebagaimana yang direncanakan, pemilihan bentuk BLUD atau BUMD bisa saja di masa mendatang meringankan pembiayaan daerah, yaitu yait u bila jasa j asa operasional mereka bisa menutupi sebagian besar biaya atau bahkan menghasilkan laba. Yang dimaksud dengan potensi finansial disini adalah kemungkinan pendapatan (revenue) terutama dari jasa operasional. Apabila pengoperasian PS PLP yang terbangun memiliki potensi pendapatan, maka semakin besar potensi pendapatan tersebut, maka semakin terbuka pilihan pemerintah daerah atas bentuk lembaga pengelola. Bahkan, bila kemampuan finansial daerah tidak cukup memadai, namun ada potensi nyata berupa laba operasional, maka daerah perlu
84
bersungguh-sungguh mempertimbangkan memper timbangkan bentuk bent uk lembaga yang lebih mapan. Karena itu aspek potensi pendapatan ini lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dibandingkan kapasitas pendanaan daerah. Secara umum, dapat dikatakan bahwa potensi pendapatan yang memungkinkan cost-recovery, cost-recovery, dimana potensi pendapatan sekurang-kurangnya sama besar dengan biaya operasional, sudah selayaknya menerapkan PPK-BLUD. Dan jika potensi tersebut lebih besar dari biaya operasional sehingga memungkinkan diperolehnya laba bersih, tidak ada salahnya mempertimbangkan bentuk Perusda/BUMD.
Biaya OM &Penyusutan terr en te enuh uhii
Perusda
Biaya OM terpenuhi
Biaya OM dominan subsidi
BLUD
Masy. Penghasilan sedan
Masy. Penghasilan rendah
Dinas/ UPTD
Retribusi < biaya pelayanan
Masy. Penghasilan tin i
Pendapatan ≈biaya pelayanan
Pendapatan > biaya pelayanan
Gambar 2.4. Ilustrasi pengaruh potensi finansial atas pilihan bentuk lembaga
Pada akhirnya, pertimbangan pilihan bentuk lembaga adalah komposit (gabungan) dari penilaian atas kriteria yang telah dijelaskan. Gambar berikut menjelaskan pilihan yang tersedia, dengan mengasumsikan pembagian nilai kriteria atas tiga tingkatan kondisi: tinggi, sedang, dan rendah. Perhatikan bahwa kapasitas/potensi finansial cenderung merupakan pembatas bagi ragam pilihan yang tersedia. Sebagai contoh, untuk kapasitas/potensi finansial yang rendah, opsi BLUD dan BUMD tidak lagi disarankan. Sedangkan untuk tingkatan potensi finansial yang sedang, BLUD muncul sebagai pilihan.
85
la P e
rendah
P lo L
sedang
tinggi
ki g
BUMD d
n a s id B
ur n
h
t in g g
BLUD a
a n
g g
a
i
UPTD n
a n
y n
L
a P e
P
BUMD
P/ S
s
P e
n a h
e a
ul
al
m a
s o mr a
BLUD
d
BLUD a n g
UPTD v
UPTD
y e P
nr at
s
a s e k u
BUMD
i B s el p
at m n
BLUD a
o K d
a
UPTD
UPTD
BLUD
r e n d a h
UPTD
Besarnya potensi pendapatan dari jasa operasional dan atau kapasitas pendanaan daerah
Gambar 2.5. Ragam pilihan bentuk lembaga berdasarkan analisis kriteria
Sebagai catatan, pilihan bentuk BLUD masih terbilang baru bagi pengelolaan PS PLP. Untuk memudahkan mempelajarinya, pembahasan mengenai BLUD beserta tata cara pembentukannya dijelaskan secara lebih rinci pada bagian Lampiran. Pembentukan BLUD juga dapat dilakukan bertahap, yaitu apabila ada syarat administratif yang belum terpenuhi (namun harus sudah lolos syarat substantif dan teknis). 2.2.1.2 Kelembagaan Kerj asama Regional
Untuk pengelolaan PS PLP yang beroperasi lintas kabupaten, atau lintas provinsi, dibutuhkan lembaga kerjasama regional. Salah satu bentuk kerjasama regional yang telah dilakukan adalah TPA Regional. Tahapan kerjasama hingga pengoperasian dapat dilihat pada bagan berikut.
86
Gambar 2.6. Tahapan kerjasama TPA regional
Untuk subbidang air limbah dan drainase, proses kerjasama regional juga bisa mengikuti tahapan seperti di atas. Pembentukan UPTD Seiring dengan pembangunan Infrastruktur TPA Regional, dapat dirintis oleh para pihak pembentukan UPTD TPA Regional sebagai Lembaga Pengelola TPA Regional dengan mengacu kepada kewenangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan maksud agar
87
keberadaan kelembagaan UPTD TPA Regional secara fungsional merupakan kelembagaan yang memiliki otoritas yang dapat mewadahi kepentingan antar Pemerintah Daerah. Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pasal 8 bahwa: Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi mempunyai kewenangan (antara lain) memfasilitasi kerja sama antar daerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan jejaring dalam pengelolaan sampah. Selanjutnya secara lebih spesifik di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah Daerah/Kota; pada Lampiran Huruf C. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum, Sub Bidang Persampahan, ditegaskan bahwa: Pemerintah Daerah Provinsi mengurus penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka UPTD TPA Regional dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernur. Lembaga ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Dinas terkait yang menangani bidang Pekerjaan Umum (dalam Pedoman ini selanjutnya disebut Dinas Pekerjaan Umum) di provinsi yang bersangkutan. Jumlah Unit Kerja TPA Regional dalam satu provinsi dapat mengikuti banyaknya TPA regional yang ada di provinsi yang bersangkutan. Untuk nomenklatur masing-masing Unit Kerja TPA Regional dapat disesuaikan dengan menambah gabungan nama atau singkatan nama dari wilayah kerja Unit Kerja TPA Regional bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, bahwa pengaturan tentang UPT Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. Pembentukan UPTD sebagaimana disebutkan di atas adalah mengacu pada kondisi ideal, yaitu unit kerja TPA Regional menjadi UPTD tersendiri. Namun apabila oleh suatu sebab teknis, hal tersebut belum atau tidak bisa dilakukan, maka pengelolaan TPA Regional dapat dimasukkan ke dalam UPTD di bawah Dinas Pekerjaan Umum di provinsi yang bersangkutan. Struktur Organisasi Unit Kerja TPA Regional sekurang-kurangnya terdiri dari: a. Kepala Unit yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas.
88
b. Sub Bagian Tata Usaha atau Bagian Admnistrasi yang dipimpin oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Unit TPA Regional c. Seksi Operasi dan Pemeliharaan yang dipimpin oleh Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Unit Kerja TPA Regional Bagan Struktur Organisasi Unit Kerja TPA Regional dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.7. Contoh struktur minimal unit kerja TPA regional
Uraian tugas untuk masing-masing bagian dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kepala Unit Kerja TPA Regional memiliki tugas yaitu menyelenggarakan pengelolaan persampahan di TPA Regional di wilayah kerjanya dengan uraian tugas terdiri dari: 1) menyusun pedoman pelaksanaan tugas dalam bentuk rencana, program kerja dan jadwal kegiatan Unit Kerja TPA Regional; 2) menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan untuk kelancaran pelaksanaan tugas; 3) menelaah dan mempelajari permasalahan teknis operasional dalam pengelolaan TPA Regional serta mencari alternatif pemecahannya; 4) menyelenggarakan kegiatan pengeloaan TPA Regional di dalam wilayah kerjanya; 5) melakukan monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan TPA Regional; 6) melakukan kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana TPA Regional; 7) memeriksa dan menilai kinerja bawahan sebagai bahan evaluasi serta membimbing bawahan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas; 8) menyelenggarakan kegiatan inventarisasi, pendataan dan pemutakhiran data; 9) mengelola urusan ketatausahaan guna menunjang kinerja dinas; 10) membuat laporan kegiatan Unit TPA Regional secara berkala sebagai pertanggungjawaban kegiatan;
89
11) melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugasnya guna tercapainya tujuan organisasi. b. Kepala Sub Bagian Tata Usaha atau Bagian Administrasi mempunyai tugas mengelola urusan ketatausahaan guna menunjang kegiatan Unit TPA Regional pada wilayah kerjanya dengan uraian tugas terdiri dari: 1) mengelola penyusunan rencana dan jadwal kegiatan umum sebagai pedoman pelaksanaan tugas; 2) menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan uraian tugas dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas; 3) melaksanakan koordinasi dalam unit kerja, antar unit kerja, dengan lembaga masyarakat dan/atau masyarakat terkait; 4) menyelenggarakan administrasi surat menyurat, kearsipan, perpustakaan, keprotokolan, administrasi kepegawaian, perlengkapan dan kerumahtanggaan, administrasi keuangan dan tugas satuan pemegang kas dalam pengurusan gaji dan penghasilan lain pegawai serta dalam pembiayaan kegiatan; 5) menyampaikan informasi kepada pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan komunikasi yang sinergis; 6) menyusun rencana kebutuhan barang, rencana mekanisme kerja dan tata ruang kantor serta rencana anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas; 7) menyusun dokumen perencanaan dan pelaporan agar diperoleh sinkronisasi perencanaan; 8) melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja satuan organisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana program kerja; 9) memeriksa hasil pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan akurat; 10) memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas; 11) melaporkan pelaksanaan kegiatan Sub Bagian Tata Usaha kepada atasan sebagai pertanggungjawaban kegiatan; 12) melaksanaan tugas lain sesuai bidang tugasnya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. c. Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan mempunyai tugas meyelenggarakan kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan secara teknis TPA Regional dengan uraian tugas terdiri dari: 1) mengelola penyusunan rencana dan jadwal kegiatan operasi dan pemeliharaan TPA Regional sebagai pedoman pelaksanaan tugas; 2) menjabarkan dan membagi tugas kepada bawahan sesuai dengan uraian tugas dan tanggungjawabnya untuk kelancaran pelaksanaan tugas; 90
3) melaksanakan koordinasi dalam unit kerja, antar unit kerja, dengan lembaga masyarakat dan/atau masyarakat terkait; 4) menyelenggarakan kegiatan operasi dan pemeliharaan TPA Regional; 5) menyusun dokumen perencanaan dan pelaporan agar diperoleh sinkronisasi perencanaan; 6) melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program kerja satuan organisasi untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana program kerja; 7) memeriksa hasil pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku agar diperoleh hasil kerja yang benar dan akurat; 8) memberikan bimbingan dan penilaian kinerja bawahan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas; 9) melaporkan pelaksanaan kegiatan Seksi Operasi dan Pemeliharaan kepada atasan sebagai pertanggungjawaban kegiatan; 10) melaksanakan tugas lain sesuai bidang tugasnya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Tata Kerja Organisasi Untuk menjamin kelancaraan pelaksanaan tugas pokok dari seluruh bagian di dalam Unit Kerja TPA Regional, maka perlu ditetapkan tata kerja organisasi sebagai berikut: a. Kepala Unit TPA Regional dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas; b. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Unit, Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara vertikal dan horisontal, baik dalam lingkungan masing-masing maupun dengan instansi lain sesuai dengan tugasnya; c. Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan Unit Kerja TPA Regional bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahannya serta memberikan bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan tugas; d. Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan Unit Kerja TPA Regional harus mentaati perintah/petunjuk atasan dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing serta menyampaikan laporan berkala tepat pada waktunya; e. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi dari bawahannya, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk kepada bawahan. Penyusunan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Untuk menjamin kelancaran pengelolaan TPA Regional yang memenuhi persyaratan teknis maupun administratif, maka Kepala UPTD menetapkan Standar Opersional dan Prosedur (SOP) untuk pengelolaan TPA Regional yang mengacu kepada standar nasional mapun internasional
91
yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau referensi lainnya yang dianggap layak sebagai SOP. Penyusunan SOP juga diharuskan melibatkan unsur-unsur yang memiliki kompetensi pengelolaan persampahan. Penyusunan SOP juga terkait dengan pengelolan data dan informasi TPA Regional yang bersangkutan agar pelaksanaan pengelolaan TPA Regional dapat diketahui perkembangannya. Sehingga diperlukan pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pengelolaan Persampahan TPA Regional. Sistem Informasi Manajemen ini dilakukan secara berkelanjutan dengan keluaran berupa laporan yang harus disampaikan secara reguler setiap bulan, triwulanan, semesteran dan akhir tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Untuk selanjutnya, laporan tersebut disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota atau pihak-pihak yang terkait berdasarkan ijin dari Kepala UPTD. Dengan demikian maka SOP yang disusun juga mencakup SOP untuk monitoring dan evaluasi (monev) penyelenggaraan TPA Regional. Monitoring adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan operasional TPA dan mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin. Sedangkan evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input) dengan keluaran (output) terhadap rencana dan standar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan evaluasi harus sistematis, obyektif dan transparan yaitu dilaksanakan sesuai dengan tata urut sehingga hasil dan rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan; hasil evaluasi tidak dipengaruhi oleh kepentingan pelaksana kegiatan/pengelola; dan proses perencanaan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban hasil evaluasi harus diketahui oleh pemangku kepentingan (stakeholders). Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan monev maka perlu ditetapkan indikatorindikator kinerja berdasarkan kajian-kajian dengan bobot dan skor yang sesuai dan dapat menggambarkan kinerja TPA Regional yang sesungguhnya. Peningkatan Kelembagaan PPK-BLUD Unit TPA Regional dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, penerapan PPK-BLUD pada Unit Kerja TPA Regional, terlebih dulu harus memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
92
Unit Kerja TPA Regional pada dasarnya telah memenuhi persyaratan substantif yaitu bahwa tugas dan fungsi Unit Kerja TPA Regional bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa publik (quasi-public goods). Untuk memenuhi persyaratan teknis, maka kinerja pelayanan Unit Kerja TPA Regional harus dinyatakan layak dikelola melalui BLUD, yaitu memiliki potensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara efektif, efisien, dan produktif. Penetapan kriteria ini atas rekomendasi kepala Dinas Pekerjaan Umum. Disamping itu kinerja keuangan Unit Kerja TPA Regional telah dinyatakan sehat, yang ditunjukkan oleh tingkat kemampuan pendapatan dari layanan yang cenderung meningkat dan efisien dalam membiayai pengeluaran. Persyaratan administratif dapat terpenuhi, apabila Unit Kerja TPA Regional membuat dan menyampaikan dokumen yang meliputi: a. surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat yang dibuat oleh kepala Unit Kerja dan diketahui oleh kepala Dinas Pekerjaan Umum. b. pola tata kelola; c. rencana strategis bisnis; d. standar pelayanan minimal; e. laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan; dan f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Selanjutnya Unit Kerja TPA Regional mengajukan permohonan kepada kepala daerah melalui kepala Dinas Pekerjaan Umum, dengan dilampiri dokumen persyaratan administratif. Atas permohonan tersebut, kepala daerah membentuk tim penilai untuk meneliti dan menilai usulan penerapan PPK-BLUD TPA Regional. Apabila hasil penilaian oleh tim penilai dinyatakan layak, maka hasil tersebut disampaikan kepada kepala daerah untuk selanjutnya ditetapkan penerapan status PPK-BLUD dengan keputusan kepala daerah. Keputusan kepala daerah selanjutnya disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, bahwa Unit Kerja pada SKPD yang menerapkan PPK-BLUD selanjutnya disingkat BLUD-Unit Kerja, maka UPTD TPA Regional yang telah menerapkan PPK-BLUD selanjutnya disebut dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) TPA Regional.
93
Pada keseluruhan tahap pelaksanaan pengelolaan TPA Regional ini, TKKSD bertugas melakukan monitoring dan evaluasi, memberikan pertimbangan apabila terjadi permasalahan serta memberikan masukan kepada Gubernur dalam penyelesaian perselisihan. 2.2.2 Perumusan dan Penataan Stuktur Organisasi Untuk organisasi pengelola yang mengambil bentuk SKPD, pada prinsipnya urusan PLP masuk dalam Bidang ke-PU-an. Dengan demikian, setidak-tidaknya ada jabatan yang mengurusi subbidang PLP di dalam Dinas PU daerah. Meski demikian, daerah diberi kebebasan untuk mengembangkan kelembagaannya sendiri, selama masih mengacu kepada peraturan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah tidak menentukan jenis perangkat daerah masing-masing daerah, namun menjelaskan bahwa pembentukannya disesuaikan dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing, dengan mengikuti perumpunan urusan-urusan wajib dan pilihan.
Karena itu, semakin besar kebutuhan daerah atas penanganan Bidang PLP, maka sebaiknya semakin tinggi posisi jabatan yang mengurusnya. Contohnya, persampahan sebagai salah satu subbidang PLP ada yang diposisikan sebagai dinas tersendiri (umumnya menggunakan nama Dinas Kebersihan). Ada juga daerah yang merumpunkannya ke dalam suatu dinas tertentu (misalnya dalam Dinas Kebersihan dan Pemakaman), dengan urusan persampahan setingkat Kepala Bidang. Dan ada yang menempatkannya dalam posisi Kepala Seksi/Subbidang. Berikut ini ada beberapa contoh penempatan bidang PLP (atau subbidangnya) dalam struktur dinas. a. Dinas yang menangani Subbidang PLP Struktur paling maksimal adalah dinas yang menjalankan fungsi penyelenggara pelayanan publik satu sektor PLP secara independen, sebagai contoh adalah Dinas Kebersihan yang menjalankan fungsi layanan pengelolaan sampah. Hal semacam ini juga bisa berlaku untuk sektor Air Limbah dan Drainase, bila kondisi daerah membutuhkannya dan pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai.
Gambar 2.8. Contoh struktur dinas yang menangangani satu bidang PLP 94
Dalam contoh semacam ini, maka fungsi dari subbidang Air Limbah dan Drainase harus terakomodasi di dalam dinas yang lain, misalnya Dinas PU. b. Dinas yang menangani urusan ke-PLP-an Bentuk berikutnya adalah Dinas yang menjalankan fungsi PLP, dengan air limbah, persampahan, dan drainase diposisikan sebagai bidangnya. Sebagai contoh, hal ini bisa dilakukan dengan mengadopsi nomenklatur PLP, sehingga bisa disebut Dinas PLP.
Gambar 2.9. Contoh struktur dinas yang menangani bidang PLP
c.
Bidang yang menangani satu atau lebih subbidang PLP dalam suatu Dinas
Gambar 2.10. Contoh struktur dengan PLP sebagai bidang
95
Pada contoh di atas, PLP terkelompok sebagai Bidang, dan sektornya menjadi seksi. Pola lain adalah pola campuran, dengan satu atau lebih sektor PLP menjadi Bidang, lainnya sebagai seksi.
Gambar 2.11. Contoh struktur dengan pembedaan posisi sektor PLP sebagai
bidang dan seksi Bentuk paling minimal bagi pengelolaan PLP bisa berupa Seksi di bawah bidang yang lain dalam suatu dinas, seperti pada contoh berikut.
Gambar 2.12. Contoh struktur dengan PLP sebagai Seksi
96
Untuk pemerintah daerah yang menggunakan bentuk UPTD sebagai pengelola PS PLP tertentu (misalnya TPA, IPAL, atau IPLT); penempatannya adalah di dalam struktur Dinas yang terkait (sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi Dinas). UPTD memiliki garis komando langsung ke Kepala Dinas seperti para Kepala Bidang, meski Kepala UPTD di Kabupaten/Kota merupakan pejabat dengan eselon setingkat para Kepala Seksi di Dinas terkait (eselon IV).
Gambar 2.13. Posisi UPTD dalam dinas daerah
Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Sementara untuk dinas di level pemerintahan provinsi yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi (PP No.41/2007). Penjelasan mengenai Kelompok Jabatan Fungsional, dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Dijelaskan bahwa: 1. Pada masing-masing Perangkat Daerah dapat ditetapkan Jabatan Fungsional berdasarkan keahlian dan spesialisasi yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur ketentuan yang berlaku; 2. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Pemerintah Daerah sesuai dengan keahlian dan kebutuhan. 3. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4. Kelompok Jabatan Fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk. 5. Jumlah tenaga fungsional ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
97
6. Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatas diatur berdasarkan peraturan perundangundangan. 7. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas sesuai dengan peraturan perundangundangan. 8. Satuan kerja perangkat daerah yang dapat didukung oleh kelompok jabatan fungsional, selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dilakukan penyerasian dan penyesuaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penataan struktur organisasi juga bisa mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang menjelaskan pentingnya melakukan analisis beban kerja dalam merumuskan susunan organisasi. Ketentuan mengenai analisis beban kerja dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pedoman Analisis Beban Kerja di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Pada dasarnya, analisis dilakukan terhadap setiap substruktur dari organisasi, dan pada akhirnya dihitung beban kerja dari masing-masing substruktur tersebut. Dari hasil perhitungan, akan dapat disimpulkan apakah struktur yang ada sebenarnya masih bisa menampung tugas-tugas lainnya (ditambah tugasnya) atau sudah kelebihan beban, dan perlu diperbesar. Sebagai gambaran, berikut adalah format tabel perhitungan untuk mengukur kebutuhan pegawai organisasi daerah. (Tatacara dan langkah-langkah perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2008).
98
FORM D PERHITUNGAN KEBUTUHAN PEJABAT/PEGAWAI, TINGKAT EFISIENSI JABATAN (EJ) DAN PRESTASI KERJA JABATAN (PJ) 1.
UNIT ORGANISASI
:
2.
SATUAN KERJA
:
NO
1
NAMA
JUMLAH
PERHITUNGAN
BEBAN
JML
JABATAN KERJA 2
KEBUTUHAN
JABATAN
PEG
3
4
JUMLAH PEG YANG ADA
+/- EJ PJ KET
5
6
7
8
9
JUMLAH ANALIS, .. NIP Sumber: Permendagri No.12/2008 Gambar 2.14. Form D perhitungan beban kerja Untuk menghitung kebutuhan pegawai dari tabel tersebut, digunakan rumus: Jumlah Kebutuhan Pegawai/Pejabat = Jumlah beban kerja jabatan: Jam Kerja Efektif per tahun Kolom (4) = Kolom (3): JKE PER T AHUN
99
Dalam hubungannya dengan penataan kelembagaan, hasil analisis beban kerja dapat menunjukkan perlu tidaknya pengembangan struktur. Jika beban kerja aktual terlalu berat untuk dilaksanakan oleh personil yang ada, maka organisasi tersebut dapat menambah personilnya, sesuai dengan batasan yang berlaku. Untuk organisasi pengelola PS PLP yang baru dibentuk, maka pertimbangan yang digunakan dalam merumuskan struktur organisasi terutama adalah rancangan cakupan kewenangan, dan tugas-fungsi lembaga pengelola (sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Daerah yang ada yang mengatur tentang Organisasi dan Tatakerja Perangkat Daerah). Semakin besar kewenangan dan semakin berat tugas-fungsinya maka struktur yang hendak disusun sebaiknya juga semakin lengkap/terperinci. Selain itu perlu diperhatikan juga ragam koordinasi dengan pihak terkait lainnya. Misalnya, apabila dibutuhkan koordinasi dengan pihak mitra kerja (swasta), maka di dalam struktur harus jelas penanggung jawab proses koordinasi tersebut. Contoh lain: bila pilihan bentuk lembaga adalah UPTD yang menerapkan PPK-BLUD, harus ada di dalam strukturnya kejelasan siapa yang akan melakukan koordinasi dan konsolidasi perencanaan dan penganggaran dengan SKPD yang memayunginya, mengingat kedua proses tersebut masih terintegrasi dengan SKPD induk. Setiap posisi yang disebutkan di dalam struktur perlu mendapatkan kejelasan tugas dan fungsi dari jabatannya. Untuk bentuk lembaga pengelola yang merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah (seperti SKPD, UPTD/BLUD), tugas dan fungsi dari penjabat ini kemudian dirumuskan ke dalam Peraturan Kepala Daerah. Ragam tugas organisasi PLP yang disebutkan di dalam tabel Tabel 2.4. Kompilasi tugas organisasi daerah bidang PLP (subbab sebelumnya), dapat dialokasikan/didistribusikan sebagian kepada posisi jabatan yang ada di dalam struktur organisasi pengelola PS PLP tertentu.
100
2.2.3 Penentuan Kebutuhan Pengembangan Organisasi PLP Tahapan penentuan kebutuhan pengembangan organisasi digambarkan melalui bagan alir berikut ini. Mulai
Identifikasi Bentuk Lembaga Pengelola yang Ada
Kajian Kesesuaian Bentuk Lembaga
Ada Lembaga Pengelola
Perlu diubah? Y
Belum Ada Lembaga Pengelola
Kajian Bentuk Lembaga yang sesuai
Pengurusan Aspek Legal Lembaga
Usulan Struktur
Usulan Bentuk Lembaga
Y T Selesai
Perlu diubah?
Kajian Kecukupan Struktur
T
Kriteria: Kompleksitas masalah PSD yang menjadi tanggung jawab Potensi dan kapasitas pendanaan
Opsi Bentuk: Struktur dalam SKPD UPTD PPK-BLUD BUMD
Gambar 2.15. Alur penataan kelembagaan
Hasil identifikasi awal memastikan apakah perlu dibentuk lembaga baru, atau sebaiknya memanfaatkan struktur yang sudah ada. Kajian perumusan bentuk lembaga baru maupun penataan bentuk lembaga pengelola yang sudah ada mengikuti kriteria dan penjelasan pada subsubbab 2.2.1 sebelum ini. Identifikasi selanjutnya adalah pada aspek struktur organisasinya, apabila diperlukan, maka perumusan/penataan terkait struktur dilakukan sesuai prinsip yang telah dijelaskan pada subsubbab 2.2.2. 2.3 Penataan Sumber Daya Manusia (SDM) Organisasi Pengelola Penataan sistem dan penataan bentuk-struktur lembaga belum cukup untuk bisa memastikan lembaga pengelola PS PLP bisa menjalankan tugas-fungsinya dengan baik. Penataan ketiga, yaitu penataan SDM sesungguhnya tidak kalah pentingnya dibanding penataan terdahulu. Manajemen SDM (MSDM) adalah serangkaian keputusan untuk mengelola hubungan ketenagakerjaan (calon pegawai, pegawai & pensiunan) secara optimal mulai dari perekrutan, seleksi, penempatan, pemeliharaan (kompensasi & kesejahteraan) dan pengembangan, (karir,
101
pendidikan & pelatihan) serta pemberhentian, untuk mencapai tujuan organisasi (memelihara 4 dan meningkatkan performansi) . Dalam mencapai tujuannya tentu suatu organisasi memerlukan sumber daya manusia sebagai pengelola sistem, agar sistem ini berjalan, serta dalam pengelolaanya harus memperhatikan beberapa aspek penting seperti pelatihan, pengembangan, motivasi dan aspek-aspek lainya. Hal ini akan menjadikan manajemen sumber daya manusia sebagai salah satu indikator penting pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Sumber daya manusia merupakan asset organisasi yang sangat vital, karena itu peran dan fungsinya tidak bisa digantikan oleh sumber daya lainnya. Betapapun modern teknologi yang digunakan, atau seberapa banyak dana yang disiapkan, namun tanpa sumber daya manusia yang profesional semuanya menjadi tidak bermakna. Eksistensi sumber daya manusia dalam kondisi lingkungan yang terus berubah tidak dapat dipungkiri, oleh karena itu dituntut kemampuan beradaptasi yang tinggi agar mereka tidak tergilas oleh perubahan itu sendiri. Sumber daya manusia dalam organisasi harus senantiasa berorientasi terhadap visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi tempatnya berada. Untuk mencapai visi, misi, dan tujuan tersebut SDM pengelola harus mempunyai nilai kompetensi. Kompetensi adalah karakteristik dasar manusia yang dari pengalaman nyata (nampak dari perilaku) ditemukan mempengaruhi, atau dapat dipergunakan untuk memperkirakan (tingkat) performansi di tempat kerja atau kemampuan mengatasi persoalan pada suatu situasi tertentu (Spencer, 1993, hlm.9).
Karya Perilaku Tampak
P
Pengetahuan S
Keterampilan
K
Sikap M
Karakter Tersembunyi
B
K
Motivasi
P N
Bakat Nilai Lingkungan
Sumber: Paparan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Joko Siswanto Gambar 2.16. Model gunung es dan lingkaran terpusat kompetensi
4
Sumber: Paparan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Joko Siswanto
102
2.3.1 Aspek-Aspek Pengembangan SDM Aspek-aspek dalam pengembangan sumber daya manusia melingkupi beberapa hal yang cukup luas dalam organisasi. Pengembangan sumber daya manusia (human resources development ) merupakan serangkaian aktivitas yang sistematis dan terencana yang dirancang oleh organisasi untuk memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mempelajari keahlian yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan kerja saat ini dan yang akan datang. Pengembangan sumber daya manusia tersebut setidak-tidaknya meliputi kepemimpinan transformasional, manajemen perubahan, motivasi, manajemen waktu, manajemen stres, program pendampingan karyawan, pembentukan tim, pengembangan organisasi, pengembangan karir, serta pelatihan dan pengembangan. Aspek-aspek tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja tempat kerja. Dari sekian banyak aspek pengembangan sumber daya manusia dan melihat perkembangannya, pengetahuan, sikap dan perilaku, dan kemampuan merupakan satu aspek yang menempati posisi yang penting.
Pengetahuan merupakan kemampuan serta kesanggupan seseorang untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan atau pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Pengetahuan merupakan bentuk kesanggupan dan kemampuan seseorang yang dituangkan dalam perilaku dan sifat dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu sifat, karakter, dan ciri seseorang yang diperlihatkan melalui kesanggupannya dalam melaksanakan suatu tugas maupun kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, aparatur dituntut untuk mampu mewujudkan suatu hasil kerja yang optimal dan mampu membawa dampak positif bagi kemajuan organisasinya. Untuk mampu mewujudkan tujuan organisasi pemerintahan tersebut, aparatur harus memiliki pengetahuan yang baik, mengedepankan profesionalisme, memiliki dedikasi, serta disiplin yang tinggi sehingga benar benar menyadari pentingnya tugas pokok bagi berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih, jujur, transparan, serta penuh tanggung jawab. Sikap dan perilaku dalam mewujudkan kompetensi aparatur melalui sikap dan perilaku, terdapat 5 (lima) faktor penting yang harus diperhatikan serta dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu: a) Reliability; keandalan adalah merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain dengan tegas, akurat, dan bebas dari kesalahan, b) Assurance; jaminan berkaitan dengan pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan dari aparatur untuk membangkitkan kepercayaan dan keyakinan dari pihak-pihak yang dilayani, c) Tangibles; bukti langsung berkaitan dengan fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan karyawan dan pemberi jasa,
103
d) Empathy; empati meliputi perhatian dan kemudahan dalam melakukan hubungan dengan pihak yang dilayani, memahami kebutuhan para pelanggan dan adanya kepeduli-an terhadap pelanggan, dan e) Responsiveness; daya tanggap berkaitan dengan tanggung jawab dan keinginan aparatur untuk membantu pihak yang dilayani (masyarakat dan klien) apabila menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan atau tugas pokoknya. Sikap merupakan suatu cara mereaksi terhadap rangsangan dari luar yang timbul dari seseorang atau dari lingkungan. Indrawijaya (1996) menegaskan; perilaku atau attitude adalah sebagai suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari seorang atau dari suatu situasi. Perilaku berkaitan dengan interaksi seseorang dengan orang lain, atau interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu yang lainnya dalam suatu lingkungan yang dinampakkan melalui perbuatan. Dalam aspek skill pengembangan sumber daya manusia setidaknya ada 2 aspek yang perlu dikembangkan yakni: hard skills (keterampilan teknis dan analitis), soft skills (keterampilan berinteraksi sosial). Kreativitas juga akan mendorong rasa ingin tahu dan ingin bersaing, sehingga mereka telah terbiasa dengan persaingan. Hard skills berkaitan dengan kemampuan atau kompetensi inti dari suatu bidang ilmu. Kemampuan ini banyak diperoleh dari proses pekerjaan. Kemampuan berupa hard skills lebih mudah dilakukan pengukurannya, karena memang kemampuan ini sering dijadikan dasar penentuan promosi, mutasi dan demosi pada suatu organisasi. Contoh dari hard skill ini misalnya electrical engineering , accounting skills, marketing research. Soft skills merupakan keterampilan sosiologis yang merujuk pada sekumpulan karakteristik kepribadian, daya tarik sosial, kemampuan berbahasa, kebiasaan pribadi, kepekaan/kepedulian, serta optimisme. Soft skills ini melengkapi hard skills, yang bisa dikatakan juga sebagai persyaratan teknis dari suatu pekerjaan. Soft skills tersebut mencakup (a) kualitas pribadi, seperti tanggung jawab, kepercayaan diri, kemampuan bersosialisasi, manajemen (pengendalian) diri, dan integritas atau kejujuran; dan (b) ketrampilan interpersonal, seperti berpartisipasi sebagai anggota kelompok, mengajar (berbagi pengetahuan) ke orang lain, melayani pelanggan, kepemimpinan, kemampuan negosiasi, dan bisa bekerja dalam keragaman. 2.3.2 Strategi Pendekatan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Perencanaan sumber daya manusia dilakukan untuk menjamin bahwa orang yang tepat dengan keterampilan tepat tersedia pada waktu yang tepat pula untuk memfasilitasi implementasi strategi organisasi. Problem yang biasanya muncul adalah jumlah orang yang tepat namun dengan keterampilan yang kurang layak, atau keterampilan cukup namun jumlah orangnya kurang, bahkan jumlah orang yang tepat dengan keterampilan cukup namun waktunya salah.
104
Prinsip dasar perencanaan SDM yang strategis adalah pengintegrasiannya ke dalam perencanaan strategis organisasi. Berikut ini adalah model Perencanaan Sumber Daya Manusia. Pengintegrasian perencanaan SDM ke dalam perencanaan strategis seringkali terlupakan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan: a. Menelaah tujuan organisasi. Dalam hal apa fungsi SDM berkontribusi terhadap tujuan dan apakah SDM disebutkan dalam tujuan tersebut. b. Memasukkan SDM ke dalam proses perencanaan strategis. Membuat guideline rekrutmen, diklat, pengukuran kinerja, sistem hukuman dan hadiah, penggajian dan fungsi sumber daya manusia lainnya. c. Membangun hubungan komunikasi antara perencana strategis dan pelaku MSDM. Penjelasan atas langkah-langkah yang terdapat pada gambar di samping adalah sebagai berikut: Perencanaan SDM digunakan untuk memprediksi kebutuhan SDM berdasarkan tantangan internal dan eksternal yang mempengaruhi produktivitas organisasi dalam menyediakan layanan. Analisis penyediaan sumber daya manusia adalah untuk menganalisis ketersediaan tenaga kerja dalam organisasi. Analisis ini bisa dilakukan dengan cara: Gambar 2.17. Model perencanaan SDM
Succession Charts yang bisa memperlihatkan kesiapan pegawai untuk dipromosikan; Skill Inventories untuk mendaftar semua informasi tentang pegawai termasuk latar belakang pendidikan, diklat, kemampuan bahasa asing, pengalaman kerja, publikasi, hobi, rencana karier.
Menganalisis tren lingkungan termasuk kebijakan dan regulasi yang akan muncul mengenai pemerintah daerah yang menciptakan dampak besar terhadap MSDM misalnya restrukturisasi organisasi yang akan memotong beberapa posisi struktural dan menambah posisi fungsional. Tren yang lain meliputi bencana yang membutuhkan atensi khusus. Pada dasarnya aspek-aspek 105
yang mempengaruhi supply dan demand pegawai meliputi informasi dan teknologi, kebijakan baru dan peraturan pemerintah pusat, bencana dll. Membandingkan demand dan supply SDM adalah menentukan seberapa baik tenaga kerja yang ada dibanding dengan kebutuhan SDM di masa datang. Beberapa pemikiran mengenai aksi yang akan diambil bisa dipersiapkan. Melakukan penyelarasan kebutuhan dan persediaan SDM yang ada. Kegiatannya berpusat pada komponen-komponen MSDM seperti: Perubahan desain pekerjaan dan kelompok kerja akan mengubah supply dan demand SDM dengan melakukan realokasi tugas kerja Perubahan seleksi akan mengubah landasan dan acuan promosi, demosi dan penempatan Perubahan dalam kompensasi dan benefit Perubahan dalam program dan tujuan diklat Program pengembangan organisasi Mengevaluasi rencana dan hasil SDM untuk menemukan seberapa besar keberhasilan rencana itu diimplementasikan dan diintegrasikan ke dalam rencana strategis. 2.3.3 Pendekatan Pembelajaran Partisipatif Pengembangan kapasitas individu terkait dengan pengembangan kapasitas teknis, administrasi, maupun manajerial dari para aparatur daerah. Kegiatan diklat yang dilakukan untuk para pejabat eselon serta staf di organisasi pemerintah daerah menggunakan pendekatan participatory learning and action yang mengaplikasikan pelatihan untuk orang dewasa (andragogi) yang menitikberatkan pada permasalahan atau gap yang dihadapi ( problem or gap centred orientation). Prinsip-prinsip yang mendasar dari pendekatan ini adalah bahwa: a. Peserta diklat telah memiliki banyak pengalaman baik berasal dari dunia kerja maupun pendidikan formal dan non formal sebelumnya. Oleh karena itu, diklat akan lebih mudah dan kondusif didasarkan kepada apa yang telah mereka miliki. b. Peserta dapat belajar dengan baik jika mereka terlibat langsung secara partisipatif dalam seluruh kegiatan melalui latihan, pengalaman lapangan, refleksi atas pengalaman di lapangan, inisiatif peserta mengenai cara dan isi pelatihan. c. Tipe-tipe peserta bervariasi dari yang pembelajar aktif yang menikmati diskusi dan problem solving sedangkan yang lain lebih cenderung suka melakukan perenungan.
Pendekatan-pendekatan Participatory Training menggunakan: a. Metode kuliah yang menarik dengan meminta peserta untuk bertanya atau mempresentasikan sesuatu b. Menstimulasi diskusi di dalam kelas dengan berbagai metode group dynamic dan group 106
facilitation c. Mensimulasi pembelajaran kehidupan nyata melalui latihan maupun studi lapangan d. Memberikan kesempatan pada peserta untuk mempelajari keterampilan baru dengan mendesain sesi pelatihan dan membantu mereka melalui on the job training baik melalui mentoring/tutoring. Sedangkan peran dan fungsi fasilitator mempersiapkan secara lebih jauh perangkat dan prosedur yang tepat dan sesuai untuk melibatkan peserta pelatihan menggunakan pendekatan partisipatif dalam suatu proses pembelajaran yang melibatkan elemen-elemen: 1. Menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang mendukung untuk proses belajar 2. Menciptakan dan mengembangkan kesempatan dan mekanisme untuk menyusun perencanaan partisipatif dalam proses pembelajaran 3. Mengidentifikasi dan mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar 4. Merumuskan tujuan-tujuan program pelatihan yang memenuhi kebutuhan belajar 5. Merencanakan pola pengalaman belajar 6. Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dengan teknik-teknik dan materi yang memadai. Dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui siklus belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning cycle) 7. Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. 3 PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN PS PLP Pelaksanaan otonomi daerah disertai pula oleh adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diatur melalui UU Nomor 33 tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. 3.1 Aspek fiskal Peningkatan transfer dari pemerintah pusat ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan peranan pengelolaan fiskal pemerintah pusat secara umum berkurang. Sebaliknya pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah melalui APBD akan dan telah meningkat. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga dibarengi dengan kenyataan bahwa daerah akan mempunyai fleksibilitas yang tinggi, atau bahkan kebebasan penuh dalam menentukan pemanfaatan sumber-sumber utama pembiayaannya. Perubahan peta pengelolaan fiskal dari pusat ke daerah ini sering disebut sebagai desentralisasi fiskal. Dilihat dari sisi pemerintah daerah, terdapat beberapa isu utama desentralisasi fiskal, diantaranya: o Kebutuhan Fiskal ( fiscal need ), dan o Kapasitas Fiskal ( fiscal capacity)
107
Keduanya berkaitan dengan upaya mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dan isu persaingan ekonomi daerah pada era otonomi yang diperkirakan akan menjadi marak. Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal ini biasa dibahas dalam penghitungan jumlah transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (intergovernmental grant transfer ). Disini selisih dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal atau fi scal gap menjadi patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Dalam konteks otonomi daerah, transfer tersebut disebut Dana Alokasi Umum (DAU). Selain menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan, pemerintah pusat juga dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi, dan atau menugaskan sebagian urusan pemerintahan kepada 5 pemerintahan daerah dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan . Urusan pemerintahan yang penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan daerah berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan menjadi urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria yang dipersyaratkan. Penyusunan program dan kegiatan harus memperhatikan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah dengan dukungan anggaran yang memadai. Pelimpahan kewenangan dan sebagian urusan tugas pemerintahan dilaksanakan melalui alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dengan persyaratan sebagai berikut: 1. Eksternal Harus membawa dampak pada pembangunan (dalam hal ini bidang PLP) yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan kepemerintahan tersebut. 2. Akuntabilitas Tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul menjadi paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. 3. Efisiensi Agar penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai s kala ekonomi. Karakteristik kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan: a. Dekonsentrasi Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan untuk kegiatan non-fisik, yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran (indikator output) yang tidak menambah aset tetap melainkan merupakan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis, pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survei, pembinaan dan pengawasan, serta pengendalian. 5
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 t entang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
108
Untuk mendukung kegiatan ini maka sebagian kecil dana dekonsentrasi dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administrasi dan/atau pengadaan input berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap. Penentuan besarnya dana penunjang harus memperhatikan azas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisien serta disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kegiatan pengelolaan PS PLP. b. Tugas Pembantuan Pelaksanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik yaitu kegiatan yang menghasilkan keluaran (indikator output) berupa aset tetap seperti pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan mesin, jalan, irigasi, dan kegiatan fisik lainnya.seperti pengadaan barang habis pakai seperti pengadaan bibit, pupuk, bantuan sosial yang diserahkan kepada masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung kegiatan ini maka sebagian kecil dana tugas pembantuan dapat dialokasikan sebagai dana penunjang untuk pelaksanaan tugas administrasi dan/atau pengadaan input berupa barang habis pakai dan/atau aset tetap. Penentuan besarnya dana penunjang harus memperhatikan azas kepatutan, kewajaran, ekonomis, dan efisien serta disesuaikan dengan karakteristik kegiatan masing-masing. Program dan kegiatan yang akan disusun dalam rangka Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan wajib mengacu pada RKP dan dituangkan dalam Renja Kementerian. Untuk bidang Pekerjaan Umum, Menteri bertugas: Menjabarkan urusan Pemerintah dalam bentuk rincian program dan kegiatan, dengan memperhatikan skala prioritas, alokasi anggaran, dan lokasi kegiatan; Memberitahukan indikasi program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan atau ditugaskan untuk tahun anggaran berikutnya kepada gubernur/bupati/walikota selaku wakil Pemerintah atau kepala daerah, paling lambat pertengahan bulan Juni dan atau setelah ditetapkannya pagu sementara; Menetapkan Peraturan Menteri tentang progam dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan atau ditugaskan sebagai dasar pelimpahan bagi gubernur/bupati/walikota selaku wakil Pemerintah atau kepala daerah; dan Menyampaikan Peraturan Menteri tersebut kepada daerah penerima Dana Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemberitahuan indikasi program dilakukan melalui penyampaian dokumen resmi, sementara penyampaian Peraturan Menteri yang dimaksud di atas dilakukan setelah terbitnya Peraturan Presiden tentang Rencana Anggaran Belanja Pemerintah Pusat paling lambat minggu pertama bulan Desember.
109
Skema Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP No.7/2008 dan Permen Keu No.156/PMK.07/2008) MENTERI PEKERJAAN UMUM
Dekonsentrasi: Pelimpahan sebagian kewenangan Kriteria: Eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, keserasian hubungan Pendanaan untuk kegiatan non-fisik
Norma, standar, prosedur, kriteria Peraturan Menteri ttg Pelimpahan/Penugasan
GUBERNUR
SKPD
Tugas Pembantuan: Penugasan sebagian kewenangan Kriteria: Eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, keserasian hubungan Pendanaan untuk kegiatan fisik
SKPD
BUPATI/WALIKOTA
SKPD
Gambar 3.1. Skema dekonsentrasi dan tugas pembantuan
Perencanaan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional; dengan memperhatikan aspek kewenangan, efisiensi, efektivitas, kemampuan keuangan negara, dan sinkronisasi antara rencana kegiatan dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan dengan rencana kegiatan daerah. 3.2 Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pelaksanaan desentralisasi pada dasarnya adalah pengalihan sebagian urusan-urusan pemerintahan yang dapat ditangani oleh pemerintah daerah. Namun tidak semua urusan-urusan tersebut dapat dialihkan (ditransfer), tetapi ada yang cukup didelegasikan atau yang harus tetap ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah mengaturnya pembagian kewenangan pemerintah. Pasal 13 menjelaskan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah provinsi, dan Pasal 14 menjelaskan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah kota/kabupaten.
Untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi tersebut dengan baik, maka pengelolaan keuangan pemda perlu menerapkan prinsip anggaran berbasis kinerja, dengan menerapkan standar akuntansi yang baik, serta audit secara periodik dan transparan. Gambaran umum langkah-langkah pengelolaan keuangan pemda bisa dilihat sebagai berikut, yang secara umum harus diterapkan juga oleh lembaga pengelola PS PLP.
110
Gambar 3.2. Komponen pengelolaan keuangan pemda
Ketentuan lebih spesifik mengenai pengelolaan keuangan diatur melalui Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan-peraturan turunannya. Sedangkan pengelolaan aset diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan peraturan-peraturan turunannya. Untuk PS PLP yang investasi pembangunannya dibantu oleh pemerintah pusat melalui APBN, pemerintah daerah diharapkan untuk mengelola dan membiayai proses pengoperasian dan pemeliharaannya. PS PLP yang dananya berasal dari APBN ini untuk selanjutnya perlu dipindahtangankan kepada daerah. Salah satu mekanismenya adalah melalui proses hibah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Aset Negara. Yang dimaksud dengan hibah disini adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. Dalam kaitan dengan hibah PS PLP yang dibangun menggunakan dana APBN, maka Menteri Keuangan selaku pengelola barang milik negara memiliki kewenangan: Pasal 4(2)e: memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Menteri Keuangan;
111
Pasal 4(2)f: memberikan pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPR sepanjang dalam batas kewenangan Presiden; Termasuk dalam kriteria “tidak memerlukan persetujuan DPR” adalah bila aset berupa tanah/bangunan diperuntukkan bagi kepentingan umum (Pasal 4 6). Ketentuan mengenai hibah dijelaskan lebih lanjut pada pasal 58 hingga 61. Barang yang dihibahkan bisa berupa: Tanah/bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang; dalam hal ini hibah dilakukan oleh pengelola barang milik negara, yaitu Menteri Keuangan. Ketentuan pelaksanaannya: a. pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; b. pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya; c. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Tanah/bangunan yang dari awal pengadaannya telah direncanakan untuk dihibahkan, sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran; hibah dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang milik negara. Ketentuan pelaksanaannya: a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Dengan adanya proses pemindahtanganan PS PLP yang dibangun, berarti kewajiban pengelolaan PS PLP tersebut sudah sepenuhnya menjadi urusan daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip dan semangat otonomi daerah, yang mendorong efektivitas dan efisiensi layanan melalui pendelegasian kewenangan kepada tingkatan pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat. Sebelum proses pemindahtanganan selesai, daerah tetap dapat melakukan pengelolaan PS PLP, sebab di dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara juga dijelaskan mengenai pemanfaatan barang milik negara, antara lain melalui mekanisme pinjam pakai (penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola barang), atau kerjasama pemanfaatan (pendayagunaan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka 112
peningkatan penerimaan negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya). Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurangkurangnya memuat: 1. pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; 2. jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu; 3. tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman; 4. persyaratan lain yang dianggap perlu. 3.3 Komponen Pendanaan dan Pembiayaan Lembaga Pengelola PS PLP Tergantung bentuk lembaganya, Pengelola PS PLP dapat memanfaatkan dana dari sumbersumber berikut:
Gambar 3.3. Komponen pendapatan lembaga pengelola Adapun klasifikasi pengeluarannya mencakup: 1. Biaya Operasional a. Biaya Pelayanan i. Biaya pegawai ii. Biaya bahan iii. Biaya jasa pelayanan iv. Biaya pemeliharaan v. Biaya barang dan jasa vi. Biaya pelayanan lain-lain b. Biaya Umum Administrasi i. Biaya pegawai ii. Biaya administrasi kantor iii. Biaya pemeliharaan iv. Biaya barang dan jasa
113
v. Biaya promosi vi. Biaya umum dan administrasi lain-lain 2. Biaya Non-Operasional a. Biaya bunga b. Biaya administrasi bank c. Biaya kerugian penjualan aset tetap d. Biaya kerugian penurunan nilai e. Biaya non-operasional lain-lain. 4 PERAN MASYARAKAT DI BIDANG PLP 4.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Prasarana dan Sarana PLP Mengingat keterbatasan yang dimiliki pemerintah (dana, SDM, waktu), proses perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, hingga pengendalian di Bidang PLP sudah semestinya dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebesar mungkin. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan ini akan menjadi ungkitan (leverage) yang dapat memperbesar kapasitas pengelolaan prasarana dan sarana Bidang PLP. Jika, katakanlah pemerintah semula hanya mampu melaksanakan layanan 50% dari kebutuhan, maka tergantung dari besarnya keterlibatan masyarakat, besaran layanan akan dapat ditingkatkan menjadi lebih baik.
Dengan memahami paradigma baru semacam di atas, maka sudah sepatutnya pemerintah membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat di dalam proses pengelolaan dan secara berkesinambungan berupaya menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mengelola prasarana dan sarana yang ada. Beberapa alasan perlunya penerapan partisipasi masyarakat dalam perencanaan hingga pengoperasian dan pemeliharaan yaitu: 1. Mengkondisikan masyarakat tetap memperoleh informasi sebaik-baiknya agar masyarakat turut mendukung bidang PLP mulai perencanaan sampai dengan pengoperasian dan pemeliharaan. 2. Memperoleh informasi (dari masukan masyarakat) untuk memperbaiki pengambilan keputusan. 3. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan kepentingan mereka. 4. Memperoleh jaminan dukungan dari masyarakat. Pembangunan prasarana dan sarana melalui pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa komponen yaitu:
114
Penyediaan prasarana dan sarana yaitu pembangunan PS PLP yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat serta prasarana lainnya yang diperlukan untuk menunjang kegiatan ekonomi lokal. Peningkatan kemampuan kelembagaan dan organisasi masyarakat ( institutional development ) dalam proses pengelolaan yang mencakup: o Pemberdayaan forum musyawarah desa dan forum kerjasama antar desa, maupun forum-forum lain (termasuk forum keagamaan) yang ada sebagai media penyampaian aspirasi, diseminasi program, pengambilan keputusan, pemantauan/pengendalian lingkungan, dll. o Pemberdayaan kelompok masyarakat dalam penyusunan rencana pengembangan strategis, rencana bisnis, hingga rencana teknis. Dan apabila perlu juga mempertimbangkan pengembangan kerjasama kawasan. o Pemberdayaan kelembagaan dan organisasi masyarakat untuk membangun dan mengelola prasarana dan sarana, termasuk mengakses sumber-sumber pendanaan yang dimungkinkan.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat dilakukan selain untuk mengelola prasarana dan sarana yang terbangun juga dalam kerangka pembiayaan pengelolaan secara mandiri. Kemandirian ini membutuhkan pengembangan ekonomi lokal, yang dapat memanfaatkan proses pengelolaan prasarana dan sarana yang ada. Contohnya antara lain adalah pengembangan program 3R di subbidang persampahan, pemanfaatan kolam retensi untuk pariwisata pada subbidang drainase, dan jasa layanan transportasi/pengolahan lumpur tinja untuk subbidang air limbah. Pemberdayaan yang memperhatikan aspek ekonomi pada gilirannya akan memungkinkan terlaksananya pengelolaan prasarana dan sarana secara berkelanjutan di tingkat masyarakat. 4.2 Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) dalam Pengembangan Prasarana dan Sarana Berdasarkan dokumen MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025) dijelaskan bahwa Indonesia membutuhkan percepatan transformasi ekonomi agar kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini. Untuk itu dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) yang didasari oleh semangat “ Not Business As Usual ”.
115
Gambar 4.1. Ilustrasi percepatan transformasi ekonomi indonesia Sumber: Lampiran Peraturan Presiden No.32 Tahun 2011 (MP3EI)
Semangat Not Business As Usual juga harus terefleksi dalam penyediaan prasarana dan sarana Bidang PLP. Pola pikir lama adalah prasarana dan sarana harus dibangun menggunakan anggaran Pemerintah. Akibat anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan prasarana dan sarana yang memadai bagi masyarakat dan perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maj u dalam penyediaan prasarana dan sarana melalui model Kemitraan Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPP). Setiap kegiatan ekonomi, niscaya membutuhkan seperangkat prasarana dan sarana tertentu sebagai pendukungnya. Termasuk di dalamnya adalah prasarana dan sarana ke-PLP-an, seperti pengelolaan limbah padat, limbah cair, dan drainase. Pengembangan prasarana dan sarana berbasis KPS akan melibatkan berbagai pihak. Berikut ini secara umum disampaikan pihak pihak utama dan hubungan diantara mereka. Pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut:
116
Gambar 4.2. Para pihak dalam kemitraan pemerintah-swasta Sumber: Dokumen Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tentang KPS
4.2.1 Beberapa Peraturan Terkait KPS Interaksi antara berbagai pihak diatur oleh perangkat undang-undang dan beberapa peraturan: peraturan KPS, peraturan khusus sektoral, dan peraturan umum lainnya yang mengatur tentang berbagai kegiatan usaha di Indonesia.
Terdapat lima dasar peraturan terkait kerjasama pemerintah-swasta, yaitu: Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 atas Perubahan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur
117
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infrastruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang Penjaminan Infrastruktur Tabel 4.1. Peraturan terkait KPS
Topik Ketentuan Umum KPS
118
Peraturan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 atas Perubahan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Butir-butir penting Peraturan ini mengatur KPS untuk proyek-proyek infrastruktur tertentu. Dalam hal ini termasuk mengenai, bandara, pelabuhan, jalur kereta api, jalan, penyediaan air bersih /sistem pengairan, air minum, air limbah, limbah padat, informasi dan komunikasi teknologi, ketenagalistrikan, dan minyak & gas. Proyek-proyek ini dapat dilaksanakan baik berdasarkan yang dimohonkan ataupun tidak dimohonkan namun pada umumnya penyeleksian terhadap suatu Badan usaha harus dilakukan melalui proses tender terbuka. Proyek yang “Solicited” diidentifikasi dan disiapkan oleh Pemerintah, sedangkan untuk proyek yang “Unsolicited” diidentifikasi dan diajukan kepada Pemerintah oleh suatu Badan Usaha. Lembaga Kontraktor Pemerintah dapat diadakan baik di tingkat regional ataupun nasional. Proyek KPS dapat dilaksanakan berdasarkan perijinan Peme - rintah ataupun melalui Perjanjian Kerjasama (PK). Pemerintah dapat memberikan dukungan perpajakan dan / atau non-pajak untuk meningkatkan kelayakan suatu proyek infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur untuk dapat mengalokasikan risiko yang mampu dikelola secara maksimal oleh pihak pelaksana.
Topik Prosedur untuk Penyediaan Dukungan Pemerintah
Peraturan Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006 tentang Metodologi Evaluasi Proyek Infrastruktur KPS yang Memerlukan Dukungan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang Penjaminan Infrastruktur
Butir-butir penting Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun 2006 menjabarkan kondisi-kondisi dan proses untuk mengusahakan adanya dukungan pemerintah, antara lain penjaminan-penjaminan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini, pemerintah dapat memberikan jaminan terhadap tiga jenis risiko, yaitu: Risiko Politik, Risiko Kinerja Proyek, dan Risiko Permintaan. Risiko Kinerja Proyek termasuk risiko-risiko yang terjadi akibat keterlambatan dalam proses pembebasan lahan, peningkatan biaya perolehan tanah, perubahan dalam spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau adanya penurunan kontrak penyesuaian atas tarif, keterlambatan memperoleh ijin untuk memulai kegiatan. Risiko Permintaan mengacu terhadap pendapatan riil yang berada di bawah pendapatan minimum yang dijamin karena adanya permintaan yang lebih rendah dari kontrak. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi No. 4 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa suatu permintaan atas dukungan kontingen setidaknya harus dimuat pada bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas diatur dari pada pengaturan awal studi kelayakan sebagaimana dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No.38 tahun 2006. Kedua peraturan tersebut menentukan bahwa dokumen lain harus diajukan untuk meminta dukungan, termasuk format kerjasama, rencana a nggaran, hasil dari konsultasi publik dan lainnya. Pemerintah telah mendirikan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII) untuk mengelola jaminan-jaminan tersebut. Dengan upaya ini maka diharapkan dapat mengurangi pengeluaran biaya pembangunan proyek infrastruktur KPS dengan meningkatkan kualitas proyek KPS dan kredibilitas, serta membantu Pemerintah untuk mengelola risiko pajak dengan lebih baik dengan adanya penjaminan ini. PT. PII akan membuat kerangka kerja yang komprehensif dan konsisten untuk dapat menilai suatu proyek dan membuat keputusan sehubungan dengan pemberian jaminan dari pemerintah untuk proyek-proyek KPS.
Di dalam Peraturan Presiden No.67 Tahun 2005, pasal 4(1)e, disebutkan jenis infrastruktur air limbah dan persampahan yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha, yaitu:
119
“infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;” Setiap sektor infrastruktur diatur oleh undang-undang tersendiri dan peraturan-peraturan pelaksananya. Selain itu, terdapat juga peraturan menteri yang tidak tercantum disini yang memberikan petunjuk tentang pelaksanaan undang-undang pokok dan peraturan pemerintah tersebut. 4.2.2 Tahapan Kemitraan Pengembangan Infrastruktur Secara umum, inisiatif pengembangan infrastruktur dalam skema KPS bisa dimulai dari pihak pemerintah (solicited) maupun pihak swasta (unsolicited). Untuk proyek yang berdasarkan inisiatif pemerintah, harus melalui sembilan tahapan berikut ini:
Gambar 4.3. Tahapan kerjasama pemerintah-swasta Sumber: Dokumen Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tentang KPS
Penjelasan tahapan: 1. Pemilihan Proyek (atau identifikasi). Pemerintah (dalam hal ini instansi terkait), mengindentifikasi dan membuat prioritas proyek-proyek infrastruktur yang berpotensi KPS. 2. Konsultasi Publik. Pemerintah berupaya mendapatkan saran dari publik pada umumnya dan calon pengembang dan pemberi pinjaman untuk membantu pembentukan rancangan proyek. 3. Studi Kelayakan adalah rancangan teknis, komersial dan kontraktual proyek yang memadai untuk memfasilitasi tender proyek kepada mitra-mitra pihak swasta. Studi Kelayakan harus diselesaikan sebelum proyek ditenderkan. 4. Tinjauan Risiko adalah pengidentifikasian berbagai risiko dalam proyek dan hal-hal yang dapat mengurangi risiko tersebut, dan usulan pengalihan risiko tersebut oleh berbagai pihak dalam Perjanjian Kerjasama. Pada umumnya, tinjauan risiko ini dilakukan dan merupakan bagian dari Studi Kelayakan.
120
5. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS distrukturkan untuk mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan tidak mengurangi minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja Sama ini dikaji dalam Studi Kelayakan. 6. Dukungan Pemerintah merupakan penentuan atas bentuk-bentuk kontribusi pemerintah terhadap suatu proyek, dalam suatu mekanisme, misalnya insentif pajak, pembebasan tanah, dukungan/jaminan bersyarat, pembiayaan langsung dan lain-lain. Pada umumnya, kajian Dukungan Pemerintah dilakukan untuk mengetahui potensi kelayakan suatu proyek secara perbankan. 7. Pengadaan merupakan pengembangan dari paket tender, dan proses tender secara keseluruhan yang dimulai sebelum proses kualifikasi sampai dengan penandatanganan kontrak. 8. Pelaksanaan termasuk pendirian Perusahan Proyek oleh Sponsor Proyek, pembiayaan, kegiatan konstruksi, pelaksanaan awal dan pengoperasian proyek oleh Badan usaha. 9. Pemantauan adalah pemantauan terhadap kinerja Badan Usaha oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama. Pihak swasta boleh menginisiasi pengembangan infrastruktur, dengan beberapa syarat berikut ini: o Belum termasuk/terdaftar dalam rencana pokok (master plan) di sektor terkait; o Dapat secara teknis terintegrasi dengan rencana pokok dari sektor t erkait; o Secara ekonomi dan finansial dinilai layak; dan o Tidak memerlukan Dukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiskal, misalnya tidak perlu bantuan secara langsung. Sementara tahapannya juga mirip dengan gambar di atas, kecuali bahwa langkah 1 – 6 dilakukan sendiri oleh pihak swasta yang memprakarsai proyek tersebut (pemrakarsa). 4.2.3 Pemanfaatan Program Corporate Social Responsi bil ity Saat ini semakin banyak perusahaan yang memahami pentingnya memenuhi tanggung jawab sosialnya kepada lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi usahanya. Tanggung jawab tersebut dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Program CSR tidak selalu berwujud kegiatan amal (charity), melainkan juga dapat berupa program-program pemberdayaan masyarakat termasuk dalam hal pengelolaan limbah. Program semacam itu sesungguhnya memiliki kesamaan/kemiripan dengan program pemerintah. Kondisi ini dapat dimanfaatkan pemerintah (pusat dan daerah) untuk bersinergi dengan perusahaan-perusahaan yang hendak melaksanakan program CSR. Antara lain melalui: 1. Pemberian informasi mengenai rencana pembangunan. Dalam konteks keciptakaryaan, rencana ini terintegrasi dalam dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah
121
2.
3.
4.
5.
(RPIJM). Pemahaman pihak perusahaan terhadap program akan memungkinkan perencanaan CSR mereka bisa saling mengisi dengan program pemerintah. Pedoman/Petunjuk Teknis. Pelaksanaan program CSR di bidang PLP selayaknya mengacu dan mengikuti pedoman yang berlaku. Pemerintah telah menerbitkan berbagai pedoman/petunjuk teknis terkait sektor pengembangan PLP. Konsultasi Teknis dan Supervisi. Ditjen Cipta Karya – Kementerian PU, Satker PLP di provinsi, dan dinas-dinas daerah yang terkait dengan pengembangan PLP dapat memberi bantuan teknis dalam bentuk konsultasi bagi perusahaan yang ingin memahami lebih lanjut mengenai RPIJM, penggunaan buku pedoman dan manual, perencanaan prasarana, serta bantuan teknis berupa supervisi pada tahap pelaksanaan proyek. Selain itu bisa dilakukan konsultasi mengenai berbagai alternatif skema kerjasama dan pembiayaan program, agar program berdampak lebih besar dan lebih berkelanjutan. Pendanaan Program. Beberapa alternatif pendanaan pembangunan PS PLP antara l ain: a. Dana publik. Dana ini mengalir dari Pusat, Provinsi lalu ke Pemerintah Kabupaten/Kota; dan terutama berasal dari pajak. b. Dana Pembangunan Asing (Overseas Development Aid/ODA). Hibah dan pinjaman luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB. c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Berbasis Masyarakat (OBM) d. Sektor Swasta/Badan Usaha. Perusahaan dapat menyesuaikan program CSR bidang PLP nya dengan program pemerintah yang didanai dari sumber lain seperti di atas, agar tercipta sinergi dan manfaat yang lebih luas. Fasilitasi Kerja Sama dengan Pemangku Kepentingan. Pemerintah dapat membantu memfasilitasi proses koordinasi dengan para pemangku kepentingan, seperti dinas/instansi di lingkungan pemerintah, kelompok kerja/forum (seperti Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan [AMPL]), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk program PNPM (sampai saat ini mencapai 12.000 BKM), lembaga donor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Fasilitasi pertemuan multipihak memungkinkan terciptanya kolaborasi/kemitraan, serta solusi kreatif untuk permasalahan yang kompleks.
Dalam pelaksanaannya, perusahaan dapat bekerjasama langsung dengan pemerintah daerah yang menjadi lokasi program CSR-nya. Namun apabila menginginkan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lebih luas dan menghasilkan program yang berdampak lebih besar dan lebih luas, perusahaan dapat mempertimbangkan bekerjasama dengan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Pemerintah kabupaten/kota dapat menggunakan RPIJM sebagai 122
dasar kerjasama dengan perusahaan, sementara perusahaan dapat menggunakan rencana CSR yang telah disusunya sebagai dasar pembicaraan dengan pemerintah kabupaten/kota. Secara singkat, kerjasama multipihak antara perusahaan yang menjalankan program CSR, Direktorat Jenderal Cipta Karya – Kementerian PU, dan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dapat dilihat pada bagan di bawah ini. PERUSAHAAN PELAKU CSR
DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA
PEMERINTAH DAERAH (PROV./KAB./KOTA)
RENSTRA CK USULAN KEGIATAN RPIJM
EVALUASI
PROGRAM CSR
DAFTAR USULAN PENYIAPAN RENCANA RINCI USULAN KEGIATAN
SINKRONISASI KEGIATAN
EVALUASI INDIKASI PENDANAAN DAFTAR USULAN PRIORITAS
ALOKASI PENDANAAN
MOA
Gambar 4.4. Bagi peran para pihak dalam konteks CSR Sumber: Buku “Mewujudkan Permukiman Layak Huni Melalui Kerjasama CSR”, Dirjen Cipta Karya
Untuk Sektor Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP), ada tiga subsektor yaitu Persampahan, Air Limbah, dan Drainase, dengan kegiatan yang dapat ditawarkan adalah: 1. Subsektor Persampahan
123
a.
Komponen Pengumpulan dan Pengangkutan ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) i. Pengadaan tempat sampah seperti bin dan tong sampah ii. Pengadaan gerobak sampah, becak motor sampah, mini truck untuk pengumpulan dan pengangkutan iii. Pembangunan TPS b. Komponen Pengangkutan ke Tempat Pemrosesan Akhir i. Pengadan loader ii. Pengadaan dump truck, arm roll truck, trailer truck , dan compactor truck c. Komponen Pengolahan i. Pembangunan tempat pemrosesan akhir ii. Pembangunan instalasi pengomposan iii. Pengadaan mesin pemilah sampah dan daur ulang 2. Subsektor Air Limbah Pengolahan air limbah dibagi menjadi dua sistem, yaitu off site (terpusat) dan on site (setempat). a. Kegiatan pengolahan sistem off site: i. Pembangunan instalasi pengolahan air limbah (skala kota/komunal) ii. Pengadaan dan pemasangan pipa/saluran air limbah (skala kota/komunal) iii. Pengadaan dan pemasangan sambungan rumah (skala kota/komunal) b. Kegiatan pengolahan sistem on site i. Pembangunan MCK ii. Pembangunan tangki septik komunal iii. Pembangunan instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) 3. Subsektor Drainase a. Pembangunan prasarana dan sarana drainase baru: i. Saluran terbuka dan tertutup ii. Bangunan persilangan: gorong-gorong, dan siphon iii. Bangunan terjun iv. Tanggul v. Bangunan penangkap pasir vi. Pintu air vii. Kolam retensi viii. Pompa dan rumah pompa ix. Trash rake x. Sumur resapan dan kolam resapan b. Rehabilitasi/normalisasi/peningkatan jaringan drainase yang ada. 124
Apabila perusahaan dan pemerintah telah bersepakat mengenai bentuk kerjasama dan bagi peran masing-masing, maka para pihak dapat mengikatkan diri dalam “Nota Kesepa katan (Memorandum of Agreement)” 4.3 Fungsi Pemerintah Daerah atas Peran Masyarakat Meskipun beberapa PS PLP diserahkan pengelolaannya sebagian kepada komponen masyarakat, pemerintah daerah tidak boleh lupa bahwa salah satu tugasnya dalam penanganan urusan wajib ke-PLP-an tetap mencakup empat hal, yaitu: pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan (PP No.38 Tahun 2007). Katakanlah proses pembangunan sudah dilakukan, maka tiga lainnya tetap perlu menjadi perhatian pemerintah daerah. Untuk itu di dalam stuktur SKPD yang terkait perlu dilekatkan fungsi-fungsi tersebut secara jelas. Untuk pengaturan, misalnya, praktik penerapan retribusi oleh lembaga masyarakat pengelola PS PLP tidak bisa dibiarkan semata-mata mengikuti mekanisme pasar, mengingat ada kepentingan publik yang lebih besar dan bahwa penyediaan PS PLP pada dasarnya merupakan bentuk layanan publik oleh pemerintah. Begitu pula mengenai penggunaan/pemanfaatan beberapa sumber daya terkait PS PLP, yang tidak boleh dimonopoli hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu saja. Pengaturan, dalam konteks ini, adalah untuk memastikan bahwa pemanfaatan dilakukan secara berkeadilan dan mencegah timbulnya konflik yang meluas.
Unsur pembinaan, selayaknya berlangsung secara menerus selama PS PLP masih dapat dimanfaatkan. Pembinaan yang dilakukan pemerintah daerah bisa berupa pemberian panduan/pedoman, pelatihan SDM pengelola, pendampingan teknis, perluasan jejaring kerja dan kerjasama, serta banyak lagi lainnya. Perlu dihindari kesan bahwa dengan menyerahkan PS PLP kepada komponen masyarakat maka selesai pula tanggung jawab pemerintah. Sedangkan pengawasan dilakukan untuk memastikan kelaikan operasional PS PLP yang terbangun, keadilan dalam pemanfaatan, kualitas hasil pengolahan, akuntabilitas proses pengelolaan, keberlanjutan layanan, dll. Tentunya dengan adanya fungsi-fungsi di atas, pemerintah daerah sewajarnya juga mengalokasikan anggaran secara proporsional bagi SKPD terkait yang bertugas melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan kepada komponen masyarakat yang berperan mengelola PS PLP yang ada.
125