TUGAS MATA KULIAH PERUNDANGAN PERUNDANGAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN
STUDI KASUS VAKSIN PALSU
Oleh : PRASTIWI NOVIA PUSPITASARI PUSPITASARI 101614153003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MINAT KESEHATAN IBU DAN ANAK FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 2017
A . PENDAHULUAN
Anak sehat orang tua pun bahagia.Ungkapan ini ialah harapan seluruh orang tua di negara ini. Indonesia yang mencita- citakan sebagai negara kesejahteraan (welfare state) menjadikan kesehatan bagian dari program utama pembangunan negara ini, dikarenakan dalam UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, serta Pasal 34 ayat (3) mengatur bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Tolak ukur kemajuan sebuah negara bilamana Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi dapat dipenuhi negara secara utuh kepada setiap warga negara. Menjadi persoalan kemudian pada medio Juli 2016 dalam dunia kesehatan Indonesia ditemukan pembuatan dan penyebaran vaksin palsu yang dilakukan pasangan suami isteri di Bekasi. Tidak tanggung- tanggung pembuatan dan penyebaran vaksin palsu tersebut, sudah berlangsung lama. Hasil penelusuran Tempo 15 Juli 2016 mengumumkan ada beberapa rumah sakit di Bekasi di antaranya Rumah Sakit Sayang Bunda, Rumah Sakit Kartika Husada, Sentral Medika, Rumah Sakit Harapan Bunda, Rumah Sakit Permata, serta Rumah Sakit Elisabeth (Koran Tempo 15 Juli 2016). Dari beberapa rumah sakit tersebut maka telah banyak juga anakanak bangsa ini menjadi korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, serta Kementerian Kesehatan dan BPOM yang telah lalai mengawasi vaksin palsu tersebut. Terkait kasus vaksin palsu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Menteri Nila F.Moeloek dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR telah menyiapkan sanksi apabila terbukti terlibat maka dapat diberikan sanksi administrasi hingga pencabutan ijin operasi (Koran Tempo 15 Juli 2016). Terungkapnya peredaran vaksin palsu membuat gaduh masyarakat baru-baru ini. Berbagai kecaman dari beberapa tokoh masyarakat khususnya pembela hak-hak anak mendesak pemerintah untuk menghukum mati para pelaku peredaran vaksin palsu. Celakanya, vaksin palsu telah beredar di masyarakat selama 13 tahun. Oleh sebab itu muncul tudingan kepada beberapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas vaksin palsu ini. Beberapa pihak yang disebutsebut harus bertanggung jawab di antaranya adalah BPOM dan dinas kesehatan. Tetapi, lucunya pihak rumah sakit dan dokter tidak pernah disebut-sebut bertanggung jawab atas hal ini. Padahal khususnya rumah sakit adalah pihak yang seharusnya dianggap paling mengetahui adanya vaksin
palsu yang digunakan di rumah sakitnya. Pasalnya, pihak rumah sakit adalah stakeholder yang menerima vaksin palsu tersebut. Di lain pihak, dokter juga seharusnya aware akan hal ini, karena dokter adalah orang yang menggunakan vaksin tersebut untuk disuntikkan kepada bayi yang diimunisasi.
B . KASUS
1. Kronologis
JawaPos.com - Komisi IX DPR menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama
Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Dalam penuturannya, Nila membeberkan fasilitas kesehatan yang menerima vaksin palsu. Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan kronologi cara peredarannya. Menurut dia, ini berawal dari kecurigaan adanya kelangkaan vaksin tertentu di pasar yang tidak termasuk dalam
program
pemerintah.
Ditemukanlah
vaksin
dengan
harga
murah.
"Kronoligis ditemukan vaksin palsu karena adanya kekurangan vaksin," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) di komisi IX DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7). Lantas, Bareskrim Mabes Polri menangani perkara tersebut dengan ditemukan 3 botol bekas dari tiga rumah sakit. Yakni, RS Hermina di Bekasi, RS Betesda di Jogja, dan RS
Harapan Bunda di Jakarta Timur. Dua rumah sakit awal tersebut didistribusikan melalui Sugiyanti sebagai pengumpul botol bekas. "Dimulai diketemukan adanya pengumpulan dari botol bekas di 3 rumah sakit. Dikumpulkan saudara S, I dan E. Pengumpul botol bekas ini diberikan ke empat produsen, ada yang membuat percetakan," tuturnya. Empat produsen itu diantaranya, Nuriani, Syafrizal, Iin Sulastri, Rita Agustina, Hidayat, dan Agus Priyanto. Kemudian vaksin didistribusikan kepada Ryan pemilik Apotik Cahaya Medika. Ada pula Farid melalui Apotik Ibnu Sina. Lalu Mirza, Pius, Sutarman melalui Apotik Ciledug dan Rawa Bening Jati Negara. Selain itu, distributor lain ialah Thamrin melalui toko obat CV Azka Medical. "Kami dapatkan ini dari Bareskrim," sebut Nila. Lebih lanjut Nila menambahkan, vaksin dasar sejatinya diperoleh dari pemerintah. Kendati demikian, Faskes milik pemerintah maupun milik swasta bisa melakukan pengadawan sendiri dengan membeli dari distributor resmi. "Tapi ada vaksin yang berasal dari sumber tidak resmi, bisa asli atau palsu," pungkas wanita kelahiran Jakarta itu. (http://www.jawapos.com/read/2016/07/14/39273/begini-kronologis-peredaran-vaksin palsu, diakses tanggal 27 Maret 2017)
2. Tuntutan Masyarakat
Metrotvnews.com, Jakarta : Komisi IX DPR mendesak Kejaksaan Agung agar cepat
menuntaskan kasus vaksin palsu. Dari 25 tersangka, Kejaksaan Agung baru menyatakan tiga berkas tersangka yang lengkap. "Dari awal sebenarnya kami sudah mendesak, kasus ini harus diproses sampai selesai. Namun, prosesnya tetap harus berjalan sesuai Undang-undang yang mengatur. Kita tunggu saja prosesnya," ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat (7/10/2016). Sebelumnya, berkas 25 jaringan vaksin palsu ini, sempat mandek di Kejagung karena dinyatakan belum lengkap. Kejagung ingin berkas dipisah menjadi 25 berkas sesuai dengan jumlah tersangka. "Berdasarkan petunjuk P-19 jaksa, berkas perkara diminta agar di-split menjadi 25 sesuai jumlah tersangka. Jadi dipisah masing-masing tersangka satu berkas," kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Irjen Agung Setya, Rabu 6 Oktober 2016. Bila berkas perkara dijadikan satu yang melibatkan semua jaringan dari pembuat vaksin palsu hingga pengguna (dokter dan bidan) maka akan terlihat jelas kejahatan para pelaku dalam satu kesatuan sehingga hukuman maksimal bisa diterapkan. Namun, jika
berkas dipisah masing-masing tersangka, penerapan hukuman tidak akan maksimal karena kejahatan dalam jaringan vaksin palsu tidak terlihat. Lambannya penanganan kasus vaksin palsu diduga terkait intervensi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam proses penegakan hukum dalam kasus peredaran vaksin palsu. Pasalnya, sejumlah dokter dijadikan tersangka dalam kasus peredaran vaksin palsu. IDI pernah menyatakan, akan membela mati-matian para dokter tersebut. Terkait dugaaan adanya intervensi dari IDI, Saleh menilai, hal itu tidak akan memengaruhi proses hukum. "Asosiasi itu kan dibentuk tujuannya untuk membela anggotanya. Tapi bukan berarti tugas dan kewajibannya dilupakan. Proses hukum akan tetap berjalan," ujar Saleh. Sementara itu, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), dr. Marius Widjaja mengungkapkan, Kejagung harus transparan dalam menangani kasus jaringan vaksin palsu. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus tersebut. "Masyarakat berhak tahu ending dari kasus vaksin palsu ini. Kejagung jangan menutup-menutupi. Harus dituntaskan secepatnya," ujar Marius. Marius mengatakan, UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, masyarakat memiliki hak untuk didengar dan mendapatkan informasi. "Kasus vaksin ini jelas ada dampaknya, karena sesuatu disuntikan ke dalam tubuh. Bohong kalau ada yang bilang tidak ada dampaknya. Berikan masyarakat informasi yang mencerdaskan," kata Marius. (http://m.metrotvnews.com/news/hukum/GNlj30Pk-aparat-penegak-hukum-didesaktuntaskan-kasus-vaksin-palsu, diakses tanggal 27 Maret 2017)
3. Hukum
JAKARTA — Anggota Komisi IX DPR RI, Ansory Siregar mengatakan, penjahat vaksin palsu melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Pasal itu berbunyi, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pelaku juga melanggar UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. "Jadi, banyak sekali undang-undang yang dilanggar dari kasus kejahatan luar biasa ini," ucapnya, dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/7). Dia menginginkan, kasus hukum vaksin palsu dapat dituntaskan dengan baik hingga ke akarnya. Politikus PKS itu memaparkan, tim dari DPR berfungsi memastikan persoalan vaksin serta obat palsu ini tidak akan terulang, dan dapat diselesaikan dengan baik. Menurut dia, kasus vaksin palsu tergolong kejahatan luar biasa, dan pelakunya berarti adalah pelaku kejahatan besar. Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf mengatakan, pada dasarnya, pembentukan tim dari DPR memperkuat pengawasan yang dilakukan satgas pemerintah. Di samping pengawasan terhadap satgas, tim yang juga mencantumkan namanya ini juga akan mencari data sendiri terkait vaksin palsu. Komisi IX sebenarnya telah memiliki Panitia Kerja (Panja) Peredaran Obat dan Vaksin berjumlah 30 orang. Sementara, anggota tim pengawasan vaksin palsu yang baru
dibentuk setelah sidang paripurna lalu ternyata 98 persen merupakan anggota panja tersebut. Dua anggota lainnya berasal dari komisi tiga. Agar tidak tumpang tindih tugas, Dede mengungkapkan, panja maupun tim nantinya akan rapat bersama. Meski begitu, tim pengawas kemungkinan besar akan fokus pada masalah inspeksi mendadak (sidak) vaksin palsu, di samping mengawasi satgas pemerintah. Sementara, Panja Komisi IX akan fokus pada masalah administratif dan aturannya. Namun, untuk rekomendasi, dia melanjutkan, akan menggunakan hasil dari panja maupun tim pengawasan. Tim pengawasan ini belum melakukan rapat. Kemungkinan besar tim akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Ketua DPR. Konsultasi ini berkenaan dengan 25 anggota tim yang belum seluruhnya berasal dari berbagai fraksi dan lintas komisi, sebagaimana yang telah diungkapkan pada sidang paripurna lalu. "Supaya tidak saling tumpang tindih, kita minta perbanyak lagi dari fraksi lain," tambahnya. Sebelumnya, tim pengawas tentang kasus vaksin palsu resmi dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (28/7). Tim yang melibatkan lintas komisi ini bertugas mengawasi penuntasan masalah peredaran vaksin palsu. Sementara itu, Satgas Vaksin Palsu menerima laporan dugaan vaksin palsu baru dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menurut Ketua Satgas Vaksin Palsu, Maura Linda Sitanggang, satu dari laporan terindikasi vaksin palsu. "Temuan BPOM terbaru merupakan hasil pengujian laboratorium, salah satu terindikasi vaksin palsu, sisanya bukan vaksin," kata Maura melalui pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (31/7). Sebelumnya, kata dia, Rumah Sakit (RS) yang terindikasi menggunakan vaksin palsu dari laporan BPOM tersebut, sudah diketahui umum melalui media, yakni RS Mutiara Bunda, Tangerang, Banten. Maura menerangkan, fasilitas kesehatan (faskes) yang diindikasikan menggunakan vaskin palsu telah dilanjutkan penyelidikannya oleh Bareskrim. Deputi I BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid juga mengungkapkan, sampai saat ini belum ada informasi terbaru ihwal temuan vaksin palsu di sejumlah wilayah lainnya. "Masih tetap satu di Banten, satu di Bandung , dua di DKI, dan yang lain, antiserum palsu ada tujuh," katanya.
Penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan 25 tersangka dalam kasus tersebut. Kendati demikian, sebanyak 20 orang sudah ditahan di Rutan Bareskrim, sedangkan lima orang lainnya tidak ditahan. Dari 25 orang tersangka kasus vaksin, setiap tersangka memiliki peran masingmasing, yakni produsen (enam tersangka), distributor (sembilan tersangka), pengumpul botol (dua tersangka), pencetak label (satu tersangka), bidan (dua tersangka), dan dokter (lima tersangka). Atas
perbuatannya,
seluruh
tersangka
dijerat
dengan
UU
Kesehatan,
UU
Perlindungan Konsumen, dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara
C. ANA L I SA
1. Pembuatan vaksin palsu
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan jelas mengatur terkait penyediaan farmasi, dimana vaksin masuk dalam kategori tersebut. Sebagaimana Pasal 98 (2) mengatur bahwa “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan menyimpan, mengolah, mempromosikan ,dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat” , ayat (4) “Pemerintah berkewajiban membina,mengatur, mengendalikan, dan mengawasi, pengadaan, promosi dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)”. Tindakan tersebut telah melanggar hukum sebagaimana Pasal 197 UU Kesehatan mengatur “ setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (1) dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000.00“.
2. Distribusi vaksin palsu
Pasal 386 ayat (1) KUHP diatas, pada intinya tidak hanya menjerat pelaku pembuat vaksin palsu atau yang menyebarkan dan menjual, namun lebih dari itu dapat menjerat direktur rumah sakit sampai kepada tenaga kesehatan medis termasuk dokter.
Dalam KUHP Pasal 386 ayat (1) juga mengatur “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu diancam dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun”. Salah satu kewajiban Rumah Sakit adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 15 ayat (3) yang menyatakan "Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu" dan Pasal 29 yang menyatakan "memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit". Sehingga dalam kasus pemberian vaksin palsu kepada bayi tidak boleh hanya menyalahkan dokter atau perawat saja, tetapi ini juga merupakan tanggung jawab rumah sakit. Rumah sakit tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya karena ini juga merupakan kelalaian dari pada Rumah Sakit. Salah satu sanksi terhadap pelanggaran dalam melaksanaan kewajiban Rumah Sakit (Pasal 17 dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) adalah denda dan pecabutan izin Rumah Sakit. Terhadap pasien yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya kewajiban Rumah sakit berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit sebagaimana dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 32 huruf (q)yang menyatakan " pasien berhak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana";
3. Pelayanan Medis terhadap Konsumen/pasien
Penjahat vaksin palsu melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Pasal itu berbunyi, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien dapat kita lihat dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 50 sampai dengan Pasal 53. Dengan adanya hak dan kewajiban dalam kontrak Traupetik antara dokter dan pasien maka salah satu pihak yang dirugikan dapat melakukan tuntutan ganti rugi secara Perdata
Hubungan hukum pidana dengan perbuatan malpraktek medis pemberian vaksin palsu adalah sikap tindak yang salah; (hokum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan. yaitu dengan memberikan vaksin palsu kepada bayi yang mengakibatkan bayi tidak memiliki system kekebalan tubuh yang dikemudian hari dapat mengakibatkan bayi mudah sakit. Perbuatan ini dapat diancam dengan pidana kurungan 1 (satu) tahun atau dengan 50jt sesuai dengan Pasal 79 huruf (c) Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang produk yang akan dipakainya. Di sini seharusnya konsumen berhak mendapat informasi produk obatobatan yang dipakainya, misalnya: tanggal kadaluarsa, segel kemasan/keutuhan kemasan, kandungan produk, efek samping dan sebagainya. Informasi bagi konsumen adalah hak konsumen, artinya ada beban kewajiban bagi pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan untuk menginformasikan hal ini.
4. Regulasi
Salah satu penyebab munculnya peredaran vaksin palsu di faskes karena regulasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pasal 98 UU Kesehatan, misalnya, mewajibkan Pemerintah
membina,
mengatur,
mengendalikan
dan
mengawasi
pengadaan,
penyimpanan, promosi dan pengedaran farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi. Ketentuan itu mengamanatkan pemerintah untuk mengaturnya lebih teknis dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah. “Sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan PP sesuai amanat UU Kesehatan tersebut,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (18/07). Mengingat pemerintah belum menerbitkan PP terbaru tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan, peraturan yang masih digunakan yaitu PP Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang terbit 1998. Pasal 65 PP ini mengamanatkan Menteri Kesehatan mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Berdasarkan Permenkes No. 1144 Tahun 2010, Kementerian Kesehatan membawahi subdirektorat penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang terdiri dari seksi
perencanaan penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan dan seksi pemantauan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Seksi perencanaan bertugas menyiapkan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Seksi pemantauan bertugas menyiapkan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Peran Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting dalam mencegah peredaran dan penggunaan vaksin palsu. BPRS bertugas membuat pedoman pengawasan RS untuk digunakan BPRS provinsi. Kemudian, menganalisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan. Bahkan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2009 menegaskan setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab. PP tersebut juga mewajibkan setiap RS memiliki instalasi farmasi. Standar pelayanan kefarmasian di RS meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai itu meliputi pemilihan; perencanaan
kebutuhan;
pengadaan;
penerimaan;
penyimpanan;
pendistribusian;
pemusnahan dan penarikan; pengendalian; dan administrasi. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Permenkes No. 58 Tahun 2014 dilakukan
oleh
Menteri
Kesehatan,
Kepala
Dinas
Kesehatan
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Secara umum berbagai regulasi yang berkaitan dengan kefarmasian itu selama ini belum dilaksanakan dengan baik sehingga membuka celah masuknya vaksin palsu di faskes. Ia berharap semua pemangku kepentingan seperti pemerintah, RS dan dokter saling bekerjasama untuk segera menuntaskan persoalan vaksin palsu.