BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis dan africanum). Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana pada pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan BTA positif. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup(1). WHO menyatakan bahwa 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahun terdapat 10-20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per 100.000 penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Di Indonesia Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB(1). Bentuk penyakit TB yang paling sering terjadi adalah di paru-paru. Pada sebagian kecil pasien, penyakit TB pada paru yang progresif ke system organ lain menyebar melalui inokulasi melalui dahak yang terinfeksi, darah dan system limfatik, menjadi bentuk sekunder dari TB paru(2). Pada laringitis tuberkulosis, infeksi pada laring dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Pada laringitis tuberkulosa primer, infeksi pada laring tanpa adanya infeksi pada paruparu. Penyebarannya secara hematogen dan melalui aliran limfe. Laringitis tuberkulosa sekunder timbul akibat inokulasi sputum yang terinfeksi pada laring. Walaupun insiden laringitis tuberkulosis kurang dari 1% dari seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmonal, namun dengan meningkatnya insiden tuberkulosis paru, dokter harus mempertimbangkan laringitis tuberkulosis sebagai diagnosis banding lesi pada laring terutama di daerah endemic TB(2,3).
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Laring Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuk menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid. Batas anteriornya adalah permukaan belakang epiglottis, arkus kartilago krikoid, ligamentum tiroepiglotik, tuberkulum epiglotik. Batas lateral adalah membrane kuadrangularis, kartilago aritenoid, arkus kartilago krikoid. Batas posterior adalah m. aritenoid, transverses dan lamina kartilago krikoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid, dan beberapa tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk huruf U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring lateral. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea(4,5).
Gambar 1. Tulang dan kartilago laring tampak lateral Sumber : http://www.virtualpediatrichospital.org/
2
Dibawah os hioideum dan menggantung pada ligamentum tirohioideum adalah dua sayap kartilago tiroidea. Kedua sayap menyatu di garis tengah pada sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria, lalu membentuk jakun ( Adam’s Apple ). Pada tepi posterior masing-masing sayap, terdapat kornu superior dan inferior. Artikulasio kornu inferior dengan kartilago krikoidea, memungkinkan sedikit pergeseran atau gerakan amtara kartilagi tiroidea dan krikoidea. Kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit, melekat pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikoideum. Kartilago krikoidea berbentuk lingkaran penuh dan tak mampu mengembang. Permukaan posterior cukup lebar sehingga tampak seperti signet ring(5). Gambar 2. Laring tampak coronal section Sumber : http://khoomei.com/pics/larynx.jpg
Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasio krikoaritenoid. Sepasang kartilago kuneiformis terdapat dalam lipatan ariepiglotik dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. Pada laring terdapat 2 sendi yaitu sendi krikotiroid dan sendi krikoaritenoid.(5). Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang menyerupai bat pingpong. Epiglotis dewasa umumnya sedikit cekung pada bagian posterior, namun pada 3
sebagian anak dan dewasa, epiglottis jelas melengkung dan disebut epiglottis omega atau juvenilis. Jaringan elastik penyokong laring antara lain membrane kuadrangularis di sebelah superior pada kedua sisi laring, membrane krikovokalis yaitu ke atas dan medial dari arkus kartilaginis krikoidea atau lebih tepatnya berada di bawah mukosa di permukaan korda vokalis sejati (5).
Gambar 3. Otot-otot Ekstrinsik Laring Sumber : Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11,fig.1.10
Otot-otot laring meliputi otot ekstrinsik yang terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, dan otot intrinsic yang menyebabkan pergerakan bagian-bagian tertentu yang berhubungan dengan pita suara. Otot ekstrinsik laring ada yang terletak di suprahioid dan infrahioid. Otot ekstrinsik suprahioid menarik laring ke bawah sedangkan otot ekstrinsik infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot ekstrinsik suorahioid antara lain m.digastrikus, m.geniohioid, mstilohioid, m.milohioid. Otot ekstrinsik infrahioid antara lain m sternohioid, m.omohioid, dan m.tirohioid (5) Otot-otot intrinsik laring terletak di bagian lateral laring dan posterior. Sebagian besar adalah otot aduktor ( mendekatkan pita suara ke tengah ) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abductor (4).
4
Lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare akan membentuk plika vokalis dan plika ventrikulare. Rima glottis adalah bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibule. Kedua plika ini membagi ronga laring menjadi tiga bagian yaitu vestibulum laring, glotik, dan subglotik. Vestibulum laring terletak diatas plika ventrikularis, daerah ini disebut supraglotik. Rongga laring yang terletak dibawah plika vokalis disebut subglotik(4).
Gambar 4. Persarafan Laring Sumber : Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11, fig1.11
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan. Nn. Laringeus Superior. Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu (6,13): •
Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
•
Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.
Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren). Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri 5
mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan (13) : •
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
•
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior. Arteri Laringeus Superior Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. Arteri Laringeus Inferior Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring. Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.
Gambar 5. Vaskularisasi laring Sumber : Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.16
6
Gambar 6. Sistem limfatik laring Sumber : Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.16,fig.1.16
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu (6) : 1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node. 2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node. 3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya. 2.2. Fisiologi Laring Laring mempunyai tiga fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut (13) : 1. Fungsi Fonasi (13) Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, 7
faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : a. Teori Myoelastik – Aerodinamik (13) Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otototot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali. b. Teori Neuromuskular(8) Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral). 2. Fungsi Proteksi (8) Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai 8
jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus. 3. Fungsi Respirasi(9) Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara. 4. Fungsi Sirkulasi(13) Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung. 5. Fungsi Fiksasi (8) Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan. 6. Fungsi Menelan (8) Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan 9
penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus. 7. Fungsi Batuk(10) Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring. 8. Fungsi Ekspektorasi(10) Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut. 9. Fungsi Emosi(10) Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan. 2.3.Laringitis Tuberkulosis 2.3.1. Definisi Laringitis tuberkulosis merupakan peradangan pada laring yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosa(3). 2.3.2. Epidemiologi Sebelum era antibiotik angka insiden laringitis tuberkulosis mencapai 83% dari seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmonal. Setelah perkembangan antibiotik, insiden laringitis tuberkulosis menjadi kurang dari 1% dari seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmonal dengan laju mortalitas kurang dari 2%. Laringitis tuberkulosis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dan sebagian besar pada rentang usia 40-50 tahun. Temuan klinis dini dari laringitis tuberkulosis paling banyak pada bagian posterior laring terutama pada pasien yang berbaring lama ditempat tidur dan pada pasien yang sputumnya terkumpul di regio interaritenoid. Bagian yang paling sering terinfeksi adalah pita suara ( 50-70% ) dan yang paling jarang adalah epiglotis (2,3). 2.3.3. Patogenesis Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa. Infeksi pada laring dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Pada laringitis tuberkulosa primer, infeksi pada laring tanpa adanya 10
infeksi pada paru-paru. Penyebarannya secara hematogen dan melalui aliran limfe. Laringitis tuberkulosa sekunder timbul akibat inokulasi sputum yang terinfeksi pada laring. Biasanya pada infeksi paru tingkat lanjut yang telah terbentuk kavitas. Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fosa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan subglotik. Secara klinis laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu (2,4) : a. Stadium Infiltrasi Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis. Kadang-kadang pita suara juga terkena. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudian di submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang. Pada suatu saat akan pecah dan timbul ulkus. b. Stadium Ulserasi Ulkus yang terbentuk pada akhir stadium infiltrasi akan membesar. Ulkusnya dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh pasien. c. Stadium Perikondritis Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring dan yang paling sering terkena adalah kartilago aritenoid dan epiglottis. Terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan berlanjut dan membentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk ke dalam stadium akhir. d. Stadium Fibrotuberkulosis Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan subglotik. 2. 3. 4. Gejala Klinis Gejala klinis tergantung stadiumnya. Disamping itu terdapat gejala sebagai berikut (4) : •
Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.
•
Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan bila stadium lanjut bisa timbul afoni.
•
Hemoptisis 11
•
Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
•
Keadaan umum buruk.
•
Pada pemeriksaan paru ( secara klinis dan radiologik ) terdapat proses aktif ( biasanya pada stadium eksudatif atau pada pemebentukan kaverne )
2.3.5. Diagnosis Berdasarkan (2,4) : a. Anamnesis Dari anamnesis didapatkan gejala dari tuberkulosis paru seperti demam, penurunan berat badan, berkeringat malam hari tanpa ada kegiatan fisik, badan lemas, dan batuk darah. Disertai adanya manifestasi dari laringitis seperti suara parau, nyeri menelan maupun susah menelan(1,10,11). b. Pemeriksaan klinis Pada laringoskopi ditemukan gambaran sesuai stadiumnya. Pada stadium infiltrasi; mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan pucat dapat terlihat tuberkel berupa bintik-bintik kebiruan. Stadium ulserasi dapat terlihat ulkus dangkal, dasarnya ditutupi perkijuan. Pada stadium perikondritis ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, kartilago aritenoid, dan epiglotis. Terbentuk nanah yang berbau sampai terbentuk sekuester. Pada stadium akhir dapat terlihat fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara, dan subglotik (2,4).
12
Gambar 7. Temuan laringitis tuberkulosis pada laringoskopi. A.Ulseratif (pada keseluruhan laring). B.Granulomatosa (pada posterior dari glottis). C.Polipoid (pada pita suara palsu kanan). D.Nonspesifik (pada pita suara sejati kanan)
c. Laboratorium Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yaitu dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. Pada hari kedua dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas dan yang terakhir dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan dahak dikatakan positif bila 2 dari 3 sampel dahak yang diperiksa positif (1).
13
Gambar 8. Bakteri Tahan Asam berbentuk batang pada pemeriksaan sputum (tanda panah)
Selain pemeriksaan dahak dapat dilakukan uji tuberkulin. uji tuberkulin merupakan pemeriksaan
yang
paling
bermanfaat
untuk
menunjukkan
sedang/pernah
terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi (1): •
Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
•
Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
•
Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
d. Foto Rontgen Toraks & CT-Scan Pada sebagian besar kasus tuberkulosis terutama TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai Berikut (1) : •
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif 14
•
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon).
•
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif (1) : • Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru. • Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular • Bayangan bercak milier • Efusi pleura Gambaran radiologist yang dicurigai TB inaktif (1) : • Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segemn superior lobus bawah. • Kalsifikasi • Penebalan pleura.
Gambar 9. Foto polos dada, kavitas pada zona kiri bawah Sumber : www.lrsitbrd.nic.in/IJTB
15
Walaupun CT-Scan pada laringitis tuberkulosa gambarannya tidak spesifik, kemungkinan laringitis tuberkulosa harus di pertimbangkan jika lesi laring yang difus dan bilateral ditemukan tanpa adanya destruksi dari bangunan laring pada pasien dengan tuberkulosis paru (11). e. Pemeriksaan patologi anatomik Laringoskopi langsung dan biopsi merupakan suatu keharusan guna mendapatkan diagnosis yang definitif. Harus diingat bahwa kemungkinan tuberkulosis dan keganasan bisa saja muncul bersama pada satu pasien. Maka tantangan untuk menegakkan diagnosis adalah untuk mengeksklusi kanker laring (3). Pada pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi atau swab mukosa laring serta dilakukan pewarnaan basil tahan asam ditemukan inflamasi granulomatosa dengan sel-sel epiteloid dan Langhans’ Giant Cells dikelilingi oleh limfosit dan fibroblast dengan adanya daerah pengkijuan atau kaseosa.
Gambar 10. Gambaran subepithelial granuloma mengandung histiocytes, limfosit, epitheloid cells, dan Langhan’s giant cell (hematoxylin dan eosin, x270). Ziehl Nielsen stain (inset) menunjukkan beberapa acid-fast bacilli (arrowheads, x1350).Sumber : www.lrsitbrd.nic.in/
2.3.6. Terapi a. Obat Anti Tuberkulosis Terapi laringitis tuberkulosis berespon baik dengan OAT. Gejala disfoni dan odinofagi mengalami perbaikan setelah dua hingga empat minggu setelah pengobatan dengan antituberkulosis(3). Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu : 16
• Fase initial/fase intensif (2 bulan ). Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. • Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat oleh PMO (pengawas minum obat). • Fase lanjutan ( 4-6 bulan ). Bertujuan mebunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga perlu adanya pengawas minum obat. Tabel 1. Regimen OAT ( Obat Anti Tuberkulosis ) (1) Kategori Diagnosis TB
I
II
III
IV
Regimen Pengobatan TB Pasien TB
-Kasus baru,Pewarnaan positif-Kasus Baru,Pewarnaan negatif-TB Paru dengan extensive parenchymal -Penyakit HIV berat -TB ekstra paru berat Pemeriksaan sputum sebelumnya positif TB Paru : -relaps -Pengobatan setelah putus obat -Gagal terapi Pewarnaan baru-negatif TB Paru ( selain kategori I ); Bentuk TB ekstrapulmonal yang tidak berat Kasus TB MDR dan kronis ( sputum positif setelah pengobatan ulang yang diawasi )
Fase Inisial
Fase Lanjutan
2HRZE
4HR atau 6 HE setiap hari
2 HRZES/1 HRZE
5 HRE
2 HRZE
4 HR or 6 HE setiap hari
Specially designed standarized or individualized regimens are suggested for this category
17
c. Istirahat suara Pasien di sarankan untuk mengistirahatkan laring dengan istirahat suara terutama pada saat fase aktif penyakit (12). 2..3.7. Prognosis Tergantung pada keadaan social ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya baik(4)
18
BAB III KESIMPULAN Laringitis tuberkulosis adalah peradangan pada laring yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis pada laring biasanya terjadi baik secara primer maupun sekunder. Gejala pada laringitis tuberkulosis meliputi gejala pada penyakit tuberkulosis pada umumnya dan disertai manifestasi laring seperti disfoni dan odinofagi. Diagnosis laringitis tuberkulosis ditegakkan dengan melihat gejala, pemeriksaan sputum basil tahan asam, foto toraks, laringoskopi, dan biopsy jaringan yang terinfeksi. Terapi laringitis tuberkulosis sesuai dengan terapi tuberkulosis paru.
19
DAFTAR PUSTAKA 1. Werdhani, Reno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.FKUI.2005. Available from : www.staff.ui.ac.id. Accessed on : March 18, 2012. 2. Lim, JY., Kim KM., Choi EC., Kim Yo, Kim HS., Choi HS. Current Clinical Propensity Of Laryngeal Tuberculosis : Review of 60 case. Eur Arch Otorhinolaryngology.2006. 3. Verma et Maharjan. Laryngeal tuberculosis co-existent with Pulmonary tuberculosis (The Internet Journal of Pulmonary Medicine. 2008 Volume 10 Number 1 ). 2008. Available from : www.ntuh.gov.tw/ENT/Laryngeal%20tuberculosis%2020061025. Accessed : March 13, 2012. 4. Hermani, Bambang, Hartono Abdurrachman, Arie Cahyono. Laringitis Tuberkulosis dari: Soepardi et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI. Jakarta. 2007. Hal : 239-241.
5. Cohen, James I. Laring dari : Boeis et al. Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. EGC. Jakarta.1997. Hal : 369-396. 6. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger.1993. 7. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition. 1996. Page : 425-456. 8. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill. 2003. Page : 724-736, 747, 755-760. 9. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby. 1993. 10. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins. 2001. Page : 479-486. 11. Moon et al. Laryngeal Tuberculosis : CT Findings. South Korea. AJR. 1996. Page : 445449 12. Mehndiratta et al. Primary Tuberculosis of Larynx. (Ind J Tub 1997.44.211).1997. Available from : www.lrsitbrd.nic.in/IJTB. Accessed on : March 13, 2012. 13. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill. 2001. Page : 241-242. 20