MAKALAH BIOLOGI LAUT ―ZONA SUBTIDAL DAN LAUT DALAM‖
Disusun oleh ( Kelompok II) : 1.
Benget Simanjuntak
(11670)
2.
Demas Bayu Handika
(11653)
3.
Prameidia Putra
(11666)
4.
Siti Sarah
(11681)
5.
Setyaning Pawestri
(11611)
6.
Tyas Ayu
(11676)
FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN PERIKANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.Alhamdulillah makalah Biologi Laut dengan judul ―Zona Subtidal dan Laut Dalam‖ ini dapat Penyusun selesaikan dengan tepat waktu. Makalah Biologi Laut ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Biologi Laut semester tiga di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Makalah ini berisikan informasi mengenai biota zona subtidal dan laut dalam. Dengan selesainya penyusunan makalah Biologi Laut ini, Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang yang telah memberikan ide, masukan, dan gagasan sehingga makalah Biologi Laut ini dapat diselesaikan tepat waktu. Penyusun menyadari bahwa makalah Biologi Laut mengenai Zona Subtidal dan Laut Dalam ini masih jauh dari kata sempurna, karena tak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Oleh karenanya, penyusun mengharapkan adanya masukan baik kritik maupun saran yang konstruktif sehingga berguna untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah Biologi Laut ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membaca umumnya, serta bagi penyusun sendiri khususnya.
Yogyakarta, 13 Desember 2010
Penyusun
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Makhluk hidup akan mendiami tempat yang sesuai dengan kemampuan adaptasinya. Biota laut merupakan flora dan fauna yang menghuni zona laut. Zonasi laut berikatan erat dengan biota laut yang hidup di dalamnya. Menurut kedalaman laut berdasar Paul Bennet membagi zonasi laut dibagi menjadi 3 bagian, 2 diantaranya zona subtidal dan laut dalam. Tiap zona memiliki karakteristik masingmasing. Zona subtidal adalah zona yang masih bias ditembus matahari atau dikenal dengan nama zona twilight. Sedangkan, laut dalam adalah zonasi paling bawah dan gelap. Kondisi ini merupakan bentuk seleksi alam terhadap biota laut yang mampu bertahan hidup atau justru tereliminasi. Pengetahuan mengenai zonasi akan mempermudah seorang peneliti untuk mengidentifikasi suatu biota laut berdasar informasi mendasar mengenai lingkungan hidup, karakteristik zona laut tempat biota berada, serta bentuk adaptasi flora dan fauna tersebut terhadap kondisi lingkungan sekitar. 1.2 TINJAUAN PUSTAKA Pembagian zona laut berdasar kedalaman dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona intertidal, zona subtidal, dan laut dalam. Zona intertidal (perairan dangkal) adalah zona yang mendapat cahaya melimpah sehingga banyak sekali terdapat flora dan fauna yang sangat beragam. Zona subtidal (zona twilight) adalah zona setelah zona intertidal. Zona ini masih ditembus sinar matahari, tapi tidak sebanyak zona intertidal. Zona ini dikatakan perbatasan jangkauan matahari mampu menembus kedalaman laut. Kehidupan di zonasi ini mulai sedikit, namun masih dihuni oleh bunga-bunga karang. Ikan berukuran besar juga suka berada di antara zona subtidal atau mengapung di permukaan laut dalam. Zona lautan yang paling gelap adalah laut dalam (termasuk palung dalam). Masih banyak bentuk kehidupan yang tidak diketahui di zona ini (Paul Bennet dalam The Natural World-Under The Ocean dalam ( Hedgpeth,1957 ). Lingkungan akan berpengaruh terhadap organism yang hidup di dalamnya. Organisme yang menghuni zona intertidal misalnya, siput laut, lamun, bintang laut,
ganggang, dan anemone metridium (Nienhuis, 1993). Laut dalam terkenal dengan jumlah hewannya yang sedikit. Aldea et al (2008) misalnya, menemukan kalau semakin dalam semakin sedikit jenis kerang (gastropoda dan bivalvia). Biota laut yang hidup di dasar laut masih
merupakan suatu misteri sebab belum banyak penelitian terhadap zona ini mengingat medannya yang sulit. Survey dasar laut, terutama daerah yang topografinya bergerigi, sulit dilakukan, sehingga walaupun dasar laut Hawaii dalamnya lebih dari 4000 meter, hanya 2000 meter saja kemampuan para peneliti untuk mencapainya (Borets, 1986). 1.3 TUJUAN 1. Mengetahui karakteristik zona subtidal dan laut dalam. 2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi zona subtidal dan laut dalam. 3. Mengetahui biota laut yang hidup di zona subtidal dan laut dalam. 1.4 MANFAAT 1. Memberi informasi mendasar mengenai karakteristik dan faktor yang mempengaruhi zona subtidal dan laut dalam. 2. Memberikan pengetahuan mengenai biota laut yang hidup di zona subtidal dan laut dalam. 1.5 RUANG LINGKUP Ruang lingkup mencakup informasi mendasar seputar : 1. Karakteristik Zona Subtidal dan Laut Dalam 2. Biota Laut yang Hidup di Zona Subtidal dan Laut Dalam II. METODE Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ― Zona Subtidal dan Laut Dalam ― ,adalah metode study literatur dengan mengumpulkan informasi dari buku, jurnal, dan internet. III. HASIL Karakteristik suatu zona mempengaruhi jenis biota laut yang hidup di dalamnya. Zona subtidal yang merupakan zona fotik memiliki biota seperti siput laut, bintang laut, lamun, ganggang, anemone laut, dan bulu babi. Biota yang hidup di laut dalam merupakan biota
yang unik dengan bentuk adaptasi yang luar biasa misalnya bulu babi, scavenger dan kepiting laut, dan Benthoctopus sp (gurita laut). IV. PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Zona Subtidal dan Laut Dalam Karakteristik zona subtidal adalah sebagai berikut : 1) Daerah yang terletak di antara batas laut terendah di pantai dengan ujung paparan benua. 2) Zona ini merupakan zona fotik (masih mendapatkan cahaya). 3) Kedalaman sekitar 200 m. 4) Terdiri dari sedimen lunak, pasir, lumpur, dan sedikit daerah dengan substrat keras. 5) Pada umumnya dihuni oleh bermacam jenis biota laut yang melimpah dari berbagai komunitas, termasuk padang lamun dan terumbu karang. Karakteristik laut dalam : 1) Zona ini merupakan zona afotik (tidak mendapat cahaya) dan sangat gelap. 2) Kedalamannya lebih dari 6000 m. 3) Biota yang hidup di dalamnya unik dan masih belum banyak diketahui kehidupan di dalamnya. 4.2 Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan di Zona Subtidal dan Laut Dalam Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan di Zona Subtidal : 1) Pergerakan ombak Pergerakan ombak tidak sebesar dan sebanyak pergerakan ombak di zona intertidal dikarenakan kedalamannya yang lebih dari 200 m. 2) Penetrasi cahaya Masih mendapat cahaya walau penetrasi cahayanya tidak sebanyak zona intertidal sehingga masih ada flora yang masih bisa berfotosintesis. Misal : lamun (seagrass). 3) Persediaan makanan
Tumbuhan bias hidup di zona ini dan menghasilkan makanan, tetapi mereka akan lebih banyak kehilangan disbanding menghasilkan. Walau produksi pangan terbatas namun adanya kematian jasad fitoplankton dari zona subtidal yang mati menjadi sumber makanan utama pada zona ini. 4) Suhu Suhu di zona subtidal masih cukup hangat karena masih memperoleh penetrasi cahaya meskipun kecil. 5) Salinitas Kadar salinitas cukup tinggi sehingga akan membuat fitoplankton sulit bertahan hidup. 6) Topografi Terdiri dari pasir, sedimen, dan bebatuan. Faktor yang Mempengaruhi Kehidupan di Laut Dalam : 1) Suhu Suhunya dingin dan sangat ekstrim dikarenakan tidak ditembus cahaya matahari. 2) Salinitas Memiliki kadar salinitas yang tinggi disebabkan oleh kedalamannya yang lebih dari 6000 m. Menyebabkan plankton tidak mampu hidup dan hanya biota laut tertentu yang bias hidup di dalamnya. 3) Kedalaman Kedalaman mencapai 6000 m bahkan lebih, palung laut juga merupakan bagian laut dalam. Dikarenakan kedalamannya tingkat salinitas sangat tinggi dan suhu sangat dingin membuat biota sulit bertahan hidup. 4) Topografi Terdiri dari pasir dan sedimen lain. 5) Oksigen Tidak adanya penetrasi cahaya membuat fitoplankton sebagai produsen utama oksigen dan makanan tidak mampu bertahan hidup. Tidak adanya penghasil oksigen primer menyebabkan kadar oksigennya sangat rendah. 6) Persediaan makanan Persediaan makanan sangat sedikit karena tidak adanya produsen primer, yakni fitoplankton.
4.3 Biota Laut di Zona Subtidal dan Laut Dalam a. Zona Subtidal Sebagai zona yang masih memperoleh cahaya (zona fotik), zona subtidal masih memiliki keragaman spesies cukup banyak. Keragaman biota yang menghuni zona subtidal seperti lamun, siput laut, bintang laut, ganggang, dan anemone metridium. Flora dan fauna ini memiliki adaptasi dan karakteristik masing-masing. Informasi mengenai beberapa biota penghuni zona subtidal : a. Siput Laut Siput laut memang mirip dengan siput yang biasa kita jumpai di daratan tapi tanpa cangkang dan memiliki variasi warna yang sungguh sangat indah. Siput laut sering juga disebut nudibranch. Nudibranch berasal dari bahasa Latin nudus yang berarti telanjang, dan bahasa Yunani brankhia yang berarti insang. Nudibranch memiliki kepala bertentakel, yang sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa, dan bau. Rhinophore berbentuk seperti pentungan berperan untuk mendeteksi bau (hidung). Mereka merupakan hewan hermafrodit, tetapi jarang melakukan fertilisasi sendiri. Nudibranch adalah hewan karnivora. Beberapa memakan spons, yang lain hydroida, atau bryozoa, dan beberapa kanibal, memakan siput air lainnya, dan pada situasi tertentu, bahkan anggota spesies mereka sendiri. Bentuk tubuh bervariasi. Ukuran berkisar antara 40 hingga 600 mm. Hewan kecil ini terdapat di seluruh dunia pada semua kedalaman, tetapi mereka mencapai ukuran terbesar dan bervariasi pada perairan hangat dan dangkal.Siput Laut merumput di hewan sessile kecil seperti coelenterates, spons, dan Bryozoa. Siput laut tertentu yang memakan karang dan anemon laut menelan sel penyengat mangsa mereka tanpa pemakaian mereka; ini kemudian lulus dari saluran pencernaan siput terhadap ceratia, di mana mereka digunakan oleh siput untuk pertahanan sendiri. Persebaran Siput Laut Siput Laut (nudibranch) tersebar di seluruh dunia, dengan jumlah terbesar dan jenis terbesar ditemukan di perairan tropis.
Karakteristik Fisik Sifut Laut Siput laut memiliki panjang kurang dari 1 in (2,5 cm), yang terbesar ditemukan di Great Barrier Reef of Australia, mencapai 12 inci (30 cm). Merupakan hewan laut yang indah dengan susunan warna indah dan berpola. Memiliki struktur berbulu (ceratia) di bagian belakang, sering dalam warna kontras. Kebanyakan siput laut memiliki dua pasang tentakel di kepala, yang digunakan untuk penerimaan taktil dan chemosensory, dengan mata kecil di dasar sungut masing-masing. selain itu dalam rangka kamuflase hewan ini juga dapat memanipulasi warna tubuhnya sehingga menjadi lebih mirip dengan lingkungan sekitarnya. Contoh siput laut Tinctoria:
Secara umum siput Laut diklasifikasikan dalam : Filum
: Moluska
Kelas
: Gastropoda
Subclass
: Opisthobranchia
Famili
: Nudibranchiata
b. Lamun
Lamun adalah kelompok tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji tertutup (Angiospermae), berkeping tunggal (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah serta mampu hidup secara permanen di bawah
permukaan air laut. Kehadiran jenis tumbuhan lamun pada suatu lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh faktor biologis, fisika dan kimia lingkungan perairan dan penyebarannya hampir di seluruh zona intertidal dan zona subtidal, sepanjang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari. Lamun sangat bermanfaat baik secara ekologis maupun ekonomis. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan
tenang dan terlindung.
Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk
ke perairan. Mampu
melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generative. Mampu hidup di media air asin. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik Jenis-jenis lamun tersebut membentuk padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik maupun padang lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km2 (Nienhuis 1993). Karakteristik Ekologi a. Suhu Pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 - 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C. b. Salinitas Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986). Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985).
c. Kekeruhan Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Erftemeijer (1993) mendapatkan intensitas cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400 u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200 uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter. Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides. d. Kedalaman Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T tertinggi pada kedalaman sekitar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Durako dan Moffler 1985). e. Nutrien Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997).
Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfeatkan oleh lamun (Udy dan Dennison 1996). Ditambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas penyerapan yang paling tinggi. Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM (nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM (nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet) (Noor et al 1996). Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik (Dawes 1981). Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun (Erftemeijer 1993). Mellor et al. (1993) melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara faktor biotik lamun dengan nutrien kolom air. f. Substrat Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara 1997). Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986). Selain itu rasio biomassa di atas dan dibawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Zieman 1986). c. Bintang Laut
Contoh species : Nardoa variolata Karakteristik bintang laut Bintang laut dicirikan oleh simetri radial, dan jumlah lengan (5 atau dikalikan dengan 5) menjulur dari badan pusat. Mulut dan anus saling berdekatan, anus berada di pusat disk bersama-sama dengan madreporite. Memiliki pedicellaria yang membuat lengannya mampu bergerak bebas. Ekologi Bintang Laut Bintang laut ini hidup di mana-mana di terumbu karang dan pada pasir atau batu. Perilaku bintang laut Sebagian besar bintang laut karnivora dan memakan spons, bryozoa, ascidia dan moluska. Bintang laut lainnya adalah pemakan dentritus. Bintang laut memiliki kemampuan regenerasi. Sebuah hewan baru dengan bagian tubuh lengkap dapat tumbuh dari sebuah fragmen kecil seperti lengan. Dalam beberapa spesies (Linckia multifora dan Echinaster luzonicus) salah satu bisa menarik diri sendiri dan lepas dari tubuh semula, meregenerasi dan membentuk hewan baru. Autotomy (amputasi sendiri) biasanya adalah fungsi perlindungan, kehilangan bagian tubuh untuk menghindari predator
bukannya
dimakan. Tapi
di
sini
berfungsi
sebagai
bentuk
reproduksi
aseksual. Dalam spesies lain bintang laut (Allostichaster polyplax dan Coscinasterias calamaria) jika tubuh dipotong menjadi bagian-bagian yang tidak sama maka anggota tubuh yang hilang atau terlepas akan beregenerasi. d. Bulu Babi (Echinoidea)
Karakteristik bulu babi Badan simetris radial dengan kerangka kitin eksternal dan terletak di pusat rahang (disebut lentera Aristoteles) dengan gigi horny. Mulut terdiri dari pengaturan kompleks otot dan pelat sekitarnya pembukaan melingkar. Anus terletak di permukaan atas. Beberapa bulu babi memiliki bola, bola seperti kloaka (untuk menyimpan feces) yang menonjol dari pembukaan dubur. Hal ini dapat ditarik masuk ke shell. Tergantung pada spesies, duri memiliki berbagai ukuran dan bentuk, duri melekat pada tubuh. Sering berupa duri tajam, berdiri tegak dan dalam beberapa kasus bahkan berbisa. Memiliki penjepit pedicellaria untuk meraih mangsa kecil. Beberapa pedicellaria juga beracun. Ekologi dan berbagai bulu babi Diantara bebatuan dan pasir. Kelimpahan bulu babi dapat menjadi tanda untuk kondisi air yang jelek. Tingkah laku bulu babi Bergerak dengan kaki tabung tetapi juga dapat bergerak dengan duri di bagian bawah tubuh. Bulu babi bersifat nocturnal, pada siang hari bersembunyi di celah karang. Namun beberapa bulu babi seperti Diadema kadang hidup di tempat yang terbuka. Beberapa jenis bulu babi dapat menyamar. Mereka berlindung dengan menggunakan duri dan bersembunyi di bawah bebatuan. Beberapa bulu babi bahkan membawa karang lunak hidup atau anemone untuk melindungi diri. Kebanyakan bulu babi adalah pemakan alga tetapi, ada juga yang memakan spons, bryozonan dan ascidia. Ada juga yang pemakan dentritus. Bulu babi memiliki jenis kelamin terpisah dan mudah terbentuk secara tidak langsung oleh fusi sperma dan telur dilepaskan ke dalam air. e. Ganggang Ganggang atau yang sering disebut alga didefinisikan sebagai berbagai organisme fotosintetik yang tidak mempunyai akar dan daun sesungguhnya, bersifat non vaskuler, mengandung klorofil a dan mempunyai struktur reproduksi yang sederhana. Salah satu contoh dari alga ini adalah rhodophyceae. Rhodophyceae
Rhodophyceae memiliki kromatofer yang berwarna biru-merah mengandung pigmen seperti fikoeritrin merah, dan fikosianin biru; bahan makanan cadangannya berupa zat tepung floridean, yaitu polisakarida yang mirip dengan zat tepung; struktur tubuh berbentuk benang sederhana sehingga sangat kompleks, bentuk motil tidak diketahui; kecuali pada beberapa jenis, sel rhodophyceae memperlihatkan hubungan protoplasmik; reproduksi seksual bertipe oogami lanjut, organ kelamin jantan menghasilkan gamet nonmotil dan organ kelamin betina mempunyai leher penerima yang panjang; setelah melakukan reproduksi seksual, dihasilkan spora khusus (karpospora), beberapa diantaranya hidup di perairan tawar dan laut. Contohnya seperti Padina sp.
Padina sp. Bouket dari ganggang coklat ini terdapat dan tersebar di berbagai pantai kita, terutama di daerah Pantai selatan. Spesies ini banyak ditemukan di bebatuan yang tebal, dan puingpuing koral. Spesies ini juga terkadang dipanggil telinga putri duyung. Strukturnya berbentuk corong. Tiap corong memiliki diameter selebar 3-5cm, dengan lingkaran yang konsentrik dan daerah tepinya seperti berguling. Tiap corong biasanya daerah tepinya sobek. Ikatan-ikatan dari spesies ini biasanya terdapat di permukaan yang keras dan muncul seperti bouket yang indah ketika terendam oleh air. Ganggang coklat ini kadang tampak kebiruan atau berwarna putih yang bersemburat. Warna putih tersemburat yang terdapat pada spesies ini dikarenakan kalsium karbonat yang terdapat di dalamnya. Padina sp. adalah satu-satunya ganggang coklat yang memiliki kalsium. Berdasarkan dari alga-alga yang telah diketahui, terdapat kurang lebih 30 spesies padina. Padina dikonsumsi di beberapa tempat. Spesies ini juga sering dimanfaatkan sebagai pakan hewan, saringan ikan, dan digunakan sebagai obat-obatan tradisional. f. Anemon Metridium ( Anemon Laut Merupakan class terbesar dari phylum Coelenterata adalah Anthozoa atau Actinozoa. Termasuk di dalamnya coelenterata laut dan palypoid coelenterata, hidup berkoloni, dalam fase medusa semuanya hidup sendiri-sendiri. Koloni Anthozoa terdiri dari banyak coral dari jenis yang
berbeda-beda. Koloni Anthozoa adalah anemone laut, masuk ke dalam ordo Actinaria. Jumlahnya melimpah dan dikenal sebagai hewan-hewan yang mendiami perairan hangat di seluruh dunia. Genus umumnya Adamsia, Edwarsia, Metridium, dan Urticina. Studi kebanyakan mempelajari Metridium (L., metricus), dan umumnya adalah spesies M. marginatum. Klasifikasi Metridium marginatum : Phylum
: Coelenterata
Class
: Anthozoa (Actinozoa)
Subclass
: Hexacoralia
Ordo
: Actiniaria
Genus
:Metridium
Species
: Metridium marginatum
Metridium merupakan anemone laut yang mendiami perairan pantai yang hangat sepanjang sepanjang pantai Atlantik dan Pasifik. Metridium juga hidup di air dangkal atau zona litoral, kebanyakan melekat pada bebatuan dan substrat keras.Hewan karnivora, memakan crustacean, cacing. (Kotpal, 2009). Makanan akan melewati rongga pencernaan, kemudian akan dicernakan oleh enzim yang dihasilkan oleh filament. Anemon laut memiliki banyak tentakel yang berukuran pendek. Tentakel ini berfungsi untuk berpegangan pada benda padat dalam laut di zona subtidal dan laut dalam.(Karmana, 2007).
Kualitas Air Bagi Anemon Laut Adapun kualitas air yang optimum untuk pemeliharaan anemon laut adalah: suhu air 24 - 29 0C, oksigen terlarut 2,4 - 6 mg/l, atau 4 - 7 mg/I, nitrit 0,551 - 0,552 mg/I atau 0,5 mg/I , Ammonia 0,01 - 0,021 mg/l atau 0,1 mg/l dan pH 7,2 - 8,3 atau 8 - 8,3. Syarat hidup
anemon yang baik berada pada kisaran suhu 29-32 0C dan dengan kadar salinitas berkisar antara 31 - 33 ‰. Anemon akan optimum hidup pada perairan yang memiliki intensitas cahaya matahari yang hangat dan nutrient yang melimpah, seperti pada ekosistem terumbu karang dimana pada ekosistem tersebut memiliki asupan nutrient yang banyak dan intensitas cahaya matahari yang tinggi. Pengaruh Cahaya terhadap Metabolisme Anemon Laut Cahaya matahari merupakan faktor penting dalam metabolisme anemon karena cahaya matahari berperan penting dalam proses fotosintesis. Organisme yang bersimbiosis mutualisme dengan anemon laut yaitu zooxanthellae. Zooxanthellae merupakan faktor pengendali dalam kelimpahan dan metabolisme anemon laut artinya semakin kecil intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan maka proses fotosintesis akan berkurang atau menjadi terhambat, begitu pula dengan zooxanthellae akan semakin berkurang populasinya karena banyak yang mati akibat penetrasi cahaya matahari yang kurang sehingga organisme tersebut sulit untuk membuat makanannya sendiri atau berfotosintesis. Hal ini mengakibatkan kelimpahan dan metabolisme anemon akan terganggu. (Anonim, 2010) b. Laut Dalam
Laut dalam dikenal dengan jumlah hewan yang semakin sedikit. Aldea et al (2008) misalnya, menemukan kalau semakin dalam semakin sedikit jenis kerang (gastropoda dan bivalvia). Hewan yang tinggal di dekat permukaan jumlahnya sangat banyak jika saat mereka mati, tubuh mereka tenggelam hingga ke dasar. Kenyataannya, Drazen (2002) menemukan kalau ikan scavenger di dasar laut, sama sekali tidak terpengaruh oleh variasi jumlah hewan yang tenggelam. Baik ada 1000 ekor ataupun hanya 20 ekor yang sampai ke dasar, ikan-ikan ini tidak menjadi tamak ataupun menjadi irit makanan. Keseimbangan sepertinya sangat kuat di dasar samudera. Hewan dasar laut sudah beradaptasi dengan lingkungan laut dalam. Hampir semua bahkan justru merasa tersiksa kalau naik mendekati permukaan. Sebagai contoh, larva Echinus echinus tidak akan dapat berkembang kalau tekanannya tidak seperti di dasar laut (Tyler dan Young, 1998).
Predasi di dasar laut sangat tinggi dan member dampak negative. Kemp et al (2006) memburu para siluman ini tanpa hasil. Dan merekapun menisbahkan menurunnya jumlah kepiting scavenger (Munidopsis crassa) yang disebabkan oleh predasi Benthoctopus sp, gurita dasar laut. Seperti penghuni dasar laut lainnya, ia bertubuh kecil (Polloni et al, 1979). Walau kecil, ia cukup mampu memangsa kepiting yang lengah.
Kepiting scavenger, Munidopsis
Bulu babi dasar laut, Echinus Dasar laut dipenuhi oleh para scavenger, sedikit predator dan beberapa spesies yang tidak jelas. Dikatakan tidak jelas karena kita belum dapat menentukan apakah ia scavenger atau predator, atau lainnya. Ilmuan sangat berhati-hati dalam menggolongkan hewan dasar laut. Britton dan Morton (1994) misalnya, tidak mau mengakui kalau sebuah hewan merupakan scavenger jika ia tidak melihat langsung hewan tersebut mendekati bangkai atau memakan bangkai.
Biota laut yang hidup di dasar laut masih merupakan suatu misteri sebab belum banyak penelitian terhadap zona ini mengingat medannya yang sulit. Survey dasar laut, terutama daerah yang topografinya bergerigi, sulit dilakukan, sehingga walaupun dasar laut Hawaii dalamnya lebih dari 4000 meter, hanya 2000 meter saja kemampuan para peneliti untuk mencapainya (Borets, 1986). Hal ini membuat banyak misteri kehidupan yang belum diketahui.
V. KESIMPULAN 1. Karaketeristik zona subtidal : zona fotik, kedalaman sekitar 200 m, terdapat komunitas ganggang dan lamun yang melimpah. Karakteristik laut dalam : zona afotik, kedalaman sekitar 6000 m, biota sedikit jumlahnya. 2. Faktor yang mempengaruhi zona subtidal : suhu, penetrasi cahaya, salinitas, suhu, persediaan makan. Faktor yang mempengaruhi laut dalam : kedalaman, suhu, salinitas, oksigen, persediaan makan. 3. Biota zona subtidal, diantaranya : bintang laut, siput laut, lamun, ganggang, anemone laut, dan bulu babi. Biota laut dalam, diantaranya : scavenger, bulu babi, dan Benthoctopus sp. VI. DAFTAR PUSTAKA
Aldea, C., Olabarria, C., Troncoso, J.S., 2008. Bathymetric zonation and diversity gradient of gastropods and bivalves in West Antarctica from the South Shetland Islands to the Bellingshausen Sea. Deep-Sea Research Part I 55, 350–368.
Anderson, M.E., 2005. Food habits of some deep-sea fish off South Africa’s westcoast. 2. Eels and Spiny eels. African Journal of Marine Science 27, 557–566.
Anonim. 2010. Sand Anemone. . Diakses 13 Desember 2010 oukul 20.30 WIB. Borets, L.A., 1986. Ichthyofauna of the north western and Hawaiian
submarine ranges. Journal of Ichthyology 26, 1–13.
Britton, J.C., Morton, B., 1994. Marine carrion and scavengers. Oceanography and Marine Biology — An Annual Review 32, 369–434
Carney, R.S., 2005. Zonation of deep biota on continental margins. Oceanography and Marine Biology — An Annual Review 43, 211–278.
Collins, M.A., Bailey, D.M., Ruxton, G.D., Priede,I.G., 2005. Trends in body size across an environmental gradient: a differential response in scavenging and nonscavenging demersal deep-seafish. Proceedings of the Royal Society of London, B 272, 2051–2057
Drazen, J.C., 2002. A seasonal analysis of the nutritional condition of deep-sea macrourid fishes in the north-east Pacific. Journal of Fish Biology 60, 1280–1295.
Friedman, M., Coates, M.I., Anderson, P., 2007. First discovery of a primitive coelacanth fin fills a major gap in the evolution of lobed fins and limbs. Evolution & Development Volume 9 4, 329 – 337.
Hartog,
C.den.1970.
Seagrass
of
the
world.
North-Holland
Publ.Co.,Amsterdamcology and Paleoecology. Waverly Press. New York.
Hedgpeth, J.W.1957. Teratise of Marine ecology and Paleoecology. Waverly Press.
New York. Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi. Grafindo Media Pratama. Jakarta.
Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective.
Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York. Kotpal, R.L. 2009.Modern Text Book of Zoology: Invertebrates.Rastogi Publication. New Delhi Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Calumpong. 1983. Sea Grass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press, Washington.
Nienhuis, P. H. 1993. Marine benthic vegetation: recent changes and the effects of eutrophication. Springer. Torronto
Zieman, 1986. Oceanography And Marine Biology. Routledge. France.